Al Quran merupakan mujizat Nabi Muhammad SAW yang paling tinggi, paling
besar dan paling ampuh untuk mensklukksn orang-orang yang ingkar terhadap kenabian
beliau. Sekalipun Nabi Muhammad memiliki banyak mujizat, akan tetapi beliau tidak
menggunakan mujizat-mujizat yang lain sebagai tantangan terhadap orang-orang yang
mengingkari kenabian beliau. Oleh karena itu kemujizatan Al Quran merupakan bukti
kenabian Muhammad SAW, semenjak turunnya Al Quran sampai Hari Kiamat nanti. Sebab
mujizat Al Quran adalah mujizat yang dapat diindera dan dibuktikan oleh seluruh manusia
di setiap masa sampai Hari Kiamat. Dengan demikian, wajib bagi kita kaum Muslimin untuk
mengimani al-Quran. Ia merupakan kitab suci kita, pedoman hidup di atas bumi ini.
Keimanan terhadap Al Quran memiliki konsekuensi yang lebih jauh lagi, yakni
menerapkan dan mengamalkan Al Quran. Allah SWT berfirman dalam salah satu ayat Al
Quran bahwa seseorang baru dikatakan beriman bila ia menjadikan Rasulullah Muhammad
SAW sebagai hakim (pemutus perkara) dalam perkara yang diperselisihkan (lihat An Nisaa :
65) yang artinya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.
Ayat ketujuh surat Al Hasyr di atas mewajibkan kaum muslimin untuk mengambil dan
mengamalkan apa saja yang berasal dari Rasulullah SAW, baik Al Quran itu sendiri maupun
As Sunnah. Sebab kata maa (apa saja) dalam ayat itu bersifat umum, mencakup Al Quran
dan As Sunnah.
Kedua ayat di atas termasuk di antara dalil syari yang mewajibkan kaum muslimin
untuk menerapkan dan mengamalkan syariat islam yang terkandung dalam Al Quran dan As
Sunnah. Kewajiban ini mencakup keseluruhan syariat Islam, tidak sebagian-sebagian,
sebagaimana firmanNya dalam QS Al Baqarah : 208.
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah
kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Berdasarkan hal ini, kaum muslimin harus memiliki sikap yang benar terhadap Al
Quran. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa mereka harus pula mampu memahami cara
yang benar dalam menafsirkan Kalamullah ini. Cara yang benar dalam menafsirkan ini haris
berlaku sepanjang jaman. Mujizat Al Quran dari sisi bahasa adalah hal yang berlaku
sepanjang masa. Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab saja yang semurni-murninya,
tidak kemasukan bahasa asing apapun juga. Karena itu, siapapun yang hendak memahami Al
Quran ia harus memahami bahasa Arab.
Adapun mengenai pemahaman dan kreasi pengembangannya dapat berubah, terutama
jika pemahaman itu berkaitan dengan satu atau beberapa ayat, dan si penafsir sendiri
mengetahui dengan jelas terjadinya apa yang diisyaratkan oleh ayat tersbut di tengah-tengah
kehidupan baru, seperti kemajuan corak peradabandan lain-lain. Hal-hal semacam itu tidak
tetap dalam segala jaman akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan keadaan.
Misalnya perubahan politik, ekonomi, keuangan, perdagangan dan hubungan internasional,
baik di masa damai maupun perang. Selain itu juga akibat terjadinya perubahan bentuk-
bentuk hubungan sosial antara pria dan wanita, peningkatan kualitas dan kuantitas kejahatan,
serta munculnya berbagai masalah baru yang belum dikenal sebelumnya.
Dengan demikian di jaman kita ini, hal utama yang harus diperhatikan adalah
meletakkan posisi Al Quran di tempat yang seharusnya. Akal manusia dapat berkembang
dalam memahami nash-nash Al Quran sejalan dengan fenomena kemajuan peradabannya,
namun ia harus tetap berada dalam batas-batas makna yang ditunjukkan oleh nash-nash itu
sendiri dan dalam batas pengertian penafsiran yang harus dijaga sebaik-baiknya agar jangan
sampai terseret kepada makna atau pengertian yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan
nash-nash Al Quran.
IJAZ AL-QURAN
1. Definisi
Kata mujizat/Ijaz diadopsi dari bahasa Arab ( ajaza) yang berarti melemahkan
atau menjadikan tidak mampu. Isim failnya adalah ( mujiz). Sementara kemampuan
untuk melemahkan pihak lain amat menonjol sampai lawan pun diam seribu bahasa, tidak
bias menandingi kemampuan ini, itulah yang disebut mujizat.[1]
Banyak ulama yang mendefinisikan mujizat ini. Namun demikian, definisi yang
mereka ketengahkan tidak jauh berbeda. Esensi yang diinginkan cenderung sama.
Mujizat atau Ijaz menurut istilah adalah kemampuan luar biasa yang terjadi kepada
seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya terhadap risalah yang dibawanya.[2]
Tujuan dari mujizat pada hakikatnya adalah untuk meyakinkan manusia bahwa orang
yang membawa mujizat adalah benar-benar seorang nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya
adalah benar-benar berasal dari sisi Allah SWT. Oleh karena itu, kemujizatan Al Quran
merupakan bukti nyata dan meyakinkan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah benar-benar
seorang Nabi dan rasul, sekaligus membuktikan bahwa Al Quran adalah kalamullah yang
mutlak kebenarannya.
Mukjizat berfungsi sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak
atau terjadi melalui mereka diibaratkan sebagi ucapan Tuhan : apa yang dinyatakan sang
Nabi adalah benar. Dia adalah utusan Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat
ini.
Mukjizat, walaupun dari segi bahasa berarti melemahkan sebagaimana di kemukakan
diatas, namun dari segi agama, ia sama sekali tidak di maksudkan untuk melemahkan atau
membuktikan ketidakmampuan yang di tantang. Mukjizat di tampilkan oleh Tuhan melalui
hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran ilahi yang di bawa oleh
maing-masing Nabi. Jika demikian halnya, maka ini paling tidak mengandung dua
konsekuensi:
Pertama, bagi yang telah percaya pada Nabi, maka ia tidak lagi membutuhkan
mukjizat. Ia tidak lagi ditantang untuk melakukan hal yang sama. Mukjizat yang dilihat atau
dialaminya hanya befungsi memperkuat keimanan, serta menambah keyakinan akan
kekuasaan Allah swt.
Kedua, Para Nabi sejak Adam as hingga Isa as, diutus untuk suatu kurun tertentu.
Tantangan yang mereka kemukakan sebagai mukjizat pasti tidak dapat dilakukan oleh
umatnya. Namun apakah ini berarti peristiwa luar biasa yang terjadi melalui mereka itu tidak
dapat dilakukan oleh selain umat mereka pada generasi sesudah generasi mereka ?. Jika
tujuan mukjizat hanya untuk meyakinkan umat setiap nabi, maka boleh jadi umat yang lain
dapat melakukannnya. Kemungkina ini lebih terbuka bagi mereka yang berpendapat bahwa
mukjizat pada hakikatnya berada dalam jangkaun hukum-hukum (Allah yang belaku di)
alam. Namun, ketika hal itu terjadi, hukum-hukum tersebut belum lagi diketahui oleh
masyarakat nabi yang bersangkutan.[4]
Jadi tujuan dan fungsi mukjizat bukanlah untuk melemahkan atau membuktikan
ketidakmampuan suatu kaum dimana seorang nabi diutus, tapi sebagai bukti yang nyata bagi
kebenaran risalah yang di bawanya.
Di sisi lain, Al-Quran mengharapkan untuk ditandingi. Hal ini membuktikan bahwa
al-Quran adalah kitab suci yang benar. Al-quran juga mampu merubah karakter umat dari
kondisi yang tidak beradab ke perilaku positif dan budi pekerti yg luhur.
Peran lain dari Al-Quran adalah untuk menumbangkan dan menghancurkan
kepercayaan manusia penyembah berhala yang marak pada waktu itu.
Jika kita sebutkan secara rinci tentang tujuan ijazul Quran, maka dapat di sebutkan
di antaranya yaitu :
1) Membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw yang membawa mukjizat kitab Al-Quran itu
adalah benar-benar seorang Nabi dan Rasul Allah. Beliau diutus untuk menyampaikan ajaran-
ajaran Allah SWT kepada umat manusia dan untuk mencanangkan tantangan supaya
menandingi al-Quran kepada mereka yang ingkar.
2) Membuktikan bahwa kitab al-Quran itu adalah benar-benar wahyu Allah SWT, bukan
buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad saw. Sebab pada kenyataannya
mereka tidak bisa membuat tandingan seperti al-Quran sehingga jelaslah bahwa al-Quran
itu bukan buatan manusia.
3) Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghahnya bahasa manusia, karena terbukti
pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang mampu mendatangkan kitab
tandingan yang sama seperti al-Quran, yang telah ditantangkan kepada mereka dalam
berbagai tingkat dan bagian al-Quran.
4) Menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding
dengan keangkuhan dan kesombongannya. Mereka ingkar tidak mau beriman dan sombong
tidak mau menerima kitab suci itu.
Ayat ini jelas-jelas telah menurunkan kuantitas tantangannya yang semula seluruh al-
Quran menjadi sepuluh surat saja untuk dibuat yang semisal dengannya. Namun sekali lagi,
hal ini mustahil untuk mereka lakukan.
Tahapan yang terakhir adalah tantangan Al-Quran kepada manusia untuk membuat satu
surat saja yang semisal dengan Al-Quran. Al-Quran telah menyebutkan hal ini dalam surat
al-Baqarah ayat 23 yang artinya:
dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al
Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa
karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.
Demikianlah tahapan-tahapan mujizat al-Quran yang merupakan tahaddi kepada
makhluk untuk menandinginya, jika diringkas ada dua macam, yaitu:
a. Ajakan bertanding secara umum.
Ajakan ini disediakan untuk semua golongan seperti yang didengungkan ayat 88 dari
surat Al-Isra
Yang bersifat kully (keseluruhan), yaitu ajakan bertanding dengan seluruh Al-Quran
mengenai hukum-hukumnya, keindahanya, balaghohnya dan kejelasannya.
Yang bersifat juzi (bagian), yaitu ajakan bertanding dengan semisal satu surat Al-
Quran, walaupun dari surat yang pendek seperti surat Al-Kautsar.
B. Kadar Mujizat
Terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang kadar kemujizatan al-Quran.
Sedikitnya terdapat tiga pendapat tentang kadar kemujizatan al-Quran ini, yaitu:[7]
1. Kaum Mutazilah mengatakan bahwa seluruh al-Quran adalah mujizat tanpa terkecuali,
bukan sebagiannya ataupun dengan setiap suratnya secara lengkap.
2. Sebagian ulama berpendapat sebagian kecil atau sebagian besar dari Quran, tanpa harus satu
surah penuh, juga merupakan mukjizat berdasarkan firman Allah yang artinya:
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka
orang-orang yang benar. (QS. At-Thur : 34)
3. Ulama yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap
sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberapa ayat. Pendapat
ini berpegang pada ayat-ayat yang berhubungan dengan seberapa banyak kadar al-Quran.,
untuk bias disebut sebagai mujizat, dan ini ada kaitannya dengan tantangan yang dilontarkan
Al-Quran kepada ahli sastra pada waktu itu.
Namun demikian, kita tidak berpendapat bahwa kemujizatan itu hanya terletak pada
kadar-kadar tertentu. Kita dapat menemukan dan merasakan pada bunyi-bunyi hurufnya dan
alunan kata-katanya, sebagaimana kita dapatkan pada ayat-ayat dan surat-suratnya, bahwa al-
Quran adalah kalamullah.[8]
Dalam menjelaskan macam-macam Ijazil Quran para ulama berbeda pendapat. Hal
ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing, di antaranya yaitu :
1. Dr. Abd. Rozzaq Naufal, dalam kitab Al-Ijazu al-Adadi Lil Quranil Karimmenerangkan
bahwa ijazil Quran itu ada 4 macam, adalah sebagai berikut :
1) Al-Ijazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya, yang muncul ada pada masa
peningkatan mutu sastra Arab.
2) Al-Ijazut Tasyrii yaitu kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang muncul
pada masa penetapan hukum-hukum syariat Islam.
3) Al-Ijazul Ilmu yaitu kemukjizatan segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa
kebangkitan ilmu dan sains di kalangan umat Islam.
4) Al-Ijazul Adadi, yaitu kemukjizatan segi quantity / matematis, statistik yang muncul pada
abad ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang.
2. Imam al-Khotthoby (wafat 388 H) dalam buku al-Bayan fi Ijazil Quran mengatakan bahwa
kemukjizatan al-Quran itu terfokus pada bidang kebalaghahan saja.
3. Imam al-Jahidh (w. 255 H) di dalam kitab Nudzumul Quran dan Hujajun Nabawiyah
serta al-Bayan wa at-Tabyin menegaskan bahwa kemukjizatan al-Quran itu terfokus pada
bidang susunan lafal-lafalnya saja, maksudnya, ijazul Quran itu hanya satu macam saja,
yaitu kemukjizatan susunannya dengan semboyan :
4. Moh. Ismail Ibrahim dalam buku yang berjudul Al-Quran wa Ijazihi al-Ilmi mengatakan,
orang yang mengamati al-Quran dengan cermat, mereka akan mengetahui bahwa kitab itu
merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, baik ilmu-ilmu lama maupun
ilmu-ilmu baru.
5. Dr. Muhammad Salim Ubaidat juga menyebutkan bahwa Ijazul Quran itu ada empat,
yaitu:[9]
a. Al-Ijaz bi al-Ikhbar an al-mughibat, yaitu kemujizatan al-Quran dalam memberitakan
hal-hal yang ghaib, yang kita tidak tahu kecuali kita al-Quran tela menyebutkannya.
b. Al-Ijaz al-Ilmiy, yaitu kemukjizatan segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa
kebangkitan ilmu dan sains di kalangan umat Islam.
c. Al-Ijazut Tasyrii yaitu kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang
muncul pada masa penetapan hukum-hukum syariat Islam, yang letak kemujizatannya
adalah bahwa syariah dating kepada umat manusia sesuai dan cocok setiap saat dan zaman
(shalihul likulli zaman wal makan).
d. Al-Ijaz al-Bayaniy (al-Fashahah, wa al-Balaghah wa al-Bayan), kemukjizatan segi sastra
balaghahnya, yang muncul ada pada masa peningkatan mutu sastra Arab.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
al-Qaththan Manna, 1999. Mabahits fi Ulumil Quran, juz 5. Bairut: Penerbit Ar-Risalah.
Chirzin, Muhammad,1998. Al-Quran dan Ulumul Quran. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Katsir, Ibnu, 1999. Tafsir al-Quran al-Adzim, (Tahqiq: Samiy ibn Salamah). Riyadh: Dar Thayyibah li an-Nasyr wa at-Tawuzi.
Shihab, M. Quraish, 1998. Mujizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib. Bandung:
Mizan.
[1] M. Quraish Shihab, Mujizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib,
(Bandung: Mizan, 1998), hal. 23.
[2] M. Quraish Shihab, Ibid. hal. 23.
[3] Ibid. hal. 38 dan seterusnya.
[4] M. Quraish Shihab, Ibid. hal. 33.
[5] Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Quran, juz 5, (Bairut: Penerbit Ar-Risalah, 1999), hal 259.
[6] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Tahqiq: Samiy ibn Salamah), (Riyadh: Dar Thayyibah li an-Nasyr wa at-
Tawuzi, 99), hal. 117.
[7] Manna Qaththan, Ibid., hal 264.
[8] Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 100.
[9] Muhammad Salim Ubaidat, Dirasat fi Ulum al-Quran, (Dar al-Ammar), hal. 221-224.
Posted in: Artikel,Umum