Anda di halaman 1dari 16

PERAN LPSK TERHADAP WHISTLEBLOWER DALAM TINDAK PIDANA

PEMERKOSAAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah viktimologi

Dosen Pengampu: Dr. Alfitra, S.H, M.Hum.

Disusun oleh:

Kelompok 6

Latifah Zahra (11200480000061)

Niko Darmawan (11200480000070)

Shalsabila (11200480000084)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN ILMU HUKUM

1445 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Peran LPSK terhadap
Whistleblower dalam tindak pidana pemerkosaan” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen Bapak
Dr. Alfitra, S.H., M.H. pada mata kuliah Viktimologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang “Peran LPSK terhadap whistleblower dalam tindak pidana
pemerkosaan” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Alfitra, S.H., M.H. selaku dosen
mata kuliah Viktimologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Tangerang Selatan, 27 November 2023

Penulis

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI .............................................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................................ i
1. Latar Belakang .................................................................................................................... i
2. Rumusan Masalah ..............................................................................................................ii
3. Tujuan .................................................................................................................................ii
BAB II: PEMBAHASAN ...................................................................................................... iii
1. Definisi Whistleblower .................................................................................................... iii
2. Tugas, Wewenang dan Fungsi LPSK ................................................................................. v
3. Perlindungan LPSK terhadap Whistleblower ................................................................... vi
4. Contoh Kasus .................................................................................................................... ix
BAB III: PENUTUP ..............................................................................................................xii
1. Kesimpulan.......................................................................................................................xii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... xiii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tindak pidana pemerkosaan merupakan sebuah Tindakan kekerasan yang dinilai sangat
merugikan serta mengganggu ketentraman dan ketertiban hidup, khususnya terhadap orang
yang menjadi korbannya. Bahkan hingga saat ini tindak pidana pemerkosaan merupakan
sebuah kejahatan yang mendapat perhatian serius dalam Masyarakat. Hal ini dikarenakan
kejahatan ini tidak hanya terjadi dalam kehidupan di kota-kota besar yang memiliki
kebudayaan dan kesadaran hukum yang relatif tinggi, tapi juga mengakar hingga ke pedesaan
yang cenderung masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat yang kental.

Orang yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan akan mengalami beberapa
penderitaan yang sangat berat baik secara fisik maupun psikis pasca kejadian yang menimpa
dirinya seperti: penderitaan fisik, luka, cacat, hadirnya rasa bersalah yang hebat, takut
berinteraksi dengan orang lain, merasa malu, hingga mengalami cacat jiwa. Jika diperhatikan
lebih lanjut, orang yang cenderung menjadi korban kejahatan tindak pidana pemerkosaan
adalah wanita, hal ini dapat terjadi karena mayoritas pelaku pemerkosaan menganggap Wanita
adalah makhluk yang lemah dan tidak akan bisa melaporkan mengenai tindak pidana yang
dialami karena mendapatkan tekanan yang besar dari lingkungan sekitarnya.

Selain itu, berdasarkan catatan kepolisian sebagian besar korban pemerkosaan


cenderung lebih memilih berdiam diri bahkan pasrah menerima nasib yang menimpanya
daripada melaporkan kejadian tersebut pada aparat kepolisian. Tindakan korban yang memilih
tidak melaporkan kasus yang dialaminya itu dapat dipahami karena di mata mereka meskipun
mencoba menuntut keadilan atas masalah yang diterima, belum tentu hukum akan
menerimanya. Bahkan korban juga cenderung merasa malu jika kejadian yang menimpa
dirinya diketahui oleh orang lain atau korban merasa takut karena diancam oleh pelaku.1

Saat ini tindak pidana pemerkosaan di Indonesia menjadi sebuah kejahatan yang
mendapatkan perhatian serius di kalangan Masyarakat. Bahkan dapat dikatakan tindak pidana
pemerkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap
penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Hal ini semakin
memperparah penderitaan korban pemerkosaan ketika dalam proses peradilan korban hanya

1
M Tholchan Hasan, 2011, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual, Cetakan kedia, PT
Refika Aditama, hal-76

i
menjadi saksi, dalam hal ini saksi korban. Sehingga korban menjadi pihak yang paling
dirugikan dalam proses peradilan pidana menurut KUHAP yang seolah-olah hanya
menempatkan korban sebagai saksi yang hanya penting untuk digunakan dalam memberikan
keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku.2

Berkaitan dengan perlindungan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan, Indonesia


sudah memiliki UU Nomor 13 tahun 2006 sebagaimana yang sudah diubah dengan UU Nomor
31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kemudian Indonesia juga telah
membangun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertujuan untuk
emmastikan perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan pidana serta
membantu para aparat penegak hukum dalam mengungkap kejahatan sehingga pelaku dapat
dijatuhi hukuman yang semestinya serta memberikan perlindungan baik terhadap pelapor,
saksi, maupun korban. Namun LPSK juga dituntut untuk memberikan perlindungan kepada
korban tindak pidana pemerkosaan bahkan sebelum proses persidangan dimulai, sehingga
dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai fungsi dan kewenangan LPSK dalam
melindungi pelapor (whistleblower) bahkan yang menjadi korban dari tindak pidana
pemerkosaan.

2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan whistleblower?


2. Apa tugas dan wewenang dari LPSK?
3. Apa dasar perlindungan LPSK terhadap whistleblower dalam tindak pidana
pemerkosaan?

3. Tujuan

1. Untuk memahami substansi dari whistleblower serta kaitannya dengan perlindungan


LPSK
2. Untuuk mengetahui peran dan wewenang dari Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban dalam melindungi korban tindak pidana pemerkosaan
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah viktimologi
4. Untuk menjadi sumbangsih ilmu pengetahuan

2
Rena Yulia, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Cetakan Pertama, Yogyakarta,
hal-13

ii
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Whistleblower

Whistleblower merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris biasanya diartikan sebagai
(peniup peluit). Saksi pelapor juga merupakan salah satu pemahaman mengenai whistleblower,
jadi orang yang memberikan kesaksian, laporan atau pengungkap fakta mengenai adanya
sebuah tindak kejahatan dimana ia tidak terlibat dalam kejahatan yang dilaporkan (pelapor
bukanlah pelaku kejahatan).

Whistleblower menurut Mardjono Reksodiputro ialah orang yang membocorkan rahasia atau
pengadu. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 20113 menjelaskan
terkait Whistleblower yakni pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu
(seperti terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, korupsi dan tindak pidana terorganisir
lainnya) dan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.

Jenis dan Mekanisme Pelaporan Whistleblower Floriano C. Roa menyebutkan bahwa ada dua
jenis pelaporan yang dapat dilakukan oleh Whistleblower, yaitu:

1. Pelaporan dalam lingkup internal


Merupakan pelaporan yang disampaikan langsung kepada atasan yang dalam ruang
lingkup satu instansi atau perusahaan yang sama.
2. Pelaporan dalam lingkup eksternal
Merupakan pelaoran yang disampaikan kepada individu, badan pengawas, atau pihak
eksternal lainnya (diluar ruang lingkup instansi) terkait kegiatan ilegal atau immoral
dalam perusahaan atau instansi, seperti pelaporan kepada kepolisian.

Mekanisme Pelaporan Whistleblower:

1. Mekanisme pelaporan secara internal


Secara internal whistleblower dapat melaporkan adanya dugaan pelanggaran atau
tindak pidana ke atasan (satu ruang lingkup instansi) secara langsung atau dapat melalui
media lain yang dalam mekanisme pelaporannya sudah disiapkan. Namun, dalam suatu
instansi perlu adanya penegasan terkait bentuk pelanggaran atau tindak pidana yang
dapat dilaporkan (repotable).

3
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana
(Whistleblower) dan Saksi Pelaku yanG Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana
Tertentu.

iii
Setelah atasan mendapatkan laporan mengenai adanya dugaan pelanggaran dari
whistleblower sang atasan melapor kepada pimpinan eksekutif atau bahkan dewan
komisaris, Pemimpin eksekutif memiliki tanggung jawab untuk memastikan apakah
dugaan pelanggaran yang terjadi itu benar atau tidak. Oleh karena itu pemimpin
eksekutif dan dewan komisaris akan membentuk tim investigasi atau tim audit yang
independen untuk melaksanakan investigasi secara adil, termasuk kepada orang yang
dilaporkan. Kemudian hasil investigasi tersebut dilaporkan kepada pimpinan eksekutif
atau dewan komisaris untuk mengambil keputusan atau kebijakan terkait dugaan
pelanggaran tindak pidana yang terjadi.
Sejak awal, perlu diumumkan secara luas kepada karyawan terkait sistem pelaporan
dan perlindungan whistleblower di perusahaan. Selain itu, kerahasiaan dalam sistem
pelaporan dan perlindungan terhadap whistleblower menjadi sangat penting. Sehingga,
karyawan benar-benar mendapatkan kepastian mengenai otoritas yang berwenang
menangani laporan whistleblower demi perbaikan kinerja perusahaan. Selain itu,
karyawan sebagai whistleblower benar-benar yakin bahwa dirinya dilindungi dan
laporan yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat ditindaklanjuti.
4. Mekanisme pelaporan secara eksternal
Berbanding terbalik dengan mekanisme internal, pada mekanisme eksternal diperlukan
lembaga di luar perusahaan yang memiliki kewenangan untuk menerima laporan
whistleblower.

Dan berikut hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mekanisme pelaporan secara eksternal,
yakni:

a. Kelembagaan
Kejelasan lembaga eksternal yang berwenang menerima laporan whistleblower sangat
penting. Dengan demikian, whistleblower dapat mengetahui kemana laporan harus
ditujukan dan ditindaklanjuti. Lembaga itu juga perlu menyediakan saluran komunikasi
khusus untuk dapat menerima laporan secara rahasia. Bahkan, lembaga itu sebaiknya
menyediakan petugas atau tenaga khusus untuk menerima pelaporan, termasuk
melindungi whistleblower dari berbagai tindakan balas dendam dari pihak yang
dilaporkan.
b. Kejelasan apa yang boleh dan tidak boleh
Untuk kepentingan pelaporan, seorang whistleblower juga perlu memiliki pengetahuan
yang memadai atas dugaan pelanggaran atau tindak pidana yang akan diungkap.

iv
Pengetahuan mengenai hal-hal yang dapat dilaporkan sebagai pelanggaran dan
kejahatan biasanya berdasarkan aturan-aturan di internal perusahaan kesepakatan etik
dalam berbisnis. Jika semua hal yang dapat dilaporkan tersebut diatur dan disepakati
oleh internal perusahaan, maka mudah bagi semua orang untuk dapat menjadi
whistleblower.
c. Jaminan perlindungan pada whistleblower
Jika whistleblower sudah melaporkan ke lembaga yang berwenang, seorang
whistleblower perlu mendapatkan perlakuan yang baik. Perlakuan yang baik itu
meliputi adanya jaminan perlindungan terhadap aksi balas dendam, seperti pemecatan.
Laporan whistleblower pun perlu dilindungi dan ditindaklanjuti oleh otoritas yang
berwenang di perusahaan tersebut

2. Tugas, Wewenang dan Fungsi LPSK

LPSK adalah singkatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga
Perlindungan Saksi atau LPSK adalah institusi yang memiliki wewenang dan tugas untuk
memberikan perlindungan serta hak-hak lain kepada para saksi dan/atau korban, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.khususnya korban kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan
anak yang menjadi korban.LPSK merupakan Lembaga mandiri yang berkedudukan di Ibu Kota
Negara RI dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan.

Dalam pelaksanaan tugas LPSK dibantu oleh sekretariat yang memberikan pelayanan
administrasi bagi kegiatan LPSK yang dipimpin oleh sekretaris yang berasal dari PNS.
Sekretaris LPSK diangkat dan diberhentikan oleh Mentri Sekretaris Negara. LPSK memiliki
tanggung jawab yang sesuai dengan namanya dalam mengurus perlindungan saksi dan korban.
Tugas dan fungsi LPSK yang resmi diatur dalam Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban Nomor 5 Tahun 2010 mencakup beberapa bidang yang berbeda. Dari sana, tugas LPSK
dapat diuraikan dengan lebih rinci. Beberapa tugas dan fungsi tersebut antara lain:

1. Merumuskan kebijakan di bidang perlindungan saksi dan korban


2. Memberikan perlindungan kepada saksi dan korban
3. Memberikan kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada saksi dan/atau korban
4. Menyebarkan informasi dan menjalin hubungan dengan Masyarakat
5. Bekerja sama dengan instansi dan menyediakan pelatihan
6. Melakukan pengawasan, pelaporan, penelitian, dan pengembangan, serta menjalankan
tugas lain yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban.

v
7. Semua tugas tersebut bersifat legal dan dijalankan sesuai dengan Peraturan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 Tahun 2010.

LPSK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan
kebutuhan organisasi LPSK. Tenaga ahli diangkat dan diberhentikan oleh pejabat. Pembina
kepegawaian dengan persetujuan Ketua LPSK. Tenaga ahli berhak atas penghasilan dan hak
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Wewenang LPSK adalah:

1. Meminta informasi baik secara lisan maupun tertulis dari pemohon dan pihak terkait
terkait dengan permohonan
2. Melakukan analisis informasi, surat dan dokumen terkait untuk memastikan kebenaran
dari permohonan tersebut
3. Mengajukan permintaan untuk mendapatkan salinan atau fotokopi dokumen yang
terkait dari instansi manapun sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, guna
mengevaluasi laporan pemohon
4. Meminta informasi terbaru tentang perkembangan kasus dari penegak hukum
5. Merubah identitas terlindungi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
6. Mengelola tempat perlindungan yang aman
7. Melakukan pemindahan atau relokasi terlindung ke lokasi yang lebih aman
8. Memberikan pengamanan dan pengawalan terhadap terlindung
9. Mendampingi saksi dan/atau korban dalam proses peradilan
10. Menilai jumlah ganti rugi yang diberikan dalam bentuk restitusi dan kompensasi.

3. Perlindungan LPSK terhadap Whistleblower

Perlindungan hukum adalah setiap bentuk perlindungan yang diatur dan didasarkan
oleh peraturan perundang-undangan dan berdasarkan kepastian hukum. Mengacu pada 8
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002,4 perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang
wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa
aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Perlindungan hukum terhadap
whistleblower seharusnya berlaku baik pada semua tahap peradilan, mulai dari pelaporan,

4
Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2002

vi
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pemeriksaan, maupun hingga proses
peradilan selesai. Hal ini dikarenakan ancaman dan teror yang seringkali mengancam para
whistleblower, bahkan dapat membahayakan nyawanya dan keluarganya. Ancaman dan teror
tersebut bisa saja berasal dari pihak-pihak yang tindak pidananya dilaporkan oleh
whistleblower. Oleh karena itu, perlindungan hukum perlu diberikan kepada whistleblower dan
keluarga mereka karena keamanan dan kenyamanan akan berpengaruh pada whistleblower
sebagai pengungkap fakta.

UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban menjadi dasar hukum perlindungan terhadap whistleblower,
terutama perlindungan hukum. Undang-undang ini menjadi angin segar bagi whistleblower
untuk benar-benar mengungkap fakta terjadinya suatu tindak pidana tanpa terbebani oleh kasus
hukum yang mungkin menjeratnya karena telah melaporkan tindak pidana. Mengacu pada
undang-undang tersebut, whistleblower atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik
pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah
diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. Jika
terdapat tuntutan hukum terhadap whistleblower atas kesaksian dan/atau laporan yang akan,
sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia
laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan
hukum tetap.

Undang-undang ini dipertegas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4
Tahun 2011. SEMA tersebut menjadi pedoman bagi perlindungan status hukum dan
pelaksanaan ketentuan perlindungan hukum whistleblower yang tertuang di dalam UU Nomor
13 Tahun 2006. Berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2011, terdapat sejumlah kriteria bagi
seseorang agar dapat disebut whistleblower, yakni yang bersangkutan merupakan pihak yang
mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku
kejahatan yang dilaporkannya. Adapun tindak pidana tertentu yang dimaksud seperti korupsi,
terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir
yang lain. Melalui SEMA ini, Mahkamah Agung meminta kepada para hakim agar jika
menemukan orang yang dapat dikategorikan sebagai whistleblower dapat memberikan
penanganan khusus. Penanganan khusus tersebut, yakni apabila whistleblower atau pelapor

vii
dilaporkan juga oleh terlapor, maka penanganan perkara 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2
tahun 2002 9 atas laporan yang disampaikan oleh whistleblower harus didahulukan.5

Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian


Uang itu mengatur ketentuan mengenai sistem pelaporan dan perlindungan pelapor atau
whistleblower. Pasal 83 UU itu, misalnya, mengatur pejabat dan pegawai PPATK, penyidik,
penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan pelapor. Pelanggaran
terhadap ketentuan di atas memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut
ganti kerugian melalui pengadilan. Undang-Undang tersebut juga menegaskan pentingnya
peran negara dalam memberikan perlindungan terhadap pelapor sebagaimana diatur dalam
Pasal 84. Pasal itu menjelaskan bahwa setiap orang yang melapor-kan terjadinya dugaan tindak
pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Selain
PPATK, KPK juga memiliki sistem pelaporan dan perlindungan pelapor. KPK melalui situsnya,
kws.kpk.go.id telah membuat sistem pelaporan, yaitu KPK whisleblower’s system bagi
masyarakat yang ingin melaporkan dugaan tindak pidana korupsi.6

LPSK juga melakukan perlindungan terhadap mereka sesuai dengan pengaturan di


Pasal 5 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006. Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur hal-hal yang
terkait dengan perlindungan terhadap pelapor atau whistleblower. Seseorang yang ditetapkan
atau diputuskan sebagai whistleblower dan masuk dalam program whistleblower memiliki hak-
hak yang dapat diberikan. Hak-hak itu meliputi:7

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harga benda, serta
bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya
2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan
3) Memberikan keterangan tanpa tekanan
4) Mendapatkan penerjemah
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat

5
Issha Harruma, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower, Kompas.com, 24 Desember 2022.
6
Abdul Haris Semendawai, 2011, Memahami Whistleblower, Jakarta: Pusat Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban, hal-32
7
UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 tahun 2006 tentang Perluundungan
Saksi dan Korban

viii
6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
7) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan
9) Dirahasiakan identitasnya
10) Mendapat identitas baru
11) Mendapatkan tempat kediaman baru
12) Memperoleh pergantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
13) Mendapat nasihat hukum
14) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir; dan/atau mendapat pendampingan

Selanjutnya sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, LPSK juga
melindungi whistleblower berupa:

a. Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik
pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah
diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad
baik.
b. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau
Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan,
tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan
kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap

4. Contoh Kasus

Kasus Pemerkosaan 12 Santriwati oleh Herry Wirawan8


Kasus pemerkosaan 12 santriwati yang dilakukan Herry Wirawan terbongkar setelah
salah satu korban pulang ke rumah pada saat merayakan hari raya idul fitri. Pada saat itu, orang
tua korban tersebut merasa ada yang berbeda dengan anaknya hingga akhirnya diketahui bahwa
anaknya tengah berbadan dua. Mengetahui kejadian itu, orang tua korban melaporkan hal
tersebut ke pihak Polda Jabar didampingi oleh Kepala Desa. Pada kasus tersebut LPSK
memberikan perlindungan kepada 29 orang (12 orang diantaranya anak dibawah umur) yang
terdiri dari pelapor, saksi dan/atau korban, dan saksi pada saat memberikan keterangan dalam
persidangan dugaan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Rangkaian perlindungan ini

8
Agie Permadi, Khairina, Kasus Pemerkosaan 12 Santriwati di Bandung, LPSK Duga Adanya
Eksploitasi Ekonomi, diakses dari https://regional.kompas.com/read/2021/12/09/124234578/kasus-pemerkosaan-
12-santriwati-di-bandung-lpsk-duga-adanya-ekploitasi?page=all pada 26 November 2023

ix
diberikan untuk memastikan para saksi dalam keadaan aman, tenang dan nyaman saat
memberikan keterangan agar dapat membantu majelis hakim dalam membuat terang perkara.
Saat memberikan keterangan di persidangan, para saksi dan/atau korban yang masih belum
cukup umur didampingi orang tua atau walinya. LPSK juga memberikan bantuan rehabilitasi
psikologis bagi korban serta fasilitasi penghitungan restitusi yang berkasnya siap disampaikan
ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Pengadilan Negeri Bandung. LPSK juga memberikan
bantuan layanan medis saat salah satu saksi korban menjalani proses persalinan di Rumah
Sakit.

Kasus Pemerkosaan Dua Anak Perempuan Di Surabaya

Kasus dua anak perempuan di Surabaya, Jawa Timur, menjadi korban pemerkosaan.
Pola kejahatan kedua kasus tersebut mirip, yaitu bermula saat pelaku mendekati korban lewat
sosial media. Kasus pertama dialami oleh M(15), siswi kelas 8 salah satu SMP Negeru, warga
Bubutan. Korban di perkosa oleh tiga pemuda pada Desember 2022, pada kasus beru terungkap
pada 22 April 2023. Terungkapnya kasus ini bermula dari kecurigaan orangtua terhadap
perubahan perilaku M. Setelah ditanya korban mengaku hamil lima bulan setelah dipaksa
mengonsumsi minuman beralkohol dan diperkosa oleh pelaku. Orangtua korban mengadukan
kasus ini ke anggota DPRD Kota Surabaya, Imam Syafii, yang kemudian meneruskannya ke
Polrestabes Surabaya. Dalam kasus ini, Wali Kota Surabaya memerintahkan jajarannya untuk
memberikan pendampingan psikologi, bantuan hukum hingga pengamanan, dan jaminan
keberlanjutan pendidikan korban agar korban tetap sekolah dan akan terus dilindungi.

Kasus Mas Bechi, Anak Kiai yang Cabuli Santriwati di Jombang.

Moch Subchi Azal Tzani alias Mas Bechi (41) terbukti sah melakukan pencabulan
terhadap santriwati di Jombang, Jawa Timur. Nama Mas Bechi menjadi sorotan lantaran proses
penangkapannya yang penuh drama sampai menjadi DPO. Kasus ini bermula saat rekrutmen
tenaga kesehatan dari kalangan santriwati. Para santri yang mendaftar sebagai tenaga kesehatan
diminta melakukan wawancara internal dengan tersangka. Para santri harus melakukan ritual
kemben dengan telanjang bulat, mereka diminta memakai kemben dan masuk ke kolam dengan
kondisi telanjang dada. Saat itu tersangka melakukan pelecehan seksual kepada para korban
dengan dalih menyalurkan ilmu. Tersangka mengancam korban tidak lulus seleksi jika menolak
permintaannya. Dalam kasus tersebut laporan terhadap tersangka diajukan oleh lima orang
korban.

x
LPSK memberikan empat rekomendasi terkait kasus pencabulan yang dilakukan oleh
Moch Subchi Azal Tsani alias Mas Bechi. Rekomendasi pertama yaitu LPSK mendukung
penuh upaya dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk mengajukan banding. Dukungan
tersebut mengingat banyak korban yang masih menginginkan Mas Bechi dihukum lebih berat
vdari vonis yang dijatuhkan, yakni tujuh tahun penjara. Kedua, LPSK mendorong media massa
untuk mempertahankan keberpihakan kepada para korban. Ketiga, memberikan rekomendasi
kepada kemendikbudristek terkait kelanjutan pendidikan para korban. Dan terakhir, LPSK
memberikan dorongan kepada Pengadilan Tinggi Jawa Timur untuk memberikan putusan yang
seadil-adilnya dalam perkara tersebut.

Kasus dugaan Pemerkosaan di Labuan Bajo yang kasusnya dihentikan Polisi

Kasus dugaan pemerkosaan ini terjadi di labuan bajo pada juni 2020 yang dimana kasus
ini menjadi perhatian bagi LPSK. Kasus ini menjadi viral setelah korban mengisahkan kejadian
yang menimpa dirinya di media sosial karena mengaku kecewa dengan penanganan yang
dilakukan oleh polisi untuk mendapatkan keadilan. Kejadian bermula pada 12 Juni 2020
dimana pelapor di duga diperkosa oleh setidaknya dua orang pria setelah pesta minuma
beralkohol yang sudah dicampur dengan obat tertentu, sehingga dia menjadi tidak sadarkan diri
dan akhirnya diperkosa.

Polisi yang menangani kasus ini menjelasskan bahwa peristiwa pemerkosaan terjadi
akibat atas kemauan korban yang memaksa pelaku, mengetahui hal tersebut korban menjadi
kecewa dengan polisi dan meminta perlindungan pada LPSK. Oleh karena itu, LPSK yang
mengetahui perkembangan kasus tersebut tidak ditanggapi oleh polisi memberikan fasilitas
berupa pendampingan psikologis selama enam bulan guna mencegah whistleblower tersebut
merasa depresi dan bisa Kembali seperti sedia kala.

xi
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian materi diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pelapor
atau whistleblower merupakan seorang korban maupun saksi yang menjadi pelapor atau orang
yang membocorkan rahasia tentang suatu peristiwa tindak pidana. Saksi pelapor juga
merupakan salah satu pemahaman mengenai whistleblower, atau orang yang memberikan
kesaksian, laporan atau pengungkap fakta mengenai adanya sebuah tindak kejahatan dimana ia
tidak terlibat dalam kejahatan yang dilaporkan atau dalam arti lain pelapor bukanlah pelaku
kejahatan melainkan dia dapat berasal dari saksi atau korban.

Untuk menjamin perlindungan kepada saksi pelapor, LPSK sebagai lembaga negara
memiliki wewenang dan fungsi dalam memberikan fasilitas dan perlindungan yang memadai
dalam proses persidangan untuk melindungi whistleblower hingga kasusnya selesai, termasuk
whistleblower dalam tindak pidana pemerkosaan yang bentuk kejahatannya mendapat
perhatian serius di kalangan Masyarakat.

xii
DAFTAR PUSTAKA

Semendawai, Abdul Harris, 2011, Memahami Whistleblower, Jakarta: Pusat Lembaga


Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13


tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan bagi pelapor tindak
pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) di
dalam perkara tindak pidana tertentu.

Permadi Agie, Khairina. 2023. Kasus Pemerkosaan 12 Santriwati di Bandung, LPSK Duga
Adanya Eksploitasi Ekonomi. Di akses dari
https://regional.kompas.com/read/2021/12/09/124234578/kasus-pemerkosaan-12-
santriwati-di-bandung-lpsk-duga-adanya-ekploitasi?page=all.

xiii

Anda mungkin juga menyukai