Anda di halaman 1dari 22

QAIDAH FIQHIYAH MUAWADHAH

Ahmad Abdul Aziz


Etty Herawati
Mahasiswa Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta
Email: aziz.sukses87@gmail.com

ABSTRACT

Pada dasarnya dalam muammalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Makalah ini

bertujuan untuk membahas dan mengetahui penerapan salah satu dari Qaidah Al Mu’awadhah. Adapun

metodologi yang digunakan dalam Makalah ini yaitu metode kualitatif dengan pendekatan studi

kepustakaan. Al Mu’awadhah yang berlaku pada Syariat Islam serta tidak melanggar dengan ketentuan

syariat dapat diterapkan sebagai sumber hukum yang berlaku. Muamalah jual beli tidak dapat dipisahkan

dari akad (transaksi), karena dengan akad tersebut kedua belah pihak berkaitan dengan hukum Islam

(syariah) dalam bermuamalah, yang dalam praktiknya terbagi kepada 5 (lima) macam ; 1. Akad

mu’awadhah, adalah setiap akad yang mencakup serah terima (timbal balik) yang dilakukan oleh kedua

belah pihak, seperti akad al-ba’i (jual beli), ijarah (sewa menyewa) dan lain.
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Beberapa kalangan mencurigai bahwa Islam sebagai faktor penghambat

pembangunan (an obstacle to economic growth). Kesimpulan ini hampir dipastikan timbul

karena kesalahpahaman terhadap Islam. Seolah-olah Islam merupakan agama yang

hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem yang komprehensif

dan mencakup seluruh aspek kehidupan (Antonio, 2001).

Islam merupakan agama yang komprehensif dan universal. Komprehensif

berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah)

maupun sosial (muammalah). Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan

keharmonisan hubungan manusia dengan Allah swt serta menjadi pengingat bahwa

manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini. Sedangkan muammalah menjadi rule

of the game atau aturan manusia dalam kehidupan sosial. Di samping itu, maksud

universal adalah bahwa syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat

sampai Hari Akhir nanti. Selain itu muammalah tidak membeda-bedakan antara

muslim dan non-muslim. Sebagaimana ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina

Ali, bahwa “Dalam bidang muammalah, kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan

hak mereka adalah hak kita” (Antonio, 2001).

Muamalah memiliki prinsip dasar yaitu, pada asalnya dalam muamalah adalah

boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Segala perbuatan manusia, tindak

laku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum

syari’at yang tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah, maupun yang tidak

tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber-sumber lain yang diakui

oleh syariat. Adapun sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang

diambil dari dalil-dalil yang terperinci disebut dengan Ilmu Fiqh (Yahya dan

Fatchurrahman, 1986).
Ilmu fiqh merupakan bidang yang membahas perbuatan orang mukallaf dari segi

penetapan hukum syariat padanya. Adapun seorang Faqih (ulama ahli fiqh) dalam

membicarakan perbuatan-perbuatan orang mukallaf dalam bidang muammalah seperti

jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan gadai-menggadai, serta bidang

lainnya seperti bidang munakahat, jinayat. Adapun yang menjadi bidang pembahasan

Ilmu Ushul Fiqh ialah dalil-dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukkannya

kepada suatu hukum secara ijmali (menurut garis besarnya) seperti adakalanya dalam

bentuk kalimat perintah, kalimat larangan, dan kalimat yang bersifat umum, mutlak

dan sebagainya (Yahya dan Fatchurrahman, 1986).

Menurut Imam Ahmad bin Idris Al-Qurafi, dasar-dasar Syari’at Islam terdiri atas

dua bagian yaitu Ushulul-Fiqhi dan Qawai’dul-Fiqhiyah. Qaidah fiqhiyyah berfungsi

sebagai tempat para Mujtahid mengembalikan seluruh seluk-beluk masalah fiqhiyah

dan sebagai kaidah (dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang tidak

ditunjuk oleh nash yang sharih yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya.

Pada umumnya, sebagian ulama memadatkan Qaidah Fiqhiyyah menjadi beberapa

Qaidah Kulliyah induk menjadi 5 Qaidah Fiqhiyyah (Qawaidul Khams), yang terdiri atas

1) Segala urusan tergantung kepada tujuannya, 2) Keyakinan itu tidak dapat

dikalahkan oleh keraguan, 3) Kesukaran dapat menarik kepada kemudahan, 4)

Kemudharatan harus dilenyapkan, 5) Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum

(Yahya dan Fatchurrahman, 1986).

I.2. Landasan Teori

Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata

qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi,

kata qaidah, jamaknya qawaid. berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik

yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah,
maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar

agama). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang

menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Kata fiqhiyyah berasal dari kata

fiqh ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran.

Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud

pembicaraan dan perkataannya (Azhari, 2015).

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut

etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh. Dan

menurut Al-Taftazany pengertian qawaid fiqhiyyah secara terminologi yaitu Suatu

hukum yang bersifat universal yang dapat diterapkan kepada seluruh bagiannya agar

dapat diidentifikasikan hukum-hukum bagian tersebut darinya (Azhari, 2015).

I.3. Pengertian Muamalah


Secara etimologi, kata muamalah berasal dari berarti saling
bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan. Sedangkan pengertian secara
terminologi muamalah dapat dilihat sebagai muamalah secara luas dan muamalah
secara sempit (Azhari, 2015).
Menurut Muhammad Yusuf Musa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah
yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan
manusia. Dari pengertian tersebut di atas, berarti muamalah secara luas adalah segala
peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya dalam hidup dan kehidupan di dunia (pergaulan sosial) mencapai
suksesnya kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Ibn Abidin memasukkan
hukum kebendaan (muawadhah Maliyah), hukum perkawinan (munakahat), hukum acara
(Muhasanat), pinjaman (‘ariyah), dan harta peninggalan (tirkah). Tetapi apabila dilihat
dari muamalah secara sempit, maka hukum perkawinan diatur tersendiri dalam bab
fiqh munakahat, demikian pula harta peninggalan (warisan) diatur tersendiri dalam fiqh
pada bab mawarits, dan hukum acara diatur dalam fiqh pada bab murafaat (Azhari,
2015).
Dari pengertian muamalah secara sempit, dapat dipahami bahwa muamalah itu
adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
dalam kaitannya untuk memperoleh dan mengembangkan harta benda (Azhari, 2015).
II. METODE PENELITIAN
II.1. Jenis dan Data Studi
Makalah ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi
kepustakaan mengenai Qaidah Fiqhiyyah khususnya Qaidah Al-Muawadhah. Metode
penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post
positivisme digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai
lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada
generalisasi (Sugiyono: 2008).
Penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Data yang dianalisis tidak untuk
menerima atau menolak hipotesis (jika ada). Hasil analisis tersebut berupa deskripsi
atas gejala-gejala yang diamati dan tidak harus berbentuk angka-angka atau koefisien
antar variabel (Subana dan Sudrajat: 2005).

II.2. Proses Penyusunan Hukum Fiqh


Adapun proses penyusunan hukum fiqh dalam menyelesaikan suatu masalah
dengan pendekatan Qaidah Fiqhiyyah sebagai berikut:

Al-Quran & Ushul Qaidah


Fiqh
Hadits Fiqh Fiqhiyyah

Verifikasi Qaidah
Fiqhiyyah

Qaidah
Fiqh Qanun
Fiqhiyyah

Gambar 3.1 Proses Penyusunan Hukum Fiqh


III. PEMBAHASAN
III.1. Kaidah Fiqhiyyah

Kaidah-kaidah fiqih terdiri dari kaidah fiqih yang umum dan kaidah fiqih yang

khusus, salah satu kaidah fiqih yang khusus yaitu kaidah yang berhubungan dengan

masalah ekonomi (muamalah), kaidah-kaidah tersebut antara lain adalah sebagai

berikut:

‫األصل في المعاملة اإلباحة إال أن يدل دليل على تحريمها‬ .1


“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”
‫األصل في العقد رضى المتعاقدين ونتيجته ما التزماه بالتعاقد‬ .2
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya
adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
‫ال يجوز ألحد أن يصرف في ملك غيره بال إذنه‬ .3
“Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si
pemilik harta”
‫الباكل ال يقبل اإلجازة‬ .4
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
‫اإلجازة الالحقة كالوكالة السابقة‬ .5
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan
lebih dahulu”
‫األجر والضمان ال يجتمعان‬ .6
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan
bersamaan”
‫الخراج بالضمان‬ .7
“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”
‫الغرم بالغمن‬ .8
“Risiko itu menyertai manfaat”
‫إذا بطل شيئ بطل ما في ضمنه‬ .9
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
‫العقد على األعيان كالعقد على منافعها‬ .10
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda
tersebut”
‫كل ما يصح تأبيده من العقود المعاوضات فال يصح توقيته‬ .11
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara”
‫األمر بالتصرف في ملك الغير باطل‬ .12
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal”
‫ال يتم التبرع إال بالقبض‬ .13
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
‫الجواز السرعي ينافي الضمان‬ .14
“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti
rugi”
‫كل قبول جائز أن يكون قبلت‬ .15
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”
‫كل شرط كان من مضلحة العقد أو من مقتضاه فهو جائز‬ .16
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka
syarat tersebut dibolehkan”
‫ما جاز بيعه جاز رهنه‬ .17
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”
‫كل قرض جر منفعة فهو ربا‬ .18
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba”
‫الَض َر ُرُيَز اُل‬ .19
“Kemadharatan harus dihilangkan”[1]
‫الَح اَج ُة َتْنِز ُل َم ْنِز َلَة الَض ُروَر ِةَعاَم ًة َك اَن َأْو َخ اَص ًة‬ .20
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun
khusus”
‫االجرو واضمانل اليجتمعان‬ .21
“Sewa dan membayar kerusakan, tidaklah berkumpul”

‫كل ما يصح تأبيده من العقود المعاوضات فال يصح توقيته‬


“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-
masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban
menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain yaitu pembeli
berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinnya.
Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli
tidak dibatasi waktunya. Apabila waktuya dibatasi, maka bukan jial beli tapi sewa
menyewa.

2.1.1 Pengertian Akad Mu’awadhah

Pengertian Akad Mu’awadhah Secara etimolgy, Mu’awadhah berasal dari

kata ‘awadha dalam bahasa arab yang artinya tukar-menukar, mengganti

kerugian, membalas jasa, menebus dan memberi kompensasi.

Mu’awadhah adalah akad yang dilakukan karena adanya motif bisnis seperti jual

beli, sewa atau lainnya sehingga cara yang ditempuh dapat berupa pertukaran

harta dengan uang atau uang dengan jasa (sewa benda atau upah untuk tenaga).

Atau Akad muawadhah yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal

balik,seperti jual beli, sewa-menyewa, shulh, terhadap harta dengan harta.11

Motif bisnis tersebut di atasMenurut Rachmat Syafei,12jual beli dapat di

artikn sebagai pertukaran suatu dengan sesuatu (yang lain). Sedangkan menurut

Imam Nawawi, dalam al-majmu yang dimaksud dengan jual beli adalah

pertukaran harta dengan harta untukkepemilikan;

Beberapa pengertian tersebut di atas, jual beli adalah tukar menukar

barang dengan maksud memiliki tukar menukar barang pada umumnya jual beli

yang dilakukan dalam hal ini tukar menukar antara barang dengan alat tukar

yang sah (uang),

hal lain yang perlu di cermati apakah didasari dengan akad mua’wadhah dalam

sistem pertukaran atau jual beli.

11
Ashfia, Tazkia, dkk. Jurnal yang berjudul : Analisis Pengaturan Akad Tabarru’ dan
Akad Tijarah Pada Asuransi Syariah Menurut Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah, h. 4.
12
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Jakarta: Departemen Agama- Mimbar Hukum, 2004), h. 73.
Perdagangan sebagai alat pertukaran dapat dilihat dari segi masa dan

objeknya. Dari segi masanya pertukaran ini terdiri dari tunai ( naqdan ) dan

tangguh (bai’al mu’ajjal). Sedangkan dari objek pertukaran terdiri dari asset riil

yaitu barang, jasa manfaat, atau kegunaan, dan asset keuangan yaitu uang dan

sekuritas.Untuk itu, kedua jenis asset ini dapat dipertukarkan, sebagaimana

uraian berikut.13

1. Pertukaran ‘Ayn ( Benda ) dengan ‘Ayn ( Benda ) (Bai ‘Ayn bi’Ayn bi ‘Ayn).

Istilah ‘ayn merupakan objek pertukaran yang merupakan refpresentasi

dari barang atau jasa(manfaat). Dalam pertukaran antara ‘ayn dengan ‘ayn yang

memiliki perbedaan jenis, secara fiqh tidak menjadi masalah selama dilakukan

secara tunai dasar keridhaan

Pertukaran seperti ini biasanya terjadi pada barter, atau pertukaran

barang dengan barang. Dalam pertukaran ‘ayn dengan ‘aynia mesti dilakukan

dalam kualitas yang sama, jumlah yang sama, serta diserahka secara tunai.

Barter adalah kegiatan tukar-menukar barang yang terjadi tanpa

perantaraan uang. yang menghadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa

yang diproduksi sendiri tidak dapat dihasilkan sendiri mereka mencari dari

orang yang mau menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang lain yang

dibutuhkannya. Akibat barter, yaitu barang ditukar dengan barang.14

13
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta:ull Press,2008),

h.241.
14
Moh. Sa’I Affan, “Tradisi Jual Barter dalam Kajian Hukum Islam” h. 21.

Jual beli barter juga merupakan kegiatan dagang yang dilakukan dengan

cara mempertukarkan komoditi yang satu dengan komoditi yang lain. Jadi

dalam barter terjadi proses jual beli namun pembayarannya tidak menggunakan

uang, melainkan menggunakan barang. Tentunya nilai barang yang

dipertukarkan tidak jauh berbeda atau sama nilainya. Jual beli seperti ini lazim

dilakukan pada jaman dahulu ketika mata uang belum berlaku. Namun saat ini

ketika mata uang sudah berlaku diseluruh dunia, bahkan sudah ada sistem

elektoronik, barter masih berlangsung di beberapa tempat.15

Transaksi barter dapat dilakukan dan tidak bertentangan dengan

syari’ah.Namun demikian diperlukan aturan main yang jelas terutama tentang

informasi harga. Bukankah dalam transaksi ini semua pihak bertanggung jawab

untuk informasi mengenai kuantitas dan kualitasnya.16

Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan

barang (barter). Namun dalam pelaksanaanya bila tidak memperhatikan

ketentuan syariat dapat menjadi barter yang mengandung unsur riba.

Sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 275 :

‫َو َاَح َّل ُهّٰللا اْل َب ْي َع َو َح َّر َم الِّر ٰب وۗا‬

Terjemahnya:
Allah telah menghalalkan jual beli yang mengharamkan riba.

15
Umi Fadilah, “Tinjauan Hukum Islam tentang Jual Beli Barter Motor dengan Penambahan Uang”
h.69.
16
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2003), h.
47.

2. Pertukaran‘Ayn dengan Dayn ( Bai ‘Ayn bi Dayn )

Pertukaran ini merupakan aktivitas yang paling lazim dilakukan dalam

aktivitas bisnis.Pertukaran juga dapat terjadi antara benda (‘ayn) dengan

pembayaran yang di lakukan secara berutang (dayn), atau sebaliknya, hal ini

dapat dilihat pada bai’ al-salam, bai’ al-salam, bai’ al-istishna,’di samping itu, ‘ain

juga mencakup manfaat atau kegunaan, seperti aplikasi ijarah.

Ditinjau dari metode pembayaran, hukum syariat membolehkan jual beli

dilakukan secara tunai ( ba’i naqdan ), secara tangguh ( bai’I muajjal ) dan secara

tangguh serah ba’i salam ), jual beli tangguh dapat dilakukan secara penuh,

tetapi juga dapat dilakukan secara cicilan ( taqsith ).

Sedangkan jual beli serah tangguh dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

pertama, pembayaran harus di muka (ba’i salam ), dan kedua, pembayaran

dilakukan secara cicilan dengan syarat harus lunas sebelum barang di serahkan (

ba’i istisnha’).

Menurut ulama fiqh, istishna’ sama dengan jual beli salam dari segi objek
pesanannya, yang mana sama-sama harus dipesan terlebih dahulu dengan ciri-
ciri atau kriteria khusus yang dikehendaki pembeli. Perbedaannya : pembayaran
pada jual beli As-salam diawal sekaligus, sedangkan pembayaran pada Bai’ al-
istisnha’ dapat diawal, ditengah, dan di akhir sesuai dengan perjanjian.17
Sedangkan menurut kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna’ adalah
sebuah akad untuk sesuatu yang tergantung dengan syarat mengerjakannya,
sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam
membuat

17
Muhammad Ayyub, Keuangan Syariah, (Jakarta : PT Raja Gramedia Pustaka Utama,2009),hal 408
sesuatu,” buatkan untukku sesuatu barang dengan harga sekian,” dan orang
tersebut menerimanya, maka akad bai’al-istisnha’ telah terjadi dalam pandangan
mazhab ini.18

Berdasarkan pemikiran dari mazhab Imam Hanafi, ada beberapa alasan


yang mendasari diizinkannya transaksi berdasarkan bai’ al Istisnha’ ini19, yaitu :

1. Masyarakat banyak mempraktikkan bai’ al Istisnha’ secara luas dan terus

menerus tanpa adanya keberatan dan keterpaksaan sama sekali.

2. Keberadaan bai’ al-Istisnhah’ selama ini didasarkan akan kebutuhan orang

banyak, bisa terjadi orang yang yang memerlukan barang yang selama ini

tidak ada dipasaran. Akan tetapi ia lalu membuat kontrak pembelian agar

ada orang yang membuatkan barang tersebut bagi mereka.

3. Bai’ al-Istisnhah’ diizinkan selama sesuai dengan aturan umum kontrak

bai’al-Istisnhah’ yang sesuai dengan ajaran Agama Islam.

3. Pertukaran Dayn dengan Dayn ( Bai’Al-Dayn bi Al-Dayn)

Pertukaran Dayn dengan Dayn, yaitu pertukaran dua hal yang tertunda

( Nasi’ah), yang dimaksud nasi’ah di sini dapat terjadi pada pengalihan barang

(kepemilikan) dan pembayaran tetunda. Di samping itu juga dapat terjadi pada

pertukaran barang dengan barang atau uang dengan uang secara tangguh.

Peraturan yang ada tentang hal ini adalah adanya larangan untuk melakukan

penangguhan keduanya, baik itu berupa barang dengan barang, barang dengan

uang maupun uang dengan uang, penyerahan mesti dilakukan secara tunai dan pada masa
yang sama.
18
Mardani, Ayat-ayat dan hak Ekonomi Syariah, h. 62.
19
Zulkifli Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, h. 86.

2.2 Jual Beli

2.2.3.1 Pengertian jual beli.

Jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu
menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian
atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.20

Jual beli terdapat pertukaran benda yang satu dengan benda yang lain
yang menjadi penggantinya. Akibat hukum dari jual beli adalah terjadinya
pemindahan hak milik seseorang kepada orang lain atau dari penjual kepada
pembeli.21Jadi jual beli adalah memberikan barang atau benda yang dijual
kepada pihak yang membeli, dan si pembeli memberikan berupa alat tukar yang
sepadan dengan barang atau benda tersebut.

Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikat
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan.22Jadi jual beli merupakan pengikatan
seorang pembeli kepada penjual.
Disisi lain Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, dari segi hukum, jual
beli ada dua macam, yaitu jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut
hukum, dari segi objek dan dari segi pelaku jual beli. Ditinjau dari segi benda
yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin
yang telah dikutib oleh Hendi Suhendi… bahwa jual beli menjadi tiga bentuk
atau tiga macam yaitu: Jual beli benda yang kelihatan;Jual beli yang disebutkan
sifat-sifatnya dalam janji;danJual beli benda yang tidak ada.Jual beli benda yang
kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang
diperjual belikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan
masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras dipasar.
20
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 68-69.
21
Muhammad Asro dan Muhammad Kholid, Fiqh Perbankan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011),
h. 103-104.
22
R. subekti dan R. Tjirosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 2009), h. 366.

Jual beli menurut sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam

(pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah bentuk jual beli

yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang

atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu.Jual beli benda yang tidak

ada dan serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang oleh agama Islam

karena barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang

tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat

menimbulkan salah satu pihak

2.2.3.2 Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli telah di atur di dalam al-Qur’an, hadist, dan ijma’. Q.S

al-baqarah/2:198 adalah salah satu dasar hukum diperbolehkannya mencari

karunia Allah dengan berdagang, yang berbunyi :

‫َلْيَس َع َلْيُك ْم ُج َناٌح َاْن َتْبَتُغ ْو ا َفْض اًل ِّم ْن َّرِّبُك ْۗم َف ِاَذ ٓا َاَفْض ُتْم ِّم ْن‬
‫َع َر ٰف ٍت َفاْذ ُك ُروا َهّٰللا ِع ْن َد اْلَم ْش َع ِر اْلَح َر اِۖم َو اْذ ُك ُر ْو ُه َك َم ا َه ٰد ىُك ْۚم‬

‫َو ِاْن‬

‫۝‬١ ‫ُكْنُتْم ِّم ْن َقْبِلٖه َلِم َن الَّض ۤا ِّلْيَن‬


Terjemahnnya :
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu.Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah
kepada Allah di Masy'arilharam.dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu
sebelum itu benar- benar Termasuk orang-orang yang sesat.23

Ayat di atas menerangkan bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang
mencari karunia Allah dengan cara berdagang. Namun, janganlah
meninggalkan amal ibadah kepada Allah saat telah dilaksankannya kegiatan
perdagangan tesebut.

2.2.3.3 Rukun dan syarat jual beli

Adapun rukun jual beli ada 3 yaitu. Aqid (penjual dan pembeli),
Ma’aqud Alaih ( objek akad ) dan sighat ( lafaz ijab qabul).24

Aqid ( penjual dan pembeli ) yang dalam hal ini dua atau beberapa orang
melakukan akad, adapun syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad ialah :

a. Baligh dan berakal

Disyariatkan aqidain baligh dan berakal yaitu agar tidak mudah ditipu orang

maka batal akad anak kecil, orang gila dan orang bodoh, sebab mereka tidak

pandai mengendalikan harta, bias dikatakan tidak sah. Oleh karena itu anak

kecil, orang gila dan orang bodoh tidak boleh menjual harta sekalipun miliknya.25

Sebagaimana dalam firman Allah swt, Q.S An-Nisaa-04: 5

‫َو اَل ُتْؤ ُتوا الُّس َفَهاَء َأْم َو اَلُك ُم اَّلِتي َج َعَل ُهللا َلُك ْم ِقَياًم ا َو اْر ُز ُقوُهْم ِفيَها‬
‫َو اْك ُسوُهْم َو ُقوُلوا َلُهْم َقْو اًل َم ْعُروًفا‬
Terjemahnya :
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan.berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.26
23
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 39.
24
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 74.

Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-sama di

antara kamu.Dan janganlah kamu membunuh dirimu.Namun jika pemaksaan

tersebut atas dasar pemaksaan yang benar, maka jual beli dianggap sah. Seperti

jika ada seorang hakim yang memaksa menjual hak miliknya untuk menunaikan

kewajiban agamanya, maka paksaan ini adalah paksaan yang berdasarkan atas

kebenaran.

b. Keduanya tidak mubazir

Keadaan tidak mubazir, maksudnya para pihak yang mengikatkan dalam

perbuatan jual beli tersebut bukanlah manusia noros ( mubazir ).Karena orang

boros dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap dalam

bertindak, maksudnya dia tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum

walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri.

c. Ma’aqud Alaih( objek akad ) : syarat-syarat benda yang dapat dijadikan objek

akad yaitu: suci, memberi manfaat manurut syara’, tidak digantungkan pada

sesuatu, tidak dibatasiwaktu, dapat diserahterimakan, milik sendiri dan

diketahui.

27
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya. h. 108.
d. Shigat ( lafazd ijab qabul )

Jual beli dianggap sah, jika terjadi sebuah kesepakatan ( sighat ) baik
secara lisan ( sighat qauliyah ) maupun dengan cara perbuatan ( sighat fi’liyah).
Sighat qauliyah yaitu perkataan yang terucap dari pihak penjual dan pembeli.
Sedangkan sighat fi’liyah yaitu sebuah proses serah terima barang yang
diperjualbelikan yang terdiri dari proses pengambilan dan penyerahan.28

2.2.3.4 Prinsip-prinsip dalam jual beli


1.Prinsip Halal
Alasan mencari rizki ( berinvestasi ) dengan cara halal, yaitu :29

a. Karena Allah memerintahkan untuk rezeki dengan jalan halal

b. Pada harta halal mengandung keberkahan

c. Pada harta halal akan mengandung manfaatndan maslahah yang agung bagi
manusia
d. Pada harta halal akan membawa pengaruh positif bagi perilaku manusia

e. Pada harta halal melahirkan pribadi yang istiqamah, yakni yang selalu
berada dalam kebaikan, kesalehan, ketakwaan, keikhlasan dan keadilan
2. Prinsip Maslahah

Maslahah adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil hukum tertentu yang
membenarkan atau membatalkannya atas segala tindakan manusia ditemukan
dalam rangka mencapai tujuan syara’.Maslahah dalam konteks investasi yang
dilakukan oleh seseorang hendaknya bermanfaat bagi pihak-pihak yang
melakukan transaksi dan juga harus dirasakan oleh
masyarakat.Menginvestasikan harta pada usaha yang tidak mendatangkan
maslahah kepada masyarakat harus ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan
kehendak Syariat Islam.

28
Saleh Al-Fauzan, Mulakhasul Fiqhiyah, ter. Abdul Khayyi Al-Kahani, Fiqh Sehari-hari

(Jakarta: Gema Insani Pers, 2005 ), h. 364.


29
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, h. 178.

3. Prinsip Ibadah ( Boleh )

Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai


ditemukan dalil yang melarangnya, kaidah-kaidah umum yang ditetapkan syara’
dimaksud di antaranya :30

a. Muamalah yang dilakukan oleh seorang muslim harus dalam rangka


mengabdi kepada Allah SWT dan senantiasa berprinsip bahwa Allah SWT
selalu mengontrol dan mengawasi tindakannya.
b. Seluruh tindakan muamalah tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan dan
dilakukan dengan mengetengahkan akhlak terpuji, sesuai dengan
kedudukan manusia sebagai khlaifah Allah di bumi.
c. Melakukan pertimbangan atas kemaslahatan pribadi dan kemaslahatan
masyarakat.
4. Prinsip terhindar dari investasi yang dilarang

a. Terhindar dari ihtikaar

Upaya dari seseorang untuk menumbun barang pada saat barang


langkah diperkirakan harga akan naik, seperti menimbun bahan bakar.
b. Terhindar dari iktinaz

Dalam Islam penimbunan harta seperti emas, perak, dan lain sebagainya
disebut

iktinaz

c. Terhindar dari tas’ir

Adapun yang dimaksud tas’ir adalah penetapan harga standar pasar yang
ditetapkan oleh pemerintah atau yang berwenang untuk disosialisasikan
secara paksa kepada masyarakat dalam jual beli.

30
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, h. 179.

d. Terhindar dari upaya melambungkan harga

1) Larangan an-najasy

Najsy adalah mempermainkan harga, yaitu pihak pembeli menawar

dalam suatu pembelian dengan maksud agar orang lain menawar lebih

tinggi.

2) Larangan ba’I ba’adh’ala ba’adh

Praktis bisnis ini adalah dengan melakukan lonjakan atau penurunan

harga dimana kedua belah pihak yang terlibat tawar-menawar masih

melakukan dealing, atau baru akan menyelesaikan penetapan harga.

3) Barang tallaqi al-rukban

Praktik ini adalah sebuah perbuatan seseorang di mana ia mencegah

orang-orang yang membawa barang dari desa dan membeli barang itu

sebelum tiba di pasar.

4) Larangan jual beli ahlul hadhar

Praktik perdagangan seperti ini sangat potensial untuk melambungkan


harga dan sangat dilarang oleh syarat Islam karena dapat
menimbulkan kenaikan harga.31
e. Terhindar dari riba

Secara etomologis riba berarti ziyadah( tambahan ), tumbuh dan

membesar, secara terminologis fiqih riba yaitu pengambilan tambahan dari

pokok atau modal secara tidak baik atau bertentangan dengan prinsip syariah.

Menurut Yusuf Al-Qardhawi, terdapat empat alasan mengapa Islam

melarang praktik pemungutan riba, yaitu :

1) Memungut riba artinya memungut atau mengambil harta orang lain

tanpa memberikan orang tersebut penggantian dalam bentuk apapun.

2) Ketergantungan pada riba membuat seseorang menjadi malas bekerja

untuk mendapatkan uang.

3) Membolehkan memungut riba menghambat orang untuk berbuat baik.

Jika riba dilarang maka orang akan memberi pinjaman kepada orang

lain dengan I’tikad baik.

4) Orang yang meminjamkan biasanya kaya dan si peminjam miskin. Si

miskin akan dieksploitasi oleh si kaya melalui pemungutan riba atsa

pinjaman.32
IV. PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

Islam telah mensyari’atkan kepada manusia bahwa terpenuhinya kebutuhan

sehari-hari dan sistem muamalah transaksi (akad) jual beli harus dengan jalan suka

sama suka di antara kedua belah pihak (penjual & pembeli). Sesorang tidak boleh

mengambil harta orang lain secara paksa. Karena tujuan transaksi (akad) jual beli

untuk memberikan keleluasaan kepada manusia dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hikmah disyari’atkan transaksi

(akad) jual beli untuk saling tolong menolong, saling berinteraksi (bermuamalah) di

antara mereka, dan saling memenuhi kebutuhan mereka dengan adil. Dengan demikian

disyari’atkanya jual beli ini terdapat hikmah dan rahmat dari Allah swt. sebagaimana

firman Allah surat al-Maidah ayat 50.

Akad mu’awadhah, adalah setiap akad yang mencakup serah terima (timbal

balik) yang dilakukan oleh kedua belah pihak, seperti akad al-ba’i (jual beli), ijarah

(sewa menyewa) dan lain sebegainya..

Muamalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari akad (transaksi), karena dengan

akad tersebut kedua belah pihak berkaitan dengan hukum Islam (syariah) dalam

bermuamalah, yang dalam praktiknya terbagi kepada 5 (lima) macam yang salah satu

nya adalah akad Mu’awadhah


DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press.
Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muammalah. Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummah (LPKU).
Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Ushul Fiqh Cetakan Pertama Juli 2010. Jakarta: Amzah
Dahlan, Tamrin. 2010. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah). Malang: UIN
Maliki Press, Hal.203.
Subana dan Sudrajat. 2005. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia, Hal. 17.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, Hal.9.
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami.
Bandung: Al-Ma’arif.

Anda mungkin juga menyukai