Anda di halaman 1dari 23

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Semen

Semen berasal dari bahasa latin caementum yang berarti bahan perekat.
Secara sederhana, definisi semen adalah bahan perekat atau lem, yang bisa
merekatkan bahan-bahan material lain seperti batu bata dan batu koral hingga
bisa membentuk sebuah bangunan. Sedangkan dalam pengertian secara
umum semen diartikan sebagai bahan perekat yang memiliki sifat mampu
mengikat bahan-bahan padat menjadi satu kesatuan yang kompak dan kuat
(Pangaribuan, 2013).
Dalam pengertian umum, semen dapat diartikan sebagai bahan yang
dipergunakan sebagai bahan pengikat (bonding material) terhadap material
lainnya seperti pasir dan batu kerikil. Bahan pengikat pertama kali adalah
Quick Lime yang merupakan hasil pembakaran batu kapur yang agak murni.
Bahan pengikat ini tidak hidrolis, sehingga tidak dapat mengeras dalam air.
Kemudian dikenal Hydraulic Lime yang dihasilkan dari pembakaran batu
kapur yang tidak murni yang mengandung silika, aluminium, dan oksida besi.
Bahan pengikat jenis ini akan mengeras dalam air karena gaya
higroskopisnya. (Yulianto, 1995). Secara garis besar, semen digolongkan
menjadi dua, yaitu :

1. Semen Non Hidraulis


Adalah semen yang tidak dapat mengeras dalam air atau tidak stabil
dalam air, contohnya : bahan perekat kimia (Chemical Bonded), bahan
perekat keramik (Ceramic Bonded), dan semen batu kapur (Lime
Cement).

2. Semen Hidraulis
10

Semen hidrolis adalah semen yang dapat mengeras dalam air dan
menghasilkan padatan yang stabil dalam air (Yulianto, 1995). Sifat
semen hidrolis antata lain: dapat mengeras bila dicampur dengan air,
tidak larut dalam air dan dapat mengeras meskipun di dalam air, contoh :
Semen Portland, Semen Campur, dan Semen Khusus.

Semen terdiri dari empat jenis oksida utama, yaitu CaCO 3, SiO2, Fe2O3,
dan Al2O3. Oksida-oksida tersebut mempunyai daya rekat dan dapat
mengeras serta tetap stabil bila di dalam air maupun di alam terbuka.
Gabungan oksida-oksida tersebut menghasilkan clinker atau semen.
Reaksi pembentukan clinker dapat berlangsung dengan baik jika adanya
mineral-mineral yang reaktif, luas permukaan mineral yang besar,
terjadinya kontak yang efektif antar partikel, komposisi kimia campuran
yang tepat, dan tercapainya tingkat temperatur yang diinginkan, yaitu
1450 ºC (Yulianto, 1995).

2.2 Jenis-jenis Semen

Beberapa jenis semen menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) antara

lain:

1. Semen Portland
Semen Portland didefinisikan sebagai produk yang didapatkan dari
penggilingan halus clinker terutama yang terdiri dari kalsium silikat
hidraulik, dan mengandung satu atau dua bentuk kalsium silikat sebagai
tambahan antar giling. Kalsium silikat hidraulik mempunyai
kemampuan mengeras tanpa pengeringan atau reaksi dengan karbon
dioksida udara, dan karena itu berbeda dengan perekat anorganik seperti
Plaster Paris. Reaksi yang berlangsung pada pengerasan semen adalah
hidrasi dan hidrolisis (Austin,1996).

Menurut SK-SNI T-15-1990-03 semen Portland/ Ordinary Portland

Cement (OPC) dibedakan menjadi :

a. Semen Portland Tipe I (Ordinary Cement Portland)


11

Semen Portland tipe I adalah perekat hidrolisis yang dihasilkan dengan


cara menggiling klinker yang kandungan utamanya kalsium silikat dan
digiling bersama-sama dengan bahan tambahan berupa satu atau lebih
bentuk kristal senyawa kalsium sulfat. Komposisi senyawa yang
terdapat pada tipe ini adalah 49% (C 3S), 25% (C2S), 12% (C3A), 8%
(C4AF), 2,8% (MgO), 2,9% (SO3). Semen Portland tipe I dipergunakan
untuk pengerasan jalan, gedung, jembatan, dan lain-lain jenis
konstruksi yang tidak ada kemungkinan mendapat serangan sulfat dari
tanah dan timbulnya panas hidrasi yang tinggi.

b. Semen Portland Tipe II (Moderate Heat of Hardening Cement)

Semen jenis ini dalam penggunaannya memerlukan ketahanan sulfat


dan panas hidrasi sedang. Komposisinya: 46% (C 3S), 29% (C2S), 6%
(C3A), 11% (C4AF), 2,9% (MgO), 2,5% (SO3). Semen Portland tipe II
dipergunakan untuk bangunan tepi laut, bendungan, dan irigasi, atau
beton masa yang membutuhkan panas hidrasi rendah.

c. Semen Portland Tipe III (High Early Strength Portland Cement)

Semen jenis ini dalam penggunaannya memerlukan kekuatan yang


tinggi pada fase permulaan setelah terjadi pengikatan. Kadar C 3S-nya
sangat tinggi dan butirannya sangat halus. Semen Potland tipe III
dipergunakan untuk bangunan yang memerlukan kekuatan tekan yang
tinggi (sangat kuat) seperti, jembatan-jembatan dan pondasi-pondasi
berat.

d. Semen Portland Tipe IV (Low Heat of Hardening Portland Cement)

Semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan panas hidrasi


rendah, sehingga kadar C3S dan C3A rendah. Semen Portland tipe IV
dipergunakan untuk kebutuhan pengecoran yang tidak menimbulkan
panas, pengecoran dengan penyemprotan (setting time lama).
12

e. Semen Portland Tipe V (Sulfate Resistance Portland Cement)

Semen portland yang dalam penggunaannya hanya memerlukan


ketahanan yang tinggi terhadap sulfat. Komposisi senyawa yang
terdapat pada tipe ini adalah: 43% (C3S), 36% (C2S), 4% (C3A), 12%
(C4AF), 1,9% (MgO), 1,8% (SO3). Semen portland tipe V
dipergunakan untuk instalasi pengolahan 8 limbah pabrik, konstruksi
dalam air, jembatan, terowongan, pelabuhan, dan pembangkit tenaga
nuklir. Adapun empat senyawa utama yang terkandung dalam semen
portland yaitu :

Karakteristik kimia dan fisik semen portland berdasarkan SNI 15-


2049- 2015, dapat di tunjukkan pada table 2.1

Table 2.1 Karakteristik Kimia Semen Portland Berdasarkan SNI 15-


2049-2015
13

Sumber: SNI 15-2049-2004

Ada empat senyawa utama yang terkandung dalam semen portland,


yaitu :

1. Trikalsium Silikat (3 CaO.SiO2) atau C3S

Merupakan komponen utama dalam semen. Berstruktur kristal,


memberikan kekuatan awal pada pengikatan 3-7 hari. Kiln feed
mempunyai potensial C3S yaitu 52-65%. Jika lebih dari 65% maka
feed akan sukar dibakar dan memberikan sifat coating yang jelek.

2. Dikalsium Silikat (2 CaO. SiO2) atau C2S

Berstruktur kristal, di dalam semen terdapat ± 22 % dan bersifat


menunjang kekuatan akhir (setelah satu tahun). C 2S dan C3S
terbentuk pada suhu ± 1370ºC. perubahan suhu pada zona
pembakaran akan berpengaruh terhadap jumlah C2S dan C3S. untuk
pembentukan C3S dibutuhkan suhu yang lebih tinggi.

3. Trikalsium Aluminat (3 CaO. Al2O3) atau C3A

Senyawa ini memberikan sifat plastis pada adonan semen, makin


tinggi kadarnya, makin plastis sifat adonan. Kandungannya dalam
semen ± 6-8 %.

4. Tetrakalsium Aluminat Ferat (4 CaO.Al2O3.Fe2O3) atau C4AF

Mempunyai pengaruh terhadap warna semen, jika kadarnya tinggi


maka warna semen akan makin gelap. Kandungan Fe diperlukan
sebagai penurun titik lebur pada proses pembakaran.

2. Semen Campuran (Blended Cement)


Di samping semen portland, ada juga jenis semen lain yang dibuat
karena dibutuhkannya semen yang memiliki sifat-sifat khusus yang
tidak dimiliki oleh semen portland. Untuk mendapatkan sifat tersebut,
14

maka ditambahkan bahan lain ke dalam Semen Portland. Jenis semen


campuran antara lain :

a. Semen Portland Pozzolan

Semen ini dibuat dengan menggiling bersama clinker semen


portland dengan bahan pozzolan. Sifat Semen ini adalah panas
hidrasinya rendah, tahan sulfat dan air laut, tetapi kekuatannya
kurang dibandingkan dengan semen portland. Semen jenis ini
dipakai pada bangunan tepi laut, untuk pembetonan yang luas dan
besar (dam), untuk bangunan irigasi dan sejenisnya.

b. Semen Portland Kerak Dapur Tinggi

Semen jenis ini dibuat dengan menggiling clinker Semen Portland


dengan kerak dapur tinggi (Blast furnace Slage) secara homogen.
Dapat dipakai untuk gedung-gedung yang menggunakan beton
bertulang, bangunan air dan beton pratekan.

c. Semen Masonry

Semen jenis ini dibuat dengan menggiling clinker semen portland


dengan batu kapur. Sifat semen masonry adalah daya plastisnya
tinggi dan kekuatan tekannya rendah. Semen ini biasanya
digunakan untuk bangunan yang berkekuatan sedang.

3. Semen Khusus

Jenis semen khusus ini antara lain :

a. Oil Well Cement (OWC)


Semen Portland dicampur dengan bahan retarder khusus, seperti
campuran “Gum Arabic” dengan asam borat, casein, gula, lignin,
atau organic hydroxide acid. Fungsi dari retarder untuk
mengurangi kecepatan pengerasan semen. Sifat OWC ini adalah
15

tegangan tarik kecil, pengeringan lambat, tahan terhadap tekanan


dan suhu tinggi.

b. Semen Portland Putih

Semen portland yang berwarna putih, dibuat dari bahan baku yang
mengandung oksida mangan sangat rendah (mendekati nol persen).
Oksida mangan dapat mempengaruhi warna semen. Semen putih
digunakan untuk luluhan traso, bangunan arsitektur, dekorasi, dan
lain-lain.

c. Semen Super Sulfat

Merupakan semen yang secara khusus dibuat agar tahan terhadap


serangan sulfat. Semen ini dibuat dari blast furnace slage yang
mengandung alumina tinggi.

2.3 Sejarah Semen

Semen sudah dikenal sejak zaman dahulu kala, dan mengenai penemuannya
kita hanya dapat mereka-reka saja. Orang Mesir sudah menggunakan
semacam semen untuk konstruksi Pyramid mereka sedangkan orang Yunani
dan orang Roma menggunakan tuf vulkanik yang dicampur dengan gamping
sebagai semen.

Setelah revolusi industri di Eropa pada pertengahan abad ke-18,


dikembangkan banyak penelitian tentang semen, antara lain : pada tahun
1756, John Smeaton, dari Inggris menemukan hydraulic lime yang dipakai
untuk membangun gedung Eddystore Lighthouse. Pada tahun 1797, James
Parker, dari Inggris menemukan suatu pembaruan dengan membuat semen
hydraulic dengan cara membakar batu kapur dengan batu silika sehingga
dikenal sebagai Roman cement. Pada tahun 1818, LJ. Vicat mengatakan
bahwa untuk pembuatan semen yang tahan terhadap air tidak hanya dari
campuran batu kapur dan tanah liat saja, tetapi juga batu kapur yang
16

mengandung alumina silika dan komposisinya dapat diatur, serta jumlah


magnesium alumina dan besi dalam bentuk oksidanya dengan perbandingan
tertentu. Semen jenis ini disebut sebagai semen natural karena bahan
campurannya mempunyai daya tahan terhadap air.

Pada tahun 1824, John Aspdin, seorang pengukir batu dari Inggris
mendapatkan paten untuk suatu semen buatan yang dibuat dengan
mengkalsinasi batu gamping argilaseo. Pada akhirnya semen yang dihasilkan
tersebut diberi nama Portland Cement, karena bentuk dari semen yang telah
mengeras mirip dengan Portland Stone yang merupakan bahan bangunan
pada saat itu yang terdapat di Pulau Portland. Pada tahun 1850, David O
taylor menemukan semen yang dihasilkan dengan membakar Cement Rock
yang sifatnya lebih hidraulis lime, namun mutunya lebih rendah dari Semen
Portland. Semen ini dikenal dengan nama Natural Cement.

Pada tahun 1906, Carel Christopher Lau, seorang ahli teknik pemerintah
belanda, menemukan deposit batu kapur dan batu silika di sekitar Indarung,
Padang. Hal ini mengundang minat pihak swasta Belanda untuk
mengolahnya, sehingga pada tanggal 18 Maret 1910 mereka mendirikan
suatu perusahaan dengan nama NV. Nederlands Indische Portland Cement
Maatscappij (NV.NICPM). Pabrik semen pertama di Indonesia ini mulai
beroperasi pada tahun 1911 dengan kapasitas 22.900 ton per tahun.
Kemudian berganti nama menjadi PT. Semen Padang. Beberapa pabrik
lainnya berdiri setelah Indonesia merdeka, seperti PT. Semen Gresik pada
tahun 1957 di Jawa Timur, PT. Semen Tonasa 1968 di Sulawesi, PT. Semen
Baturaja 1974 di Baturaja, PT. Semen Cibinong 1975 di Jawa Barat, dan PT.
Semen Nusantara 1977 di Cilacap.
17

2.4 Sifat-Sifat Fisik dan Kimia Bahan Baku

Setiap bahan baku mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda-beda satu
dengan yang lainnya.

2.4.1 Sifat-sifat Fisik Bahan Baku (Prasetyo dkk, 1995)

a. Batu Kapur
Warna : Putih, abu-abu, kuning tua, jingga dan hitam.
Berat jenis : 2,6 – 3,3Kg/m3
Kekerasan : berkisar antara 1,8 – 3 skala mosh, tergantung
umur, semakin tua maka kekerasan akan
semakin besar.
Bentuk : kristal yang halus

b. Pasir Besi

Warna : kilat metalik, warna gelap, kemerahan dan


kecoklatan.
Kekerasan : 5,5 – 6,5 skala mosh
Bentuk : butiran halus seperti pasir
c. Pasir Silika

Warna : kuning hingga kecoklatan bergantung dari jenisnya


Bentuk : mirip batu kapur, tetapi lebih lunak

d. Tanah Liat

Warna : coklat kemerahan


Bentuk : butiran kasar yang agak lengket

e. Gypsum

Warna : putih
Bentuk : mirip bubuk kasar
18

2.4.2 Sifat-Sifat Kimia Bahan Baku

Semua senyawa utama untuk semen terdapat dalam batu kapur dan
tanah liat, tetapi tidak semua batu kapur dan tanah liat memiliki
proporsi kimia yang memenuhi untuk membuat semen dengan kualitas
semen yang diinginkan. Oleh karena itu, pada proses pembuatan
semen, bahan baku utama tersebut biasanya ditambah bahan lain
sebagai koreksi bahan kimia yang kurang, yaitu berupa pasir besi dan
pasir silika. Senyawa kimia yang terdapat dalam bahan baku dan yang
diperlukan adalah Oksida Kalsium (CaO), Oksida Silisium (SiO 2),
Oksida Aluminium (Al2O3) dan Oksida Besi (Fe2O3). Pengaruh dari
oksida utama ini dapat dilihat pada Table 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2 Pengaruh Oksida Utama pada Pembentukan


Klinker dan Sifat Semen
PEMBENTUKAN
OKSIDA SIFAT SEMEN
KLINKER

(CaO) - Mempengaruhi kekuatan


semen
(SiO2) - Mempengaruhi kekuatan
semen
(Al2O3) Menurunkan temperatur Membantu pada kekuatan
sintering awal semen

(Fe2O3) Menurunkan temperatur Mempengaruhi kekuatan


sintering semen

Sumber :Pramoesinto, 1995

Di samping senyawa-senyawa tersebut, terdapat juga senyawa-


senyawa lain yang keberadaannya tidak diinginkan dan harus dibatasi,
seperti Magnesium Oksida (MgO), Alkali, Klorida, Sulfur, dan Fosfor.
Berikut penjelasan singkat mengenai senyawa-senyawa yang
terkandung dalam semen:

a. Oksida Kalsium (CaO)


19

Oksida kalsium merupakan komponen yang terbesar jumlahnya,


dan akan bereaksi dengan oksida silikat, aluminium silikat,
alumina, dan oksida besi dan membentuk senyawa mineral
potensial penyusun semen.
b. Oksida Silikat/ Silisium (SiO2)

Oksida silikat merupakan oksida komponen terbesar kedua setelah


oksida kalsium. Oksida ini juga sangat menentukan dalam
pembentukan mineral potensial. Oksida silikat diperoleh dari
penguraian dan dekomposisi mineral-mineral montmorilnit,
kaolinit, ataupun ilit yang berasal dari tanah liat. Disamping itu,
oksida silikat dapat juga diperoleh dari batuan pasir silika (silica
sand).

c. Oksida Aluminium/Alumina (Al2O3)

Oksida aluminium bersama oksida kalsium membentuk oksida


kalsium aluminat (C3A). Oksida aluminium bersama dengan oksida
besi dan oksida kalsium dalam pembakaran di kiln akan
membentuk senyawa kalsium alumina ferrit (C 4AF). Oksida
aluminium sebagian besar diperoleh dari tanah liat (clay). Oksida
alumina selain ikut ambil bagian dalam reaksi-reaksi pembentukan
mineral potensial juga berperan untuk menurunkan titik leleh (flix)
pada proses pembakaran di kiln. Oksida alumina ini juga
menentukan tingkat kekentalan lelehan hasil pembakaran di kiln
dengan nilai berbanding lurus.

d. Oksida Besi (ferrit) (Fe2O3)

Oksida besi bersama oksida kalsium dan aluminium pada proses


pembakaran di kiln akan bereaksi membentuk senyawa kalsium
alumina ferrit (C4AF). Oksida besi juga bersifat menurunkan titik
leleh dan juga menentukan tingkat fase cair dalam klinkerisasi
dengan nilainya berbanding lurus.

e. Oksida Magnesium (MgO)


20

Oksida magnesium tidak berperan dalam membentuk mineral


potensial, bahkan keberadaannya dalam semen akan merugikan
karena akan menurunkan kualitas semen. Kadar MgO bebas dalam
semen dibatasi paling tinggi 2 % dan akan bereaksi dengan air.

MgO(s) + H2O(g) Mg(OH)2(s) (2.1)

Reaksi ini berlangsung sangat lambat, sedangkan proses


pengerasan semen sudah selesai dan Mg(OH)2 menempati ruangan
yang lebih besar dari MgO dan hal ini akan menyebabkan
pecahnya ikatan pasta semen yang sudah mengeras sehingga
menimbulkan keretakan pada hasil penyemenan.

2.5 Sifat-Sifat Fisik dan Kimia Semen Portland

2.5.1 Sifat-Sifat Fisika Semen Portland

Syarat-Syarat secara fisika untuk Semen Portland diuraiakan pada


Table 2.3 berikut ini:

Tabel 2.3 Sifat-Sifat Fisika Semen Portland


NO. URAIAN SYARAT

1. Kehalusan:
- Sisa di atas ayakan 45 mm 24
(No. 325) % max

2. Kekekalan dalam autoclave:


- Pemuaian, % max 0,8
- Penyusutan, % max 0,2

3. Waktu pengikatan dengan alat vicat:


- Awal, menit, mix 45
- Akhir, menit, mix 375

4. Kekuatan tekan:
100
- 3 hari, kg.cm-2, min
150
- 7 hari, kg.cm-2, min
5.
Pengikat semu Penetrasi, % min 50
Sumber : Laboratorium Proses dan Kimia PT. Semen Baturaja (Persero), 2010
21

Berikut penjelasan mengenai syarat-syarat fisik semen portland


(Pramoesinto, 1995):

1. Kehalusan Semen
Kehalusan semen disyaratkan karena menentukan luas permukaan
partikel-partikel setiap satu gram semen. Kehalusan semen sangat
berpengaruh pada proses hidrasi saat semen digunakan.

2. Waktu Pengikatan (setting time)


Setting atau pengikatan pada adonan semen dengan air adalah
sebagai gejala terjadinya kekakuan semen yang biasanya
dinyatakan dengan waktu pengikatan (settinng time) yang
diperlukan untuk mengontrol sifat plastis (plastisity) dan
workability dari adukan beton. Setting Time diperlukan untuk
mengontrol sifat plastis (Plasticity) dan workability dari adukan
beton.

3. Kekekalan (Soundness)
digunakan untuk mengontrol agar beton tidak mengalami
pemuaian dan penyusutan yang dapat merusak konstruksi.
Penyusutan yaitu pengecilan volume beton karena adanya air yang
menguap dalam adonan semen. Semen yang baik adalah jika
penyusutannya sekecil mungkin.

4. Kuat Tekan (Compressity Strength)


Merupakan kemampuan semen untuk menahan atau memikul suatu
beban tekan. Faktor yang mempengaruhi kekuatan tekan semen
adalah kualitas semen dan kualitas bahan lainnya. Syarat ini
digunakan untuk mengontrol kemampuan menerima beban tekan
dari mortar atau beton yang akan dibuat. Hal ini sangat diperlukan
untuk mix design dari beton pada suatu konstruksi tertentu.

5. Pengikat Semu (false sety)


22

pengikat semu dibatasi untuk menghindari kekuatan semu, yang


mana kekuatan tersebut hilang dengan pengadukan adonan (tanpa
penambahan air).

6. Panas Hidrasi Semen


Hidrasi semen adalah reaksi yang terjadi antara senyawa semen
dengan air yang menghasilkan senyawa hidrat. Reaksi ini
dipengaruhi oleh kehalusan semen, jumlah air, suhu, dan
sebagainya. Syarat ini digunakan untuk mengontrol agar panas
yang dibebaskan/ditimbulkan pada reaksi hidrasi semen tidak
terlalu besar, sebab kalau terlalu besar akan menimbulkan
keretakan pada beton.

7. Pemuaian karena sulfat


Syarat ini hanya digunakan untuk mengontrol ketahanan terhadap
sulfat untuk semen dengan jenis ketahanan terhadap sulfat tinggi.

2.5.2 Sifat-Sifat Kimia Semen Portland

Syarat-syarat kimia Semen Portland Pozzolan yang harus dipenuhi


(Gunawan, 2000) :

1. SiO2, adalah oksida pembentuk C3S dan C2S yang merupakan


komponen utama dalam semen. Untuk Semen Portland type I, III,
IV, dan V tidak disyaratkan kandungan minimal SiO 2 tapi Semen
Portland type II disyaratkan batas minimum kandungan SiO 2
adalah 20%.

2. Al2O3, adalah oksida pembentuk C4AF yang merupakan salah satu


komponen utama dalam semen. Untuk Semen Portland type I, III,
IV dan V tidak disyaratkan kandungan minimum Al 2O3. Untuk
Semen Portland type II batas minimum 6 %.

3. Fe2O3, adalah oksida pembentuk C4AF yang merupakan salah satu


komponen utama dalam semen. Untuk Semen Portland type I,III,
23

dan V tidak disyaratkan kandungan minimum Fe 2O3. Untuk Semen


Portland type II batas minimum 6 % dam type IV 6,6 %.

4. MgO, kandungan oksida ini dalam semen dibatasi karena oksida


ini akan menyebabkan ekspansi setelah jangka waktu beberapa
tahun. Jika bereaksi dengan air akan membutuhkan volume yang
besar.

5. SO3, dalam semen digunakan untuk mengontrol adanya gypsum


yang berlebih sebagai pengendali pengerasan semen (retarder).
Tetapi bila penambahan gypsum terlalu banyak akan menimbulkan
kerugian pada sifat ekspansi dan dapat menurunkan kuat tekan.

6. Alkali, dalam semen jumlahnya dibatasi karena dapat


menimbulkan keretakan pada beton apabila dipakai agregat yang
mengandung silikat yang dapat bereaksi dengan alkali.

7. LOI, Loss Of Ignation (hilang pijar) dimaksudkan untuk mencegah


penambahan bahan-bahan (mineral-mineral) yang dapat diuraikan
dalam pemijaran. Pada umumnya kristal mineral tersebut dapat
mengalami metamorfosa dalam waktu yang lama sehingga proses
tersebut dapat menyebabkan kerusakan.

8. BTL (Bagian Tak Larut) dibatasi untuk mencegah dicampurkannya


bahan-bahan dari persyaratan fisika mortar.

9. C3S, merupakan komponen utama semen yang memberikan


kekuatan awal semen. Pada umumnya kandungan C3S tidak
dibatasi, kecuali pada Semen Portland type IV.

10. C2S, merupakan komponen utama semen yang memberikan


kekuatan akhir semen, dan tidak dibatasi kecuali pada Semen
Portland type IV.

11. C3A, sebagai komponen utama semen yang memberikan


sumbangan untuk kekuatan awal semen, dan untuk Semen Portland
type II, III, IV, dan V maksimum tidak dibatasi.
24

12. C4AF, merupakan komponen utama semen yang mempengaruhi


warna pada Semen Portland.

2.6 Proses Pembuatan Semen

2.6.1 Proses Basah

Tahap-tahap dalam proses pembuatan semen adalah grinding, mixing,


dan firing. Pada proses basah, tahap penggilingan dan pencampuran
dilakukan secara basah, yaitu dengan kadar air antara 35 – 37 %.
Pembuatan semen dengan proses basah dapat digambarkan pada
Gambar 2.1 berikut ini:

LIMESTONE
SILICA SAND
CLAY
IRON SAND WATER

RAW SLURRY KILN


MILL
KLINKER
1. Drying
1. Grinding 2. Preheating
2. Mixing 3. Calcining
3. Correction 4. Sintering
4. Homogenizing F
5. Cooling
U
E
L

CEMENT SEMEN
FUEL MILL
PREPARATION
1. Grinding
2. Mixing
1. Drying 3. Cooling
RAW FUEL 2. Grinding GYPSUM
3. Compressing
4. Heating

Gambar 2.1 Blok Diagram pembuatan Semen Proses Basah


25

Alat-alat yang digunakan adalah Ball Mill dan Slurry Blending Tank.
Tahap firing dalam rotary kiln mencakup proses :

a. Drying, penguapan air dalam umpan (sekitar 35 %)

b. Calcination, disosiasi CaCO3 menjadi CaO dan CO2 serta


dekomposisi tanah liat Al2O3.SiO2.XH2O menjadi Al2O3 + SiO2 +
H2O

c. Sintering, mulai melelehkan sebagian bahan baku

d. Reaction, terbentuknya C3S, C2S, C3A, C4AF, dan lain-lain.

Umpan tanur berupa luluhan (slury) dengan kadar air 25 – 40 % yang


pada umumnya menggunakan “Long Rotary Kiln” dengan
perpindahan panas awal terjadi pada rantai (Chain Section). Proses ini
boros karena menggunakan panas sekitar 1500 – 1900 kcal/kg klinker,
dan biasanya suhu exit gas 150 – 250 ºC.

Keuntungan proses basah :


1. Umpan kiln lebih homogen
2. Tidak dipengaruhi fluktuasi kadar air (raw material yang sticky
dan praktis tidak menimbulkan masalah)
3. Kadar alkali klorida dan sulfat tidak menimbulkan gangguan
penyempitan dalam saluran / pipa.

Kerugian proses basah yaitu :


1. Kebutuhan panasnya tinggi dan Kapasitasnya rendah
2. Membutuhkan kiln yang lebih panjang 22 % dibanding proses
kering.
26

2.6.2 Proses Kering

Pada proses kering, tahap penggilingan dan pencampuran dilakukan


secara kering dengan kadar air < 1 %. Pembuatan semen dengan proses
kering dapat digambarkan pada Gambar 2.2 berikut ini:

Gambar 2.2 Blok Diagram Pembuatan Semen Proses Kering

Pada proses kering, Bahan baku setelah dihancurkan kemudian


digiling dengan menggunakan Grinding Mill. Grinding mill adalah
suatu alat yang digunakan untuk menghaluskan bahan baku sekaligus
memberikan panas pendahuluan untuk pengeringan bahan baku
tersebut. Mill ini mempunyai dua buah ruangan penggiling dan satu
ruang pengeringan.

Pengeringan dilakukan dengan udara panas. Hasil penggilingan berupa


bubuk halus (raw meal). Kemudian setelah dihomogenisasi, serbuk ini
27

kemudian mengalami proses pembakaran di dalam suspension


preheater dan rotary kiln untuk mendapatkan klinker. Klinker ini
kemudian digiling bersama gypsum dalam cement mill. Reaksi pada
proses pembentukan klinker diuraikan pada Table 2.4 berikut:

Tabel 2.4 Reaksi pada Pembentukan Klinker


Perubahan
Suhu (ºC) Reaksi
Kalor

100 Penguapan air bebas Endotermik


500 dan lebih Evolusi air gabungan dari lempung Endotermik
900 dan lebih Kristalisasi produk dehidrasi amorf Endotermik
lempung

900 dan lebih Evolusi karbon dioksida Endotermik


900-1200 Reaksi utama antara gamping dan Endotermik
lempung

1250-1280 Mulai pembentukan zat cair Endotermik


1280 dan lebih Kelanjutan pembentukan zat cair Kemungkinan
dan penyelesaian pembentukan Endotermik
senyawa semen
Sumber: (Austin, 1996)

Keuntungan proses kering :


1. Kiln yang digunakan relatif pendek
2. Pemakaian bahan bakar relatif hemat dan tidak perlu menguapkan
air yang terkandung dalam material
3. Pemakaian panas lebih efisien

Kerugian proses kering :


1. Banyak menimbulkan debu
2. Raw Mix kurang homogen dibandingkan proses basah
3. Reaksinya tidak sempurna karena proses dalam keadaan padat.

2.7 Reaksi-Reaksi Kimia dalam Semen

2.7.1 Setting dan Hardening


28

Semen apabila dicampur dengan air akan menghasilkan pasta yang


plastis dan dapat dibentuk (workable), sampai beberapa waktu
karakteristik dari pasta tersebut tidak berubah dan periode ini disebut
dormant periode (periode tidur). Pada tahapan selanjutnya pasta mulai
menjadi kaku walaupun ada yang lemah, namun sudah tidak dapat
dikerjakan (unworkable). Kondisi ini disebut initial set, sedangkan
waktu yang diperlukan dari mulai dibentuk (ditambah air) sampai
kondisi initial set disebut initial setting time (waktu pengikatan awal).

Tahapan berikutnya, pasta melanjutkan kekuatannya sehingga didapat


padatan yang utuh. Kondisi ini disebut final set, sedangkan waktu yang
diperlukan untuk mencapai kondisi ini disebut final settig time (waktu
pengikatan akhir). Hasil padatan tersebut biasa disebut hardened
cement pasta atau cement stones. Proses pengerasan berjalan terus dan
sejalan dengan waktu akan diperoleh kekuatan, proses ini dikenal
dengan nama hardening. Mekanisme terjadinya hardening dan setting
adalah sebagai berikut : pada saat pencampuran dengan air, C 3A akan
bereaksi paling cepat menghasilkan 3CaO.Al 2O3.3H2O berbentuk gel
yang bersifat cepat kaku. Tetapi 3CaO.Al 2O3.3H2O akan bereaksi
dengan gypsum membentuk ettringite yang akan membungkus
permukaan 3CaO.Al2O3.3H2O dan 3CaO.Al2O3, sehingga reaksi dari
3CaO.Al2O3 akan dihalangi dan proses setting akan dicegah. Namun
demikian, karena suatu fenomena osmosis, lapisan ettringite akan
pecah dan terjadi lagi reaksi hidrasi C 3A, tetapi segera pula akan
terbentuk ettringite yang baru, dan proses ini akan menghasilkan
setting time. Semakin banyak ettringite yang terbentuk, maka setting
time akan semakin panjang. Dengan adanya gypsum, proses hidrasi
disampig menghasilkan “cement gel” juga terbentuk “ettringite”. Hal-
hal yang mempengaruhi setting time adalah kandungan C3A,
kandungan gypsum, dan kehalusan semen. Waktu pengikatan awal dan
akhir dari semen dalam praktek sangat penting, sebab waktu
pengikatan awal akan menentukan lamanya waktu di mana campuran
semen masih bersifat plastis dan dapat dikerjakan. Menurut standar
29

ASTM atau SNI, pengikatan awal minimum 45 menit, dan waktu


pengikatan akhir tidak boleh lama agar setelah pengecoran beton dapat
dilanjutkan pekerjaan lainnya.

Dalam praktek pemakaian semen, kadang-kadang dijumpai suatu


kelainan dari sifat set, yaitu terjadinya kekakuan yang sangat cepat dari
adonan semen. Gejala ini dikenal dengan “Early Stiffining”. Gejala ini
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1. False Set (Pengikatan Semu), yaitu terjadinya pengembangan sifat


kekakuan dari adonan semen dengan disertai panas terlalu bayak.
Sifat tersebut akan hilang dan sifat plastis akan dicapai kembali
bila dilakukan pengadukan lebih lanjut tanpa penambahan air.

2. Quick Set (Flah Set), yaitu gejala terjadinya pengembangan


kekakuan yang terlalu cepat dari sifat adonan semen dengan
disertai panas terlalu besar, di mana kekakuan ini tidak dapat
dihilangkan dengan pengadukan lebih lanjut tanpa penambahan air.

2.7.2 Hidrasi Semen

Peristiwa setting dan hardening di atas adalah proses hidrasi dari


senyawa yang terkandung dalam semen. Semen terdiri dari beberapa
senyawa, dengan demikian hidrasi semen terdiri dari beberapa reaksi
dan berjalan bersamaan. Untuk mengenal hidrasi semen harus
mengenal hidrasi dari seyawa yang terkandung dalam semen.
Senyawa-senyawa tersebut diuraikan pada Table 2.5 berikut:

Tabel 2.5 Senyawa Semen


Rumus kimia Nama senyawa Simbol Nama
3CaO.SiO2 Tricalsium Silicate C3S Alite
2CaO.SiO2 Dicalsium Silicate C2S Belite
3CaO.Al2O3 Tricalsium Aluminate C3A
4CaO.Al2O3.Fe2O3 Tetra Calsium Alumina C4AF Ferrite
Ferrite
Sumber: (Duda, 1985)
30

1. Hidrasi kalsium Silikat


Kalsium silikat akan terhidrolisasi dalam air menjadi kalsium
hidroksida dan kalsium silikat hidrat.

2(3CaO.SiO2)(s) + 6H2O(l) 3CaO.2SiO2(s).3H2O(l)+


3Ca(OH)2(aq) (2.2)
2(2CaO.SiO2)(s) + 4H2O(l) 3CaO.2SiO2(s).2H2O(l) +
Ca(OH)2(aq) (2.3)

Kalsium silikat hidrat adalah kristal yang belum sempurna,


bentuknya berupa padatan berongga yang sering disebut
tobermorite gel. Adanya kalsium hidroksida akan membuat pasta
semen bersifat basa kuat (pH = 12,5), hal ini dapat menyebabkan
pasta semen sensitif terhadap asam kuat, tetapi dapat mencegah
baja mengalami korosi.

2. Hidrasi C3A

Dengan adanya air berlebih, hidrasi C 3A akan menghasilkan CAH


(Calsium Aluminat hidrat) dengan bentuk kristalnya adalah kubus.
Dalam semen, karena adanya gypsum, maka hasil hidrasi C 3A agak
berbeda. Mula-mula C3A bereaksi dengan gypsum menghasilkan
sulfo aluminate yang mana kristalnya berbentuk jarum dan biasa
disebut ettringite, namun pada akhirnya bereaksi semua, baru
terbentuk kalsium aluminat hidrat. Penambahan gypsum pada
semen dimaksudkan untuk menunda setting, hal ini disebabkan
karena terbentuknya lapisan ettringite pada permukaan-permukaan
kristal C3A seingga menunda hidrasi C3A.

C3A(s) + H2O(l) 3CaO(s).Al2O3(s).3H2O(l) (2.4)


3CaO(s).Al2O3(s).3H2O(l) (2.5)
3CaO(s).Al2O3(s).3H2O(l) (2.6)
Calcium Alumina Ferrit Hidrate

C3A(s)+ CaSO4(s).H2O(l) 3CaO(s).Al2O3(s). 3CaSO4(s).


31

3H2O(l) (2.7)
Calcium Sulfuric Aluminate Hydrate

3. Hidrasi C4AF

Pada tahap awal C4AF bereaksi dengan gypsum dan kalsium


hidroksida membentuk kalsium sulfo aluminat hidrat dan kalsium
sulfo ferrit hidrat yang kristalnya berbentuk jarum. Faktor-faktor
yang mempengaruhi panas hidrasi adalah umur, komposisi,
kehalusan semen, perbandingan jumlah air, dan temperatur.
Kecepatan reaksi hidrasi harus diketaui karena hal tersebut akan
menentukan waktu pengikatan awal dan pengerasan semen.

Anda mungkin juga menyukai