Baca Juga
Alibi ‘Wajarlah Beliau Nabi, Kita Manusia Biasa’, Benarkah?
Jika kemampuan untuk berkata singkat, padat dan melekat ini harus
dimiliki setiap mukmin, maka ia lebih harus lagi dimiliki oleh seorang
pendidik ; orang tua, guru dan tokoh masyarakat.
هللا معي
"Allah bersamaku."
هللا ناظر إلي
"Allah melihatku."
إذا كان هللا معك وناظر إليك وشاهد عليك فهل يصح أن تعصيه، يا بني
Baca Juga
Alibi ‘Wajarlah Beliau Nabi, Kita Manusia Biasa’, Benarkah?
، ﻻ: ﺃﻧﺎ ﻣﻨﻬﻢ؟ ﻗﺎﻝ، ﻧﺸﺪﺗﻚ ﺑﺎﻪﻠﻟ: ﻓﻘﺎﻝ، اﺟﻠﺲ ﻳﺎ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ; ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻦ ﺃﻭﻟﺌﻚ: ﻓﺘﻌﻠﻘﺖ ﺑﻪ ﻓﻘﻠﺖ،ﻬﺎ ﺃﻭ ﻳﺮﻳﺪﻫﺎ
ﻭﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ، ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺰاﺭ.ﻭﻻ ﺃﺑﺮﺉ ﺃﺣﺪا ﺑﻌﺪﻙ
Sejenak kita lihat sosok Sayidina Umar, beliau adalah salah satu pengganti
Rasulullah, tergolong Sahabat yang telah dijamin masuk surga (HR
Tirmidzi), ada banyak ayat Alquran diturunkan karena Sayidina Umar dan
lainnya.
Ini yang disentil Imam Ibnu al-Jauzi رحمه هللاdalam kitabnya Talbis Iblis.
Ia mengatakan bahwa diantara bentuk talbis (kerancuan) yang
dilemparkan Iblis kepada ashab hadits adalah mereka menghabiskan
usia untuk mengumpulkan berbagai jalur periwayatan hadits,
mengejar sanad yang tinggi, menghimpun matan-matan yang asing
dan langka, lalu mereka mengabaikan sesuatu yang jauh lebih
penting dari itu ; memahami substansi hadits.
Saya (al-Khattabi) berkata padanya, “Kata الحلقitu tidak dibaca الَح ْلق,
melainkan الِح َلقyang merupakan bentuk jamak dari kata ( الحلقةyang
berarti berhalaqah atau melingkar dalam sebuah majelis). Rasulullah
صلى هللا عليه وسلمmelarang hal itu dilakukan sebelum sholat Jumat agar
orang fokus pada khutbah dan menyiapkan diri secara maksimal
untuk sholat.
واعلم أن عموم المحدثين حملوا ظاهر ما تعلق من صفات الباري سبحانه على مقتضى الحس فشبهوا
ألنهم لم يخالطوا الفقهاء فيعرفوا حمل المتشابه على مقتضى الحكم
“Ketahuilah, umumnya para muhaddits memaknai apapun yang
berkaitan dengan sifat-sifat Allah secara zhahir kepada sesuatu yang
bersifat inderawi. Akhirnya mereka melakukan tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk). Ini karena mereka tidak
berbaur dengan para fuqaha untuk bisa memahami bagaimana
seharusnya memaknai mutasyabih dalam konteks muhkam.”
Hadits jariyah adalah sebuah hadits panjang dari sahabat Nabi SAW
bernama Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami RA. Hadits ini sebenarnya
menyinggung beberapa tema.
Tapi yang menjadi fokus kita adalah bagian yang terkait dengan
budak wanita yang ditugaskan oleh tuannya; Mu’awiyah sendiri,
untuk mengembala kambing. Entah bagaimana, ada seekor kambing
yang dimangsa serigala. Mengetahui hal itu, Mu’awiyah sangat
marah. Ia lalu menampar sang budak.
Hadits ini menjadi salah satu dalil terkuat bagi mereka yang
mengatakan bahwa Allah itu berada di langit, dan dalil kebolehan
bertanya tentang ‘tempat’ Allah dengan menggunakan kata ‘dimana’.
Ini tidak berarti bahwa Allah ‘bertempat’ di langit. Sama halnya ketika
orang yang sedang sholat menghadap ke arah Ka’bah, tidak berarti
bahwa Allah ‘berada’ di arah itu. Menghadapnya orang ke Ka’bah
karena Ka’bah adalah arah kiblat shalat. Demikian juga,
menghadapnya orang ke langit ketika berdoa karena langit adalah
kiblat untuk berdoa. Imam Qadhi ‘Iyadh berkata :
ال خالف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقلدهم أن الظواهر الواردة بذكر هللا
تعالى في السماء كقوله تعالى أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم األرض ونحوه ليست على ظاهرها بل
متأولة عند جميعهم
Ulama lain menilai bahwa kesahihan redaksi hadits ini perlu ditinjau
ulang, meskipun terdapat dalam Shahih Muslim. Hal ini karena untuk
memahami sebuah hadits dengan baik, perlu dilakukan al-
jam’ (menghimpun) hadits-hadits yang semakna, baik dari thariq (jalur
periwayatan) yang sama maupun dari thuruq yang berbeda-beda.
Diantara ulama hadits yang melakukan hal ini adalah Imam Baihaqi.
Penjelasan beliau dapat dilihat dalam kitabnya Asma` wa Shifat dan Sunan
Kubra.
َع ْن َيْح َيى ْبِن َأِبي َك ِثيٍر ُد وَن ِقَّص ِة، َو َهَذ ا َص ِح يٌح َقْد َأْخ َر َج ُه ُم ْس ِلٌم ُم َقَّطًعا ِم ْن َحِد يِث اَأْلْو َزاِعِّي َو َح َّجاٍّج الَّص َّو اِف
َو َقْد َذ َكْر ُت ِفي ِكَتاِب الِّظَهاِر ِم َن الُّسَنِن ُم َخاَلَفَة. َو َأُظُّنُه ِإَّنَم ا َتَر َك َها ِم َن اْلَحِد يِث اِل ْخ ِتاَل ِف الُّر َو اِة ِفي َلْفِظ ِه،اْلَج اِر َيِة
)2/325 َم ْن َخاَلَف ُمَع اِو َيَة ْبَن اْلَح َك ِم ِفي َلْفِظ اْلَحِد يِث (األسماء والصفات للبيهقي
Ini artinya, di dalam kitab Shahih Muslim yang dijadikan rujukan Imam
Baihaqi, tidak terdapat bagian yang terkait dengan kisah budak wanita itu.
Tentunya, kitab Shahih Muslim yang dijadikan pegangan oleh Imam
Baihaqi tidak diperolehnya secara sembarangan. Nuskhah yang ada
padanya tentu nuskhah yang mu’tamad yang diperoleh dari guru-gurunya
para ulama hadits yang sangat diakui. Hal ini ia sebutkan juga
dalam Sunan Kubra (20/148).
Terlepas dari hal ini (tidak terdapatnya kisah tentang budak itu dalam
Shahih Muslim yang dijadikan rujukan oleh Imam Baihaqi), faktanya
bagian itu memang ada dalam nuskhah yang lain. Tentu bukan hal yang
mudah untuk melacak nuskhah mana yang lebih shahih dan layak
dijadikan rujukan, nuskhah Imam Baihaqi yang tidak memuat kisah
tentang sang budak, atau nuskhah ulama lain yang memuat tentang itu.
Redaksi hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari ‘Atha` bin Yasar, dari Mu’awiyah
bin Hakam as-Sulami, menyebutkan bahwa Nabi Saw bertanya secara lisan kepada
sang budak, “Dimana Allah?” Sementara dari jalur yang sama, hadits ini diriwayatkan
dengan redaksi :
ُهللا: َفَم َّد الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيَد ُه ِإَلْيَها ُم ْسَتْفِهًم ا َم ْن ِفي الَّس َم اِء ؟ َقاَلْت
Berarti Nabi SAW tidak bertanya secara lisan, “Dimana Allah?”. Nabi SAW
hanya memberikan isyarat dengan tangan dalam bentuk bertanya.
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa yang memberi isyarat dengan tangan
justeru adalah si budak, karena ternyata ia seorang ‘ajam yang tidak bisa
berbahasa Arab. Sehingga ketika Nabi bertanya, “Dimana Allah?” Ia hanya
menunjuk ke langit tanpa berkata sepatah katapun (lihat takhrij haditsnya
dalam tahqiq Syekh Syu’aib al-Arna`uth terhadap Musnad Ahmad 25/20).
Ada juga yang menyebut bahwa budak wanita itu sebenarnya bisu.
Sehingga ia hanya bisa memberi isyarat dengan tangan ketika ditanya
oleh Rasulullah SAW. Tapi saya pribadi belum menemukan riwayat
tentang ini dalam kitab-kitab hadits yang saya telaah.
Itu baru dalam thariq (jalur periwayatan) yang sama yaitu dari Hilal bin Abi
Maimunah, dari ‘Atha` bin Yasar, dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami
RA. Ketika dihadapkan pada thariq atau sanad yang lain, akan lebih
tampak sisi idhthirab pada hadits ini.
َنَعْم: َأَفَتْش َهِد يَن َأَّن ُمَحَّم دًا َر ُسوُل ِهللا؟ َقاَلْت: َقاَل، َنَعْم: َأَتْش َهِد يَن َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهللا ؟ َفَقاَلْت
“Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” Budak itu
menjawab, “Ya.” Rasulullah Saw bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi
bahwa Muhammad utusan Allah?” Ia menjawab, “Ya.”
Syekh Syu’aib Arnauth mengomentari redaksi ini : “ هذا هو اللفظ الصحيح للحديث إن
شاء هللاInilah redaksi hadis yang sahih, insya Allah.” (hamisy Musnad 13/286).
Karena perbedaan redaksi yang cukup tajam inilah maka hadits ini
dikategorikan sebagai hadits mudhtharib. Dan,
hadits mudhtharib termasuk kategori hadits yang lemah. Tentang apakah
mungkin di dalam kitab Shahih (baik Shahih Bukhari
maupun Shahih Muslim) ada hadits yang dinilai lemah, ini membutuhkan
kajian yang lain secara terpisah.
Kalau kita harus memilih dari beberapa redaksi hadits yang berbeda-beda
itu, maka kita akan memilih redaksi yang sejalan dengan banyak hadits
(bahkan sebagian ulama mengatakan sampai ke derjat mutawatir) yang
menegaskan bahwa bukti keimanan itu adalah dengan kesaksian bahwa
tiada Tuhan selain Allah (bukan dengan jawaban pertanyaan dimana
Allah).
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : ِإَّن ِإْد َر اَك اْلُع ُقوِل َأِلْس َر اِر الُّر ُبوِبَّيِة َقاِص ٌر َفاَل َيَتَو َّجُه َع َلى
ُح ْك ِمِه ِلَم َو اَل َكْيَف َك َم ا اَل َيَتَو َّجُه َع َلْيِه ِفي وجوده َأْين َو َح ْيُث
وفقنا هللا لما يحبه ويرضاه وأن ننزهه ونعظمه ونقدره حق قدره
Dalam hal makan, Beliau menganjurkan supaya orang makan pada saat
keadaannya sedang lega dan berhenti sebelum kenyang. Beliau juga
menganjurkan agar makan tidak tergesa-gesa, makanan yang dikonsumsi
sebaiknya berganti-ganti dan jenisnya bermacam-macam.
"Allah SWT telah memberinya makan dan minuman dari arah yang tak
disangka-sangka," katanya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-fath ayat 11 yang artinya "... Maka
siapakah yang dapat menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki
bencana terhadap kamu atau jika dia menghendaki keuntungan bagimu."
Perkataan Aisyah itu bersumber dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam At-Tirmidzi. Sedangkan hadits lainnya, Ibnu Abbas pernah berkata
minuman yang paling disukai Nabi adalah susu.
َو َثاَل ٌث، "َثاَل ٌث ُم ْهِلَك اٌت: َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا صلى هللا عليه وسلم: َقاَل-عنهما- َع ْن عبد هللا ْبِن ُع َم َر رضي هللا
َو ِإْع َج اُب اْلَم ْر ِء، َو َهًو ى ُم َّتَبٌع، َفُش ٌّح ُم َطاٌع: َفَأَّم ا اْلُم ْهِلَك اُت، َو َثاَل ٌث َد َرَج اٌت، َو َثاَل ٌث َك َّفاَر اٌت،ُم َنِّج َياٍت
َو َخ ْش َيُة ِهَّللا ِفي الِّسِّر، َو اْلَقْص ُد ِفي اْلَفْقِر َو اْلِغ َنى، َفاْلَع ْد ُل ِفي الِّر َض ى َو اْلَغ َضِب: َو َأَّم ا اْلُم َنِّج َياُت،ِبَنْفِس ِه
َو َنْقُل اَأْلْقَداِم ِإَلى، َو ِإْس َباُغ اْلُو ُضوِء ِفي الَّس َبَر اِت، َفاْنِتَظاُر الَص اَل ِة َبْع َد الَص اَل ِة: َو َأَّم ا اْلَك َّفاَر اُت،َو اْلَع اَل ِنَيِة
َو الَص اَل ُة ِبالَّلْيِل َو الَّناُس ِنَياٌم، َو ِإْفَش اُء الَّسالِم، َفِإْطَع اُم الَّطَع اِم: َو َأَّم ا الَّد َرَج اُت،"اْلَج َم اَعاِت
Tiga hal yang dapat menyelamatkan manusia dari siksa Allah itu yang
pertama adalah takut kepada Allah, baik ketika berada di tempat sepi
maupun ketika berada di tempat ramai. Menurut Syekh Nawawi,
takwa kepada Allah di tempat sepi adalah paling tingginya derajat.
Sedangkan perkara yang ketiga, selalu berlaku adi, baik saat rela
maupun di saat marah. Arti dari marah dan rela tersebut, menurut
Syekh Nawawi, bersikap marah kepada hal yang dimurkai Allah dan
bersikap rela dengan apa yang diridhai Allah.
Sementara itu, tiga hal yang dapat membinasakan adalah sangat
kikir, senantiasa menuruti hawa nafsunya, dan membanggakan diri
sendiri. Kemudian, tiga hal yang dapat meninggikan derajat manusia
di akhirat, yaitu membudayakan ucapan salam, suka memberikan
makanan kepada tamu dan orang yang lapar, dan sholat malam.
Adapun tiga hal yang dapat menghapus dosa, yang pertama adalah
menyempurnakan wudhu di pagi hari yang dingin. Kedua,
melangkahkan kaki untuk melaksanakan sholat berjamaah. Ketiga,
menunggu tibanya waktu sholat yang kedua usai mengerjakan sholat
yang pertama, sehingga ada hubungan emosial juga dengan masjid.
Tak hanya itu, Nabi juga mulai memasuki ruang budaya masyarakat Arab.
Yang awalnya tidak mengenal pembatasan dalam pernikahan dan
cenderung semena-mena dengan perempuan, justru dibatasi pernikahan
budaya tersebut. Dijelaskan dalam buku ini bahwa hak dan kewajiban
antara laki-laki dengan perempuan sama, namun dalam porsi yang
berbeda. Dengan reformasi sosial yang dijalankan, Nabi Muhammad
menjadi contoh dan teladan. Bagaimana Nabi tidak menikahi perempuan
lainnya di saat Sayyidah Khadijah masih hidup. Sepeninggal Sayyidah
Khadijah, Nabi diperintahkan menikahi beberapa istri oleh Allah.