Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KORBAN PEMERKOSAAN

DISUSUN OLEH :

Nama : Arvin Putra Telaumbanua

NPM : 180600051

Matkul : Viktimologi

Dosen : Dr. Henny Saida Flora, SH.M.Hum.M.Kn

UNIVERSITAS KATOLIK SANTO THOMAS MEDAN


FAKULTAS HUKUM
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Korban Pemerkosaan ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Dr. Henny
Saida Flora, SH.M.Hum.M.Kn, pada Viktimologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Korban Pemerkosaan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada , Ibu Dr. Henny Saida Flora, SH.M.Hum.M.Kn
selaku dosen pengampu mata kuliah viktimologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi dan jurusan yang saya tekuni. Saya
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Medan, 12 Agustus 2021


Penulis,

Arvin Putra Telaumbanua


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pemerkosaan sebagai suatu tindakan kekerasaan yang dinilai sangat merugikan dan menggangu
ketentraman dan ketertiban hidup, terutama bagi korbannya. Saat ini tindak pidana perkosaan
merupakan kejahatan yang mendapat perhatian di kalangan masyarakat, karena tindak pidana
perkosaan tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran
atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi
dan adat istiadat.
Korban pemerkosaan akan mengalami penderitaan fisik dan psikis paska pemerkosaan yang
terjadi pada dirinya seperti: Penderitaan fisik yang mengalami pada korban paska perkosaan seperti
sakit secara fisik, luka, cacat, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Penderitaan
psikis merupakan gejala tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan
korban memiliki rasa kurang percaya diri, trauma, konsep diri yang negatif, menutup diri dari
pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Apabila setelah
terjadinya peristiwa pemerkosaan tersebut tidak ada dukungan yang diberikan kepada korban, maka
korban dapat mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), yaitu gangguan secara emosi yang
berupa mimpi buruk, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, depresi, ketakutan dan stress akibat
peristiwa yang dialami korban dan telah terjadi selama lebih dari 30 hari, kemungkinan dukungan dari
semua pihak sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya PTSD. Ditengarai sebagian besar korban
pemerkosaan lebih condong memilih berdiam diri, pasrah menerima nasib atas penderitaan yang
ditanggungnya daripada melaporkan kejadian yang menimpanya pada aparat Kepolisian. Angka-angka
statistik jumlah pemerkosaan yang tercacat di Kepolisian besar kemungkinan adalah angka minimal.
Di luar itu, diduga masih banyak kasus-kasus pemerkosaan lain yang tak teridentifikasi. Tindakan
korban yang memilih tidak melaporkan kasus yang dialaminya itu dapat dipahami karena di mata
mereka kalaupun mencoba menuntut keadilan, belum tentu hukum akan memihaknya. Korban juga
merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui orang lain, atau korban merasa takut
karena diancam oleh pelaku.
Saat ini tindak pidana pemerkosaan di Indonesia merupakan kejahatan yang cukup mendapat
perhatian di kalangan masyarakat. Kejahatan pemerkosaan mengalami peningkatan yang sangat
kuantitas. Modus operandi yang dilakukan pelaku tindak pidana pemerkosaan cukup beragam, seperti:
diancam, dipaksa, dirayu, dibunuh, dan diberi obat bius, perangsang dibohongi atau diperdaya dan
sebagainya.
Dari sekian kasus pemerkosaan yang terjadi ternyata ada juga korban dianggap sebagai pemicu
atau peserta aktif dalam menimbulkan perbuatan pemerkosaan tersebut yaitu Perkosaan yang terjadi
ditimbulkan oleh perilaku korban seperti, gaya berpakain yang terlalu terbuka, sehingga tidak mampu
untuk mengendalikan emosi atau nafsu pelaku akhirnya terjadi pemerkosaan. Praktek peradilan di
Indonesia belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap perempuan. Pada
tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban pemerkosaan dilakukan dengan tidak
memperhatikan hak-hak asasi korban. Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukum, korban
kembali dikecewakan karena putusan yang dijatukan pada pelaku cukup ringan atau jauh dari
memperhatikan hak-hak korban itu sendiri. Pihak korban masih dituntut secara detail untuk
mendeskripsikan kasus yang dialaminya, menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang
melecehkannya atau mengupas ulang tragedy yang menimpanya. Hal ini selain disampaikan di depan
pemeriksa (penyidik), juga masih dikupas oleh pers secara detil. Penderitaan korban pemerkosaan
semakin bertambah ketika dalam proses peradilan korban hanya menjadi saksi, dalam hal ini saksi
korban. Sehingga korban sebagai pihak yang paling dirugikan dalam proses peradilan pidana menurut
KUHAP seolah-olah tidak memanusiakan, korban hanya merupakan saksi yang hanya penting untuk
digunakan dalam memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku.
Di Indonesia sudah ada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban yang disebut LPSK untuk melindungi para korban. Pasal 1 butir 3 berbunyi “Korban
adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana. Tugas LSPK adalah memastikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban
dalam Proses Peradilan Pidana. Fungsi LPSK untuk membantu aparat penegak hukum dalam
mengungkap kejahatan sehingga pelaku dapat dijatuhi hukuman dengan cara pemberian perlindungan
terhadap pelapor, saksi dan korban.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi alasan pokok dalam
penulisan ini adalah :
1. Apa itu tindak pidana pemerkosaaan ?
2. Aturan apakah yang mengatur tindakan pemerkosaan ?
3. Bagaimana perlindungan korban tindak pidana pemerkosaan dalam Sistem Hukum di Indonesia ?

C. Tujuan
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian
ini adalah:
a. Untuk mengetahui tentang pengaturan perlindungan korban tindak pidana pemerkosaan dalam
Sistem Hukum di Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan memperoleh bagaimana memperbaharui perlindungan korban tindak
pidana pemerkosaan.
BAB II

PEMBAHASAN

Perkosaan atau pemerkosaan punya arti yang luas. Namun, definisi perkosaan dalam KUHP
pasal 285 tergolong sempit. Perkosaan menurut undang-undang adalah tindak persetubuhan berdasar
ancaman atau kekerasan yang dilakukan pada perempuan yang bukan istri sah. Artinya menurut
KUHP pasal 285, pemerkosaan hanya sebatas tindakan pemaksaan penetrasi penis ke lubang vagina
yang dilakukan pria kepada wanita. Di luar itu, tidak dianggap sebagai pemerkosaan. Definisi ini juga
mengencualikan kemungkinan pria dapat menjadi korban. Istilah “pemerkosaan” umumnya hanya
menggambarkan penetrasi penis ke vagina. Namun kenyataannya, segala bentuk aktivitas seksual yang
tidak melibatkan penetrasi tapi tetap dipaksakan juga termasuk perkosaan.
Secara umum dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa pemerkosaan adalah tindak
pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk apa pun yang tidak Anda setujui secara sadar; di luar
kehendak atau bertentangan dengan kemauan pribadi. Artinya, sebuah aktivitas seksual yang awalnya
sama-sama disetujui kedua belah pihak dapat berubah menjadi tindak perkosaan ketika salah satu
menolak atau meminta berhenti di tengah-tengah, tapi pelaku melawan kehendak korban dengan tetap
melanjutkan hubungan seks tersebut. Perkosaan sebagai suatu tindakan kekerasan merupakan suatu
tindak kejahatan yang dinilai sangat merugikan dan mengganggu ketentraman dan ketertiban hidup,
terutama bagi korbannya. Adanya reaksi umum yang berlebihan terkadang juga semakin memojokkan
korban. Peristiwa perkosaan yang merupakan berita yang cukup menarik untuk dibicarakan membuat
masyarakat tertarik untuk menjadikan berita tersebut sebagai salah satu bahan pembicaraan (Fakih
dalam Prasetyo, 1997). Akan tetapi tidak jarang masyarakat justru membicarakan peristiwa tersebut
dari segi negatifnya yang dapat membuat korban merasa malu, takut, dan bersalah dengan kejadian
yang menimpa dirinya. Perasaan tersebut membuat korban semakin enggan untuk bercerita kepada
orang lain ataupun melaporkan kejadian yang dialaminya (Republika, 1995; Taslim,1995).
Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang
langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut,
cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu
yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa kurang percaya
diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung
berdebar dan keringat berlebihan. Apabila setelah terjadinya peristiwa perkosaan tersebut tidak ada
dukungan yang diberikan kepada korban, maka korban dapat mengalami post traumatic stress disorder
(PTSD), yaitu gangguan secara emosi yang berupa mimpi buruk, sulit tidur, kehilangan nafsu makan,
depresi, ketakutan dan stress akibat peristiwa yang dialami korban dan telah terjadi selama lebih dari
30 hari. Dukungan dari semua pihak sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya PTSD.
Korban perkosaan dapat memperoleh dukungan sosial dari teman, orangtua, saudara, psikolog,
pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Orang ini harus mau menjadi
pendengar yang baik serta tidak menghakimi korban dalam arti mereka memiliki pandangan bahwa
kejadian yang menimpa korban bukan terjadi karena kesalahan korban. Pandangan tersebut penting
untuk menumbuhkan rasa percaya diri korban dan juga kepercayaan korban kepada orang lain (Taslim,
1995).
Keluarga memiliki peluang yang banyak untuk dapat mendampingi korban melewati masa-
masa ‘kritis’ akibat perkosaan yang dialaminya. Mereka dapat memberikan dukungan dengan
memberikan rasa aman kepada korban, menerima keadaan korban apa adanya, tidak menyalahkan
korban atas apa yang telah terjadi padanya, bersikap tulus dalam berhubungan dengan korban baik
secara verbal maupun non-verbal (Taslim, 1995). Hal ini didukung dengan adanya waktu yang dapat
diluangkan dan dilalui bersama korban serta adanya kedekatan secara emosional sebagai sesama
anggota keluarga. Menurut Agaid (2002) keluarga sebagai pihak terdekat dapat memberikan dukungan
bagi korban dengan cara:
1. Mempercayai cerita yang disampaikan oleh korban.
2. Bersikap tenang. Hal ini dapat membantu korban merasa aman.
3. Meyakinkan korban. Keluarga dapat menunjukkan empatinya terhadap peristiwa yang dialami oleh
korban.
4. Mempersiapkan korban terhadap kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. Korban mungkin
memerlukan bantuan dari orang lain misalnya dokter dan polisi jika ia melaporkan kasusnya
5. Memberi dukungan dan melaporkan perkosaan yang dialami korban ke pihak yang berwajib.

Proses pemulihan trauma yang dihadapi oleh korban perkosaan merupakan suatu proses
adaptasi yang harus dilalui agar korban dapat menerima kenyataan yang telah terjadi (Hayati, 2000).
Proses penyembuhan tersebut merupakan suatu proses adaptasi yang berat bagi korban. Korban harus
menghadapi keluarga, pelaku dan juga masyarakat. Keluarga sebagai salah satu pihak yang dekat
dengan korban diharapkan dapat menjadi pendukung yang paling besar untuk mencegah terjadinya
PTSD tersebut. Akan tetapi seringkali keluarga justru merasa malu untuk mengakui apa yang telah
terjadi pada anggota keluarga mereka. Mereka justru menutup-nutupi peristiwa tersebut dan tidak
jarang mereka mengisolasi korban dari masyarakat. Dengan sikap-sikap yang demikian tadi maka
korban akan semakin merasa sendirian dan tidak berarti lagi (Kompas, 1993). Sementara itu belum
banyak alternatif penyembuhan yang tepat bagi pemulihan dampak perkosaan yang dirasakan oleh
korban.
Dari sekian kasus pemerkosaan yang terjadi ternyata ada juga korban dianggap sebagai pemicu
atau peserta aktif dalam menimbulkan perbuatan pemerkosaan tersebut yaitu Perkosaan yang terjadi
ditimbulkan oleh perilaku korban seperti, gaya berpakain yang terlalu terbuka, sehingga tidak mampu
untuk mengendalikan emosi atau nafsu pelaku akhirnya terjadi pemerkosaan. Praktek peradilan di
Indonesia belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap perempuan. Pada
tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban pemerkosaan dilakukan dengan tidak
memperhatikan hak-hak asasi korban. Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukum, korban
kembali dikecewakan karena putusan yang dijatukan pada pelaku cukup ringan atau jauh dari
memperhatikan hak-hak korban itu sendiri. Pihak korban masih dituntut secara detail untuk
mendeskripsikan kasus yang dialaminya, menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang
melecehkannya atau mengupas ulang tragedy yang menimpanya. Hal ini selain disampaikan di depan
pemeriksa (penyidik), juga masih dikupas oleh pers secara detil. Penderitaan korban pemerkosaan
semakin bertambah ketika dalam proses peradilan korban hanya menjadi saksi, dalam hal ini saksi
korban. Sehingga korban sebagai pihak yang paling dirugikan dalam proses peradilan pidana menurut
KUHAP seolah-olah tidak memanusiakan, korban hanya merupakan saksi yang hanya penting untuk
digunakan dalam memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku.
Di Indonesia sudah ada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban yang disebut LPSK untuk melindungi para korban. Pasal 1 butir 3 berbunyi “Korban
adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana. Tugas LSPK adalah memastikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban
dalam Proses Peradilan Pidana. Fungsi LPSK untuk membantu aparat penegak hukum dalam
mengungkap kejahatan sehingga pelaku dapat dijatuhi hukuman dengan cara pemberian perlindungan
terhadap pelapor, saksi dan korban.
Bentuk-bentuk pemerkosaan dapat dikelompokkan berdasarkan siapa yang melakukan, siapa
korbannya, dan tindakan spesifik apa yang terjadi dalam pemerkosaan tersebut. Beberapa jenis
pemerkosaan mungkin dianggap jauh lebih parah dari pada yang lain.
Ditilik dari jenisnya, tindak perkosaan dibagi menjadi:
1. Perkosaan pada orang difabel
Pemerkosaan jenis ini dilakukan oleh orang sehat pada orang difabel, yaitu orang yang memiliki
keterbatasan/kelainan fisik, perkembangan, intelektual, dan/atau mental. Orang difabel mungkin
memiliki kemampuan yag terbatas atau tidak bisa mengungkapkan persetujuan mereka untuk
terlibat dalam aktivitas seksual.
Jenis perkosaan ini juga termasuk tindak perkosaan terhadap orang-orang yang sehat tapi tidak
sadarkan diri. Misalnya saat korban tidur, pingsan, atau koma. Termasuk juga dalam keadaan
setengah sadar, misalnya saat mabuk akibat pengaruh obat (efek samping obat legal, narkotika, atau
obat bius yang sengaja dimasukkan) atau minuman beralkohol.
Biarpun korban diam dan tidak melawan, kalau hubungan seks itu dipaksakan dan terjadi di luar
kehendaknya, tetap berarti perkosaan. Zat-zat tersebut menghambat kemampuan seseorang untuk
menyetujui atau melawan tindakan seksual, dan kadang bahkan mencegah mereka mengingat
peristiwa tersebut.
2. Perkosaan oleh anggota keluarga
Tindak pemerkosaan yang terjadi ketika pelaku dan korban sama-sama memiliki hubungan sedarah
atau disebut dengan perkosaan inses. Perkosaan inses bisa terjadi dalam keluarga inti atau keluarga
besar. Misalnya antara ayah dan anak, kakak dan adik, paman/bibi dan keponakan laki-laki atau
perempuan (keluarga besar), atau antar saudara sepupu.
Menurut CATAHU Komnas Perempuan, ayah, kakak, dan paman kandung termasuk tiga pelaku
kekerasan seksual dalam keluarga yang terbanyak. Meski begitu, inses juga termasuk perkosaan
yang dilakukan oleh anggota keluarga tiri.
Pada kebanyakan kasus, tindak perkosaan dalam keluarga melibatkan anak di bawah umur.
3. Perkosaan pada anak di bawah umur (statutory rape)
Statutory rape adalah tindak perkosaan oleh orang dewasa pada anak yang belum genap berusia 18
tahun. Ini juga bisa termasuk hubungan seksual antar sesama anak yang masih di bawah umur.
Di Indonesia, perkosaan dan/atau kekerasan seksual pada anak diatur oleh UU Perlindungan Anak
nomor 35 tahun 2014 dalam pasal 76D.
4. Pemerkosaan dalam hubungan (partner rape)
Jenis perkosaan ini terjadi di antara dua individu yang sedang menjalin hubungan asmara, termasuk
dalam pacaran atau dalam rumah tangga.
Perkosaan dalam pacaran tidak diatur secara spesifik oleh hukum Indonesia. Namun, perkosaan
dalam perkawinan diatur oleh Undang-Undang Penghapusan KDRT nomor 23 tahun 2004 pasal 8
(a) serta Pasal 66. Pemaksaan penetrasi dengan cara apa pun tetap tergolong perkosaan, terlepas
apakah korban pernah berhubungan seks dengan pemerkosa sebelumnya atau tidak.
5. Perkosaan antar kerabat
Selama ini kita mungkin menganggap bahwa perkosaan hanya bisa terjadi antara orang asing.
Misalnya saat dicegat tengah malam oleh oknum tak dikenal.
Namun, tindak perkosaan sangat mungkin terjadi di antara dua orang yang sudah saling kenal. Tak
peduli baru kenal sebentar atau sudah lama. Misalnya teman sepermainan, teman sekolah, tetangga,
teman kantor, dan lainnya. Dua dari tiga kasus perkosaan dilakukan oleh seseorang yang dikenal
oleh korban.

Motivasi pelaku untuk memperkosa sangat beragam, seperti yang dikemukan Kartini Kartono
yakni adanya rasa dendam pelaku pada korban, karena rasa dendam pelaku pada seseorang wanita
sehingga wanita lain menjadi sasaran kemarahannya, korban sebagai kompensasi perasaan tertekan
atau stress pelaku atas berbagai permasalahan yang dihadapinya, karena pengaruh rangsangan
lingkungan seperti film atau gambargambar porno, dan karena keinginan pelaku menyalurkan
dorongan seksualnya yang sudah tidak dapat ditahannya, juga karena didukung oleh situasi dan
kondisi lingkungan maupun pelaku dan korban yang memungkinkan dilakukan pemerkosaan. Dalam
setiap kasus pemerkosaan paling tidak melibatkan tiga hal, yakni : pelaku, korban dan situasi lain.
Masingmasing mempunyai peran andil sendirisendiri dalam mendorong timbulnya suatu tindak pidana
perkosaan (Kartono, 2001:43).
Motivasi memperkosa dapat dibagi empat golongan. Penggolongan pertama berdasarkan usia
korban, penggolongan kedua berdasarkan sifat atau suasana yang menyertai, penggolongan ketiga
berdasarkan objek, sedangkan penggolongan keempat menitikberatkan pada dominasi unsur
kekerasan. Jika menitikberatkan pada usia korban maka menurut Davison dan Neale ada dua yakni
Common Law Rape (usia 17 tahun keatas) dan Statutory Rape (usia dibawah 16 tahun/ dibawah
umur). Jika menitikberatkan pada sifat atau suasana yang menyertai perkosaan, maka dibedakan antara
Seductive Motivation/ Victim Pretipitating Rape (korban memberi motivasi), Dominated Motivation
mengeksploitasi dan dominasi pelaku), Sadistive Motivation (motif menyakiti) dan Anger Motivation
(motif kemarahan). Jika menitikberatkan pada objek yang menjadi sasaran, maka dibedakan menjadi
festisistis, objek sosial yang sesuai, dan pedofilia. Sedangkan jika menitik beratkan pada dominasi
unsur kekerasan, maka dibedakan menjadi Forcible Rape (unsur kekerasan secara paksa), Non
Forcible Rape (tanpa unsur kekerasan atau paksaan-dibuat tidak berdaya terlebih dahulu) dan Lost
Murder (diperkosa dan dibunuh).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Korban perkosaan perlu mendapat perlindungan karena korban mengalami dampak yang sangat
kompleks. Dampak yang dirasakan korban adalah penderitaan ganda yang meliputi penderitaan
fisik, psikis, dan sosial. Kedudukan dan peran korban perkosaan sebagai saksi di dalam
persidangan turut menambah penderitaan korban. Penderitaan korban perkosaan dialami korban
pada saat sebelum persidangan, selama persidangan dan sesudah persidangan oleh karenanya
korban perkosaan memerlukan perlindungan agar korban merasa aman dari segala bentuk
ancaman dan untuk menjamin korban dalam usaha pemulihannya.

2. Bentuk upaya perlindungan yang dapat diberikan kepada korban perkosaan adalah perlindungan
yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban jo Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang pemberian Kompensasi,
Restitusi, serta Bantuan Kepada Saksi dan Korban melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban). Bentuk-bentuk perlindungan tersebut meliputi :
a. Restitusi Korban perkosaan berhak mendapat restitusi karena perkosaan merupakan tindak
pidana khususnya kejahatan kesusilaan yang diatur di dalam Buku II KUHP Pasal 285.
b. Bantuan Medis dan Bantuan Psiko-sosial Korban perkosaan berhak mendapatkan bantuan
medis dan bantuan psiko-sosial karena korban perkosaan adalah korban tindak pidana yang
berhak dipulihkan ke dalam keadaan semula.

B. Saran

1. Bagi pemerintah selaku perancang peraturan perundang-undangan (legislator) : Pemerintah


selaku legislator perlu melakukan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 karena belum
sepenuhnya melindungi dan menjamin kepentingan korban khususnya korban perkosaan.
Diharapkan ke depan ada suatu peraturan perundang-undangan yang sepenuhnya melindungi dan
menjamin kepentingan korban perkosaan baik sebelum persidangan, selama persidangan, dan
sesudah persidangan.
2. Bagi aparat penegak hukum : Korban perkosaan tidak lagi dirumitkan oleh segala birokrasi di
dalam semua tahap proses peradilan dan dalam usahanya memperoleh perlindungan.
3. Bagi masyarakat : Masyarakat lebih menjaga keluarganya serta kerabat-kerabat terdekat
khususnya yang wanita agar terhindar dari kejahatan perkosan dan bersama-sama membantu
korban perkosaan agar terlepas dari penderitaannya.
4. Bagi korban perkosaan : Korban perkosaan diharapkan tidak takut dan malu untuk meminta
perlindungan kepada aparat penegak hukum, LPSK, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan
orang-orang terdekat agar mendapatkan pemulihan yang layak.

Anda mungkin juga menyukai