1
Pendahuluan.
Bagi sebagian besar orang memandang filsafat sebagai sesuatu disiplin ilmu yang baru , tidak
menyenangkan dan bahkan terkesan menyesatkan. Hakikatnya filsafat sendiri merupakan aktivitas
berfikir yang dilakukan oleh setiap manusia. Posisi ilmu pengetahuan dalam filsafat menempati
kedudukan sebagai sebuah objek yang dikaji secara khusus dan melahirkan telaah filsafat ilmu.
Dalam filsafat ilmu, definisi ilmu pengetahuan berbeda-beda. Oleh karena itu, banyak pakar yang
mencoba mengartikannya sesuai dengan perspektif mereka. Ilmu adalah pengetahuan tentang
suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu1.
Rasa ingin tahu manusia atas segala sesuatu membuat mereka berpikir untuk mencari
kebenaran. Pengetahuan muncul dari pemikiran. Pengetahuan tidak hanya berasal dari pemikiran
manusia; itu juga berasal dari pengalaman hidup manusia. Bagaimana urgensi ilmu pengetahuan
dalam agama islam? Ilmu pengetahuan memiliki nilai yang sangat penting dalam pandangan Islam.
hal ini dibuktikan dalam Al-Qur’an yang mengandung banyak sekali ayat tentang ilmu diantaranya
Baqarah(2) : 145, 247, 255; Q.S Ali Imran(3): 61; Q.S al-Nisa(4): 162, dan masih banyak lagi.
Bahm memperoleh pemahaman baru tentang komponen utama dari struktur fundamental
ilmu pengetahuan, yang membantunya mengembalikan ilmu pengetahuan ke posisinya saat ini.
Hal ini kemudian mendorong gagasan yang dia tulis dalam artikelnya yang berjudul "Apa itu
sains?", yang berfungsi sebagai jembatan antara pemikiran empirisme Inggris dan pragmatis
Amerika. Empirisme Inggris berpendapat bahwa hipotesa dapat divalidasi dengan melihat
kembali maknanya pada awalnya, sedangkan pragmatis Amerika berpendapat bahwa workability,
yaitu seberapa efektif hipotesa membawa praktisi ke masa depan.2
Dari artikel sederhana ini penulis berusaha menguraikan kembali gagasan-gagasan para ahli
tentang struktur dasar ilmu pengetahuan.
هم
ا َُ
َضَر
َّ عثمُ ها َلَُّ
ء ك َٓ
َااۡلَسام
َ ا دم َٰ
َ المََّ
َعو
ِىن و
ا ــ ب
ِ ۡۢ
ا
ن َ
ا َ
ل اَقَف ِ
ة َ
ك ٮ َٓ
ٰ
ِٕ
ل لى ا
الم ََع
ا
٣١ َ
انِيِقٰد
ا ص ُماتُنن ك ِا
ء ا َُِٓۡل
هؤٓ ء
ٰ ِٓ َسام
َا ِاب
ما َّٓ ا
َ ِۡل َاَ َلن لم َكَ َۡل ع
ِا ٰن احاا سُب ُ َ
الو ق
٣٢ ُ
ام َك
ِي ُ ا
الح ِي
ام َلالعَ ا َانتِنكَ اَّؕ ا َاَن
متلاََّ
ع
1
Dendy Sugono, et, all, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 556
2
Joko Priyono, “Resensi Buku Archie J.Bahm Analisis Tentang ‘What is Science’”, dalam
eprints.undip.ac.id/20634/1/2471-ki-fh-042, (12 September 2000).
2
Author’s Name | Title
Dalam artikelnya yang berjudul "What Is Science", Bahm secara luas membahas bagaimana
ilmu pengetahuan dibangun dari enam elemen. 6 Semua elemen yang disebutkan di atas yang
mempengaruhi sesuatu disebut sebagai ilmu pengetahuan. yakni masalah, sikap, metode, aktifitas,
kesimpulan, dan pengaruh.(efek)
Pertama, dia menjelaskan bahwa tidak semua masalah memiliki sifat ilmiah. Suatu masalah
dianggap ilmiah jika memenuhi persyaratan, yaitu dihadapi dengan metode dan perspektif ilmiah.
Artinya, selain masalah yang terus-menerus, setiap masalah harus diselesaikan secara sistematis.
Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa masalah yang dapat dikomunikasikan dan dapat
diselesaikan, yang diusulkan oleh sikap metode ilmiah sebagai dasar ilmu pengetahuan, dapat
dianggap sebagai masalah ilmiah.
3
Aliy As’ad, terjemahan Ta’limul Muta’allim Thariqal Ta’alimmu, (Kudus: Menara Kudus, 1978), hlm. 9.
4
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 55-56 dan The
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1997), 85-93.
5
Saiful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 91.
6
Muslih Mohammad, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2005), 36-44.
3
Kedua, ada sikap ilmiah. Menurut Bahm, sikap ilmiah terdiri dari enam sifat utama:
keingintahuan, spekulasi, keinginan untuk menjadi objektif, keterbukaan, keinginan untuk
menangguhkan penilaian, dan kesementaraan. Fokus dari perspektif keingintahuan ini adalah
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kondisi objek penelitian. Seorang
peneliti harus terus memperhatikan apa yang dia pelajari, pelajari, ujicoba, petualangan, dan
bahkan eksperimentasi. Karena itu, menjadikan sikap keingintahuan sebagai pandangan hidup
adalah sesuatu yang wajar bagi seorang peneliti.
Ketiga, dia berpendapat bahwa metode ilmiah adalah satu dan banyak. Salah satunya adalah
bahwa metode ilmiah tidak menghadapi masalah ketika diterapkan. Dalam hal ini, dikatakan
banyak karena dalam kenyataannya terdapat banyak jalan, yaitu masing-masing ilmu mempunyai
metodenya sendiri-sendiri yang tentunya sesuai dengan masalahnya, dengan perbedaan teoritis
dan teknologi yang terkait dengan perkembangan zaman. Dia menggaris bawahi lima tahapan,
khususnya dalam metode ilmiah ini: menyadari masalah, melakukan pemeriksaan tambahan,
mengusulkan solusi, menguji usulan dengan berbagai hipotesa, dan terakhir berusaha
menyelesaikan masalah.
Keempat, adanya aktifitas, dia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah apa yang
dilakukan oleh para ilmuwan, yang kemudian dikenal sebagai "riset ilmiah", yang terdiri dari
Aspek Individu dan Aspek Sosial. Aktifitas ilmiah mencakup lebih dari apa yang dilakukan oleh
para ilmuwan khusus. Akibatnya, aktivitas ini terjadi dalam sistem publik dan pribadi yang
membiayai riset ilmiah, terutama yang menjamin kelanjutan penelitian ilmiah. Aktifitas ilmiah
dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan pendanaan, dan karenanya harus dipandang sebagai
kondisi penting untuk eksistensi dan sifat dasar ilmu pengetahuan.
Kelima, sampai pada kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan adalah ilmu yang dihasilkan. Oleh
karena itu, ilmu pengetahuan biasanya didefinisikan sebagai kumpulan informasi, bahkan jika
konsep-konsep tersebut merupakan ilmu pengetahuan itu sendiri. Kesimpulan adalah akhir atau
tujuan yang membenarkan sikap, metode, dan aktifitasnya sebagai cara-cara. Kesimpulan adalah
ilmu yang diselesaikan, bukan ilmu sebagai prospek atau dalam proses. Kesimpulan adalah segala
sesuatu yang diusahakan secara ilmiah.
Dalam islam kajian dasar ilmu pengetahuan tertuang dalam falsafah dasar Iqra’. Al-Qur’an
sebagai sesuatu yang benar bagi setiap orang Islam adalah sesuatu yang benar mutlak, tanpa tawar,
harga mati, dan tidak ada keraguan. Dengan demikian, kebenaran al-Qur’an tidak perlu diuji. 7
Sifat setiap Muslim terhadap al-Qur'an adalah beriman kepadanya, karena al Qur'an tidak dapat
diuji. Iman berbeda dari keyakinan. Konsekuensi eskatologis seperti dosa, siksa kubur, atau siksa
neraka. Iman mengandung hal tersebut. Jadi, "falsafah dasar iqra" berarti bahwa setiap orang
Islam harus benar-benar beriman tanpa keraguan bahwa ia harus membaca sebagai tanggapan
7
Muslim A.Kadir, Ilmu Islam Terapan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 5-6.
4
Author’s Name | Title
terhadap perintah membaca "iqra". Iman menentukan kebenaran perintah membaca. Selain itu,
jika seseorang ingin membaca, itu menunjukkan bahwa mereka beriman, dan jika mereka tidak
melakukannya, itu menunjukkan bahwa mereka tidak beriman.
Wahyu pertama tersebut tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an
menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi rabbik, dan bermanfaat
untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah
alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil,
objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.8
Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum, subjek membutuhkan paranan
untuk memahami objek, tetapi pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha subjek. Misalnya, Komet Halley memasuki
cakrawala hanya untuk waktu yang singkat setiap tujuh puluh enam tahun. Dalam hal ini,
meskipun para astronom menyiapkan peralatan mutahirnya untuk mengenali dan mengamati
komet, kehadiran komet itu sendiri yang lebih penting.
Berdasarkan wahyu pertama yang turun tersebut di atas yang harus dibaca adalah ma khalaqa,
yaitu sesuatu yang Allah telah ciptakan atau disebut juga makhluk (ciptaan). Ciptaan Allah ada dua
macam: tertulis, yaitu kitab suci al-Qur’an, dan yang tidak tertulis, yaitu alam semesta seisinya,
termasuk di dalamnya adalah hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Secara tradisional
akademik, objek bacaan tertulis disebut ayat qur’aniyyah dan objek bacaan yang tidak tertulis
disebut ayat kauniyyah. 9 Secara praktis ayat qur’aniyyah mengandung pengertian membaca setiap
huruf, kata, dan kalimat yang termaktub dalam kitab suci al-Qur’an al-Karim. Sedangkan
membaca ayat kauniyyah bisa dimaknai dengan membaca setiap fenomena atau gejala alam
semesta.
Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa perintah membaca (iqra) di awal wahyu kemudian
diikuti oleh periuntah-periuntah lain yang masih termasuk dalam pengertian "membaca", seperti
fakara, "aqala, "abbara/"ibrah, fahima, faqiha, alima, ulul albab, ulil abshar, ulin-nuha, dan al-
huda. Penggunaan lafal qara'a berubah menjadi lafal fahima karena Yang perlu digarisbawahi
adalah bahwa tujuan keseluruhan perintah membaca (iqra'/qara'a) adalah agar setiap hamba Allah
yang mengikuti perintah itu menjadi orang yang selamat, pintar, dan bahagia baik di dunia
maupun di akhirat.
Penutup
Membaca dari gagasan Archie John Bahm mengingatkan kita bahwa pertanyaan dalam ilmu
pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jelas dan tidak memiliki pertanyaan lagi. Berbedanya
perspektif antara tradisi empiris Inggris dan pragmatis Amerika, yaitu perspektif yang
menekankan aspek objektivitas dan perspektif yang menekankan aspek nilai, memiliki dampak
8
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Edisi Baru, (Bandung: Mizan,
2013. Cet. I), hlm. 570
9
Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, l988), hlm. l9.
5
yang signifikan pada bagaimana suatu ilmu pengetahuan dibangun, bahkan jika ide-ide tersebut
berbeda atau bahkan bertentangan dengan pendapat para ilmuwan lain.
Sedangkan prespektif islam ilmu pengetahuan didasari dari perintah ‘Iqra’ yang memiliki
makna membaca dalam artian yang sangat luas. Begitu pentingnya membaca, memahami, meneliti,
dan menghayati realitas wujud ini maka peranan akal pikiran dan hati menjadi kekuatan potensial
yang melebihi kekuatan makhluk ciptaan Allah yang lain, bahkan ketika manusia memikirkan
dirinya yang menjadi teka-teki bagi pencarian eksistensi wujud kemanusiaan, terus-menerus
dilakukan para ulama dan filsuf.
Demikian pula sudut pandang penulis bahwa bangunan Bahm telah menemukan bahwa ilmu
pengetahuan adalah sesuatu yang belum selesai sekaligus menengahi antara tradisi empiris inggris
dan pragmatis amerika sedangkan kewajiban membaca dalam term umat islam menjadi pelengkap
atas pondasi ilmu pengetahuan.
Referensi
Dendy Sugono, et, all, (2008) Kamus Besar Bahasa Indonesia
Joko Priyono, ( 2000). “Resensi Buku Archie J.Bahm Analisis Tentang ‘What is Science’”, dalam
eprints.undip.ac.id/20634/1/2471-ki-fh-042.
Aliy As’ad, (1978) terjemahan Ta’limul Muta’allim Thariqal Ta’alimmu, hlm. 9.
Surajiyo, (2010) Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, 55-56 dan The Liang Gie, ( 1997)
Pengantar Filsafat Ilmu, 85-93.
Saiful Anwar, (2007) Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, 91
Muslih Mohammad, (2005) Filsafat Ilmu, 36-44.
Muslim A.Kadir, (2003) Ilmu Islam Terapan, hlm. 5-6.
M. Quraish Shihab, (2013) Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Edisi
Baru, , hlm. 570
Jalaludin Rahmat, ( l988) Islam Alternatif, hlm. l9.