Anda di halaman 1dari 98

BENTUK PENYAJIAN DAN FUNGSI TARIAN DALAM

RITUAL MUNCANG PADA MASYARAKAT KARO


KECAMATAN SIBIRU-BIRU KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Seni

Oleh

ARNITA ARDILLAH HARAHAP

NIM. 2191230001

JURUSAN SENDRATASIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2023
ABSTRAK
ARNITA ARDILLAH HARAHAP. NIM 2191230001. Bentuk Penyajian dan
Fungsi Tarian Dalam Ritual Muncang Pada Masyarakat Karo Kecamatan
Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang. Fakultas Bahasa Dan Seni, Universitas
Negeri Medan. 2023

Penelitian ini merupakan kajian mengenai bentuk penyajian dan fungsi tarian
dalam ritual Muncang tepatnya di desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru
Kabupaten Deli Serdang. Ritual muncang merupakan bentuk kebudayaan
masyarakat Karo yang hingga saat ini menjadi tradisi yang masih tetap tumbuh
dan berkembang meskipun intensitasnya tidak seperti zamana dahulu. Dalam
pembahasan penelitian ini digunakan teori-teori yang berhubungan dengan topik
penelitian seperti pengertian ritual muncang, teori ritual, teori tari, teori bentuk
penyajian dan teori fungsi. Untuk bentuk penyajian penulis menggunakan teori
dari Hermin Kusmayati (1989: 9) dan Teori Fungsi dari Edy Sedyawati (1981:53).
Metode yang digunakan untuk membahas Bentuk Penyajian dan Fungsi Tarian
Dalam Ritual Muncang Pada Masyarakat Karo Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten
Deli Serdang adalah metode deskriptif kualitatif. Populasi pada penelitian ini
sekaligus menjadi sampel penelitian yaitu tokoh adat, pemusik, Guru Sibaso
(dukun), Simantek Kuta (keturunan pendiri kampung), penari dan orang-orang
yang terlibat dalam ritual muncang tersebut. Teknik pengumpulan data meliputi
studi kepustakaan, observasi, wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan secara garis besar bahwa
bentuk penyajian tari dalam ritual muncang pada masyarakat desa Mbaruai
Kecamatan Sibiru biru Kabupaten Deliserdang meliputi: gerak Erdalan Ersikap
Landek, Persentabian, Mari-mari, Odak-odak, Murjah-urjah Muatken Erseluk,
Erseluk dan Nalangi Uis. Musik pengiring Gendang Lima Sendalanen yang terdiri
dari Sarune, Gendang Singanaki, Gendang Singindungi, Gung dan Penganak.
Kostum berupa Abit (kain sarung), baju sehari-hari, kain putih serta jubah merah.
Pola lantai yaitu pola horizontal dan pola melingkar. Alat perlengkapan dan
menjadi properti saat Guru sibaso menari berupa beras pengiang-ngiangi, sirih
persentabian, pedang, rudang mayang tanduk, lau panguras dan kemenyan.
Untuk tempat pelaksanaan ritual tepatnya berada di mabar dan jambur. Selain itu
tarian dalam hal ini juga berfungsi sebagai sarana atau pendukung upacara agar
komunikasi dengan roh-roh nenek moyang dapat berjalan dengan lancar. Fungsi
lain yaitu sebagai pemanggilan kekuatan gaib, penjemputan roh-roh pelindung
untuk hadir di tempat pemujaan, memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh
jahat, peringatan kepada nenek moyang dengan menirukan kegagahan ataupun
kesigapan, dan pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saattertentu.

Kata kunci: Ritual, Muncang, Bentuk penyajian, Fungsi.

i
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan Rahmad -
Nya penulis dapat menyelesaikan tulisan ilmiah ini dengan judul “Bentuk
Penyajian Dan Fungsi Tarian Dalam Ritual Muncang Pada Masyarakat Karo
Kecamatan Sibiru-Biru Kabupaten Deli Serdang”.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengalami banyak kendala. Namun
berkat motivasi, bimbingan dan bantuan dari semua pihak, maka akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan banyak terimakasih kepada:
1. Prof. Dr Baharuddin, ST., M.Pd, selaku Rektor Universitas
Negeri Medan.
2. Dr. Zulkifli, M.Sn selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Medan.
3. Dr. Panji Suroso, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sendratasik
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.
4. Dr. Nurwani, S.S.T., M.Hum selaku Sekretaris Jurusan
Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, sekaligus
Dosen Pembimbing Skripsi yang senantiasa begitu banyak memberikan ilmu
pengetahuan dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Martozet, S.Sn., M.A selaku Ketua Prodi Seni Pertunjukan
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, sekaligus Dosen penguji
III yang telah memberikan ilmu, informasi dan layanan kepada penulis demi
terselesainya skripsi ini.
6. Irwansyah, S.Sn., M.Sn selaku Dosen Pembimbing Akademik
sekaligus Dosen Penguji I yang telah memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Dr. Pulumun P. Ginting, S.Sn., M.Sn selaku Dosen penguji II
yang telah memberikan arahan untuk perbaikan skripsi ini.

8. Dosen-dosen Program Studi Seni Pertunjukan dan Program


Studi Pendidikan Tari yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
iii

banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama kuliah.


9. Teristimewa kepada orang tua yang sangat penulis sayangi
dan cintai Alm. Ayahanda Irsan Bakti Harahap dan Ibunda Murni
Dalimunthe yang tiada henti-hentinya memberikan doa, motivasi dan materi
sehingga penulis dapat meraih gelar Sarjana Seni di Universitas Negeri
Medan.
10. Kepada kakak dan adik yang sangat penulis sayangi dan cintai
Sanni Suryani, Winni Wahyuni, Henni Herawani, Rona Marito dan Muksin
Aulia yang turut memberikan doa dan dukungan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.

11. Kawan-kawan seperjuangan Ariya Jaya Ningrat, Indah, Binsar,


Jadi, Jesaya, Tasya, Tia, Chika, Enzel, Gibral, Esay, Wahyu, Ridwan dan
Alm. Wadi yang telah menemani penulis mulai awal masuk perkuliahan
sampai menyeselesaikan perkuliahan ini, selalu memberikan motivasi dan
meluangkan waktu untuk bertukar fikiran sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.

12. Seluruh keluarga seni pertunjukan mulai dari stambuk 2017-


2023 yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.
13. Pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan ini,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi
perbaikan tulisan-tulisan ke depannya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat luas.

Medan, Oktober 2023


Penulis

Arnita Ardillah Harahap


NIM. 2191230001
iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK… .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
DAFTAR TABEL...............................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................................7
C. Pembatasan Masalah ......................................................................................7
D. Rumusan Masalah ..........................................................................................8
E. Tujuan Penelitian ............................................................................................8
F. Manfaat Penelitian ..........................................................................................8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...............................................................................11
A. Landasan Teori .............................................................................................11
1. Teori Bentuk Penyajian ............................................................................11
2. Teori Fungsi Tari ......................................................................................13
3. Tari ............................................................................................................ 14
4. Teori Ritual .................................................................................................15
4. Ritual Muncang.........................................................................................16
B. Penelitian Relevan .........................................................................................17
C. Kerangka Konseptual ..................................................................................... 21
BAB III METODE PENELITIAN .....................................................................24
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...................................................................24
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................24
C. Populasi dan Sampel ....................................................................................25
D. Teknik Pengumpulan Data ...........................................................................25
E. Teknik Analisis Data ....................................................................................27
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................... 28
A. Hasil Penelitian .............................................................................................28
1. Letak Geografis ..........................................................................................28
2. Keadaan Demografi di Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten
Deli Serdang ...............................................................................................29
3. Struktur Ritual Muncang di dusun III Namorindang Desa Mbaruai Kecamat
v

an Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang .....................................................34

B. Pembahasan .....................................................................................................48
1. Bentuk Penyajian Tari dalam Ritual Muncang di dusun III Namorindang
desa Mbaruai Kecamatan Sibiru biru Kabupaten Deliserdang ..................48
2. Fungsi Tari dalam Ritual Muncang di dusun III Namorindang Desa Mbaruai
Kecamatan Sibiru biru Kabupaten Deliserdang .........................................65

BAB V PENUTUP ................................................................................................68


A. Kesimpulan .................................................................................................. 68
B. Saran ............................................................................................................69

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................70


GLOSARIUM 72
vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Peta Desa Mbaruai 29

Gambar 4.2 Manuk Megara 35

Gambar 4.3 Manuk Megersing 35

Gambar 4.4 Manuk Mentar 35

Gambar 4.5 Sangkep Manuk 36

Gambar 4.6 Buah-buahan 36

Gambar 4.7 Cimpa Buka Siang 36

Gambar 4.8 Cimpa Unung-unung 36

Gambar 4.9 Cimpa Matah 37

Gambar 4.10 Cimpa Tuang 37

Gambar 4.11Mumbang 37

Gambar 4.12 Bulung Simalem-malem 37

Gambar 4.13 Beras Pengiang-ngiangi 38

Gambar 4.14 Sirih Persentabin 38

Gambar 4.17 Pedang 38

Gambar 4.18 Lengkaten 38

Gambar 4.19 Rudang mayang tanduk 39

Gambar 4.20 Lau Panguras 39

Gambar 4.21 Kemenyan 39

Gambar 4.22 Anak-anak gadis yang sedang menumbuk cimpa 41

Gambar 4.23 Posisi Barisan Rombongan Menuju Mabar 42

Gambar 4.24 Proses rombongan dari jambur menuju mabar 43

Gambar 4.25 Pemusik menuju mabar sambil memainkan alat musik. 43


vii

Gambar 4.26 Guru Sibaso dan Sukut mengeliligi mabar 44

Gambar 4.27 Sukut dan seluruh yang terlibat mengelilingi Mabar 44

Gambar 4.29 Guru Sibaso memberikan solusi kepada masyarakat 46

Gambar 4.30 Guru Sibaso mengelilingi dan memagari kampung 47

Gambar 4.31 Guru Sibaso melemparkan telor ayam ke tanah 47

Gambar 4.32 Guru Sibaso membuka jubah kebesaran Si Jogal 48

Gambar 4.34 Instrumen Musik Gendang Lima Sedalanen 54

Gambar 4.35 Pola Horizontal 59

Gambar 4.36 Pola Melingkar 60

Gambar 4.15 Kostum Guru Sibaso 62

Gambar 4.15 Kostum Simantek Kuta 62

Gambar 4.15 Jubah Merah 63

Gambar 4.16 Kain putih 63

Gambar 4.39 Balai Desa Mbaruai 64

Gambar 4.40 Mabar 64


viii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Merga dan Sub Merga suku Karo 31

Tabel 4.2 Jenis-jenis Sesajen 35

Tabel 4.3 Alat-alat Perlengkapan Ritual Muncang 38

Table 4.4 Ragam Gerak Tari Dalam Ritual Muncang 50

Table 4.5 Kostum dalam ritual Muncang 61

Tabel 4.6 Properti dalam ritual Muncang 62


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Suku Karo memiliki kebudayaan yang sangat beraneka ragam dan menjadi ciri khas

pada masyarakat itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa aktivitas atau kegiatan

masyarakat itu sendiri. Wibowo dalam Sumarto pada Jurnal Literasi Vol. 1, No. 2, (2019:

146) mendefinisikan “budaya merupakan pola kegiatan atau pola hidup masyarakat yang

secara sistematis ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan melalui

berbagai proses pembelajaran untuk mewujudkan gaya hidup yang paling sesuai dengan

lingkungannya”. Sehingga dapat dimaknai bahwa budaya suatu masyarakat merupakan

pola hidup dari suatu kelompok manusia yang telah mereka sepakati bersama untuk

menciptakan kehidupan yang mereka inginkan.

Menurut Edward Burnett Taylor dalam Monica pada jurnal Gesture Vol. 2, No. 2,

(2013: 1) menyatakan bahwa “Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks dari

kehidupan, meliputi ilmu atau pengetahuan, dogma-dogma teologi, nilai-nilai moral,

hukum adat istiadat masyarakat dan semua kemampuan yang diperoleh seseorang dalam

kedudukannya sebagai anggota masyarakat”. Memperkuat argument Edward,

Koentjaraningrat (1993:5) dalam Sumarto pada Jurnal Literasiologi Vol. 1, No.2 (2019:

148) mengungkapkan:

“unsur kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu pertama sebagai suatu


ide, gagasan, nilai-nilai norma-norma peraturan dan sebagainya, kedua
sebagai suatu aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam sebuah
komunitas masyarakat, ketiga benda-benda hasil karya manusia”. Dan
jika dijabarkan dari ketiga wujud tersebut maka terdapat tujuh unsur
kebudayaan yaitu Sistem Religi, Sistem Bahasa, Sistem Mata
Pencaharian Hidup (Ekonomi), Sistem Pengetahuan, Sistem Sosial,
Sistem Peralatan Hidup, Teknologi, dan Kesenian.

1
2

Tidak hanya bangsa dan kelompok etnis yang memiliki kebudayaan, tetapi

juga masyarakat luas, organisasi, dan sistem sosial lainnya. Setiap populasi yang

berbeda-beda dalam masyarakat selalu menciptakan kebudayaan sendiri yang

paling sesuai dengan situasi mereka.

Sudah jelas bahwa kesenian adalah salah satu unsur yang dapat

mempengaruhi corak hidup manusia dalam masyarakat. Kesenian yang terdapat di

Indonesia sangat beragam, dan mempunyai ciri tersendiri sesuai dengan

kebudayaan dalam etnisnya masing-masing, hingga akhirnya muncul berbagai

kesenian yang lahir dari masyarakat dan disesuaikan dengan adat budaya serta

norma yang berlaku. Kemunculan berbagai kesenian bisa saja terjadi dalam

berbagai kesempatan sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang diharapkan.

Bagi masyarakat suku Karo, kesenian merupakan salah satu unsur

kebudayaan yang selalu digunakan pada setiap kesempatan, baik digunakan ketika

upacara adat, hiburan hingga ritual. Salah satu kesenian yang ada pada masyarakat

Karo adalah seni tari. Menurut BPH Suryadiningrat dalam Nurwani (2017: 23)

bahwa ”tari adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagian tubuh manusia yang

disusun selaras dengan irama musik, serta mempunyai maksud tertentu”. Dari

sumber yang sama terdapat juga pendapat Soedarsono menyatakan bahwa “Tari

adalah ekspresi jiwa manusia yang dituangkan melalui gerak yang ritmis dan

indah”. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa substansi tari adalah

gerak, tanpa gerak tidak dapat dikatakan dengan tari.

Secara umum tari pada masyarakat Karo disebut dengan landek. Sebagaimana

dalam tulisan Adlin et.al. dalam jurnal BAHAS Vol. 28, No. 4, (2017:428):

“Pada masyarakat Karo tari dikenal dengan sebutan landek, namun


landek tidak hanya sekedar sebuah tarian. Landek memiliki arti yang
3

lebih dalam yaitu Landek merupakan dasar pemikiran masyarakat Karo


dalam melaksanakan aktivititas kehidupannya, dengan menghadirkan
tari untuk melengkapi aktivitas-aktivitas mereka dalam menyampaikan
hasrat, keinginan, doa sebagai perwujudan dari perasaan”.

T.Sarjani, (2008: 123) dalam Nadra Akbar Manalu pada jurnal Gesture Vol.

2, No. 1, (2013: 5) menyatakan bahwa “dalam budaya Karo penyajian landek erat

hubungannya dengan kontekstual”. Dengan kata lain, keberadaan tarian ditentukan

dengan konteks penyajiannya. Konteks penyajian tari bagi masyarakat Karo secara

umum dibagi menjadi tiga bagian yaitu tarian yang berhubung kait dengan adat

atau komunal, tarian untuk hiburan dan tarain yang berhubungan dengan

religi/upacara ritual keagamaan. Ritual mengandung kesakralan bagi mereka yang

melaksanakan dengan mengharap keselamatan dan kemaslahatan bersama.

Menurut Koentjaraningrat (2002: 204) “upacara religi atau ritual adalah

wujudnya sebagai sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, Dewa-Dewa, Roh-

roh halus, neraka, surga dan sebagainya, tetapi mempunyai wujud yang berupa

upacara-upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala”.

Menurut Sumandiyo Hadi dalam Nurwani. International Seminar and Annual

Meeting BKS-PTN Wilayah Barat Vol. 1, No. 1, (2018: 557) “Rituals are a form

ofceremony or celebration that relats to several religious beliefs, characterized by

special characteristics, which give the rise to noble respect, in the sense of a sacred

experience” (Ritual merupakan suatu bentuk upacara yang berhubungan dengan

beberapa kepercayaan atau agama, ditandai dengan sifat khusus yang menimbulkan

rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci dan

sakral). (Diterjemahkan oleh Arnita). Keberadaan ritual agama menjadi sarana

komunikasi manusia dengan yang disembah dan antara manusia dan manusia. Tujuan dari

ritual ini yaitu selain untuk menjaga dan melestarikan kesucian, juga memohon
4

perlindungan kepada makhluk gaib atau yang disembah karena biasanya upacara

diadakan ketika terjadi keadaan kritis dalam hidup atau ingin menyampaikan

sesuatu kepada yang keramat. Upacara dapat berupa persembahan yang dirancang

untuk memenangkan hati makhluk gaib.

Sejak zaman dahulu masyarakat Karo telah memiliki kepercayaan sendiri

sebelum mengenal agama baru seperti Katolik, Kristen, Protestan, Islam, Hindu dan

Budha, yaitu agama pemena. Pemena artinya pertama. Tak jarang agama pemena

dikaitkan dengan “parbegu” yaitu agama yang menganut kepercayaan animisme

dan dinamisme yang mana diyakini mampu berdialog dengan makhluk halus.

Masyarakat Karo percaya bahwa ada jiwa yang hinggap di batu-batu besar, kayu –

kayu besar, sungai, gunung ataupun tempat-tempat yang dianggap keramat lainnya.

Macam-macam ritual yang terdapat pada masyarakat Karo yang menganut agama

pemena antara lain; Ritual Erpangir Ku Lau, Ritual Cawir Bulung, Ritual Perumah

Begu, Ritual Baka, Ritual Muncang dan lain-lain. (sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Karo diakses 20 April 2023). Dilihat dari ritual-

ritual tersebut maka terdapat berbagai kesenian pada masyarakat Karo, salah

satunya seni tari yang ada dalam ritual Muncang dan masih dijumpai pada

sekelompok masyarakat Karo di Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten

Deli Serdang.

Elieser Barus dalam Jurnal Etnomusikologi USU Vol. No. (2013: 02)

memaparkan: “Muncang adalah upacara tolak bala dengan cara memanggil tembun-

tembunen kuta (roh-roh nenek moyang penjaga kampung) melalui mediator seorang

Guru Sibaso untuk menolak bala dan mengusir roh-roh jahat yang dianggap

mengganggu kampung tersebut. Selain itu juga disampaikan bahwa “Muncang


5

adalah upacara penghormatan dan pemujaan roh-roh nenek moyang yang

dipercayai dapat menyembuhkan dari penyakit, menolak bala, dan mengusir roh-

roh yang mengganggu di desa tesebut”.

Upacara Muncang dilakukan karena adanya suatu kejadian yang tidak lazim

terjadi seperti adanya musibah di desa tersebut secara terus-menerus, terjadinya

kemarau yang berkepanjangan yang mengakibatkan gagal panen, salah seorang

dalam suatu keluarga didatangi roh leluhur yang hendak menyampaikan hal-hal

yang diminta dan harus diselesaikan, meninggalnya para penghulu desa dalam

waktu yang berdekatan, sehingga membuat masyarakat merasa tidak nyaman, maka

dilakukan lah ritual Muncang untuk memohon perlindungan dari roh- roh pendiri

kampung tersebut.

Dalam pelaksanaannya dimulai dari masyarakat membersihkan mabar yaitu

tempat yang disakralkan sebagai tempat bersemayamnya roh-roh leluhur, kemudian

pada malam hari dilakukan acara pembuatkan cimpa oleh anak gadis yang suci.

Acara berlanjut pada keesokan paginya seluruh rombongan yang telah berkumpul

di jambur/balai desa berbaris sesuai posisi yaitu Guru Sibaso, Sukut, Kalimbubu,

Anak Beru, masyarakat, dan terahir Panggual (Pemusik). Rombongan kembali

menuju mabar (tempat bersemayamnya roh-roh leluhur) untuk melakukan ndahi

tembun-tembunen (menjemput roh leluhur).

Dalam perjalanan menuju mabar terdapat tari-tarian yang selalu diiringi

musik, sesampainya di sana dilakukan mengeliligi mabar sambil melakukan gerak-

gerak tari seperti endek (keadaan lutut naik-turun), persentabian (gerakan tangan

menyembah), gerak-gerakan silat (Ndikar), lempir tan (telapak tangan kanan dan

kiri menghadap ke depan sejajar bahu) dan Murjah-urjah (gerakan melompat


6

dengan mengangkat kaki secara bergantian yang berujung Trans (kesurupan),

setelah itu rombongan kembali ke jambur (balai desa) untuk melakukan perumah

begu yaitu menanyai dan meminta saran dari roh yang masuk melalui

perantara/mediator Guru Sibaso.

Selanjutnya Guru Sibaso masih melakukan gerak tari secara terus menerus

yang disesuaikan dengan ketukan musik, sambil membaca tanda-tanda dengan

media bunga rudang mayang, untuk melihat apa saja permintaaan roh-roh nenek

moyang, apa penyakit-penyakit dan permasalahan-permasalahn yang dialami

masyarakat desa sambil memberikan solusi-solusi atas permasalahan itu. Acara

ditutup dengan mengelilingi kampung sambil melakukan gerak-gerak ndikkar

(silat) dan memagari kampung kemudian melemparkan telor ke tanah pertanda

Guru Sibaso telah memagari kampung, musik pun berhenti pertanda acara selesai

dilaksanakan.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa di dalam proses penyajian ritual muncang

selalu menyajikan suatu kesenian berupa tari yang senantiasa diiringi musik

tradisoanal, dimana tarian menjadi suatu yang sarat dalam pelaksanaan ritual ini.

Mulai dari proses menuju ke mabar, mengelilingi mabar, proses menuju ke jambur,

hingga sampai di jambur dapat dilihat keberadaan tarian mulai dari awal hingga

akhir. Maka dari itu pentingnya untuk melihat bentuk sajian tari di dalam ritual

muncang ini. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan pendapat Hermin (1989: 9)

bahwa:

“Penyajian tari didukung dari beberapa unsur, yaitu gerak tari karena
hakikat tari adalah gerak, pola lantai (garis diatas lantai yang dibentuk
dan dilalui oleh penari), irigan tari (musik yang menghidupkan suasana
tari), tata rias dan busana (meliputi riasan wajah dan busana yang
membantu menunjang karakter dari tari), property (seluruh peralatan
yang digunakan dalam penyajian tari) dan tempat pementasan.”
7

Bentuk tarian pada ritual muncang ini dapat dilihat dari gerakan tari tradisi

Karo yang terjadi karena telah sering dilakukan pada kegiatan-kegiatan yang lain

dan dipengaruhi oleh energi supranatural seperti endek (keadaan lutut naik-turun),

persentabian (gerakan tangan menyembah), gerak-gerakan silat (Ndikar), lempir

tan (telapak tangan kanan dan kiri menghadap ke depan sejajar bahu) dan Murjah-

urjah (gerakan melompat dengan mengangkat kaki secara bergantian. Terdapat

musik yang mengiringi selama ritual berlangsung, diantara alat musik tersebut

adalah Sarune, Gendang Singanaki, Gendang Singindungi, Penganak dan Gung

yang tergolong kedalam Gendang Lima Sendalanen. Busana yang digunakan oleh

Guru Sibaso berupa kain sarung, kebaya,jubah merah, kain putih yang diikatkan di

pinggang dan kepala., sedangkan sukut perempuan menggunakan kain sarung,

baju sehari-hari, tudung dari kain putih, dan sukut laki-laki menggunakan celana

bahan hitam, baju sehari-hari, kain sarung yang diletakkan di bahu, serta kain putih

yang dililitkan di kepala.

Properti berupa bakul, amak mentar (tikar pandan putih), pedang, kampil

(wadah yang terbuat dari anyaman daun pandan tempat sirih), bunga rudang

mayang (pucuk pohon pinang), kain putih, Lengkaten (tempat peletakan sesajen),

Mangkok putih berisi Air Lau panguras, kemenyan, beras pengiag-ngiangi berisi

daun sirih, pinang, gula merah, telur ayam, sejumlah uang, serta beras, dan dalam

pelaksanaan ritual ini terdapat bebrerapa sesajen seperti tiga jenis ayam sangkep

mentar, ayam sangkep megersing dan ayam sangkep merah, buah-buahan, bulung

simalem-malem, cimpa matah, cimpa unung-unung, cimpa tuang dan cimpa buka

siang serta mumbang (kelapa muda).

Istilah ritual Muncang sudah semestinya tidak asing bagi masarakat Karo.

Oleh karena ritual tersebut merupakan budaya masyarakatnya sendiri. Namun


8

sampai saat ini masih banyak generasi muda khususnya masyarakat Karo yang tidak

mengetahui apa itu ritual muncang dan bentuk penyajian tari di dalam ritual

tersebut. Hal ini dipengaruhi akibat minimnya data tertulis terkait bentuk penyajian

ritual Muncang, dimana hal tersebut sangat berpengaruh dalam menambah

wawasan generasi-gerasi berikutnya.

Setiap hal pasti memiliki maksud dan fungsi, seperti hal nya tarian yang

terdapat pada ritual muncang. Namun tak banyak yang mengetahui fungsi tarian

tersebut secara mendalam. Agar masyarakat luas mengetahuinya perlu kiranya

untuk dilakukan sebuah penelitian terkait permasalahan-permasalahan yang telah

uraikan diatas.

Berdasarkan pemaparan di atas peneliti tertarik untuk mengangkat upacara

Muncang ini menjadi topik penelitian, dengan judul “Bentuk Penyajian dan Fungsi

Tarian dalam Ritual Muncang pada Masyarakat Karo Kecamatan Sibiru-biru

Kabupaten Deli Serdang”.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah bertujuan agar penelitian yang dilakukan menjadi terarah

serta cakupan masalah yang dibahas tidak terlalu luas. Dengan demikian,

berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka masalah dalam penelitian

ini diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Masih banyak generasi muda di desa Mbaruai dan masyarakat Karo lainnya

tidak mengetahui ritual Muncang.

2. Minimnya data tertulis terkait ritual Muncang

3. Belum adanya tulisan ilmiah terkait dengan bentuk penyajian tarian dalam ritual

muncang di Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang.


9

4. Belum terdapat data tertulis mengenai fungsi tari dalam ritual muncang di Desa

Mbaruai Kec. Sibiru-biru Kab. Deli Serdang

C. Pembatasan Masalah

1. Belum adanya tulisan ilmiah terkait dengan bentuk penyajian tarian dalam ritual

muncang di Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang.

2. Belum terdapat data tertulis mengenai fungsi tari dalam ritual muncang di Desa

Mbaruai Kec. Sibiru-biru Kab. Deli Serdang

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk penyajian tari dalam ritual Muncang di Desa Mbaruai

Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang.

2. Apa fungsi tari dalam ritual muncang di Desa Mbaruai Kec. Sibiru-biru Kab.

Deli Serdang

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana bentuk penyajian tari

dalam ritual Muncang di Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli

Serdang.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan apa saja fungsi tari dalam ritual

muncang khususnya di Desa Mbaruai Kec. Sibiru-biru Kab. Deli Serdang

F. Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian dikatakan berhasil jika hasil dari penelitian tersebut memiliki

dampak dan juga manfaat bagi banyak orang. Maka yang diharapkan dalam

peneltian ini adalah bermanfaat bagi orang banyak yaitu sebagai berikut :
10

a) Manfaat Teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

literature kepustakaan Universitas Negeri Medan, serta dapat dijadikan sebagai

bahan referensi bagi mahasiswa yang membutuhkan informasi yang relevan terkait

dengan penelitian ini.

b) Manfaat Praktis:

 Bagi penulis

1. Menambah pengalaman dalam bersosialisasi dengan masyarakat,

perkembangan relasi, maupun pemahaman dalam melakuka penelitian di

lapangan

2. Menambah wawasan serta pengetahuan penulis tentang budaya Karo salah

satunya yaitu ritual Muncang pada masyarakat Karo Di Desa Mbruai

Kecamatan Sibiru-Biru Kabupaten Deli Serdang

 Bagi Masyarakat

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau sebagai bahan

referensi bagi peneliti berikutnya yang memiliki keterkaitan tentang topik

penelitian ini.

2. Sebagai bahan kajian pustaka agar lebih menghargai kebudayaan khususnya

pada masyarakat Karo Di Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-Biru Kabupaten

Deli Serdang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori

Setiap daerah memiliki sejarah (budaya) masing-masing. Dan

budaya tersebut ada karena diciptakan oleh nenek moyangnya dahulu, jadi apapun

yang tersisa harus dikaji dan lestarikan kembali agar generasi-generasi

berikutnya dapat mengetahuinya. Penelitian ilmiah harus dilengkapi dengan kajian

pustaka. Kajian pustaka berupa teori-teori dan pengertian mengenai topic penelitian

menjadi landasan berfikir dalam memecahkan permasalahan yang terdapat dalam

suatu penelitian.

Supranto (2004:27) mengemukakan bahwa, “Landasan Teoritis adalah teori

yang terkait dengan variabel yang terdapat dalam judul penelitiaan atau yang

tercakup dalam paradigma penelitian sesuai dengan hasil perumusan masalah”.

Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori-teori

dan bebeberapa deskripsi dari hasil studi pustaka yang berkaitan dengan pokok

permasalahan yang akan diteliti dan menjadi acuan yang diharapkan akan

mendukung logika pemikiran penulis dan mendukung fakta yang ada, sehingga

penelitian ini dapat menghasilkan suatu kesimpulan berdasarkan tujuan yang telah

ditetapkan.

1. Pengertian Ritual Muncang

Elieser Barus dalam Jurnal Etnomusikologi.USU.2013.Vol.No.p.02:

“Muncang adalah upacara tolak bala dengan cara memanggil tembun-tembunen

kuta (roh-roh nenek moyang penjaga kampung) melalui mediator seorang Guru

Sibaso untuk menolak bala dan mengusir roh-roh jahat yang dianggap mengganggu

kampung tersebut. Selain itu juga disampaikan bahwa “Muncang adalah upacara

11
12

penghormatan dan pemujaan roh-roh nenek moyang yang dipercayai dapat

menyembuhkan dari penyakit, menolak bala, dan mengusir roh-roh yang

mengganggu di desa tesebut”.

Menurut Narasumber bapak Efendi Ginting wawancara pada tanggal 13 Mei

2023 muncang merupakan upacara sakral untuk menghormati roh-roh leluhur dan

meminta keselamatan serta perlindungan masyarakat desa kepada roh leluhur

melalui perantara Guru Sibaso yang dilaksanakan oleh keturunan pendiri kampung

sesuai dengan peradaban tradisi kampung itu, dengan menghadirkan sesajen

sebagai syarat upacara.

2. Teori Ritual

Menurut Hadi dalam Dewi Salindri dan Sri Ana (2022 : 2) Ritual merupakan

suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa

kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus yang menimbulkan rasa

hormat yang luhur, dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Hal ini

menunjukkan kepercayaan manusia terhadap keberadaan kekuatab gaib yang

dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada manusia sehingga masyarakat

menjalankan aktifitas ritual religi sebagai cara berkomunikasi dengan kekuatan gaib

tersebut sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya (Perwasita, 2003: 230).

Adapun menurut Koentjaraningrat dalam Tedi Sutardi (2007: 54) terdapat 4

aspek dalam sistem ritual atau upacara keagamaan yaitu:

1) Tempat upacara keagamaan dilakukan

2) Saat-saat upacara keagamaan dijalankan (waktu pelaksanaan upacara)

3) Benda-benda dan alat-alat upacara

4) Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara


13

Demikian juga dengan ritual muncang. Dari keempat aspek diatas terkandung

dalam ritual muncang. Seperti adanya tempat upacara dilakukan di jambur dan

mabar, waktu pelaksanaannya pada saat-saat tertentu seperti gagal panen, kematian

secara mendadak, kemarau panjang, dan lain-lain. Untuk benda-benda atau alat-alat

upacara berupa sesajen dan beberapa alat perlengkapan. Untuk orang-orang yang

terlibat ialah Guru Sibaso, sukut, kalimbubu, anak beru, pemusik dan masyarakat

yang meramaikan.

3. Teori Tari

Di bawah ini ada beberapa tokoh yang mendalami tari menyatakan sebagai

berikut: Menurut BPH Suryadiningrat dalam Nurwani (2017: 24) mengemukakan

“tari adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun

selaras dengan irama musik, serta mempunyai maksud tertentu”. Dalam buku yang

sama terdapat juga pendapat Corrie Hartong dari Belanda bahwa “tari adalah

gerak-gerak yang diberi bentuk dan ritmis dari tubuh dalam ruang”. Tari diartikan

sebagai cakupan kegiatan fisik dan sudah jelas substansi baku tari adalah gerak

tubuh manusia yang disusun dengan maksud-maksud tertentu. Maksud dan tujuan

tari bisa bermacam-macam tergantung pola budaya masyarakat pendukungnya.

Bagi masyarakat Karo tari dikenal dengan sebutan landek, sebagai mana dalam

tulisan Adlin et.al dalam jurnal BAHAS. 2017.Vol 28 No 4 p.428

“Pada masyarakat Karo tari dikenal dngan sebutan Landek, namun


landek tidak hanya sekedar sebuah tarian. Landek memiliki arti yang
lebih dalam yaitu landek merupakan dasar pemikiran masyarakat Karo
dalam melaksanakan aktivitas kehidupannya, dengan menghadirkan
tari untuk melengkapi aktivitas-aktivitas mereka dalam menyampaikan
hasrat, keinginan, doa sebagai perwujudan dari perasaan”

Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa tari merupakan kegiatan yang selalu

ada dalam aktivitas masyarakat Karo, aktivitas dalam hal ini bisa berupa acara
14

kegiatan untuk kebutuhan upacara, kebutuhan hiburan, kebutuhan pendidikan

dan sebagainya. Seperti yang ada pada upacara ritual muncang yaitu terdapat di

desa Mbaruai, keberadaan tarian sangat berperan penting di dalamnya sebagai

perantara untuk menyampaikan hasrat, keinginan doa sebagai perwujudan dari

tujuan acara tersebut.

4. Teori Bentuk Penyajian

Menurut Jazuli (1994: 9) “penyajian tari yaitu menampilkan serangkaian

gerak yang tertata baik, rapi dan indah dilengkapi dengan unsur rupa serta unsur

pendukung yang meliputi iringan (musik), tema, tata busana (kostum), tata rias, tata

tempat, (panggung), tata lampu dan tata suara”. Menurut Hermin (1989: 9)

menyatakan bahwa “penyajian tari didukung dari beberapa unsur, yaitu gerak tari

karena hakikat tari adalah gerak, pola lantai (garis diatas lantai yang dibentuk dan

dilalui oleh penari), irigan tari (musik yang menghidupkan suasana tari), tata rias

dan busana (meliputi riasan wajah dan busana yang membantu menunjang karakter

dari tari), properti (seluruh peralatan yang digunakan dalam penyajian tari) dan

tempat pementasan

Dapat disimpulkan bahwa bentuk penyajian tari merupakan struktur atau

wujud pertunjukan tari secara keseluruhan, yang meliputi unsur-unsur tari

yaitu: Gerakan, Musik pengiring, tata rias, tata busana, pola lantai, tempat

pertunjukan, properti serta pendukung-pendukung lainnya. Semua unsur ini

bekerja sama untuk menciptakan sebuah tarian yang utuh dan bermakna.

Bentuk penyajian tari dalam ritual muncang berdasarkan beberapa pendapat

sebelumnya memiliki unsur dari yang disebutkan di atas. Guna mengupas bentuk

penyajian tari dalam ritual muncang, di sini penulis menggunakan teori Hermin
15

yang akan membahas keseluruhan elemen-elemen yang terkandung di dalamnya

yang terdiri dari gerak, musik pengiring, tata rias dan busana, pola lantai, properti

pendukung serta tempat pertunjukan.

Adapun tarian di sini berperan sebagai pendukung sekaligus pelengkap rangkaian

ritual muncang. Gerakan yang dilakukan oleh Guru Sibaso (dukun) dan Simantek

Kuta (keturunan pendiri kampung) terjadi secara spontan karena adanya energi

supra natural yang mempengaruhinya. Keberadaan Guru Sibaso hingga mencapai

titik trance nya bertujuan untuk menghadirkan roh roh nenek moyang di tengah-

tengah kegiatan ritual, yang dipercaya dapat menyembuh kan dari penyakit,

menolak bala, dan mengusir roh-roh jahat yang dianggap mengganggu desa. Musik

pengiring adalah unsur yang tidak bisa dipisahkan dengan ritual tersebut, karena

jika tidak ada musik yang mengarahkan pada titik ketidak sadaran, maka kehadiran

roh untuk merasuki juga akan terasa payah. Kehadiran tari-tarian dalam ritual ini

juga akan semakin terlihat jelas ketika tubuh para ketururna pendiri kampung telah

dirasuki roh-roh nenek moyang, dan mereka percaya syarat agar ritual ini berjalan

dengan lancar sesuai dengan yang mereka harapkan harus diiringi dengan musik.

Adapun penggunaan alat musik dalam ritual ini adalah gendang lima

sedalanen yaitu seperangkat alat musik Karo yang terdiri dari; Sarune, Gendang

Singanaki, Gendang Singindungi, Gung dan Penganak. Untuk rias dan busana

dalam ritual muncang berfungsi untuk memperindah dan mendukung penampilan

orang-orang yang terlibat, yaitu mengenakan rias sederhana sehari-hari, sedangkan

busana yang digunakan mengenakan busana masyarakat suku Karo seperti

pemakaian kebaya, Abit (Kain sarung), jubah berwarna merah dan kain putih yang

dililit dipinggang dan kepala untuk Guru Sibaso, kemudian para sukut

mengenakan kain sarung, baju kaos


16

biasa, celana bahan hitam, serta kain putih. Selain itu terdapat property pendukung

ritual muncang seperti amak mentar (tikar pandan), kain putih, pucuk pinang

(bunga rudang mayang), pedang, sesajen dan lain-lain.

5. Teori Fungsi Tari

Teori fungsi tari mengacu pada pemahaman tentang tujuan dan peran tari

dalam budaya dan masyarakat. Tari bisa memiliki fungsi ritual, hiburan,

pendidikan, politik dan protes, estetika atau ekspresi pribadi, hingga komunikasi

budaya, tergantung pada konteks budaya dan masyarakat di mana tari tersebut

dilakukan. Ada beberapa pendapat tentang pengklasifikasian fungsi tari secara

umum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jazuli dalam Much.Alief. 2017.

Skripsi. UNNES “Fungsi tari dalam kehidupan manusia dibagi menjadi empat,

diantaranya fungsi tari sebagai sarana upacara, fungsi tari sebagai sarana hiburan,

fungsi tari sebagai seni pertunjukan, dan fungsi tari sebagai sarana media

pendidkan”. Tarian yang terdapat di dalam ritual muncang ini merupakan tarian

yang berfungsi sebagai sarana upacara. Untuk melihat fungsi selain dia sebagai

sarana upacara di sini penulis menggunakan teori Edy Sedyawati (1981:53) fungsi

seni pertunjukan dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu:

“(1)Pemanggilan kekuatan Gaib, (2) penjemputan roh-roh pelindung


untuk hadir di tempat pemujaan (3) memanggil roh-roh baik untuk
mengusir roh-roh jahat (4) peringatan pada nenek moyang dengan
menirukan kegagahan ataupun kesigapan (5) perlengkapan upacara
sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang (6)
pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dan
perputaran waktu (7) perwujudan dari pada dorongan untuk
mengungkapkan keindahan semata”.

Berdasarkan teori-teori di atas, penulis membahas fungsi tari dalam ritual

muncang sebagai sarana untuk upacara seperti yang disampaikan oleh Jazuli, dan

lebih dalam membahas tentang fungsi tari dari teori Edy Sedyawati.
17

B. Penelitian Relevan

Adanya sebuah penelitian relevan berguna sebagai referensi yang

berhubungan dengan suatu penelitian yang kita angkat seperti untuk mencari

persamaan dan perbedaan, mengetahui adanya kontribusi penelitian terdahulu

dengan yang akan diteliti oleh penulis.

1. Ni Nyoman Suartini. 2014. Kajian Bentuk Dan Fungsi Tari Sanghyang

Kungkang Di Desa Adat Pekraman Bebandem Karangasem. Skripsi Mahasiswa

S1. Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar.

Skripsi ini mengkaji tentang Tari Sanghyang Kungkang di Desa Adat Pekraman

Bebandem yang merupakan sebuah tarian yang disakralkan oleh masyarakat

setempat. Skirpsi ini bertujuan Untuk menjawab dan menjelaskan bagaimana

bentuk dan fungsi tari Sanghyang Kungkang ini bagi kehidupan masyarakat di

Desa Adat Pekraman Bebandem dipergunakan metode kualitatif dan dianalisis

dengan mempergunakan teori Estetika, dan teori Fungsional. Skripsi ini

mengkaji bentuk dan fungsi sama dengan penulis, namun penulis mengkaji

bentuk dan fungsi tari pada ritual muncangi sedangkan penelitian ini ialah pada

tari Sanghyang Kungkang. Oleh karena itu skripsi ini dapat menambah referensi

terkait dengan bentuk dan fungsi tari dalam suatu upacara ritual.

2. Ramlah Gustini Harahap, 2013. “Landek dalam Upacara Perumah Begu pada

masyarakat Karo di Desa Pernantin Kecamatan Juhar Kabupaten Karo”. Skripsi

Mahasissa S1 Prodi Pendidikan Tari Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas

Negeri Medan.

Penelitian Ini merupakan kajian mengenai bentuk penyajian landek pada upacara

Perumah Begu, di Kabupaten Karo khususnya desa Pernantin. Landek Perumah


18

Begu, merupakan bentuk kebudayaan yang hingga saat ini menjadi tradisi yang

masih tetap tumbuh dan berkembang, walaupun intensitasnya tidak seperti

zaman dahulu. Dalam pembahasan penelitian ini digunakan teori-teori yang

berhubungan dengan topik penelitian seperti pengertian upacara, pengertian

landek, pengertian Perumah Begu, pengertian keberadaan, pengertian bentuk

penyajian, dan pengertian fungsi. Skripsi ini mengkaji tentang landek dalam

upacara perumah begu dimana landek dalam bahasa Indonesia dapat diartikan

sebagai tari sedangkan penulis mengkaji tentang tari yang terdapat pada ritual

muncang. Skripsi ini berkontribusi memberikan referensi mengenai bagaimana

mengkaji bentuk penyajian dan fungsi tari yang bersifat ritual pada masyarakat

Karo.

3. Elieser Barus. 2013. “Fungsi dan Penggunaan Gendang Lima Sedalanen Pada

Upacara Muncang di Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-

biru Kabupaten Deli Serdang”. Skripsi Mahasiswa S1 Etnomusikologi. Fakultas

Ilmu Budaya. Universitas Sumatera Utara

Muncang adalah upacara penghormatan dan pemujaan roh roh leluhur penjaga

kampung yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit, menolak bala, dan

mengusir roh-roh jahat. Dalam pelaksanaan upacara muncang musik yang

digunaka untuk mengiringi kegiatan upacara adalah Gendang Lima Sedalanen.

Gendang Lima Sedalanen adalah seperangkat (ensambel) musik Karo yang

terdiri dari sarune, Gendang singanaki, Gendang singindungi, Penganak hingga

Gung. Penggunaan musik Gendang Lima Sedalanen bertujuan untuk mengiringi

Guru Sibaso mencapai suatu keadaan trans. Dalam pelaksanaan upacara

Muncang musik sangat berperan penting, karena tanpa iringan musik Gendang
19

Lima Sedalanen upacara tidak dapat dilaksanakan. Penelitian terdahulu ini

mengkaji fungsi dan penggunaan gendang lima sedalanen pada upacara

muncang, sedangkan penulis mengkaji tarian dalam ritual muncang tersebut.

Kontribusi penelitian ini bagi penulis adalah menambah pengetahuan dan

pemahaman penulis serta memperoleh data yang telah akurat mengenai ritual

muncang.

4. Much. Alief Syahid Saputr. 2017. Perubahan Bentuk Dan Fungsi Tari Lembu

Sena Di Dusun Ngagrong Desa Ngagrong Kecamatan Ampel Kabupaten

Boyolali. Skripsi S1 Prodi Pendidikan Seni Tari Jurusan Seni Drama, Tari, Dan

Musik Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Tari Lembu Sena merupakan tari yang bersifat imitatif, dimana gerak dalam

tarian ini menirukan gerak hewan (sapi) tumbuh dan berkembang dikalangan

masyarakat Dusun Ngagrong Desa Ngagrong Kecamatan Ampel Kabupaten

Boyolali. Pada tahun 2011 pertunjukan Tari Lembu Sena memiliki fungsi

sebagai sarana upacara. Tahun 2017 pertunjukan Tari Lembu Sena mengalami

perubahan bentuk dan fungsi dari pertunjuakn Tari Lembu Sena yang digunakan

sebagai sarana upacara menjadi sarana ekonomi. Metode penelitian yang

digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang

dilakukan meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi. Skripsi ini

memberikan pemahaman bagi penulis mengenai cara mengupas bentuk

penyajian dan fungsi tari oleh karena penelitiannya mengkaji perubahan bentuk

dan fungsi tari lembu sena di dusun ngagrong, namun penulis mengkaji

mengenai bentuk penyajian dan fungsi tarian dalam ritual muncang


20

5. Risda Oktavia Barus. 2015. Landek Dalam Upacara Erdemu Bayu Kajian

Terhadap Bentuk Dalam Sistem Sosial Pada Masyarakat Karo. Skirpsi

Mahasiswa S1 Prodi Seni Tari. Jurusan Sendratasik. Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas Negeri Medan

Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan sistem kekerabatan pada

upacara Erdemu bayu pada masyarakat Karo, struktur upacara Erdemu bayu

pada masyarakat Karo, serta bentuk penyajian landek sesuai sistem kekerabatan

pada upacara Erdemu Bayu pada masyarakat Karo. Untuk menjawab tujuan

penelitian diatas digunakan teori yang berkaitan dengannya yaitu , mengenai

teori bentuk penyajian, teori sistem, teori struktur. Metode dalam penelitian ini

merupakan metode deskriptif kualitatif dan dengan tehnik pengumpulan data

melalui wawancara, observasi, dokumentasi, studi pustaka dan yang terakhir

adalah tehnik analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem

kekerabaran pada upacara erdemu bayu pada masyarakat Karo dikenal sebagai

sangkep geluh yang didalamnya terdapat rakut sitelu, tutur siwaluh, dan perkade-

kaden 11+1. Struktur upacara erdemu bayu pada masyarakat Karo dimulai

dengan Sebelum upacara, saat upacara dan setelah upacara. Landek dalam

upacara erdemu bayu terdapat pada saat upacar erdemu bayu. Bentuk penyajian

landek sesuai sistem kekerabatan pada masyarakat Karo yang dimulai dengan

landek sukut/senina, landek kalimbubu, dan landek anak beru. Seluruhnya

bersangkutan dengan sistem kemasyarakatan pada masyarakat Karo.

Karena skripsi ini mengkaji tentang landek dalam upacara erdemu bayu kajian

terhadap bentuk dalam sistem sosial pada masyarakat karo, sama dengan penulis

mengkaji tentang bentuk namun pada ritual muncang, sehingga skripsi ini
21

berkontribusi menambah pengetahuan penulis mengenai sistem kekerabatan

pada masyarakat Karo dan penyajian tari dalam suatu acara masyarakat Karo.

Dari berbagai penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas, jelas belum

adanya yang mengkaji Bentuk Penyajian dan Fungsi Tarian Dalam Ritual Muncang

Pada Masyarakat Karo di Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli

Serdang.

C. Kerangka Konseptual

Menurut Sugiono (2004:49) “kerangka konseptual merupakan panduan atas

hubungan antara variabel yang ditata dari berbagai teori yang telah dideskripsikan”.

Maka dari itu kerangka konseptual merupakan sebuah alur pemikiran terhadap

suatu hubugan antar konsep satu dengan kosep yang lainnya supaya dapat

memberikan gambaran dan pengarahan asumsi terkait variable-variabel yang akan

diteliti.

Kerangka konseptual tentunya dapat membantu penelitian untuk

merancang variabel permasalahan agar tergambar secara jelas dan terstruktur.

Sesuai dengan landasan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini

dimulai dari pengamatan terhadap Masyarakat Karo Desa Mbaruai Kecamatan

Sibiru-biru Kabupaten Deli serdang, kemudian mencari tahu apa yang dimaksud

dengan ritual muncang, memahami apa yang dimaksud dengan tari dan disesuaikan

dengan istilah tari dalam suku Karo yaitu landek, kemudiakn menjabarkan bentuk

penyajian tari yang terdapat dalam ritual tersebut berdasarkan teori Hermin

(1990:9) dimana terdapat unsur pembentuk sebuah tarian diantaranya gerak, musik

pengiring, tata rias dan busana, pola lantai, properti pendukung serta tempat

pertunjukan. Setelah mengetahui bentuk penyajian tari makan dirumuskan apa saja
22

fungsi tari yang terdapat dalam ritual muncang berdasarkan teori Jazuli yaitu fungsi

tari sebagai sarana upacara dan teori Sedyawati yaitu penjemputan roh-roh

pelindung untuk hadir di tempat pemujaan, memanggil roh-roh baik untuk mengusir

roh-roh jahat, peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan

ataupun kesigapan, pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu.

Sehingga penulis dapat mengetahui “Bentuk Penyajian dan Fungsi Tarian Dalam

Ritual Muncang Pada Masyarakat Karo Kecamatan Sibiru-Biru”. Berikut gambaran

pada peta konsep penelitian.


23

PETA KONSEP

Masyarakat Karo Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru


Kabupaten Deli serdang

Ritual Muncang
Efendi Ginting (Narasumber) “upacara sakral untuk menghormati roh-
roh leluhur dan meminta keselamatan serta perlindungan masyarakat
desa kepada roh leluhur melalui perantara Guru Sibaso yang
dilaksanakan oleh keturunan pendiri kampung sesuai dengan peradaban
tradisi kampung itu, dengan menghadirkan ssesajen sebagai syarat
upacara.

Tari
Suryadiningrat dalam Nurwani (2017: 24)
mengemukakan “tari adalah gerakan-gerakan dari
seluruhbagian tubuh manusia yang disusun selaras
dengan irama musik, serta mempunyai maksud
tertentu.

Bentuk Penyajian Fungsi Tari

Menurut Hermin (1990:9) Penulis menggunakan teori Sedyawati yaitu:


Penyajian tari didukung “(1)Pemanggilan kekuatan Gaib, (2) penjemputan
dari beberapa unsur: roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan
(3) memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-
1. Gerak roh jahat (4) peringatan pada nenek moyang
2. Pola Lantai dengan menirukan kegagahan ataupun kesigapan
3. Rias (5) pelengkap upacara sehubungan dengan saat-
4. Busana saat tertentu dan perputaran waktu.”
5. Iringan
6. Propertu
7. tempat pementasan.

BENTUK PENYAJIAN DAN FUNGSI TARIAN


DALAM RITUAL MUNCANG PADA
MASYARAKAT KARO KECAMATAN SIBIRU-
BIRU KABUPATEN DELI SERDANG
26

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Menurut Sugiyono dalam bukunya metode penelitian edisi ke tiga (2017:9)

bahwa “metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan

untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah

eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, tehnik pengumpulan

data dilakukan secara trianggulasi/ (gabungan observasi, wawancara dan

dokumentasi), analisis data bersifat induktif.”. Martono (2010:17) mengemukakan

bahwa Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang memiliki tujuan untuk

menarasikan bentuk dan karakter pada objek serta kelompok atau fenomena yang

ada pada masyarakat tersebut. Metode deskriptif kualitatif ini penulis gunakan

untuk mengkaji dan menarasikan tentang bentuk penyajian dan fungsi tarian dalam

ritual muncang pada masyarakat Karo di Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru

Kabupaten Deli Serdang.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Dusun III Desa Mbaruai Kecamatan

Sibiru-Biru Kabupaten Deli Serdang. Alasan penulis memilih lokasi tersebut

karena ritual ini sudah jarang ditemukan pada masyarakat Karo, sejauh ini hanya

lokasi penelitian yang dipilih lah yang masih bisa dijumpai beberapa narasumber

terkait ritual muncang tersebut. Selain itu juga, pada saat melakukan observasi dan

mata kuliah revitalisasi dan rekonstruksi tari dengan kawan-kawan, penulis

menemukan permasalahan di desa tersebut yang menjadikan pentingnya dilakukan

penelitian mengenai ritual Muncang yang ada di sana, sebagaimana hasil

wawancara dengan bapak Efendi Ginting selaku seniman sekaligus narasumber

mengatakan bahwa kurangnya perhatian baik dari dalam maupun dari luar daerah
27

terkait kesenian yang ada di desa mereka, masyarakat juga kurang mengekspos

kesenian mereka yang mengakibatkan generasi-generasi kurang menegtahui

kesenian milik daerahnya sendiri sehingga menurut penulis penting dilakukan

penelitian di desa Mbaruai tersebut.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan dimulai pada bulan

Mei sampai dengan bulan Juli 2023.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Mbaruai Kecamatan

Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang yang terlibat dalam ritual muncang dan yang

menjadi sampel yaitu masyarakat desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten

Deli Serdang berjumlah 15 orang yang merupakan tokoh adat, pemusik, Guru

Sibaso, penari dan orang-orang yang terlibat dalam ritual muncang tersebut.

Menurut Kriyantono (2009:163) yang menjadi sampel pada penelitian ini ialah

informan atau subjek riset, yaitu orang-orang yang diminta atau ditunjuk untuk

menjadi narasumber pada saat observasi untuk mencari segala informasi sesuai

dengan tujuan dari pada penelitian ini.

D. Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data merupakan kegiatan penggunaan metode yang

telah ditentukan Ada beberapa metode pengumpulan data yang biasanya dilakukan

oleh peneliti. Penulis dapat menggunakan beberapa langkah atau teknik yang

dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Adapun langkah

atau teknik yang dilakukan sebagai berikut. :

1. Studi pustaka

Studi kepustakaan adalah kegiatan dalam mengumpulkan data atau infomasi

mengenai teori-teori dan hasil penelitian mengenai permasalahan dan tujuan

penelitian yang relevan dengan kegiatan penelitian yang dilakukan peneliti.


28

Beberapa sumber terkait informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh dari buku-

buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, internet, ensiklopedia dan lain sebagainya.

2. Studi lapangan

a. Observasi

Menurut Riyanto (2010:96) “pengamatan yang dilakukan secara langsung

dan tidak langsung merupakan suatu metode atau langkah yang disebut sebagai

observasi”. Melalui observasi langsung, penulis memperoleh informasi yang akan

didokumentasikan dalam bentuk catatan, foto dan video yang dapat menunjang

hasil data yang akurat mengenai ritual muncang yang ada di Desa Mbaruai

Kecamatan Sibiru-Biru Kabupaten Deli Serdang.

b. Wawancara

Wawancara adalah salah satu metode pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara berkomunikasi, melakukan kontak atau hubungan pribadi antara

peneliti (pewawancara) dengan narasumber tersebut. Sebelum melakukan

wawancara peneliti malakukan persiapan berupa daftar pertanyaan yang akan

diajukan terhadap narasumber, namun pertanyaan tidak diajukan secara terurut,

pewawancara mengikuti alur pembicaraan tetapi tetap menjaga topik yang sesuai

dengan pembahasan dan kemudian mencatat informasi yang didapatkan dengan

cara menulis, merekam suara ataupun berupa video dengan menggunakan alat

berupa handphone.

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan media atau alat pembantu yang dapat mendukung

wawancara dan pengumpulan data untuk merekam dan menangkap fenomena

atau peristiwa pada kegiatan yang sedang berlangsung berupa foto, video serta
29

audio visual menggunakan alat berupa handphone. Dengan adanya dokumentasi

sebagai bukti konkrit untuk mendukung proses penganalisisan dan penyusunan

kedalam penyusunan laporan agar lebih akurat.

E. Teknik Analisis Data

Data merupakan bahan penting yang digunakan oleh peneliti untuk menjawab

pertanyaan atau menguji hipotesis dan mencapai tujuan penelitian. Menruut Miles

and Huberman (1984) dalam Sugiyono (2017:133) mengemukakan bahwa

“aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung

secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh”. Penelitian ini

menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif yang tersusun melalui studi

pustaka, observasi, wawancara serta dokumentasi. Setelah melakukan

pengumpulan data dengan menggunakan teknik analisis kualitatif yang sesuai

dengan target dan tujuan penelitian, kemudian data data tersebut dideskripsikan

kembali dalam bentuk tulisan ilmiah.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian

1. Letak Geografis

Suku Karo pada umumya terdapat di daerah dataran tinggi salah satu

kabupaten yang ada di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Karo dan sering disebut

Karo Gunung, selain itu suku Karo juga dapat ditemui di daerah dataran rendah

sering disebut Karo Jahe, diantaranya Langkat, Binjai dan Kabupaten Deli

Serdang (sumber: Budaya dan Kepariwisataan Sumatera Utara. 2021. Medan:

Unimed Press). Kabupaten Deli Serdang terdiri dari 22 Kecamatan, salah satunya

Kecamatan Sibiru-biru yang terdiri dari 17 Desa yaitu: Aji Baho, Biru-biru, Candi

Rejo, Kuala Dekah, Kutomulyo, Mardinding Julu, Mbaruai, Namo Suro Baru,

Namo Tualang, Panen, Peria-Ria, Rumah Great, Sarilaba Jahe, Selamat, Sidodadi,

Sidomulyo, Tanjung Sena. Masyarakat yang mendiami desa-desa tersebut terdiri

dari beragam suku, salah satu diantaranya adalah suku Karo.

Wilayah penelitian dalam tulisan ini tepatnya berada di Desa Mbaruai

Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang. Sebelah Utara desa Mbaruai

berbatasan dengan Namo Tualang dan Namo Suro Baru, sebelah Selatan berbatasan

dengan Kuto Mulyo dan Tanjung Sena, sebelah Timur berbatasan dengan Namo

Suro Baru dan Kec. Sinembah Tanjung Muda Hilir dan sebelah Barat berbatasan

dengan Namo Tualang dan Kutomulyo, dengan luas wilayah 435 Ha. Desa Mbaruai

sendiri terdiri atas empat dusun yaitu dusun I Kepala Gajah, dusun II Mbaruai,

dusun III Namorindang dan dusun IV Suka Rakyat. (Sumber: Data Kependudukan

Desa Mbaruai. 2021)

30
31

Gambar 4.1
Peta Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru KabupatenDeli Serdang.
(Sumber: Data Kependudukan Desa Mbaruai)

2. Keadaan Demografi di Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten

Deli Serdang

Data demografi ini berguna untuk menganalisis sosial di Desa Mbaruai

Kecamatan Sibiru biru Kabupaten Deliserdang. Kondisi permukiman penduduk

yang ada di desa Mbaruai ini cukup padat. Hal ini dapat dilihat dari data

kependudukan yang dimiliki pemerintah desa bahwa jumlah penduduk desa

mencakup 1707 jiwa per thn 2023, dengan jumlah laki-laki berkisar 848 jiwa dan

perempuan sebanyak 859 jiwa. Dimana luas wilayah desa Mbaruai seluas 435 Ha,

yang terbagi ke dalam wilayah pemukiman, persawahan, perkebunan dan

perkantoran.

a) Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakatnya desa Mbaruai sebagian besar adalah petani

dan buruh tani. Artinya petani adalah telah memiliki lahan sendiri untuk diolah dan

memperoleh hasil sendiri, sedangkan buruh tani bekerja di lahan orang lain dan

menerima upah atas pekerjaannya itu. Hasil pertanian masyarakatnya antara lain;
32

padi, coklat, sawit, karet, jagung, ubi kayu, kelapa, dan lain sebagainya. Jenis

tanaman yang banyak di tanam di Desa Mbarua adalah padi dan coklat. Hal ini

dapat dilihat dari banyaknya lahan pertanian masyarakat yang ditanamai dengan

tanaman padi dan coklat kemudian di jual ke luar daerah desa Mbaruai

Selain dari pertanian masyarakat Desa Mbaruai ada juga yang bekerja sebagi

Pegawai Negeri Sipil yang terdiri dari guru, TNI/POLRI, dan pegawai swasta yang

bekerja di kantor. Serta ada juga masyarakat yang bekerja sebagai wiraswasta yang

meliputi pedagang, bengkel, dorsmer, depot, peternakan dan lain-lain.

b) Sistem Kekerabatan

Dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo, hubungan antar anggota

keluarga sangat dihormati dan dijaga dengan baik, karena memiliki peran penting

dalam struktur sosial dan kehidupan masyarakat mereka. Suku Karo menggunakan

sistem patrilineal yang artinya menarik garis keturunan dari pihak ayah. Terdapat

sistem kekerabatan pada masyarakat Karo yang disebut dengan Merga Silima,

Rakut Si Telu, Tutur Si Waluh, dan Perkade-kaden sepuluh sada tambah sada.

Merga Silima, yang artinya terdapat lima kelompok merga (marga) pada

masyarakat Karo, hal ini juga biasa disebut dengan Klan (nama keluarga). Marga

atau dalam bahasa Karo disebut Merga ditujukan untuk laki—laki sedangkan Beru

ditujukan untuk perempuan. Merga dan Beru ini disandang dibelakang nama

seseorang. Berikut adalah Merga beserta sub-merga masyarakat Karo:


33

Tabel.4.1 Merga dan Sub Merga suku Karo

No Nama Merga Sub Merga


Karo sekali, Barus, Bukit, Guru Singa, Kaban,
1 Sinukaban, Jung, Kacaribu, Kemit, Purba, Samura,
Karo-karo
Ketaren, Sinuhaji, Sinulingga, Sinuraya, Surbakti,
Sinabulan, Sitepu.
Ajartambun, Babo, Beres, Capah, Garamata,
2 Ginting Garapatih, Jadibata, Jawak, Manik, Pase, Saragih,
Sugihen, Sinusinga, Suka, Munte.
Bondong, Gana-gana, Gemeng, Sibero, Jampang,
3 Tarigan
Pekan, Silangit, Tambak, Tegor, Tua, Girsang.
Kembaren, Sinulaki, Keloko, Sinupayung, Tekang,
Colia, Brahmana, Bunuhaji, Busok, Depari,
4 Sembiring
Gurukinayan, Keling, Pandia, Pandebayang, Pelawi,
Kapour, Muham, Meliala.
Bangun, Banjerag (Sigunderang), Kacinambun,
Keliat, Sukatendel, Laksa, Bnagun, Mano, Pinem,
5 Perangin-angin
Singarimbun, Uwir, Tanjung, Ulun Jandi, Sinurat,
Namohaji, Pencawan, Tumangger, Sebayang.
Sumber: Tim Penyusun buku Budaya dan Kepariwisataan Sumatera Utara.2021.
Medan: Fbs Unimed Press.
Selain Merga Silima, Tutur Siwaluh merupakan bagian penting dalam suku

Karo. Dimana Tutur artinya kedudukan dalam adat, dan Siwaluh yaitu kedelapan.

Dalam hal ini dapat disimpulkan Tutur Siwaluh merupakan delapan kedudukan

dalam adat bagi masyarakat suku Karo. Delapan kedudukan tersebut adalah:

Sembuyak, Senina, Kalimbubu, Puang Kalimbubu, Puang nipuang, Anak Beru,

Anak Beru Menteri, Anak Beru Singukuri .

Dari delapan kedudukan tersebut dikelompokkan lagi menjadi tiga kelompok

yang disebut Rakut Sitelu, yaitu Sukut, Anak Beru dan Kalimbubu. Sukut bagi

masyarakat Karo adalah sebutan bagi orang yang punya hajatan atau yang sedang

mengadakan pesta yang terdiri dari senina dan dan sembuyak (orang yang memiliki

merga dan sub merga yang sama). Anak beru adalah pihak yang mengambil
34

perempuan dari keluarga tertentu untuk dijadikan istri dan kalimbubu adalah pihak

pemberi istri, seperti mama (paman) dan saudara laki-laki dari pihak istri.

Dari Merga silima, tutur siwaluh dan rakut sitelu kemudian terbentuk

perkade-kaden sepuluh sada tambah sada (hubungan persaudaraan sebelas

ditambah satu) yaitu Sembuyak, Senina, Senina Sipemeren, Senina Siparibanen,

Senina Sipengalon/ Sendalanen, Kalimbubu, Puang Kalimbubu, Puang Ni Puang,

Anak Beru, Anak Beru Minteri, Anak Beru Singukuri, dan Teman Meriah (kenalan

atau orang lain di luar kekeluargaan).

Kedudukan yang paling tinggi jabatannya dalam sistem kekerbatan di

masyarakat Karo atau yang paling dihormati adalah Kalimbubu, keberadaan

kalimbubu memberikan nasihat atau saran-saran dalam suatu musyawarah

keluarga menjadi masukan yang harus dihormati. Posisi anak beru memiliki tugas

yang paling berat dalam setiap kegiatan, anak beru menjadi orang-orang yang akan

mengurusi semua keperluan dalam setiap kegiatan. Sedangkan Sukut sebagai orang

yang memiliki hajatan dan harus menghormati Kalimbubu nya dalam kegiatan yang

diadakan, serta harus berkomunikasi dengan pihak anak beru, karena anak beru lah

yang akan mengurusi hajatan yang mereka laksanakan. Inilah yang disebut dengan

Rakut Si Telu yang sangat berperan penting dalam upacara adat bagi masyarakat

Karo, jika dalam sebuah upacara adat salah satu dari Rakut Sitelu belum hadir maka

acara adat tersebut tidak dapat dimulai.

c) Sistem Religi

Pada awalnya sistem kepercayaan masyarakat Karo adalah Pemena yang

artinya pertama/mula-mula. Kepercayaan pemena ini berkomunikasi dengan cara

meyembah roh-roh orang yang telah mati. Mereka meyakini ada roh/penghuni pada
35

beberapa tempat yang mereka anggap keramat seperti gunung, danau, sungai,

pohon-pohon besar, pohon pisang, dan tempat-tempat lainnya yang dianggap

keramat/ suci. Dalam kepercayaan ini banyak melibatkan seorang dukun (Guru

Sibaso) seperti hal yang menyangkut dengan ritual. Guru Sibaso menjadi perantara

terjadinya komunikasi antara orang yang masih hidup dengan roh orang yang telah

mati. Terdapat beberapa upacara ritual yang dilaksanakan masyarakat Karo secara

umum dan bersifat mistis (gaib) sesuai dengan kepercayaan jaman dahulu,

diantaranya:

1) Perumah Begu yaitu upacara pemanggilan arwah seseorang yang sudah

meninggal melalui Guru Sibaso (dukun) dengan tujuan menghormati roh, upaya

balas jasa, pemersatu terhadap keluarga yang ditinggalkan bila terjadi

perselisihan, dan mengetahui apa yang diharapkan orang yang telah meninggal

terhadap keluarga yang masih hidup.

2) Releng Tendi adalah ritual untuk memanggil kembali roh (tendi) orang yang

masih hidup. Roh nya keluar dari tubuhnya karena peristiwa tertentu yang

terjadi tiba-tiba seperti hanyut, jatuh, kecelakaan, karena pendengaran,

penglihatan dan lain sebagianya.

3) Erpangir Ku Lau adalah upacara yang dilakukan dengan cara mandi untuk

membersihkan diri seseorang atau keluarga secara keseluruhan, menghilangkan

kesulitan, malapetaka, dan lainnya.

4) Muncang adalah upacara ritual untuk penghormatan kepada roh leluhur dengan

memebersihkan tempat bersemayamnya roh-roh dan memohon perlindungan

menolak bala dan mengusir segala pengganggu dari roh jahat agar terhindar dari

mara bahaya.
36

5) Njujungi Beras Piher adalah suatu upacara selamatan dan doa agar orang

tersebut dapat diberikan keteguhan iman, berkat, dan lain-lain.

(Sumber:https://www.academia.edu/33738566/Kepercayaan-

_Masyarakat_Karo)

Seiring berkembangnya ajarang agama, aliran kepercayaan pemena ini mulai

ditinggalkan secara perlahan-lahan, hal ini dilihat dari banyaknya bangunan gereja

dan mesjid di daerah Karo tempat ibadah bagi pemeluk agama Islam dan Kristen

sebagi bentuk peralihan kepercayaan masyarakat nya. Menurut bapak Efendi

Ginting selaku kepala Desa Mbaruai Kecamat an Sibiru-biru Kabupaten Deli

Serdang ada tiga agama yang berkembang di Desa Mbaruai, yaitu: Kristen

Protestan sebanyak 30% dari keseluruhan jumlah masyarakat, Kristen Khatolik

30% dan Islam sebanyak 40%.

3. Struktur Ritual Muncang di dusun III Namorindang Desa Mbaruai

Kecamat an Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang

a. Tahap Persiapan

 Tempat dan waktu

Menurut penyampaian bapak Efendi Ginting selaku kepada desa Mbaruai,

beliau salah satu orang yang mengusulkan ritual ini dilaksanakan dengan

mepertimbangkan beberapa alasan yaitu supaya mempersatukan dan

meningkatkan kekompakan masyarakat yang sudah tidak kompak lagi karena

pada dasarnya masyarakatnya telah memiliki kepercayaan masing-masing,

namun budaya muncang tersebut masih melekat dalam hati masyarakatnya

hingga saat ini meskipun pemeluk agama pemena hampir tidak ditemukan di desa

tersebut, dan berharap dengan diadakannya ritual muncang ini juga dapat

menyelesaikan beberapa permasalahan yang ada.

Ritual Muncang dilaksankan setelah adanya musyawarah yang dilaksanakan


37

Simenteki Kuta (para keturunan pendiri kampung) dalam hal ini menjadi sukut

(pihak pelaksana pesta) dengan kalimbubu, anak beru serta beberapa masyarakat

pengurus desa Mbaruai. Pihak-pihak tersebut musyawarah mengenai waktu

pelaksanaan ritual berdasarkan hari-hari baik menurut masyarakat Karo dan

berkisar dua hari satu malam dimulai pagi sampai dengan sore hari keesokan

harinya. Untuk tempat pelaksanannya di Balai desa Mbaruai Kecamatan Sibiru biru

Kabupaten Deli Serdang. Selain itu juga membahas mengenai dana, pemusik

(penggual), dukun (guru sibaso) dan sesajen yang akan dipersiapkan.

 Cibal- cibalen (Sesajen)


Untuk melangsungkan ritual muncang ada beberapa macam sesajen yang

harus dipersiapkan untuk roh leluhur. Pada saat ritual berlangsung roh leluhur yang

masuk akan meminta makanannya yang ia inginkan melalui mediator. Berikut

cabal-cibalen (sesajen) yang dipersiapkan untuk roh-roh leluhur.

Table 4.2 Jenis-jenis Sesajen

No Nama Sesajen Gambar

Sangkep Manuk Megara yaitu ayam


yang bulunya berwarna merah
diperuntukkan kepada roh-roh leluhur
1
yang memiliki jabatan sebagai panglima
semasa hidupnya.

Gambar 4.2 Manuk Megara.


(Sumber: Google.com)

Sangkep Manuk Megersing yaitu ayam


yang bulunya berwarna kuning yang
2 diperuntukkan Kepada roh-roh leluhur
yang memiliki jabatan sebagai orang tua

Gambar 4.3 Manuk Megersing.


(Sumber: Google.com)
38

Sangkep Manuk Mentar yaitu ayam yang


bulunya berwarna putih dan
diperuntukkan kepada roh leluhur yang
3
dulunya meninggal semasa masih bayi
atau berkisar berusia 4 tahun, roh
tersebut dinamakan Bicara Guru.
Gambar 4.4 Manuk Mentar.
(Sumber: Google.com)

Sangkep manuk (ayam yang sudah di


masak). Ketiga jenis ayam kampung
4 tersebut digulai dengan santan dan
merica dengan dipotong-potong terlebih
dahulu kemudian disusun secara utuh
pada sebuah piring.
Gambar 4.5 Sangkep Manuk.
(sumber: google.com)

Buah-buahan seperti apel, Anggur,


jeruk, pisang satu sisir yang
5 diperuntukkan untuk roh leluhur yang
disebut Nini Petir.

Gambar 4.6 Buah-buahan.


(Dok: Arnita:2023)
Cimpa buka siang yaitu beras yang
ditumbuk halus, kemudian diberi garam,
merica, kelapa parut dan gula merah.
Bahan-bahan tersebut ditumbuk dan
6
dihaluskan bersama kemudian di kukus
dengan dibungkus daun singkut atau
daun pisang.
Gambar 4.7 Cimpa Buka Siang
(Dok: Arnita:2023)

Cimpa Unung-unung yaitu beras ketan


yang ditumbuk halus dicampur dengan
santan kelapa dibungkus namun
7
ditengah-tengahnya diberi campuran
gula merah dan kelapa parut.

Gambar 4.8 Cimpa Unung-


unung
Sumber: (google.com)
39

Cimpa matah yaitu beras ketan, kelapa


parut, dan gula merah ditumbuk jadi
8
satu. Dan disediakan di atas piring.

Gambar 4.9 Cimpa Matah


(Dok: Arnita:2023)

Cimpa tuang yaitu adonan dari beras


9 ketan, sagu, telur, kelapa parut dan gula
merah kemudian digoreng di atas panci
yang sudah diolesi minyak

Gambar 4.10 Cimpa Tuang


(Sumber: google.com)

Mumbang (Kelapa muda) ditujukan


untuk roh karena roh suka dengan air
10
yang sejuk dan segar.

Gambar 4.11Mumbang
(Dok: Arnita:2023)

Bulung Simalem-malem terdiri dari


beberapa jenis daun yang disukai mahluk
halus yaitu bulung kalinjuang, bulung
11
sampe tuah, bulung simas, bulung
simangkok-mangkok.

Gambar 4.12 Bulung Simalem-


malem
(Dok: Arnita:2023)
40

 Alat-alat Perlengkapan

Tabel 4.3 Alat-alat Perlengkapan Ritual Muncang

No Jenis Perlengkapan Gambar

Beras Pengiang-ngiangi (beras penjaga)


terdiri dari beras, satu butir telur ayam
kampung, gambir, sirih, pinang, kapur
1
sirih, tembakau, gula aren, pisau belati
dimasukkan ke dalam sumpit mentar
yaitu sebuah wadah yang terbuat dari
anyaman daun pandan. Gambar 4.13 Beras Pengiang-
ngiangi
(Dok: Arnita:2023)

Sirih Persentabian berisi sirih dan


2
pelengkapnya untuk memulai
persembahan ritual

Gambar 4.14 Sirih


Persentabin
(Dok: Arnita:2023)

3 Pedang yaitu perlengkapan alat perang


leluhur sebagai tanda kebesarannya
Gambar 4.17 Pedang
(sumber: google.com)

Langkatan berupa tempat meletakkan


sesajen yang terbuat dari bambu dan
4 dihiasi sebaik mungkin. Terdapat dua
leangkaten yang pertama diletakkan
disudut balai desa dan yang kedua
diletakkan di mabar. Gambar 4.18 Lengkaten
Sumber:Youtube Culture Of
Karo
41

Dua buah rudang mayang tanduk (Bunga


pinang yang belum mekar) yang
5 digunakan untuk membaca tanda-tanda
selama proses ritual.

Gambar 4.19 Rudang mayang


tanduk
(Dok: Arnita:2023)

Lau Panguras (air untuk pembersihan


diri) yang terbuat dari campuran air
6
perasan jeruk purut, minyak kelapa
dengan kunyit, bawang putih, kencur,
lada yang ditumbuk
Gambar 4.20 Lau Panguras
(Dok: Arnita:2023)

Kemenyan untuk membantu


7
mengundang roh dan mengubah aura
menjadi lebih mistis selama proses ritual

Gambar 4.21 Kemenyan


(Sumber: google.com)

 Guru sibaso

Salah satu unsur dalam ritual muncang adalah menggunakan roh-roh yang

tidak dapat dilihat oleh orang awam sehingga diperlukan adanya Guru Sibaso

sebagai mediator yang dapat memediasi antara roh leluhur dengan masyarakat.

Adapun yang bertugas mencari guru sibaso/ dukun adalah pihak anak beru.

Guru Sibaso adalah orang-orang tertentu yang dipercaya memiliki roh

pelindung dan memiliki kemampuan berbicara dengan roh halus. Guru Sibaso

memiliki kemampuan dalam melihat, menampakkan, dan memperjelas apa yang


42

menjadi tujuan, karena dia dapat berkomunikasi dengan roh. Pada dasarnya terdapat

tiga orang yang bertugas sebgai mediator, agar tidak adanya rekayasa di dalamnya

dan mempunyai tanggung jawab masing-masing, diantaranya satu guru kepala

dengan tanggung jawab mengendalikan semua perjalanan upacara apakah ada

gangguan atau serangan dari luar, satu guru yang berfungsi ke dalam, artinya dia

yang berkomunikasi dengan roh-roh leluhur agar roh tersebut dapat memasuki

keluarga pendiri kampung (Simenteki Kuta) dan menanyakan mengapa dia tidak

mau masuk? adakah hal yang kurang atau sebagainya? dan satu guru pendamping

yang melihat apakah roh yang masuk benar atau tidak dari roh para pendiri

kampung tersebut.

Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam upacara ritual

Muncang peran Guru Sibaso sangatlah penting karena berfungsi sebagai mediator

sebab kemampuannya untuk mengetahui roh-roh yang akan dimediasi, Guru Sibaso

juga berfungsi untuk menghalau apabila ada roh-roh jahat yang mengganggu saat

upacara berlangsung.

b. Tahap Pelaksanaan

 Tahap Awal

Tahap awal pelaksanaan ritual muncang yang terdapat di desa Mbaruai dusun

III Namorindang yaitu dimulai dari melaksanakan ziarah atau membersihkan

lokasi-lokasi yang akan digunakan dalam upacara yaitu makan Debata Porling

(pendiri kampung yang semasa hidupnya sebagai panglima melawan penjajah

Belanda) dan Mabar yaitu sebuah pohon besar yang dipercayai sebagai tempat

bersemayamnya tembun-tembunan kuta. Tembun-tembunan kuta adalah struktur


43

pada roh-roh leluhur, seperti sebuah truktur dalam kerajaan terdapat pemimpin,

penasehat, panglima dan lain sebagainya.

Sebelum berangkat, sukut terlebih dahulu melakukan pembersihan diri

mencuci kaki, tangan, kepala menggunakan air panguras dengan tujuan

menyucikan tubuh dan mengharap agar upacara ritual dapat berjalan dengan lancar.

Setelah tiba di mabar dan makan debata porling, sukut melakukan pembersihan

lokasi dan diikuti para masyarakat. Kemudian lokasi tersebut dibuatkan sebuah

tempat untuk meletakkan sesajen yang disebut langkaten, tidak lupa dihias dengan

daun janur kuning. Jika sudah, maka proses pembersihan lokasi upacara ritual

selesai.

Kemudian pada malam harinya acara berlanjut yaitu proses pembuatan

cimpa, orang-orang yang membuat cimpa adalah gadis-gadis desa yang belum

menikah, masih suci bahkan tidak diizinkan apabila dia sedang dalam keadaan haid,

memiliki orang tua yang lengkap (tidak yatim piatu), dan harus membersihkan diri

terlebih dahulu menggunakan air panguras. Para penumbuk cimpa menggunakan

kain putih dan tudung putih sebagai tanda kesucian.

Gambar 4.22
Anak-anak gadis yang sedang menumbuk Cimpa
(Sumber Yutube: Culture Of Karo)
44

 Tahap Inti

Keesokan harinya acara dilanjut lagi dimana sukut dan guru sibaso terlebih

dahulu membersihkan diri dengan air panguras. Kemudian guru sibaso, sukut,

kalimbubu, anak beru, pemusik dan warga yang sudah berkumpul di jambur

berbaris sesuai posisinya, seperti yang terdapat dibawah ini:

Gambar 4.23 Posisi Barisan Rombongan Menuju Mabar

Guru Sibaso Kalimbubu Pemusik

Sukut Anak Beru warga

Pemusik mulai memainkan gendang siarak-araki untuk mengarak orang -

orang yang terlibat menuju mabar. Orang-orang yang diarak berjalan sembari

menari-nari yang mengikuti ketukan/tempo musik dengan melakukan endek (gerak

menekuk lutut secara bergantian), gerakan menyembah, gerakan jole/jemole (kedua

tangan di depan bahu dengan telapak menghadap ke depan) gerakan-gerakan tari

dasar Karo yang terus menerus diulang meskipun telah sampai di mabar. Kegiatan

tersebut menggunakan sirih sebagai media persembahan yang diletakkan ditengah

kedua telapak tangan sambil melakukan penghormatan kepada roh leluhur.


45

Gambar 4.24
Proses rombongan dari Jambur menuju Mabar sambil membawa
sirih untuk persembahan.
(Sumber Yutube: Culture Of Karo)

Gambar 4.25
Pemusik menuju mabar sambil memainkan alat musik.
(Sumber Yutube: Culture Of Karo)
Sesampainya di mabar gendang berubah menjadi gendang singindungi,

seluruh orang yang terlibat mengelilingi mabar sambil menari-nari mengikuti

musik, tidak lupa pembakaran kemenyan untuk menambah aura mistis di dalamnya

dan mempermudah roh masuk ke tubuh Guru Sibaso dan sukut. Disini juga para

keturunan pendiri kampung menyampaikan doa dan harapannya. Setelah itu

dilanjut gendang siadang-adangi, pangelimbei hingga pselukken yang terus

berlanjut dan semakin lama tempo musik semakin meningkat yang membuat guru

sibaso dan sukut kerasukan roh.


46

Gambar 4.26
Guru Sibaso dan Sukut mengeliligi mabar sambilmemercikkan lau
panguras, beras dan mengasapi dengan asap kemenyan.
(Sumber Yutube: Culture Of Karo)
Acara terus berlanjut mengelilingi mabar sambil melakukan gerakan tari-

tarian khas Karo baik laki-laki maupun perempuan. Masyarakat meyakini dengan

melakukan tarian mengikuti tempo musik dapat memusatkan perhatian mereka

sehingga lebih mudah kemasukan roh.

Gambar 4.27
Para Sukut dan seluruh yang terlibat dalam ritualmenari mengelilingi
Mabar.
(Sumber Yutube: Lesna Kembaren)
Karena telah ada yang kerasukan selanjutnya rombongan kembali ke jambur

dalam keadaan tetap menari nari yang mengikuti ketukan musik untuk melakukan

perumah begu yaitu melakukan komunikasi antara roh yang dipanggil dengan

keluarga yang ditinggalkan melalui perantara guru sibaso. Roh-roh leluhur ini
47

dipanggil untuk dapat membantu dan memberi solusi kepada masyarakat mengenai

hal-hal yang mengganjal di desa tersebut.

Perumah begu dimulai oleh guru sibaso yang melakukan komunikasi dengan

roh supaya berkenan masuk ke tubuh guru sibaso atau sukut. Berdasarkan

keterangan bapak Efendi Ginting selaku pemangku adat di desa Mbaruai, ada

bebrapa roh yang berpengaruh terhadap masyarakat suku Karo dan hadir sesuai

dengan tujuan pelaksanaan ritual tersebut yaitu:

 Nini petir yang ditandai dengan sesajen yang diminta berupa buah-buahan, Nini

Petir dipercaya mampu mengatur cuaca sehingga masyarakat memohon cuaca

yang baik untuk pertanian masyarakat

 Situa-tua adalah orangtua yang dahulunya dituakan dan dihormati semasa

hidupnya, dari roh ini masyarakat meminta nasehat dan petunjuk dalam menjani

kehidupan bermasyarakat di desa tersebut, roh ini meminta sesajen berupa

sangkep manuk megersing

 Debata Porling merupakan roh yang semasa hidupnya adalah seorang panglima

yang sakti dan berjuang untuk desa melawan penjajah Belanda. Kehadirannya

ditandai dengan roh yang masuk meminta pedang dan ikat kepala berwarna

merah sebagai tanda kebesarannya kemudian melakukan gerak-gerak silat

dengan menggunakan pedang yang menjadi ciri khas nya bahwa dahulu dia

merupakan panglima yang sakti. Jenis sesajen yang ia minta adalah sangkep

manuk Megara. Beberapa sukut juga mengalami trance dari tokoh-tokoh

prajurit Debata Porling tersebut. Masyarakat akan meminta bantuan dan

pengobatan untuk mengobati berbagai macam penyakit dan memberikan pasu-

pasu (memberkati) balita yang dibawa orang tuanya kepada Dibata Porling.
48

Setelah tidak ada lagi masyarakat yang meminta, ia dan para prajuritnya pun

keluar dari tubuh mediator. Setelah rangkaian selesai dan roh debata porling

keluar maka kegiatan diberhentikan sejenak untuk istirahat, kemudian dilanjut

lagi dengan mengundang roh Si Jogal sekalian penutupan acara.

 Si Jogal merupakan sebutan terhadap roh penjaga kampung. Kehadirannya

ditandai dengan meminta pakaian kebesarannya juga yaitu jubah dan sorban

berwarna merah. Kemudian meminta bunga rudang mayang tanduk untuk

membaca permasalahan apa saja yang ada di desa tersebut, bunga dibawa

sambil menari-nari dan kemudian diberikan kepada penggual (pemusik)

sebagai tanda penghormatan.

Gambar 4.29
Guru Sibaso menyampaikan kepada masyarakat hal-hal yangterjadi
di desa tersebut dan memberikan solusi atas permasalahan-
permasalahan yang ada.
(Sumber Youtube: Cultur Of Karo)
Selanjutnya Si Jogal meminta pedang, lalu menari dengan gerakan silat

secara terus menerus hingga keluar dari balai desa dan mulai mengelilingi dan

memagari kampung dengan mengenakan jubah merah pakaian kebesaran dan

pedang Si Jogal dengan tujuan mengusir roh-roh jahat.


49

Gambar 4.30
Guru Sibaso yang dimasuki roh Si Jogal mengelilingi dan memagari
kampung untuk mengusir roh jahat.
(Sumber Youtube: Cultur Of Karo)
 Tahap Akhir

Setalah selesai mengelilingi kampung, Guru sibaso kembali ke jambur (balai

desa) dengan melemparkan telor ke tanah tanda bahwa guru sibaso sudah

membersihkan desa. Kemudian si begu jogal meninggalkan tubuh sang mediator.

Terakhir Guru Sibaso membuka jubah kebesaran Si Jogal sambil menari- nari dan

musik pun berhenti pertanda ritual telah selesai.

Gambar 4.31
Guru Sibaso melemparkan telor ayam ke tahan tanda Guru sibaso
telah memagari kampung.
(Sumber Youtube: Cultur Of Karo)
50

Gambar 4.32
Guru Sibaso membuka jubah kebesaran Sijogal tandaupacara telah
selesai dilaksanakan musik pun berhenti.
(Sumber Youtube : Culture Of Karo)
Setelah upacara ritual muncang selesai dilaksanakan maka selanjunya adalah

pemberian pukulen (upah). Pukulen diberikan kepada guru sibaso (mediator) dan

panggual (tim pemusik). Pukulen berupa sumpit putih yang berisi beras, sirih

beserta pelengkapnya, telur ayam kampung, sejumlah uang perjanjian, dan kain

putih. Makna dari pemberian pukulen bermaksud untuk mendoakan supaya sehat-

sehat dan sebagai simbol rasa keikhlasan karena telah bersedia memberikan waktu

dan tenaganya untuk ritual muncang tersebut.

B. Pembahasan

1. Bentuk Penyajian Tari dalam Ritual Muncang di dusun III Namorindang

desa Mbaruai Kecamatan Sibiru biru Kabupaten Deliserdang

Dalam membahas bentuk penyajian mengacu pada pendapat Hermin,

sebagaimana dijelaskan unsur penyajian tari ialah seperti gerak, irigan tari, pola

lantai, tata rias dan busana, properti dan tempat pementasan. Berikut penulis akan

mendeskripsikan unsur-unsur tersebut.


51

a) Gerak
Gerak tari dalam ritual muncang ini sangat sederhana yang tidak terpola dan

tidak begitu banyak mengandung arti. Karena tari ini hanya tarian upacara yang

bersifat pemujaan terhadap roh-roh gaib. Ada tiga hal yang umum terjadi pada tari

Karo yaitu endek (gerakan kaki naik turun), jole/jemole (gerak ayunan badan), tan

lempir (gerak tangan ditekuk di depan dada kedua telapak tangan menghadap ke

depan).

Dasar-dasar ragam gerak tersebut selalu hadir dalam ritual muncang karena

telah menjadi suatu kebiasaan bagi masyarakat Karo dan sudah umum dalam setiap

kegiatan acara, baik acara kelahiran, pernikahan hingga kematian yang melibatkan

tari-tarian di dalamnya. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan secara berulang-ulang

dan tidak beraturan mengikuti ketukan musik yang berulang-ulang juga sehingga

kemonotonan tersebutlah yang mengantarkan guru sibaso menuju alam bawah

sadarnya. Namun tidak menutup kemungkinan gerakannya juga berubah-ubah

sesuai kehendak jiwa Guru Sibaso dan para sukut untuk mencapai titik trance (di

luar alam sadar).


52

Table 4.4. Ragam Gerak Tari Dalam Ritual Muncang

No Gerak Keterangan Gambar

Kedua tangan tan lempir


(telapak tangan membuka
menghadap ke luar didepan
dada), sambil berjalan
Erdalan ersikap melakukan endek (gerakan
1 kaki naik-turun) mengikuti
landek
tempo musik

Gerak kedua telapak


tangan disatukan di depan
Persentabian
2 wajah dengan badan
sedikit membungkuk
53

Gerakan tangan kiri ke


samping pinggang sambil
memegang properti lau
panguras, kemudian
tangan kanan membuka
ke samping kanan dengan
3. Mari-mari
telapak tangan
menghadap ke bawah,
kaki kanan dan kiri
menapak bergantian agak
sedikit ditekuk sambil
menghenjut ke depan dan
ke belakang.

Gerakan kedua tangan


berayun-ayun sambil
4. Odak-odak berjalan
54

Kedua tangan diangkat ke


atas supaya mempercepat
masuknya roh, kemudian
Murjah-urjah kedua kaki diangkat
5. muatken erseluk secara bergantian dengan
tempo yang cepat.

Seluruh anggota tubuh


digerakkan oleh roh yang
6 Erseluk telah masuk ke tubuh
Guru sibaso dengan
diikuti tempo yang cepat
55

Guru Sibaso membuka


kostum/ jubah si jogal
7. Nalangi Uis
pertanda bahwa roh
telah pergi dan ritual
selesai dilaksanakan.

b) Musik

Musik adalah salah satu unsur pokok yang tidak bisa dipisahkan dalam setiap

acara bagi masyarakat Karo, baik saat acara penikahan, acara kematian, acara adat

untuk anak-anak, remaja dan dewasa, hingga acara ritual keagaman. Seperti pada

ritual Muncang, musik merupakan salah satu unsur pokok karena keberadaan

iringan musik sangat mendukung keberlangsungan rangkain acaraa ritual.

Musik karo yang digunakan dalam ritual muncang adalah Gendang Lima

Sedalanen yang artinya lima buah instrumen musik Karo yang dimainka secara

bersama sama. Seperangkat alat musik tersebut terdiri dari; Sarune, Gendang

Singanaki, Gendang Singindungi, Gung dan Penganak. Sebutan-sebutan bagi

mereka yang memainkan alat musik tersebut juga berbeda-beda, seperti Penarune

untuk orang yang memainkan alat musik Sarune, Penggual Singindungi untuk yang

memainkan Gendang Singindungi, Penggual Singanaki untuk yang memainkan

Gendang Singanaki, Simalu Penganak untuk orang yang memainkan Penganak,

dan Simalu Gung untuk orang yang memainkan Gung.


56

Gambar 4.34 Instrumen Musik Gendang Lima Sedalanen


(Sumber: https://budaya-indonesia.org)

Dalam proses pelaksanaan ritual muncang¸ reportoar yang digunakan untuk

mengiringi kegiatan upacara adalah reportoar Gendang Guru. Gendang Guru

adalah sebuah kesatuan dari beberapa komposisi gendang yaitu Gendang Siarak-

araki Guru, Gendang Siadang-adangi, Gendang Pengelimbei, Gendang Sabung

Tukuk dan Gendang Peselukken. Kelima jenis gendang tersebut saling

berhubungan, dimainkan secara berurutan dan semakin lama temponya semakin

cepat. Berikut ini adalah lampiran transkripsi bentuk dasar dari reportoar Gendang

Guru.
57

(Sumber: Elieser Barus, 2013)


1. Gendang Siarak-araki Guru. Ritual muncang ini memiliki 5 jenis gendang

yang selalu mengiringi tari-tarian dan saling sambung-menyambung sepanjang

acara berlangsung. Yang pertama gendang siarak-araki untuk mengawali acara

yang berfungsi untuk mengarak seluruh rombongan menuju mabar. Pada

rangkaian ini terdapat tarian berupa gerak-gerak erdalan ersikap landek dan

persentabian.

MM:

(Sumber: Elieser Barus, 2013)


2. Gendang Siadang-Adangi ketika sudah sampai di mabar selanjutnya

mengelilingi mabar sambil menari-nari sebagai media penghormatan dan

persembahan kepada roh leluhur dengan harapan acara dapat berjalan dengan

lancar tanpa ada penghalang sedikitpun. Bentuk-bentuk gerak dapat dilihat

seperti erdalan ersikap landek, persentabian, mari-mari dan odak-odak.

58
59

MM: 85

(Sumber: Elieser Barus: 2013)

3. Disambung Gendang Pangalimbei untuk memancing dan memohon kehadiran

roh ditengah-tengah upacara dan bersedia masuk ke tubuh si baso maupun

sukun. Gendang Pengelimbei untuk memancing kehadiran roh ditengah-tengah

masyarakat. Perpindahan komposisi ini diikuti oleh Guru Sibaso yang menari-

nari seperti gerak mari-mari, odak-odak hingga murjah-urjah muatken erseluk,

sesuai dengan irama musik komposisi tersebut. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa komposisi Gendang Pengelimbei adalah bagian dari reportoar Gendang

Guru yang mengantarkan Guru Sibaso dalam suatu suasana.

MM: 114

(Sumber: Elieser Barus, 2013)

4. Gendang Sabung Tukuk merupakan kelanjutan dari gendang pangelimbai,

perpindahan komposisi ini ditandai dengan keadaan Guru Sibaso menari-nari

yang mengikuti ketukan musik, seperti odak-odak, murjah-urjah muatken

erseluk
60

hingga erseluk yang semakin lama semakin cepat hingga roh masuk ke tubuh

mediator.

MM: 140

(Sumber : Elieser Barus, 2013)

5. Gendang Peselukken adalah komposisi puncak dan klimaks dari reportoar

Gendang Guru. Perpindahan komposisi Gendang Sabung Tukuk ke komposisi

gendang Pselukken dapat dilihat dari perubahan tempo yang semakin cepat.

Pada komposisi ini, Guru Sibaso telah mengalami trance (keadaan diluar

kesadaran dirinya). Hal itu dapat dilihat dari gerakan-gerakan tubuh dan

berbicara yang tidak lazim dilakukan oleh orang dalam keadaan kesadaran

normal. Guru Sibaso melakukan gerakan-gerakan tubuh seperti gerakan tarian,

gerakan menyembah, gerakan silat, gerakan seperti binatang dan lain

MM:

sebagainya.

(Sumber: Elieser Barus, 2013)


61

Pada Gendang Pselukken dimana Guru sibaso dan sukut telah kesurupan sehingga

masyarakat atau keturunan-keturunan roh pendiri kampung dapat berkomunikasi

dengan roh/alam gaib baik untuk memohon perlindungan, keselamatan,

penyelesaian mengenai permasalahan yang terjadi di desa tersebut.

Untuk mendapatkan nilai sakral dari ritual muncang dibutuhkan keberadaan

musik sebagai pengiring yaitu gendang lima sedalanen. Masyarakat Karo percaya

bahwa dengan bantuan adanya iringan musik dapat membuat manusia

mengosongkan fikirannya sehingga mudah tersugesti. Maka dari itu dapat diperoleh

kesakralan dalam ritual tersebut. Dalam setiap komposisi gendang yang telah

dijebarkan sebelumnya selalu disertai dengan tarian yang mengikuti jenis iramanya.

Bagi masyarakat Karo hal ini biasa disebut dengan uga gendangna bage endekna

yang artinya bagaimana musiknyabegitu tarinya.

c) Pola lantai

Dilihat dari pola lantai tari pada ritual Muncang ini tergolong sederhana,

dikarenakan ritual ini bersifat sakral. Pola lantai yang ada pada ritual ini adalah

lingkaran, membentuk garis lurus, dan pola bebas akibat alunan musik yang terus

mengalir dan semakin lama semakin cepat membuat keadaan si baso dan sukut

dalam keadaan tidak sadarkan diri dan dikendalikan oleh roh yang masuk.

Gambar 4.35

 Pola Membentuk Garis Lurus

Guru Sibaso Pemusik


Kalimbubu
Sukut Anak Beru warga yang tak terhingga
62

Pola membentuk garis lurus dalam ritual Muncang


(Dokumentasi, Arnita: Mei 2023)

Gambar 4.36
 Pola Melingkar Warga Warga

Anak Guru
Beru Sibaso

Kalimbubu Sukut

Pola Melingkar dalam ritual Muncang.


(Dokumentasi, Arnita: Mei 2023)
63

d) Tata rias dan busana

Kegiatan ritual muncang ini tidak menggunakan riasan apapun dikarenakan

ritual yang dilaksanakan benar-benar sakral artinya yang diutamakan adalah

ketulusan sembah kepada roh-roh yang dituju. Disamping itu busana yang dipakai

oleh penari bertujuan untuk mendukung dan membantu si penari mendekatkan diri

dengan peran yang diinginkan, juga untuk meningkatkan keserasian dan memberi

kontras pada komponen-komponen dari gerak. Untuk busana yang dikenakan

Guru Sibaso dapat dilihat pada gambar bagian (a) yaitu abit (kain sarung), baju

kebaya, kain putih diikat di pinggang dan kepala. Namun ketika hendak memagari

kampung Guru Sibaso memakai jubah berwarna merah dan kain berwarna merah

yang diikat dikepala. Tidak jauh berbeda guru sibaso, para simentek kuta memakai

baju kaos sehari-hari, abit (kain sarung) dan tudung dari kain berwarna putih.

Table 4.5 Busana dalam ritual muncang

No Busana Gambar

Busana Guru Sibaso yaitu abit


1 (kain sarung), baju sehari-hari,
kain putih diikat di pinggang
dan dikepala

Gambar 4.15 Kostum Guru


Sibaso
(Sumber: Youtube Cultur Of
Karo)
64

Busana simantek kuta berupa


2 abit (kain sarung), baju kaos
biasa dan tudung dari kain
putih

Gambar 4.15
Kostum SimantekKuta
(Sumber: Youtube Cultur Of
Karo)

Ketika roh si jogal masuk ke


tubuh guru sibaso, maka guru
3
sibaso akan mengenakan jubah
merah yaitu baju kebesaran roh
si jogal.

Gambar 4.15 Jubah Merah si jogal


(Sumber: Youtube Cultur Of
Karo)

e) Properti

Tabel 4.6 Properti dalam ritual muncang

No Jenis Properti Gambar

Beras Pengiang-
ngiangi selain diletakkan di
1 samping Guru sibaso juga
digunakan ketika Guru
sibaso hendak menutup
kegiatan dengan
melemparkantelor ke tanah
Gambar 4.13 Beras Pengiang-
ngiangi
(Dokumentasi, Arnita:2023)
65

Sirih Persentabian berisi sirih


2
dan pelengkapnya untuk
memulai persembahan ritual

Gambar 4.14 Sirih Persentabin


(Dokumentasi: Arnita:2023)
Pedang yaitu perlengkapan
alat perang leluhur sebagai
tanda kebesarannya,
3
digunakan ketika mengelilingi
dan membersihkan kampung
pedang dimainkan sambil Gambar 4.17 Pedang
menarikan ndikar. (sumber: google.com)
Dua buah rudang mayang
tanduk (Bunga pinang yang
belum mekar) yang
4 digunakan untuk membaca
tanda-tanda selama proses
ritual.
Gambar 4.19 Rudang mayang tanduk
(Dok: Arnita:2023)

Lau Panguras (air untuk


pembersihan diri) yang
terbuat dari campuran air
5
perasan jeruk purut, minyak
kelapa dengan kunyit, bawang
putih, kencur, lada yang
ditumbuk
Gambar 4.20 Lau Panguras
(Dok: Arnita:2023)

Kemenyan untuk membantu


mengundang roh dan
6 mengubah aura menjadi lebih
mistis selama proses ritual
digunakan ketika menuju
mabar
Gambar 4.21 Kemenyan
(Sumber: google.com)
66

Selain sebagai kostum, kain


putih juga digunakan sebagai
7
properti yang dimainkan oleh
guru sibaso ketika menari-
nari.
Gambar 4.16 Kain putih
(Dok: Arnita:2023)

f) Tempat
Tempat pelaksanaan ritual yang melibatkan masyarakat ramai biasanya

dilaksanakan di jambur/balai desa karena upacara ritual ini juga berhubungan

dengan masyarakat penduduknya. Seluruh rangkaian acara dilakukan di jambur

(balai desa), namun pada saat acara Ndahi Tembun-Tembunen (penjemputan roh

leluhur) dilaksanakan di mabar.

Gambar 4.39 Jambur/ Balai Desa Mbaruai


(Dok, Arnita Ardillah: 2023)

Gambar 4.40 Mabar (tempat bersemayamnya roh-roh leluhur).


(Sumber Yutube: Lesna Kembaren)
67

2. Fungsi Tari dalam Ritual Muncang di dusun III Namorindang Desa

Mbaruai Kecamatan Sibiru biru Kabupaten Deliserdang

Berdasarkan teori Fungsi tari menurut Jazuli yaitu sebagai sarana upacara.

Tari-tarian yang terdapat dalam upacara ritual muncang ini adalah sebagai sarana

atau pendukung upacara agar komunikasi terhadap roh-roh nenek moyang dapat

berjalan dengan lancar yang dilakukan oleh Guru Sibaso. Selanjutnya akan

dibahas lebihdalam menurut teori Edy Sedyawati yaitu:

1) Fungsi sebagai pemanggilan kekuatan Gaib. Keberadaan tari dalam ritual

upacara muncang ini pada dasarnya adalah untuk memanggil kekuatan gaib atau

roh-roh leluhur yang dianggap baik melalui perantara Guru Sibaso. Guru

Sibaso dan seluruh orang yang terdapat di lokasi upacara mengenakan kostum

khusus sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu yang diyakini bisa

membuka pintu alam gaib, melalui gerakan tarian juga masyarakat Mbaruai

percaya bahwa roh nenek moyang mereka dapat hadir sehingga masyarakat

keturunan kampung dapat berkomunikasi dengan roh-roh pelindung, untuk

memohon perlindungan,keberkahan ataupun panduan hidup dari mereka.

2) Fungsi sebagai penjemputan roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan.

Terkait dengan materi, terjadi proses penjemputan roh-roh dari tempat yang

dianggap sakral oleh masyarakat Desa Mbaruai dengan melakukan gerak-

gerakan tarian yang disertai alunan musik dan sesajen untuk memanggil

kekuatan gaib. Penggunaan tarian sebagai sarana untuk memanggil atau

menjemput roh pelindung dari tempat bersemayamnya roh ke tempat kegiatan

ritual untuk mendukung tercapainya tujuan pelaksanaan upacara ritual.

3) Fungsi sebagai pemanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat. Tari dapat

digunakan sebagai sarana untuk memanggil atau mengundang kehadiran roh-

roh baik yang dianggap melindungi, memberikan berkat, atau memberikan


68

bantuan dalam suatu upacara/pemujaan. Di sisi lain, dalam konteks ini tarian

juga berfungsi untuk mengusir roh-roh jahat dan dianggap negatif/merugikan

dengan tujuan untuk membersihkan Desa Mbaruai dari pengaruh roh-roh jahat.

Adanya properti sesajen dan pembakaran kemenyan bertujuan sebagai sarana

untuk memperkuat hubungan antara dunia manusia dengan dunia alam gaib. Di

samping itu, tari-tarian yang berujung penari trans menjadi bukti bahwa lewat

tarian roh bersedia masuk ke tubuh si baso maupun sukut, untuk hadir ditengah-

tengah upacara sehingga masyarakat dapat berkomunikasi dengan roh yang

masuk.

4) Fungsi sebagai peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan

ataupun kesigapan. Terkait dengan materi dalam pelaksanaan upacara ritual

muncang, tari juga berfungsi untuk memperingati leluhur, penghargaan

terhadap jasa-jasa nenek moyang dalam sejarah, hal ini juga membantu menjaga

ingatan dan menghormati warisan budaya Karo tersebut, yaitu dengan

menirukan kegagahannya seperti mengenakan jubah dan pedang sebagai tanda

kebesarannya sambil menarikan Ndikkar dengan gagah dan berani. Melalui gerakan

tari yang dimainkan dengan penuh semangat dan kepercayaan, masyarakat

memperlihatkan penghargaan mereka kepada nenek moyang dengan cara menirukan

kegagahan ataupun kesigapan leluhur semasa hiudpnya. Hal ini juga menjadi cara

untuk mempertahankan sejarah dan identitas suatu kelompok sosial. Tarian ini

mengungkapkan rasa hormat, kesetiaan, dan doa dari para penari kepada roh-roh

pendiri kampung.

5) Fungsi sebagai pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dan

perputaran waktu. Tari sering digunakan sebagai pelengkap dalam berbagai

upacara dan perayaan yang terkait dengan saat-saat tertentu dan perputaran

waktu. Seperti halnya pada peristiwa upacara ritual muncang, ritual diadakan

karena pada saat-saat tertentu terjadinya gagal panen dalam waktu yang

berkepanjangan akibat kemarau panjang. Tari berfungsi sebagai sarana untuk


69

meminta pertolongan kepada roh-roh yang diyakini mampu menyelesaikan

masalah-masalah masyarakat desa seperti terjadinya gagal panen, kemarau yang

berkepanjangan, yang mencerminkan ketergantungan manuusia dengan siklus

alam. Dalam ritual muncang masyarakat Mbaruai meyakini roh ninir petir

mampu mengatur cuaca sehingga masyarakat memohon cuaca yang baik untuk

pertanian masyarakat, kedatangan roh nini petir ditandai dengan sesajen yang

diminta ketika merasuki sang mediator yaitu berupa buah-buahan.


70

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa ritual

muncang adalah upacara penghormatan dan pemujaan roh-roh nenek moyang

pada masyarakat Karo yang dipercayai dapat menyembuhkan dari penyakit,

menolak bala dan mengusir roh-roh yang mengganggu di desa tesebut melalui

perantara Guru Sibaso. Sebelum melakukan upacara ritual muncang ada beberapa

hal yang harus diperhatikan seperti persiapan Cibal- cibalen (sesajen), alat-alat

perlengkapan, menghadirkan Guru Sibaso hingga tahap pelaksanaan. Unsur tari-

tarian dapat dilihat dari seluruh rangkian ritual muncang, mulai dari awal menuju

mabar hingga kembali ke jambur.

Bentuk penyajian tari dalam ritual muncang di Desa Mbaruai Kecamatan

Sibiru-biru Kabupaten Deliserdang memiliki beberapa ragam gerak yaitu Erdalan

Ersikap Landek, Persentabian, Mari-mari, Odak-odak, Murjah-urjah Muatken

Erseluk, Erseluk, hingga Nalangi Uis. Musik yang digunakan adalah Gendang

Lima Sendalanen yang terdiri dari instrument Sarune, Gendang Singanaki,

Gendang Singindungi, Gung dan Penganak. Komposisi gendang yang digunakan

adalah Gendang Siarak-araki, Gendang Siadang-adangi, Gendang Pengelimbei,

Gendang Sabung Tukuk dan Gendang Pselukken. Pola lantai terdiri dari pola

horizontal dan pola melingkar. Busana Guru Sibaso yaitu Abit (kain sarung), baju

sehari-hari, kain putih diikat di kepala dan pinggang serta jubah merah si jogal,

untuk Simantek Kuta mengenakan Abit (kain sarung), baju sehari-hari dan tudung

dari kain putih. Properti terdiri dari Beras Pengiang-Ngiangi, Sirih Persentabian,

Pedang, Lengkaten, Rudang Mayang Tanduk, Lau Panguras, Kemenyan dan Kain

Putih

.
71

Tari-tarian yang terdapat dalam upacara ritual muncang ini memiliki fungsi

sebagai sarana atau pendukung upacara agar komunikasi terhadap roh- roh nenek

moyang dapat berjalan dengan lancar yang dilakukan oleh Guru Sibaso.

Kemudian selanjutnya dibahas lebih dalam yaitu: sebagai sarana pemanggilan

kekuatan gaib, penjemputan roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan,

memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, peringatan pada nenek

moyang dengan menirukan kegagahan ataupun kesigapannya dan pelengkap

upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu.

B. Saran

1. Dengan adanya penelitian ini dilakukan, diharapkan masyarakat khususnya

masyarakat Karo lebih mengetahui kebudayaan-kebudayaan tradisional yang

telah ada sejak zaman nenek moyang dulu, melalui penelitian ini juga

diharapkan dapat mengetahui bentuk penyajian dan fungsi tari dalam ritual

muncang yang telah dibuat oleh leluhurnya sehingga lebih menghargai

perjuangan leluhur dalam melawan penjajah Belanda dan meningkatkan rasa

cinta terhadap sesama,

2. Agar upacara yang melibatkan sistem kekerabatan pada masyarakat ini tidak

punah atau termakan oleh jaman, alangkah baiknya jika upacara muncang ini

tetap dilaksanakan dan dilestarikan namun dialih fungsikan menjadi lebih

condong kearah hiburan, Sehingga eksistensi upacara muncang tetap berlanjut

dan membuat masyarakat luas lebih meliriknya, karena beberapa alasan

salahsatunya masyarakat Karo sudah tidak begitu banyak yang meyakini kepercayaan

pemena tersebut.

3. Kepada pemerintah daerah agar lebih memperhatikan dan mengikut sertakan

lembaga kesenian daerah dalam kepengurusan budaya di desa. Sehingga

budaya yang ada dapat dijalankan sebagaimana mestinya.


72

DAFTAR PUSTAKA
Adlin, Dilinar dkk. 2017. Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual Struktur Landek
Dalam Pembelajaran Teknik Tari Karo. Jurnal BAHAS. Vol 28 No 4.
Medan:Uviversitas Negeri Medan

Barus, Elieser. 2013. Fungsi dan Penggunaan Gendang Lima Sandalanen Pada
Upacara Muncang di Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan
Biru biru Kabupaen Deli Serdang. Fakultas Ilmu Budaya Departemen
Etnomusikologi. Universitas Sumatera Utara.

Barus, Risda Oktavia. 2015. Landek Dalam Upacara Erdemu Bayu Kajian
Terhadap Bentuk Dalam Sistem Sosial Pada Masyarakat Karo. Skirpsi S1
Prodi Seni Tari. Jurusan Sendratasik. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Medan

Bujur Sitepu (1978:13) dalam Hilderia (1991:29) Arsitektur Tradisional Batak


nn Karo. Jakarta: proyek pembinaan media kebudayaan Dikjen
kebudayaan, Depdikbud.

Dewi Salindri, Sri Ana. 2022. Hidupnya Ritual Undhuh-Undhuh Jemaat Gereja
Kristen Jawi Wetan Jember. Perumahan Jinggaland B-1 Mpanau, Sulawesi
Tengah: CV Feniks Muda Sejahtera

Harahap, Ramlah Gustini, 2013. “Landek dalam Upacara Perumah Begu pada
masyarakat Karo di Desa Pernantin Kecamatan Juhar Kabupaten Karo”.
Skripsi Mahasissa S1 Prodi Pendidikan Tari Fakultas Bahasa dan Seni.
Universitas Negeri Medan.

Hermin, Kusmayati. 1989. Makna Tari Dalam Uoacara di Indonesia. Pidato

Jazuli. 1994. Sosiologi Tari Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu

Manalu, Nadra Akbar. 2013. Gesture. No 1. Vol 2. Landek Dalam Upacara Adat
Ngampeken Tulan-Tulan Kajian Interaksi Simbolik Pada Masyarakat Karo
Di Desa Rumamis Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo. Medan:
Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Medan.

Martono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta:Rajawali Pers

Much.Alief. 2017. Perubahan Bentuk Dan Fungsi Tari Lembu Sena Di Dusun
Ngagrong Desa Ngagrong Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Skripsi.
UNNES

Ni Nyoman Suartini. 2014. Kajian Bentuk Dan Fungsi Tari Sanghyang Kungkang
Di Desa Adat Pekraman Bebandem Karangasem. Skripsi S1. Fakultas Seni
Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar.

Nurwani. 2017. Bahan Ajar Pengetahuan Seni Tari. Medan: Unimed Press
73

. . 2018. Solidarity And Art Form On Minangkabau Death Rituals.


International Seminar and Annual Meeting BKS-PTN Wilayah Barat
PRESS)

Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan


Soedarsono. 1972. Djawa dan Bali. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sugiyono.2017.Metode Penelitian Kualitatif.Bandung:Alfabeta

Sumatro. 2019. Budaya, Pemahaman dan Penerapannya.: “Aspek Sistem Religi ,


Bahasa, Pengetahuan, Sosial, Kesenian dan Teknologi”. Jurnal Literasi.
Curup : Institut Agama Islam Negeri Curup

Supranto, J. 2004. Proposal Penelitian dan Contoh. Jakarta:Universitas Indonesia

Tedi Sutardi. 2007. Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT


Setia Purna Inves

Sumber web:
https;://www.karokab.go.id
https://karosiadi.com
https://pmd.deliserdangkab.go.id
http://dprd-sumutprov.go.id
https://p2k.stekom.ac.id
74

GLOSARIUM

Abit : kain sarung

Air lau pangur : air suci

Amak mentar : tikar pandan putih

Anak beru menteri : anak beru dari anak beru

Anak beru singukuri : anak beru dari anak beru menteri

Anak beru : pihak yang mengambil perempuan untuk

diperistri

Beras pengiag-ngiangi : beras penjaga

Beru : ditujukan untuk perempuan

Bulung simalem-malem : daun yang disukai mahluk halus

Bunga rudang mayang : bunga pinang yang belum mekar

Cibal- cibalen : sesajen

Cimpa matah : makanan khas karo

Cimpa tuang : makanan khas karo

Cimpa unung-unung : makanan khas karo

Endek : keadaan lutut naik-turun

Erpangir ku lau : upacara yang dilakukan dengan cara mandi

untuk membersihkan diri

Gendang lima sendalanen : suatu ensambel musik tradisional karo

Gendang singanaki : alat music dari karo yang terbuat dari kayu dan

kulit binatang
75

Gendang singindungi : alat musik bermembran yang berbentuk double

konis dan sering disebut sebagai gendang

tunggal.

Gung : alat musik yang terbuat dari perunggu atau

logam dan berbentuk bundar pipih yang

dimainkan secara dipukul menggunakan alat

pemukul.

Guru sibaso : sebutan untuk orang yang memiliki kemampuan

berbicara dengan roh halus (dukun)

Jambur : balai desa

Kalimbubu : pihak pemberi istri

Kampil : wadah yang terbuat dari anyaman daun pandan

tempat sirih

Landek : istilah tari pada masyarakat karo

Lempir tan : telapak tangan kanan dan kiri menghadap ke

depan sejajar bahu

Lengkaten : tempat peletakan sesajen yang terbuat dari

bambu kemudian dihias dengan bunga rudang

Mabar : tempat yang disakralkan sebagai tempat

bersemayamnya roh-roh leluhur

Manuk megara : ayam yang berwarna merah

Manuk megersing : ayam yang berwarna kuning

Manuk mentar : ayam yang berwarna putih

Merga silima : lima kelompok marga pada masyarakat karo


76

Merga : ditujukan untuk laki-laki

Mumbang : (kelapa muda) ditujukan untuk roh karena roh

suka dengan air yang sejuk dan segar

Muncang : upacara tolak bala dengan cara memanggil

tembun-tembunan kuta (roh-roh nenek moyang

penjaga kampung)

Murjah-urjah :gerakan melompat dengan mengangkat kaki

secara bergantian yang berujung trance (kesurupan).

Ndikar : silat pada masyarakat karo

Njujungi beras piher : suatu upacara selamatan dan doa agar orang

tersebut dapat diberikan keteguhan iman, berkat.

Pemena : agama pertama bagi suku karo yaitu penganut

kepercayaan animism dan dinamisme

Penganak : orang yang memainkan alat musik berupa gong

Penggual : sebutan untuk pemain musik

Perkade-kaden sepuluh sada +1 : hubungan persaudaraan sebelas ditambah satu

Persentabian : penghormatan

Perumah begu : upacara pemanggilan arwah seseorang yang

sudah meninggal

Puang kalimbubu : sekelompok yang berasal dari kalimbubunya

puang kalimbubu

Rakut si telu : sistem kekerabatan yang mengatur posisi dalam

adat istiadat pada masyarakat karo yang terdiri

dari sukut, anak beru dan kalimbubu


77

Releng tendi : ritual untuk memanggil

kembali roh (tendi)orang

yang masih hidup

Sarune : alat musik tradisional karo

yang dimainkan dengan cara

di tiup dan menjadi melodi

dalamensambel.

Sembuyak : orang-orang yang satu marga

dengan kita dansatu cabang

dengan kita namun sudah

beda kampung.

Senina : hubungan kekerabatan

berdasarkan marga yangsama

Simenteki kuta : para keturunan pendiri kampung

Sukut : sebutan bagi orang yang punya hajatan

Sumpit mentar : anyaman dari daun pandan yang

dibentuk sepertiwadah tempat

sirih

Teman meriah : kenalan atau orang lain di luar


kekeluargaan

Tembun-tembunen kuta : roh-roh nenek moyang penjaga kampung

Tutur si waluh, : delapan kedudukan dalam adat bagi


masyarakat

suku karo
78
79
80
81
82
83
84
85
86

RIWAYAT HIDUP
Arnita Ardillah Harahap lahir di Desa Aek Badak jae,

Kecamatan Sayurmatinggi, Kabupaten Tapanuli Selatan,

Sumatera Utara, 20 Mei 2000. Anak keempat dari tiga

bersaudara. Ayah bernama Irsan Bakti Harahap, S.Pd dan Ibu

bernama Murni Dalimunthe, S.Pd. Penulis menempuh

jenjang pendidikan sekolah dasar di SDN 101114 Aek Badak Jae pada tahun 2007

dan lulus pada tahun 2013. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah

menengah pertama di MTS Alwashliyah Sihepeng dan lulus pada tahun 2016.

Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas Man 1 Padangsidimpuan

dan lulus pada tahun 2019. Penulis melanjutkan jenjang perguruan tinggi dan

menimba ilmu di Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan

Sebdratasik, Program Studi Seni Pertunjukan jenjang S-1 (Strata satu). Berkat

kerja keras dan doa serta bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat

menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada tahun 2023

dengan judul skripsi “Bentuk Penyajian dan Fungsi Tarian Dalam Ritual

Muncang Pada Masyarakat Karo Kecamatan Sibiru biru Kabupaten

Deliserdang”. Dan telah dipertanggungjawabkan di depan penguji pada Oktober

2023.
87

Anda mungkin juga menyukai