Anda di halaman 1dari 17

Tugas Pengayaan

1. Struktur teks putrid tangguk

No
Struktur Teks Kalimat dalam Teks
.
Alkisah, diDesa Bunga Tanjung ada seorang perempuan
tua yang mempunyai huma. Humanya tidak begitu luas,
1. Orientasi hanya seluas tangguk penangkap ikan. Tetapi hasilnya
melimpah ruah. Putri Tangguk nama perempuan itu. Ia
memiliki tujuh orang anak.
2. Insiden Pada suatu malam, Putri Tangguk dan suaminya sedang
berbincang – bincang tentang masa depan keluarganya.
Ketika itu, ketujuh anak mereka sudah tidur pulas. “ Wahai
Kakanda “ kata Putri Tangguk kepada suaminya sambil
menghela napas panjang. “ Kita telah berkerja terus –
menerus dan tidak henti – henti menuai padi. Hamba
merasa sangat lelah. Anak – anak kita pun tidak terurus
lagi. Lihatlah anak – anak kita yang tidak pernah lagi
berdandan “ Ya “ Jawab suaminya sambil duduk “ Kalau itu
keinginan Dinda, Kanda tidak akan berhuma lagi karena
ketujuh lumbung padi sudah penuh “. Hujan yang turun
malam itu sangat lebat membuat suasana tempat tinggal
Putri Tangguk semakin sunyi.
Keesokan harinya, pagi yang masih dingintidak
menghalangi niat Putri Tangguk dan suaminya kesawah
untuk menuai padi.
Pekerjaa itu biasa mereka lakukan setiap pagi demi
memenuhi kebutuhan keluarga . Jalan menuju huma yang
mereka tuju sangat licin sehingga Putri Tangguk berserta
suami dan anak – anaknya sering tergelincir. Bahkan, anak
– anaknya ada juga yang terjatuh. Perempuan setengh
baya itu tampak kesal.
“ Jalan licin!” terdengar Putri Tangguk menyumpah. “ Hari
ini kita tidak perlu lama berkerja. Padi yang tertuai kita
tumpahkan di jalan ini sebagai pengganti pasir. Besok kita
masih dapat menuai padi, “ kata Putri Tangguk sambil
menggerutuk. Hari itu mereka cepat kembali kerumah.
Padi yang sudah tertuai, mereka taburkan disepanjang
jalan yang mereka lalui. Mereka berharap jalan yang selalu
mereka lalui tidak licin lagi.
Pada suatu malam anak Putri Tangguk terbangun dan
menangis meminta nasi untuk makan. Putri Tangguk Pergi
kedapur untuk mengambil nasi. Ketika tutup periuk dibuka,
Putri Tangguk terkejut karena tidak ada nasi didalamnya.
Kemudian, ia berjalan menuju lumbung yang digunakan
untuk menyimpan beras dan padi. Ia sangat terkejut ketika
melihat lumbung kosong. Dengan setengah berlari, Putri
Tangguk menuju lumbung lain.
Ia semakin terkejut karena didalam ketujuh lumbung padi
yang dimilikinya tidak sebutir beras atau padi
yangditemuinya. Setelah menyampaikan apa yang
ditemuinya itu, Putri Tangguk dan suaminya bergegas
berangkat menuju huma mereka. Dalam keadaan sedih,
Putri Tangguk pulang kerumah. Kesedihannya semakin
bertambah ketika mendengar tangisan anak – anaknya
yang kelaparan. Putri Tangguk jatuh miskin akibat
kesombongannya dengan membuang – buang padi
semuanya di jalan yang dilewatinya.
Sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa manusia tidak
boleh sombong dan angkuh.
Manusia tidak boleh menghambur – hamburkan kekayaan
karena semuanya merupakan anugerah dan titipan Sang
3. Interpretasi
Pencipta. Putri Tangguk yang pada mulanya sangat kaya
jatuh miskin karena kesombongan dan keangkuhannya. Ia
tidak mensyukuri kekayaan yang telah diberikan Tuhan
kepadanya.

2. Perilaku baik perilaku buruk tokoh utama dan tokoh pendamping

Tokoh Utama : Putri Tangguk Tokoh Pendamping : Suami Putri Tangguk


Perilaku baik : Pekerja keras Perilaku baik : Pekerja keras
Perilaku Buruk : Sombong Perilaku Buruk : Sombong

3. Lima Insiden dalam teks Putri Tangguk


1. Jalan menuju huma yang mereka tujuh sangat licin sehingga Putri Tangguk
beserta suami dan anak – anaknya sering tergelincir.
2. Anak Putri Tangguk terbangun dan menangis meminta nasi untuk makan.
3. Ketika tutup periuk dibuka, Putri Tangguk terkejut karena tidak ada nasi
didalamnya.
4. Ia sangat terkejut ketika melihat lumbung itu kosong.
5. Kesedihannya semakin bertambah ketika mendengar tangisan
anak – anaknya yang kelaparan.

4. Ciri – ciri kebahasaan Teks Putri Tangguk

a. Kata Keterangan Tempat, Waktu, Tujuan, dan Cara.


1. Alkisah, di Desa Bunga Tanjung ada seorang perempuan tua yang
mempunyai huma.
2. Pada suatu malam, Putri Tangguk dan suaminya sedang
berbincang – bincang tentang masa depan keluarganya.
3. Keesokan harinya, pagi yang masih dingintidak menghalangi niat Putri
Tangguk dan suaminya kesawah untuk menuai padi.
4. Putri Tangguk jatuh miskin akibat kesombongannya dengan
membuang – buang padi semuanya di jalan yang dilewatinya.

b. Kata Hubungan Intrakalimat dan Antarkalimat.


1. Humanya tidak begitu luas, hanya seluas tangguk penangkap ikan. Tetapi
hasilnya melimpah ruah.
2. Kalau itu keinginan Dinda, Kanda tidak akan berhuma lagi karena ketujuh
lumbung padi sudah penuh .
3. Ketika tutup periuk dibuka, Putri Tangguk terkejut karena tidak ada nasi
didalamnya. Kemudian, ia berjalan menuju lumbung yang digunakan untuk
menyimpan beras dan padi.

c. Kalimat Majemuk Setara dan Bertingkat.


1. Kita telah berkerja terus – menerus dan tidak henti – henti menuai padi.
2. Humanya tidak begitu luas, hanya seluas tangguk penangkap ikan. Tetapi
hasilnya melimpah ruah.
3. Kalau itu keinginan Dinda, Kanda tidak akan berhuma lagi karena ketujuh
lumbung padi sudah penuh .
4. Jalan menuju huma yang mereka tujuh sangat licin sehingga Putri Tangguk
beserta suami dan anak – anaknya sering tergelincir
D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

NAMA : REFITA TRI REJEKI

KELAS : IX. I

GURU PEMBIMBING : SUYONO, SPd


Sepasang Sayap

Sekelebat bayangan hitam melintas begitu saja di depan mataku. Tak begitu
jelas apa tadi itu, yang jelas, benda atau makhluk tadi memiliki bulu, bulu yang putih
seputih salju.

Diriku kini berada di sebuah padang pasir sepi nan sunyi. Aku bahkan bisa
mendengar deru angin menerbangkan hamparan pasir, suara kakiku yang tengah
berjalan serta suara detak jantungku yang begitu keras. Sungguh, aku sangat takut
sendiri. Ku harap ini Hanya mimpi , mimpi seram di pagi hari.

*@*

Tak biasanya sang surya hanya menampakan sebagian dari dirinya dan
sebagian lagi bersembunyi di antara awan-awan sehingga pagi ini langit terlihat begitu
suram.

Sebuah kamar tidur dengan buku-buku yang Berantakan serta baju yang
berserakan. Di bagian tembok terdapat poster Che Guevara yang terlihat miring,
menggambarkan keadaan kamar yang tak terbilang rapi itu.

“Kringg... kriiiing...” suara jam weker yang menggema seakan berusaha


membangunkan seseorang yang masih terbenam di selimut halusnya.

Seorang dalam kasur itu bergerak untuk berganti posisi. Tubuhnya enggan
bangun, ia masih ingin berlama-lama terbaring.

Bunyi jam weker makin keras, namun masih dihiraukannya. Matanya masih
terpejam rapat, tubuhnya masih berbaring enggan untuk terjaga.

Nampaknya jam weker itu belum menyerah. Suaranya makin keras hingga pria
itu menyerah lalu membuka matanya.

Pria itu bangun terduduk di atas ranjang. Rambutnya Berantakan dengan mata
setengah terpejam, sesekali ia masih menguap.

Si pria bangkit dengan gerakan malasnya. Ia berjalan terseret-seret dengan mata


yang masih setengah terpejam.

Ia menghentikan langkahnya secara tiba-tiba alangkah yang kedua. Ia meraba


punggungnya yang terasa ganjal.

“sepertinya ada sesuatu yang aneh bergerak-gerak di punggungku...” gumamnya


sekaligus menjadi kalimat pertamanya di pagi ini.

Di penuhi rasa penasaran, pria itu membuka bajunya hingga setengah telanjang.
Ia mendapati sepasang kulit bertulang lunak yang ditumbuhi bulu putih menempel di
pungungnya.

“Mu...mustahil, manusia tidak mungkin punya sayap... ini tak masuk akal” pria itu
begitu shock setelah mengetahui kenyataan bahwa dirinya memiliki sayap. Memang
ada sebuah teori yang mengatakan manusia dulunya merupakan bangsa burung,
namun fakta itu tentunya masih samar-samar kebenarannya. Pendapat yang paling
kuat tentunya teori bahwa manusia merupakan salah satu dari keluarga primata, tanpa
sayap.
Manusia tidak memiliki sayap. Tak ada bukti sejarah yang mengatakan bahwa
satu saat manusia memiliki sayap, kecuali penggambaran dewa/dewi Yunani dengan
sepasang sayap putih di punggung.

Sang pria bersayap itu membuka lemari pakaiannya , ia mengambil sebuah


perban lalu melilitkannya miring vertikal lalu secara horizontal lurus.

“Sepertinya sudah cukup” ucap sang pria setelah memastikan tak satu pun yang
ia lupakan, padahal ia baru saja melupakan satu hal, yaitu ‘mandi’.

Sang pria memakai jas kerjanya, ia lalu langsung bergegas pergi bekerja dengan
sayap yang masih tertempel, namun keadaanya terlilit.

Di perjalanan menuji tempat kerja, aku melihat semua orang mentapku dengan
tatapan Ana, entah karena mereka tahu keanehanku atau karena sikapku yang aneh,
yang jelas aku benci mendapat tatapan demikian.

Saat sudah berada di kantor pun tak jauh berbeda, semua orang mentapku
dengan tatapan penuh pertanyaan yang tak tersampaikan. Hal itu mungkin disebabkan
oleh sikap anehku yang tak mengizinkan semua orang memperhatikan punggung.
Sungguh, sayap yang berada di punggungku ini nebgubah segalanya.

“Buka saja bajumu...”

“Tidak ah... aku lebih nyaman seperti ini”

“Apa kau tak kepanasan ?”

“Tidak sama sekali”

Pria tua berkaca mata yang kini hanya mengenakan singlet dan celana
kantornya itu memperhatikan keringat yang bercucuran di sekitar wajahku.

“Zama, kau terlihat aneh hari ini, apa ada masalah ?” ucapnya

“Tidak sama sekali” ucapku dengan wajah yang kurang meyakinkan

Ia kembali memperhatikanku. Setelah beberapa saat ia pun berlalu.

Hari-hari yang melelahkan di kantor. Zama terlihat tengah berjalan pelan dengan
tas punggungnya. Langkahnya terlihat berat, wajahnya terlihat muram, seharian ini dia
memang sedang banyak pikiran.

Saat ia tengah berjalan melewati tempat pembangunan gedung, terlihat


kerumunan manusia memadati tempat itu.

“Apa yang terjadi ?” gumamnya heran saat melihat beberapa orang berbondong-
bondong masuk pada kerumunan.Seperti orang-orang yang lain, Zama memasuki
kerumunan. Ia harus desakan dengan orang-orang yang sama penasarannya.
“Apa orang-orang itu baik-baik saja ?”

“Sudahkah pemadam dihubungi ?”

“Aku tak berani melihat, itu sangat mengerikan”

Yang sedang mereka tonton dan bicarakan adalah seorang pekerja bangunan
yang tergantung tak berdaya, hampir jatuh.

Zama merasa iba melihatnya. Ia mulai berpikir tentang sesuatu yang bisa ia
lakukan untuk menyelematkannya.

‘Aku punya sayap! Aku bisa menyelamatkannya!!’ batinnya

Zama keluar dari kerumunan itu, ia lalu berlari dengan sisa tenaganya menuju
gedung yang masih setengah jadi itu. Terlihat sesuatu yang menonjol dibalik
punggungnya. Sesuatu itu memberontak keluar yang menyebabkan baju Zama robek di
bagian belakang, memperlihatkan sepasang sayap putih yang tengah mengepak
bebas, berusaha mengangkat tubuh Zama ke udara.

Perlahan langkah kakinya sudah tak menapak di tana, ia mulai berlari di atas
udara. Tubuhnya mulai terangkat dan ia mulai terbang melesat ke arah si pekerja.

“Manusia bersayap ?”

“Mustahil!!!”

“Manusia tak mungkin punya sayap”

“Apakah dia dewa ?”

Gumam orang-orang di kerumunan sambil mengarahkan kamera ponsel mereka


ke arah Zama yang tampil dengan sepasang sayapnya.

Si pekerja sudah tak bisa menahan beban tubuhnya. Dengan pasrah ia


melepaskan pegangan yang otomatis menyebabkan tubuhnya terjun ke bawah.

‘Greb!’

Beruntung, Zama dengan tepat menangkap tubuh si pekerja. Sorak-sorak


penonton membahana. Kerumunan tadi mulai meneriakinya sebgai pahlawan.

Zama membawa pria itu ke puncak sebuah gedung. Pria itu masih memejamkan
matanya dan masih belum mengetahui keadaan sebenarnya.

Perlahan si pria membuka matanya...

“Whoa!!! Apa kau malaikat ? dan dimana aku ?”

Zama tak menjawab, ia malah kebalikan badan, membelakangi si pria yang


masih terheran-heran.

Satu hal yang ia pelajar dari kejadian ini adalah ‘tidak semua keanehan yang kita
miliki merupakan kekurangan, melainkan dapat menjadi sebuah keistimewaan yang tak
dimiliki orang lain’

Sepasang sayap Zama kembali mengepak, perlahan tubuhnya terangkat, ia


kembali terbang melesat ke angkasa, entah ke mana tujuannya.
Bayang Cahaya Warna Kematian

“Bu, kasihan! Pak!” Ucap seorang gadis kecil berbaju lusuh sambil menampan ke
arah orang-orang yang ada di sekitar tempat itu.

Beberapa orang memberi sekoin uang. Beberapa lagi mengusirnya dengan


keras. Dan beberapa lagi tidak memberi dan menjawab perkataannya sama sekali.
Gadis kecil itu terus berjalan di kehiruk pikukan kota saat itu. Langkahnya sedikit
terseok-seok mengingat kemarin dia terjatuh di aspal akibat diusir oleh seorang pria
gemuk. Walau pun seperti itu, si gadis tak pernah memendam dendam sedikit pun
kepada mereka yang telah memperlakukannya semena-mena. Dia pun tak pernah
memberikan pandangan buruk terhadap mereka. Hanya seulas senyum yang bisa dia
lakukan untuk menerima apa pun yang orang-orang itu lakukan padanya. Walau
sebenarnya senyum di atas lukanya sendiri. Lantas apa lagi yang harus dia lakukan?
Jika dia harus mendendam kepada mereka pun, tak ada gunanya.

Gadis itu masih terus menampan dan meminta kepada mereka yang dengan
suka rela memberinya. Tak ada paksaan baginya. Siapa saja yang mau membantunya,
dia akan menerimanya dengan senang hati. Jika tidak, dia akan melakukan hal yang
sama.

“Om!” Seru gadis itu sambil menampan.

Pria gemuk itu menatap ke arah gadis kumuh di sampingnya. Pria itu menatap si
gadis rendah.

“Kamu lagi! Kamu mau saya lempar ke aspal lagi, iya?” Tanya pria gemuk itu dengan
ketus. Si gadis kecil menatap raut wajah Om tersebut.

“Om, seharusnya Om banyak beramal. Umur Om udah nggak lama lagi. Seenggaknya,
Om bisa sedekahin harta Om buat saya. Biarpun sedikit. Tapi kalau Om nggak mau, ya
saya nggak keberatan.”

“Eh kamu ini! Nggak sopan banget bicara sama yang lebih tua! Emang saya sehat
begini bakal mati cepet apa?” Bentak Om itu.

“Om, umur itu nggak ada yang tahu. Cuma Allah yang tahu. Harta itu nggak bakalan
dibawa mati, Om. Tapi nggak apa-apa. Kalau Om nggak suka sama saya, Om nggak
usah lemparin saya ke aspal lagi. Itu sakit, Om.” Ucapnya.

Pria itu semakin berapi-api. Dia melempar gadis kecil itu ke tengah jalanan.
Terdengar suara benturan keras dari tubuh si gadis.

“Brrakk!”

“Aaaa!” Teriak gadis kecil.

Dari jarak yang tak jauh, nampak sebuah sepeda motor hendak melaju ke arah si
gadis dan akan menbraknya. Dengan cepat si gadis bangun dan berlari. Namun…
“Brraakkk!”

“Brruukkk!”

Bersamaan gadis kecil itu terjatuh, pria yang melempar si gadis tadi malah
tertabrak oleh motor yang melaju tersebut. Entah mengapa jadi terbalik. Seharusnya si
gadis yang tertabrak, karena dia berada di tengah jalan. Bukan Om tadi yang berada di
pinggir trotoar.

Gadis itu menatap sayu. Dia sudah menduga apa yang akan terjadi. Om itu akan
meninggal. Dan buktinya, dia meninggal sekarang. Memang, dia seperti memiliki
kelebihan. Dia selalu tahu, jika akan ada seseorang yang akan meninggal. Dia selalu
bilang bahwa jika seseorang akan meninggal, akan ada seberkas bayangan cahaya
warna dari orang tersebut. Ada beberapa macam dari warna bayangan tersebut.
Namun dia tak pernah melihat bayangan putih sekali pun. Dan dia pun tak pernah
mengerti apa arti dari warna tersebut.

Gadis itu pun bangun dan berjalan di sekitar kota. Dia pun merogoh sakunya.
Ada beberapa uang receh. Terdengar perutnya sudah mulai berseru-seru. Dia pun
menangkap sebuah bangunan yang tengah berdiri di tepi jalan. Dia segera
menyebrangi jalan dan berlari dengan cepat ke arah sebuah toko roti. Dia segera
masuk dengan senyum tersirat di wajah kucelnya.

“Bu, saya mau beli roti. Sekarang uangnya cukup.” Ucapnya.

“Eh kamu ya! Yang kemarin? Gara-gara kamu, anak saya jadi meninggal! Kamu ini
bicara yang sopan dong! Jaga mulut kamu! Jangan asal jeplak aja kalau mau
ngomong!”

“Tapi, Bu. Saya kan sudah bilang. Saya cuma mau ngasih tahu Ibu aja.” Ucap gadis itu
sambil tertunduk.

“Ahh! Tapi, tapi! Sekarang kamu pergi dari toko saya! Pergi!!!” Bentak Ibu pemilik toko
sambil mendorong keluar si gadis kasar.

“Aduhh…” Rintih gadis itu.

Gadis tersebut pun berdiri dan mencoba tersenyum. Air matanya mulai terjatuh
perlahan. Dia terus mencoba tersenyum walau sebenarnya dia merasa sangat sakit
hati. Namun tak pernah sedikit pun terlintas di benaknya untuk membenci mereka.

Dia masih terus berjalan dengan secercah air mata membasahi pipinya. Dia
masih berjalan dengan langkah terseok-seok. Dia pun melihat sebuah cermin yang
sudah terlihat sangat berdebu. Dia mengusap permukaan cermin panjang itu dengan
sikutnya. Dia melihat bayangan kusut dirinya di sana.

Dia melihat pantulan kumuh dan kotor dirinya sendiri. Tiba-tiba dia terkejut
melihat bayangannya,

“Itu…”

“Brakk!”

“Pasti kau menyimpan uangnya di sana! Pasti ada!”


Gadis kecil itu terus menerobos masuk ke dalam toko. Gadis itu tak peduli bagaimana
pun yang pemilik toko lakukan terhadapnya.
“Jangan masuk ke sini! Pergi kau! Pergi!”

“Aku tak mau! Aku tahu di sana ada banyak uang! Setidaknya kau bisa memberiku
sedikit uang!”

“Tak ada uang untukmu! Tak ada!” Bentak pemilik toko keras. Gadis itu pun menatap
sinis pemilik toko. Dia pun berteriak.

“Adikmu akan mati besok!” Teriaknya.


Pemilik toko menatap keji gadis. Gadis itu segera berlalu dari toko tersebut.
Setiap hari memang begitulah kerjanya. Dia memaksa orang-orang agar memberinya
sepeser uang dan sedikit makanan. Jika tak diberi, dia selalu memaksa dan menerobos
masuk ke dalam toko. Atau jika dia meminta kepada seseorang dan tidak diberi, dia
tinggal copeti saja orang yang dia pinta. Apa susahnya untuk dia?

Gadis itu pun tersenyum sinis. Dia telah berhasil membawa satu dompet milik
seseorang. Dia lihat isinya cukup banyak. Gadis kecil itu memang masih sangat mungil.
Namun entah mengapa itu yang harus dikerjakannya.

Dia pun menyusuri lorong kumuh tempatnya tinggal. Ketika dia melihat salah
satu temannya tengah terduduk lesu di dekat gubuk lusuh. Gadis kecil itu menatapnya
dengan seksama. Tiba-tiba dia terjatuh. Badannya bergetaran semua. Air matanya
berlelehan di pipinya. Dia melihat sesuatu yang aneh. Dia melihat orang lain yang mirip
dengan temannya itu. Sangat mirip. Bayangan itu tepat ada di belakang temannya. Dia
terduduk. Dia tak bisa berkata apa-apa. Bayangan itu benar-benar mirip temannya.

“Ngaakkk!”

Dia pun berlari menjauh dari sana. Kakinya dia lajukan untuk menghindari
makhluk yang tak tahu apa itu. Dia berlari cepat-cepat menjauh. Dia berlari menuju
kota.
Dilihatnya, banyak orang yang mirip dengan temannya tadi. Di mana-mana ada apa
pun yang seperti itu. Dia terduduk lagi. Dia menggeleng-geleng.
“Nggak! Nggak! Nggaakkkk!” Bantahnya sambil menjambak keras rambutnya.

Mengapa aku selalu melihat itu? Mengapa bayangan itu selalu ada? Dan
mengapa orang yang dia lihat bayangan cahayanya selalu meninggal. Dan di sana
terdapat banyak warna. Semua warna itu jadi satu. Aku pernah melihat satu warna dari
warna-warna itu. Tapi aku tak pernah melihat warna putih yang hanya satu. Mengapa?
Pikirnya.Dia pun menepis tentang bagaimana bayang cahaya warna kematian itu. Dia
sudah bosan dengan hal itu. Hal kali ini benar-benar membuatnya stres.
Dia segera berjalan menuju seorang bapak-bapak yang tengah berdiri dan
hendak menyebrang jalan. Dia pun berniat menyebrang bersamanya dan akan
mencopet dompetnya ketika akan menyebrang.

“Om, Om mau nyebrang bareng saya?” Tanyanya.

Perlahan Bapak-bapak itu pun menoleh ke arah Gadis kecil tersebut. Tiba-tiba si
gadis melotot dan mengangakan mulutnya. Dia terdiam sejenak.

“Nggak! Nggaakkkk!” Teriaknya.

Dia berlari menjauh dari Bapak-bapak tadi. Dia melihat bayang cahaya warna itu.
Dia melihatnya. Dia terus berlari menjauh. Dan benar saja. Dari kejauhan terdengar
benturan keras yang memekakan telinganya.

“Argggghhhh….”

“Mengapa kau mencopet?”

“….”

“Mencopet itu tidak baik.”

“…..”

“Berusahalah sendiri. Kau sudah besar!”

“…”

“Bukankah kau bisa mengetahui orang yang akan meninggal?”

“Apa katamu?”
Gadis itu tertegun. Mengapa pria misterius itu bisa mengetahui hal itu.
“Darimana kau tahu?”

“Berhentilah mencopet! Berhentilah memaksa! Maka kau bisa menghentikan


kelebihanmu itu!”

“Bu, aku mau beli roti.” Ucap gadis itu.

“Biarin aja dia. Nanti juga sembuh sendiri.”

Klik. Dia menutup telepon lalu menatap gadis kumuh lusuh di depannya.

“Ada uangnya?”
Gadis kecil itu merogoh dalam-dalam saku bajunya. Dia pun menyondorkan banyak
uang recehan.
Si pemilik toko mengambil dan mulai menghitungnya.
“Kurang!” Tukasnya.

“Kurang berapa?” Tanya si gadis.

“Dua ratus rupiah.”

“Bisakah aku membayarnya besok? Aku berjanji.”

“Asal kau tahu. Di sini tak ada hutang!” Bentaknya.

“Aku janji akan membayarnya besok.” Ucapnya memelas.

“Tak ada kata besok. Jika mau hari ini, cari dulu uangnya.”

Gadis itu sedikit mencibir. Dia mengambil uang recehannya lagi.

“Terima kasih, Bu. Oh ya, saya cuma mau ngasih tahu doang. Anak Ibu lagi sakit, ya?
Cepet aja bawa ke dokter. Dia udah parah.” Ucapnya lalu berlalu.

Pemilik toko tak menghiraukan perkataan si gadis. Dia hanya gadis kecil,
pikirnya.

Gadis itu berjalan lagi di trotoar. Berharap ada tangan-tangan yang mau
memberikan sepeser hartanya untuk dirinya. Walau hanya sedikit saja.

Dia pun melihat seorang pria gemuk tengah berdiri di tepi trotoar. Dia segera
menghampiri pria itu.

“Om, kasihan. Saya belum makan.” Ucapnya sambil menampan.

Pria itu menatap rendah gadis. Dia mengabaikannya.

“Om,” Lirihnya.

Pria itu pun menganggkat bibirnya. Dia mendorong gadis itu keras ke aspal.

“Kalau saya nggak bilang berarti nggak ada! Dasar gadis bodoh! Bisanya minta doang!”

Pria itu berlalu dari hadapannya. Gadis kecil tersebut menangis di atas aspal.
Kaki dan sikunya luka dan mengeluarkan darah. Dia meniup-niup bagian yang luka
tersebut.

“Itu…”

“Brakk!”

Dia terjatuh. Dia tertabrak sebuah motor. Dia tertabrak tepat saat dia melihat
bayangan putih di cermin. Bayang cahaya warna kematian. Dan warna itu adalah warna
putih.
Pandangannya samar-samar. Sekumpulan orang mengerumuninya. Dalam
berkunang-kunangnya pandangan, dia melihat seorang pria. Pria misterius itu.

Dia teringat kata-kata si pria misterius.


“Berhentilah mencopet! Berhentilah memaksa! Maka kau bisa menghentikan
kelebihanmu itu!”
“Bagaimana caranya?”

“Temukan bayang cahaya warna putih. Maka semuanya akan berakhir!”

Setelah dia mengingatnya, senyuman pria misterius itu sangat jelas. Dia dapat
melihat pria itu hendak mendekati dan mengambil tubuhnya.

“Sudah kubilang. Semuanya berakhir dan terhenti ketika kau menemukan bayang
cahaya kematian berwarna putih!”

GELAP

- SEKIAN -
Sumur di Halaman

Dulu, saat aku masih kecil, seorang anak perempuan memberitahuku bahwa di
bawah sumurnya terdapat istana. Dia memberitahuku dengan wajah yang berseri-seri,
senyum yang sangat cerah, di bawah kelabunya langit siang hari tersebut.

“Aku mau ke sana! Kamu mau ikut?” tanyanya padaku.

Tentu saja mau, jawabku. Anak mana yang tidak mau diajak pergi ke istana?
Namun, bahkan di usiaku yang belia, aku telah memikirkan banyak hal. Aku banyak
bercuriga, banyak tidak percaya. Maka, aku pun bertanya padanya, dari mana dia tahu
kalau di bawah sumurnya terdapat istana?

“Ibuku bilang begitu! Katanya, di situlah ayahku berada!” jawabnya, masih sangat
bersemangat.

Aku agak bingung. Bukankah ayahnya ada di rumah, dan baru saja kami
bertemu dengannya, melihatnya sedang tidur-tiduran di dipan sementara ibunya
bekerja di pasar? Membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka?

“Dia bukan ayahku! Ibu memang menikahinya, tapi dia bukan ayahku!” jawabnya keras-
keras, mendadak tampak kesal. Dia cemberut, menyilangkan kedua tangannya di
dadanya.

Oke, kalau begitu, Ayah yang mana yang dia maksud? Dia menjawab, tentu saja
ayah kandungnya yang dia maksud, yang sekarang berada di bawah. Aku pastilah
tampak sangat bingung – maklum, namanya juga anak-anak, belum begitu mengerti
istilah ayah kandung dan tiri – sehingga dia mulai bercerita.

Dulu sekali, saat dia bahkan masih belum dilahirkan, sebelum dia membuka
matanya untuk menatap dunia, saat aku mungkin belum dilahirkan, atau setidaknya
belum pindah ke desa tersebut bersama keluargaku, bahkan sebelum ayahku
didinaskan di kantor kepala desa, ayahnya adalah seorang tukang gali sumur. Ayah
dan ibunya bertemu, jatuh cinta, dan menikah.

Satu hari, saat ibunya tengah mengandung dirinya, ayahnya, setelah menyadari
bahwa sumur di rumahnya sudah mulai mengering, memutuskan untuk menggali lagi
sumur tersebut. Dalam, lebih dalam.

Begitu dalam ayahnya menggali sumur, hingga mendadak, tak ada lagi tanah
yang bisa digali, dan ayahnya jatuh ke hamparan rumput lembut di lembah nan luas,
dengan danau yang cemerlang, dan istana raksasa yang berdiri di atasnya.

Ayahnya, penasaran, dan memerlukan bantuan untuk kembali ke lubang


di atas, agar bisa kembali ke rumahnya, berjalan ke istana tersebut. Namun, pemilik
istana tersebut bukanlah orang baik yang mau menolong sebagaimana yang ayahnya
kira. Pemilik istana tersebut, penguasa seluruh lembah itu, adalah seorang ratu yang
begitu jahat, kejam, licik, dan cantik jelita.
Ratu jarang mendapatkan kunjungan dari atas sumur, dari dunia di luar lembah
dan istananya. Oleh karena itu, Sang Ratu menggoda ayahnya, merayunya,
sedemikian rupa hingga ayahnya memutuskan untuk tidak kembali ke atas melalui
lubang tersebut.
Sang Ratu, puas karena ayahnya telah tunduk, mengangkat ayahnya menjadi
raja, dan berdua, mereka mendiami istana tersebut. Ayahnya karena cengkeraman
Sang Ratu, dan Sang Ratu karena ketamakannya.

“Itulah sebabnya ayahku tak pernah kembali ke atas setelah menggali sumur tersebut!”
katanya bersemangat.

Aku mengangguk pelan. Kalau begitu, kenapa mereka malahan mau turun ke
sana? Bukankah di bawah sana, di dalam istana tersebut, terdapat ratu jahat yang
kejam dan mengerikan? Bukankah sebaiknya mereka justru menutup lubang sumur
tersebut – dengan batu besar, mungkin – agar Sang Ratu Jahat tidak pernah muncul di
permukaan?

“Kita harus turun untuk mengalahkan Sang Ratu! Kemudian, aku akan menyelamatkan
ayahku, membawanya kembali ke sini, agar dia bisa membantu ibuku bekerja setiap
hari dan mengusir lelaki malas itu dari rumah kami!” jawabnya berapi-api.

Tapi, aku bertanya lagi, bukankah ibunya sudah melarang kami untuk bermain
dekat-dekat sumur? Apalagi masuk ke dalamnya. Bukankah itu akan berbahaya,
karena nantinya kami bakal dimarahi?

“Justru sekarang ini, karena ibuku masih di pasar, kita harus masuk! Biar kita nggak
ketahuan dan nggak dimarahi ibu!”

Alasannya masuk akal, dan aku pun setuju untuk ikut turun ke dalam sumur
bersamanya. Kami berlari masuk ke dalam rumah, mempersiapkan segalanya. Tali
untuk diikat ke pohon, agar kami bisa memanjat naik nantinya? Sudah siap. Cangkul
untuk menggali, siapa tahu gerbang ke lembah tersebut, istana tersebut, sudah
tertutup? Sudah siap. Senter? Kami tidak punya, tapi sebagai gantinya ada lampu
minyak.

“Dan pentungan untuk mengalahkan Sang Ratu,” katanya, mengangkat sebuah


pemukul kasti.

Aku mendongak menatapnya, dan mendapati bahwa pemukul kasti tersebut


kukenali. Bukankah itu punyanya sekolah kami?

“Ya, kemarin kuambil setelah jam pelajaran olahraga. Nanti pasti kukembalikan kok,”
katanya meyakinkanku.

Semuanya sudah siap. Kami memasukkan seluruh perlengkapan tersebut dalam


tas ransel yang kubawa, dan setelah mengenakannya, kami siap berangkat.

Tepat saat itulah, ibunya pulang.


“Adek di mana?” tanya ibunya dari ruang depan.

Kami panik. Dengan terburu-buru, kami menyembunyikan tasku beserta seluruh


isinya di bawah kolong kasurnya. Kemudian, kami berlari ke depan, menyambut ibunya,
menyaliminya. Aku merasakan betapa kasar tangan beliau, hasil dari bekerja
memotong dan membersihkan ikan setiap hari di pasar. Jauh berbeda dari tangan
ibuku, atau tangan siapapun yang kukenal.

Beliau menawariku makan kue, apakah aku mau? Oh, tidak usah, jawabku
terburu-buru. Lagipula, gerimis sudah mulai turun di luar, aku harus segera kembali.
Tidak masalah, kata beliau, besok datanglah lagi ke rumah. Aku mengangguk,
berpamitan dengan beliau.

Sebelum berlari pulang, anak perempuan tersebut memberiku kode dengan


tangannya, memberitahu bahwa misi ditunda dan akan dilanjutkan besok. Siap, aku
menjawab dengan anggukan yang mantap.

Kemudian, aku berlari, di tengah jalan gerimis menjadi hujan, dan hujan menjadi
deras. Aku sampai rumah dengan basah kuyup, kedinginan, dan ibuku langsung
menggiringku ke kamar mandi untuk bersih-bersih.

Beliau khawatir aku akan kena flu, begitu khawatirnya hingga tak bertanya di
mana tas sekolahku berada.

Itu tiga puluh tahun yang lalu.

Tiga puluh tahun telah berlalu sejak kami menyiapkan perlengkapan kami untuk
turun ke Istana Di Bawah Sumur dan menyerbu guna menyelamatkan ayahnya
sekaligus mengalahkan Sang Ratu Jahat. Esok harinya, sesuai perkiraan ibuku, aku
terkena flu, dan aku tak bisa ke rumahnya meski cuaca cukup cerah.

Aku ingat bagaimana aku masuk sekolah lagi beberapa hari kemudian,
mendapati kursinya kosong. Pergi ke rumahnya bersama keluargaku, mendapati ada
acara besar di sana, nyaris seluruh penduduk desa datang, dengan bendera kuning di
depan rumahnya. Mendengar bahwa dia jatuh ke dalam sumur dan takkan kembali lagi.

Memberitahu semua orang bahwa dia pasti ditangkap oleh Ratu Jahat dari
bawah sumur, dan meminta mereka untuk menyelamatkannya. Kemudian, saat tidak
ada yang menggubrisku, aku mulai menangis. Saat itulah, orangtuaku memelukku,
memberikan kata-kata penghiburan untukku.

Sumur tersebut masih ada hingga hari ini. Berdiri diam, dengan mulutnya yang
terbuka, menganga, memperlihatkan hanya kegelapan di dalamnya.

Aku tak tahu kenapa aku kembali ke desa tersebut, apalagi kembali ke
rumahnya, apa yang tersisa dari rumahnya.
Bagaimanapun, tiga puluh tahun telah berlalu. Waktu yang cukup lama bagiku
untuk membuatku sadar, dan paham, akan apa yang sesungguhnya terjadi. Paham
bahwa tidak ada yang namanya Sang Ratu Jahat.

Yang ada hanyalah kegelapan, kematian, terjebak dalam sumur begitu dalam
tanpa bisa memanjat naik karena tali yang putus, tak kuat menahan beban mereka.
Paham bahwa seandainya aku ikut bersamanya, mungkin aku bisa menolongnya. Atau
mungkin malah ikut tewas bersamanya? Aku tak tahu. Waktu yang cukup lama bagiku
untuk bisa mulai memaafkan diriku sendiri, untuk melakukan sesuatu demi menutup
luka di hatiku.

Namun, dengan waktu sepanjang itu, aku juga bisa memahami satu hal. Satu hal
penting yang turut membantuku untuk pulih.

Aku telah membeli bekas rumahnya beserta tanah milik keluarganya. Aku telah
merenovasinya, menjaganya tetap hidup. Suatu malam, pada kunjunganku kembali ke
desa tersebut, aku menginap di rumahnya.

Dan malam itu, aku bermimpi.

Aku bermimpi akan sebuah istana. Namun, istana tersebut tidak berada di
bawah sumur, karena aku sudah paham bahwa tidak ada istana di bawah sumur. Istana
tersebut, dengan segala kemegahannya, berada di sebuah lembah, luas, dengan
rumput-rumput hijau yang berayun dan menari bersama angin, danau yang cemerlang
dan langit yang biru. Tanah yang membentang sejauh mata memandang, dan hutan
yang berdiri dengan rimbunnya.

Malam itu, aku bermimpi bertemu dengannya. Dengan senyum yang sangat
cerah, wajah yang begitu bahagia, dia menggenggam tanganku dan mengajakku ke
istananya.

Di sana, dia tinggal bersama ayahnya, hidup bahagia hingga selamanya.

Anda mungkin juga menyukai