Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pergulatan antara kebenaran (haq) dan kebatilan merupakan sunnatullah


yang telah ditetapkan secara azali sebagai ujian bagi manusia, guna menyeleksi
seseorang yang baik dari yang buruk, sehingga di akhirat kelak, Allah swt. akan
menempatkannya pada posisi balasan yang layak dengan hasil ujian masing-
masing. “Dan hanyalah milik Allah, segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi, supaya Dia memberi balasan (neraka) kepada orang-orang yang
berbuat jahat atas apa yang telah mereka kerjakan. Dan membalas orang-orang
yang berbuat

B. RUMUSAN MASALAH
1. Sejarah Masuknya Islam dan Distorsi Kaum Yahudi- Kristen
2. Distorsi pada masa para sahabat

C. TUJUAN

Makalah ini ditulis dengan tujuan agar kita lebih memahami bagaimana
Kesatuan sejarah dalam Islam dan terjadinya distorsi sejarah dalam islam.

[1]
BAB II

KESATUAN DAN DISTORSI SEJARAH ISLAM

A. Sejarah Masuknya Islam dan Distorsi Kaum Yahudi- Kristen

Sejak kemunculan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, Islam
sudah harus berhadapan dengan berbagai agama yang eksis sebelumnya. Salah
satunya adalah agama Kristen, yang saat itu sudah menyebar di berbagai
wilayah di Jazirah Arab. Al-Quran juga memberikan banyak penjelasan
tentang agama ini, Nabi Muhammad saw mengirimkan dilegasi pengungsi
Muslim, hijrah dari Mekkah ke Habsyah (Ethiopia) untuk mencari
perlindungan pada Raja Najasyi yang kala itu masih beragama Kristen.

Kaum Quraisy yang tidak rela dengan kepergian kaum Muslim segera
mengirimkan utusan khusus kepada Najasyi agar mengusir kembali kaum
Muslim tersebut. Raja Najasyi diprovokasi Kepada masyarakat Najasyi dan
para pendeta Kristen, Amr bin Ash dan Amarah dua utusan Quraisy
menyatakan, bahwa orang-orang Islam tidak akan mau bersujud kepada Raja.
Ketika kaum Muslim dipanggil menghadap Raja, mereka diperintahkan,
“Bersujudlah kalian kepada Raja!”. Dengan tegas Ja’far menjawab, “Kami
tidak bersujud kecuali kepada Allah semata.”

Memang dalam pandangan Islam tugas terpenting dari misi kenabian adalah
menegakkan kalimah tauhid dan memberantas kesyirikan. Dalam al-Quran
disebutkan, Lukmanul Hakim mengajarkan anaknya agar jangan
melaksanakan dosa syirik, sebab syirik adalah kezaliman yang besar.
Menyekutukan Allah adalah tindakan yang tidak terampuni dan tidak beradab.
Allah adalah al-Khaliq dan manusia adalah makhluk, Manusia tidak patut
disetarakan dengan Allah. Di antara manusia saja antara pejabat dan rakyat
misalnya, dibeda-bedakan status dan perlakuannya. Apalagi, antara makhluk
dengan al-Khaliq tentulah ada status yang sangat berbeda.

[2]
Salah satu titik sentral dari penjelasan al-Quran tentang agama Kristen
terletak pada status Nabi Isa a.s, yang dalam Islam diakui sebagai Nabi dan
Rasul bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Bahkan, Al-Quran menyebutkan,
bahwa Allah SWT sangat murka karena dituduh punya anak. Polemik soal ini
sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad saw, saat Nabi saw
melayani diskusi dan debat dengan delegasi Kristen Najran.

Hujatan terhadap Rasulullah biasa dilakukan oleh Yahudi- Kristen

Stuttgart menyatakan Ketergantungan Al-Quran terhadap Yahudi dan


Kristen, Wilhelm Rudolph menyimpulkan bahwa Islam sebenarnya berasal
dari Kristen. Kristen adalah buaian Islam, Ide-ide Muhammad bukanlah
penemuannya sendiri, tetapi hasil dari pergaulannya dengan Yahudi Makkah
dan kemungkinan pergaulannya dengan orang-orang Kristen.

Kata Andrae, “Konsep kenabian sebagai sesuatu yang hidup dan aktual,
sesuatu yang milik sekarang dan akan datang, sukar, sejauh yang aku lihat,
muncul di dalam jiwa Muhammad jika ia tidak mengetahui mengenai nabi-
nabi dan kenabian yang telah diajarkan Yahudi dan gereja-gereja Kristen di
Timur.”

Richard Bell menulis buku berjudul The Origin of Islam in its Christian
Environment. Bell menyimpulkan bahwa pengaruh Kristen datang dari Syiria
(Suriah), Mesopotamia, dan Ethiopia. Kosa kata Aramaik dan Ethiopia yang
digunakan oleh orang-orang Kristen, diketahui oleh Muhammad, yang
selanjutnya memasukkannya ke dalam Al-Qur`an.

Memang terdapat kesamaan antara ajaran Islam dengan sebagian ajaran


Nabi Musa as dan Nabi Isa as, Semua nabi membawa wahyu dari Allah SWT.
Namun, karena ada penyimpangan-penyimpangan dalam agama Yahudi-
Kristen, maka Nabi Muhammad membawa Islam yang menunjukkan
penyimpangan tersebut. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan mendasar antara
Al-Qur`an dengan ajaran-ajaran Yahudi-Kristen. Namun para orientalis
mengganggap perbedaan tersebut disebabkan kesalahan Rasulullah.

[3]
Mereka berpendapat nabi Muhammad bukan Ummiy.

Tuduhan adanya keterpengaruhan itu sebenarnya bertujuan untuk


menunjukkan bahwa Muhammad bukanlah seorang yang ummiy (buta huruf).

Hirshfeld menyatakan Muhammad bukan ummiy, bisa membaca dan


menulis. Menurutnya, Muhammad mengetahui aksara Ibrani tatkala
berkunjung ke Syiria. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa Muhammad bisa
menulis ketika di Madinah.

Sulit dipercaya, tegas Hirshfeld, jika Muhammad tidak bisa menulis ketika
berusia di atas 50 tahun. Selain itu, kata Hirshfeld, banyaknya nama-nama dan
kata-kata yang diungkapkan di dalam Al-Qur`an menunjukkan bahwa
Muhammad salah membaca di dalam catatan-catatannya yang ditulis tanpa
kemahiran.

Ringkasnya dengan menunjukkan Rasulullah bukan seorang ummiy


berarti membuktikan bahwa Muhammad adalah pengarang Al-Qur`an. Ini
tujuan terpenting bagi mereka.

Pendapat Ulama

Sangat bertentangan dengan para orientalis, mayoritas ulama berpendapat


bahwa Rasulullah adalah seorang ummiy. Al-Zajjaj, pakar bahasa Arab,
berpendapat, “Kata ummiy berarti umat yang kondisinya seperti saat
dilahirkan oleh ibu, tidak mempelajari tulisan, dan tetap seperti itu hingga
dewasa.”

Ibn Manzur, pengarang Lisan al-Arab, menyatakan kata ummiy bermakna


tidak bisa menulis. Menafsirkan Surat Al-Ankabut ayat 48, Manzur
menyatakan Rasulullah disebut ummiy karena umat Arab tidak bisa menulis
dan membaca. Allah mengutus Muhammad dan beliau tidak bisa menulis dan
membaca dari kitab, dan sifat ini merupakan salah satu mukjizatnya, karena ia
mengulangi Kitab Allah dengan sangat teratur, tepat, tidak kurang dan tidak
lebih, tidak seperti orator Arab yang lain.

[4]
Tuduhan kaum orientalis memang tidak dapat dipisahkan dari prejudis, baik
disadari ataupun tidak. Meskipun mereka ingin menunjukkan “objektivitas”
dan mengaplikasikan metode kritis-historis, namun pandangan-hidup Yahudi-
Kristen sebenarnya tetap menjadi dasarnya.

Metode yang disebut “kritis-historis” itu dibangun atas faham


empirisisme. Secara epistemologis, metode ini tidak sesuai untuk diterapkan
dalam studi Islam. Islam bersumber dari Wahyu yang memuat sejumlah
kepastian dan keyakinan, sedangkan metode tersebut berasal dari paham
positivisme yang mengabaikan kepastian Wahyu yang kebenarannya tidak
terbatas kepada fenomena empiris saja.

Ucapan dan pernyataan kaum orientalis yang mengaku ilmiah dan objektif
tentang Muhammad hanyalah bertujuan untuk mengaburkan dan meragukan
kebenaran Al-Qur`an.

B. Distorsi Sejarah masuknya Islam para Sahabat

Sejak lebih seribu tahun umat Islam memandang para sahabat Nabi saw
sebagai generasi terbaik yang dilahirkan peradaban Islam. Dasarnya jelas Al-
Qur’an berkali-kali memuji mereka baik dalam kapasitas individu maupun
genarasi yang utuh. Merekalah yang paling pantas menyandang predikat umat
terbaik (khayr ummah) yang dikeluarkan Allah untuk menyampaikan risalah-
Nya kepada seluruh manusia.

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,


menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah …..” (Ali `Imran: 110)

Predikat yang sama diberikan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:

“Manusia terbaik adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian


generasi berikutnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari seluruh sahabat Nabi saw para sahabat yang lebih dulu memeluk
Islam dan berjuang menegakkannya bersama Rasulullah saw memiliki

[5]
kedudukan yang sangat istimewa. Merekalah al-sabiqun al-awwalun yang
telah dipastikan meraih keridhaan Allah swt, seperti dinyatakan dalam firman-
Nya:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari


golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan
yang besar” (at-Taubah: 100)

Kedudukan sangat istimewa juga diberikan Rasulullah saw. Bagi beliau


tingkat kesalehan dan kualitas amal para sahabat tersebut tidak dapat
disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi
berikutnya tampak lebih besar. Karenanya Rasulullah saw melarang mencibir
dan mencaci karya para sahabat utamanya itu.

“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada


di tangan-Nya, seandainya seorang di antara kalian bersedekah dengan emas
sebesar gunung Uhud, maka tidak akan setara dengan satu mudd atau
setengahnya dari sedekah mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikianlah kedudukan para sahabat Nabi saw yang telah digariskan Al-
Qur’an dan as-Sunnah. Karya-karya besar mereka mendapat penghargaan
abadi dari dua sumber yang sedikitpun tidak diragui kebenarannya. Perjalanan
hidup mereka dengan segala keragaman kondisi dan dinamikanya sebagai
manusia yang terbatas adalah teladan yang paling ideal bagi seluruh manusia
dan sepanjang masa. Karena itulah Allah swt menggariskan takdir mereka
harus mengalami berbagai kondisi yang lazim dialami oleh seluruh manusia
baik dalam skala individu maupun masyarakat. Fenomena kaya dan miskin
krisis ekonomi dan kemajuannya suhu politik yang normal dan kekacauan pun
mereka alami semuanya. Namun yang pasti, dalam semua kondisi tersebut

[6]
mereka menunjukkan kapasitas individu dan masyarakat ideal yang berusaha
sekuat tenaga menggabungkan antara idealisme wahyu dan realitas.

Keutuhan keteladanan ini dipahami betul oleh sosok Abdullah ibn Umar
ra, seorang sahabat utama yang banyak mengalami peristiwa besar hingga
periode Bani Umayyah. Kepada murid-muridnya dari generasi Tabi`in, Ibn
Umar ra. berpesan, “Siapa yang mencari teladan hendaklah meneladani orang-
orang yang telah meninggal yaitu sahabat-sahabat Muhammad saw.
Merekalah genarasi terbaik umat ini hati mereka lebih bersih, ilmu mereka
lebih dalam, dan mereka sangat jauh dari sikap berlebihan. Merekalah
generasi yang dipilih Allah untuk menyertai Nabi-Nya saw, Dan
menyampaikan agama-Nya. Maka teladanilah akhlaq dan jejak hidupnya
karena mereka adalah sahabat-sahabat Muhammad saw dan telah mendapat
petunjuk yang lurus”.

Demikianlah pemahaman umat Islam tentang masalah ini. Namun seiring


dengan memudarnya tradisi keilmuan Islam, pemahaman ini perlu penyegaran
kembali. Kredibilitas para sahabat sebagai fundamen aktif peradaban Islam,
tidak hanya dipertanyakan melainkan sedang diruntuhkan dengan cara yang
sistematis. Seandainya langkah-langkah destruktif ini dilakukan oleh non
muslim barangkali akan lebih mudah disikapi. Tapi ketika pelakunya adalah
orang Islam sendiri maka tak pelak akan menimbulkan dampak yang luar
biasa besar. Setidaknya, umat menjadi bingung dan mulai meragukan
kebenaran sejarahnya sendiri. Akhirnya, umat akan mengidap amnesia sejarah
dan kehilangan jati diri, karena tidak lagi dapat bercermin dan mengambil
pelajaran dari model generasi paling ideal sepanjang zaman. Itulah yang
dilakukan Farag Fouda dalam bukunya, Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam
Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin.

Salah satu Penyelewangan sejarah tentang peran para sahabat dilakukan


oleh Faraq fauda. Fouda mengutip sumber-sumber sejarah klasik secara
sembarangan, sesuai dengan kemauannya. Riwayat-riwayat yang tidak jelas
sumbernya, dia kutip sebagai rujukan cerita, dengan menafikan riwayat lain

[7]
yang jelas dan kuat sumbernya. Cara-cara seperti ini memang biasa digunakan
oleh kaum orientalis dalam menulis sejarah Islam. Sayangnya, kaum sekular-
liberal, seperti Fouda juga mengikuti jejak kaum orientalis dalam memberikan
citra buruk tentang sejarah Islam.

Kelemahan metodologis lainnya yang juga sangat fatal adalah, Fouda


sering tidak mencantumkan rujukan dari riwayat-riwayat yang dikutipnya.
Padahal, belasan riwayat sejarah yang dikutipnya pada bab tersebut terkait
masalah-masalah besar dan penting, seperti peristiwa Saqifah, bai`at Ali ra.
kepada Abu Bakar ra, perang Jamal yang dianggap Fouda sebagai pembelotan
kubu `Aisyah ra, keyakinan Fouda atas keterlibatan para sahabat utama dalam
konspirasi pembunuhan Usman ra dan lain sebagainya.

Kondisi yang lebih parah terjadi pada Bab Dua: Pembacaan Baru terhadap
Sejarah al-Khulafa’ar-Rasyidun. Fouda bukan hanya tidak banyak
mencantumkan sumber riwayat yang dikutipnya, tapi juga membumbuinya
dengan penafsiran-penafsiran yang semakin memperburuk gambaran
hubungan antara para sahabat Nabi saw pengutipan dan penafsiran Fouda
berikut ini, ”Kepada Ali, Abdur Rahman bin Auf, misalnya menyerukan:
’Kalau engkau berkenan, silakan angkat senjata. Akupun akan angkat senjata.
Ia (Usman) telah mengambil kembali apa yang telah ia berikan kepadaku’.
Lantas Auf berkata kepada para sahabatnya, dalam keadaan sakit yang pada
akhirnya menyebabkan kematiannya: ‘Bersegeralah kalian (untuk
memberontak terhadap kekuasaan Usman) sebelum kekuasaannya itu yang
akan melindas kaian!’. Thalhah juga memprovokasi para pemberontak,
sampai-sampai Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali membuka akses
Baitul Mal, lalu membagi-bagikannya kepada mereka sampai terjadi
pertengkaran karena itu. Tetapi, saat itu Usman justru membenarkan tindakan
Ali. Dan benar saja, tidak perlu menunggu sampai berbulan-bulan lamanya,
Usman pun terbunuh. Anehnya, Thalhah kemudian justru tampil sebagai
orang yang menuntut balas atas kematian Usman dalam kelompok tentara
Aisyah…”

[8]
Kisah di atas jelas-jelas menyebut keterlibatan langsung Abdurrahman ibn
`Auf dan Thalhah ibn `Ubaidillah, dua sahabat utama yang tergolong anggota
Dewan Syura Khalifah, dalam konspirasi yang mengakibatkan terbunuhnya
Usman ra. Kisah Thalhah ra. sama sekali tidak disebutkan sumbernya.
Sedangkan kisah Abdurrahman ibn `Auf dikutip Fouda dari buku al-Fitnah al-
Kubra, karya sastrawan sekuler kenamaan Thaha Husain.

Sebagai kajian sejarah, apalagi tentang isu-isu besar yang menyangkut


generasi sahabat Nabi saw, seharusnya bukan sekadar mencantumkan sumber
yang jelas, melainkan harus melakukan verifikasi yang lebih teliti, tapi Fouda
tidak melakukannya.

[9]
DAFTAR PUSTAKA

Insists “ Studi Kristologi” dari https://insists.id/studi-kristologi/

http://m.hidayatullah.com/read/2012/02/07/2234/orientalisme-dan-hujatan-terhadap-
rasulullah.html

[10]

Anda mungkin juga menyukai