Latar Belakang
Pengertian umum lingkungan sekolah adalah salah satu kesatuan lingkungan fisik,
mental dan sosial dari sekolah yang memenuhi syarat-syarat kesehatan sehingga
dapat mendukung proses belajar mengajar dengan baik dan menunjang proses
pertumbuhan dan perkembangan murid secara optimal.
Faktor lingkungan sekolah dapat mempengaruhi proses belajar mengajar,
juga kesehatan warga sekolah. Kondisi dari komponen lingkungan sekolah tertentu
dapat menyebabkan timbulnya masalah kesehatan.
Permasalahan
Kebiasaan yang dilakukan sehari hari dapat mempengaruhi terjadinya
penularan dan penyebaran penyakit. Sekolah merupakan tempat pembelajaran
bagi peserta didik untuk membiasakan diri berperilaku hidup bersih dan sehat,
untuk menurunkan resiko terkena penyakit tertentu. Beberapa perilaku hidup bersih
dan sehat itu antara lain : tidak merokok, buang sampah pada tempatnya, menjaga
kebersihan diri, cuci tangan pakai sabun, menjaga kebersihan lingkungan dan lainnya.
Pelaksanaan
Film pendek diputar diawal sesi untuk meningkatkan perhatian dan konsentrasi
peserta terhadap materi yang akan disampaikan. Setelah itu, dilakukan pemaparan
materi tentang 14 poin yang perlu diperhatikan dalam kesehatan lingkungan sekolah.
Setelah pemaparan materi, dilakukan 6 langkah cuci tangan pakai sabun.
Monitoring dan Evaluasi
Upaya kesehatan lingkungan sekolah bekerja sama dengan UKS dan Dokter Kecil
sekolah untuk melakukan pengawasan kesehatan lingkungan sekolah dengan jadwal
1x/minggu.
2. Inspeksi Sanitasi di TK Pertiwi Pangkalpinang
Tanggal : 8 Februari 2020
Pukul : 09.00 – selesai
Lokasi : TK Pertiwi Pangkalpinang
Latar Belakang
Semua anak Indonesia berhak untuk mendapatkan akses pada lingkungan yang aman,
bersih dan sehat di sekolah. Ketersediaan akses pada Sanitasi Sekolah merupakan
prasyarat terciptanya lingkungan sekolah yang aman, bersih dan sehat. Pada tingkat
global, Sanitasi Ssekolah merupakan salah satu prioritas pembangunan yang termasuk
ke dalam tujuan 4a pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable
Development Goals (SDGs). Jenis akses Sanitasi Sekolah terbagi menjadi tiga
indikator, yaitu akses pada sumber air minum layak dan tersedia sepanjang waktu,
akses pada fasilitas sanitasi dasar yang layak dan terpisah, dan akses pada fasilitas
cuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Akses Sanitasi Sekolah pada SDGs ini
juga terbagi ke dalam empat tingkatan, yaitu, tidak tersedia akses, pelayanan terbatas,
pelayanan dasar, dan pelayanan tingkat lanjut. Tantangannya, data untuk mengukur
capaian SDGs, khususnya indikator Sanitasi Sekolah belum tersedia secara memadai.
Permasalahan
Secara nasional, rerata sekolah yang memiliki air layak dan cukup sejumlah sekitar
70,25%. SD dan SMP menjadi jenjang sekolah yang paling banyak tidak memiliki
akses air atau air tidak layak (di atas 30%). Dampak dari tidak adanya akses air di
sekolah adalah jamban yang tidak berfungsi, tidak bisa melakukan cuci tangan pakai
sabun, sehingga anak-anak rentan terkena diare. Di provinsi Bangka Belitung,
persentase SD, SLB, SMP, SMA, dan SMK yang memiliki akses air layak secara
berurutan adalah sebagai berikut 78.80%, 100.00%, 78.54%, 81.82%, dan 81.48%.
Hanya sekitar 11,43% sekolah dari semua jenjang di Indonesia yang telah memiliki
jamban yang terpisah dan berfungsi dengan baik. Sedangkan rata-rata 52,49% sekolah
pada semua jenjang memiliki toilet yang tidak layak, tidak terpisah, atau tidak
berfungsi. Ini artinya, secara nasional separuh siswa sekolah memiliki akses terbatas
terhadap jamban selama waktu belajar di sekolah. Bahkan, masih terdapat 36,08%
sekolah yang tidak memiliki akses sama sekali. Padahal buruknya fasilitas sanitasi di
sekolah dapat mempengaruhi kualitas pendidikan, seperti hilangnya waktu belajar dan
menurunnya produktivitas siswa karena absen dari sekolah. Di provinsi Bangka
Belitung, persentase SD, SLB, SMP, SMA, dan SMK yang memiliki jamban yang
terpisah dan berfungsi dengan baik secara berurutan adalah sebagai berikut 63.34%,
55.56%, 68.29%, 66.67%, dan 66.67%.
SLB menjadi jenjang pendidikan yang memiliki sarana cuci tangan paling banyak di
seluruh Indonesia. Hampir 78 persen SLB sudah memiliki akses sarana cuci tangan.
SMA dan SMK memiliki persentase sarana cuci tangan cukup banyak di antara
jenjang pendidikan lainnya. Sementara SMP adalah jenjang sekolah yang memiliki
sarana cuci tangan yang paling sedikit, hanya sekitar 60 persen. Di provinsi Bangka
Belitung, persentase SD, SLB, SMP, SMA, dan SMK yang memiliki sarana cuci
tangan secara berurutan adalah sebagai berikut 83.17%, 77.78% 72.20%, 75.76%, dan
79.63%.
Pelaksanaan
Kegiatan Inspeksi Sanitasi Sekolah dilaksanakan pada:
Tanggal : 8 Februari 2020
Pukul : 09.00 – selesai
Lokasi : TK Pertiwi Pangkalpinang
Tim inspeksi dipandu oleh kepala sekolah berkeliling menilai faktor-faktor risiko
lingkungan sekolah. Skor akhir untuk hasil inspeksi sanitasi adalah 85.2% (memenuhi
syarat).
Latar Belakang :
Semua anak Indonesia berhak untuk mendapatkan akses pada lingkungan yang aman,
bersih dan sehat di sekolah. Ketersediaan akses pada Sanitasi Sekolah merupakan
prasyarat terciptanya lingkungan sekolah yang aman, bersih dan sehat. Pada tingkat
global, Sanitasi Ssekolah merupakan salah satu prioritas pembangunan yang termasuk
ke dalam tujuan 4a pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable
Development Goals (SDGs). Jenis akses Sanitasi Sekolah terbagi menjadi tiga
indikator, yaitu akses pada sumber air minum layak dan tersedia sepanjang waktu,
akses pada fasilitas sanitasi dasar yang layak dan terpisah, dan akses pada fasilitas
cuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Akses Sanitasi Sekolah pada SDGs ini
juga terbagi ke dalam empat tingkatan, yaitu, tidak tersedia akses, pelayanan terbatas,
pelayanan dasar, dan pelayanan tingkat lanjut. Tantangannya, data untuk mengukur
capaian SDGs, khususnya indikator Sanitasi Sekolah belum tersedia secara memadai.
Permasalahan
Secara nasional, rerata sekolah yang memiliki air layak dan cukup sejumlah sekitar
70,25%. SD dan SMP menjadi jenjang sekolah yang paling banyak tidak memiliki
akses air atau air tidak layak (di atas 30%). Dampak dari tidak adanya akses air di
sekolah adalah jamban yang tidak berfungsi, tidak bisa melakukan cuci tangan pakai
sabun, sehingga anak-anak rentan terkena diare. Di provinsi Bangka Belitung,
persentase SD, SLB, SMP, SMA, dan SMK yang memiliki akses air layak secara
berurutan adalah sebagai berikut 78.80%, 100.00%, 78.54%, 81.82%, dan 81.48%.
Hanya sekitar 11,43% sekolah dari semua jenjang di Indonesia yang telah memiliki
jamban yang terpisah dan berfungsi dengan baik. Sedangkan rata-rata 52,49% sekolah
pada semua jenjang memiliki toilet yang tidak layak, tidak terpisah, atau tidak
berfungsi. Ini artinya, secara nasional separuh siswa sekolah memiliki akses terbatas
terhadap jamban selama waktu belajar di sekolah. Bahkan, masih terdapat 36,08%
sekolah yang tidak memiliki akses sama sekali. Padahal buruknya fasilitas sanitasi di
sekolah dapat mempengaruhi kualitas pendidikan, seperti hilangnya waktu belajar dan
menurunnya produktivitas siswa karena absen dari sekolah. Di provinsi Bangka
Belitung, persentase SD, SLB, SMP, SMA, dan SMK yang memiliki jamban yang
terpisah dan berfungsi dengan baik secara berurutan adalah sebagai berikut 63.34%,
55.56%, 68.29%, 66.67%, dan 66.67%.
SLB menjadi jenjang pendidikan yang memiliki sarana cuci tangan paling banyak di
seluruh Indonesia. Hampir 78 persen SLB sudah memiliki akses sarana cuci tangan.
SMA dan SMK memiliki persentase sarana cuci tangan cukup banyak di antara
jenjang pendidikan lainnya. Sementara SMP adalah jenjang sekolah yang memiliki
sarana cuci tangan yang paling sedikit, hanya sekitar 60 persen. Di provinsi Bangka
Belitung, persentase SD, SLB, SMP, SMA, dan SMK yang memiliki sarana cuci
tangan secara berurutan adalah sebagai berikut 83.17%, 77.78% 72.20%, 75.76%, dan
79.63%.
Pelaksanaan
Kegiatan Inspeksi Sanitasi Sekolah dilaksanakan pada:
Tanggal : 12 Februari 2020
Pukul : 09.00 – selesai
Lokasi : TK Harapan Bunda Pangkalpinang
Tim inspeksi dipandu oleh guru TK berkeliling menilai faktor-faktor risiko
lingkungan sekolah. Skor akhir untuk hasil inspeksi sanitasi adalah 34.4% (tidak
memenuhi syarat).
Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan masalah
kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah
perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi, yang
ditemukan pertama kali pada tahun 1950an di Filipina dan Thailand, saat ini dapat
ditemukan di sebagian besar negara di Asia. Jumlah negara yang mengalami wabah
DBD telah meningkat empat kali lipat setelah tahun 1995. Sebagian besar kasus DBD
menyerang anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%,
namun dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 %.
Permasalahan
Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30 tahun
terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah 6 mencapai 139.695 kasus, dengan
angka kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus
meninggal adalah 1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1%. Pada saat ini kasus
DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan
Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD.
Pola penularan DBD dipengaruhi iklim dan kelembaban udara. Kelembaban udara
yang tinggi dan suhu panas justru membuat nyamuk Aedes aegypti bertahan lama.
Sehingga kemungkinan pola waktu terjadinya penyakit mungkin akan berbeda-beda
dari satu tempat dengan tempat yang lain tergantung dari iklim dan kelembaban
udara. Umumnya kasus DBD merebak mulai awal Januari sampai dengan April-Mei
setiap tahun
Pelaksanaan
Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi dilaksanakan pada:
Tanggal : 12 Februari 2020
Pukul : 09.00 – selesai
Lokasi : Rumah Anak A, Jl. Kayu Manis, Kacang Pedang, Pangkal Pinang
Adapun langkah-langkah melakukan penyelidikan epidemiologi adalah sebagai
berikut:
1. Mencatat identitas penderita/tersangka DBD di buku harian penderita DBD
2. Menyiapkan peralatan PE (tensimeter anak, senter, form dan abate)
3. Petugas datang ke Lurah atau Kades di wilayah dengan penderita DBD
4. Menanyakan ada tidaknya penerita panas dalam kurun waktu 1 minggu
sebelumnya. Bila ada, dilakukan uji Rumple Leeds
5. Memeriksa jentik di tempat penampuangan air di dalam dan di luar rumah (radius
20 rumah di sekitar kasus atau radius 100 meter dari rumah penderita)
6. Hasil pemeriksaan jentik dicatat dalam formulir Penyelidikan Epidemiologi (PE)
7. Analisis hasil PE.
Adanya transmisi penyakit: dilihat dari adanya penderita panas > 3 orang dan
adanya jentik di sekitar rumah. Seluruh kontainer yang berisi air di dalam dan
di luar rumah diperiksa. Di rumah penderita, hanya ada 1 orang yang
menderita demam. Tedapat dua kontainer di belakang rumah penderita yang
berisi jentik nyamuk.
Menghitung House index HI = Jumlah rumah dengan jentik X 100% Rumah
yang diperiksa. House index sulit dievaluasi karena banyak rumah di sekitar
rumah penderita yang pemiliknya bekerja, sehingga tidak dapat diperiksa.
Monitoring dan Evaluasi
Pelaksanaan PE mengalami kendala sulitnya memeriksa rumah di sekitar penderita
DBD karena pemilik rumah banyak yang sedang bekerja. Disarankan untuk
melaksanakan PE di waktu sore saat pemilik rumah sudah kembali dari bekerja.
5. Penyelidikan Epidemiologi Kasus Demam Berdarah Dengue di Rumah Ny. T,
Kacang Pedang
Tanggal : 12 Februari 2020
Pukul : 09.00 – selesai
Lokasi : Rumah Ny. T, Jl. Usman Ambon (Belakang Kantor Kecamatan
Kacang Pedang), Kacang Pedang, Pangkal Pinang
Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan masalah
kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah
perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi, yang
ditemukan pertama kali pada tahun 1950an di Filipina dan Thailand, saat ini dapat
ditemukan di sebagian besar negara di Asia. Jumlah negara yang mengalami wabah
DBD telah meningkat empat kali lipat setelah tahun 1995. Sebagian besar kasus DBD
menyerang anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%,
namun dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 %.
Permasalahan
Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30 tahun
terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah 6 mencapai 139.695 kasus, dengan
angka kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus
meninggal adalah 1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1%. Pada saat ini kasus
DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan
Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD.
Pola penularan DBD dipengaruhi iklim dan kelembaban udara. Kelembaban udara
yang tinggi dan suhu panas justru membuat nyamuk Aedes aegypti bertahan lama.
Sehingga kemungkinan pola waktu terjadinya penyakit mungkin akan berbeda-beda
dari satu tempat dengan tempat yang lain tergantung dari iklim dan kelembaban
udara. Umumnya kasus DBD merebak mulai awal Januari sampai dengan April-Mei
setiap tahun.
Pelaksanaan
Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi dilaksanakan pada:
Tanggal : 12 Februari 2020
Pukul : 09.00 – selesai
Lokasi : Rumah Ny. T, Jl. Usman Ambon (Belakang Kantor Kecamatan
Kacang Pedang), Kacang Pedang, Pangkal Pinang
Adapun langkah-langkah melakukan penyelidikan epidemiologi adalah sebagai
berikut:
1. Mencatat identitas penderita/tersangka DBD di buku harian penderita DBD
2. Menyiapkan peralatan PE (tensimeter anak, senter, form dan abate)
3. Petugas datang ke Lurah atau Kades di wilayah dengan penderita DBD
4. Menanyakan ada tidaknya penerita panas dalam kurun waktu 1 minggu
sebelumnya. Bila ada, dilakukan uji Rumple Leeds
5. Memeriksa jentik di tempat penampuangan air di dalam dan di luar rumah (radius
20 rumah di sekitar kasus atau radius 100 meter dari rumah penderita)
6. Hasil pemeriksaan jentik dicatat dalam formulir Penyelidikan Epidemiologi (PE)
7. Analisis hasil PE.
Adanya transmisi penyakit: dilihat dari adanya penderita panas > 3 orang dan
adanya jentik di sekitar rumah. Seluruh kontainer yang berisi air di dalam dan
di luar rumah diperiksa. Di rumah penderita dan sekitarnya, hanya ada 1 orang
yang menderita demam. Tedapat satu kontainer di rumah penderita yang berisi
jentik nyamuk.
Menghitung House index HI = Jumlah rumah dengan jentik X 100% Rumah
yang diperiksa. Tim PE melakukan pemeriksaan jentik di enam rumah, dimana
di dua rumah ditemukan kontainer dengan jentik nyamuk. Karena itu,
didapatkan hasil house index (HI) sebesar 30%.
Monitoring dan Evaluasi
Pelaksaaan PE berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan yang berarti.