SKRIPSI
Oleh
NIM. 2191230001
JURUSAN SENDRATASIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2023
ABSTRAK
ARNITA ARDILLAH HARAHAP. NIM 2191230001. Bentuk Penyajian dan
Fungsi Tarian Dalam Ritual Muncang Pada Masyarakat Karo Kecamatan
Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang. Fakultas Bahasa Dan Seni, Universitas
Negeri Medan. 2023
Penelitian ini merupakan kajian mengenai bentuk penyajian dan fungsi tarian
dalam ritual Muncang tepatnya di desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru
Kabupaten Deli Serdang. Ritual muncang merupakan bentuk kebudayaan
masyarakat Karo yang hingga saat ini menjadi tradisi yang masih tetap tumbuh
dan berkembang meskipun intensitasnya tidak seperti zamana dahulu. Dalam
pembahasan penelitian ini digunakan teori-teori yang berhubungan dengan topik
penelitian seperti pengertian ritual muncang, teori ritual, teori tari, teori bentuk
penyajian dan teori fungsi. Untuk bentuk penyajian penulis menggunakan teori
dari Hermin Kusmayati (1989: 9) dan Teori Fungsi dari Edy Sedyawati (1981:53).
Metode yang digunakan untuk membahas Bentuk Penyajian dan Fungsi Tarian
Dalam Ritual Muncang Pada Masyarakat Karo Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten
Deli Serdang adalah metode deskriptif kualitatif. Populasi pada penelitian ini
sekaligus menjadi sampel penelitian yaitu tokoh adat, pemusik, Guru Sibaso
(dukun), Simantek Kuta (keturunan pendiri kampung), penari dan orang-orang
yang terlibat dalam ritual muncang tersebut. Teknik pengumpulan data meliputi
studi kepustakaan, observasi, wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan secara garis besar bahwa
bentuk penyajian tari dalam ritual muncang pada masyarakat desa Mbaruai
Kecamatan Sibiru biru Kabupaten Deliserdang meliputi: gerak Erdalan Ersikap
Landek, Persentabian, Mari-mari, Odak-odak, Murjah-urjah Muatken Erseluk,
Erseluk dan Nalangi Uis. Musik pengiring Gendang Lima Sendalanen yang terdiri
dari Sarune, Gendang Singanaki, Gendang Singindungi, Gung dan Penganak.
Kostum berupa Abit (kain sarung), baju sehari-hari, kain putih serta jubah merah.
Pola lantai yaitu pola horizontal dan pola melingkar. Alat perlengkapan dan
menjadi properti saat Guru sibaso menari berupa beras pengiang-ngiangi, sirih
persentabian, pedang, rudang mayang tanduk, lau panguras dan kemenyan.
Untuk tempat pelaksanaan ritual tepatnya berada di mabar dan jambur. Selain itu
tarian dalam hal ini juga berfungsi sebagai sarana atau pendukung upacara agar
komunikasi dengan roh-roh nenek moyang dapat berjalan dengan lancar. Fungsi
lain yaitu sebagai pemanggilan kekuatan gaib, penjemputan roh-roh pelindung
untuk hadir di tempat pemujaan, memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh
jahat, peringatan kepada nenek moyang dengan menirukan kegagahan ataupun
kesigapan, dan pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saattertentu.
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan Rahmad -
Nya penulis dapat menyelesaikan tulisan ilmiah ini dengan judul “Bentuk
Penyajian Dan Fungsi Tarian Dalam Ritual Muncang Pada Masyarakat Karo
Kecamatan Sibiru-Biru Kabupaten Deli Serdang”.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengalami banyak kendala. Namun
berkat motivasi, bimbingan dan bantuan dari semua pihak, maka akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan banyak terimakasih kepada:
1. Prof. Dr Baharuddin, ST., M.Pd, selaku Rektor Universitas
Negeri Medan.
2. Dr. Zulkifli, M.Sn selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Medan.
3. Dr. Panji Suroso, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sendratasik
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.
4. Dr. Nurwani, S.S.T., M.Hum selaku Sekretaris Jurusan
Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, sekaligus
Dosen Pembimbing Skripsi yang senantiasa begitu banyak memberikan ilmu
pengetahuan dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Martozet, S.Sn., M.A selaku Ketua Prodi Seni Pertunjukan
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, sekaligus Dosen penguji
III yang telah memberikan ilmu, informasi dan layanan kepada penulis demi
terselesainya skripsi ini.
6. Irwansyah, S.Sn., M.Sn selaku Dosen Pembimbing Akademik
sekaligus Dosen Penguji I yang telah memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Dr. Pulumun P. Ginting, S.Sn., M.Sn selaku Dosen penguji II
yang telah memberikan arahan untuk perbaikan skripsi ini.
DAFTAR ISI
ABSTRAK… .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
DAFTAR TABEL...............................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................................7
C. Pembatasan Masalah ......................................................................................7
D. Rumusan Masalah ..........................................................................................8
E. Tujuan Penelitian ............................................................................................8
F. Manfaat Penelitian ..........................................................................................8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...............................................................................11
A. Landasan Teori .............................................................................................11
1. Teori Bentuk Penyajian ............................................................................11
2. Teori Fungsi Tari ......................................................................................13
3. Tari ............................................................................................................ 14
4. Teori Ritual .................................................................................................15
4. Ritual Muncang.........................................................................................16
B. Penelitian Relevan .........................................................................................17
C. Kerangka Konseptual ..................................................................................... 21
BAB III METODE PENELITIAN .....................................................................24
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...................................................................24
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................24
C. Populasi dan Sampel ....................................................................................25
D. Teknik Pengumpulan Data ...........................................................................25
E. Teknik Analisis Data ....................................................................................27
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................... 28
A. Hasil Penelitian .............................................................................................28
1. Letak Geografis ..........................................................................................28
2. Keadaan Demografi di Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten
Deli Serdang ...............................................................................................29
3. Struktur Ritual Muncang di dusun III Namorindang Desa Mbaruai Kecamat
v
B. Pembahasan .....................................................................................................48
1. Bentuk Penyajian Tari dalam Ritual Muncang di dusun III Namorindang
desa Mbaruai Kecamatan Sibiru biru Kabupaten Deliserdang ..................48
2. Fungsi Tari dalam Ritual Muncang di dusun III Namorindang Desa Mbaruai
Kecamatan Sibiru biru Kabupaten Deliserdang .........................................65
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.11Mumbang 37
DAFTAR TABEL
Suku Karo memiliki kebudayaan yang sangat beraneka ragam dan menjadi ciri khas
pada masyarakat itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa aktivitas atau kegiatan
masyarakat itu sendiri. Wibowo dalam Sumarto pada Jurnal Literasi Vol. 1, No. 2, (2019:
146) mendefinisikan “budaya merupakan pola kegiatan atau pola hidup masyarakat yang
secara sistematis ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan melalui
berbagai proses pembelajaran untuk mewujudkan gaya hidup yang paling sesuai dengan
pola hidup dari suatu kelompok manusia yang telah mereka sepakati bersama untuk
Menurut Edward Burnett Taylor dalam Monica pada jurnal Gesture Vol. 2, No. 2,
hukum adat istiadat masyarakat dan semua kemampuan yang diperoleh seseorang dalam
Koentjaraningrat (1993:5) dalam Sumarto pada Jurnal Literasiologi Vol. 1, No.2 (2019:
148) mengungkapkan:
1
2
Tidak hanya bangsa dan kelompok etnis yang memiliki kebudayaan, tetapi
juga masyarakat luas, organisasi, dan sistem sosial lainnya. Setiap populasi yang
Sudah jelas bahwa kesenian adalah salah satu unsur yang dapat
kesenian yang lahir dari masyarakat dan disesuaikan dengan adat budaya serta
norma yang berlaku. Kemunculan berbagai kesenian bisa saja terjadi dalam
kebudayaan yang selalu digunakan pada setiap kesempatan, baik digunakan ketika
upacara adat, hiburan hingga ritual. Salah satu kesenian yang ada pada masyarakat
Karo adalah seni tari. Menurut BPH Suryadiningrat dalam Nurwani (2017: 23)
bahwa ”tari adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagian tubuh manusia yang
disusun selaras dengan irama musik, serta mempunyai maksud tertentu”. Dari
sumber yang sama terdapat juga pendapat Soedarsono menyatakan bahwa “Tari
adalah ekspresi jiwa manusia yang dituangkan melalui gerak yang ritmis dan
indah”. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa substansi tari adalah
Secara umum tari pada masyarakat Karo disebut dengan landek. Sebagaimana
dalam tulisan Adlin et.al. dalam jurnal BAHAS Vol. 28, No. 4, (2017:428):
T.Sarjani, (2008: 123) dalam Nadra Akbar Manalu pada jurnal Gesture Vol.
2, No. 1, (2013: 5) menyatakan bahwa “dalam budaya Karo penyajian landek erat
dengan konteks penyajiannya. Konteks penyajian tari bagi masyarakat Karo secara
umum dibagi menjadi tiga bagian yaitu tarian yang berhubung kait dengan adat
atau komunal, tarian untuk hiburan dan tarain yang berhubungan dengan
wujudnya sebagai sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, Dewa-Dewa, Roh-
roh halus, neraka, surga dan sebagainya, tetapi mempunyai wujud yang berupa
Meeting BKS-PTN Wilayah Barat Vol. 1, No. 1, (2018: 557) “Rituals are a form
special characteristics, which give the rise to noble respect, in the sense of a sacred
beberapa kepercayaan atau agama, ditandai dengan sifat khusus yang menimbulkan
rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci dan
komunikasi manusia dengan yang disembah dan antara manusia dan manusia. Tujuan dari
ritual ini yaitu selain untuk menjaga dan melestarikan kesucian, juga memohon
4
perlindungan kepada makhluk gaib atau yang disembah karena biasanya upacara
diadakan ketika terjadi keadaan kritis dalam hidup atau ingin menyampaikan
sesuatu kepada yang keramat. Upacara dapat berupa persembahan yang dirancang
sebelum mengenal agama baru seperti Katolik, Kristen, Protestan, Islam, Hindu dan
Budha, yaitu agama pemena. Pemena artinya pertama. Tak jarang agama pemena
dan dinamisme yang mana diyakini mampu berdialog dengan makhluk halus.
Masyarakat Karo percaya bahwa ada jiwa yang hinggap di batu-batu besar, kayu –
kayu besar, sungai, gunung ataupun tempat-tempat yang dianggap keramat lainnya.
Macam-macam ritual yang terdapat pada masyarakat Karo yang menganut agama
pemena antara lain; Ritual Erpangir Ku Lau, Ritual Cawir Bulung, Ritual Perumah
ritual tersebut maka terdapat berbagai kesenian pada masyarakat Karo, salah
satunya seni tari yang ada dalam ritual Muncang dan masih dijumpai pada
Deli Serdang.
Elieser Barus dalam Jurnal Etnomusikologi USU Vol. No. (2013: 02)
memaparkan: “Muncang adalah upacara tolak bala dengan cara memanggil tembun-
tembunen kuta (roh-roh nenek moyang penjaga kampung) melalui mediator seorang
Guru Sibaso untuk menolak bala dan mengusir roh-roh jahat yang dianggap
dipercayai dapat menyembuhkan dari penyakit, menolak bala, dan mengusir roh-
Upacara Muncang dilakukan karena adanya suatu kejadian yang tidak lazim
dalam suatu keluarga didatangi roh leluhur yang hendak menyampaikan hal-hal
yang diminta dan harus diselesaikan, meninggalnya para penghulu desa dalam
waktu yang berdekatan, sehingga membuat masyarakat merasa tidak nyaman, maka
dilakukan lah ritual Muncang untuk memohon perlindungan dari roh- roh pendiri
kampung tersebut.
pada malam hari dilakukan acara pembuatkan cimpa oleh anak gadis yang suci.
Acara berlanjut pada keesokan paginya seluruh rombongan yang telah berkumpul
di jambur/balai desa berbaris sesuai posisi yaitu Guru Sibaso, Sukut, Kalimbubu,
gerak tari seperti endek (keadaan lutut naik-turun), persentabian (gerakan tangan
menyembah), gerak-gerakan silat (Ndikar), lempir tan (telapak tangan kanan dan
setelah itu rombongan kembali ke jambur (balai desa) untuk melakukan perumah
begu yaitu menanyai dan meminta saran dari roh yang masuk melalui
Selanjutnya Guru Sibaso masih melakukan gerak tari secara terus menerus
media bunga rudang mayang, untuk melihat apa saja permintaaan roh-roh nenek
Guru Sibaso telah memagari kampung, musik pun berhenti pertanda acara selesai
dilaksanakan.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa di dalam proses penyajian ritual muncang
selalu menyajikan suatu kesenian berupa tari yang senantiasa diiringi musik
tradisoanal, dimana tarian menjadi suatu yang sarat dalam pelaksanaan ritual ini.
Mulai dari proses menuju ke mabar, mengelilingi mabar, proses menuju ke jambur,
hingga sampai di jambur dapat dilihat keberadaan tarian mulai dari awal hingga
akhir. Maka dari itu pentingnya untuk melihat bentuk sajian tari di dalam ritual
muncang ini. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan pendapat Hermin (1989: 9)
bahwa:
“Penyajian tari didukung dari beberapa unsur, yaitu gerak tari karena
hakikat tari adalah gerak, pola lantai (garis diatas lantai yang dibentuk
dan dilalui oleh penari), irigan tari (musik yang menghidupkan suasana
tari), tata rias dan busana (meliputi riasan wajah dan busana yang
membantu menunjang karakter dari tari), property (seluruh peralatan
yang digunakan dalam penyajian tari) dan tempat pementasan.”
7
Bentuk tarian pada ritual muncang ini dapat dilihat dari gerakan tari tradisi
Karo yang terjadi karena telah sering dilakukan pada kegiatan-kegiatan yang lain
dan dipengaruhi oleh energi supranatural seperti endek (keadaan lutut naik-turun),
tan (telapak tangan kanan dan kiri menghadap ke depan sejajar bahu) dan Murjah-
musik yang mengiringi selama ritual berlangsung, diantara alat musik tersebut
yang tergolong kedalam Gendang Lima Sendalanen. Busana yang digunakan oleh
Guru Sibaso berupa kain sarung, kebaya,jubah merah, kain putih yang diikatkan di
baju sehari-hari, tudung dari kain putih, dan sukut laki-laki menggunakan celana
bahan hitam, baju sehari-hari, kain sarung yang diletakkan di bahu, serta kain putih
Properti berupa bakul, amak mentar (tikar pandan putih), pedang, kampil
(wadah yang terbuat dari anyaman daun pandan tempat sirih), bunga rudang
mayang (pucuk pohon pinang), kain putih, Lengkaten (tempat peletakan sesajen),
Mangkok putih berisi Air Lau panguras, kemenyan, beras pengiag-ngiangi berisi
daun sirih, pinang, gula merah, telur ayam, sejumlah uang, serta beras, dan dalam
pelaksanaan ritual ini terdapat bebrerapa sesajen seperti tiga jenis ayam sangkep
mentar, ayam sangkep megersing dan ayam sangkep merah, buah-buahan, bulung
simalem-malem, cimpa matah, cimpa unung-unung, cimpa tuang dan cimpa buka
Istilah ritual Muncang sudah semestinya tidak asing bagi masarakat Karo.
sampai saat ini masih banyak generasi muda khususnya masyarakat Karo yang tidak
mengetahui apa itu ritual muncang dan bentuk penyajian tari di dalam ritual
tersebut. Hal ini dipengaruhi akibat minimnya data tertulis terkait bentuk penyajian
Setiap hal pasti memiliki maksud dan fungsi, seperti hal nya tarian yang
terdapat pada ritual muncang. Namun tak banyak yang mengetahui fungsi tarian
uraikan diatas.
Muncang ini menjadi topik penelitian, dengan judul “Bentuk Penyajian dan Fungsi
B. Identifikasi Masalah
serta cakupan masalah yang dibahas tidak terlalu luas. Dengan demikian,
berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka masalah dalam penelitian
1. Masih banyak generasi muda di desa Mbaruai dan masyarakat Karo lainnya
3. Belum adanya tulisan ilmiah terkait dengan bentuk penyajian tarian dalam ritual
4. Belum terdapat data tertulis mengenai fungsi tari dalam ritual muncang di Desa
C. Pembatasan Masalah
1. Belum adanya tulisan ilmiah terkait dengan bentuk penyajian tarian dalam ritual
2. Belum terdapat data tertulis mengenai fungsi tari dalam ritual muncang di Desa
D. Rumusan Masalah
2. Apa fungsi tari dalam ritual muncang di Desa Mbaruai Kec. Sibiru-biru Kab.
Deli Serdang
E. Tujuan Penelitian
Serdang.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan apa saja fungsi tari dalam ritual
F. Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian dikatakan berhasil jika hasil dari penelitian tersebut memiliki
dampak dan juga manfaat bagi banyak orang. Maka yang diharapkan dalam
peneltian ini adalah bermanfaat bagi orang banyak yaitu sebagai berikut :
10
a) Manfaat Teoritis:
bahan referensi bagi mahasiswa yang membutuhkan informasi yang relevan terkait
b) Manfaat Praktis:
Bagi penulis
lapangan
Bagi Masyarakat
penelitian ini.
Deli Serdang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
budaya tersebut ada karena diciptakan oleh nenek moyangnya dahulu, jadi apapun
pustaka. Kajian pustaka berupa teori-teori dan pengertian mengenai topic penelitian
suatu penelitian.
yang terkait dengan variabel yang terdapat dalam judul penelitiaan atau yang
dan bebeberapa deskripsi dari hasil studi pustaka yang berkaitan dengan pokok
permasalahan yang akan diteliti dan menjadi acuan yang diharapkan akan
mendukung logika pemikiran penulis dan mendukung fakta yang ada, sehingga
penelitian ini dapat menghasilkan suatu kesimpulan berdasarkan tujuan yang telah
ditetapkan.
kuta (roh-roh nenek moyang penjaga kampung) melalui mediator seorang Guru
Sibaso untuk menolak bala dan mengusir roh-roh jahat yang dianggap mengganggu
kampung tersebut. Selain itu juga disampaikan bahwa “Muncang adalah upacara
11
12
2023 muncang merupakan upacara sakral untuk menghormati roh-roh leluhur dan
melalui perantara Guru Sibaso yang dilaksanakan oleh keturunan pendiri kampung
2. Teori Ritual
Menurut Hadi dalam Dewi Salindri dan Sri Ana (2022 : 2) Ritual merupakan
kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus yang menimbulkan rasa
hormat yang luhur, dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Hal ini
menjalankan aktifitas ritual religi sebagai cara berkomunikasi dengan kekuatan gaib
Demikian juga dengan ritual muncang. Dari keempat aspek diatas terkandung
dalam ritual muncang. Seperti adanya tempat upacara dilakukan di jambur dan
mabar, waktu pelaksanaannya pada saat-saat tertentu seperti gagal panen, kematian
secara mendadak, kemarau panjang, dan lain-lain. Untuk benda-benda atau alat-alat
upacara berupa sesajen dan beberapa alat perlengkapan. Untuk orang-orang yang
terlibat ialah Guru Sibaso, sukut, kalimbubu, anak beru, pemusik dan masyarakat
yang meramaikan.
3. Teori Tari
Di bawah ini ada beberapa tokoh yang mendalami tari menyatakan sebagai
“tari adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun
selaras dengan irama musik, serta mempunyai maksud tertentu”. Dalam buku yang
sama terdapat juga pendapat Corrie Hartong dari Belanda bahwa “tari adalah
gerak-gerak yang diberi bentuk dan ritmis dari tubuh dalam ruang”. Tari diartikan
sebagai cakupan kegiatan fisik dan sudah jelas substansi baku tari adalah gerak
tubuh manusia yang disusun dengan maksud-maksud tertentu. Maksud dan tujuan
Bagi masyarakat Karo tari dikenal dengan sebutan landek, sebagai mana dalam
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa tari merupakan kegiatan yang selalu
ada dalam aktivitas masyarakat Karo, aktivitas dalam hal ini bisa berupa acara
14
dan sebagainya. Seperti yang ada pada upacara ritual muncang yaitu terdapat di
gerak yang tertata baik, rapi dan indah dilengkapi dengan unsur rupa serta unsur
pendukung yang meliputi iringan (musik), tema, tata busana (kostum), tata rias, tata
tempat, (panggung), tata lampu dan tata suara”. Menurut Hermin (1989: 9)
menyatakan bahwa “penyajian tari didukung dari beberapa unsur, yaitu gerak tari
karena hakikat tari adalah gerak, pola lantai (garis diatas lantai yang dibentuk dan
dilalui oleh penari), irigan tari (musik yang menghidupkan suasana tari), tata rias
dan busana (meliputi riasan wajah dan busana yang membantu menunjang karakter
dari tari), properti (seluruh peralatan yang digunakan dalam penyajian tari) dan
tempat pementasan
yaitu: Gerakan, Musik pengiring, tata rias, tata busana, pola lantai, tempat
bekerja sama untuk menciptakan sebuah tarian yang utuh dan bermakna.
sebelumnya memiliki unsur dari yang disebutkan di atas. Guna mengupas bentuk
penyajian tari dalam ritual muncang, di sini penulis menggunakan teori Hermin
15
yang terdiri dari gerak, musik pengiring, tata rias dan busana, pola lantai, properti
ritual muncang. Gerakan yang dilakukan oleh Guru Sibaso (dukun) dan Simantek
Kuta (keturunan pendiri kampung) terjadi secara spontan karena adanya energi
titik trance nya bertujuan untuk menghadirkan roh roh nenek moyang di tengah-
tengah kegiatan ritual, yang dipercaya dapat menyembuh kan dari penyakit,
menolak bala, dan mengusir roh-roh jahat yang dianggap mengganggu desa. Musik
pengiring adalah unsur yang tidak bisa dipisahkan dengan ritual tersebut, karena
jika tidak ada musik yang mengarahkan pada titik ketidak sadaran, maka kehadiran
roh untuk merasuki juga akan terasa payah. Kehadiran tari-tarian dalam ritual ini
juga akan semakin terlihat jelas ketika tubuh para ketururna pendiri kampung telah
dirasuki roh-roh nenek moyang, dan mereka percaya syarat agar ritual ini berjalan
dengan lancar sesuai dengan yang mereka harapkan harus diiringi dengan musik.
Adapun penggunaan alat musik dalam ritual ini adalah gendang lima
sedalanen yaitu seperangkat alat musik Karo yang terdiri dari; Sarune, Gendang
Singanaki, Gendang Singindungi, Gung dan Penganak. Untuk rias dan busana
pemakaian kebaya, Abit (Kain sarung), jubah berwarna merah dan kain putih yang
dililit dipinggang dan kepala untuk Guru Sibaso, kemudian para sukut
biasa, celana bahan hitam, serta kain putih. Selain itu terdapat property pendukung
ritual muncang seperti amak mentar (tikar pandan), kain putih, pucuk pinang
Teori fungsi tari mengacu pada pemahaman tentang tujuan dan peran tari
dalam budaya dan masyarakat. Tari bisa memiliki fungsi ritual, hiburan,
pendidikan, politik dan protes, estetika atau ekspresi pribadi, hingga komunikasi
budaya, tergantung pada konteks budaya dan masyarakat di mana tari tersebut
Skripsi. UNNES “Fungsi tari dalam kehidupan manusia dibagi menjadi empat,
diantaranya fungsi tari sebagai sarana upacara, fungsi tari sebagai sarana hiburan,
fungsi tari sebagai seni pertunjukan, dan fungsi tari sebagai sarana media
pendidkan”. Tarian yang terdapat di dalam ritual muncang ini merupakan tarian
yang berfungsi sebagai sarana upacara. Untuk melihat fungsi selain dia sebagai
sarana upacara di sini penulis menggunakan teori Edy Sedyawati (1981:53) fungsi
muncang sebagai sarana untuk upacara seperti yang disampaikan oleh Jazuli, dan
lebih dalam membahas tentang fungsi tari dari teori Edy Sedyawati.
17
B. Penelitian Relevan
berhubungan dengan suatu penelitian yang kita angkat seperti untuk mencari
Skripsi ini mengkaji tentang Tari Sanghyang Kungkang di Desa Adat Pekraman
bentuk dan fungsi tari Sanghyang Kungkang ini bagi kehidupan masyarakat di
mengkaji bentuk dan fungsi sama dengan penulis, namun penulis mengkaji
bentuk dan fungsi tari pada ritual muncangi sedangkan penelitian ini ialah pada
tari Sanghyang Kungkang. Oleh karena itu skripsi ini dapat menambah referensi
terkait dengan bentuk dan fungsi tari dalam suatu upacara ritual.
2. Ramlah Gustini Harahap, 2013. “Landek dalam Upacara Perumah Begu pada
Negeri Medan.
Penelitian Ini merupakan kajian mengenai bentuk penyajian landek pada upacara
Begu, merupakan bentuk kebudayaan yang hingga saat ini menjadi tradisi yang
penyajian, dan pengertian fungsi. Skripsi ini mengkaji tentang landek dalam
upacara perumah begu dimana landek dalam bahasa Indonesia dapat diartikan
sebagai tari sedangkan penulis mengkaji tentang tari yang terdapat pada ritual
mengkaji bentuk penyajian dan fungsi tari yang bersifat ritual pada masyarakat
Karo.
3. Elieser Barus. 2013. “Fungsi dan Penggunaan Gendang Lima Sedalanen Pada
Upacara Muncang di Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-
Muncang adalah upacara penghormatan dan pemujaan roh roh leluhur penjaga
Muncang musik sangat berperan penting, karena tanpa iringan musik Gendang
19
pemahaman penulis serta memperoleh data yang telah akurat mengenai ritual
muncang.
4. Much. Alief Syahid Saputr. 2017. Perubahan Bentuk Dan Fungsi Tari Lembu
Boyolali. Skripsi S1 Prodi Pendidikan Seni Tari Jurusan Seni Drama, Tari, Dan
Tari Lembu Sena merupakan tari yang bersifat imitatif, dimana gerak dalam
tarian ini menirukan gerak hewan (sapi) tumbuh dan berkembang dikalangan
Boyolali. Pada tahun 2011 pertunjukan Tari Lembu Sena memiliki fungsi
sebagai sarana upacara. Tahun 2017 pertunjukan Tari Lembu Sena mengalami
perubahan bentuk dan fungsi dari pertunjuakn Tari Lembu Sena yang digunakan
penyajian dan fungsi tari oleh karena penelitiannya mengkaji perubahan bentuk
dan fungsi tari lembu sena di dusun ngagrong, namun penulis mengkaji
5. Risda Oktavia Barus. 2015. Landek Dalam Upacara Erdemu Bayu Kajian
Mahasiswa S1 Prodi Seni Tari. Jurusan Sendratasik. Fakultas Bahasa dan Seni
upacara Erdemu bayu pada masyarakat Karo, struktur upacara Erdemu bayu
pada masyarakat Karo, serta bentuk penyajian landek sesuai sistem kekerabatan
pada upacara Erdemu Bayu pada masyarakat Karo. Untuk menjawab tujuan
teori bentuk penyajian, teori sistem, teori struktur. Metode dalam penelitian ini
kekerabaran pada upacara erdemu bayu pada masyarakat Karo dikenal sebagai
sangkep geluh yang didalamnya terdapat rakut sitelu, tutur siwaluh, dan perkade-
kaden 11+1. Struktur upacara erdemu bayu pada masyarakat Karo dimulai
dengan Sebelum upacara, saat upacara dan setelah upacara. Landek dalam
upacara erdemu bayu terdapat pada saat upacar erdemu bayu. Bentuk penyajian
landek sesuai sistem kekerabatan pada masyarakat Karo yang dimulai dengan
Karena skripsi ini mengkaji tentang landek dalam upacara erdemu bayu kajian
terhadap bentuk dalam sistem sosial pada masyarakat karo, sama dengan penulis
mengkaji tentang bentuk namun pada ritual muncang, sehingga skripsi ini
21
pada masyarakat Karo dan penyajian tari dalam suatu acara masyarakat Karo.
Dari berbagai penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas, jelas belum
adanya yang mengkaji Bentuk Penyajian dan Fungsi Tarian Dalam Ritual Muncang
Serdang.
C. Kerangka Konseptual
hubungan antara variabel yang ditata dari berbagai teori yang telah dideskripsikan”.
Maka dari itu kerangka konseptual merupakan sebuah alur pemikiran terhadap
suatu hubugan antar konsep satu dengan kosep yang lainnya supaya dapat
diteliti.
Sesuai dengan landasan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini
Sibiru-biru Kabupaten Deli serdang, kemudian mencari tahu apa yang dimaksud
dengan ritual muncang, memahami apa yang dimaksud dengan tari dan disesuaikan
dengan istilah tari dalam suku Karo yaitu landek, kemudiakn menjabarkan bentuk
penyajian tari yang terdapat dalam ritual tersebut berdasarkan teori Hermin
(1990:9) dimana terdapat unsur pembentuk sebuah tarian diantaranya gerak, musik
pengiring, tata rias dan busana, pola lantai, properti pendukung serta tempat
pertunjukan. Setelah mengetahui bentuk penyajian tari makan dirumuskan apa saja
22
fungsi tari yang terdapat dalam ritual muncang berdasarkan teori Jazuli yaitu fungsi
tari sebagai sarana upacara dan teori Sedyawati yaitu penjemputan roh-roh
pelindung untuk hadir di tempat pemujaan, memanggil roh-roh baik untuk mengusir
Sehingga penulis dapat mengetahui “Bentuk Penyajian dan Fungsi Tarian Dalam
PETA KONSEP
Ritual Muncang
Efendi Ginting (Narasumber) “upacara sakral untuk menghormati roh-
roh leluhur dan meminta keselamatan serta perlindungan masyarakat
desa kepada roh leluhur melalui perantara Guru Sibaso yang
dilaksanakan oleh keturunan pendiri kampung sesuai dengan peradaban
tradisi kampung itu, dengan menghadirkan ssesajen sebagai syarat
upacara.
Tari
Suryadiningrat dalam Nurwani (2017: 24)
mengemukakan “tari adalah gerakan-gerakan dari
seluruhbagian tubuh manusia yang disusun selaras
dengan irama musik, serta mempunyai maksud
tertentu.
BAB III
METODE PENELITIAN
untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
menarasikan bentuk dan karakter pada objek serta kelompok atau fenomena yang
ada pada masyarakat tersebut. Metode deskriptif kualitatif ini penulis gunakan
untuk mengkaji dan menarasikan tentang bentuk penyajian dan fungsi tarian dalam
1. Lokasi Penelitian
karena ritual ini sudah jarang ditemukan pada masyarakat Karo, sejauh ini hanya
lokasi penelitian yang dipilih lah yang masih bisa dijumpai beberapa narasumber
terkait ritual muncang tersebut. Selain itu juga, pada saat melakukan observasi dan
mengatakan bahwa kurangnya perhatian baik dari dalam maupun dari luar daerah
27
terkait kesenian yang ada di desa mereka, masyarakat juga kurang mengekspos
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan dimulai pada bulan
Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang yang terlibat dalam ritual muncang dan yang
Deli Serdang berjumlah 15 orang yang merupakan tokoh adat, pemusik, Guru
Sibaso, penari dan orang-orang yang terlibat dalam ritual muncang tersebut.
Menurut Kriyantono (2009:163) yang menjadi sampel pada penelitian ini ialah
informan atau subjek riset, yaitu orang-orang yang diminta atau ditunjuk untuk
menjadi narasumber pada saat observasi untuk mencari segala informasi sesuai
telah ditentukan Ada beberapa metode pengumpulan data yang biasanya dilakukan
oleh peneliti. Penulis dapat menggunakan beberapa langkah atau teknik yang
1. Studi pustaka
Beberapa sumber terkait informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh dari buku-
buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, internet, ensiklopedia dan lain sebagainya.
2. Studi lapangan
a. Observasi
dan tidak langsung merupakan suatu metode atau langkah yang disebut sebagai
didokumentasikan dalam bentuk catatan, foto dan video yang dapat menunjang
hasil data yang akurat mengenai ritual muncang yang ada di Desa Mbaruai
b. Wawancara
pewawancara mengikuti alur pembicaraan tetapi tetap menjaga topik yang sesuai
cara menulis, merekam suara ataupun berupa video dengan menggunakan alat
berupa handphone.
c. Dokumentasi
atau peristiwa pada kegiatan yang sedang berlangsung berupa foto, video serta
29
Data merupakan bahan penting yang digunakan oleh peneliti untuk menjawab
pertanyaan atau menguji hipotesis dan mencapai tujuan penelitian. Menruut Miles
“aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh”. Penelitian ini
dengan target dan tujuan penelitian, kemudian data data tersebut dideskripsikan
1. Letak Geografis
Suku Karo pada umumya terdapat di daerah dataran tinggi salah satu
kabupaten yang ada di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Karo dan sering disebut
Karo Gunung, selain itu suku Karo juga dapat ditemui di daerah dataran rendah
sering disebut Karo Jahe, diantaranya Langkat, Binjai dan Kabupaten Deli
Unimed Press). Kabupaten Deli Serdang terdiri dari 22 Kecamatan, salah satunya
Kecamatan Sibiru-biru yang terdiri dari 17 Desa yaitu: Aji Baho, Biru-biru, Candi
Rejo, Kuala Dekah, Kutomulyo, Mardinding Julu, Mbaruai, Namo Suro Baru,
Namo Tualang, Panen, Peria-Ria, Rumah Great, Sarilaba Jahe, Selamat, Sidodadi,
berbatasan dengan Namo Tualang dan Namo Suro Baru, sebelah Selatan berbatasan
dengan Kuto Mulyo dan Tanjung Sena, sebelah Timur berbatasan dengan Namo
Suro Baru dan Kec. Sinembah Tanjung Muda Hilir dan sebelah Barat berbatasan
dengan Namo Tualang dan Kutomulyo, dengan luas wilayah 435 Ha. Desa Mbaruai
sendiri terdiri atas empat dusun yaitu dusun I Kepala Gajah, dusun II Mbaruai,
dusun III Namorindang dan dusun IV Suka Rakyat. (Sumber: Data Kependudukan
30
31
Gambar 4.1
Peta Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru KabupatenDeli Serdang.
(Sumber: Data Kependudukan Desa Mbaruai)
Deli Serdang
yang ada di desa Mbaruai ini cukup padat. Hal ini dapat dilihat dari data
mencakup 1707 jiwa per thn 2023, dengan jumlah laki-laki berkisar 848 jiwa dan
perempuan sebanyak 859 jiwa. Dimana luas wilayah desa Mbaruai seluas 435 Ha,
perkantoran.
a) Mata Pencaharian
dan buruh tani. Artinya petani adalah telah memiliki lahan sendiri untuk diolah dan
memperoleh hasil sendiri, sedangkan buruh tani bekerja di lahan orang lain dan
menerima upah atas pekerjaannya itu. Hasil pertanian masyarakatnya antara lain;
32
padi, coklat, sawit, karet, jagung, ubi kayu, kelapa, dan lain sebagainya. Jenis
tanaman yang banyak di tanam di Desa Mbarua adalah padi dan coklat. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya lahan pertanian masyarakat yang ditanamai dengan
tanaman padi dan coklat kemudian di jual ke luar daerah desa Mbaruai
Selain dari pertanian masyarakat Desa Mbaruai ada juga yang bekerja sebagi
Pegawai Negeri Sipil yang terdiri dari guru, TNI/POLRI, dan pegawai swasta yang
bekerja di kantor. Serta ada juga masyarakat yang bekerja sebagai wiraswasta yang
b) Sistem Kekerabatan
keluarga sangat dihormati dan dijaga dengan baik, karena memiliki peran penting
dalam struktur sosial dan kehidupan masyarakat mereka. Suku Karo menggunakan
sistem patrilineal yang artinya menarik garis keturunan dari pihak ayah. Terdapat
sistem kekerabatan pada masyarakat Karo yang disebut dengan Merga Silima,
Rakut Si Telu, Tutur Si Waluh, dan Perkade-kaden sepuluh sada tambah sada.
Merga Silima, yang artinya terdapat lima kelompok merga (marga) pada
masyarakat Karo, hal ini juga biasa disebut dengan Klan (nama keluarga). Marga
atau dalam bahasa Karo disebut Merga ditujukan untuk laki—laki sedangkan Beru
ditujukan untuk perempuan. Merga dan Beru ini disandang dibelakang nama
Karo. Dimana Tutur artinya kedudukan dalam adat, dan Siwaluh yaitu kedelapan.
Dalam hal ini dapat disimpulkan Tutur Siwaluh merupakan delapan kedudukan
dalam adat bagi masyarakat suku Karo. Delapan kedudukan tersebut adalah:
yang disebut Rakut Sitelu, yaitu Sukut, Anak Beru dan Kalimbubu. Sukut bagi
masyarakat Karo adalah sebutan bagi orang yang punya hajatan atau yang sedang
mengadakan pesta yang terdiri dari senina dan dan sembuyak (orang yang memiliki
merga dan sub merga yang sama). Anak beru adalah pihak yang mengambil
34
perempuan dari keluarga tertentu untuk dijadikan istri dan kalimbubu adalah pihak
pemberi istri, seperti mama (paman) dan saudara laki-laki dari pihak istri.
Dari Merga silima, tutur siwaluh dan rakut sitelu kemudian terbentuk
Anak Beru, Anak Beru Minteri, Anak Beru Singukuri, dan Teman Meriah (kenalan
keluarga menjadi masukan yang harus dihormati. Posisi anak beru memiliki tugas
yang paling berat dalam setiap kegiatan, anak beru menjadi orang-orang yang akan
mengurusi semua keperluan dalam setiap kegiatan. Sedangkan Sukut sebagai orang
yang memiliki hajatan dan harus menghormati Kalimbubu nya dalam kegiatan yang
diadakan, serta harus berkomunikasi dengan pihak anak beru, karena anak beru lah
yang akan mengurusi hajatan yang mereka laksanakan. Inilah yang disebut dengan
Rakut Si Telu yang sangat berperan penting dalam upacara adat bagi masyarakat
Karo, jika dalam sebuah upacara adat salah satu dari Rakut Sitelu belum hadir maka
c) Sistem Religi
meyembah roh-roh orang yang telah mati. Mereka meyakini ada roh/penghuni pada
35
beberapa tempat yang mereka anggap keramat seperti gunung, danau, sungai,
keramat/ suci. Dalam kepercayaan ini banyak melibatkan seorang dukun (Guru
Sibaso) seperti hal yang menyangkut dengan ritual. Guru Sibaso menjadi perantara
terjadinya komunikasi antara orang yang masih hidup dengan roh orang yang telah
mati. Terdapat beberapa upacara ritual yang dilaksanakan masyarakat Karo secara
umum dan bersifat mistis (gaib) sesuai dengan kepercayaan jaman dahulu,
diantaranya:
meninggal melalui Guru Sibaso (dukun) dengan tujuan menghormati roh, upaya
perselisihan, dan mengetahui apa yang diharapkan orang yang telah meninggal
2) Releng Tendi adalah ritual untuk memanggil kembali roh (tendi) orang yang
masih hidup. Roh nya keluar dari tubuhnya karena peristiwa tertentu yang
3) Erpangir Ku Lau adalah upacara yang dilakukan dengan cara mandi untuk
4) Muncang adalah upacara ritual untuk penghormatan kepada roh leluhur dengan
menolak bala dan mengusir segala pengganggu dari roh jahat agar terhindar dari
mara bahaya.
36
5) Njujungi Beras Piher adalah suatu upacara selamatan dan doa agar orang
(Sumber:https://www.academia.edu/33738566/Kepercayaan-
_Masyarakat_Karo)
ditinggalkan secara perlahan-lahan, hal ini dilihat dari banyaknya bangunan gereja
dan mesjid di daerah Karo tempat ibadah bagi pemeluk agama Islam dan Kristen
Serdang ada tiga agama yang berkembang di Desa Mbaruai, yaitu: Kristen
a. Tahap Persiapan
beliau salah satu orang yang mengusulkan ritual ini dilaksanakan dengan
hingga saat ini meskipun pemeluk agama pemena hampir tidak ditemukan di desa
tersebut, dan berharap dengan diadakannya ritual muncang ini juga dapat
Simenteki Kuta (para keturunan pendiri kampung) dalam hal ini menjadi sukut
(pihak pelaksana pesta) dengan kalimbubu, anak beru serta beberapa masyarakat
berkisar dua hari satu malam dimulai pagi sampai dengan sore hari keesokan
harinya. Untuk tempat pelaksanannya di Balai desa Mbaruai Kecamatan Sibiru biru
Kabupaten Deli Serdang. Selain itu juga membahas mengenai dana, pemusik
harus dipersiapkan untuk roh leluhur. Pada saat ritual berlangsung roh leluhur yang
Gambar 4.11Mumbang
(Dok: Arnita:2023)
Alat-alat Perlengkapan
Guru sibaso
Salah satu unsur dalam ritual muncang adalah menggunakan roh-roh yang
tidak dapat dilihat oleh orang awam sehingga diperlukan adanya Guru Sibaso
sebagai mediator yang dapat memediasi antara roh leluhur dengan masyarakat.
Adapun yang bertugas mencari guru sibaso/ dukun adalah pihak anak beru.
pelindung dan memiliki kemampuan berbicara dengan roh halus. Guru Sibaso
menjadi tujuan, karena dia dapat berkomunikasi dengan roh. Pada dasarnya terdapat
tiga orang yang bertugas sebgai mediator, agar tidak adanya rekayasa di dalamnya
gangguan atau serangan dari luar, satu guru yang berfungsi ke dalam, artinya dia
yang berkomunikasi dengan roh-roh leluhur agar roh tersebut dapat memasuki
keluarga pendiri kampung (Simenteki Kuta) dan menanyakan mengapa dia tidak
mau masuk? adakah hal yang kurang atau sebagainya? dan satu guru pendamping
yang melihat apakah roh yang masuk benar atau tidak dari roh para pendiri
kampung tersebut.
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam upacara ritual
Muncang peran Guru Sibaso sangatlah penting karena berfungsi sebagai mediator
sebab kemampuannya untuk mengetahui roh-roh yang akan dimediasi, Guru Sibaso
juga berfungsi untuk menghalau apabila ada roh-roh jahat yang mengganggu saat
upacara berlangsung.
b. Tahap Pelaksanaan
Tahap Awal
Tahap awal pelaksanaan ritual muncang yang terdapat di desa Mbaruai dusun
lokasi-lokasi yang akan digunakan dalam upacara yaitu makan Debata Porling
Belanda) dan Mabar yaitu sebuah pohon besar yang dipercayai sebagai tempat
pada roh-roh leluhur, seperti sebuah truktur dalam kerajaan terdapat pemimpin,
menyucikan tubuh dan mengharap agar upacara ritual dapat berjalan dengan lancar.
Setelah tiba di mabar dan makan debata porling, sukut melakukan pembersihan
lokasi dan diikuti para masyarakat. Kemudian lokasi tersebut dibuatkan sebuah
tempat untuk meletakkan sesajen yang disebut langkaten, tidak lupa dihias dengan
daun janur kuning. Jika sudah, maka proses pembersihan lokasi upacara ritual
selesai.
cimpa, orang-orang yang membuat cimpa adalah gadis-gadis desa yang belum
menikah, masih suci bahkan tidak diizinkan apabila dia sedang dalam keadaan haid,
memiliki orang tua yang lengkap (tidak yatim piatu), dan harus membersihkan diri
Gambar 4.22
Anak-anak gadis yang sedang menumbuk Cimpa
(Sumber Yutube: Culture Of Karo)
44
Tahap Inti
Keesokan harinya acara dilanjut lagi dimana sukut dan guru sibaso terlebih
dahulu membersihkan diri dengan air panguras. Kemudian guru sibaso, sukut,
kalimbubu, anak beru, pemusik dan warga yang sudah berkumpul di jambur
orang yang terlibat menuju mabar. Orang-orang yang diarak berjalan sembari
dasar Karo yang terus menerus diulang meskipun telah sampai di mabar. Kegiatan
Gambar 4.24
Proses rombongan dari Jambur menuju Mabar sambil membawa
sirih untuk persembahan.
(Sumber Yutube: Culture Of Karo)
Gambar 4.25
Pemusik menuju mabar sambil memainkan alat musik.
(Sumber Yutube: Culture Of Karo)
Sesampainya di mabar gendang berubah menjadi gendang singindungi,
musik, tidak lupa pembakaran kemenyan untuk menambah aura mistis di dalamnya
dan mempermudah roh masuk ke tubuh Guru Sibaso dan sukut. Disini juga para
berlanjut dan semakin lama tempo musik semakin meningkat yang membuat guru
Gambar 4.26
Guru Sibaso dan Sukut mengeliligi mabar sambilmemercikkan lau
panguras, beras dan mengasapi dengan asap kemenyan.
(Sumber Yutube: Culture Of Karo)
Acara terus berlanjut mengelilingi mabar sambil melakukan gerakan tari-
tarian khas Karo baik laki-laki maupun perempuan. Masyarakat meyakini dengan
Gambar 4.27
Para Sukut dan seluruh yang terlibat dalam ritualmenari mengelilingi
Mabar.
(Sumber Yutube: Lesna Kembaren)
Karena telah ada yang kerasukan selanjutnya rombongan kembali ke jambur
dalam keadaan tetap menari nari yang mengikuti ketukan musik untuk melakukan
perumah begu yaitu melakukan komunikasi antara roh yang dipanggil dengan
keluarga yang ditinggalkan melalui perantara guru sibaso. Roh-roh leluhur ini
47
dipanggil untuk dapat membantu dan memberi solusi kepada masyarakat mengenai
Perumah begu dimulai oleh guru sibaso yang melakukan komunikasi dengan
roh supaya berkenan masuk ke tubuh guru sibaso atau sukut. Berdasarkan
keterangan bapak Efendi Ginting selaku pemangku adat di desa Mbaruai, ada
bebrapa roh yang berpengaruh terhadap masyarakat suku Karo dan hadir sesuai
Nini petir yang ditandai dengan sesajen yang diminta berupa buah-buahan, Nini
hidupnya, dari roh ini masyarakat meminta nasehat dan petunjuk dalam menjani
Debata Porling merupakan roh yang semasa hidupnya adalah seorang panglima
yang sakti dan berjuang untuk desa melawan penjajah Belanda. Kehadirannya
ditandai dengan roh yang masuk meminta pedang dan ikat kepala berwarna
dengan menggunakan pedang yang menjadi ciri khas nya bahwa dahulu dia
merupakan panglima yang sakti. Jenis sesajen yang ia minta adalah sangkep
pasu (memberkati) balita yang dibawa orang tuanya kepada Dibata Porling.
48
Setelah tidak ada lagi masyarakat yang meminta, ia dan para prajuritnya pun
keluar dari tubuh mediator. Setelah rangkaian selesai dan roh debata porling
ditandai dengan meminta pakaian kebesarannya juga yaitu jubah dan sorban
membaca permasalahan apa saja yang ada di desa tersebut, bunga dibawa
Gambar 4.29
Guru Sibaso menyampaikan kepada masyarakat hal-hal yangterjadi
di desa tersebut dan memberikan solusi atas permasalahan-
permasalahan yang ada.
(Sumber Youtube: Cultur Of Karo)
Selanjutnya Si Jogal meminta pedang, lalu menari dengan gerakan silat
secara terus menerus hingga keluar dari balai desa dan mulai mengelilingi dan
Gambar 4.30
Guru Sibaso yang dimasuki roh Si Jogal mengelilingi dan memagari
kampung untuk mengusir roh jahat.
(Sumber Youtube: Cultur Of Karo)
Tahap Akhir
desa) dengan melemparkan telor ke tanah tanda bahwa guru sibaso sudah
Terakhir Guru Sibaso membuka jubah kebesaran Si Jogal sambil menari- nari dan
Gambar 4.31
Guru Sibaso melemparkan telor ayam ke tahan tanda Guru sibaso
telah memagari kampung.
(Sumber Youtube: Cultur Of Karo)
50
Gambar 4.32
Guru Sibaso membuka jubah kebesaran Sijogal tandaupacara telah
selesai dilaksanakan musik pun berhenti.
(Sumber Youtube : Culture Of Karo)
Setelah upacara ritual muncang selesai dilaksanakan maka selanjunya adalah
pemberian pukulen (upah). Pukulen diberikan kepada guru sibaso (mediator) dan
panggual (tim pemusik). Pukulen berupa sumpit putih yang berisi beras, sirih
beserta pelengkapnya, telur ayam kampung, sejumlah uang perjanjian, dan kain
putih. Makna dari pemberian pukulen bermaksud untuk mendoakan supaya sehat-
sehat dan sebagai simbol rasa keikhlasan karena telah bersedia memberikan waktu
B. Pembahasan
sebagaimana dijelaskan unsur penyajian tari ialah seperti gerak, irigan tari, pola
lantai, tata rias dan busana, properti dan tempat pementasan. Berikut penulis akan
a) Gerak
Gerak tari dalam ritual muncang ini sangat sederhana yang tidak terpola dan
tidak begitu banyak mengandung arti. Karena tari ini hanya tarian upacara yang
bersifat pemujaan terhadap roh-roh gaib. Ada tiga hal yang umum terjadi pada tari
Karo yaitu endek (gerakan kaki naik turun), jole/jemole (gerak ayunan badan), tan
lempir (gerak tangan ditekuk di depan dada kedua telapak tangan menghadap ke
depan).
Dasar-dasar ragam gerak tersebut selalu hadir dalam ritual muncang karena
telah menjadi suatu kebiasaan bagi masyarakat Karo dan sudah umum dalam setiap
kegiatan acara, baik acara kelahiran, pernikahan hingga kematian yang melibatkan
dan tidak beraturan mengikuti ketukan musik yang berulang-ulang juga sehingga
sesuai kehendak jiwa Guru Sibaso dan para sukut untuk mencapai titik trance (di
b) Musik
Musik adalah salah satu unsur pokok yang tidak bisa dipisahkan dalam setiap
acara bagi masyarakat Karo, baik saat acara penikahan, acara kematian, acara adat
untuk anak-anak, remaja dan dewasa, hingga acara ritual keagaman. Seperti pada
ritual Muncang, musik merupakan salah satu unsur pokok karena keberadaan
Musik karo yang digunakan dalam ritual muncang adalah Gendang Lima
Sedalanen yang artinya lima buah instrumen musik Karo yang dimainka secara
bersama sama. Seperangkat alat musik tersebut terdiri dari; Sarune, Gendang
mereka yang memainkan alat musik tersebut juga berbeda-beda, seperti Penarune
untuk orang yang memainkan alat musik Sarune, Penggual Singindungi untuk yang
adalah sebuah kesatuan dari beberapa komposisi gendang yaitu Gendang Siarak-
cepat. Berikut ini adalah lampiran transkripsi bentuk dasar dari reportoar Gendang
Guru.
57
rangkaian ini terdapat tarian berupa gerak-gerak erdalan ersikap landek dan
persentabian.
MM:
persembahan kepada roh leluhur dengan harapan acara dapat berjalan dengan
58
59
MM: 85
masyarakat. Perpindahan komposisi ini diikuti oleh Guru Sibaso yang menari-
MM: 114
erseluk
60
hingga erseluk yang semakin lama semakin cepat hingga roh masuk ke tubuh
mediator.
MM: 140
gendang Pselukken dapat dilihat dari perubahan tempo yang semakin cepat.
Pada komposisi ini, Guru Sibaso telah mengalami trance (keadaan diluar
kesadaran dirinya). Hal itu dapat dilihat dari gerakan-gerakan tubuh dan
berbicara yang tidak lazim dilakukan oleh orang dalam keadaan kesadaran
MM:
sebagainya.
Pada Gendang Pselukken dimana Guru sibaso dan sukut telah kesurupan sehingga
musik sebagai pengiring yaitu gendang lima sedalanen. Masyarakat Karo percaya
mengosongkan fikirannya sehingga mudah tersugesti. Maka dari itu dapat diperoleh
kesakralan dalam ritual tersebut. Dalam setiap komposisi gendang yang telah
dijebarkan sebelumnya selalu disertai dengan tarian yang mengikuti jenis iramanya.
Bagi masyarakat Karo hal ini biasa disebut dengan uga gendangna bage endekna
c) Pola lantai
Dilihat dari pola lantai tari pada ritual Muncang ini tergolong sederhana,
dikarenakan ritual ini bersifat sakral. Pola lantai yang ada pada ritual ini adalah
lingkaran, membentuk garis lurus, dan pola bebas akibat alunan musik yang terus
mengalir dan semakin lama semakin cepat membuat keadaan si baso dan sukut
dalam keadaan tidak sadarkan diri dan dikendalikan oleh roh yang masuk.
Gambar 4.35
Gambar 4.36
Pola Melingkar Warga Warga
Anak Guru
Beru Sibaso
Kalimbubu Sukut
ketulusan sembah kepada roh-roh yang dituju. Disamping itu busana yang dipakai
oleh penari bertujuan untuk mendukung dan membantu si penari mendekatkan diri
dengan peran yang diinginkan, juga untuk meningkatkan keserasian dan memberi
Guru Sibaso dapat dilihat pada gambar bagian (a) yaitu abit (kain sarung), baju
kebaya, kain putih diikat di pinggang dan kepala. Namun ketika hendak memagari
kampung Guru Sibaso memakai jubah berwarna merah dan kain berwarna merah
yang diikat dikepala. Tidak jauh berbeda guru sibaso, para simentek kuta memakai
baju kaos sehari-hari, abit (kain sarung) dan tudung dari kain berwarna putih.
No Busana Gambar
Gambar 4.15
Kostum SimantekKuta
(Sumber: Youtube Cultur Of
Karo)
e) Properti
Beras Pengiang-
ngiangi selain diletakkan di
1 samping Guru sibaso juga
digunakan ketika Guru
sibaso hendak menutup
kegiatan dengan
melemparkantelor ke tanah
Gambar 4.13 Beras Pengiang-
ngiangi
(Dokumentasi, Arnita:2023)
65
f) Tempat
Tempat pelaksanaan ritual yang melibatkan masyarakat ramai biasanya
(balai desa), namun pada saat acara Ndahi Tembun-Tembunen (penjemputan roh
Berdasarkan teori Fungsi tari menurut Jazuli yaitu sebagai sarana upacara.
Tari-tarian yang terdapat dalam upacara ritual muncang ini adalah sebagai sarana
atau pendukung upacara agar komunikasi terhadap roh-roh nenek moyang dapat
berjalan dengan lancar yang dilakukan oleh Guru Sibaso. Selanjutnya akan
upacara muncang ini pada dasarnya adalah untuk memanggil kekuatan gaib atau
roh-roh leluhur yang dianggap baik melalui perantara Guru Sibaso. Guru
Sibaso dan seluruh orang yang terdapat di lokasi upacara mengenakan kostum
membuka pintu alam gaib, melalui gerakan tarian juga masyarakat Mbaruai
percaya bahwa roh nenek moyang mereka dapat hadir sehingga masyarakat
Terkait dengan materi, terjadi proses penjemputan roh-roh dari tempat yang
gerakan tarian yang disertai alunan musik dan sesajen untuk memanggil
3) Fungsi sebagai pemanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat. Tari dapat
bantuan dalam suatu upacara/pemujaan. Di sisi lain, dalam konteks ini tarian
dengan tujuan untuk membersihkan Desa Mbaruai dari pengaruh roh-roh jahat.
untuk memperkuat hubungan antara dunia manusia dengan dunia alam gaib. Di
samping itu, tari-tarian yang berujung penari trans menjadi bukti bahwa lewat
tarian roh bersedia masuk ke tubuh si baso maupun sukut, untuk hadir ditengah-
masuk.
terhadap jasa-jasa nenek moyang dalam sejarah, hal ini juga membantu menjaga
kebesarannya sambil menarikan Ndikkar dengan gagah dan berani. Melalui gerakan
kegagahan ataupun kesigapan leluhur semasa hiudpnya. Hal ini juga menjadi cara
untuk mempertahankan sejarah dan identitas suatu kelompok sosial. Tarian ini
mengungkapkan rasa hormat, kesetiaan, dan doa dari para penari kepada roh-roh
pendiri kampung.
upacara dan perayaan yang terkait dengan saat-saat tertentu dan perputaran
waktu. Seperti halnya pada peristiwa upacara ritual muncang, ritual diadakan
karena pada saat-saat tertentu terjadinya gagal panen dalam waktu yang
alam. Dalam ritual muncang masyarakat Mbaruai meyakini roh ninir petir
mampu mengatur cuaca sehingga masyarakat memohon cuaca yang baik untuk
pertanian masyarakat, kedatangan roh nini petir ditandai dengan sesajen yang
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
menolak bala dan mengusir roh-roh yang mengganggu di desa tesebut melalui
perantara Guru Sibaso. Sebelum melakukan upacara ritual muncang ada beberapa
hal yang harus diperhatikan seperti persiapan Cibal- cibalen (sesajen), alat-alat
tarian dapat dilihat dari seluruh rangkian ritual muncang, mulai dari awal menuju
Erseluk, Erseluk, hingga Nalangi Uis. Musik yang digunakan adalah Gendang
Gendang Sabung Tukuk dan Gendang Pselukken. Pola lantai terdiri dari pola
horizontal dan pola melingkar. Busana Guru Sibaso yaitu Abit (kain sarung), baju
sehari-hari, kain putih diikat di kepala dan pinggang serta jubah merah si jogal,
untuk Simantek Kuta mengenakan Abit (kain sarung), baju sehari-hari dan tudung
dari kain putih. Properti terdiri dari Beras Pengiang-Ngiangi, Sirih Persentabian,
Pedang, Lengkaten, Rudang Mayang Tanduk, Lau Panguras, Kemenyan dan Kain
Putih
.
71
Tari-tarian yang terdapat dalam upacara ritual muncang ini memiliki fungsi
sebagai sarana atau pendukung upacara agar komunikasi terhadap roh- roh nenek
moyang dapat berjalan dengan lancar yang dilakukan oleh Guru Sibaso.
memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, peringatan pada nenek
B. Saran
telah ada sejak zaman nenek moyang dulu, melalui penelitian ini juga
diharapkan dapat mengetahui bentuk penyajian dan fungsi tari dalam ritual
2. Agar upacara yang melibatkan sistem kekerabatan pada masyarakat ini tidak
punah atau termakan oleh jaman, alangkah baiknya jika upacara muncang ini
salahsatunya masyarakat Karo sudah tidak begitu banyak yang meyakini kepercayaan
pemena tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adlin, Dilinar dkk. 2017. Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual Struktur Landek
Dalam Pembelajaran Teknik Tari Karo. Jurnal BAHAS. Vol 28 No 4.
Medan:Uviversitas Negeri Medan
Barus, Elieser. 2013. Fungsi dan Penggunaan Gendang Lima Sandalanen Pada
Upacara Muncang di Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan
Biru biru Kabupaen Deli Serdang. Fakultas Ilmu Budaya Departemen
Etnomusikologi. Universitas Sumatera Utara.
Barus, Risda Oktavia. 2015. Landek Dalam Upacara Erdemu Bayu Kajian
Terhadap Bentuk Dalam Sistem Sosial Pada Masyarakat Karo. Skirpsi S1
Prodi Seni Tari. Jurusan Sendratasik. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Medan
Dewi Salindri, Sri Ana. 2022. Hidupnya Ritual Undhuh-Undhuh Jemaat Gereja
Kristen Jawi Wetan Jember. Perumahan Jinggaland B-1 Mpanau, Sulawesi
Tengah: CV Feniks Muda Sejahtera
Harahap, Ramlah Gustini, 2013. “Landek dalam Upacara Perumah Begu pada
masyarakat Karo di Desa Pernantin Kecamatan Juhar Kabupaten Karo”.
Skripsi Mahasissa S1 Prodi Pendidikan Tari Fakultas Bahasa dan Seni.
Universitas Negeri Medan.
Manalu, Nadra Akbar. 2013. Gesture. No 1. Vol 2. Landek Dalam Upacara Adat
Ngampeken Tulan-Tulan Kajian Interaksi Simbolik Pada Masyarakat Karo
Di Desa Rumamis Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo. Medan:
Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Medan.
Much.Alief. 2017. Perubahan Bentuk Dan Fungsi Tari Lembu Sena Di Dusun
Ngagrong Desa Ngagrong Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Skripsi.
UNNES
Ni Nyoman Suartini. 2014. Kajian Bentuk Dan Fungsi Tari Sanghyang Kungkang
Di Desa Adat Pekraman Bebandem Karangasem. Skripsi S1. Fakultas Seni
Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar.
Nurwani. 2017. Bahan Ajar Pengetahuan Seni Tari. Medan: Unimed Press
73
Sumber web:
https;://www.karokab.go.id
https://karosiadi.com
https://pmd.deliserdangkab.go.id
http://dprd-sumutprov.go.id
https://p2k.stekom.ac.id
74
GLOSARIUM
diperistri
Gendang singanaki : alat music dari karo yang terbuat dari kayu dan
kulit binatang
75
tunggal.
pemukul.
tempat sirih
penjaga kampung)
Njujungi beras piher : suatu upacara selamatan dan doa agar orang
Persentabian : penghormatan
sudah meninggal
puang kalimbubu
dalamensambel.
beda kampung.
sirih
suku karo
78
79
80
81
82
83
84
85
86
RIWAYAT HIDUP
Arnita Ardillah Harahap lahir di Desa Aek Badak jae,
jenjang pendidikan sekolah dasar di SDN 101114 Aek Badak Jae pada tahun 2007
dan lulus pada tahun 2013. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah
menengah pertama di MTS Alwashliyah Sihepeng dan lulus pada tahun 2016.
dan lulus pada tahun 2019. Penulis melanjutkan jenjang perguruan tinggi dan
menimba ilmu di Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan
Sebdratasik, Program Studi Seni Pertunjukan jenjang S-1 (Strata satu). Berkat
kerja keras dan doa serta bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat
menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada tahun 2023
dengan judul skripsi “Bentuk Penyajian dan Fungsi Tarian Dalam Ritual
2023.
87