Globalist Dimensi Politik
Globalist Dimensi Politik
Dosen Pengampu:
Irza Khurun’in, S.IP., MA.
Anggota Kelompok :
Kami panjatkan puji dan syukur kepada hadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh berkat rahmat dan
karunia-Nya lah yang telah memberi kami kesehatan jasmani dan rohani sehingga kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik dan tepat waktu, serta kami harap dapat sesuai dengan
komponen capaian pembelajaran yang diharapkan.
Kami berterima kasih juga kepada para anggota kelompok yang sekiranya telah berperan
serta mengerahkan pikiran, tenaga, dan waktu mereka dalam proses pembuatan tugas makalah
ini. Tak lupa pula kami ucapkan rasa terima kasih kepada Ibu Irza Khurun’in, S.IP., MA. selaku
dosen pengampu Kelas F-3 Hubungan Internasional, mata kuliah Pengantar Globalisasi kami,
atas segala bimbingan dan bantuannya selama proses pembelajaran serta pembuatan ini
berlangsung. Terselesaikannya makalah ini juga tidak lepas dari bimbingan Ibu Irza Khurun’in di
kelas selama ini.
Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan luput akan kesalahan
oleh sebab keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Dengan demikian,
dengan rendah hati kami menantikan dengan tangan terbuka segala kritik konstruktif dan saran
yang sekiranya dapat membantu kami membangun pengetahuan kami secara lebih mendalam
terkait dengan penyempurnaan pembuatan tugas makalah yang lebih baik lagi di masa
mendatang. Sekian dan terima kasih.
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB 1.............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................5
1.3 Tujuan.................................................................................................................................. 5
BAB 2.............................................................................................................................................. 6
LANDASAN TEORI..................................................................................................................... 6
2.1 Globalisasi Politik................................................................................................................6
2.2 Pendekatan Globalis.............................................................................................................6
2.3 Konsep Global Governance................................................................................................. 7
BAB 3.............................................................................................................................................. 9
PEMBAHASAN............................................................................................................................. 9
3.1 Studi Kasus.......................................................................................................................... 9
3.2 Analisis Studi Kasus.......................................................................................................... 11
BAB 4............................................................................................................................................ 16
PENUTUP.....................................................................................................................................16
4.1 Kesimpulan........................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 17
BAB 1
PENDAHULUAN
Sengketa maritim atau perbatasan laut antara Peru dan Chili menjadi inti dari pertikaian mereka.
Hubungan antara kedua negara telah mengalami sejarah yang kompleks, sering kali dipenuhi
dengan konflik yang berakar dari perbedaan pandangan terkait wilayah perbatasan. Bermula
pada Proklamasi Presiden ke-33 Amerika Serikat, Harry S. Truman, yang menyatakan klaim atas
Continental Shelf atau landas kontinen dan menyatakan bahwa negara menguasai sumber daya
dari lapisan tanah dan sumber daya laut di bawahnya.1 Hal ini memicu Peru dan Chili pada tahun
1947 untuk mengklaim hak maritim 200 mil sepanjang pantai dari masing-masing negara
mereka.
Namun, perselisihan terkait dengan klaim atas wilayah laut yang kaya akan sumber daya
alam, terutama dalam hal zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan hak-hak pengelolaan di perairan
yang disengketakan inilah yang menjadi pemicu utama dari konflik yang berkelanjutan antara
Peru dan Chili. Pemerintah Peru pada 16 Januari 2008, membawa sengketa ini ke Mahkamah
Internasional atau International Court of Justice (ICJ) dengan alasan untuk menyelesaikan
permasalahan yang belum kunjung usai dan tidak pernahnya tercapai suatu keputusan yang
dimulai sejak tahun 1980.2
1
Citra Suryani, "Penyelesaian Sengketa Perbatasan Laut Antara Peru Dengan Chile Melalui Mahkamah
Internasional Tahun 2008-2014.", Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.1 No.2
(Oktober, 2014), 2.
2
Dwi Imroatus S., "Analisis Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan Oleh
Mahkamah Internasional (ICJ).", Jurnal Hukum Lex Generalis, Vol.1 No.1 (April, 2020), 29.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
3
Estuningtyas, R. D. (2018, December). Dampak Globalisasi Pada Politik, Ekonomi, Cara Berfikir Dan Ideologi
Serta Tantangan Dakwahnya. Jurnal IAIN KENDARI, 5.
berdampak pada kekuatan, fungsi, serta otoritas pemerintahan nasional yang memicu semakin
kaburnya kedaulatan suatu negara.4
Globalis menyatakan bahwa globalisasi telah mengganti konsep ‘negara-bangsa’ yang
dianggap tidak lagi relevan untuk menjabarkan fenomena dunia internasional setelah terjadinya
globalisasi politik. Kritik yang dilontarkan para pemikir globalis adalah bahwa peran
negara-bangsa yang dianggap tradisional dikatakan tidak lagi relevan, dipicu oleh telah
mengaburkan batas-batas teritorial negara akibat globalisasi dan tingginya ketergantungan antar
negara. Pemikir globalis juga berpendapat bahwa munculnya aktor-aktor internasional yang
bersifat non-state sangat berpengaruh besar dalam menggeser peran negara-bangsa di ranah
politik internasional. Aktor non-state ini antara lain seperti IGO, INGO, perusahaan
multinasional, organisasi internasional, dan organisasi-organisasi lainnya. Para pemikir globalis
percaya bahwa setelah munculnya aktor non-state ini, negara dianggap semakin melemah
posisinya di panggung politik internasional dikarenakan segala tupoksi dan implikasinya
aktor-aktor non-state di dunia internasional.5
4
Winanti, P. S. (2002, April). GLOBALISASI DAN NEGARA-BANGSA: KOMPETISI PERSPEKTIF
GLOBALIS DAN SKEPTIS DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL. Jurnal Ketahanan Internasional,
VI(1), 53.
5
Ibid.
6
PEJABAT PENGELOLA INFORMASI & DOKUMENTASI (PPID). (2010). EXECUTIVE SUMMARY. PPID
LAN. Retrieved November 22, 2023.
Dalam global governance sendiri proses kelembagaannya tidak diatur oleh pemerintah,
melainkan oleh institusi-institusi non pemerintah yang bertujuan untuk menyelesaikan
permasalahan dunia dengan mengedepankan pembentukan institusi dan rezim. Akan tetapi,
dalam global governance tidak terdapat otoritas sentral yang secara struktural mengatur
institusi-institusi yang berkaitan. Global governance atau tata kelola global sendiri kerap disebut
sebagai "governance without government" atau tata kelola tanpa pemerintah.7 Inti dari konsep ini
berpacu pada usaha untuk mengatur permasalahan yang sifatnya global tanpa melibatkan negara
sebagai aktor utama, tetapi melibatkan organisasi internasional dan aktor non-negara lainnya.
Upaya ini berfungsi untuk mewujudkan tata kelola global yang lebih demokratis dan inklusif
dengan tujuan agar kedua aktor, baik negara maupun non-negara dapat berkesempatan untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan global.8 Hal ini kemudian menunjukkan bahwa
global governance merupakan sebuah upaya kolektif untuk mengidentifikasi dan mengatasi
permasalahan global yang semakin kompleks dan melampaui kapasitas masing-masing negara
untuk menyelesaikan masalah tersebut.
7
Bainus, A., & Rachman, J. B. (2022, November). EDITORIAL: Tata Kelola Global Dalam Hubungan
Internasional. Intermestic: Journal of International Studies, 7(1), 3.
8
Sugiono, M. (2005, Maret). Globalisasi, Global Governance dan Prospek Governance di Dunia Ketiga. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, 8(3), 259.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus
Isu sengketa perbatasan maritim antara Peru dan Chili dimulai saat kedua negara menjadi
bertetangga akibat Bolivia mengalami kekalahan kekalahan saat perang Pasifik dan dirinya
menyerahkan daerah pesisirnya kepada Chile. Di satu sisi, Peru juga diwajibkan untuk
memberikan provinsi Tarapaca kepada Chile selama 10 Tahun melalui perjanjian Ancon pada
1883 dengan diiringi adanya plebisit untuk menentukan apakah wilayah ini akan selamanya di
tangan Chile atau tetap menjadi daerah yang dimiliki Peru.9 Selama lebih dari empat dekade
konflik antara Tacna dan Arica, Peru serta Chile melalui perwakilannya akhirnya setuju untuk
berdamai dan menandatangani perjanjian Lima serta protokol tambahan pada 3 Juni 1929 yang
berisikan tentang kembalinya Tacna sebagai provinsi Peru dan Arica tetap dimiliki oleh
Chili.10Isi lain perjanjian Lima juga adanya pengadaan garis pemisah antar kedua negara yang
diberi nama Concordia. Concordia berjarak sepuluh kilometer di bagian utara jembatan sungai
Lluta hingga ke bagian timur searah dengan garis wilayah bagian Chili dari Arica.
Pada 1947, baik Peru maupun Chili, keduanya saling mengklaim secara sepihak hak
maritim 200 mil dari kedua garis pantai negara mereka. Hal ini terjadi lantaran karena adanya
pernyataan proklamasi presiden AS, Harry S. Truman, mengenai negara berhak menguasai SDA
yang berada di lapisan tanah hingga dasar laut di bawahnya pada 28 September 1945. Pihak Chili
telah mengeluarkan klaim atas hak maritim pada deklarasi 23 Juni 1947, sedangkan Peru
mengklaim melalui Keputusan Agung Nomor 781 pada 1 Agustus 1947. Selain kedua deklarasi
tersebut, pada 18 Agustus 1952, Peru, Chili dan Ekuador memulai adanya rencana pembentukan
deklarasi mengenai perlindungan laut yang saling berdekatan dari ancaman pihak asing.
Deklarasi ini disebut juga dengan Deklarasi Santiago – yang berisi tentang persetujuan tiga
negara mengenai zona maritim yang kurang dari 200 mil lebar sepanjang pantai ketiga negara –
dan ditandatangani di Lima pada 4 Desember 1954.11
9
International Boundary Study, Chile-Peru Boundary,
(library.law.fsu.edu/Digital-Collections/LimitsinSeas/pdf/ibs065.pdf, Diakses pada 13 Maret 2023)
10
John,Ronald Bruce St. 1994.Stalemate in the Atacama.IBRU Boundary and Security Bulletin.
11
Suryani, C. Penyelesaian Sengketa Perbatasan Laut antara Peru dengan Chile melalui Mahkamah Internasional,
dalam Jom FISIP, Vol 1, No. 2 (2014). Hal 2.
Secara garis besar, akar permasalahan sengketa antara Peru dan Chili disebabkan karena
adanya perbedaan penafsiran mengenai berbagai perjanjian yang telah diagendakan sebelumnya
oleh kedua belah pihak. Pada 1982, Peru berupaya untuk menegakkan kembali batas maritim
kepada Chile yang telah dibahas pada Deklarasi Santiago pada 1954 antara Ekuador, Peru dan
Chile. Namun, hal ini jelas ditentang oleh Chile dengan anggapan bahwa pembahasan tersebut
telah dibahas pada perjanjian Santiago. Secara resmi Peru, melalui Duta besar Peru untuk Chile,
Juan Miguel Bakula, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Chile atas isu perbatasan maritim
dengan mengeluarkan memorandum Bakula yang berisi keluhan Peru yang menganggap bahwa
perjanjian Zona Batas Maritim Khusus tidak lagi adil dan justru berisiko bagi Peru sendiri.12
Menanggapi hal ini, Chile hanya memberikan reaksi hanya dengan pengadaan pers untuk
mengkaji studi pada subjek tersebut. Setelahnya, pada 21 September 2000, Chile menyerahkan
kepada Sekjen PBB sesuai dengan pasal 16 ayat 2; pasal 75 ayat 2; dan pasal 84 ayat 2 yang
terdapat pada UNCLOS dengan menunjukkan adanya grafik yang menggambarkan garis dasar
sejajar serta normal, laut teritorial, zona eksklusif, landas kontinen beserta titik koordinat
geografis yang didasarkan datum geodetic dan juga menyatakan bahwa garis 18°21’00” Lintang
selatan sebagai garis yang membatasi batas maritime kedua negara. Tepat pada 20 Oktober tahun
2000 merupakan hari kritis dikarenakan isu sengketa ini pertama kali maju. Peru merespon
pernyataan grafik Chile pada pada 9 Januari 2001 dengan mengeluarkan statement atas
ketidaksetujuannya terhadap batas paralel sebagai perbatasan kedua negara dan dirinya
mengklaim bahwa baik Peru dan Chile tidak menyimpulkan perjanjian batas maritim secara
khusus yang sesuai dengan hukum internasional.13
Demi mengakhiri sengketa yang tak berakhir, Peru memilih untuk menyelesaikan
masalah ini secara damai dengan jalur hukum dan menyerahkan permasalahan sengketa kepada
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) - yang hasil keputusannya bersifat
mengikat seluruh pihak yang terlibat serta tidak bisa mengajukan banding (Statua pasal 38). –
pada 16 Januari 2008. Setelah berbagai negosiasi serta pertimbangan pembelaan dari kedua
negara, akhirnya Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan untuk menjawab
permasalahan sengketa tersebut dengan mengeluarkan hasil akhir pada 27 Januari 2014.
12
Horna, Angel V. (2009). "Maritime Dispute (Peru v. Chile): Background and Preliminary Thoughts", published in:
Ocean Yearbook, vol. 23
13
Ibid.
Kesimpulan kesempatan tersebut adalah batas maritim antara Peru-Chili dimulai sejak
persimpangan paralel lintang melalui Boundary Marker No 1 pada garis air rendah hingga 80 mil
laut sepanjang paralel lintang ke point A.14 Di point ini, batas maritim bergerak sejauh garis
equidistance ke point B dan diukur dari garis pangkal Chili ke point C sepanjang 200 mil.
Mahkamah Internasional tidak menyebutkan letak koordinat geografis secara tepat dan
diserahkan Kembali kepada kedua belah pihak. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan semangat
bertetangga antar negara. Kedudukan Mahkamah Internasional sebagai penengah serta pemilik
kekuatan absolut (Dalam hal ini, hasil keputusan bersifat mengikat) tersebut dianggap berhasil
karena mampu berkompromi dengan kedua belah pihak. Hasil keputusan ICJ pun disambut baik
oleh Peru dan Chili sebagai aktor yang berkonflik.
14
International Court of Justice. Maritime Dispute (Peru v. Chile) The Court determines the course of the single
maritime boundary between Peru and Chile. (Diakses pada 22 November, Maritime Dispute (Peru v. Chile)
(icj-cij.org))
15
Hoffman dan Graham, 2006 dalam Onwe, Sunday O., and David M. E. Nwogbaga. “Conceptual Issues and
Theoretical Analysis of Sovereignty.” Research on Humanities and Social Sciences, vol. 5, no. 3, 2015,
core.ac.uk/download/pdf/234674366.pdf.
16
Gamble, 1963 dalam Onwe, Sunday O., and David M. E. Nwogbaga. “Conceptual Issues and Theoretical Analysis
of Sovereignty.” Research on Humanities and Social Sciences, vol. 5, no. 3, 2015,
core.ac.uk/download/pdf/234674366.pdf.
17
Tuca, Sabina. “Global Governance vs. National Sovereignty in a Globalized World.” CES Working Papers, vol. 7,
no. 1, 2015, pp. 193–201, www.econstor.eu/bitstream/10419/198371/1/ceswp-v07-i1-p193-201.pdf. Alexandru Ioan
Cuza University of Iasi, Centre for European Studies,. Accessed 22 Nov. 2023.
kedaulatan merupakan aspek otoritas independen suatu entitas yang mampu mengarahkan
kekuatannya dan diterima oleh segenap kelompok yang legitimasinya pada suatu wilayah
tertentu yang biasanya merupakan wilayah teritorial suatu negara-bangsa, untuk mengorganisasi
kehidupan sosial agar dapat menciptakan kehidupan yang tentram dan tertata.
Namun seiring meningkatnya fenomena globalisasi yang mana dapat ditandai dengan
semakin melemahnya sempadan territorial antar negara, terwujudnya suatu jaringan
interdependensi yang memungkinkan naiknya level hubungan negara-negara, hingga
terwujudnya institusi-institusi yang memiliki kewenangan atau otoritas untuk mengorganisasikan
kehidupan sosial secara internasional yang diakui oleh negara-negara yang juga disebut sebagai
global governance menimbulkan suatu fenomena baru terhadap pemahaman dan konsepsi
kedaulatan pada masa kontemporer ini. Global governance sendiri merujuk pada suatu tatanan
institusi-institusi internasional mendapatkan kewenangan serta otoritas untuk menyelesaikan,
menertibkan, serta mengatur permasalahan-permasalahan internasional serta transnasional. Tak
jarang pula konsep global governance bersandar pada adanya peleburan terhadap batas-batas
kedaulatan yang hanya terpusat pada negara saja, melainkan dialihkan kepada pihak ketiga lain
yang secara legal diakui di tingkat global. Dalam kata lain, suatu tatanan institusi yang dapat
memerintah negara-negara untuk secara kolektif mengakui dan menjalankan kebijakan yang
telah dikeluarkannya.
Munculnya fenomena global governance ini menjadi suatu fenomena unik dalam
memandang konsepsi kedaulatan tradisional yang hanya berfokus pada kewenangan secara
penuh pada entitas negara. Karena nyatanya, dalam perkembangannya, banyak permasalahan
internasional yang tak lagi dapat diselesaikan oleh negara-negara yang bersangkut paut dan
berkepentingan di dalamnya. Global governance melalui institusi internasionalnya pada akhirnya
mampu untuk menjadi penengah dan pihak “penyetir” permasalahan geopolitik transnasional
yang mencakup entitas negara-negara seperti kasus persengketaan wilayah teritorial maritim
yang terjadi antara Peru dan Chili. Kasus yang melibatkan ketidaksetujuan antara dua belah
pihak negara ini tidak lagi dapat tertangani secara diplomatis, bahkan setelah berbagai rangkaian
usaha negosiasi di antara keduanya sejak awal hingga pertengahan abad ke-20 seperti Perjanjian
Lima dan Deklarasi Santiago. Akhirnya, setelah jalur negosiasi dirasa tak lagi dapat diupayakan,
Peru melalui Presiden Alan Garcia menginisiasi rencana menempuh jalur legal untuk membawa
sengketa ini ke Mahkamah Internasional/International Court of Justice (ICJ) pada 28 Juli 2007,18
yang akhirnya baru terealisasikan pada 16 Januari 2008.19
Tata pengaturan global atau global governance ini telah mengubah lanskap politik serta
kedaulatan negara secara menyeluruh di tata pergaulan internasional. Peran kekuasaan politis dan
pengaturan penuh negara telah ditantang di saat-saat seperti konflik atau masalah yang tak
mampu lagi dihadapi dan dicarikan solusinya oleh negara. Di tengah kompleksitas yang semakin
meningkat dan ketergantungan dan saling keterkaitan yang terus berkembang pada isu-isu global,
konsep ini muncul sebagai tawaran pendekatan pragmatis untuk pengaturan yang lebih efektif.
Krisis global terkini telah menyoroti keterbatasan negara-negara dalam mengatasi baik masalah
internal mereka maupun tantangan global yang semakin meningkat. Meskipun hal ini
18
Suryani, Citra. “PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN LAUT ANTARA PERU DENGAN CHILE
MELALUI MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 2008-2014.” Jom FISIP, vol. 1, no. 2, 2014.
19
Pavliha, Mitja Grbec & Marko. “The International Court of Justice and the Peru-Chile Maritime Case.”
E-International Relations, 21 Apr. 2014,
www.e-ir.info/2014/04/21/the-international-court-of-justice-and-the-peru-chile-maritime-case/#google_vignette.
Accessed 21 Nov. 2023.
20
Suryani, Citra. “PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN LAUT ANTARA PERU DENGAN CHILE
MELALUI MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 2008-2014.” Jom FISIP, vol. 1, no. 2, 2014.
meningkatkan kekhawatiran negara-negara akan terkikisnya kedaulatan nasional mereka, namun
sebuah paradigma baru harus dibentuk yang mana negara-negara harus menyadari kebutuhan
untuk melepaskan sebagian dari kedaulatan mereka kepada entitas supranasional seperti institusi
internasional agar dapat bermanuver lebih baik dalam menghadapi isu-isu dan
tantangan-tantangan internasional yang dihadapi.21 Alih-alih melihat kenaikan pengaruh global
governance dan lembaganya sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasional, negara-negara dapat
beradaptasi secara proaktif, memanfaatkan manfaat yang ditawarkannya, sebagaimana yang
terlihat dalam penyelesaian konflik wilayah yang tidak dapat terselesaikan antara Peru dan Chile
yang akhirnya dapat diselesaikan secara damai melalui bantuan putusan legal dari Mahkamah
Internasional.
Analisis studi kasus ini juga disandarkan erat dengan peran International Court of Justice
(ICJ) dalam menangani kasus-kasus atau sengketa internasional yang tidak lagi dapat
diselesaikan oleh negara. Konsep ICJ sebagai manifestasi adanya global governance, seakan
memunculkan kepercayaan dan kredibilitas negara-negara untuk memberikan kedaulatan putusan
dan otoritas penuh untuk memutuskan hasil dari sengketa. Pendekatan Globalis juga kerap
bermain peran dalam munculnya konsep global governance dalam dimensi politik akibat
globalisasi. Pendekatan Globalis yang memang mempercayai adanya peleburan batas-batas
otoritas dan kedaulatan negara dalam politik internasional, seakan mendorong manifestasi politik
internasional yang semakin melebur dan bersandar pada hukum internasional sebagai dampak
dari globalisasi dalam dimensi politik. Pemikir Globalis berasumsi bahwasanya peran tradisional
negara dalam mengatasi isu atau sengketa dalam hubungan internasional, dala, hal ini Chile dan
Peru, sudah tidak akan relevan lagi apabila diselesaikan melalui pembicaraan dua pihak ini saja,
yang ada hanya akan konflik yang berkepanjangan dan tidak menemukan titik terang dengan
asumsi bahwa kedua negara ini akan sama-sama bertindak egois dalam mencapai kepentingan
nasional dan keuntungan bagi negaranya. Dengan inilah kemudian pemikir Globalis menyetujui
dan percaya pada eksistensi International Court of Justice (ICJ) sebagai penyelesai sengketa dan
mediator terbaik dan paling efektif, ICJ sebagai manifestasi legal dari konsep global governance
di bidang penanganan sengketa dan politik kepentingan antara Chile dan Peru ini.
21
Tuca, Sabina. “Global Governance vs. National Sovereignty in a Globalized World.” CES Working Papers, vol. 7,
no. 1, 2015, pp. 193–201, www.econstor.eu/bitstream/10419/198371/1/ceswp-v07-i1-p193-201.pdf. Alexandru Ioan
Cuza University of Iasi, Centre for European Studies,. Accessed 22 Nov. 2023.
Beberapa kelompok masyarakat kemudian menyetujui dan menerima, bahkan
mendukung secara penuh munculnya globalisasi, seakan mempercayai bahwa sengketa ini dapat
diselesaikan oleh peran institusi internasional, International Court of Justice (ICJ). Asumsi ini
kemudian terbukti dari kemampuan ICJ yang berhasil menyelesaikan berbagai sengketa, salah
satunya ialah sengketa maritim antara Chile dan Peru ini. Meskipun memang, pada putusan akhir
sidang ini, ICJ mengembalikan penyelesaian kepada kedua belah pihak dengan alasan guna
memupuk rasa percaya di antara mereka, namun kemampuan ICJ yang memiliki kredibilitas
legal dalam tatanan hukum internasional, serta kemudian mencakup eksistensinya yang
dipercaya dan di rekognisi pada tingkat internasional, seakan menjadi batu loncatan besar
perluasan dan peralihan kedaulatan negara yang seakan bisa “diserahkan” kepada institusi
internasional yang dipercayai secara penuh untuk memutuskan suatu sengketa.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Globalisasi politik secara singkat merupakan proses interaksi individu, kelompok, atau
aktor-aktor lainnya yang meluas hingga melewati batas-batas negara. Umumnya globalisasi
politik dapat terjadi apabila suatu isu politik menjadi sebuah gerakan politik yang berpengaruh
pada tingkatan regional maupun global. Munculnya aktor-aktor non-state dengan kedaulatan
tinggi membuat pola relasi dan interaksi baru yang dapat membantu negara menyelesaikan
konflik. Didukung dengan adanya pendekatan globalis yang meyakini konsep ‘negara-bangsa’
kurang relevan bagi masa kini, dengan alasan semakin sulit untuk menetapkan batas-batas
teritorial negara serta ketergantungan satu negara dengan lainnya yang semakin tinggi. Hal
tersebut menghadirkan tantangan-tantangan di luar kerangka ‘negara-bangsa’ yang mendorong
terciptanya Global Governance, yang melibatkan komponen masyarakat skala internasional
dengan tujuan mewujudkan tata kelola global yang lebih demokratis dan inklusif.
Salah satu contoh fungsi penggunaan kekuasaan Global Governance dalam sebuah
permasalahan yang melewati batas-batas negara terdapat dalam isu sengketa perbatasan maritim
antara Peru dengan Chili. Dimana hubungan kedua negara tersebut terlanjur buruk karena sejarah
yang pernah dilalui, didorong dengan seringnya terjadi kesalahpahaman terkait penafsiran
perjanjian-perjanjian batas teritorial sebelumnya menyebabkan isu ini menjadi berkepanjangan.
Dalam isu ini International Court of Justice atau Mahkamah Internasional dilibatkan karena
fungsi dan tujuan dibentuknya lembaga tersebut adalah menangani isu-isu sengketa internasional
yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan diplomasi antar negara bersangkutan. Pasca
penyerahan permasalahan kepada Mahkamah Internasional, keluarlah keputusan mengenai batas
maritim kedua negara tersebut dimulai sejak persimpangan paralel lintang melalui Boundary
Marker No 1 pada garis air rendah hingga 80 mil laut sepanjang paralel lintang ke point A. Di
point ini, batas maritim bergerak sejauh garis equidistance ke point B dan diukur dari garis
pangkal Chili ke point C sepanjang 200 mil yang akhirnya dapat disambut baik oleh kedua belah
pihak yang berkonflik. Pemikir globalis sendiri meyakini dengan adanya Mahkamah
Internasional sebagai mediator dan pemilik kekuasaan mutlak merupakan salah bentuk dari
implementasi dari globalisasi politik dan mengakui eksistensi serta fungsi dari Global
Governance tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bainus, A., & Rachman, J. B. (2022, November). EDITORIAL: Tata Kelola Global Dalam Hubungan
Internasional. Intermestic: Journal of International Studies, 7(1), 1-10.
doi:10.24198/intermestic.v7n1.1
Estuningtyas, R. D. (2018, December). Dampak Globalisasi Pada Politik, Ekonomi, Cara Berfikir Dan
Ideologi Serta Tantangan Dakwahnya. Jurnal IAIN KENDARI, 1-19
Horna, A. v. (2009). Maritime Dispute (Peru v. Chile): Background and Preliminary Thoughts, 23.
Retrieved November 22, 2023, from
https://www.academia.edu/5818738/Maritime_Dispute_Peru_v_Chile_Background_and_Prelimin
ary_Thoughts
Onwe, S. O., & Nwogbaga, D. M. E. (2015). Conceptual Issues and Theoretical Analysis of Sovereignty.
Research on Humanities and Social Sciences, 5(3).
https://core.ac.uk/download/pdf/234674366.pdf
Pavliha, M. G. & M. (2014, April 21). The International Court of Justice and the Peru-Chile Maritime
Case. E-International Relations.
https://www.e-ir.info/2014/04/21/the-international-court-of-justice-and-the-peru-chile-maritime-c
ase/#google_vignette
PEJABAT PENGELOLA INFORMASI & DOKUMENTASI (PPID). (2010). EXECUTIVE SUMMARY.
PPID LAN. Retrieved November 22, 2023, from
https://ppid.lan.go.id/wp-content/uploads/2014/10/ES-Global-Governance-2010.pdf
Sholikah, D. I. (2020). Analisis Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang
Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional (ICJ). Jurnal Hukum Lex Generalis, 1(1), 25-34.
Sugiono, M. (2005, Maret). Globalisasi, Global Governance dan Prospek Governance di Dunia Ketiga.
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 8(3), 249-262.
https://media.neliti.com/media/publications/37682-ID-globalisasi-global-governance-dan-prospek
-governance-di-dunia-ketiga.pdf
Suryani, C. (2014). PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN LAUT ANTARA PERU DENGAN
CHILE MELALUI MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 2008-2014. Jurnal Online
Mahasiswa 1(2).
Tuca, S. (2015). Global Governance vs. National Sovereignty in a Globalized World. CES Working
Papers, 7(1), 193–201. Alexandru Ioan Cuza University of Iasi, Centre for European Studies,.
https://www.econstor.eu/bitstream/10419/198371/1/ceswp-v07-i1-p193-201.pdf
Winanti, P. S. (2002, April). GLOBALISASI DAN NEGARA-BANGSA: KOMPETISI PERSPEKTIF
GLOBALIS DAN SKEPTIS DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL. Jurnal
Ketahanan Internasional, VI(1), 49-63.