Anda di halaman 1dari 9

Analisis Problem Sosial Hate Speech di Indonesia

dalam perspektif Sosial Politik Pancasila sila ke-4

Ditulis Oleh:

Acala Panji Kelana


18/429597/FI/04508
A. Pendahuluan

I. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini semakin

berkembang pesat setiap tahunnya. Tuntutan zaman telah meningkatkan

kebutuhan teknologi masyarakat. Berbagai produk teknologi yang semakin

canggih telah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

konsumen. Hal ini merupakan indikasi perkembangan teknologi informasi dan

komunikasi era lama menuju era informasi dan komunikasi yang lebih

modern, sehingga dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang

disebut dengan era globalisasi. Pesatnya perkembangan teknologi informasi

dan komunikasi dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Pada zaman

dahulu, orang menggunakan surat, telegram, radio, koran, majalah, dll sebagai

alat untuk mencari informasi dan berkomunikasi. Komunikasi jarak jauh

sekalipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Masyarakat dapat

menggunakan media melalui internet untuk mencari informasi dan

berkomunikasi secara bebas. Mulai mencari dan menyebarkan berita,

informasi bahkan komunikasi di jejaring sosial. Perkembangan media sosial

yang maju dapat dengan leluasa mengirimkan konten berupa tulisan, video,

audio dan gambar, yang dapat disebarluaskan dimana saja dan kapan saja

dengan bantuan internet. Pengguna media sosial sering menyalahgunakan

media sosial untuk mengungkapkan perasaannya, menyebarkan berita bohong,

merendahkan orang lain, bahkan menyebarkan kebencian terhadap individu

atau kelompok lain. Ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi oleh

individu atau kelompok yang memprovokasi, menghasut atau menyinggung

individu atau kelompok lain berdasarkan berbagai aspek seperti ras, warna

kulit, jenis kelamin, kecacatan, orientasi seksual, kebangsaan, agama. dan

sebagainya. Ujaran kebencian yang


ditujukan kepada orang atau sekelompok orang tertentu akhir-akhir ini banyak

mendapat perhatian. Ujaran kebencian semakin ramai diperbincangkan

melalui pesan-pesan di media sosial. Banyak netizen (pengguna internet)

menyebarkan pesan (gambar, foto, video, suara dan kata-kata) yang berisi

ujaran kebencian yang menyebabkan penghinaan, fitnah, penodaan agama, dll.

Ujaran kebencian tidak hanya dilakukan di media massa atau media sosial.

Dalam kajian fenomena sosial, diperlukan landasan sosial-politik yang

menjadi Platform agar memudahkan menentukan sudut pandang. Dalam

kehidupan bersosialisasi di negara Indonesia, Pancasila merupakan asas dasar

bersosialisasi dan bermasyarakat di Indonesia.Pancasila yang merupakan lima

butir merupakan sebuah satu kesatuan makna dalam bermasyarakat. Namun,

dalam berbagai sila tersebut sejatinya merupakan dasar yang bisa

didefinisikan. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berpendapat di

muka umum, sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh

Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” menunjukkan

proses komunikasi sosial serta pengajuan pendapat dimuka umum dilindungi

dan dijamin oleh negara serta memiliki indikator yang dianggap sesuai dengan

pancasila. Makalah ini ditujukan untuk memahami bagaimana hate speech

dipandang dan dikaji berdasarkan Pancasila sila ke-4

II. Rumusan Masalah

1. Apa yang disebut dengan Hate-Speech?

2. Mengapa Hate Speech terjadi?

3. Bagaimana Hate Speech dipandang melalui perspektif Pancasila sila

ke- 4?
III. Landasan Teori

1. Definisi Hate Speech

Dalam dokumen resmi PBB yang berjudul “United Nations Strategy

and Plan of Action on Hate Speech” menunjukkan ujaran kebencian

dipahami sebagai segala jenis komunikasi dalam ucapan, tulisan, atau

perilaku, yang menyerang atau menggunakan bahasa yang

merendahkan atau diskriminatif terhadap seseorang atau kelompok atas

dasar siapa mereka, dalam dengan kata lain, berdasarkan agama, suku,

kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin atau faktor

identitas lainnya. Hal ini seringkali berakar pada, dan menimbulkan

intoleransi dan kebencian, dan dalam konteks tertentu, dapat

merendahkan dan memecah belah. Alih-alih melarang ujaran

kebencian, hukum internasional melarang hasutan untuk melakukan

diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan (disebut di sini sebagai

'hasutan'). Hasutan adalah bentuk ucapan yang sangat berbahaya,

karena secara eksplisit dan sengaja bertujuan memicu diskriminasi,

permusuhan dan kekerasan, yang juga dapat mengarah pada atau

termasuk kejahatan terorisme atau kekejaman. Ujaran kebencian yang

tidak mencapai ambang penghasutan bukanlah sesuatu yang dilarang

oleh hukum internasional oleh Negara. Jika mengacu pada

undang-undang yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi

Elektronik (ITE) Pasal 27 Ayat (3) berbunyi, “Setiap orang dengan

sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan

dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik yang memiliki muatan


penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Pasal 28 Ayat (2)

berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan

informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau

permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu

berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

2. Contoh Kasus Hate-Speech

● Ki Gendeng Pamungkas

Polda Metro Jaya menangkap paranormal Ki Gendeng

Pamungkas pada 2017 atas dugaan insiden ujaran kebencian.

Wakil Direktur Pidana Khusus Polda Metro Jaya saat itu,

Kombes Akhmad Yusep Gunawan, mengatakan, Ki Gendeng

ditangkap karena mencegat dan merekam suara-suara anti

Tionghoa. Video.

Akhmad mengatakan, Ki Gendeng ditangkap sekitar pukul

23.00. WIB pada Selasa, 9 Mei 2017. Tersangka ditangkap di

rumahnya di Jalan Tanah Merdeka, Perumahan Bogor Baru

Blok D IV Nomor 45 RT 07 RW 01, Kelurahan Tegal Lega,

Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat.

Polisi menjerat Ki Gendeng dengan Pasal 4b Pasal 40 jo Pasal

16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi

Ras dan Etnis. Tersangka juga dijerat pasal 156 KUHP. Ki

Gendeng diduga menghasut dan menyebarkan kebencian

terhadap Tionghoa.

Polisi membawa barang bukti dari rumah Ki Gendeng saat itu.

Diantaranya adalah ponsel Samsung yang digunakan untuk


rekaman, puluhan kaos, jaket, bangku yang digunakan dalam

pembuatan video, dan topi Indian bagian depan berwarna

hitam. Selain itu, polisi membawa 4 bayonet, 2 airsoft gun,

perekam CCTV, prosesor, berbagai stiker anti China, dan

identitas para tersangka.

3. Hakikat Pancasila Sila ke-4 dalam filsafat Pancasila

Sila ke-4 Pancasila adalah “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat

Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Prinsip

persetujuan para wakil dan badan perwakilannya dalam

memperjuangkan amanat rakyat disajikan. Jika diperhatikan dengan

seksama, arti dan makna dari keempat perintah tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Inti dari tatanan ini adalah demokrasi, yaitu

pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

b. Pertimbangan, yaitu membuat keputusan dengan suara

bulat bersama di jalan kebijaksanaan.

c. Mengambil keputusan berdasarkan kejujuran.

Keputusan itu bulat, sehingga membawa konsekuensi

kejujuran bersama.

Nilai identitas bersifat diskresioner. yaitu Di dalamnya terkandung

prinsip kerakyatan yaitu rasa cinta rakyat, perjuangan cita-cita rakyat

dan semangat kerakyatan. Prinsip pemikiran konsensus, yaitu

mempertimbangkan dan menghormati keinginan semua orang melalui

forum diskusi, menghormati keragaman, mengutamakan kepentingan

rakyat, bangsa dan negara. Pernyataan yang dipimpin dengan bijak


adalah pemimpin yang masuk akal, masuk akal, cerdas, pintar, teliti,

bijaksana, berakal sehat, jujur, adil, dll. Seorang pemimpin yang

bijaksana dengan demikian mengarah pada pemimpin yang profesional

(kebijaksanaan) melalui perintah dan bimbingan

konsultatif/perwakilan. Tegasnya, aturan keempat adalah sistem

demokrasi perwakilan yang dipimpin oleh orang-orang profesional

yang jujur dan bekerja menurut sistem deliberatif (pemerintahan

berdasarkan musyawarah).

B. Pembahasan

Sila Keempat “Demokrasi yang dipimpin oleh Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan” menunjukkan sikap arif dan santun terhadap

perbedaan pandangan politik di dunia maya, ikut serta melaksanakan setiap keputusan

yang diambil melalui diskusi daring, dan menyelesaikan setiap perdebatan dalam

kelompok daring dengan mengedepankan musyawarah. Sila Keempat mengandung

makna mencegah kesalahpahaman dan kecenderungan individualistis yang dapat

menimbulkan konflik isu SARA akibat maraknya Hate Speech. Warga negara harus

bergotong royong agar mampu menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bangsa.

Sistem demokrasi berarti bahwa proses permusyawaratan tidak hanya mengutamakan

suara rakyat tetapi juga mengutamakan penegakan hukum. Segala sesuatu yang

dianggap merugikan orang lain akan diproses hukum, termasuk Ujaran Kebencian.

Ujaran Kebencian sebagai propaganda politik meningkat pada masa kampanye

pemilu. Meski dikritik, teknik propaganda banyak digunakan para kandidat atau

politisi sebagai komunikator politik. Hate Speech merupakan jurus ampuh untuk

membunuh karakter lawan politik, karena penyebarannya yang cepat dan masif

melalui media sosial dapat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan

politiknya. Hoaks dalam jenis ini adalah kebohongan yang sengaja dibuat untuk

menyamarkan diri sebagai kebenaran,


mengubah cara pandang dan preferensi politik masyarakat secara tidak bertanggung

jawab, dan merusak penyelenggaraan pemilu dengan melakukan kecurangan. Hate

Speech sengaja dirancang untuk mempengaruhi atau memprovokasi tindakan sesuai

dengan kepentingan pembuat informasi.

C. Kesimpulan

Hate Speech/Ujaran Kebencian merupakan salah satu problem sosial yang

merebak dan menunjukkan dampak terhadap kehidupan besosial dan berpolitik di

Indonesia. Pada era Globalisasi ini, peningkatan kasus ujaran kebencian telah

meningkat. Implikasi mendasar terlihat ketika Ujaran Kebencian menjadi salah satu

dasar untuk menggiring opini di ruang publik, membentuk citra suatu

kelompok,individu, dan golongan. Ujaran Kebencian telah menunjukkan dan menjadi

salah satu alat politik yang mereduksi fungsi-fungsi Demokrasi

Menurut sila ke-4, Kehadiran Ujaran kebencian telah mencederai demokrasi dan

menjadi salah satu residu politik yang mengubah persepsi Demokrasi Deliberatif, hal

ini terjadi karena Ujaran Kebencian telah menujukkan fungsinya sebagai penggiring

opini yang menyebabkan meningkatnya perpecahan. Perpecahan yang semakin marak

telah menciptakan relasi yang berlawanan antar golongan dapat mengabaikan

kemungkinan-kemungkinan terjadinya konsensus.


Daftar Pustaka

Fakta, T. C. (2017, Desember 24). 11 Kasus Ujaran Kebencian dan Hoaks yang Menonjol Selama 2017
. Retrieved from Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2017/12/24/23245851/11-
kasus-ujaran-kebencian-dan-hoaks-yang-menonjol-selama-2017

Irawan. (2018). Hate Speech di Indonesia: Bahaya dan Solusi. Mawaizh : Jurnal Dakwah dan
Pengembangan Sosial Kemanusiaan vol 19,no 1, 1-17.

Prireza, A. (2020, Juni 7). Deretan Aksi Kontroversial yang Dilakukan Ki Gendeng Pamungkas.
Retrieved from Tempo: https://metro.tempo.co/read/1350538/deretan-aksi-kontroversial-
yang-dilakukan-ki-gendeng-pamungkas
Soeprapto, S. (1995). Aktualisasi Nilai-nilai Filsafat Pancasila Notonagoro. Jurnal Filsafat, 30-37.

Susmayanti, R. (2021). Hoax versus Freedom of Speech (In the Perspective Of Pancasila). Jurnal

Supremasi, Vol 11,no 1, 29.

United Nation. (2019). United Nations Strategy And Plan Of Action On Hate Speech. New York:
United Nations.

Anda mungkin juga menyukai