Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Kebenaran ilmu pada hakikatnya bersifat relatif dan sementara karena setiap
kajian ilmu selalu dipengaruhi oleh pilihan atas fokus yang bersifat parsial, selalu
tidak pernah menyeluruh yang meliputi berbagai dimensi dan dipengaruhi oleh
realitas ruang dan waktu yang selalu berubah. Perubahan-perubahan ini tentu akan
berpengaruh pada realitas kebenaran yang ada apalagi jika sandaran ilmu adalah
1
hasil pemikiran manusia. Sebagaimana sandaran ilmu Barat yang kurang
memperhatikan aspek diluar materi tentu akan mengakibatkan ketidakseimbangan
kehidupan. Sandaran tersebut tentu berbeda dengan yang digunakan oleh Islam.
Cara yang dapat dilakukan untuk memahami ilmu pengetahuan yang valid menurut
Islam ialah melalui cara pandang yang holistik dan sistematis dengan mengetahui
epistemologi ilmu melalui pandangan para filosof Muslim.
Adapun yang dimaksud epistemologi ilmu ialah untuk memberikan kejelasan
mengenai persoalan yang berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan. Oleh
sebab itu, epistemologi ilmu berhubungan dengan prosedur dan proses yang
memungkinkan seseorang memperoleh ilmu. Perlu diingat bahwa indra dan akal
bukan satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk menangkap realitas-realitas
nonfisik karena selain akal, manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan hati
(intuisi) yang bisa digunakan untuk tujuan tersebut. Meskipun indra, akal, dan hati
sama-sama mampu menangkap objek-objek nonfisik, sebenarnya mereka
menggunakan pendekatan dan cara (metode) yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, tulisan sederhana ini akan mengelaborasi lebih lanjut tentang
epistemologi Islam dalam hubungannya dengan epistemologi Barat dan bagaimana
perbedaan antara penggunaan metode yang berbeda-beda dalam epistemologi
Islam.

1
Imam Khanafie Al-Jauharie, Filsafat Islam Pendekatan Tematik, (Pekalongan: STAIN
Pekalongan Press, 2013), hlm. 77

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Epistemologi Islam


Epistemologi dalam bahasa inggris lebih dikenal dengan istilah “theory of
knowledge”. Epistemologi berasal dari kata “episteme” yang berarti
pengetahuan dan “logos” berarti teori atau ilmu. Sedangkan menurut istilah
ulama Arab disebut sebagai nazhariyah al-ma’rifah.2 Lebih rinci, epistemologi
yaitu salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal
tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. 3
Sedangkan epistemologi Islam secara terminologi merupakan cabang filsafat
yang membicarakan dasar-dasar pengetahuan, sumber pengetahuan,
karakteristik pengetahuan, ukuran kebenaran pengetahuan serta cara
mendapatkan pengetahuan berdasarkan perkembangan pemikiran Islam.4
Al-Quran mengakui adanya kemungkinan untuk memperoleh untuk
memperoleh epistemologi. Sebagaimana misalnya dalam al-Quran
mengungkapkan Kisah Nabi Adam as penuh dengan hikmah dan pelajaran
diantara hikmah dan rahasia yang ada dalam kisah itu adalah masalah
kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. 5 Selain itu, al-Quran secara
tegas juga mengajak keturunan Nabi Adam as pada pengetahuan. Dalam al-
Quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk memperhatikan, melihat,
dan merenungkan alam semesta sesuai dengan firman ayat-Nya:

‫ت َوالنُّ ُذ ُر َعن قَ ْوٍم لَّيُ ْؤِمنُو َن‬ ِ ‫السماو‬


ِ ‫ات َواْأل َْر‬
ُ ‫ض َوَماتُ ْغ ِِن اْأل َََي‬ ِ
َ َ َّ ‫قُ ِل انظُُروا َماذَا ِف‬
“Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan bumi…”. (QS. Yunus:
101).

2
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik
Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, terj.
Muhammad Jawad Bafaqih, (Jakarta: Shadra Press, 2010), hlm. 1.
3
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta:Rineka Cipta, 2001), hlm.137.
4
Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm.
134.
5
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik
Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, hlm. 28.

2
Katakanlah kepada masyarakat untuk melihat (berpikir) dan mengetahui
apa yang ada di langit dan di bumi. Maksud dari ayat ini bahwa al-Quran hendak
menegaskan kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada di
langit dan di bumi melalui langkah kerja dan teori pengetahuan yang disebut
dengan epistemologi Islam.

B. Perbedaan Epistemologi Islam dengan Epistemologi Barat


Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan
tersebut diantaranya dalam mendefinisikan ilmu. Dalam epistemologi Barat,
bahwa yang dapat diketahui adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi
secara indrawi yang hanya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris
sedangkan hal lain yang bersifat nonindrawi, nonfisik, dan metafisika tidak
termasuk dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah. Berbeda menurut
epistemologi Islam, ilmu diterapkan dengan sama validnya baik pada ilmu-ilmu
yang fisik-empiris maupun non-fisik atau metafisis. Dalam bukunya Ihsha’ Al-
‘Ulum (Klasifikasi Ilmu), Al-Farabi (w. 950 M) memasukkan ke dalam
klasifikasi ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu empiris seperti fisika, botani,
mineralogi, dan astronomi melainkan juga ilmu-ilmu nonempiris seperti konsep-
konsep mental dan metafisika.6
Hal di atas berarti, dalam epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi
Barat yang telaah meragukan status ontologis untuk objek-objek metafisik.
Ilmuan-ilmuan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap status
ontologis dari bukan hanya objek-objek fisik yang kasat mata, tetapi juga objek-
objek metafisik yang gaib. Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa dilihat
indra, tetapi diyakini memiliki status ontologis yang sama nyatanya dengan
objek-objek fisik, bahkan lebih riil daripada objek-objek indra.7
Selain itu, epistemologi Islam sangat berbeda dengan epistemologi Barat
yang hanya mengandalkan empirisme atau rasionalisme tetapi epistemologi

6
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung:
Mizan Pustaka, 2002), hlm. 58.
7
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia,
(Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 67.

3
Islam mengakui sumber ilmu tiga sekaligus yaitu indra, akal, intuisi. Masing-
masing sumber tersebut memiliki kadar kemampuan yang berbeda sehingga
mereka tidak bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara proporsional. Indra
penglihatan misalnya, hanya mampu berfungsi pada frekuensi 400-700
nanometer. Indra pendengaran berfungsi pada frekuensi 20-20.000
kilohertz/detik. Disinilah diperlukan akal yang juga mempunyai kemampuan
terbatas. 8 Akal dalam menjalankan kinerjanya dibutuhkan peran hati dan
bimbingan wahyu agar apa yang dilakukan dan dipikirkannya menimbulkan
kemaslahatan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dan bukan
sebaliknya.
Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu atau
konsep teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu karena
berdampak pada rusaknya segala sesuatu. Sebagimana firman Allah:

‫اهم بِ ِذ ْك ِرِه ْم فَ ُه ْم َعن ِذ ْك ِرِهم‬ ِ


ُ َ‫ض َوَمن في ِه َّن بَ ْل أَتَْي ن‬
ُ ‫ات َواْأل َْر‬
ُ ‫الس َم َاو‬
َّ ‫ت‬ِ ‫اْل ُّق أَهوآءهم لََفس َد‬ ِ
َ ْ ُ َ َ ْ َْ ‫َولَو اتَّبَ َع‬

ُ ‫ُّم ْع ِر‬
‫ضو َن‬
“Kalau sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya
binasalah langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya bahkan Kami
telah datangkan kepada mereka peringatan (Al-Qur’an) tetapi mereka berpaling
dari peringatan itu”. (QS. Al-Mu’minun [23]: 71).
Selain itu, diantara perbedaan epistemologi Barat dan Islam, menurut para
filosof Islam ialah para filosof Barat tidak memisahkan antara induksi dan
eksperimen sedangkan para filosof Muslim memisahkan dua perkara itu dan
keduanya memang jelas harus dipisahkan. Induksi (istiqra’) berada pada posisi
prasangka atau dugaan sedangkan eksperimen (ikhtibar, tajribah) berada pada
posisi keyakinan dan argumentatif. Ini berarti terdapat perbedaan antara

8
Adian Husaini, dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013),
hlm. 47-48.

4
perasaan biasa (induksi) dengan praktik (eksperimen) dan praktik dalam hal ini
merupakan aktivitas rasio.9
Jika dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat
dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-
dimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam lebih tajam ke
wilayah idealisme hati dan rasionalisme dengan juga mempedulikan masukan-
masukan yang diberikan oleh empirisisme.10
Al-Quran mengatakan tentang alam sebagai obyek indrawi (empirisisme)
untuk kepentingan hidup manusia sebagai makhluk yang berpikir untuk
memanfaatkan potensi yang ada di alam secara bijaksana, sebagaimana firman
Allah:
ِ ‫ص ِر‬ ِ ِ ‫السم‬
ِ ‫آء ِمن ِرْزٍق فَأ‬ ِ ِ ِ ‫و‬
ِ ‫يف‬
‫الرََي ِح‬ َ ‫َحيَا بِه اْأل َْر‬
ْ َ‫ض بَ ْع َد َم ْوِتَا َوت‬ ْ َ َّ ‫َنزَل هللاُ م َن‬ َ ‫اختالَف الَّْي ِل َوالن‬
َ ‫َّها ِر َوَمآأ‬ ْ َ
‫ت لَِق ْوٍم يَ ْع ِقلُو َن‬
ٌ ‫ءَ َاَي‬
“Dan pada pergantian malam dan siang, dan apa-apa yang diturunkan Allah
dari langit berupa rezeki, lalu Dia menghidupkan dengannya bumi seusdah
matinya, dan pada perkisaran angin, menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang berpikir”. (QS. Al-Jatsiyah: 5).

C. Pandangan Filosof Muslim tentang Epistemologi Islam


Dalam dunia pemikiran Muslim, setidaknya ada tiga macam teori
pengetahuan (epistemologi) yang biasa disebut. Pertama, pengetahuan indrawi
(empirisisme), jarang filosof Muslim menggunakan metode ini. Kedua,
pengetahuan rasional dengan tokohnya seperti Al-Farabi, Ibn Bajjah, Ibn Tufail,
Ibn Rusyd, dan lain-lain. Ketiga, pengetahuan kasyf yang diperoleh lewat
ilham.11

9
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik
Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, hlm. 55-
56.
10
Musa Asy’ari, dkk, Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis,
Prospektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 35.
11
Musa Asy’ari, dkk, Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis,
Prospektif, hlm. 36.

5
Pertama, empirisisme yang juga disebut metode observasi (bayani) atau
empiris memiliki tiga proposisi kunci yakni meyakini adanya kebenaran (objek),
manusia diyakini mungkin mengetahui kebenaran itu, sedangkan alat
pengetahuannya berupa indra sebagai tahap pengetahuan lahiriah.12 Jadi metode
empiris merupakan metode melalui pancaindra yang sangat kompeten untuk
mengenal objek-objek fisikal dengan cara mengamatinya. Alat utama inilah
yang memperoleh kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata. Kesan-kesan
tersebut berkumpul dalam diri manusia yang kemudian menyusun dan
13
mengaturnya menjadi pengetahuan. Menurut epistemologi ini, indra
merupakan satu-satunya alat yang dapat menghubungkan antara manusia dengan
dunia luar karena tanpa indra, alam dinilai tidak ada atau keberadaannya masih
samar-samar. Andaikan manusia kehilangan semua indra maka ia akan
kehilangan semua bentuk pengetahuan. 14 Jika indra berbuat salah, ia dapat
mengetahui kesalahannya dengan cara eksperimentasi.15
Dalam prinsip ini, epistemologi empirisisme berpendirian bahwa semua
pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman indrawi. Apapun yang tidak
dapat dilacak oleh pengalaman indrawi dinilai tidak ada dan hasilnya bukan
pengetahuan. Sedangkan yang menjadi objek pengetahuan indra adalah benda
material yang sifatnya eksternal bagi manusia. Atas dasar itu, pengetahuan yang
benar menurut epistemologi empiris adalah pengetahuan yang sesuai dengan
kenyataan material dan akal tidak memiliki apapun untuk mengetahui kebenaran
kecuali dengan perantara indra sebab tanpa indra kenyataan tidak dapat diserap
oleh akal.16
Adapun ciri-ciri pengetahuan indrawi adalah:

12
Aksin Wijaya, Satu Islam, Ragam Epistemologi: Dari Epistemologi Teosentrisme Ke
Antroposentrisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 17.
13
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Press, 2012),
hlm. 7.
14
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik
Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, hlm. 38.
15
Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al-Qur’an, terj. Khalilillah
Ahmas Hakim, (Bandung: CV. Rosda, 1989), hlm. 15.
16
Aksin Wijaya, Satu Islam, Ragam Epistemologi: Dari Epistemologi Teosentrisme Ke
Antroposentrisme, hlm. 17-18.

6
a. Bersifat individual dan partikular yang berhubungan dengan tiap-tiap sesuatu.
b. Pengetahuan indrawi itu lahiriah, tidak dalam, hanya menyaksikan segala
yang sifatnya material seperti telinga mendengar berbagai suara tetapi tidak
secara mendalam.
c. Pengetahuan indrawi bersifat sekarang dan bukan dengan masa lampau atau
akan datang.
d. Jenis pengetahuan indrawi adalah jenis pengetahuan yang berhubungan
dengan suatu kawasan tertentu.17
Para filosof Muslim, pada umumnya mereka umumnya juga ilmuwan yang
menggunakan metode observasi, yaitu pengamatan indrawi terhadap objek-
objek yang ditelitinya. Sebagaimana misalnya Al-kindi yang dikenal bukan
hanya seorang filosof melainkan juga ilmuwan yang menggunakan metode
observasi di laboratorium kimia dan fisika. Demikian juga metode observasi
dilakukan oleh Ibn Haitsam dalam eksperimennya di bidang optik mengenai
cahaya dan teori penglihatan atau vision yang brilian dan hasilnya diabadikan
dalam karya besarnya, Al-Manazhir. Ibn Sina menuliskan hasil filosofisnya
dalam ratusan karya diantaranya Al-Syifa’ lebih dari lima belas jilid yang
membahas tentang ilmu metafisika, matematika, fisika, dan logika secara
intensif. Adapun karya monumentalnya di bidang kedokteran adalah Al-Qanun
fi Al-Thibb yang membahas bukan saja ilmu kedokteran dan membuat banyak
penelitian termasuk tentang meningitis, cara tersebarnya epidemik, dan sifat
menular tuberkulosis.18
Kedua, metode logis (rasionalisme) atau demonstratif (burhani),
merupakan metode dengan menggunakan akal yang mampu memahami bukan
saja benda-benda indrawi dengan cara mengabstraksi makna universal dari data-
data indrawi, melainkan juga objek-objek non-fisik dengan cara menyimpulkan
dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui. Memang untuk
memperoleh data-data dari alam nyata dibutuhkan pancaindra, tetapi untuk

17
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik
Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, hlm.
127-129.
18
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, hlm. 62.

7
menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau untuk
menerjemahkan satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam nyata
ini sangat dibutuhkan peran akal. Hal ini karena dalam memperoleh
pengetahuan, manusia memerlukan suatu bentuk pemilahan (tajziah),
penguraian (tahlil), dan penyusunan (tarkib) serta gabungan dari ketiganya
sebagai bentuk aktivitas rasio.19 Andaikan bersandar pada pancaindra semata,
manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah yang terjadi di jagad
raya ini. Jadi, akal yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan
pengetahuan.20
Pendapat sebagian besar filosof Muslim kalangan rasionalis menyatakan
bahwa manusia memiliki daya kognitif khusus (special cognitive faculty) yang
disebut sebagai akal (intelect) untuk menadah dan memahami (intellection)
konsep-konsep mental universal, entah konsep tersebut memiliki contoh-contoh
indrawi maupun tidak.21 Selain itu, mereka juga mempercayai bahwa berbagai
aktivitas dan argumentasi rasio ini berlangsung dengan sangat cepat dan rinci
sampai manusia tidak bisa merasakannya.22
Seseorang yang berpegang pada epistemologi rasional meyakini
kebenaran bisa ditemukan oleh akal sebelum adanya pengalaman karena di
dalam akal terdapat ide-ide yang menjadikan seseorang dapat menemukan
kebenaran tanpa harus menghiraukan realitas di luar akal. Epistemologi rasional,
meletakkan pengalaman sebagai perangsang akal dan peneguh kebenaran yang
telah dicapai oleh akal terutama ketika akal menangkap objek. Hasil tangkapan
indra belum dapat dikatakan sebagai pengetahuan sebelum diolah oleh akal.

19
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik
Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, hlm. 40.
20
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), hlm. 10-14.
21
M. T. Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam: Orientasi ke Filsafat Islam
Kontemporer, (Jakarta: Shadra Press, 2010), hlm. 134.
22
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik
Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, hlm.
139.

8
Hasil kegiatan akal mengolah tangkapan indra manusia ini kemudian disebut
dengan rasionalisme.23
Menurut Laius Gardet dan Anawati yang dikutip oleh A. Khudori Soleh,
kemunculan sistem berpikir rasional dalam Islam disebabkan oleh beberapa
faktor24, yaitu:
a. Didorong oleh munculnya mazhab-mazhab bahasa (nahw) lantaran adanya
kebutuhan untuk bisa memahami ajaran al-quran dengan baik dan benar. Hal
ini karena meskipun al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, tetapi tidak
semua lafaz-lafaznya bisa dengan mudah dipahami oleh orang-orang Arab
sendiri pada saat itu. Sehubungan dengan ini, maka muncul tiga mazhab
nahwu yakni mazhab Bashrah, mazhab Kufah, dan mazhab Baghdad.
b. Munculnya mazhab-mazhab fiqh dalam hubungannya dengan metode
rasional adalah tempat yang diduduki logika dalam perdebatan-perdebatan
fiqhiyah setidaknya pada lingkungan pendukung ahlu al-ra’yi.
c. Penerjemahan buku-buku Yunani kuno. Usaha penerjemahan ini sebenarnya
telah dilakukan sejak zaman Bani Umayyah, tetapi baru benar-benar
dilakukan secara serius dan besar-besaran pada masa Bani Abasyiyah awal
yakni masa Al-Ma’mun (813-833 M).
Metode rasionalisme atau burhani semakin berkembang menjadi salah satu
sistem pemikiran Arab Islam. Al-Razi (865-925 M), tokoh yang dikenal sebagai
rasionalis Islam yang telah menempatkan metode rasional sebagai dasar
penalaran, bahkan satu-satunya pertimbangan kebenaran yang dapat diterima,
sekaligus menilainya sebagai substansi manusia. Oleh karena itu, dia
menyatakan bahwa semua pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh
manusia selama ia menjadi manusia dan akal yang menjadi hakikat
kemanusiaan. Pada konteks tersebut, akal adalah satu-satunya sarana untuk
memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan konsep baik buruk. Setiap

23
Aksin Wijaya, Satu Islam, Ragam Epistemologi: Dari Epistemologi Teosentrisme Ke
Antroposentrisme, hlm. 16-17.
24
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
21-24.

9
sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka,
dan kebohongan.25
Posisi burhani tersebut dikuatkan oleh al-Farabi (870-950 M). Filsuf yang
digelari sebagai guru kedua (al-mu’allim al-tsani) setelah Aristoteles (384-322
SM) sebagai guru pertama (al-mu’allim al-awwal) karena jasa dan pengaruhnya
yang besar dalam filsafat Islam setelah Aristoteles, menempatkan burhani
sebagai metode paling baik dan unggul sehingga ilmu-ilmu filsafat yang
memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya.26
Pada fase-fase berikutnya, prinsip metode burhani telah digunakan tidak
hanya oleh kaum filsuf, tetapip juga oleh para fuqaha seperti Al-Jahizh (781-868
M) dan Al-Syathibi (1336-1388 M), juga kalangan sufi falsafi seperti Suhrawadi
(1153-1191 M) dan Ibn Arabi (1165-1240 M).27
Ketiga, intuisionalisme atau yang disebut metode intuitif (irfani)
merupakan metode yang mengungkapkan bahwa hati berperan untuk
menangkap objek-objek non-fisik atau metafisika melalui kontak langsung dan
objek-objeknya yang hadir dalam jiwa seseorang. Pendekatan intuitif (dzauqi)
disebut pendekatan presensial karena objek-objek hadir (present) dalam jiwa
seseorang dan karena itu modus ilmu disebut ilmu hudhuri (knowledge by
presence). Oleh karena objek-objek yang ditelitinya hadir dalam jiwa, kita bisa
mengalami dan merasakannya, dan dari sini istilah dzauqi (rasa) timbul. 28
Metode irfani sesungguhnya berasal dari sumber Islam sendiri tetapi dalam
perkembangannya juga terdapat pengaruh dari luar, Yunani, Kristen, Hindu,
ataupun yang lain.29 Metode irfani berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh
secara langsung dari Tuhan (kasyf) melalui olah rohani (riyadhah) yang
dilakukan atas dasar hub (cinta) atau iradah (kemauan yang kuat).
Aliran intusionalisme inilah yang berasal dari rasio untuk menempatkan
diri pada suatu objek dalam rangka menemukan sebuah hasil yang tidak biasa.

25
Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2013), hlm. 278.
26
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, terj. Purwanto, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 107.
27
Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik hingga Kontemporer, hlm. 279.
28
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, hlm. 65.
29
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 198-199.

10
Dengan berfikir secara intuitif maka berarti berpikir dalam durasi yang dipahami
sebagai waktu yang berkelanjutan dan bukan waktu yang terspesialisasi.
Mengenai sumber-sumber pengetahuan dalam bahasan epistemologi, para
ilmuwan menganggap bahwa realitas tidak terbatas hanya pada realitas yang
bersifat fisik tetapi juga mengakui adanya realitas yang bersifat nonfisik atau
metafisik yang menggunakan metode intuitif atau irfan dengan menggunakan
hati untuk memahami secara langsung realitas metafisis yang bersifat hudluri
dalam jiwa manusia dan menghasilkan pengetahuan mistik30.
Dalam kaitannya dengan pengetahuan mistik, pengetahuan ini merupakan
metode yang paling khas karena beberapa alasan.
Pertama, pengetahun intuitif dicapai melalui pengalaman atau merasakan
secara langsung objeknya. Dalam hal ini, metode intuitif (irfaniah) dapat disebut
juga metode dzauqi (rasa), bukan melalui penalaran. Sebagaimana misalnya,
seseorang tidak akan memahami hakikat cinta semata-mata hanya dengan
membaca literatur tentang cinta, tetapi dengan mengalaminya, cinta tidak dapat
dipahami melalui akal, tetapi lewat hati.
Kedua, sifat langsung pengetahuan intuitif bisa dilihat dari apa yang
disebut ilmu hudhuri, yakni hadirnya objek di dalam diri subjek. Berbeda dengan
rasio yang memahami objeknya lewat simbol-simbol, intuisi melampaui segala
bentuk simbol dan menembus sampai ke jantung objeknya. Singkatnya,
pengetahuan akli merupakan pengetahuan mengenai (knowledge about) yakni
pengetahuan diskursif atau simbolis yang mengunakan perantara. Sedangkan
pengetahuan qalbi merupakan pengetahuan tentang (knowledge of) yaitu
pengetahuan intuitif yang bersifat langsung sehingga dapat memperoleh
pengetahuan yang mutlak, langsung, dan bukan pengetahuan yang nisbi atau
yang ada perantaranya.31
Ketiga, metode intuitif mampu menembus langsung pengalaman
eksistensial, pengalaman riil manusia yang berhubungan dengan hati dan

30
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 219-220.
31
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2004), hlm. 141.

11
perasaan, bukan sebagaimana yang dikonsepsikan akal. Kalbu mampu
menangkap objek secara utuh. Kualitas ini sangat berbeda dengan akal yang
selalu memilah-milah dan meruang-ruangkan (spatialize) segala sesuatu
termasuk ruang dan waktu.32
Metode intuitif adalah metode yang menekankan pada pengalaman yang
unik dan berbeda dengan persepsi serta pikiran. Intuisi masuk ke dalam diri
sebagai sebuah realitas yang bukan dijangkau oleh persepsi dan pikiran. Adapun
ciri-ciri metode intuitif yaitu:
a. Intuisi adalah suatu pengalaman singkat (immediate experience) tentang
Yang Nyata. Realitas yang sebenarnya masuk melalui diri kita dalam
pengalaman ini. Intuisi adalah pemahaman langsung terhadap realitas secara
keseluruhan.
b. Intuisi adalah khas milik hati. Intuisi pada dasarnya tidak dapat
dikomunikasikan karena intuisi adalah perasaan yang bersifat personal, tidak
dapat diramalkan, dan perasaan tersebut tidak dapat disampaikan kepada
orang lain.
c. Intuisi adalah keseluruhan yang tidak teranalisa. Di dalam intuisi terdapat
keseluruhan realitas yang berada dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-
bagi.33
d. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses yang
sistematis dan tertentu.34
Selanjutnya, jika ditinjau secara metodologis, metode irfani setidaknya
diperoleh melalui tiga tahapan yakni persiapan, penerimaan, dan pengungkapan
baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Tahap persiapan berarti seseorang
harus menyelesaikan jenjang tahapan yang harus dijalani yang berangkat dari
tingkatan dasar menuju puncak saat qalbu telah menjadi netral dan jernih melalui
fase taubat, wara’, zuhud, faqir, sabar, tawakkal, dan ridla. Tahap penerimaan,
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri (kasyf) sehingga kesadaran

32
Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, hlm. 137.
33
Ishrat Hassan Enver, Metafisika Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 23-28.
34
Imam Khanafie Al-Jauharie, Filsafat Islam Pendekatan Tematik, hlm. 78.

12
ini ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang
diketahui begitu pula sebaliknya (ittihad). Tahap pengungkapan, dimana
pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat
ucapan atau tulisan.35
Metode intuisionalisme atau irfaniah secara global dapat dijelaskan secara
rinci melalui tiga tahapan berikut. Pertama, takhalli, yakni berusaha sekuat
mungkin untuk menjauhkan diri dari maksiat, baik maksiat eksternal (lahiriah)
maupun internal (batiniah). Maksiat lahiriah seperti mencuri, menipu, berzina,
berjudi, minum khamr, dan sebagainya. Sementara maksiat batiniah yaitu ujub,
riya, dengki, hubbud dunia, takabbur, dan lainnya atau disebut juga dengan sifat-
sifat hewani dan syaithoni.
Kedua, tahalli, yaitu menghiasi diri (mengamalkan) dengan sifat-sifat
yang mulia dan terpuji seperti tawadlu’, lapang dada, sabar, syukur, wara’,
tawakal, dan sebagainya. Ilustrasinya, ibarat pakaian tugas takhalli adalah
mencuci pakaian tersebut, sampai bersih dari segala noda dan kotorannya.
Sedangkan tugas tahalli adalah menjemur, memberi kanji agar lembut, dan
menghiasinya agar menjadi indah.
Kedua langkah tersebut harus dipraktikkan secara tertib, takhalli diikuti
tahalli, tidak boleh sebaliknya. Dalam konteks ini, jika tahapan-tahapan yang
dilalui sudah sempurna, maka akan tercapai apa yang disebut tajalli.
Ketersingkapan fenomena alam malakut dan spiritual melalui indra rohaniah
(bashirah), sehingga orang yang melaksanakannya akan menemukan jawaban
batiniah terhadap persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapinya.36
Pengetahuan irfani inilah yang disebut sebagai pengetahuan yang
dihadirkan (ilm hudluri) yang berbeda dengan pengetahuan rasional dan empiris
yang disebut sebagai pengetahuan yang dicari (ilm muktasab) 37 atau dalam
perspektif Henri Bergson, pengetahuan irfani diistilahkan sebagai pengetahuan
tentang (knowledge of) sebuah pengetahuan intuitif yang diperoleh secara

35
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 204-207.
36
Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, hlm. 138-139.
37
Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik hingga Kontemporer, hlm. 254.

13
langsung dan berbeda dengan pengetahuan mengenai (knowledge about), sebuah
pengetahuan diskursif yang diperoleh lewat perantara baik indra ataupun rasio.38

Dengan demikian, dapat disimpulkan terdapat tiga cara atau metode dalam
epistemologi Islam untuk menangkap atau mengetahui objek-objek ilmu.39
Pertama, melalui indra yang sangat kompeten untuk mengenal objek-
objek fisik alam materi dengan cara mengamatinya. Persepsi indrawi meliputi
yang lima yaitu indra pendengar, pelihat, perasa, penyium, penyentuh), plus
indra keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis yang
menyertakan daya ingatan atau memori (dhakirah), daya penggambaran
(khayal) atau imajinasi, dan daya estimasi (wahm).
Kedua, dengan qiyas (silogisme) atau burhan (demonstrasi) sebagai suatu
bentuk praktik yang dilakukan oleh rasio manusia. Rasio yang mampu mengenal
bukan saja benda-benda indrawi dengan cara mengabstraksi makna universal
dari data-data indrawi, melainkan juga objek-objek nonfisik (ma’qulat) dengan
cara menyimpulkan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahuinya.
Proses akal tersebut mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr). Dengan nalar
dan alur pikir, manusia dapat berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan
pendapat, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan.
Ketiga, hati (qalbu) yang mampu menangkap objek-objek nonfisik atau
metafisik melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir dalam jiwa
seseorang melalui penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) agar dapat menangkap
pesan-pesan gaib, isyarat-isyarat Ilahi, menerima ilham, kasyf, dan lainnya.40
Allah mengecam keras orang-orang yang tidak menggunakan segala
potensinya untuk berpikir dan meraih ilmu sehingga dengan ilmu itu mereka
meraih hidayah. Orang-orang seperti ini dalam al-Quran disamakan dengan
binatang ternak, sebagaimana firman Allah:

38
Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, hlm. 144-145.
39
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, hlm. 66.
40
Adian Husaini, dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, hlm. 114-115.

14
‫ص ُرو َن ِِبَا َوََلُْم‬
ِ ‫ُي لَّي ب‬ ِ
ُْ ٌ ُ ‫وب لَّيَ ْف َق ُهو َن ِبَا َوََلُْم أ َْع‬ ِ ‫اِلِ ِن َواْ ِإل‬
ٌ ُ‫نس ََلُْم قُل‬ ْ ‫َولََق ْد ذَ َرأْ ََن ِِلَ َهن ََّم َكثِ ًريا ِم َن‬

‫ك ُه ُم الْغَافِلُو َن‬
َ ِ‫َض ُّل أ ُْولَئ‬
ِ
َ ِ‫ءَاذَا ٌن لَّيَ ْس َمعُو َن ِبَآ أ ُْولَئ‬
َ ‫ك َكاْألَنْ َع ِام بَ ْل ُه ْم أ‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai qalb tetapi tidak untuk memahami (ayat-
ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mempergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi tidak) digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179).
Dalam ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah memberikan kepada
manusia mata, telinga, dan hati untuk dipergunakan sebagaimana mestinya
sesuai dengan kapasitasnya msing-masing. Hal ini berarti indra, akal untuk
berpikir, dan hati merupakan alat epistemologi Islam. Secara metaforis, manusia
laksana instrumental radio yang mampu menerima berbagai gelombang. Siaran
empiris diterima dan dipahami dengan menggunakan alat indra. Sedangkan
siaran yang tidak empiris tetapi rasional, diterima dan dipahami melalui akal
rasional yang bekerja secara logis. Siaran-siaran yang amat rendah frekuensinya
yang tidak sanggup diterima oleh indra dan akal rasional, maka dapat ditangkap
oleh kalbu (rasa).41

41
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Rosdakarya, 2004), hlm. 118.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Epistemologi menurut istilah ulama Arab disebut sebagai nazhariyah al-


ma’rifah. Secara terminologi epistemologi Islam merupakan cabang filsafat
yang membicarakan dasar-dasar pengetahuan, sumber pengetahuan,
karakteristik pengetahuan, ukuran kebenaran pengetahuan serta cara
mendapatkan pengetahuan berdasarkan perkembangan pemikiran Islam.
Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan
tersebut diantaranya dalam mendefinisikan ilmu dan memandang objek secara
keseluruhan. Epistemologi Barat menganggap yang dapat diketahui adalah
segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi secara indrawi yang hanya dibatasi
pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris sedangkan epistemologi Islam
memandang terdapat objek indrawi maupun metafisik dan mengakui sumber
ilmu tiga sekaligus yaitu indra, akal, intuisi. Masing-masing sumber tersebut
memiliki kadar kemampuan yang berbeda sehingga mereka tidak bisa dipisah-
pisah dan harus digunakan secara proporsional.
Tiga dalam epistemologi Islam untuk mengetahui objek-objek ilmu yaitu
empirisisme melalui indra yang sangat kompeten untuk mengenal objek-objek
fisik alam materi dengan cara mengamatinya, rasionalisme yang mampu
mengabstraksi makna universal dari data-data indrawi dan objek-objek nonfisik,
intuisionisme melalui hati (qalbu) yang mampu menangkap objek-objek
nonfisik atau metafisik melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir
dalam jiwa seseorang melalui penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs).

16
B. Daftar Pustaka

A. Khudori Soleh. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
_______________. 2013. Filsafat Islam: Dari Klasik hingga Kontemporer.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Al-Jauharie, Imam Khanafie. 2013. Filsafat Islam Pendekatan Tematik.
Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Asy’ari, Musa dkk. 1992. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis,
Aksiologis, Historis, Prospektif. Yogyakarta: LESFI.
Bakar, Osman. 1997. Hierarki Ilmu. Diterjemahkan Oleh Purwanto. Bandung:
Mizan.
Enver, Ishrat Hassan. 2004. Metafisika Iqbal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.Sofyan, Ayi. 2010. Kapita Selekta Filsafat. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Husaini, Adian dkk. 2013. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta:
Gema Insani.
Kartanegara, Mulyadhi. 2002. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat
Islam. Bandung: Mizan Pustaka.
___________________. 2007. Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan,
Alam, dan Manusia. Jakarta: Erlangga.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muthahhari, Murtadha. 2010. Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan
dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan
Relefansi Pandangan Dunia. Diterjemahkan Oleh Muhammad Jawad
Bafaqih. Jakarta: Shadra Press.
Nasution, Harun. 1973. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: Rosdakarya.
Wijaya, Aksin. 2014. Satu Islam, Ragam Epistemologi: Dari Epistemologi
Teosentrisme Ke Antroposentrisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

17
Yazdi, M. T. Mishbah. 2010. Buku Daras Filsafat Islam: Orientasi ke Filsafat
Islam Kontemporer. Jakarta: Shadra Press.
Zaprulkhan. 2014. Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: Rajawali
Press.
Zar, Sirajuddin. 2012. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali
Press.

18

Anda mungkin juga menyukai