Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pengertian Semen

Kata cement berasal dari kata latin cementum yang artinya perekat atau pengikat.

Bahan perekat tersebut diperoleh dari batu kapur yang serbuknya telah digunakan

sebagai bahan adukan b(mortar). nDalam perkembangannya, kata cement

mengalami perubahan sedikit demi sedikit diartikan sebagai segala macam

pengikat perekat seperti rubber cement termasuk portland cement.

Secara umum semen didefinisikan sebagai perekat hidrolis yang dihasilkan dari

penggilingan klinker yang kandungan utamanya kalsium silikat dan kalsium sulfat

sebagai bahan tambahan. Semen tersebut sebagai bahan perekat hidrolis dengan

air dan membentuk zat baru yang bersifat perekat terhadap batuan. Oleh karena

sifat hidrolis tersebut maka semen bersifat:

1. Dapat mengeras apabila bercampur dengan air

2. Tidak larut dalam air

3. Plastis sementara apabila dicampur air

4. Melepas panas apabila dicampur air

5. Dapat melekatkan batuan apabila dicampur air (bersifat sedimentasi).

II.1.1 Sifat-Sifat Fisika Semen

Semen memiliki sifat-sifat fisika antara lain:

a. Setting dan Hardening (Pengikatan dan Pengerasan)

Setting atau pengikatan pada adonan semen dengan air adalah sebagai gejala

terjadinya kekuatan semen yang biasa dinyatakan dengan waktu pengikatan

5
6

(setting time). Pengikatan ini mulai terjadinya dari terbentuknya adonan

semen sampai semen menjadi kaku. Hardening atau pengerasan yaitu semen

mulai mengeras dan memberikan kekuatan. Jadi setting dan hardening

merupakan suatu rangkaian proses sejak terjadinya adonan semen sampai

semen tersebut mengeras dan memberikan kekuatan.

b. Compresive Strength (Kuat tekan)

Compresive Strength (Kuat tekan) merupakan sifat yang harus dimiliki semen

untuk dapat menahan atau memikul beban tekan. Biasanya kuat tekan

dinyatakan pada umur beton 28 hari.

c. Shrinkage (Penyusutan)

Shrinkage (Penyusutan) merupakan penyusutan volume beton karena adanya

penguapan air yang ada dalam adonan semen. Semen yang baik adalah jika

penyusutannya sekecil mungkin.

d. Durability (Ketahanan)

Durability (Ketahanan) merupakan ketahanan beton terhadap pengaruh yang

merusak karena kondisi sekitarnya sehingga tidak menimbulkan penurunan

kuat tekan. Kerusakan beton biasanya disebabkan oleh pengaruh asam,

pengaruh sulfat dan abrasi (pengikisan).

II.1.2 Sifat-Sifat Kimia Semen

Semen memiliki sifat-sifat kimia antara lain:

a. Hidrasi Semen

Hidrasi semen adalah reaksi yang terjadi antara komponen atau senyawa

semen dengan air yang menghasilkan senyawa hidrat. Reaksi ini dipengaruhi

oleh kehalusan semen, jumlah air dan suhu. Reaksi ini terjadi antara
7

komponen semen yang sebagian besar terdiri dari kalsium silikat dengan air.

Reaksi hidrasi semen merupakan reaksi hidrolisis komponen semen,

menghasilkan kalsium silikat hidrat dengan melepas lime sebagai Ca(OH)2.

Reaksi hidrasi semen adalah sebagai berikut:

2 ( 3CaO.SiO2 ) + 6 H2O → 3CaO.2SiO2.3H2O + 3Ca(OH)2

2 (2CaO.SiO2 ) + 4 H2O → 3CaO.2SiO2.3H2O + Ca(OH)2

3CaO.Al2O3 + 6 H2O → 3CaO.Al2O3.6H2O

3CaO.Al2O3.6H2O + 3CaSO4.2H2O → 3CaO. Al2O3.3CaSO4.8H2O

4CaO. Al2O3.Fe2O3 + 6H2O → 3CaO. Al2O3.3H2O + 3CaO.Fe2O3.3H2O

b. Panas Hidrasi

Panas hidrasi merupakan panas yang dihasilkan oleh reaksi hidrasi pada saat

semen dicampur dengan air. Biasanya panas hidrasi dipengaruhi oleh

komposisi kimia, kehalusan semen dan jumlah air yang ditambahkan.

II.2 Jenis-Jenis Semen

PT Semen Padang telah memproduksi jenis-jenis semen dengan berbagai fungsi.

Semua jenis semen yang telah diproduksi telah memenuhi standar mutu seperti:

Standar Nasional Indonesia (SNI), British by Standart (BS) 12/1987 dan

American Petroleum Institute (API) Specification 10 A.

Adapun manfaat dan spesifikasi masing-masing jenis produksi adalah sebagai

berikut:

1. Semen Portland

Merupakan semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling material

klinker yang mengandung kalsium silikat dan menggiling dengan material


8

yang mengandung kalsium sulfat. Terdapat beberapa tipe dari jenis semen

portland diantaranya adalah:

a. Semen Portland Tipe I (Ordinary Portland Cement)

Semen Portland tipe I dipakai untuk keperluan konstruksi bangunan biasa

yang tidak memerlukan persyaratan khusus, kadar kandungan sulfat pada

tanah dan air sekitar 0-1%. Semen ini memiliki kadar C3S yang tinggi dan

kadar C3A 10–15%. Digunakan untuk bangunan rumah pemukiman,

gedung bertingkat, dan lain-lain. Pemakaian dan komposisi jenis semen

tersebut diatur dalam Standar: ASTM C-150, BS 12/1987 NO. 15-204a

1994.

b. Semen Portland Tipe II (Moderate Heat Cement)

Semen Portland tipe II (Moderate Heat Cement) dipakai untuk keperluan

beton yang memerlukan ketahanan sulfat atau panas hidrasi sedang,

mempunyai kandungan sulfat pada tanah dan air 0,1–0,2%. Untuk semen

ini memiliki kadar C3S yang tinggi dan disyaratkan kadar C3A lebih dari

8%. Biasanya semen ini digunakan untuk bangunan pinggir laut

(pelabuhan), saluran irigasi, landasan jembatan bangunan di tanah rawa,

beton untuk dam. Pemakaian dan komposisi jenis semen tersebut diatur

dalam Standar: SII. 003-81, ASTM C-190, BS 12/1987, SNI NO. 15-204a

1994.

c. Semen Portland Tipe III

Semen Portland tipe III (High Early Strength Cement) dipakai untuk

konstruksi bangunan yang memerlukan kekuatan tekan tinggi pada fase

permulaan setelah pengikatan terjadi. Mengandung C3S lebih banyak dan


9

mempunyai sifat cepat mengeras atau mempunyai kekuatan tinggi pada

umur muda, semen jenis ini kadar C3S dan C3A tinggi, butirannya halus

dan C3A dibatasi maksimum 5%. Biasanya digunakan untuk daerah yang

bersuhu dingin, bangunan bertingkat, bangunan dalam air yang tidak

memerlukan ketahanan terhadap sulfat. Pemakaian dan komposisi jenis

semen tersebut diatur dalam Standar: SII. 003–81, ASTM C-180, BS

12/1987, SNI NO. 15–204A 1994.

d. Semen Portland Tipe IV

Semen Portland tipe IV (Low Heat Cement). Penggunaannya memerlukan

panas hidrasi rendah karena mengandung C4AF dan C2S lebih banyak.

Semen jenis ini pengerasan dan perkembangannya lambat. Kadar C3S

dibatasi maksimum 35% dan kadar C3A maksimum 7%. Biasanya

digunakan untuk bangunan di daerah panas, untuk pembuatan beton atau

kontruksi bangunan berdimensi tebal, misalnya bendungan pondasi

jembatan yang tebal atau landasan mesin-mesin yang berukuran tebal.

Pemakaian dan komposisi jenis semen tersebut diatur dalam Standar: SII.

003–81, ASTM C150,B 12/1987, SNI NO. 15–204A 1994.

e. Semen Portland Tipe V (Sulfate Resistance Cement)

Semen portland tipe V (Sulfate Resistance Cement ) adalah semen tahan

sulfat yang tinggi, artinya tahan terhadap larutan garam sulfat di dalam air.

Untuk jenis semen ini kadar C3A maksimun 5%. Digunakan untuk

bangunan industri, bangunan yang pengaruh gas atau uap kimia yang

agresif, untuk bangunan yang selalu berhubungan dengan air panas yang

mengandung garam-garam sulfat dalam konsentrasi tinggi. Pemakaian dan


10

komposisi jenis semen tersebut diatur dalam Standar: SII. 003–81, ASTM

C150, B 12/1987, SNI NO. 15-204A 1994.

2. Oil Well Cement (OWC)

OWC sering juga dinamakan dengan semen tipe khusus dan memenuhi

standar API-spec. 10A, SNI 15-3044-1992. Digunakan untuk membuat

lapisan sumur minyak yang dalam dan untuk menyumbat sumur setelah

dibor. OWC terdiri beberapa kelas yaitu:

a. Class A digunakan untuk kedalaman 1830 m

Class B digunakan untuk kedalaman 1830 m, disamping itu memerlukan

ketahanan terhadap sulfat tingkat menengah dan tinggi

b. Class C digunakan untuk kedalaman 180 m, yang memerlukan ketahanan

awal yang tinggi dan ketahanan sulfat tingkat menengah dan tinggi

c. Class G (Hight by Sulfat Resistance), digunakan pada sumur–sumur

dengan kedalaman 2440 m. Class G ini disebut juga dengan basis OWC

karena dengan menambah additive dapat digunakan untuk berbagai

kedalaman.

3. Super Masonry Cement (SMC)

Semen ini digunakan untuk konstruksi ringan sedang, untuk plesteran.

pemasangan bata dan bahan bangunan. Proporsi yang ideal untuk bahan

bangunan dengan menggunakan semen tipe ini adalah 70% SMC dan 30%

semen tipe dan memenuhi standar SNI 15–3500–1993.

4. Portland Pozzolan Cement (PPC)


Semen ini digunakan secara luas seperti:
a. Konstruksi beton massa (bendungan, dam, dan irigasi)
11

b. Konstruksi beton yang memerlukan ketahanan terhadap serangan sulfat

(bangunan tepi pantai dan tanah rawa)

c. Bangunan/instalasi yang memerlukan kekedapan yang tinggi.

5. Semen Portland Tipe 32,5R–NA (Rapid Hardening)

Merupakan semen yang dipakai sebagaimana tipe I tetapi mempunyai kuat

tekan yang lebih tinggi. Biasanya digunakan untuk pembuatan gedung,

jembatan, jalan raya, dan pemukiman.

6. Semen Portland Tipe 42,5 R-NA (Rapid Hardening)

Dipakai untuk semua macam konstruksi yang memerlukan kekuatan awal

tinggi, tahan terhadap pembekuan musim dingin, susut relatif kecil, serta

tahan terhadap alkalis reaktif.

7. Mansory Cement Tipe M, S, N

Semen jenis ini digunakan untuk plesteran, pemasangan bata, keramik dan

pekerjaan mortar lainnya.

8. Modified Cement Tipe I/II

Semen ini merupakan modifikasi dari tipe VII dengan kekuatan awal yang

sangat tinggi dan dipakai untuk semua konstruksi dengan ketahanan terhadap

sulfat sedang (sulfat: 0,08–17%, SO 125 ppm). Contoh: untuk gedung,

jembatan, jalan raya, pemukiman, dermaga dan bangunan tepi pantai,

bendungan, bangunan di tanah bergambut.

Di Indarung II/III PT Semen Padang hanya memproduksi empat jenis semen

yaitu: Ordinry Portland Cement (OPC), Portland Composite Cemen (PCC),

Portland Pozzolan Cement (PPC), Oil Well Cement (OWC).


12

II.3 Bahan Baku Pembuatan Semen

Secara umum bahan baku pembuatan semen terbagi atas dua macam yaitu bahan

baku utama dan bahan baku penunjang.

II.3.1 Bahan Baku Utama Pembuatan Semen

Bahan baku utama pembuatan semen adalah batu kapur, tanah liat, batu silika,

dan pasir besi. Komposisi pembentukan semen yang terdapat dalam bahan baku

jarang sekali sesuai dengan komposisi yang diinginkan, oleh karena itu perlu

dilakukan pencampuran bahan baku. Komponen pencampuran semen tersebut

adalah:

a. Batu kapur (Lime Stone)

Batu kapur dengan kandungan utamanya kalsium karbonat (CaC03)

merupakan sumber utama oksida kapur (CaO) dengan sedikit kandungan

tanah liat, magnesium karbonat, alumina silikat dan senyawa oksida

lainnya. Senyawa-senyawa tersebut menyebabkan batu kapur berwarna

abu-abu hingga kuning. Oksida kapur bersifat perekat terhadap batuan,

kandungan oksida kapur dalam batu minimal 54% dan digunakan sebagai

bahan dasar semen sekitar 80%.

b. Tanah liat (Clay)

Tanah liat berfungsi memberi kekuatan pada semen. Komponen utama

yang membentuk tanah liat adalah senyawa alumunium oksida (Al2O3).

Bahan ini mengandung 29% senyawa oksida alumina, selebihnya

mengandung senyawa besi dan senyawa organik lainnya sehingga

memberikan warna kuning hingga abu-abu kehitaman pada tanah liat.

Penggunaan tanah liat ini sekitar 8% dari total kebutuhan dasar semen.
13

c. Batu Silika (Silica Stone)

Batu silika merupakan sumber utama oksida silika (SiO2). Bahan ini

mengandung sekitar 65% oksida silika, digunakan sebagai pelengkap

komponen kimia esensial yang diperlukan untuk pembuatan semen dan

juga untuk menaikkan kandungan SiO2 pada batu kapur. Penggunaan batu

silika sekitar 10% dari total kebutuhan dasar semen.

d. Pasir Besi (Iron Sand)

Pasir besi selain berpengaruh terhadap warna semen juga berperan untuk

mempercepat proses peleburan bahan baku ketika pembentukan klinker.

Pasir besi merupakan sumber utama oksida besi (Fe2O3). Kandungan

oksida besi dalam pasir besi sekitar 60% dan digunakan sekitar 2% dari

total kebutuhan dasar semen.

II.3.2 Bahan Penunjang Pembuatan Semen

Bahan penunjang dalam pembuatan semen antara lain:

1. Gipsum

Gipsum digunakan sebagai retarder yaitu sebagai penghambat pengerasan

awal pada semen yang memiliki rumus CaSO4.xH2O. Gipsum mempunyai

karakteristik sebagai berikut:

a. Lembab

b. Tahan terhadap api

2. Pozzolan

Pozzolan adalah bahan yang mengandung silika dan alumina, yang tidak

mempunyai sifat mengikat seperti semen, senyawa tersebut akan bereaksi


14

secara kimia dengan kalsium hidroksida pada suhu kamar membentuk

senyawa yang mempunyai sifat seperti semen.

II.4 Teknologi Pembuatan Semen

Proses pembuatan semen berdasarkan kadar air terbagi menjadi empat macam

yaitu proses basah, proses semi basah, proses semi kering, dan proses kering.

1. Proses basah

Proses basah adalah proses pembuatan semen yang penggilingan bahan

baku ditambahkan sejumlah air sehingga hasil gilingan bahan baku berupa

lumpur yang dinamakan slurry dengan kadar air sebesar 30-37%. Untuk

mengeringkan kadar air bahan yang cukup tinggi maka diperlukan panas

yang besar yaitu 1.200–1.500 Kkal/kg klinker. Keuntungan proses basah

yaitu:

a. Tidak memerlukan pengeringan pada tahap persiapan bahan

b. Pencampuran dari komponen bahan baku lebih mudah karena

berbentuk slurry

c. Kehilangan debu rendah sehingga kurang menyebabkan polusi

udara.

Adapun kerugian dari proses basah adalah pada waktu pembakaran,

memerlukan panas dalam jumlah yang besar, sehingga dibutuhkan bahan

bakar yang besar.

2. Proses semi basah

Proses semi basah adalah proses dimana umpan tanur berupa cake dengan

kadar air sebesar 15-25% yang dibuat dengan bantuan Filter Press.

Konsumsi panas yang dibutuhkan sebesar 1.000-1.200 Kkal/kg klinker.


15

3. Proses semi kering

Proses semi kering adalah proses dimana raw material berbentuk butiran

dengan kadar air antara 10–12%. Umpan tanur berupa tepung kering

kemudian dengan alat granulator disemprot dengan air untuk dibentuk

menjadi granular dengan ukuran seragam yaitu 10–12 mm. Konsumsi

panas yang dibutuhkan sebesar 1.000 kkal/kg klinker.

4. Proses kering

Proses kering adalah proses dimana dilakukan pengeringan awal bahan

baku sebelum material digiling dengan hasil gilingan berupa bubuk kering.

Tingginya biaya pada proses basah dalam menguapkan air, maka dicari

cara yang lebih efektif dan efisien. Proses pemanasan awal dilakukan

dengan memanaskan material ke dalam aliran gas panas sehingga akan

terjadi perpindahan panas antara material dengan panas secara counter-

current dimana gas bergerak ke atas sementara material bergerak ke

bawah. Keuntungan proses kering yaitu kebutuhan panas lebih kecil dan

kapasitas Kiln lebih besar, sedangkan kerugian proses kering yaitu

campuran tepung baku tidak homogen dibandingkan dengan proses basah

dan banyak menimbulkan debu.

II.5 Proses Pembuatan Semen di Indarung II/III PT Semen Padang

Secara umum, proses produksi semen terdiri dari empat tahapan utama yaitu:

1. Pengadaan bahan baku

Pengadaan ini adalah aktivitas yang dimulai dari penambangan,

pemecahan, dan transportasi sampai bahan baku berada di pabrik.


16

2. Pengolahan bahan baku menjadi raw mix

Meliputi proses pencampuran bahan baku, pemecahan dan penggilingan

serta pengeringan bahan baku di Raw Mill menjadi raw mix serta proses

homogenisasi raw mix.

3. Pembakaran raw mix menjadi klinker

Ini dilakukan didalam Rotary Kiln melalui beberapa tahap proses sehingga

menjadi semen setengah jadi yang disebut klinker dan bahan bakar yang

digunakan adalah batubara.

4. Penggilingan klinker menjadi semen

Untuk mendapatkan semen adalah dengan cara menggiling klinker sampai

mencapai kehalusan tertentu dengan menggunakan mesin penggiling yang

disebut Cement Mill. Pada saat penggilingan klinker ini dicampur dengan

gipsum yang berguna sebagai retarder yaitu bahan dapat mengendalikan

waktu pengerasan semen.

II.5.1 Pengadaan Bahan Baku

Bahan baku berupa batu kapur dan batu silika ditambang sendiri oleh PT Semen

Padang, sedangkan tanah liat dibeli dari anak perusahaannya PT Igasar. Pasir besi

didatangkan dari Cilacap tapi sekarang pasir besi telah digantikan dengan copper

slag yang merupakan hasil samping peleburan tembaga, sedangkan gipsum alam

didatangkan dari Thailand.

1. Penambangan Batu Kapur

Penambangan batu kapur dilakukan dengan penambangan terbuka atau

disebut juga dengan sistem berjenjang (Benching system) yaitu dengan


17

membentuk tangga-tangga berketinggian 6–15 meter. Proses tersebut terdiri

atas beberapa tahapan sebagai berikut:

a. Pengupasan (Stipping)

Stipping merupakan pembuangan lapisan atas tanah dan pepohonan

yang menutupi lapisan batu kapur dengan menggunakan Bulldozer dan

Excavator.

b. Pengeboran (Drilling)

Drilling merupakan pembuatan lubang dengan bor untuk tempat

peledakan. Dalamnya peledakan sekitar 6-15 meter yang diarahkan

pada lantai jenjang.

c. Peledakan (Blasting)

Lubang yang sudah dibor diisi dengan bahan peledak dengan cara

peledakan electrical detonator. Sistem peledakan yang digunakan yaitu:

 ANFO (Amonium Nitrat + Fuel Oil) dicampur dengan

perbandingan 94:4. Pencampuran dengan alat Homogenizer yang

berupa drum putar dengan motor penggerak. Jumlah ANFO yang

digunakan biasanya 2/3 bagian.

 Damotin (Dinamit Amonium Gelatin) digunakan untuk meledakkan

ANFO yang dimasukkan ke dalam lubang dengan kedalaman 2/3

dari dalam lubang.

 Detonator digunakan untuk menyusut dinamit yang ditancapkan ke

dalam demotin yang dihubungkan dengan pusat pengatur ledakan.

 Tester berfungsi untuk mengetahui rangkaian batu kapur sudah

terbuang. Batu kapur yang sudah diledakkan dipindahkan ke dalam


18

Dump Truck dengan Excavator dan dijatuhkan ke dalam Loading

Area, maka batu kapur mengalami pengecilan ukuran karena batu

kapur berbenturan sesama batu kapur dan dengan dinding bukit.

d. Pendorongan (Dozing)

Proses pengangkutan batu kapur oleh Dump Truck ke Dumping Point

untuk dijatuhkan ke Loading Area yang terletak di bawah bukit. Batu

kapur mengalami pengecilan ukuran akibat benturan sesama batu kapur

dan dengan dinding bukit.

e. Penghancuran (Crushing)

Pemecahan batu kapur dari ukuran besar (± 1 m) menjadi ukuran yang

lebih kecil (≤ 50 mm). Setelah itu dengan Belt Conveyor batu kapur

dibawa ke Storage pabrik.

2. Penambangan Batu Silika (Silica Stone)

Penambangan batu silika dilakukan di bukit Ngalau. Penambangan batu

silika tidak memerlukan peledakan karena batuan silika merupakan butiran

yang saling lepas dan tidak terikat kuat satu sama lain (loss material).

Penambangan silika dilakukan dengan pendorongan batu silika

menggunakan Dozer ke tepi tebing dan jatuh di Loading Area. Batu silika

ini kemudian ditransportasikan ke Intermediate Silo di Batu Gadang untuk

kemudian dikirim ke Storage pabrik.

3. Penambangan Tanah Liat (Clay)

Penambangan tanah liat dilakukan dengan pengerukan pada lapisan

permukaan tanah dengan Excavator. Pertama kali yang dilakukan pada

tanah liat adalah pembuatan jalan dengan sistem selokan selang-seling.


19

Penambangan dimulai pada lokasi yang paling jauh dari jalan utama

sekaligus membentuk jalan baru. Pada saat musim hujan, area–area yang

tanah liatnya sedikit menyerap air dibuat jalan terlebih dahulu, maka

penambangan dapat dilakukan pada area yang tanah liatnya sedikit

menyerap air. Tanah liat yang dikeruk dengan Excavator kemudian

diangkut dengan Dump Truk ke Storage pabrik.

4. Penambangan Pasir Besi (Iron Sand)

Pasir besi didatangkan dari PT Aneka Tambang Cilacap. Pasir besi ini

diangkut dari Cilacap ke pelabuhan Teluk Bayur dengan menggunakan

kapal untuk selanjutnya diangkut dengan truk ke Storage pabrik. Saat ini

pasir besi diganti dengan copper slag karena keterbatasan deposit pasir besi.

Copper slag merupakan limbah dari PT Krakatau Steel yang dapat diolah

sehingga dapat dijadikan pengganti pasir besi.

5. Pengadaan Gipsum

Kebutuhan gipsum PT Semen Padang didatangkan dari PT Petrokimia

Gresik berupa gipsum sintetis, sedangkan gipsum alami didatangkan dari

Thailand dan Australia.

6. Pengadaan Batubara

Saat ini batubara diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya dari tambang

rakyat di Ombilin dan tambang di Muaro Bungo. Bahan baku yang telah

ditambang selanjutnya dikumpulkan di Storage masing-masing bahan

untuk kemudian dibawa menuju Coal Mill.


20

II.5.2 Penggilingan Bahan Baku

Di departemen Produksi II/III, penggilingan bahan baku (raw material)

menggunakan Tube Mill dengan tipe Duodan Mill yang berkapasitas 160 ton/jam.

Feed Arrangements yang digunakan berjenis Feed Chute Airswept Mill karena

dibutuhkan ruang masuk yang besar bagi gas panas untuk pengeringan bahan

baku. Centre Discharge digunakan sebagai Discharge Arrangements dimana letak

keluaran produk hasil gilingan berada diantara kompartemen I dan kompartemen

II. Gambar II.1 di bawah ini menjelaskan bentuk dalam Raw Mill.

Gas Outlet

Kamar I
Material Inlet

Gas Inlet

Kamar II

Material Outlet
Drying Chamber

Gambar II.1 Raw Mill tipe Duodan Mill

Material yang akan digiling dimasukkan bersamaan dengan aliran udara panas

berasal dari Suspension Preheater yang ditarik oleh Fan R1/R2P11, sehingga di

dalam Tube Mill selain terjadi proses penggilingan juga terjadi proses

pengeringan. Tube Mill untuk Raw Mill ini terdiri dari 3 ruangan, yaitu Drying

Chamber, kompartmen I dan kompartmen II. Pada Drying Chamber dipasang


21

Lifter yang berfungsi untuk mengangkat dan menghamburkan material sehingga

proses pengeringan dapat berlangsung dengan efektif karena luas permukaan

material yang kontak dengan gas panas bertambah besar. Sebagai pemisah antara

Drying Chamber dengan kompartmen I digunakan Open Diaphragm seperti

terlihat pada Gambar II.2 di bawah ini.

Gambar II.2 Open Diaphragm

Di dalam kompartmen I terdapat Lifting Liner berjenis Step Liner. Liner jenis ini

berfungsi untuk mengangkat dan menjatuhkan Grinding Media sehingga

dihasilkan gaya tumbukan terhadap material yang akan digiling. Pada

kompartmen II, permukaan Liner yang digunakan bergelombang dikarenakan

gaya yang diperlukan adalah gaya gesek antara material dengan Grinding Media

sehingga tidak diperlukan Liner yang dapat mengangkat Grinding Media. Di

kompartmen II juga digunakan Danula Ring yang bertujuan untuk

memperpanjang waktu tinggal material di dalam Mill sehingga efek penggilingan

akan lebih baik. Kedua Liner yang digunakan pada tiap kompartmen dapat dilihat

pada Gambar II.3 berikut.


22

(a) (b)
Gambar II.3 Shell Liner pada Kompartmen I (a) dan Kompartmen II (b)

Diaphragm digunakan di antara kompartmen I dan kompartmen II yang berfungsi

sebagai saringan terhadap material hasil penggilingan. Karena sistem Discharge-

nya adalah Centre Discharge maka Diaphragm yang digunakan berjenis Single

Diaphragm untuk masing-masing keluaran kompartmen.

(a) (b)
Gambar II.4 Diaphragm Keluaran Kompartmen I (a) dan Kompartmen II (b)

Material hasil penggilingan keluar melalui Diaphragm yang selanjutnya akan

mengalami penyaringan kembali di ruang bawah Tube Mill sehingga material

yang masuk ke dalam Air Slide adalah benar-benar raw mix dan mencegah

Grinding Media ikut keluar bersamanya.


23

Gambar II.5 Saringan Bagian Bawah Tube Mill

Grinding media yang digunakan terbuat dari bola baja dengan ukuran yang

berbeda untuk tiap kompartmen. Untuk kompartmen I digunakan Grinding Media

berukuran 50-90 mm, sedangkan untuk kompartmen II, Grinding Media yang

digunakan berukuran 25-40 mm.

(a) (b)
Gambar II.6 Grinding Media pada Kompartmen I (a) dan Kompartmen II (b)

Material hasil penggilingan keluar melalui Diaphragm kemudian akan dipisahkan

lagi antara fraksi kasar dan fraksi halus di Separator, fraksi kasar akan

dikembalikan ke Raw Mill untuk dihaluskan kembali, sedangkan fraksi halus yang

dinamakan raw mix akan dibawa oleh Air Slide ke Silo homogenisasi.
24

II.5.3 Homogenisasi Raw Mix

Umpan Kiln dengan komposisi kimia dan kehalusan yang seragam sangat

diperlukan untuk memperoleh kondisi operasi Kiln yang baik. Untuk itu dilakukan

proses homogenisasi. Prinsip kerja pengisian homogenisasi Silo ini adalah raw

mix masuk ke dalam Silo sampai terisi setengah penuh, setelah itu pada bagian

bawah Silo ditiupkan udara yang berasal dari Blower. Hal ini bertujuan untuk

menggemburkan/aerasi dari raw mix sehingga raw mix homogen dan lebih mudah

untuk dikeluarkan. Raw mix yang telah dikeluarkan dari Silo kemudian dibawa

oleh Screw Conveyor selanjutnya digunakan untuk umpan Kiln.

II.5.4 Pembentukan Klinker

Proses produksi klinker di Departemen Kiln dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu

tahap pengumpanan raw mix ke dalam Kiln, tahap pembakaran raw mix menjadi

klinker, dan tahap penyimpanan klinker ke dalam Silo. Raw mix yang disimpan di

dalam homogenisasi Silo dan dikeluarkan melalui bagian bawah Silo dengan

bantuan Blower untuk aerasi sehingga raw mix mudah ditarik keluar. Raw mix

tersebut kemudian diangkut oleh Screw Conveyor dan dibawa ke atas oleh Bucket

Elevator untuk selanjutnya disimpan di dalam Hopper, dari Hopper raw mix akan

diangkut oleh Air Slide. Raw mix kemudian diumpankan ke dalam Suspension

Preheater menggunakan alat Bucket Elevator dan Air Slide sebagaimana disajikan

dalam Gambar II.7 di bawah ini.


25

(a) (b)

Gambar II.7 Bucket Elevator (a) dan Air Slide (b)

Umpan raw mix sebelum masuk ke Kiln terlebih dahulu melalui Suspension

Preheater untuk tahap awal dari proses produksi klinker yaitu proses pengeringan

dan penghilangan kadar air pada tanah liat. Raw mix yang diumpankan dari atas

Suspension Preheater akan bertemu dengan aliran udara panas dari Kiln sehingga

terjadi proses perpindahan panas antara raw mix dengan udara panas tersebut.

Material keluaran Suspension Preheater kemudian masuk ke dalam Kiln untuk

menerima proses perlakuan panas berikutnya. Pada Gambar II.8 di bawah ini

disajikan gambar Kiln.

Gambar II.8 Rotary Kiln


26

Ada tahapan reaksi yang terjadi di Kiln, tahapan reaksi tersebut terdapat pada

Tabel II.1 di bawah ini:

Tabel II.1 Tahapan Reaksi pada Suhu Tertentu

Reaksi Suhu proses (ºC)


1. Proses penguapan air 100
2. Tahapan pelepasan air hidrat clay (tanah liat) 500
3. Tahapan penguapan CO2 dari batu kapur dan 800
mulai kalsinasi
4. Tahapan pembentukan C2S 800-900
5. Tahapan pembentukan C3A dan C4AF 1095-1205
6. Tahapan pembentukan C3S 1260-1455

Pada suhu proses 100ºC terjadi penguapan air dan pada suhu proses 500ºC terjadi

pelepasan air hidrat tanah liat yang ditunjukkan oleh reaksi berikut:

Al2Si2O7xH2O → Al2O3 + 2SiO2 + x H2O

Pada suhu proses 600-800ºC terjadi kalsinasi dengan reaksi sebagai berikut:

CaCO3 → CaO + CO2

MgCO3 → MgO + CO2

Pada suhu proses dari 800-900ºC terjadi pembentukan garam kalsium silikat yang

sebenarnya sebelum mencapai suhu 800ºC sudah terjadi sebagian kecil

pembentukan garam kalsium silikat terutama C2S dengan reaksi sebagai berikut:

2CaO + SiO2 → 2CaO.SiO2 atau C2S

Pada suhu proses dari 1095-1205ºC terjadi pembentukan garam kalsium aluminat

dan ferrit dengan reaksi sebagai berikut:

3CaO + Al2O3 → 3CaO.Al2O3 atau C3A

4CaO + Al2O3 + Fe2O3 → 4CaO.Al2O3.Fe2O3 atau C4AF


27

Pada suhu proses dari 1260–1455ºC terjadi pembentukan garam silikat terutama

C3S dimana persentasi C2S mulai menurun karena membentuk C3S.

2CaO.SiO2 + CaO → 3CaO.SiO2 atau C3S

Sementara bagian CaO yang tidak bereaksi dengan oksida-oksida alumina besi

dan silika biasanya dalam bentuk CaO bebas atau free lime dan banyaknya

persentase CaO bebas dibatasi di bawah 1%.

Hasil dari Kiln dinamakan klinker, klinker yang keluar akan didinginkan di

Cooler. Cooler yang digunakan di Indarung II/III adalah tipe Planetary Cooler.

Klinker masuk ke dalam Cooler melalui inlet cooler pada saat Cooler berada pada

posisi di bawah. Pendinginan terjadi dengan cara menaburkan klinker sehingga

kontak dengan udara sekunder lebih baik. Klinker yang telah didinginkan

kemudian diangkut oleh Bucket Conveyor yang kemudian disimpan ke dalam Silo

klinker untuk digiling di dalam Cement Mill. Gambar II.9 di bawah ini merupakan

gambar Planetary Cooler.

Gambar II.9 Planetary Cooler


28

II.5.5 Persiapan Bahan Bakar

Bahan bakar yang digunakan adalah batubara. Batubara sebelum digunakan

sebagai bahan bakar utama Kiln , terlebih dahulu dilakukan proses penggilingan

dan pengeringan. Proses penggilingan dan pengeringan dilakukan di Coal Mill

yang jenisnya Tube Mill. Dari Storage batubara di transfer ke Hopper dengan

kapasitas 300 m3. Dari Hopper material dimasukkan ke Mill menggunakan feed

table. Proses penggilingan di Coal Mill ini tidak jauh beda dengan di Raw Mill.

Dari feed table akan langsung masuk ke Tube Mill, setelah itu masuk ke (drying

chumber) kamar pengering I dan II. Setelah dari kamar pengering, material yang

halus akan langsung masuk ke Bag House Filter (BHF) sedangkan material kasar

akan di kembalikan ke Mill dan digiling kembali sehingga menjadi fine coal.

Material halus yang keluar dari BHF dimasukkan ke bin raw coal, kemudian

dilanjutkan ke Hopper. Setelah dari Hopper, fine coal langsung digunakan sebagai

bahan bakar untuk proses pembakaran di Kiln.

II.5.6 Penggilingan Klinker

Proses produksi di area Cement Mill Produksi II/III dapat dibagi menjadi tiga

tahapan yaitu tahap pengumpanan material (klinker, gipsum, material ketiga),

tahap penggilingan, dan tahap pengiriman semen ke Silo semen (cement

transport). Bahan yang digunakan untuk membuat semen terdiri dari tiga jenis

bahan yaitu klinker (digunakan sebanyak ± 91% untuk tipe I dan ± 72% untuk tipe

SMC), gipsum (digunakan sebanyak ± 3% untuk semua tipe), dan material ketiga

(batu kapur digunakan sebanyak ± 3% untuk tipe I dan ± 25% untuk SMC).

Klinker, gipsum dan material ketiga (batu kapur) yang disimpan di dalam Hopper

masing-masing diumpankan oleh Belt Conveyor ke dalam Cement Mill pada


29

Indarung II. Untuk Indarung III, sebelum masuk ke Cement Mill, klinker dan

gipsum terlebih dahulu digiling di dalam Pregrinder. Penggilingan ketiga material

tersebut dilakukan di dalam Tube Mill yang berkapasitas 100 ton/jam. Tube Mill

yang digunakan bertipe Unidan, sebagaimana yang digambarkan pada Gambar

II.10 di bawah ini.


Material
outlet

Material

inlet

Diafragm
a
Water
inletInlet Injection

Gambar II.10 Cement Mill

Tube Mill yang digunakan untuk penggilingan semen ini hanya memiliki dua buah

kompartmen yaitu kompartmen I dan kompartmen II tanpa Drying Chamber.

Penggilingan awal dilakukan di dalam kompartmen I dan kemudian menuju ke

kompartment II untuk penghalusan. Antara kompartmen I dan kompartmen II juga

dipasang Diaphragm yang berjenis Double Diaphragm. Untuk mengatur dan

mengendalikan suhu di dalam mill baik kamar I dan kamar II yang diakibatkan

oleh proses penggilingan, maka dilakukan proses pendinginan dengan


30

menembakkan air (Water Injection). Penyemprotan air (Water Injection)

dilakukan secara otomatis pada kedua ujung Mill dengan menggunakan Nozzle

yang dibantu oleh udara bertekan dari kompresor. Suhu di dalam Mill dijaga pada

tingkat yang aman yaitu antara 110-125ºC karena jika suhu semen di atas 125ºC

maka dapat menimbulkan degredasi terhadap gipsum. Berikut ini merupakan

gambar Water Injection pada bagian inlet mill dan outlet mill yang disajikan

dalam Gambar II.11 di bawah ini:

(a) (b)

Gambar II.11 Water Injection pada (a) Inlet Mill dan (b) Outlet Mill

Hasil produk semen setelah penggilingan kemudian keluar melalui bawah Mill

dan dibawa oleh Air Slide untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam Separator.

Sedangkan gas dari Cement Mill yang ditarik dari Fan masuk ke Electrostatic

Precipitator dan gas dibuang menuju cerobong. Debu yang tertangkap EP

ditransportasikan oleh Screw Conveyor ke Air Slide. Separator yang digunakan di

Indarung II/III adalah O-sepa Separator. Produk Separator yang kasar (tailing)
31

kemudian dibalikkan seluruhnya ke dalam kompartmen I melalui Air Slide.

Produk akhir Separator kemudian ditransport oleh Air Slide kemudian dilanjutkan

oleh Belt Conveyor menuju ke Silo semen.

II.5.7 Pengantongan

Sebelum semen dipasarkan terlebih dahulu dilakukan pengantongan semen.

Pengantongan semen untuk produksi PT Semen Padang dilakukan di tiga tempat

yaitu di Pabrik Indarung I, Teluk Bayur, dan PPI (Packing Plant Indarung).

Proses pengantongan semen di PPI, semen yang akan dikantongkan dibawa dari

Silo semen ke Elevator dengan Air Slide. Selanjutnya Elevator akan mengangkat

semen kebagian kontrol semen untuk dilakukan penyaringan. Dari control screen

ini semen diteruskan ke packer.

Disamping itu, lokasi packer ini dilengkapi Duct Filter yang akan menyaring

debu packer. Debu yang tersaring selanjutnya dimasukkan kembali berupa asap

dalam bentuk udara. Selanjutnya, semen yang telah selesai dikantongkan dan

disalurkan dengan Belt Vonveyor, selanjutnya ke Boumer, dimana Boumer adalah

alat untuk membawa semen ke truk.

II.5.8 Pemasaran

Daerah pemasaran dari PT Semen Padang meliputi seluruh wilayah Indonesia.

Apabila suplai dalam negeri sudah mencukupi, maka kelebihannya akan diekspor.

Untuk ekspor PT Semen Padang telah mensuplai ke negara Bangladesh, Taiwan,

Myanmar, Vietnam, Jepang, Thailand, Hongkong, Papua Nugini, Philipina, dan

lain-lain. Pendistribusiannya dilakukan dengan menggunakan angkutan laut dan

angkutan darat.
32

II.6 Gas Panas

Gas panas yang digunakan untuk proses pengeringan di Raw Mill di suplai dari

gas buang Kiln yang berasal dari Suspension Preheater. Temperatur gas panas

yang masuk ke dalam Raw Mill >225oC, sekitar 90% dari panas masuk ke dalam

Drying Chamber dan sisanya masuk ke kompartmen I dan kompartmen II,

penarikan flow gas ke Drying Chamber diatur dengan dumper.

Gas panas yang keluar dari Mill pada temperatur 55oC-80oC dengan membawa

debu sekitar 20% ke Cyclone. Pada Cyclone material dipisahkan dari udara, gas

panas yang keluar dari Cyclone didinginkan di Cooling Tower, sedangkan

debunya ditangkap dengan Electrostatic Precipitator (EP) sebelum dibuang

langsung ke lingkungan. Material hasil separasi Cyclone dikembalikan ke dalam

Mill dengan Air Slide. Material ini bergabung bersama-sama dengan hasil

penggilingan Raw Mill dan dibawa dengan Bucket Elevator, kemudian

diumpankan ke Separator I dan II.

Tailling Separator I semuanya dikembalikan ke kompartmen II pada Mill,

ditambah 70% tailling Separator II. Sisa tailling Separator II sebanyak 30%

dikembalikan ke kamar I. Fraksi yang halus selanjutnya dibawa ke Blending Silo.

II.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gas Panas

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi gas panas pada proses pengeringan

adalah:

1. Massa umpan

Semakin banyak massa umpan masuk maka semakin banyak massa gas

panas yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan.


33

2. Kadar air bahan baku

Semakin tinggi kandungan air yang terdapat dalam bahan baku maka

energi yang dibutuhkan akan semakin besar pada proses pengeringan.

3. Temperatur gas panas

Hukum kekekalan energi menyatakan bahwa massa akan berbanding

terbalik dengan temperatur dimana semakin tinggi temperatur gas panas

masuk maka massa gas panas yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan

akan semakin kecil.

II.8 Neraca Massa dan Energi

Neraca massa dan energi merupakan perhitungan massa dan energi panas yang

masuk dan perhitungan massa dan energi panas yang dihasilkan dalam suatu

proses atau operasi panas yang dibawa serta panas yang dipakai suatu industri,

khususnya industri semen pada proses penggilingan dan pengeringan bahan baku

di Raw Mill.

Hukum kekekalan energi menyatakan bahwa massa akan berbanding terbalik

dengan temperatur dimana semakin tinggi temperatur gas panas masuk maka

massa yang dibutuhkan untuk menghasilkan kalor sebesar 1 Kkal akan semakin

kecil. Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan persamaan neraca energi

yaitu: Q = m x Cp x ∆T (2.1)

Dimana : Q = Besarnya kalor yang ditransfer (kcal/jam)

m = massa gas panas masuk Raw Mill (kg/jam)

Cp = kapasitas panas/kalor jenis (kcal/kg oC)

∆T = perbedaan temperatur (oC)


34

Dari persamaan di atas membuktikan bahwa semakin tinggi termperatur gas panas

maka akan semakin kacil massa gas panas yang dibutuhkan untuk memenuhi

kebutuhan kalor sebesar 1 Kkal/jam.

Neraca energi dapat juga dikatakan sebagai perincian banyaknya energi panas

yang dibawa masuk dan energi panas yang dihasilkan dalam suatu proses yang

diasumsikan tidak ada energi panas yang terakumulasi.

Ada beberapa perubahan panas diantaranya:

1. Panas Sensible

Panas sensible adalah panas yang dapat menyebabkan perubahan

temperatur, tetapi tidak mengalami perubahan fase. Persamaan yang

digunakan untuk menghitung panas sensible ini adalah:

Q = m x Cp x ∆T (2.2)

2. Panas Laten

Panas laten adalah panas yang menyebabkan terjadinya perubahan fase.

Persamaan yang digunakan untuk menghitung panas laten ini adalah:

Q=mxλ (2.3)

Dimana : λ = panas laten (Btu/Ib)

Persamaan neraca energi untuk suatu sistem pada keadaan steady state

(diasumsikan tidak ada panas yang hilang), yaitu:

Panas yang masuk = Panas yang keluar

Energi panas merupakan energi yang ditranspormasikan sebagai akibat adanya

perbedaan suhu energi panas selalu berpindah dari suatu sistem panas ke sistem

dingin. Pengertian panas berbeda dengan pengertian suhu. Panas merupakan


35

faktor ekstensif artinya bergantung pada jumlah zat, sedangkan suhu adalah faktor

intensif dan besarnya tidak bergantung pada jumlah zat.

II.9 Pengeringan Bahan Padat

Pengeringan adalah operasi pemisahan atau pengeluaran air dari suatu bahan yang

jumlahnya relatif kecil dengan menggunakan udara (gas) panas yang tidak jenuh.

Operasi pengeringan dilakukan dengan cara menghembuskan gas panas

(menyediakan panas yang diperlukan untuk penguapan air dan sekaligus

membawa uap air keluar) pada bahan yang akan dikeringkan. Air menguap pada

suhu yang lebih rendah dari titik didihnya karena adanya perbedaan kandungan

uap air pada bidang antar muka bahan padat-gas dengan kandungan air pada fasa

gas.

II.10 Perpindahan Panas pada Pengeringan

Kuantitas panas yang diperlukan untuk pengeringan terutama terdiri atas:

1. panas untuk memanaskan bahan yang dikeringkan hingga mencapai suhu

pengeringan

2. panas penguapan untuk mengubah cairan ke fase uap

3. panas yang hilang ke sekeliling.

Panas harus diberikan pada bahan yang akan dikeringkan dengan konduksi,

konveksi atau radiasi. Hal ini tergantung pada tahap proses pengeringan, apakah

pada permukaan atau pada bagian dalam bahan dengan melewati lapisan-lapisan

yang telah dikeringkan.

Pertukaran panas dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. Sebagai

media pemanas digunakan misalnya udara, air, kukus, minyak. Tergantung pada
36

suhu pengeringan, maka proses pengeringan dapat berlangsung baik dibawah titik

didih dari cairan yang harus diuapkan (pengeringan dan pengabutan). Ataupun

pada suhu didihnya (pengeringan dengan penguapan). Pada cara yang terakhir ini

umumnya waktu pengeringan yang diperlukan relatif singkat.

II.11 Perpindahan Massa pada Pengeringan

Pada partikel-partikel padat yang lembab, cairan yang harus dipisahkan dapat

berada sebagai cairan bebas, cairan terikat dan air kristal. Cairan bebas adalah

cairan yang tak terikat pada permukaan partikel. Cairan terikat merupakan cairan

yang terikat oleh gaya kapiler dan diadsorpsi di dalam pori-pori partikel serta air

kristal yang diikat oleh gaya valensi dalam struktur kristal bahan padat.

Bedasarkan keadaan cairan di atas, maka proses pengeringan atau waktu dan

energi yang diperlukan untuk mengeluarkan cairan juga berbeda-beda. Pada

umumnya proses pengeringan dibagi menjadi sedikitnya dua tahap: tahap pertama

dengan laju pengeringan yang konstan dan tahap kedua dengan laju pengeringan

yang menurun. Pada tahap pengeringan yang pertama, cairan pada permukaan

partikel menguap atau mengabut dengan segera secara merata. Sebagai akibatnya

terjadi penurunan kelembaban di dalam partikel, dan cairan berpindah dari bagian

dalam partikel ke permukaan dengan cara difusi.

Tahap pengeringan kedua dimulai ketika cairan yang berasal dari bagian dalam

partikel tidak lagi cukup untuk membasahi permukaan. Bidang batas terjadinya

penguapan atau pengabutan kemudian bergerak masuk ke bagian dalam partikel.

Cairan yang berada di situ harus berdifusi dalam bentuk uap agar dapat menembus

lapisan-lapisan bahan yang telah kering. Tahanan yang harus diatasi membesar,
37

dan laju pengeringan menurun. Hal ini semakin nyata bila diameter partikel (atau

tebal lapisan) semakin besar, juga bila kapiler–kapiler dalam partikel semakin

halus. Pada akhir proses pengeringan (laju pengeringan nol) seringkali masih

tertinggal kelembaban sisa dalam bahan yang dikeringkan.

Untuk melaksanakan kedua tahap pengeringan, khususnya pada proses-proses

yang kontinu, akan lebih baik jika digunakan dua alat pengeringan yang berbeda

(alat pengeringan awal dan alat pengeringan akhir). Dalam hal ini dilakukan

misalnya pengeringan pada alat pertama dengan waktu tinggal yang singkat serta

suhu yang tinggi (untuk mengeluarkan kelembaban permukaan), dan pada alat

kedua dengan waktu tinggal yang lebih lama (untuk mengeluarkan kelembaban

kapiler).

Dalam praktek, seringkali pengeringan tidak dilakukan hingga dicapai

kelembaban sisa seperti disebutkan atas. Untuk penghematan, proses pengeringan

dihentikan segera setelah persyaratan mengenai kadar kelembaban akhir

(misalnya 1%) dalam bahan kering telah dipenuhi.

Gambaran tentang akhir proses pengeringan dapat diketahui dengan cara yang

berbeda-beda misalnya berdasarkan:

a. Tidak adanya kondensat setelah melewati kondensor (diamati melalui

kaca pengintip)

b. Penurunan suhu dalam pipa uap

c. Penurunan tekanan (kondisi vakum yang lebih baik) pada alat-alat

pengering vakum

d. Kenaikan suhu pada bahan yang dikeringkan


38

e. Penurunan daya yang diperlukan (arus lebih rendah) pada alat-alat

pengering

Tinjauan awal secara kualitatif ini masih harus dilengkapi dengan analisis

kuantitatif, yaitu dengan penentuan kadar kelembaban akhir pada bahan yang

dikeringkan. Secara bersama, keduanya akan menghasilkan nilai-nilai berdasarkan

pengalaman untuk menentukan akhir pengeringan yang optimal.

II.12 Kandungan Air dalam Bahan

Kandungan air dalam suatu bahan dapat dinyatakan sebagai perbandingan jumlah

air dengan jumlah bahan kering. Dalam pengeringan yang berperan adalah

hubungan kesetimbangan air dalam bahan dengan uap air dalam gas (udara)

pengering. Apabila bahan yang mengandung air dipertemukan dengan suatu aliran

udara yang memiliki kondisi tertentu dan tetap (misalnya tekanan uap air di

udara), maka bahan dapat mengalami salah satu hal berikut:

1. Bahan tidak mengalami perubahan kandungan air, terjadi apabila tekanan

uap yang diberikan bahan sama dengan tekanan uap diudara sehingga

tidak ada gaya dorong untuk perpindahan air. Keadaan ini disebut keadaan

setimbang.

2. Kandungan air menurun karena penguapan, hal ini terjadi apabila tekanan

uap air yang diberikan bahan lebih besar dari tekanan uap diudara.

Penguapan berlangsung sampai tekanan uap yang diberikan bahan sama

dengan tekanan uap di udara.

3. Kandungan air bahan akan bertambah apabila tekanan uap yang diberikan

bahan kecil dari tekanan uap di udara, dan akan berlangsung sampai

tekanan uap yang diberikan bahan sama dengan tekanan uap di udara.

Anda mungkin juga menyukai