Anda di halaman 1dari 18

1

MAKALAH

POLA PERKEMBANGAN KURIKULUM

(Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Desain

Kurikulum )

Dosen pengampu : Ratna Purwati, M.Pd

Disusun oleh :
1. Gita Fitri [2022.3.10.1.00734]
2. Eva Fajriyah [2022.3.10.1.00727]
3. Rihad Nurul Iman [2022.3.10.1.00767]

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN GURU MADRASAH

IBTIDAIYAHUNIVERSITAS ISLAM (UI) BUNGA BANGSA

CIREBON
2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengembangan kurikulum dapat terjadi kapan saja sesuai dengan

kebutuhan. Salah satu kebutuhan yang harus diperhatikan dalam pengembangan

kurikulum adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

perilaku siswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menurut Sagala (20013:230) kurikulum tidak hanya sekedar mempelajari mata

pelajaran, tetapi lebih mengembangkan pikiran, menambah wawasan, serta

mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, kurikulum

diberi konotasi sebagai usaha sekolah untuk mempengaruhi siswa agar mereka

dapat belajar dengan baik di dalam kelas, di halaman sekolah, di luar lingkungan

sekolah atau semua kegiatan untuk mempengaruhi subjek belajar sehingga

menjadi pribadi yang diharapkan. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang

sifatnya berkesinambungan dan di desain sedemikian rupa sehingga tidak terjadi

jurang yang memisahkan antara jenjang pendidikan dasar dengan jenjang

pendidikan selanjutnya.

Dengan demikian, kurikulum itu sifatnya dinamis serta harus selalu

dilakukan perubahan dan pengembangan, agar dapat mengikuti perkembangan

dan tantangan zaman. Pengembangan kurikulum 2013 dapat menghasilkan insan

Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif dan efektif melalui penguatan sikap,

keterampilan, dan pengetahuan. Kurikulum 2013 memungkinkan para guru

menilai hasil belajar siswa dalam proses pencapaian sasaran belajar, yang
3

mencerminkan penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari

(Mulyasa, 2013:59). Kurikulum 2013 sudah dirancang untuk setiap mata

pelajaran, antara lain mata pelajaran bahasa Indonesia. Peran mata pelajaran

bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 sangat strategis sebagai penghela ilmu

pengetahuan. Hal ini karena mata pelajaran bahasa Indonesia difungsikan sebagai

media penerima dan media penyampai ilmu pengetahuan yang lain.

Salah satu faktor yang diperlukan oleh guru dalam pelaksanaan

pembelajaran bahasa Indonesia yaitu model pembelajaran. Dalam kegiatan belajar

mengajar dibutuhkan suatu model pembelajaran yang memenuhi, agar siswa tidak

merasa bosan dengan materi yang diajarkan oleh guru. Hal ini disebabkan oleh

salah satu perubahan mendasar dalam kurikulum 2013 yaitu model pembelajaran.

Salah satu model pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif dan dapat

dijadikan sebagai acuan pembelajaran dikelas pada kurikulum 2013 adalah model

project based learning (pembelajaran berbasis proyek).

Model pembelajaran berbasis proyek adalah sebuah model pembelajaran

menggunakan proyek (kegiatan) sebagai media dan inti pembelajaran (BPSDMPK

dan PMP tahun 2013). Rais (2010:4) mangatakan bahwa project based learning

(PBL) adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang

menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks seperti

memberi kebebasan pada siswa untuk bereksplorasi merencanakan aktivitas

belajar, melaksanakan proyek secara kolaboratif, dan pada akhirnya menghasilkan

suatu hasil produk. Dalam kegiatan ini, siswa melakukan ekplorasi, penilaian,

intepretasi, dan sintesis informasi untuk memperoleh berbagai hasil belajar


4

(pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Siswa melaksanakan sebuah aktivitas

mulai dari persiapan pelaksanaan proyek hingga melaporkannya, sedangkan guru

memonitor dan memantau perkembangan proyek kelompok-kelompok siswa dan

memberikan pertimbangan yang dibutuhkan. Setelah itu, guru memulai

pencapaian yang diperoleh siswa dari segi pengetahuan hingga keterampilan dan

sikap yang mengiringinya. Terakhir guru merefleksi semua kegiatan dalam

pembelajaran yang telah dilakukan agar dilain kesempatan pembelajaran dan

aktivitas penyelesaian proyek menjadi lebih baik lagi. Oleh sebab itu, manfaat

penerapan model pembelajaran berbasis proyek diarahkan untuk menjadikan

siswa aktif, kreatif, pembelajaran berpusat pada siswa, mengembangkan berpikir

tingkatan tinggi, memberikan kesempatan kepada siswa memanajemen sendiri

kegiatan penyelesaian tugas sehingga melatih mereka menjadi mandiri.

Begitu banyaknya manfaat yang dapat diraih melalui penerapan model

pembelajaran berbasis proyek, maka diharapkan pembelajaran yang dilaksanakan

di kelas harus diubah dari kecenderungan lama (satu arah) agar menjadi lebih

interaktif (multi arah). Melalui model pembelajaran ini, siswa juga diharapkan

menjadi aktif menyelidiki dengan menyajikan temuan nyata (bukan abstrak).

Namun, kenyataan saat ini, pembelajaran di sekolah-sekolah masih lebih

bertahan pada hasil belajar berupa pengetahuan semata. Itupun sangat dangkal

hanya sampai pada tingkat ingatan dan pemahaman dan belum banyak yang

menyentuh penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ini berarti, pembelajaran di

sekolah belum mengajak siswa untuk menerapkan, mengolah setiap unsur-unsur


5

Model–model pengembangan kurikulum memegang peranan penting dalam


kegiatan pengembangan kurikulum. Sungguh sangat naif bagi para pelaku pendidikan di
lapangan terutama guru, kepala sekolah, pengawas bahkan anggota komite sekolah jika
tidak memahami dengan baik keberadaan, kegunaan dan urgensi setiap model–model
pengembangan kurikulum.
Salah satu fungsi pendidikan dan kurikulum bagi masyarakat adalah menyiapkan
peserta didik untuk kehidupan di kemudian hari. Oleh karena itu ada beberapa ciri dasar
yang dapat disimpulkan atas penyelenggaraan kurikulum dan pendidikan yaitu sadar akan
tujuan, orientasi ke hari depan, dan sadar akan penyesuaian.
Pemahaman tentang kurikulum sendiri merupakan salah satu unsur kompetensi
paedagogik yang harus dimiliki seorang guru. Kompetensi paedagogik merupakan
kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran pada peserta didik yang salah satunya
kemampuan pengembangan kurikulum.
Pada tahun 2013 pemerintah menerapkan pemberlakuan tentang kurikulum baru,
yang berlaku sebagai pengganti kurikulum 2006 yaitu Kurukulum 2013. Kurikulum ini
merupakan inovasi dan penyempurnaan dari kurikulum KTSP tahun 2006 dalam bidang
kurikulum pendidikan di Indonesia, karena dengan adanya kurikulum 2013, siswa
menjadi lebih aktif dan menjadi fokus pembelajaran sedangkan guru hanya sebagai
fasilitator.
Dengan berkembangnnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat,
menuntut kemajuan masyarakat sebagai pelaku pendidikan juga berkembang, untuk itu
pemerintah melalui guru berusaha mewujudkan sumber daya manusia yang kompeten
sebagai produk hasil dari proses pendidikan. Maka dari itu perlu adanya pengembangan
kurikulum sebagai modal dasar agar pembelajaran dapat berjalan lancar dan dapat
mencapai tujuan yang diharapkan.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah
1. Apa pengertian model konsep kurikulum dan model pengembangan kurikulum?
2. Bagaimana model konsep kurikulum?
3. Bagaimana model pengembangan kurikulum?
C. Tujuan penulisan
Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai adalah
1. Agar mengetahui pengertian model konsep kurikulum dan model pengembangan
kurikulum
2. Agar mengetahui model konsep kurikulum dan model pengembangan kurikulum.
3. Agar mengetahui macam-macam model konsep kurikulum dan model pengembangan
kurikulum.
6

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Model Konsep Kurikulum dan Model Pengembangan Kurikulum


Model adalah konstruksi yang bersifat teoritis diri konsep. Kurikulum merupakan
seperangkat susunan rencana kegiatan pendidikan mengenai tujuan, pokok, isi, bahan,
metode, dan strategi pembelajaran sebagai acuan penyelenggaraan kegiatan proses
pembelajaran. Jadi, model konsep kurikulum merupakan dasar untuk pengembangan
kurikulum. atau dengan kata lain, pendekatan pengembangan kurikulum didasarkan atas
konsep-konsep kurikulum yang ada.
Pengembangan kurikulum tidak dapat jelas dari berbagai aspek yang
mempengaruhinya, seperti cara berpikir, sistem nilai (nilai moral, kegamaaan, politik,
budaya, dan sosial), proses pengembangan, kebutuhan peserta didik, kebutuhan
masyarakat maupun arah program pendidikan. Aspek-aspek tersebut akan menjadi bahan
yang perlu dipertimbangkan dalam suatu pengembangan kurikulum. Model
pengembangan kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur dalam rangka mendesain
(designing), menerapkan (implementation), dan mengevaluasi (evaluation) suatu
kurikulum. Oleh karena itu, model pengembangan kurikulum harus dapat
menggambarkan suatu proses sistem perencanaan pembelajaran yang memenuhi berbagai
kebutuhan dan standar keberhasilan dalam pendidikan.
Dalam praktik pengembangan kurikulum sering terjadi cenderung hanya
menekankan pada pemenuhan mata pelajaran. Artinya, isi atau materi yang harus
dipelajari peserta didik hanya berpusat pada disiplin ilmu yang terstruktur, sistematis, dan
logis, sehingga mengabaikan pengetahuan dan kemampuan aktual yang dibutuhkan
sejalan perkembangan masyarakat.
Agar dapat mengembangkan kurikulum secara baik, pengembangan kurikulum
semestinya memahami berbagai jenis model pengembangan kurikulum. Yang dimaksud
dengan model pengembangan kurikulum dalam tulisan ini yaitu langkah atau prosedur
sistematis dalam proses penyusunan suatu kurikulum. Dengan memahami esensi model
pengembangan kurikulum dan sejumlah alternatif model pengembangan, para
pengembang kurikulum diharapkan akan bisa bekerja secara lebih sistematis, sistemik
dan optimal. Sehingga harapan ideal terwujudnya suatu kurikulum yang akomodatif
dengan berbagai kepentingan, teori dan praktik, bisa diwujudkan.
B. Model Konsep Kurikulum
1. Kurikulum Subjek Akademis
Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik (perenialisme dan
esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu, semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan memelihara dan
mewariskan hasil-hasil budayamasa lalu tersebut. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi
pendidikan. Belajar adalah berusaha menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang
berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi
pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru.
Kurikulum subjek akademis tidak berarti hanya menekankan pada materi yamg
disampaikan, dalam perkembangannya secara berangsur memperhatiakan proses belajar
yang dilakukan siswa. Proses belajar yang dipilih sangat beruntung pada segi apa yang
dipentingkan dalam materi pelajaran tersebut.
Beberapa kegiatan belajar memungkinkan untuk mengadakan generalisasi, suatu
pengetahuan dapat digunakan dalam konteks lain, daripada sekedar yang dipelajarinya,
dapat merangsang ingatan apabila siswa diminta untuk menghubungkannya dengan
7

masalah lain. seorang siswa yang belajar fisika, umpamanya, harus melakukan kegiatan
belajar sebagaimana seorang ahli fisika melakukannya. Hal seperti itu akan
mempermudah proses belajar fisika bagi siswa.
Sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan dalam perkembangan kurikulum subjek
akademis.
a. Melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan. Murid-murid belajar bagaimana
memperoleh dan mengurai fakta-fakta dan bukan sekedar mengingat-ingatnya.
b. Studi yang bersifat integratif. Pendekatan ini merupakan respons terhadap perkembangan
masyarakat yang menuntut model-model pengetahuan yang lebih komprehensif-terpadu.
Pelajaran tersusun atas satuan-satuan pelajaran, dalam satuan-satuan pelajaran tersebut
batas-batas ilmu menjadi hilang. Pengorganisasian tema-tema pengajaran didasarkan atas
fenomena-fenomena alam, proses kerja ilmiah dan problema-problema yang ada. Mereka
mengembangkan suatu model kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum). Ada
beberapa ciri model kurikulum yang dikembangkan.
1) Menentukan tema-tema yang membentuk satu kesatuan (unifying theme).
2) Menyatukan kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu.
3) Menyatukan berbagai cara /metode belajar.
c. Pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah pada fundamentalis. Mereka tetap
mengajar berdasarkan mata-mata pelajaran dengan menekankan membaca, menulis, dan
memecahkan masalah-masalah matematis. Pelajaran-pelajaran lain seperti ilmu
kealaman, ilmu sosial, dan lain-lain dipelajari tanpa dihubungkan dengan kebutuhan
praktis pemecahan masalah dalam kehidupan.
a. Ciri-ciri kurikulum subjek akademis
Kurikulum subjek akademis mempunyai beberapa ciri berkenaan dengan tujuan,
metode, organisasi isi, dan evaluasi. Tujuan kurikulum subjek akademis adalah
pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan
proses “penelitian”. Dengan berpengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu, para siswa
diharapkan memilik konsep-konsep dan cara-cara yang dapat terus dikembangkan dalam
masyarakat yang lebih luas. Para siswa harus belajar menggunakan pemikiran dan dapat
mengontrol dorongan-dorongannya. Sekolah harus memberikan kesempatan kepada para
siswa untuk merealisasikan kemampuan mereka menguasai warisan budaya dan jika
mungkin memperkayanya.
Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum subjek akademis adalah
metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi
(dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai. Konsep utama disusun secara sistematis,
dengan ilustrasi yang jelas untuk selanjutnya dikaji. Dalam materi disiplin ilmu yang
diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian dirumuskan dan dicari cara
pemecahannya.
Melalui proses tersebut para siswa akan menemukan, bahwa kemampuan berpikir
dan mengamati digunakan dalam ilmu kealaman, logika digunakan dalam matematika,
bentuk dan perasaan digunakan dalam seni dan koherensi dalam sejarah. Mereka
mempelajari buku-buku standar untuk memperkaya pengetahuan, dan untuk memahami
budaya masa lalu dan mengeti keadaan masa kini.
Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subjek akademis.
Pola-pola organisasi yang terpenting di antaranya:
1) Correlated curriculum
2) Unified atau Concentrated curriculum
3) Integrated curriculum
4) Problem Solving curriculum
8

Tentang kegiatan evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan bentuk


evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam
bidang study humaniora lebih banyak digunakan bentuk uraian (essay test) daripada tes
objektif. Bidang studi tersebut membutuhkan jawaban yang merefleksikan logika,
koherensi, dan integrasi secara menyeluruh. Bidang studi seni yang sifatnya ekspresi
membutuhkan penilaian subjektif yang jujur, di samping standar keindahan dan cita rasa.
Lain halnya dengan matematika, nilai tertinggi diberikan bila siswa menguasai landasan
aksioma serta cara perhitungannya benar. Dalam ilmu kealaman penghargaan tertinggi
bukan hanya diberikan kepada jawaban yang benar tetapi juga pada proses berpikir yang
digunakan siswa.
Para ahli disiplin ilmu sering memiliki sifat ambivalen terhadap evaluasi, satu
pihak melihatnya sebagai suatu kegiatan yang sangat berharga, yang dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan. Pada pihak lain mereka mengkhawatirkan kegiatan evaluasi
dapat mempengaruhi hubungan antara guru dan siswa. Evaluasi yang dilakukan dalam
waktu singkat tidak akan memberikan gambaran yang benar tentang perkembangan dan
penguasaan siswa. Kekhawatiran mereka dapat sedikit dikurangi dengan
dikembangknnya model evaluasi formatif dan sumatif.
b. Pemilihan disiplin ilmu
Masalah besar yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum subjek akademis
adalah bagaimana memilih materi pelajaran dari sekian banyak disiplin ilmu yang ada.
Apabila ingin memiliki penguasaan ynag cukup mendalam maka jumlah disiplin ilmunya
harus sedikit. Apabila hanya mempeljari sedikit disiplin ilmu maka penguasaan para
siswa akan sangat terbatas, sukar menerapkannya dalam kehidupan masyarakat secara
luas. Apabila disiplin ilmunya cukup banyak, maka tahap penguasaannya akan
mendangkal, Anak-anak akan tahu banyak tetapi pengetahuannya hanya sedikit-sedikit
(tidak mendalam).
Ada beberapa saran untuk mengatasi masalah tesebut, yaitu :
1) Mengusahakan adanya penguasaan yang menyeluruh (comprehensiveness) dengan
menekankan pada bagaimana cara menguji kebenaran atau mendapatkan pengetahuan.
2) Mengutamakan kebutuhan masyarakat (sosial utility), memilih dan menentukan aspek-
aspek dari disiplin ilmu yang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
3) Menekankan pengetahuan dasar, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang menjadi dasar
(prerequisite) bagi penguasaan disiplin-disipln ilmu yang lainnya.
c. Penyesuaian mata pelajaran dengan perkembangan anak
Para pengembang kurikulum subjek akademis, lebih mengutamakan penyusunan
bahan secara logis dan sistematis daripada menyelaraskan urutan bahan dengan
kemampuan berpikir anak. Mereka umumnya kurang memperhatikan bagaimana siswa
belajar dan lebih mengutamakan susunan isi, yaitu apa yang akan diajarkan. Proses
belajar yang ditempuh oleh siswa sama pentingnya sama dengan penguasaan konsep,
prinsip-prinsip, dan generalisasi. Para ahli kurikulum subjek akademis juga memandang
materi yang akan diajarkan bersifat universal, mereka mengabaikan karakteristik siswa
dan kebutuhan masyarakat setempat.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas dalam perkembangan selanjutnya
dilakukan beberapa penyempurnaan.
1) untuk mengimbangi penekanannya pada proses berpikir, mereka mulai mendorong
penggunaan intuisi dan tebak-tebakan.
2) adanya upaya-upaya untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan individu dan
kebutuhan setempat.
3) pemanfaatan fasilitas dan sumber yang ada pada masyarakat.
9

2. Kurikulum Humanistik
a. Konsep dasar
Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik.
Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized education)
yaitu John Dewey (progressive Education) dan J.J. Rousseau (Romantic Education).
Aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi
bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. Ia adalah
subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa
mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik
humanis juga berpegang pada konsep Getsalt, bahwa individu atau anak merupakan satu
kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh
bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan efektif (emosi, sikap,
perasaan, nilai, dan lain-lain).
Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih
menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru. Pendidikan
humanistik menekankan peranan siswa. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk
menciptakansituasi yang permisif, rileks, akrab. Berkat situasi tersebut anak
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar siswa (mendorong
siswa), dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu. Tujuan pengajaran
adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi kerenggangan dan
keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang termasuk dalam pendidikan
humanistik yaitu pendidikan Konfluen, Kritikisme Radikal, dan Mitikisme modern.
Pendidikan konfluen menekankan kebutuhan pribadi, individu harus merespons
secara utuh (baik segi pikiran, perasaan, maupun tindakan), terhadap kesatuan yang
menyeluruh dari lingkungan.
Kritikisme Radikal bersumber dari aliran naturalisme atau romantisme Rousseau.
Mereka memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak menemukan dan
mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya. Pendidikan merupakan upaya
untuk menciptakan situasi yang memungkinkan anak berkembang optimal. Pendidik
adalah ibarat petani yang berusaha menciptakan tanah yang gembur, air dan dan udara
yang cukup, terhindar dari berbagai hama, untuk tumbuhnya tanaman yang penuh dengan
berbagai potensi. Dalam pendidikan tidak ada pemaksaan, yang ada adalah dorongan dan
rangsangan untuk berkembang.
Mitikisme modern adalah aliran yang menekankan latihan dan pengembangan
kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity training, yoga, meditasi,
dan sebagainya.
b. Kurikulum konfluen
Kurikulum konfluen dikembangkan oleh para pendidikan konfluen, yang ingin
menyatukan segi-segi afektif (sikap, perasaan, nilai) dengan segi-segi kognitif
(kemampuan intelektual). Pendidikan konfluen kurang menekankan pengetahuan yang
mengandung segi afektif). Menurut mereka kurikulum tidak menyiapkan pendidikan
tentang sikap, perasaan, dan nilai yang harus dimiliki murid-murid. Kurikulum
hendaknya mempersiapkan berbagai alternatif yang dapat dipilih murid-murid dalam
proses bersikap, berperasaan dan member pertimbangan nilai. Murid-murid hendaknya
diajak untuk menyatakan pilihan dan mempertanggungjawabkan sikap-sikap, perasaan-
perasaan, dan pertimbangan-pertimbangan nilai yang telah dipilihnya.
c. Beberapa ciri kurikulum konfluen
Kurikulum konfluen mempunyai beberapa cirri utama yaitu :
1

1) Partisipasi
2) Integrasi
3) Relevansi,
4) Pribadi anak
5) Tujuan
Dasar dari kurikulum konfluen adalah Psikologi Gestalt yang menekankan
keutuhan, kesatuan, keseluruhan. Teori yang mendukung pandangan ini adalah
Eksistensialisme yang memusatkan perhatiannya pada apa yang terjadi sekarang di
tempat ini. Apa yang menjadi isi kurikulum diukur oleh apakah hal itu bermanfaat bagi
kita sekarang? Apakah hal itu akan memperbaiki kehidupan kita sekarang.
Prinsip pengajarannya menerapkan prinsip terapi Gestalt, yang menekankan
keterbukaan, kesadaran, keunikan, dan tanggung jawab pribadi. Hal-hal di atas sangat
esensial dalam perkembangan individu yang sehat, yang matang. Pengajaran lebih
menekankan kepada tanggung jawab pribadi daripadi kompetisi. Tidak ada jawaban yang
salah atau benar dalam pengajaran konfluen. Melalui latihan kesadaran/kepekaan
perkembangan yang sehat akan tercapai, karena dengan cara itu ia lebih sadar akan
eksistensinya dan kemungkinannya untuk berkembang.
Kurikulum konfluen menyatukan pengetahuan objektif dan subjektif,
berhubungan dengan kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu maupun
masyarakat. Hal itu sesuai dengan konsep Gestalt bahwa sesuatu itu dikatakan berarti
(penting-red) apabila bermanfaat bagi keseluruhan. Pendidikan konfluen sangat
mengutamakan kesatuan dari keseluruhan.
d. Metode-metode belajar konfluen
Para pengembang kurikulum konfluen telah menyusun kurikulum untuk berbagai
bidang pengajaran. Kurikulum tersebut mencakup tujuan, topik-topik yang akan
dipelajari, alat-alat pelajaran, dan buku teks. Pengajaran konfluen juga telah tersusun
dalam bentuk rencana-rencana pelajaran, unit-unit pelajaran yang telah diujicobakan.
Kebanyakan bahan tersebut diajarkan dengan teknik afektif. George Issac Brown telah
memberikan sekitar 40 macam teknik pengajaran konfluen, diantaranya dyads yang
merupakan latihan komunikasi afektif antara dua orang, fantasy body trips merupakan
pemahaman tentang badan dan diri individu, rituals yaitu suatu kegiatan untuk
menciptakan kebiasaan, kegiatan atau ritual baru.
Berbeda dengan pengembang kurikulum yang lain, para penyusun kurikulum
konfluen tidak menuntut para guru melaksanakn pengajaran seperti yang mereka
kerjakan. Mereka mengharapkan setiap guru mengembangkan kreasi sendiri. Dalam
menciptakan kreasi ini, yang terpenting mereka memahami tujuan dan keguanaan
kegiatan yang mereka ciptakan.
Dalam memilih kegiatan belajar beberapa cara dapat di tempuh. Pertama,
mengindentifikasikan tema-tema atau topik-topik yang mengandung self judgment. Untuk
setiap tema atau topik hendaknya dipilih prosedur atau bentuk-bentuk kegiatan yang atau
teknik yang sesuai. Kedua, materi disajikan dalam bentuk yang belum selesai (open
ended), tema atau issue-issue diharapkan muncul secara spontan dari prosedur serta
perlengkapan pengajaran yang ada. Cara yang kedua ini menuntut keterbukaan dari siswa
tetapi juga guru perlu mengusahakan kerahasiaan.
Pengajaran humanistik memfokuskan prosesa aktualisasi diri (self actualization).
Setiap orang mempunyai self (aku = diri) yang tidak selalu disadari, tersembunyi atau
tertutup. Aku atau diri ini perlu dibuka, atau dibangunkan melalui pendidikan.
Kurikulum perlu merencanakan program untuk membantu para siswa menemukan
dan menampakan dirinya. Kurikulum humanistik dapat membantu mereka memperlancar
1

proses aktualisasi diri ini. Melalui berbagai kegiatan pengajaran model humanistik para
siswa dapat menyatakan diri, berekspresi, bereksprimen, berbuat, memperoleh umpan
balik dan menemukan dirinya. Menurut Abraham Maslow, kita dapat belajar lebih
banyak tentang diri kita melalui pengujian respons-respons menuju puncak pengalaman
(peak experiences). Puncak pengalaman adalah penglaman-pengalaman yang
membangkitkan rasa sayang, benci, cemas, duka, senang dsb. Menurut Maslow puncak
pengalaman ini merupakan awal dan juga akhir dari pendidikan.
Menurut Philip H. Phenix, kurikulum harus dapat mengembangkan kesadaran dan
mendorong kreativitas murid-murid. Bagi Phenix kesadaran merupakan kunci
perkembangan diri dalam membina hubungan dan penyesesuain diri dengan orang lain,
kelompok, budaya, dan lain-lain.
e. Karakteristik kurikulum humanistik
Kurikulum humanistik mempunyai beberapa karakteristik, berkenaan dengan
tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Menurut para humanis, kurikulum berfungsi
menyediakan pengalaman (pengetahuan-red) berharga untuk membantu memperlancar
perkembangan pribadi murid. Bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses
perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan
otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, dan belajar.
Semua itu merupakan bagian dari cita-cita perkembangan manusia yang teraktualisasi
(self actualizing person). Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan diri adalah
orang yang telah mencapai keseimbangan (harmoni) perkembangan seluruh aspek
pribadinya baik aspek kognitif, estetika, maupun moral. Seorang dapat bekerja dengan
baik bila memiliki karakter yang baik pula.
Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara guru dan
murid. Guru selain harus mampu menciptakan hubungan yang hangat dengan murid, juga
mampu menjadi sumber. Ia harus mampu memberikan materi yang menarik dan mampu
menciptakan situasi yang memperlancar proses belajar. Guru harus memberikan
dorongan kepada murid atas dasar saling percaya. Peran mengajar bukan saja dilakukan
oleh guru tetapi juga oleh murid. Guru tidak memaksakan sesuatu yang tidak di sengani
murid.
Sesuai dengan prinsip yang dianut, kurikulum humanistik menekankan integrasi,
yaitu kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat intelektual tetapi juga emosional dan
tindakan. Kurikulum humanistik juga menekankan keseluruhan. Kurikulum harus mampu
memberikn pengalaman yang menyeluruh, bukan pengalaman yang terpenggal-
penggal.kurikulum ini kurang menekankan sekuens, karena dengan sekuens murid-murid
kurang mempunyai kesempatan untuk memperluas dan memperdalam aspek-aspek
perkembangannya. Penyusunan sekuens dalam pengajaran yang sifatnya afektif,
dilakukan oleh Shiflett.
1) Menyusun kegiatan yang dapat memunculkan sikap, minat atau perhatian tertentu.
2) Memperkenalkan bahan-bahan yang akan dibahasdalam setiap kegiatan. Di dalamnya
tercakup topik-topik, bahan ajar serta kegiatan belajar yang akan membantu siswa dalam
merumuskan apa yang ingin merek pelajari. Kegiatan yang diutamakan adalah yang akan
membangkitkan rasa ingin tahu dari pemahaman.
3) Pelaksanaan kegiatan, para siswa diberi pengalaman yang menyenangkan baik yang
berupa gerakan-gerakan maupun penghayatan.
4) Penyempurnaan, pembahasan hasil-hasil yang telah dicapai, penyempurnaan hasil serta
upaya tindak lanjutnya.
Dalam evaluasi, kurikulum humanistik berbeda dengan yang biasa. Model lebih
mengutamakan proses daripada hasil.kalau kurikulum yang biasa terutama subjek
1

akademis mempunyai criteria pencapaian,maka dalam kurikulum humanistik tidak ada


criteria.sasaran mereka adalah perkembangan anak supaya menjadi manusia yang lebih
terbuka, lebih berdiri sendiri. Kegiatan yang mereka lakukan hendaknya bermanfaat bagi
siswa. Kegiatan belajar yang baik adalah yang memberikan pengalamanyang akan
membantu para siswa memperluas kesadaran akan dirinya dan orang lain dan dapat
mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Penilaiannya bersifat subjekif baik
dari guru maupun para siswa.
3. Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Kurikulum rekontruksi sosial berbeda dengan model-model kurikulum lainnya.
Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapinya
dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional.
Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi,
kerja sama. Kerja sama atau interaksi bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru,
tetapi juga antara siswa dengan siswa, siswadengan orang-orang dilingkungannya, dan
dengan sumber belajar lainnya. Melalui interaksi dan kerja samaini siswa berusaha
memecahakan problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju
pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Pandangan rekonstruksi sosial di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920-an.
Harold Rug mulai melihat dan menyadarkan kawan-kawannya bahwa selama ini terjadi
keseimbangan antara kurikulum dengan masyarakat. Ia menginginkan para siswa dengan
pengetahuan dan konsep-konsep baru yang diperolehnya dapat mengidentifikasikan dan
memecahkan masalah-masalah sosial. Setelah diharapkan dapat menciptakan masyarakat
baru yang lebih stabil.
Para rekonstruksi sosial tidak mau terlalu menekankan kebebasan individu.
Mereka ingin meyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat membuat warganya
seperti yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi
warganya melalui consensus sosial. Brameld juga ingin memberikan keyakinan tentang
pentingnya perubahan sosial. Perubahan sosial tersebut harus dicapai melalui prosedur
demokrasi. Para rekonstruksionis sosial menentang intimidasi, menakut-nakuti dan
kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang
cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan kerja sama atau
bergotong royong untuk memecahkannya.
a. Desain kurikulum rekontruksi sosial
Ada beberapa ciri dari desan kurikulum ini.
1) Asumsi
2) Masalah-masalah sosial yang mendesak
3) Pola-pola organisasi
b. Komponen-komponen kurikulum
1) Tujuan dan isi kurikulum
2) Metode
3) evaluasi
c. Pelaksanaan pengajaran rekontruksi sosial
Pengajaran rekontruksi sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang tergolong
belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini
diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan potensi yang
ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi tersebut, dengan bantuan
biaya dari pemerintahan sekolah berusaha mengembangkan potensi tersebut. Di daerah
pertanian umpamanya sekolah mengembangkan bidang pertanian dan peternakan, di
daerah industri mengembangkan bidang-bidang industri.
1

4. Teknologi dan kurikulum


Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang pendidikan
berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan
klasik, yaitu menekan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan
pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi yang
besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih sempit/khusus dan akhirnya menjadi
perilaku-perilaku yang dapat diamati atau diukur.
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam
dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras
(hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai
teknologi alat (tools technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut
juga teknologi sistem (system technology).
a. Beberapa ciri kurikulum teknologis
Kurikulum yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan, memiliki beberapa ciri
khusus, yaitu:
1) Tujuan. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk
perilaku.
2) Metode. Metode yang merupakan kegiaatn pembelajaran sering dipandang sebagai
proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi
respons yang diharapkan maka respons tersebut diperkuat. Pelaksanaan pengajaran
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
a) Penegasan tujuan
b) Pelaksanaan pengajaran
c) Pengetahuan tentang hasil
3) Organisasi bahan ajar
4) Evaluasi
b. Pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum teknologi berpegang pada beberapa kriteria, yaitu:
1) Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh pengembang
kurikulum yang lain,
2) Hasil pengembangan terutama yang berbentuk model adalah yang bisa diuji coba ulang,
dan hendaknya memberikan hasil yang sama.
Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada kompetensi.
Pengembangan dan penggunaan alat dan media pengajaran bukan hanya sebagai alat
bantu tetapi bersatu dengan program pengajaran dan ditujukan pada penguasaan
kompetensi tertentu.
C. Model-Model Pengembangan Kurikulum
Berbagai model dalam pengembangan kurikulum secara garis besar diutarakan
sebagai berikut:
1. Model Administratif
Model administratif diistilahkan juga garis staf atau top down, dari atas
kebawah. Artinya pengembangan kurikulum ini ide awal dan pelaksanaanya dimulai dari
para pejabat tingkat atas pembuat keputusan dan kebijakan berkaitan dengan
pengembangan kurikulum. Tim ini sekaligus sebagai tim pengarah dalam pengembangan
kurikulum.
Dengan wewenang administrasinya membentuk suatu komisi atau tim pengarah
pengembangan kurikulum. Anggotanya terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli
pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dan para tokoh dari dunia kerja dan
1

perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan,


kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum.
Selanjutnya administrator membentuk tim kerja terdiri dari para ahli pendidikan,
ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang
bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional menjabarkan
konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim pengarah seperti
merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih sekuen materi, memilih
strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan
kurikiulum bagi guru. Setelah Tim kerja selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji
ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang
kompeten.
Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik,
administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena
datangnya dari atas, maka model ini disebut juga Model top-down. Dalam
pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan
beberapa saat perlu dilakukan evaluasi. Model model pengembangan kurikulum ini sering
mendapat kritikan, karena dipandang tidak demokratis, dan kurang memperhatikan
inisiatif para guru. Di Indonesia model ini digunakan alam penerapan kurikulum 1968
dan kurikulum 1975.
2. Model dari Bawah (Grass-Roats)
Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem
pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi sedangkan model grass
roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi.
Langkah-langkahnya:
a. Inisiatif pengembangan datangnya dari bawah (para pengajar).
b. Tim pengajar dan beberapa sekolah ditambah narasumber lain dari orang tua peserta
didik atau masyarakat luas yang relevan.
c. Pihak atasan memberikan bimbingan dan dorongan.
d. Untuk pemantapan konsep pengembangan yang telah dirintisnya diadakan lokakarya
untuk mencari input yang diperlukan.
Pentingnya guru sebagai kunci keberhasilan penerapan kurikulum digambarkan dalam
empat prinsip yang mendasari grass roots model:
a. Kurikulum akan meningkat bila kompetensi profesional guru meningkat.
b. Kompetensi guru akan meningkat bila mereka terlibat secara pribadi dalam masalah-
masalah perubahan dan perbaikan kurikulum.
c. Keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan perbaikan kurikulum sampai dengan penilaian
hasilnya akan sangat meningkatkan keyakinannya.
d. Dalam kelompok tatap muka, guru akan dapat memahami satu sama lain secara lebih
baik dan memperkaya konsensus pada prinsip-prinsip dasar, tujuan, daan rencana
pembelajaran.
Prinsip-prinsip tersebut sangat mendorong guru untuk bekerja sama dalam
menerapkan kurikulum baru.
Kelemahan model grass roots antara lain disebabkan oleh tuntutan keterlibatan
berbagai pihak dalam pengembangan kurikulum, padahal tidak semua orang mengerti dan
tertarik untuk melibatkan dirinya.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk
bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk
seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang
bersifat desentralistik dengan model grass roots, memungkinkan terjadinya kompetisi
1

dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan yang pada gilirannya akan melahirkan
manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
3. Model Demonstrasi
Model pengembangan kurikulum idenya datang dari bawah (grass roots). Semula
merupakan suatu upaya inovasi kurikulum dalam skala kecil yang selanjutnya digunakan
dalam skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering mendapat tantangan atau
ketidaksetujuan dari pihak-pihak tertentu. Menurut Smith, Stanley, dan Shores, ada dua
bentuk model pengembangan ini.
a. Sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah yang diorganisasi dan ditunjuk
untuk melaksanakan suatu uji coba atau eksperimen suatu kurikulum. Unit-unit ini
melakukan suatu proyek melalui kegiatan penelitian dan pengembangan untuk
menghasilkan suatu model kurikulum. Hasil dari kegiatan penelitian dan pengembangan
ini diharapkan dapat digunakan pada lingkungan sekolah yang lebih luas. Pengembangan
model ini biasanya diprakarsai oleh pihak Departemen Pendidikan dan dilaksanakan oleh
kelompok guru dalam rangka inovasi dan perbaikan suatu kurikulum.
b. Dari beberapa orang guru yang merasa kurang puas tentang kurikulum yang sudah ada,
kemudian mereka mengadakan eksperimen, uji coba, dan mengadakan pengembangan
secara mandiri. Pada dasarnya guru-guru tersebut mencobakan yang dianggap belum ada,
dan merupakan suatu inovasi terhadap kurikulum, sehingga berbeda dengan
pengembangan kurikulum yang berlaku, dengan harapan akan ditemukan pengembangan
kurikulum yang lebih baik dari yang ada.
Ada beberapa kebaikan dalam penerapan model pengembangan ini, di antaranya
adalah:
a. Kurikulum ini akan lebih nyata dan praktis karena dihasilkan melalui proses yang telah
diuji dan diteliti secara ilmiah;
b. Perubahan kurikulum dalam skala kecil atau pada aspek yang lebih khusus kemungkinan
kecil akan ditolak oleh pihak administrator, akan berbeda dengan perubahan kurikulum
yang sangat luas dan kompleks.
c. Hakikat model dmostrasi berskala kecil akan terhindar dari kesenjangan dokumen dan
pelaksanaan di lapangan.
d. Model ini akan menggerakkan inisiatif, kreativitas guru-guru serta memberdayakan
sumber-sumber administrasi untuk memenuhi kebutuhan dan minat guru dalam
mengembangkan program yang baru.
Hal penting dari model demontrasi adalah adanya keterbukaan komunikasi antara
percobaan yang dilakukan guru dengan percobaan-percobaan yang dilakukan secara
lembaga. Di samping itu model demontrasi dapat dikembangkan oleh setiap guru dalam
bentuk penelitian tindakan kelas (classroom action research).
4. Model Beaucham
Model ini dikembangkan oleh G.A. Beauchamp (1964). Langkah-langkahnya
sebagai berikut:
a. Suatu gagasan pengembangan kurikulum yang telah dilaksanakan di kelas, diperluas
disekolah, disebarkan disekolah-sekolah didaerah tertentu baik berskala regional maupun
nasional yang disebut arena.
b. Menunjuk tim pengembangan yang terdiri atas ahli kurikulum, para ekspert, staf
pengajar, petugas bimbingan, dan nara sumer lain.
c. Tim menyusun tujuan pengajaran, materi, dan pelaksanaan proses belajar mengajar.
d. Melaksanakan kurikulum di sekolah.
e. Mengevaluasi kurikulum yang berlaku.
1

Secara umum model ini telah dianggap lengkap namun masih terdapat berbagai
pertanyaan yang tak terjawab dalam proses rekayasa kurikulum. Dalam beberapa hal
model ini hampir sama dengan model administratif, terutama dalam orientasinya dari atas
ke bawah. Keuntungan model ini terutama adalah adanya penegasan arena yang kiranya
akan mempermudah dan memperjelas ruang lingkup kegiatan. Kekurangannya, seperti
halnya model administratif di atas, adalah kurang pekanya terhadap perubahan
masyarakat dan kurag memperhatikan keadaan daerah yang antara satu dengan lainnya
menuntut adanya kekhususan-kekhususan tertentu.
5. Model Terbalik Hilda Taba
Model terbalik ini dikembangkan oleh Hilda Taba atas dasar data induktif yang
disebut model terbalik, karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-
konsep yang datangnya dari atas secara deduktif. Sebelum melaksanakan langkah-
langkah lebih lanjut,terlebih dahulu mencari data dari lapangan dengan cara mengadakan
percobaan, kemudian disusun teori atas dasar hasil nyata, baru diadakan pelaksanaan.
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Mendiagnosis kebutuhan, merumuskan tujuan, menentukan materi, menemukan
Penilaian, memperhatikan antara luas dan dalamnya bahan, kemudian disusunlah suatu
unit kurikulum.
b. Mengadakan try out.
c. Mengadakan revisi atas dasar try out.
d. Menyusun kerangka kerja teori.
e. Mengemukakan adanya kurikulum baru yang akan didesiminasikan.
Pengembangan kurikulum model terbalik berusaha mendekatkan kurikulum
dengan realitas pelaksanaanya, yaitu melalui pengujian terlebih dahulu oleh staf pengajar
yang professional. Dengan demikian, model ii benar-benar memadukan teori dan praktik.
Akan tetapi, dan ini dipandang sebagai kelemahannya, model tersebut sulit
diorganisasikan karena menuntut kemampuan teoretis dan profesional yang tinggi dari
staf pengajar dan administrator pelaksana.
6. Model Hubungan Interpersonal dari Rogers
Menurut Roger’s manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing,
changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri,
tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk
membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tnersebut. Pendidikan juga tidak
lain merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat perubahan
tersebut. Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi informasi apalagi penentu
perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan pemelancar perkembangan anak.
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model Rogers. Pertama, pemilihan
target dari system pendidikan. Didalam penentuan target ini satu-satunya kriteria yang
menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta
dalam kegiatan kelompok yang intensif. Selama satu minggu para pejabat
pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana yang relaks, tidak
formal.
Kurikulum yang dikembangkan hendaknya dapat mengembangkan individu
secara fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri berkomunikasi
secara interpersonal.
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Diadakannya kelompok untuk dapatnya hubungan interpersonal di tempat yang tidak
sibuk
1

b. Kurang lebih dalam satu minggu para peserta mengadakan saling tikar pengalaman,
dibawah pimpinan staf pengajar.
c. Kemudian diadakan pertemuan dengan masyarakat yang lebih luaslagi dalam satu
sekolah, sehingga hubungan interpersonal akan menjadi lebih sempurna.
d. Selanjutnya penemuan diadakan dengan mengikutsertakan anggota yang lebih luas lagi,
yaitu dengan mengikutsertakan para pegawai administrasi dan orang tua peserta didik.
Dalam situasi yang demikian diharapkan masing-masing person akan saling menghayati
dan lebih akrab, sehingga memudahkan berbagai pemecahan problem sekolah yang
dihadapi.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan penyusunan kurikulum akan lebih
realistis, karena didasari oleh kenyataan yang diharapkan.
7. Model penelitian tindakan
Model ini dikembangkan oleh Smith, Stanley, dan Shores, berdasarkan asumsi
bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, yaitu proses yang melibatkan
berbagai kepribadian orang tua, peserta didik, guru, struktur sistem sekolah, dan
hubungan individu serta kelompok, baik di sekolah maupun di masyarakat.
Kurikulum muncul dalam konteks pengharapan dari masyarakat. Setiap orang
berharap bahwa setiap perilaku haruslah sesuai dengan profesinya, apa itu dokter,
pengusaha, ibu, wiraswastawan, maupun seorang guru. Dalam hal terakhir, setiap orang
mempunyai sesuatu ide tentang apa dan bagaimana seharusnya anak didik, serta peran
apa yang harus dijadikan kurikulum. Jadi program pengembangan kurikulum yang efektif
berusaha memperhatikan berbagai perasaan, pengharapan, dan ide yang dimiliki orang
terhadap kurikulum serta selalu dikaitkan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Langkah-langkah yang perlu diambil dalam model ini ialah:
a. Penelaahan berbagai masalah kurikulum, dengan cara: menemukan fakta-fakta secara
luas untuk dijadikan sesuatu masalah, mengidentifikasi berbagai faktor, kekuatan serta
syarat yang harus diambil jika masalah tersebut perlu dipecahkan.
b. Penerapan berbagai keputusan yang berhubungan dengan masalah pertama. Kegiatan ini
dilaksanakan dengan mencari data atau fakta. Untuk itu, perlu menyediakan data untuk
penilaian, memberi pandangan baru untuk suatu perencanaan kurikulum, menemukan
data tambahan untuk perubahan
8. Emerging technical models
Perkembangan bidang tekhnologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efesiensi
efektifitas dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum.
Tumbuh kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan atas hal itu, diantaranya:
a. The behavioral analysis model analysis
Model ini menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Siswa mempelajari
perilaku-perilaku secara berangsur-angsur mulai dari yang sederhana menuju yang lebih
kompleks.
b. The system analysis model
Model ini berasal dari gerakan efesiensi bisnis. Langkah pertamadari model ini
adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikuasai siswa.
Langkah kedua adalahmenyusun instrumen untuk menilai ketercapaian hasil-hasil belajar
tersebut. Langkah ketiga, mengidentifikasi tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkiraan
biaya yang diperlukan. Langkah keempat, membandingkan biaya dan keuntungan dari
beberapa program pendidikan.
c. The computer based model
Merupakan model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan komputer.
Pengembangan dimulai dengan mengidentifikasi seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit
1

kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang diharapkan. Kepada para
siswa dan guru-guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit-unit kurikulum
tersebut. Setelah diadakan pengolahan disesuaikan dengan kemampuan dan hasil-hasil
belajar yang dicapai siswa disimpan dalam komputer.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Model pengembangan kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur dalam
rangka mendesain (designing), menerapkan (impelementation), dan mengevaluasi
(evaliation) suatu kurikulum. Oleh karena itu, model pengembangan kurikulum harus
dapat menggambarkan suatu proses sistem perencanaan pembelajaran yang dapat
memenuhi berbagai kebutuhan dan standar keberhasilan dalam pendidikan. Yang
dimaksud dengan model pengembangan kurikulum yaitu langkah atau prosedur sistematis
dalam proses penyususnan suatu kurikulum.
Model konsep kurikulum dikembangkan oleh para ahli dikaji empat macam
model konsep kurikulum berdasrakan pada urutan kajian paling tradisional sampai
dengan kajian yang dianggap cukup modern yaitu kurikulum subjek akademis,
humanistik, rekontroksi sosial dan teknlogis.
Model pengembangan kurikulum yang dapat digunakan meliputi model
administrasi, model grass root, model demonstrasi, model Beauchamp, model hubungan
Interpersonal dari Roger, model Tyler, serta model Inverted dari Taba. Model
administrasi rencananya berasal dari pejabat, model grass root serta demonstrasi memiliki
kemiripan dengan rencana yang berasal dari pendidik, model Beauchamp menelaah
erdasarkan langkah-langkah tertentu, model hubungan Interpersonal dari Roger
menitikberatkan pada kegiatan kelompok campuran, model Tyler berdasar pada empat
pertanyaan pendidikan, dan model Inverted dari Taba menekankan pada kesederhanaan
prosedur.

Anda mungkin juga menyukai