Anda di halaman 1dari 9

AMICUS CURIAE DALAM PROSES PERADILAN

PIDANA ANAK SEBAGAI PENGGUNA NARKOTIKA

Ni Putu Widyaningsih, Kejaksaan Negeri Denpasar,


E-mail: niputuwidyaningsih1985@gmail.com

Abstract
This research will discuss the mechanism of Amicus Curiae in juvenile criminal justice processes as
narcotics users. The research method is a normative law using a statute approach and a conceptual
approach. For the purpose of discussing the problem, in this study used research sources in the form of
legal materials (primary and secondary) and non-legal materials. After going through the discussion and
analysis, it can finally be concluded that the Amicus Curiae concept is in line with the provisions in
national law, requiring the Judge to provide space and open the widest possible information and opinions
from various circles, both to the parties who litigate directly, or receive input from parties outside the
parties who have litigated both in the form of legal opinions and in the form of Amicus Curiae. The
Amicus Curiae concept helps in the criminal justice process of children as narcotics users. Judge's
decision by using Amicus Curiae in its consideration both in terms of philosophical, sociological,
juridical, and legal objectives is a form of legal reform and rechtvinding the judge as a law enforcement
institution that not only prioritizes legal certainty but also provides justice for children without
sacrificing children's rights as a child the next generation.

Keywords : Amicus Curiae, Child Narcotics Users, Juvenile Criminal Justice System

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme Amicus Curiae dalam proses peradilan
pidana anak sebagai pengguna narkotika. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis
normatif atau penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan substansi hukum yang bersifat
normatif, untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi
normatifnya dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Hasil penelitian diperoleh bahwa konsep Amicus Curiae sejalan dengan ketentuan
dalam hukum nasional, mewajibkan Hakim untuk memberikan ruang serta membuka seluas-
luasnya informasi dan pendapat dari berbagai kalangan, baik terhadap para pihak yang
berperkara langsung, maupun menerima masukan dari pihak di luar para pihak yang
berperkara baik secara tertulis dalam bentuk opini hukum maupun dalam bentuk Amicus
Curiae. Konsep Amicus Curiae membantu dalam proses peradilan pidana anak sebagai
pengguna narkotika. Putusan hakim dengan menggunakan Amicus Curiae dalam
pertimbangannya baik dari sisi filosofis, sosiologis, yuridis, dan tujuan hukumnya merupakan
bentuk legal reform dan rechtvinding hakim sebagai institusi penegak hukum yang tidak hanya
mengedepankan kepastian hukum tetapi juga memberikan keadilan bagi anak tanpa
mengorbankan hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa.

Kata Kunci : Amicus Curiae, Pengguna Narkotika, Sistem Peradilan Pidana

Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1092-1100 1092
E-ISSN: Nomor 2303-0569

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan
pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara dirasakan bukan
keputusan yang baik bagi anak dan memang ternyata tidak berhasil menjadikan anak
jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh
kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam
melakukan tindak kejahatan.1
Salah satu bentuk kejahatan di mana anak seringkali rentan terlibat dalam
suatu perbuatan pidana adalah terjerat narkotika. Beberapa faktor yang menyebabkan
seperti hubungan primer yang tidak harmonis dalam hal ini seorang anak yang kurang
perhatian dari orang tua dan keluarga, lingkungan sekunder yakni masyarakat dan
lingkungan tempat tinggal yaitu dalam pergaulan sehari-hari. Negara seharusnya
hadir dalam memberikan perlindungan kepada anak, akan tetapi Negara mengambil
sikap keras, namun keliru dalam mengatasi peredaran gelap narkotika dengan alasan
untuk melindungi generasi muda dari penggunaan narkotika. Negara justru sering
mengabaikan dan tidak menyediakan perlindungan penuh kepada anak yang
menggunakan narkotika. Bentuk perlindungan yang diberikan masih belum maksimal
terhadap kepentingan terbaik anak pengguna narkotika.2 Sistem pendidikan formal
yang diajarkan pada anak di Indonesia, semata-mata hanya menekankan pada bahaya
narkotika serta harapan akan dunia anak yang terbebas dari jeratan narkotika. Metode
dan sistem materi pendidikan yang diajarkan kepada anak tidak mengedepankan
diskusi interaktif dan inklusif mengenai narkotika, penjelasan hak atas kesehatan dan
kesalahpahaman mengenai dunia bebas narkotika, yang konsekuensinya dapat
menyuburkan pelabelan, stigmatisasi dan diskriminasi terhadap anak pengguna
narkotika. Keterbatasan dan minimnya pendidikan formal yang mengedukasi anak
mengenai akibat buruk narkotika dan apa solusi jika anak terlanjur terjerat narkotika?
Seorang anak pengguna narkotika akan cenderung enggan mencari pertolongan ketika
terlanjur menggunakan narkotika, hal itu dikarenakan pelabelan, stigmatisasi,
diskriminasi serta adanya penghukuman berat bagi pengguna narkotika akan
menjauhkan anak pengguna narkotika untuk mengakses layanan kesehatan yang
mereka butuhkan.
Pada aspek perawatan, sangat sedikit peraturan yang secara spesifik
menyebutkan layanan kesehatan bagi anak pengguna narkotika, walaupun ada, tidak
menyediakan ketentuan yang konkrit dan komprehensif. Permasalahan tersebut
memperlihatkan seolah-olah pemerintah acuh terhadap kondisi seorang anak sebagai
pengguna narkotika. Dampak daripada kekosongan hukum pada tataran
implementasi juga mengakibatkan tidak adanya jaminan hukum akan pemberian
layanan kesehatan bagi anak pengguna narkotika.
Dari sisi aspek penegakan hukum, sering ditemukan kriminalisasi terhadap
pengguna narkotika, termasuk pula anak sebagai pengguna narkotika. Anak pengguna
narkotika harus berhadapan dengan ancaman pidana yang cukup berat yang
disamakan dengan sanksi yang diterima oleh orang dewasa dalam kasus yang sama,

1 Jefrianto Sembiring, Mahmud Mulyadi, Marlina, Edy Ihkshan, “Pemberian Rehabilitasi

Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan Pengadilan)”, (USU Law
Jurnal, Vol. 5. No. 1 Januari 2017), h.95
2 Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, “Ketika Anak Peengguna Narkotika Tidak Lagi

Didengar”) Available from (https://lbhmasyarakat.org/ketika-anak-pengguna-narkotika-tak-lagi-


didengar/, 2016) diakses 12 Pebruari 2020

Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1092-1100 1093
E-ISSN: Nomor 2303-0569

hal ini yang akan menyulitkan anak pengguna narkotika untuk mendapatkan hak-
haknya. Sanksi yang diterima oleh anak pengguna narkotika lebih bersifat
penghukuman daripada pembinaan dan penyembuhan/rehabilitasi. Hal ini
dikarenakan pengguna narkotika masih dipandang sebagai kelompok pelaku
kejahatan paling serius dan tidak mendapat perlindungan dari Negara kendatipun
penggunanya adalah anak.3
Dalam melakukan penegakan hukum, aparat penegak hukum seperti polisi,
jaksa, hakim, pengacara, Lembaga pemasyarakatan dan semua institusi yang
berhubungan langsung dengan anak pengguna narkotika harus mengedepankan
kepentingan terbaik untuk anak serta memperhatikan hak-hak anak sebagai landasan
dalam mengambil tindakan hukum. Aparat penegak hukum seyogyanya memiliki
kompetensi dan pengetahuan yang baik mengenai hak anak yang berkonflik dengan
hukum diperlukan pelatihan dan pendidikan khusus tentang hak anak, termasuk
memahami konsep keadilan restoratif dalam pemidanaan. Dalam konsep keadilan
restoratif yang harus dikedepankan adalah dari sisi kemanusiaan yakni pemulihan
kondisi antara anak sebagai pelaku, dengan korban, dan lingkungan guna
menghindari pelabelan atau stigmatisasi anak manta narapidana. 4
Mekanisme amicus curiae sebagai bagian dari partisipasi masyarakat dalam
proses penegakkan hukum dan juga upaya untuk mendorong terwujudnya fungsi
pengadilan untuk menjaga dan melindungi hak-hak anak utamanya anak yang
berhadapan dengan hukum pidana. Mekanisme ini diharapkan sebagai bentuk
pembaharuan hukum dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak
khususnya terhadap anak pengguna narkotika dan berharap Pengadilan dapat
bertindak secara cermat dan hati-hati dalam memeriksa perkara pidana terhadap anak
pengguna narkotika dan menerapkan ketentuan undang-undang yang melindungi
hak-hak anak dengan lebih seksama.

1.1. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, adapun masalah yang diangkat dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah konsep Amicus Curiae dalam hukum nasional?
2. Bagaimanakah konsep Amicus Curiae dalam proses peradilan pidana anak sebagai
pengguna narkotika?

1.2. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengkaji dan
menganalisis tentang permasalahan konsep Amicus Curiae dalam hukum nasional yang
juga digunakan dalam proses peradilan pidana anak sebagai pengguna narkotika.

2. Metode Penelitian
Tulisan ini berdasarkan hasil penelitian hukum normatif yang menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Dua pendekatan ini digunakan untuk membangun argumentasi
dalam menjawab isu hukum yang diajukan dalam penelitian ini. Pendekatan
perundang-undangan digunakan untuk menelaah semua undang-undang dan regulasi

3Ibid.,
4 Arinta Dea Dini Singgi, Fuji Aotari dan Nila Rzqi Zakiah, “Ketika Anak Pengguna Narkotika
Tidak Lagi Didengar (Sebuah Tinjauan Hukum dan Kebijakan Indonesia Terhadap Anak Pengguna
Narkotika)”, (Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Jakarta, 2016) h.17

Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1092-1100 1094
E-ISSN: Nomor 2303-0569

yang berkaitan dengan dibukanya ruang mekanisme Amicus Curiae dalam proses
peradilan pidana anak sebagai pengguna narkotika. Pendekatan konseptual yang
beranjak dari pandangan- pandangan ahli dan doktrin-doktrin di bidang ilmu hukum
digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep yang tidak ditemukan definisi
konseptualnya dalam peraturan
Untuk membahas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini digunakan
bahan-bahan hukum, baik yang berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan meliputi UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem perundang-
undangan, terutama konsep Amicus Curiae dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia. Peradilan Pidana Anak, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak. Bahan hukum sekunder meliputi literatur-literatur
hukum yang relevan dengan isu hukum yang dibahas. Di samping itu, untuk
menunjang penulisan ini digunakan juga bahan-bahan non-hukum, seperti berita
dalam media cetak maupun online.
Pengumpulan bahan-bahan penelitian di atas dilakukan melalui penelusuran
literatur di perpustakaan dan internet dengan teknik pencatatan yang meniru model
kerja sistem kartu (card system). Bahan-bahan penelitian yang telah terkumpul
selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif dengan teknik-teknik penalaran dan
argumentasi hukum, seperti konstruksi hukum dan penafsiran hukum. Selanjutnya,
keseluruhan hasil penelitian disajikan secara deskriptif dalam bentuk uraian naratif.

3. Hasil Dan Pembahasan


3.1. Konsep Amicus Curiae Dalam Hukum Nasional
Konsep Amicus Curiae atau friends of court atau sahabat pengadilan adalah
masukan dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam
perkara tetapi menaruh perhatian atau berkepentingan terhadap suatu kasus. Hakim
dapat menggunakan Amicus Curiae sebagai bahan untuk memeriksa,
mempertimbangkan serta dalam memutus perkara. Hakim dapat membukan
informasi dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pihak yang merasa memiliki
kepentingan dengan suatu kasus. Amicus Curiae (sahabat pengadilan) berbeda dengan
pihak dalam intervensi karena para sahabat pengadilan (amici) tidak bertindak sebagai
pihak dalam perkara tetapi menaruh perhatian terhadap suatu kasus secara khusus.
Dalam beberapa perkara yang terjadi di Indonesia, Hakim pernah
menggunakan Amicus Curiae (sahabat pengadilan) sebagai pertimbangan sebelum
memutus perkara, salah satunya kasus Lalu Baiq yang terjadi setahun silam. Konsep
Amicus Curiae diberlakukan dalam sistem hukum Indonesia pada umumnya secara
yuridis didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”.

3.2. Konsep Amicus Curiae Dalam Proses Peradilan Pidana Anak Sebagai Pengguna
Narkotika

Perbedaan karakteristik antara anak dengan orang dewasa, harus dipandang


bahwa tindakan seorang anak yang cenderung melanggar Undang-Undang dapat

Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1092-1100 1095
E-ISSN: Nomor 2303-0569

dilihat sebagai suatu hal perilaku kenakalan walaupun kadangkala sama dengan
kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya, tetapi bukan berarti
sanksi yang diberikan juga sama. Anak tetaplah anak yang tentu saja masih mengalami
proses perkembangan fisik, mental, psikis, dan sosial menuju kesempurnaan seperti
yang dimiliki oleh orang dewasa. Konsekuensinya, reaksi yang diberikan terhadap
anak tidak sama dengan reaksi yang diberikan orang dewasa, yang lebih mengarah
kepada punitif.5
Ada dua hal yang menjadi dasar pemikiran dalam penyelenggaraan proses
peradilan pidana bagi anak yaitu: 6
1. Bahwa anak yang melakukan tindak pidana (kejahatan) bukan dipandang
sebagai penjahat (criminal), tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan
bantuan.
2. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya mengutamakan persuasif-
edukatif dan pendekatan (kejiwaan/psikologi) yakni sejauh mungkin
menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, bersifat
degradasi mental dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari
proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan kematangan
dan kemandirian secara wajar

Berbicara mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak


pidana, tidak saja terbatas pada perlindungan hukum represif seperti pemidanaan,
melainkan juga terfokus pada perlindungan hukum preventif. Pencegahan yang sangat
penting, mencegah anak tersebut memperoleh stigmatisasi sebagai pelaku tindak
pidana yang akan berimbas pada kehidupan sosial dan masa depan anak. Fungsi teori
perlindungan hukum dalam permasalahan yang dianalisis dalam penulisan ini adalah
untuk melindungi hak-hak anak sebagai pengguna narkotika. Perlindungan hukum
preventif jauh lebih dimaksimalkan disbanding represif.
Di mana kita ketahui bahwa anak tersebut masih dalam usia muda dan masih berada
di bawah pengawasan dan pembelajaran dari orang tuanya, sehingga dalam hal ini
diperlukan konsep rehabilitasi untuk mengobati anak tersebut dari ketergantungan
narkotika, dan bukan malah sebaliknya dijatuhi pidana penjara. Hal ini akan
membawa dampak buruk bagi psikologis si anak, jika dimasukkan ke dalam penjara
justru bentuk perlindungan hukum dari Negara tidak sinkron dengan hak-hak anak.
Jika kita melihat ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa seorang anak yang diduga melakukan
tindak pidana atau anak yang berkonflik dengan hukum berhak memperoleh
perlindungan baik preventif maupun represif seperti penghukuman yang tidak
manusiawi dan mengesampingkan hak-hak asasi anak. anak, berhak untuk
memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, dari sisi prosedur mulai dari
penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir

5
Nashriana, “Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia”, (PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2014) h.75
6
Lilik Purwastuti Yudaningsih & Sri Rahayu, “Reformasi Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Peradilan Pidana di Indonesia”, (Inovatif Jurnal Ilmu Hukum, ISSN
: 1907-6681, Vol. 6 No. 2, 2013,) h.106, diakses melalui https://online-
journal.unja.ac.id/jimih/article/view/2121, pada hari Senin 6 April 2020, Pk. 20.00 Wita

Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1092-1100 1096
E-ISSN: Nomor 2303-0569

(ultimum remidium) .7
Dalam konteks sebagaimana disebutkan di atas, maka respon terhadap
pelanggaran- pelanggaran yang dilakukan oleh anak menjadi sesuatu yang sangat
penting. Sebagaimana hak-hak orang lain, hak anak harus tetap dihormati, dihargai
dan dilindungi. Tiga kewajiban ini terletak dipundak negara, tanpa membedakan
apakah anak itu sendiri yang menjadi korban atau anak yang menjadi pelaku dari
suatu kejahatan atau pelanggaran. Sama seperti orang dewasa atau kelompok rentan
lainnya, anak-anak harus juga mendapatkan akses kepada keadilan yang menjadi
haknya. Akses kepada keadilan akan menjamin anak tumbuh dan berkembang
sebagaimana diinginkan oleh mereka sendiri, oleh keluarganya dan atau oleh
masyarakat. 8
Kepastian hukum dalam menghadapi situasi yang demikian, terhadap anak
sebagai pengguna narkotika tidak dapat diterapkan secara positivistik yang hanya
mengedepankan penghukuman sebagaimana sanksi yang dicantumkan dalam
Undang-Undang yang bersifat kaku. Sanksi pidana sesungguhnya hanya bersifat
reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif
terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tersebut tertuju pada
perbuatan yang dilakukan oleh anak pengguna narkotika, maka hal ini tidak akan
menolong anak tersebut dari jeratan narkotika, justru hanya memberikan sebuah
penghukuman. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan
(pengimbalan), dengan kata lain hanya memberikan penderitaan yang sengaja
diberikan kepada anak yang pengguna narkotika.
Jika dikaji dari sisi lain selain hukum, fungsi teori kepastian hukum disini
selain memberikan perlindungan preventif, juga untuk menjamin dan melindungi hak-
hak anak dari tuntutan hukum narkotika, mengingat perlunya kepastian hukum atas
sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan kepada anak pengguna narkotika. Tujuan
hukum, teori sistem hukum, dan teori efektivitas hukum. Menurut teori tujuan hukum,
bahwa hukum harus mewujudkan kepastian hukum, keadilan hukum dan
kemanfaatan hukum. Gustaf Radbruch pada konsep ajaran prirotas baku
mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan utama hukum adalah
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama
dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta
diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur
tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.9
Penjatuhan putusan pidana oleh majelis hakim terhadap anak pengguna
narkotika, ada ketidaksesuaian dengan tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustaf
Radbruch, dalam hal ini dari sisi keadilan dan kemanfaatan. Anak yang rentan
terhadap pengaruh lingkungan sosialnya, yang masih mengadopsi pengalaman-
pengalaman sosialnya tidak bisa secara absolut dijatuhi putusan pidana yang
bertujuan memberikan efek jera semata. Konsep amicus curiae dibutuhkan guna
membantu hakim dalam menjatuhkan putusan yang bersifat rasional dan humanis
terhadap anak pengguna narkotika. Amicus Curiae dibutuhkan sebagai satu bentuk
keterbukaan hakim dalam menggali dan menemukan informasi dan fakta-fakta di

7 Emy Rosna Wati, “Penanganan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum”, (Justitia Jurnal Hukum
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Volume 1 No. 2 Oktober 2017, ISSN Cetak : 2579-
9983, E-ISSN : 2579-6380, 2017) h. 282
8
Saifuddin, “Akses Kepada Keadilan Bagi Anak”, (Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 54, Th. XIII
Agustus 2011), pp. 57-76
9 Ibid.,h. 98

Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1092-1100 1097
E-ISSN: Nomor 2303-0569

lapangan yang tidak bisa diajukan pada saat pemeriksaan di persidangan. Peran dari
amicus curiae ini menjadi sangat dibutuhkan dalam memberikan pertimbangan-
pertimbangan logis terhadap kasus anak pengguna narkotika, sehingga hakim dalam
menjatuhkan putusan bisa menerapkan undang-undang secara tepat dan seksama
tanpa harus mengorbankan hak-hak anak. Serta mencegah adanya stigmatisasi anak
mantan narapidana.
Kendati di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak diatur
secara eksplisit, namun dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa mewajibkan Hakim
untuk membuka seluas-luasnya informasi dan pendapat dari berbagai kalangan, baik
yang menjadi para pihak yang berperkara, maupun melalui masukan dari pihak di
luar para pihak yang berperkara termasuk dalam bentuk Amicus Curiae. Meskipun
Amicus Curiae tidak wajib dipergunakan oleh Hakim dalam memeriksa,
mempertimbangkan serta memutus memutus perkara, bahkan keberadaan Amicus
Curiae menjadi penting dalam upaya kemajuan perwujudan negara hukum yang
demokratis. Hal ini berarti Indonesia membuka ruang bagi peran Amicus Curiae dalam
membantu proses pemeriksaan perkara khususnya terhadap anak yang diduga
melakukan tindak pidana atau anak yang berhadapan dengan hukum.
Amicus Curiae pada kasus anak pengguna narkotika pada prinsipnya harus
menjabarkan tujuan dibuatnya Amicus Curiae, kronologis perkara, pengungkapan
fakta-fakta di lapangan yang dikaji dari perspektif filosofis, sosiologis dan yudiris
mengapa anak tersebut bisa tersangkut kasus narkotika. Dikembangkan dengan
mencantumkan dasar hukumnya dan dasar hukum penjatuhan sanksi pidana terhadap
anak pengguna narkotika. Beberapa referensi kasus yang menggunakan Amicus Curiae
dalam penjatuhan putusan oleh hakim diperlukan guna membantu hakim dalam
membuat pertimbangan-pertimbangan khusus sebelum putusan pidana terhadap anak
dijatuhkan.
Selanjutnya bagian akhir adalah memberikan rekomendasi kepada hakim
dalam menjatuhkan putusan yangh pada pokoknya menjelaskan tentang :
1. Hakim hendaknya dalam menjatuhkan putusan yang pelakunya seorang anak
harus mempertimbangkan dari sisi keadilan, kepastian dan kemanfaatan tanpa
menyesampingkan hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa;
2. Dalam hal penanganan kasus yang sama, seorang Hakim dapat menerapkan
hukum yang berisfat kontekstual serta sejalan dengan penanganan kasus-kasus
yang sama sebelumnya;
3. Hakim dalam menjatuhkan putusan dan menerapkan hukumnya harus bisa
melakukan rechtvinding dengan menggali hukum dan informasi-informasi lain yang
berkaitan dengan kasus, salah satunya adalah Amicus Curiae ini;

4. Kesimpulan
Konsep Amicus Curiae sejalan dengan ketentuan dalam hukum nasional, secara
yuridis hakim diwajibkan untuk membuka seluas-luasnya informasi dan pendapat
dari berbagai kalangan sebagai bentuk penemuan hukum dengan menggali hukum
yang ada di masyarakat serta fakta-fakta baru yang konkrit yang berkaitan dengan
perkara yang sedang ditangani, baik yang menjadi para pihak yang berperkara,
maupun melalui masukan dari pihak di luar para pihak yang berperkara termasuk
dalam bentuk Amicus Curiae dalam memeriksa, mempertimbangkan dan memutus
suatu perkara khususnya terhadap perkara anak yang diduga melakukann tindak
pidana narkotika. Konsep Amicus Curiae membantu dalam proses peradilan pidana

Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1092-1100 1098
E-ISSN: Nomor 2303-0569

anak sebagai pengguna narkotika. Putusan hakim dengan menggunakan Amicus Curiae
dalam pertimbangannya baik dari sisi filosofis, sosiologis, yuridis, dan tujuan
hukumnya merupakan bentuk legal reform dan rechtvinding hakim sebagai institusi
penegak hukum yang mengedepankan kepastian hukum bukan dari sisi hukum secara
positivistic dan kaku melainkan dari sisi perlindungan hak-hak asasi anak dan juga
mengedepankan sisi keadilan bagi anak tanpa mengorbankan hak-hak anak sebagai
generasi penerus bangsa.

Daftar Pustaka
Buku
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2014)
Arinta Dea Dini Singgi dan Fuji Aotari, Nila Rzqi Zakiah, Ketika Anak Pengguna
Narkotika Tidak Lagi Didengar (Sebuah Tinjauan Hukum dan Kebijakan
Indonesia Terhadap Anak Pengguna Narkotika, Lembaga Bantuan Hukum
Masyarakat, Jakarta, 2016)

Jurnal
Emy Rosna Wati, “Penanganan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum”, (Justitia
Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya,
Volume 1 No. 2 Oktober 2017, ISSN Cetak : 2579-9983, E-ISSN : 2579-6380, 2017)
Jefrianto Sembiring, Mahmud Mulyadi, Marlina, Edy Ihkshan, “Pemberian Rehabilitasi
Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan
Pengadilan)”, (USU Law Jurnal, Vol. 5. No. 1 Januari 2017),
Lilik Purwastuti Yudaningsih & Sri Rahayu, “Reformasi Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Peradilan Pidana di
Indonesia”, (Inovatif Jurnal Ilmu Hukum, ISSN : 1907-6681, Vol. 6 No. 2, 2013),
diakses melalui https://online-journal.unja.ac.id/jimih/article/view/2121,
pada hari Senin 6 April 2020, Pk. 20.00 Wita
Saifuddin, “Akses Kepada Keadilan Bagi Anak”, (Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 54,
Th. XIII, Agustus 2011)

Website
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, “Ketika Anak Peengguna Narkotika Tidak
Lagi Didengar”,2016, Available from (https://lbhmasyarakat.org/ketika-anak-
pengguna-narkotika-tak-lagi-didengar/, (diakses 12 Pebruari 2020)
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI FHUI), “Tolak Penjarakan Korban
Kekerasan Seksual, Komentar Tertulis Sebagai Amicus Curiae (Sahabat
Pengadilan) Terhadap Perkara Nomor: 6/PID.SUS-Anak/2018/JMB di
Pengadilan Tinggi Jombang”, 2018, Available from http://mappifhui.org/wp-
content/uploads/2018/08/Amicus-Curiae-MaPPI-FHUI-sosmed.pdf, (diakses
12 Pebruari 2019).

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076

Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1092-1100 1099
E-ISSN: Nomor 2303-0569

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5332

Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1092-1100 1100

Anda mungkin juga menyukai