Anda di halaman 1dari 22

Kalimat yang keluar dari lisan Rasulullah SAW itu singkat dan padat.

Ini yang disebut dengan jawami’ al-kalim.

Baca Juga
 Alibi ‘Wajarlah Beliau Nabi, Kita Manusia Biasa’, Benarkah?

 Begitu Mudahkah Haramkan Penggunaan Avatar di Facebook?

 Islam di Srilanka, Jejak Politik Nasional Tak Terbantahkan

Kalimat yang ringkas mudah dicerna dan dipahami. Untuk bisa


melakukan itu, seseorang harus mampu memadatkan makna yang
luas ke dalam kalimat-kalimat yang terbatas.

Kalimat yang singkat dan padat bukan hanya karena kepiawaian


mengolah dan merangkai kata, melainkan karena lahir dari pribadi
yang matang dan berpengalaman.

Kalimat-kalimat yang singkat dan padat inilah yang mampu


mewarnai dan mengubah orang yang mendengarnya. Adapun
kalimat yang panjang dan kosong hanya akan melalaikan dan
membosankan.

Jika kemampuan untuk berkata singkat, padat dan melekat ini harus
dimiliki setiap mukmin, maka ia lebih harus lagi dimiliki oleh seorang
pendidik ; orang tua, guru dan tokoh masyarakat.

Suatu hari, Imam al-Junaid saat masih kecil, datang menemui


pamannya yang sekaligus gurunya; as-Sariy as-Saqathi. Ia datang
untuk meminta nasehat. Sang paman berkata: “Anakku, aku akan
ajarkan tiga kalimat saja. Kalau engkau mau tidur maka ucapkanlah:

‫هللا معي‬

"Allah bersamaku."
‫هللا ناظر إلي‬

"Allah melihatku."

‫هللا شاهد علي‬

"Allah menjadi saksi terhadapku."

Al-Junaid berkata, “Selama sebulan aku mempraktikkan hal itu.


Kemudian aku datang lagi pada guruku. Ia berkata:

‫ إذا كان هللا معك وناظر إليك وشاهد عليك فهل يصح أن تعصيه‬، ‫يا بني‬

“Anakku, kalau Allah bersamamu, melihatmu dan menjadi saksi


terhadapmu, apakah engkau masih mau bermaksiat?”

Al-Junadi melanjutkan, “Kalimat pendek ini sangat bermanfaat bagiku


sepanjang hidup. Setiap kali ada hasrat untuk bermaksiat aku
kembali teringat kalimat itu, akhirnya aku urung untuk bermaksiat.”

Pendidikan seperti ini tidak mungkin di-daringkan, karena ia lahir


dari interaksi langsung antara guru yang berkarakter dengan murid
yang berminat. Kalau sekedar transfer pengetahuan tentu bisa
dilakukan secara daring. Tapi pendidikan bukan (hanya) itu.
Pendidikan bukanlah pengajaran.
Gampang Tuduh Orang Munafik,
Jangan-Jangan Kita Termasuk?
Seringkali menuduh munafik seseorang tanpa koreksi diri sendiri.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA

Baca Juga
 Alibi ‘Wajarlah Beliau Nabi, Kita Manusia Biasa’, Benarkah?

 Begitu Mudahkah Haramkan Penggunaan Avatar di Facebook?

 Islam di Srilanka, Jejak Politik Nasional Tak Terbantahkan

Sahabat Hudzaifah disebut sebagai Pemilik Rahasia


Nabi Muhammad SAW. Hal ini karena Sahabat Hudzaifah pernah diberi
tahu Rasulullah SAW tentang sosok-sosok orang munafik di antara para
sahabat.

،‫ ﻻ‬:‫ ﺃﻧﺎ ﻣﻨﻬﻢ؟ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﻧﺸﺪﺗﻚ ﺑﺎﻪﻠﻟ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬،‫ اﺟﻠﺲ ﻳﺎ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ; ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻦ ﺃﻭﻟﺌﻚ‬:‫ ﻓﺘﻌﻠﻘﺖ ﺑﻪ ﻓﻘﻠﺖ‬،‫ﻬﺎ ﺃﻭ ﻳﺮﻳﺪﻫﺎ‬
‫ ﻭﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ‬،‫ ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺰاﺭ‬.‫ﻭﻻ ﺃﺑﺮﺉ ﺃﺣﺪا ﺑﻌﺪﻙ‬

Hudzaifah berkata: Umar bin Khattab pernah diundang menghadiri


jenazah, ia pun mendatanginya. Saya hubungi Umar dan saya bilang:
"Duduklah (jangan ikut salat jenasah), Wahai Pemimpin Umat Islam.
Jenasah ini termasuk orang munafik". Umar berkata: "Aku sumpah
engkau, apakah aku termasuk orang-orang munafik?" Kujawab: "Tidak!
Aku takkan ceritakan lagi setelah ini" (Riwayat Al-Bazzar)

Sejenak kita lihat sosok Sayidina Umar, beliau adalah salah satu pengganti
Rasulullah, tergolong Sahabat yang telah dijamin masuk surga (HR
Tirmidzi), ada banyak ayat Alquran diturunkan karena Sayidina Umar dan
lainnya.

Namun beliau masih khawatir termasuk orang-orang munafik. Sementara


itu, anehnya dengan kita, sering menuduh orang lain sebagai munafik.
Jangan-jangan malah kita sendiri termasuk golongan yang dikecam agama
itu?

Baca Hadits tanpa Paham Fiqih


Ibarat Tepung Tak Jadi Roti
Belajar hadits hendaknya tak cukup dengan membaca harus disertai
fiqih.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri JUnaidi, Lc MA*

Aneh kalau ada yang berkata, “Kesampingkan akal di hadapan


sunnah”, atau “Agama Islam sudah sempurna. Kita cukup Copy Paste
saja,” dan ungkapan-ungkapan lain yang senada. Seolah-olah sebuah
nash, baik ayat maupun hadits, bisa langsung diamalkan tanpa
dipahami dulu. Memahami itu, tentu menggunakan akal. Tak ada
yang lain.
Dari dulu para ulama sudah memperingatkan akibat kalau
sebuah hadits tidak dipahami dengan baik. Hebatnya, yang
memperingatkan itu justeru para ulama hadits sendiri.

Walaupun memang, banyak dari ulama masa itu yang menghimpun


antara hadits dan fiqih, riwayah dan dirayah, penukilan dan
pemahaman. Tapi tidak sedikit juga yang keahliannya hanya sekedar
meriwayatkan saja, tidak memahami apa yang diriwayatkannya.

Ini yang disentil Imam Ibnu al-Jauzi ‫ رحمه هللا‬dalam kitabnya Talbis Iblis.
Ia mengatakan bahwa diantara bentuk talbis (kerancuan) yang
dilemparkan Iblis kepada ashab hadits adalah mereka menghabiskan
usia untuk mengumpulkan berbagai jalur periwayatan hadits,
mengejar sanad yang tinggi, menghimpun matan-matan yang asing
dan langka, lalu mereka mengabaikan sesuatu yang jauh lebih
penting dari itu ; memahami substansi hadits.

Ibnu al-Jauzi menceritakan suatu kisah yang cukup menggelikan. Ia


berkata, “Sebagian ahli hadits meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw
melarang seseorang untuk mengairi tanaman orang lain. Mendengar
hadits itu, beberapa dari mereka berkata, “Kami, sebelum ini, kalau
ada air yang berlebih di kebun kami, memang kami alirkan ke kebun
tetangga kami. Tapi sekarang kami menyesal dan mohon ampun
kepada Allah ‫سبحانه وتعالى‬.”

Ibnu al-Jauzi berkata, “Mereka (pembaca dan pendengar hadits itu)


tidak memahami bahwa yang dimaksud dalam hadits itu adalah
larangan menggauli budak yang sedang hamil (jadi ia bahasa kiasan
atau majazi, bukan hakiki).”

Imam al-Khattabi ‫ رحمه هللا‬juga pernah menceritakan kisah sejenis. Ia


berkata, “Ada diantara guru kami yang meriwayatkan hadits bahwa
Rasulullah ‫ صلى هللا عليه وسلم‬:
‫“ نهى عن الحلق قبل الصالة يوم الجمعة‬Beliau melarang al-halq/al-hilaq sebelum
sholat di hari Jumat.” Ia membacanya dengan lam yang sukun pada
kata ‫( الَح ْلق‬yang berarti memangkas rambut). Lalu ia berkata, “Sudah
40 tahun lebih aku tidak pernah memotong rambut sebelum sholat
di hari Jumat.”

Saya (al-Khattabi) berkata padanya, “Kata ‫ الحلق‬itu tidak dibaca ‫ الَح ْلق‬,
melainkan ‫ الِح َلق‬yang merupakan bentuk jamak dari kata ‫( الحلقة‬yang
berarti berhalaqah atau melingkar dalam sebuah majelis). Rasulullah
‫ صلى هللا عليه وسلم‬melarang hal itu dilakukan sebelum sholat Jumat agar
orang fokus pada khutbah dan menyiapkan diri secara maksimal
untuk sholat.

Mendengar itu ia berkata, “Terimakasih, engkau telah


mencerahkanku.” (Begini semestinya ketika seseorang ditunjukkan
kekeliruannya, sekalipun datang dari muridnya).

Tulisan ini tidak untuk merendahkan atau mendiskreditkan para


perawi hadits. Karena tanpa mereka tentu banyak hadits yang tidak
sampai pada kita hari ini. Hanya saja setiap orang memiliki
kompetensi masing-masing. Tidaklah sesuatu yang tercela ketika
seseorang ahli di satu bidang tapi sangat awam di bidang yang lain.
Karena itu, ambillah ilmu dari ahlinya. Masalah akidah ambil dari
ulama ushuluddin, masalah halal dan haram ambil dari ulama fiqih,
masalah riwayat ambil dari ulama hadits, dan seterusnya.

Mengambil masalah halal dan haram dari ulama hadits tentu


sesuatu yang keliru. Kalau untuk masalah halal haram saja keliru
apalagi untuk masalah akidah. Kecuali kalau ulama itu kompeten di
segala bidang, dan ini sangat jarang, tentu bisa dijadikan sebagai
rujukan. Karena itulah Imam Ibnu al-Jauzi menegaskan :

‫واعلم أن عموم المحدثين حملوا ظاهر ما تعلق من صفات الباري سبحانه على مقتضى الحس فشبهوا‬
‫ألنهم لم يخالطوا الفقهاء فيعرفوا حمل المتشابه على مقتضى الحكم‬
“Ketahuilah, umumnya para muhaddits memaknai apapun yang
berkaitan dengan sifat-sifat Allah secara zhahir kepada sesuatu yang
bersifat inderawi. Akhirnya mereka melakukan tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk). Ini karena mereka tidak
berbaur dengan para fuqaha untuk bisa memahami bagaimana
seharusnya memaknai mutasyabih dalam konteks muhkam.”

‫وهللا تعالى أعلم وأحكم‬

Budak Bertanya 'di Mana Allah


SWT', Apa Maksudnya
Haditsnya?
Hadits budak yang bertanya di mana Allah SWT masih jadi perselisihan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri JUnaidi, Lc MA

Polemik tentang ‘dimana Allah’ mungkin tak akan pernah berakhir.


Bukan saja karena masing-masing pihak melihat dalil yang menjadi
pegangannya lebih kuat, melainkan juga karena ada sentimen dan
antipati kelompok yang berperan dalam memperlama umur
perdebatan ini.

Tidak hanya di tingkat pengikut dan murid, bahkan di tingkat ulama


dan tokoh sentral masing-masing pihak pun tak jarang terjadi saling
lempar tuduhan dan tanabuz bil alqab dengan mengatakan pihak
yang berbeda sebagai muta’ashib, mubtadi’, muta’annit, halik,
kadzib, dan kata-kata kasar lainnya yang tak semestinya keluar dari
mulut seorang ulama.

Sebagai sebuah diskusi dan adu argumentasi, sebenarnya tidak ada


yang perlu dikhawatirkan dari sebuah perdebatan, bagaimanapun
panas dan tajamnya. Karena setiap orang yang memiliki ilmu tentang
sesuatu, lalu melihat orang lain berbeda dengannya, biasanya ia
akan terdorong untuk meluruskan orang tersebut dan
menyampaikan apa yang menurut keyakinannya adalah sesuatu
yang benar. Mungkin ia tidak berhasil merubah pola pikir atau
pendirian orang yang didebatnya, tapi setidaknya jiwanya terasa lega
dan nuraninya tenang ketika ia telah menyampaikan sedikit ilmu
yang diketahuinya.

Dalam konteks inilah saya ingin ikut berbagi dalam perbincangan


tema yang sedang hangat saat ini, khususnya seputar hadits jariyah
yang juga menjadi fokus perdebatan tajam kedua belah pihak yaitu
antara yang menetapkan arah terhadap Allah dan kelompok yang
menafikannya.

Hadits jariyah adalah sebuah hadits panjang dari sahabat Nabi SAW
bernama Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami RA. Hadits ini sebenarnya
menyinggung beberapa tema.

Tapi yang menjadi fokus kita adalah bagian yang terkait dengan
budak wanita yang ditugaskan oleh tuannya; Mu’awiyah sendiri,
untuk mengembala kambing. Entah bagaimana, ada seekor kambing
yang dimangsa serigala. Mengetahui hal itu, Mu’awiyah sangat
marah. Ia lalu menampar sang budak.

Tapi kemudian ia menyesal. Ia datang menemui Nabi dan


menceritakan semuanya. Ia bertanya kepada Nabi, “Apakah
sebaiknya aku merdekakan saja budak itu?” Nabi Saw meminta
Mu’awiyah untuk menghadapkan budak itu padanya.
Nabi bertanya padanya: ‫“ َأْي َن ُهللا ؟‬Dimana Allah?” Budak itu
menjawab: ‫“ فِى الَّس َم اِء‬Di langit.” Rasulullah Saw bertanya lagi: “Siapa
aku?” Ia menjawab, “Engkau adalah
Rasulullah.” Kemudian Rasulullah bersabda pada Mu’awiyah bin
Hakam: ‫“ َأْع ِتْق َه ا َفِإَّن َه ا ُمْؤ ِم َن ٌة‬Merdekakan ia, karena ia seorang yang
beriman.”

Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, Imam Malik


dalam Muwatha`, Imam Abu Dawud dalam Sunan, Ibnu Hibban
dalam Shahih-nya dan imam-imam yang lain.

Hadits ini menjadi salah satu dalil terkuat bagi mereka yang
mengatakan bahwa Allah itu berada di langit, dan dalil kebolehan
bertanya tentang ‘tempat’ Allah dengan menggunakan kata ‘dimana’.

Lantas bagaimana sebenarnya para ulama hadits memahami hadits


ini? Secara umum ada ulama yang mengakui kesahihan hadits ini
dan ada yang tidak. Mereka yang menerima kesahihan hadits ini,
karena terdapat di dalam Shahih Muslim, mengkategorikan hadits ini
sebagai hadits sifat. Sementara untuk ayat atau hadits yang
berbicara tentang sifat-sifat Allah, ada dua cara memahaminya:

Pertama, mengimaninya secara apa adanya tanpa dibahas terlalu


jauh apa makna dibaliknya, dengan tetap berpegang pada keyakinan
utama bahwa tidak satupun yang serupa dengan Allah SWT, dan
tetap mensucikan-Nya dari segala sifat dan karakteristik makhluk.

Kedua, mentakwilkannya dengan makna yang sesuai, sejalan dan


pantas dengan keagungan dan kesucian Allah SWT.

Ulama yang cenderung pada cara kedua yaitu mentakwilkan,


mengatakan bahwa maksud dari pertanyaan ‘dimana Allah’ adalah
untuk menguji apakah budak wanita tersebut bertauhid dan
mengakui bahwa Pencipta alam semesta ini adalah Allah SWT, yang
ketika seseorang berdoa ia akan menghadap ke arah langit,
sebagaimana halnya orang yang shalat a menghadap ke arah
Ka’bah.

Ini tidak berarti bahwa Allah ‘bertempat’ di langit. Sama halnya ketika
orang yang sedang sholat menghadap ke arah Ka’bah, tidak berarti
bahwa Allah ‘berada’ di arah itu. Menghadapnya orang ke Ka’bah
karena Ka’bah adalah arah kiblat shalat. Demikian juga,
menghadapnya orang ke langit ketika berdoa karena langit adalah
kiblat untuk berdoa. Imam Qadhi ‘Iyadh berkata :

‫ال خالف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقلدهم أن الظواهر الواردة بذكر هللا‬
‫تعالى في السماء كقوله تعالى أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم األرض ونحوه ليست على ظاهرها بل‬
‫متأولة عند جميعهم‬

“Tidak ada perbedaan antara kaum muslimin seluruhnya, baik yang


paham ilmu fiqih, hadits, kalam, nazhar, maupun yang taqlid, bahwa
zahir nash yang menyebutkan bahwa Allah di langit seperti ayat:
“Apakah kamu merasa aman dari Yang di langit…” dan sejenisnya,
tidak boleh dipahami secara zhahir (tekstual), melainkan mesti
ditakwilkan…” (Syarah Nawawi 5/24-25).

Ulama lain menilai bahwa kesahihan redaksi hadits ini perlu ditinjau
ulang, meskipun terdapat dalam Shahih Muslim. Hal ini karena untuk
memahami sebuah hadits dengan baik, perlu dilakukan al-
jam’ (menghimpun) hadits-hadits yang semakna, baik dari thariq (jalur
periwayatan) yang sama maupun dari thuruq yang berbeda-beda.

Diantara ulama hadits yang melakukan hal ini adalah Imam Baihaqi.
Penjelasan beliau dapat dilihat dalam kitabnya Asma` wa Shifat dan Sunan
Kubra.

Yang unik, dalam kitab Asma` wa Shifat ia mengatakan bahwa hadits


Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami yang panjang itu memang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, tapi tidak termasuk bagian yang
berkaitan dengan budak wanita itu. Ia menjelaskan:

‫ َع ْن َيْح َيى ْبِن َأِبي َك ِثيٍر ُد وَن ِقَّص ِة‬، ‫َو َهَذ ا َص ِح يٌح َقْد َأْخ َر َج ُه ُم ْس ِلٌم ُم َقَّطًعا ِم ْن َحِد يِث اَأْلْو َزاِعِّي َو َح َّجاٍّج الَّص َّو اِف‬
‫ َو َقْد َذ َكْر ُت ِفي ِكَتاِب الِّظَهاِر ِم َن الُّسَنِن ُم َخاَلَفَة‬.‫ َو َأُظُّنُه ِإَّنَم ا َتَر َك َها ِم َن اْلَحِد يِث اِل ْخ ِتاَل ِف الُّر َو اِة ِفي َلْفِظ ِه‬،‫اْلَج اِر َيِة‬
)2/325 ‫َم ْن َخاَلَف ُمَع اِو َيَة ْبَن اْلَح َك ِم ِفي َلْفِظ اْلَحِد يِث (األسماء والصفات للبيهقي‬

“Hadits ini sahih, diriwayatkan Imam Muslim dengan dipisah-pisah dari


hadits al-Awza’i dan Hajjaj ash-Shawwaf dari Yahya bin Abu Katsir, selain
kisah budak itu. Saya kira ia (Imam Muslim) meninggalkan bagian ini
karena ada perbedaan para perawi tentang redaksi haditsnya. Saya
sendiri telah menguraikan perbedaan para perawi tentang redaksi hadits
ini dalam Sunan Kubra pada kitab azh-Zhihar.”

Ini artinya, di dalam kitab Shahih Muslim yang dijadikan rujukan Imam
Baihaqi, tidak terdapat bagian yang terkait dengan kisah budak wanita itu.
Tentunya, kitab Shahih Muslim yang dijadikan pegangan oleh Imam
Baihaqi tidak diperolehnya secara sembarangan. Nuskhah yang ada
padanya tentu nuskhah yang mu’tamad yang diperoleh dari guru-gurunya
para ulama hadits yang sangat diakui. Hal ini ia sebutkan juga
dalam Sunan Kubra (20/148).

Terlepas dari hal ini (tidak terdapatnya kisah tentang budak itu dalam
Shahih Muslim yang dijadikan rujukan oleh Imam Baihaqi), faktanya
bagian itu memang ada dalam nuskhah yang lain. Tentu bukan hal yang
mudah untuk melacak nuskhah mana yang lebih shahih dan layak
dijadikan rujukan, nuskhah Imam Baihaqi yang tidak memuat kisah
tentang sang budak, atau nuskhah ulama lain yang memuat tentang itu.

Yang perlu menjadi perhatian di sini adalah Imam Baihaqi sendiri


menegaskan terdapat ‘mukhalafah’ (pertikaian) dan ‘ikhtilaf’ (perbedaan)
dalam hadits ini. Inilah yang mendasari sebagian ulama hadits
mengatakan bahwa hadits jariyah ini bersifat mudhtharib. Idhthirab-nya
bukan hanya tampak ketika dihadapkan kepada jalur periwayatan yang
berbeda, tapi juga ketika dihadapkan pada redaksi lain dalam jalur
periwayatan yang sama.

Redaksi hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari ‘Atha` bin Yasar, dari Mu’awiyah
bin Hakam as-Sulami, menyebutkan bahwa Nabi Saw bertanya secara lisan kepada
sang budak, “Dimana Allah?” Sementara dari jalur yang sama, hadits ini diriwayatkan
dengan redaksi :

‫ ُهللا‬: ‫َفَم َّد الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيَد ُه ِإَلْيَها ُم ْسَتْفِهًم ا َم ْن ِفي الَّس َم اِء ؟ َقاَلْت‬

“Nabi SAW membentangkan tangannya pada budak itu dalam bentuk


bertanya (substansi pertanyaannya), “Siapa di langit?” Ia menjawab: Allah.”
(sanad hadits ini bisa dilihat dalam Tuhfatul Asyraf 8/427).

Berarti Nabi SAW tidak bertanya secara lisan, “Dimana Allah?”. Nabi SAW
hanya memberikan isyarat dengan tangan dalam bentuk bertanya.

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa yang memberi isyarat dengan tangan
justeru adalah si budak, karena ternyata ia seorang ‘ajam yang tidak bisa
berbahasa Arab. Sehingga ketika Nabi bertanya, “Dimana Allah?” Ia hanya
menunjuk ke langit tanpa berkata sepatah katapun (lihat takhrij haditsnya
dalam tahqiq Syekh Syu’aib al-Arna`uth terhadap Musnad Ahmad 25/20).

Ada juga yang menyebut bahwa budak wanita itu sebenarnya bisu.
Sehingga ia hanya bisa memberi isyarat dengan tangan ketika ditanya
oleh Rasulullah SAW. Tapi saya pribadi belum menemukan riwayat
tentang ini dalam kitab-kitab hadits yang saya telaah.

Itu baru dalam thariq (jalur periwayatan) yang sama yaitu dari Hilal bin Abi
Maimunah, dari ‘Atha` bin Yasar, dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami
RA. Ketika dihadapkan pada thariq atau sanad yang lain, akan lebih
tampak sisi idhthirab pada hadits ini.

Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Muwatha`, Imam Abdurrazzaq


dalam Musnannaf, Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad dan
ulama-ulama hadits lainnya, bahwa Rasulullah SAW bertanya kepada
budak itu :

‫ َنَعْم‬: ‫ َأَفَتْش َهِد يَن َأَّن ُمَحَّم دًا َر ُسوُل ِهللا؟ َقاَلْت‬: ‫ َقاَل‬، ‫ َنَعْم‬: ‫َأَتْش َهِد يَن َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهللا ؟ َفَقاَلْت‬

“Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” Budak itu
menjawab, “Ya.” Rasulullah Saw bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi
bahwa Muhammad utusan Allah?” Ia menjawab, “Ya.”

Syekh Syu’aib Arnauth mengomentari redaksi ini : “ ‫هذا هو اللفظ الصحيح للحديث إن‬
‫ شاء هللا‬Inilah redaksi hadis yang sahih, insya Allah.” (hamisy Musnad 13/286).

Hadits ini didukung beberapa syawahid di dalam Sunan ad-Darimi dari


Syarid RA, al-Bazzar dalam Musnadnya dan ath-Thabarani dalam Mu’jam
al-Kabir dari Abdullah bin Abbas RA.

Jadi, redaksinya bukan ‘dimana Allah’, melainkan ‘apakah engkau bersaksi


bahwa tiada Tuhan selain Allah?”

Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Syarid bin Suwaid ra dengan


redaksi yang berbeda lagi. Nabi Saw tidak bertanya kepada budak yang
ingin diuji keimanannya itu dengan kalimat, “Dimana Allah?” melainkan
dengan kalimat: ‫“ َم ْن َر ُّبِك ؟‬Siapa Tuhanmu?”

Karena perbedaan redaksi yang cukup tajam inilah maka hadits ini
dikategorikan sebagai hadits mudhtharib. Dan,
hadits mudhtharib termasuk kategori hadits yang lemah. Tentang apakah
mungkin di dalam kitab Shahih (baik Shahih Bukhari
maupun Shahih Muslim) ada hadits yang dinilai lemah, ini membutuhkan
kajian yang lain secara terpisah.

Kalau kita harus memilih dari beberapa redaksi hadits yang berbeda-beda
itu, maka kita akan memilih redaksi yang sejalan dengan banyak hadits
(bahkan sebagian ulama mengatakan sampai ke derjat mutawatir) yang
menegaskan bahwa bukti keimanan itu adalah dengan kesaksian bahwa
tiada Tuhan selain Allah (bukan dengan jawaban pertanyaan dimana
Allah).

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : ‫ِإَّن ِإْد َر اَك اْلُع ُقوِل َأِلْس َر اِر الُّر ُبوِبَّيِة َقاِص ٌر َفاَل َيَتَو َّجُه َع َلى‬
‫ُح ْك ِمِه ِلَم َو اَل َكْيَف َك َم ا اَل َيَتَو َّجُه َع َلْيِه ِفي وجوده َأْين َو َح ْيُث‬

Sesungguhnya akal manusia sangat lemah untuk memahami rahasia


ketuhanan. Maka tidaklah pantas diarahkan kepada berbagai ketetapan-
Nya pertanyaan ‘kenapa’ atau ‘bagaimana’. Sebagaimana halnya tidak
pantas diarahkan pada eksistensi-Nya pertanyaan ‘dimana’ (Fathul
Bari 1/221).

‫وفقنا هللا لما يحبه ويرضاه وأن ننزهه ونعظمه ونقدره حق قدره‬

Rasulullah tak Tinggalkan Makan


Malam
Nabi Muhammad Saw menekankan supaya tak meninggalkan makan
malam, walau hanya sedikit

REPUBLIKA.CO.ID, Nabi Muhammad Saw menekankan supaya tidak


meninggalkan makan malam, walaupun hanya sedikit. Dalam buku Terapi
Sehat Ala Nabi karya Bisri M Djaelani, disebutkan Nabi mengajarkan cara
hidup sehat seperti menjaga pola makan, minum, tidur, hingga olah raga.

Dalam hal makan, Beliau menganjurkan supaya orang makan pada saat
keadaannya sedang lega dan berhenti sebelum kenyang. Beliau juga
menganjurkan agar makan tidak tergesa-gesa, makanan yang dikonsumsi
sebaiknya berganti-ganti dan jenisnya bermacam-macam.

Mengenai makan malam, Beliau pernah bersabda, "Makanlah pada


malam hari, meskipun hanya sekadar seganggam roti kering, karena tak
pernah makan malam membuat orang cepat tua" (HR Tirmizi).

Diriwayatkan pula dalam hadist Nabi Saw, Beliau bersabda, "Jangan


tinggalkan makan malam, meskipun hanya sekadar segenggam kurma,
sebab tanpa makan malam orang akan cepat tua" (HR. Ibnu Majah).

Jikalau makan, Nabi Saw selalu menghabiskan makanannya. Beliau sering


menjilat-jilat jari-jarinya tiga kali setelah makan. Selain itu, beliau
bersabda, "Menghabiskan makanan hingga bersih berarti

Buah Kesabaran Abu Umamah


dalam Dakwah di Jalan Allah
Abu Umamah ditugaskan Rasulullah berdakwah di kampungnya.

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH--Shudai bin Ajlan adalah sahabat Rasulullah


SAW dari suku Bahilah. Setelah masuk Islam, ia kemudian lebih dikenal
dengan nama Abu Umamah al-Bahili. Dia banyak meriwayatkan hadits
Rasulullah SAW.

Abu Umamah diutus oleh Rasulullah SAW untuk berdakwah di kampung


halamannya. Dia bertugas untuk menyeru ajaran tauhid kepada kaumnya,
orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan
dirinya.

Abu Umamah pun melaksanakan perintah Rasulullah SAW. Dia pulang ke


daerah asalnya. Ketika sampai di kampungnya, Abu Umamah dalam
keadaan haus dan lapar. Saat itu, orang-orang tengah bersantap makan
siang. Namun, yang dimakan oleh mereka dalam makanan yang terbuat
dari darah.

"Kemarilah, makan bersama kami," ajaknya kepada Abu Umamah seperti


diceritakan Aan Wulandari dalam buku Kisah Istimewa Asmaul Husna.

Ketika itu, orang-orang mempersilakan Abu Umamah untuk menikmati


hidangan. Namun, Abu Umamah menolak dan berkata bahwa dia datang
untuk mengajarkan tauhid dan syariat Islam salah satunya adalah tidak
boleh memakan makanan dari darah.

"Tentu saja, orang-orang tidak suka mendengarnya. Mereka marah karena


Abu Umamah telah meninggalkan agama nenek moyang," katanya.

Ketika Abu umamah meminta sedikit air karena tenggorokannya yang


sangat kering, orang-orang yang tidak mau membelinya. "Tidak kami akan
membiarkan engkau mati kehausan," ucap mereka.

"Abu Umamahpun meninggalkan orang-orang ini dalam keadaan haus


dan lapar. Hatinya sangat sedih atas perlakuan kaumnya," kata Aan
Wulandari.

Ketika itu cuaca sangat panas, di sebuah tempat, Abu Umamah


beristirahat, ia menutup kain ke kepalanya, lalu tertidur. Saat tidur, Abu
umamah bermimpi diberi minum susu. Dia pun menerimanya dengan
senang dan meminumnya sampai puas, hingga hilang rasa lapar dan
dahaganya.

"Belum pernah Abu Umamah minum susu lezat ini," katanya.

Saat itu kaum Bahilah menyesal telah memperlakukan Abu Umamah


dengan kasar, bagaimanapun, Abu Umamah adalah saudara mereka
bahkan, putra orang terhormat di kalangan mereka. Orang-orang mencari
Abu Umama sambil membawa makanan dan minuman.
Ketika bertemu dengan Abu Umamah mereka kaget melihatnya Abu
Umamah terlihat segar bugar. Dia berkata sudah tak membutuhkan
makanan dan minuman lagi, diperlihatkan perutnya yang penuh.

"Allah SWT telah memberinya makan dan minuman dari arah yang tak
disangka-sangka," katanya.

Alhamdulillah, mendengar dan melihat bukti nyata ini suku Bahilah


percaya pada dakwah yang disampaikan oleh Abu Umamah mereka
beriman pada Allah dan Rasul-Nya.

Aan Wulandari menuturkan, kisah ini dikaitkan dengan Asmaul Husna


Adh-Dhaarru (Pemberi Kesukaran) dan An Naafi'u ( Maha Pemberi
manfaat). Jika Allah sudah berkehendak memberikan kemudahan tidak
ada yang bisa menghalanginya.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-fath ayat 11 yang artinya "... Maka
siapakah yang dapat menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki
bencana terhadap kamu atau jika dia menghendaki keuntungan bagimu."

Makna dari ayat tersebut Allah menimpakan kesukaran dan memberi


manfaat kepada siapa saja yang dikehendaki. Allah memberi Hidayah
kepada orang-orang yang dikehendaki, adapun orang lain dibiarkan
dalam kesesatan. Tak ada orang yang bisa menghalangi kehendak-Nya.

Minuman yang Paling Disukai


Rasulullah, Apa Itu?
Banyak hadits Nabawi yang menjelaskan tentang minuman Rasulullah
SAW.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika Rasulullah SAW menyukai jenis-jenis
makanan tertentu, beliau juga memiliki kesukaan terhadap suatu jenis
minuman. Dan dipastikan, minuman kesukaan Nabi bukanlah hal yang
berbau makruh apalagi haram.

Dalam buku Harta Nabi karya Abdul Fattah As-Samman dijelaskan,


terdapat banyak hadits Nabawi yang menjelaskan tentang minuman
Rasulullah SAW. Istri Nabi, Aisyah, pernah berkata minuman yang paling
disenangi Nabi adalah air tawar yang jernih.

Perkataan Aisyah itu bersumber dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam At-Tirmidzi. Sedangkan hadits lainnya, Ibnu Abbas pernah berkata
minuman yang paling disukai Nabi adalah susu.

Hadits lainnya sebagaimana yang disampaikan Al-Munawi, dia berkata


Nabi paling senang meminum al-hulwu al-barid (air tawar yang jernih).
Seperti air dari sumber mata air dan air sumur jernih yang rasanya manis-
tawar.

Nabi juga terkadang, kata Al-Munawi, mendiamkan air menjadi tawar.


Mencampurkan madu ke dalam air atau memasukkan air dalam kurma
kering dan kismis. Sedangkan menurut riwayat-riwayat yang paling zhahir
menurut Ibnu Al-Qayyim, Nabi memang sering melakukan itu.

Ibnu Al-Qayyim berpendapat, Nabi meminum air dingin yang dicampur


madu sehingga rasanya menjadi manis dingin. Nabi juga
meminum susu yang dicampur air sampai dingin bagian bawahnya.

Terdapat tiga perkara penyelamat, perusak, dan penghapus dosa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ulama asal Banten yang pernah menjadi


imam di Makkah, Syekh Nawawi al-Bantani
mengungkapkan hadits nabi yang menjelaskan tentang tiga perkara
yang dapat menyelamatkan manusia dari siksa Allah SWT.

Dalam kitabnya yang berjudul “Nashaihul ‘Ibad”, Syekh Nawawi


menjelaskan, Abu Hurairah atau yang bernama asli Abdurrahman
ibn Shakhr berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

‫ َو َثاَل ٌث‬، ‫ "َثاَل ٌث ُم ْهِلَك اٌت‬:‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫ َقاَل‬-‫عنهما‬- ‫َع ْن عبد هللا ْبِن ُع َم َر رضي هللا‬
‫ َو ِإْع َج اُب اْلَم ْر ِء‬،‫ َو َهًو ى ُم َّتَبٌع‬، ‫ َفُش ٌّح ُم َطاٌع‬: ‫ َفَأَّم ا اْلُم ْهِلَك اُت‬، ‫ َو َثاَل ٌث َد َرَج اٌت‬، ‫ َو َثاَل ٌث َك َّفاَر اٌت‬،‫ُم َنِّج َياٍت‬
‫ َو َخ ْش َيُة ِهَّللا ِفي الِّسِّر‬،‫ َو اْلَقْص ُد ِفي اْلَفْقِر َو اْلِغ َنى‬،‫ َفاْلَع ْد ُل ِفي الِّر َض ى َو اْلَغ َضِب‬: ‫ َو َأَّم ا اْلُم َنِّج َياُت‬،‫ِبَنْفِس ِه‬
‫ َو َنْقُل اَأْلْقَداِم ِإَلى‬،‫ َو ِإْس َباُغ اْلُو ُضوِء ِفي الَّس َبَر اِت‬،‫ َفاْنِتَظاُر الَص اَل ِة َبْع َد الَص اَل ِة‬: ‫ َو َأَّم ا اْلَك َّفاَر اُت‬،‫َو اْلَع اَل ِنَيِة‬
‫ َو الَص اَل ُة ِبالَّلْيِل َو الَّناُس ِنَياٌم‬، ‫ َو ِإْفَش اُء الَّسالِم‬، ‫ َفِإْطَع اُم الَّطَع اِم‬: ‫ َو َأَّم ا الَّد َرَج اُت‬،‫"اْلَج َم اَعاِت‬

“Ada tiga perkata yang menyelamatkan (penyelamat manusia dari


siksa Allah), ada tiga perkara yang dapat membinasakan
(mengantarkan manusia pada kebinasaan), ada tiga perkara yang
dapat meninggikan derajat (derajat manusia di akhirat), dan ada tiga
perkara yang dapat menghapus dosa.”

Tiga hal yang dapat menyelamatkan manusia dari siksa Allah itu yang
pertama adalah takut kepada Allah, baik ketika berada di tempat sepi
maupun ketika berada di tempat ramai. Menurut Syekh Nawawi,
takwa kepada Allah di tempat sepi adalah paling tingginya derajat.

Kedua, berpola hidup hemat dan sederhana, baik saat tidak


berkecukupan maupun saat berkecukupan. Artinya, menurut Syekh
Nawawi, sederhana dalam hidup dengan tidak berfoya-foya dan
ridha dengan hal itu.

Sedangkan perkara yang ketiga, selalu berlaku adi, baik saat rela
maupun di saat marah. Arti dari marah dan rela tersebut, menurut
Syekh Nawawi, bersikap marah kepada hal yang dimurkai Allah dan
bersikap rela dengan apa yang diridhai Allah.
Sementara itu, tiga hal yang dapat membinasakan adalah sangat
kikir, senantiasa menuruti hawa nafsunya, dan membanggakan diri
sendiri. Kemudian, tiga hal yang dapat meninggikan derajat manusia
di akhirat, yaitu membudayakan ucapan salam, suka memberikan
makanan kepada tamu dan orang yang lapar, dan sholat malam.

Adapun tiga hal yang dapat menghapus dosa, yang pertama adalah
menyempurnakan wudhu di pagi hari yang dingin. Kedua,
melangkahkan kaki untuk melaksanakan sholat berjamaah. Ketiga,
menunggu tibanya waktu sholat yang kedua usai mengerjakan sholat
yang pertama, sehingga ada hubungan emosial juga dengan masjid.

Nabi Muhammad memiliki budi pekerti yang baik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Inti dari ajaran agama Islam adalah


terbentuknya akhlak atau budi perkerti yang luhur. Posisi akhlak dalam
Islam pun sangatlah penting, Nabi Muhammad pun dikenal sebagai
pribadi yang paling berakhlak luhur.

Dalam buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haikal


dijelaskan, sebelum diangkat menjadi Nabi, Rasulullah SAW dikenal
banyak orang sebagai pribadi yang berbudi pekerti. Bahkan penduduk
Makkah kala itu tak ada yang pernah menyangsikan kemuliaan akhlak
Muhammad.

Maka ketika menjadi Nabi, dengan wahyu yang diterimanya menyerukan


kepada umat, beliau menyampaikannya dengan cara-cara yang santun,
tegas, dan taktis. Reformasi sosial pun terjadi, semula dari masyarakat
Jahiliyah menjadi masyarakat yang berperadaban. Dijelaskan, dalam
mereformasi tatanan sosial maka diperlukan kerja sama antara laki-laki
dengan perempuan. Sementara masyarakat Jahiliyah saat itu sangat tabu
menjadikan perempuan sebagai manusia yang utuh. Dengan hadirnya
wahyu Allah, Nabi Muhammad pun mencoba mengaktualisasikan
dakwahnya dengan pendekatan yang dinamis.
Diperkenalkan bahwa perempuan sejatinya juga manusia, makhluk Allah
yang ditugaskan pula untuk menyembah-Nya. Maka Nabi mempraktikkan
bagaimana akhlaknya kepada para perempuan, lalu menyampaikan
betapa mulianya perempuan terutama ibu dalam kehidupan manusia.

Tak hanya itu, Nabi juga mulai memasuki ruang budaya masyarakat Arab.
Yang awalnya tidak mengenal pembatasan dalam pernikahan dan
cenderung semena-mena dengan perempuan, justru dibatasi pernikahan
budaya tersebut. Dijelaskan dalam buku ini bahwa hak dan kewajiban
antara laki-laki dengan perempuan sama, namun dalam porsi yang
berbeda. Dengan reformasi sosial yang dijalankan, Nabi Muhammad
menjadi contoh dan teladan. Bagaimana Nabi tidak menikahi perempuan
lainnya di saat Sayyidah Khadijah masih hidup. Sepeninggal Sayyidah
Khadijah, Nabi diperintahkan menikahi beberapa istri oleh Allah.

Alasannya tentu bukan karena nafsu birahi sebagaimana yang


ditudingkan kaum orientalis. Nabi berpoligami atas pertintah Allah itu
untuk memberikan contoh pada masa itu yang dianggap krusial untuk
dilakukan. Yakni dengan alasan dakwah, politik, hingga teladan
bagaimana laki-laki harusnya memperlakukan perempuan.

Peneliti sekaligus Aktivis Gender Islam Ustazah Nur Rofiah menyebut,


bahwa poligaminya Rasulullah sejatinya merupakan upaya taktis dalam
beberapa tahapan misi. Pertama, dalam upaya pembatasan untuk
menikahi perempuan.

“Yang tadinya (pada masa jahiliyah) sebanyak-banyaknya menikahi


perempuan semaunya, begitu Islam datang dibatasi menjadi empat. Tapi
dalam redaksi ayat Alqurannya dijelaskan pula, jika tidak mampu berlaku
adil, maka diperintahkan untuk menikahi satu saja,” kata Ustazah Nur
Rofiah dalam webinar, baru-baru ini.

Ustaz Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya berjudul 60 Hadis Hak-Hak


Perempuan dalam Islam menyebutkan, hubungan timbal balik atau
kesalingan antara laki-laki dengan perempuan. Nabi bersabda: “Ishtawu
binnisa-i khairan fa innama hunna indakum awanin,”. Yang artinya: “Saling
berwasiatlah di antara kalian untuk selalu berbuat baik terhadap
perempuan, karena mereka berada pada posisi lemah di antara kalian,”.

Dengan relasi antara perempuan dengan laki-laki, reformasi sosial


sejatinya terujud ke arah yang positif. Misalnya, dalam skala paling kecil
seperti rumah tangga, hubungan kesalingan antara perempuan dengan
laki-laki yang baik akan menimbulkan aura positif dalam biduk rumah
tangga.

Yang mana, aura positif tersebut akan melahirkan akhlakul karimah


kepada insan-insan yang hidup di dalamnya. Dalam skala sosial yang lebih
besar, hubungan tersebut pun dapat memajukan nilai-nilai peradaban.
Seperti dukungan satu sama lain dalam aspek ekonomi, politik, hingga
budaya.

Anda mungkin juga menyukai