Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

ILMU MANTIQ
”Pengertian Ilmu Mantiq Kegunaan, serta Tujuannya ’’
DOSEN PENGAMPU: Muhyidin Azmi M.Ag

Disusun oleh :
AKMALUDDIN
NIM (2390010391)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) DARUL KAMAL NW KEMBANG KERANG

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

2024
Abstract

Ilmu mantiq merupakan ilmu yang mempelajari tentang logika, ia memiliki pengaruh
penting dalam membentuk pola pikir seseorang hingga bisa mencapai sebuah kesimpulan yang
benar dan dapat di pertanggungjawabkan, terutama dalam mengkaji berbagai disiplin ilmu
keislaman lainnya, untuk kemudian diterapkan dalam tataran praktis. ilmu mantiq atau ilmu logika
ini pertama kali dipopulerkan oleh para filsuf yunani, terutama filsuf manusia yaitu Sokrates, Plato,
dan Aristoteles.

Karena ia dapat membentuk pola fikir seseorang hingga bisa mencapai sebuah kesimpulan
yang benar dan dapat di pertanggungjawabkan ،karenanyalah sekelas Hujjatul Islam Imam Al-
Ghazali menganngap mempelajari ilmu Mantiq hukumnya adalah fardhu kifayah bahkan beliau
pernah mengatakan dalam muqaddimah kitab Al-Mustasfa:

ْ َ ‫ط ِب َها فَ ََل ِثقَةَ لَهُ ِبعُلُومِ ِه أ‬


‫ص ًَل‬ ُ ‫َو َم ْن ََل يُحِ ي‬

Dan barangsiapa yang tidak menguasainya (ilmu mantiq), maka ilmunya adalah diragukan dan tidak
dipercayai keabsahannya. Ini kerana ilmu mantiq menurut beliau merupakan pengantar kepada
semua ilmu, dan bukan semata-mata pengantar kepada ilmu usul fiqh saja. (Lihat Al-Mustasfa,
1/10)

Tujuan Makalah dan metode penelitian

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui Pengertian, ruang lingkup serta peranan
ilmu Mantiq itu sendiri. Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah metode
penelitian kepustakaan, data yang diambil melalui studi yang mendalam terhadap literatur-
literatur yang relevan, seperti buku, artikel serta jurnal-jurnal yang berkaitan dengan Mantiq.
Pendahuluan.

Ilmu Mantiq menjadi ilmu yang kontroversi sebab sebagian Ulama' mengharamkan dan
sebagian lagi mengatakan bahwa mempelajarinya adalah fardhu kifayah. Meski demikian Islam
datang dalam keadaan menjunjung tinggi akal, bahkan banyak ayat yang memerintahkan manusia
untuk mengerahkan akal dikirannya guna mengetahui hakikat sesuatu. Tujuannya adalah agar tidak
terjerumus kedalam kesesatan berlogika.Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ilmu untuk
menyelamatkan akal dari kesesatan, yaitu Ilmu mantiq.

A. Definisi Ilmu Mantiq


1. Definisi secara akar kata
Mantiq berasal dari akar kata bahasa arab yaitu :
َ َ‫ ن‬nathaqa bisa berarti berpikir bisa berarti berbicara’,
َ‫طق‬
‫ نَاطِ ق‬nathiq berarti ‘orang yang berpikir’ atau orang yang berbicara,
‫طوق‬ْ ‫ َم ْن‬manthuq berarti ‘yang dipikirkan’, dan
‫ َم ْنطِ يق‬mantiq ialah ‘alat berpikir’.
Mantiq disebut pula logika, berasal dari kata sifat logika (bahasa Yunani), yang
berhubungan dengan kata benda logos, yang artinya ‘pikiran’ atau kata sebagai pernyataan dari
pikiran. Asal kata tersebut menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pikiran dan kata
sebagai pernyataan dalam bahasa. Jadi, mantiq adalah cabang ilmu yang mempelajari pikiran, yang
dinyatakan dalam bahasa dan bahasa itu sendiri adalah kegiatan jiwa untuk mencapai
pengetahuan. (Ilmu Mantiq Sebuah Metode Berpikir Logis, hal. 1).

Sedangkan Dr. Hj. Nanih Machendrawaty, M. Ag mengatakan dalam buku beliau "Ilmu
Mantiq Pintu Utama Berfikir Logis":

Sebelum membahas pengertian logika akan lebih baik dibahas juga mengenai logika alami
dan logika saintifik. Mengapa? Karena pengalaman mengatakan bahwa kita tidak hanya sering
berpikir, tetapi juga harus berpikir. Kita harus melihat jauh ke depan; kita harus membuat rencana.
De fakto membuat rencana, bahkan merupakan kewajiban dan keharusan bagi manusia, betapa
pun keterbatasan rencana dan antisipasi manusia.

Dalam kegiatan berpikir sehari-hari, kita secara spontan telah mengikuti hukum-hukum logika yang
secara alami memerintah. Adapun Logika saintifik adalah ilmu praktis normative yang mempelajari
hukum-hukum, prinsip-prinsip dan bentuk-bentuk pikiran manusia, yang jika dipatuhi akan
membimbing kita mencapai kesimpulan-kesimpulan yang lurus dan sah. Hal ini sesungguhnya
merupakan penyempurnaan metode logika alami.

Selain itu Ilmu logika atau ilmu mantik ini, memiliki 2 jenis definisi. Ada definisi esensial (ta’rif bi al-
hadd) dan definisi deskriptif (ta’rif bi al-rasm).

1. Definisi esensialnya, itu berbunyi:


ِ ‫ص ًل إِلَى َمجْ ُه‬
َ َ ‫ول ت‬
‫ص ُّورين وت َصديقِيين‬ ُ ‫صدِي ِقيَّ ِة مِ ْن َحي‬
ُّ ‫ْث ك َْونُ َها ت ََو‬ ْ َّ ‫ص ُّو ِريَّ ِة َوالت‬ ِ ‫ع ْن ا َ ْل َم ْعلُو َما‬
َ َّ ‫ت اَلت‬ ُ ‫ا َ ْل ِعل َ ُم اَلَّذِي يَ ْب َح‬
َ ‫ث‬
Ilmu yang membahas tentang pengetahuan tashawwur dan tashdiq yang sudah diketahui yang
menjadi perantara kita menuju pengetahuan tashawwur (umum) dan tashdiq (lebih mendalam
sehingga dapat memberikan nilai).

Apa itu tasawwur apa itu tasdiqi?


Sederhananya, tashawwur adalah pengetahuan kita terhadap sesuatu namun kita hanya
sekedar tahu, tidak ada unsur penghukuman di dalamnya. Sedangkan tashdiq adalah pengetahuan
kita tentang sesuatu namun ada unsur penghukuman pada sesuatu itu, baik penghukuman itu
sifatnya positif maupun negatif.
Misalnya, anda ingin jalan-jalan ke sebuah mall, tentu saja anda menggambarkan mall itu dalam
akal anda sebelum anda pergi ke sana. Di akal anda, tergambarlah bagunan yang luas, banyak
penjual di dalamnya, dan lain sebagainya. Gambaran yang ada di akal anda tersebut dinamakan
“tashawwur” atau konsepsi.

Misalnya lagi, ketika disebutkan kata “doi” tergambarlah di akal anda seseorang yang anda sukai,
rindukan, dan anda sangat ingin menemuinya. Pengetahuan anda tentang “doi” tersebut, itu
namanya tashawwur.

Namun, ketika anda sudah tiba di mall, lalu anda menghukumi mall tersebut sebagai bangunan
keren atau anda mengatakan “mall itu megah banget” maka di kalimat anda itu mengandung
penghukuman. Yaitu, anda menghukumi mall sebagai sesuatu yang keren atau megah. Maka
pengetahuan disertai dengan penghukuman seperti inilah disebut “tashdiq” atau penghukuman.

Misalnya lagi, anda bertemu dengan “doi” anda yang telah anda rindukan, lalu anda menatapnya
baik-baik kemudian anda dari lubuk hati terdalam mengatakan “kamu cantik banget”. Kalimat anda
itu mengandung penghukuman, anda menghukumi doi sebagai sesuatu yang cantik. Maka
pengetahuan seperti inilah dinamakan “tashdiqi“.

Misalnya, anggaplah ada orang yang tidak mengetahui kenabian Rasulullah saw. Tapi ia melihat
Rasulullah sebagai sosok yang mengaku nabi dan memiliki mukjizat. Lalu anda menyusun premis
dan menyimpulkan:

Premis minor: Muhammad adalah seseorang yang mengaku nabi dan memiliki mukjizat.
Premis mayor: semua orang yang mengaku nabi dan memiliki mukjizat adalah nabi.
Konklusi: maka Muhammad adalah nabi.

Awalnya orang tersebut hanya bermodal pengetahuan “Muhammad adalah sosok yang mengaku
nabi dan memiliki mukjizat” (pengetahuan yang sudah diketahui) kemudian ia sampai kepada
pengetahuan baru, yang sebelumnya ia belum ketahui, yaitu “Muhammad adalah Nabi”. Dengan
kata lain, ketika kita sampai kepada pengetahuan yang belum kita ketahui, maka kita menjadi
mengetahuinya.

2. Definisi deskriptif berbunyi:


‫تفكيره‬
ِ ِ ‫عن ْالخطَ ِأ في الف‬
‫ أو أَن يَزَ َّل في‬،‫ِكر‬ ِ ‫عاتُها‬
َ َ‫الذ ْهن‬ ِ ‫ ت َ ْع‬،‫آلة قَانُو ِنيَّة‬
َ ‫ص ُم ُم َرا‬

”.Alat pengatur nalar, jika akan dipatuhi, maka menjaga kita dari kesalahan atau ketergelinciran
dalam berfikir“ Ahmad ibn ‘Umar al-Hazimi, Al-Syarh al-Mukhtasar li al-Sullam al-Munawraq, 1/12
B. Tujuan Ilmu Mantiq
Secara tidak langsung, ilmu mantiq membuat daya pikir akal tidak saja menjadi lebih tajam,
tetapi juga berkembang melalui latihan berpikir dan latihan menganalisis suatu persoalan secara
ilmiah. Melalui latihan berpikir, seseorang akan dengan mudah mengetahui letak kesalahan yang
menggelincirkannya ke dalam usaha menuju hukum-hukum yang diperoleh. Jadi, mempelajari ilmu
mantiq sama dengan mempelajari ilmu pasti, dalam arti sama-sama tidak langsung memperoleh
faedah ilmu itu sendiri, tetapi sebagai jembatan untuk ilmu-ilmu yang lain, juga untuk menimbang
sampai di mana kebenaran ilmu. Dengan demikian, ilmu mantiq juga boleh disebut ilmu
pertimbangan atau ukuran. Dalam bahasa Arab, disebut ilmu al-mizan atau mi’yar al-‘ulum.

Akal membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya sebab manusia diberi beban untuk
memikul hidayah din al-Islam. Hidayah yang diberikan kepada manusia menurut salah seorang
mufassir ada lima macam, yakni:
1) hidayah gharizah (insting) merupakan hidayah yang diberikan Allah kepada manusia dan
makhluk lainnya;
2) hidayah hawasi (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan perabaan) merupakan
hidayah yang diberikan Allah kepada mausia dan makhluk lainnya;
3) hidayah ‘aqal (penalaran) ialah hidayah yang diberikan Allah kepada manusia, malaikat, dan jin;
4) hidayah din al-Islam diberikan Allah kepada manusia dan jin; serta
5) hidsayah taufiq (kemampuan untuk mencocokkan perilaku dengan hidayah yang keempat) ialah
hidayah yang diberikan Allah kepada manusia dan jin berupa daya ikhtiyari.
Dengan demikian, peran ilmu mantiq adalah sebagai instrumen berpikir secara logis untuk
memperoleh hidayah.
Logika sebagai ilmu, digunakan untuk menjaga manusia agar tetap berpikir lurus sesuai
nalurinya. Ibnu Sina pernah berkata, “yang dimaksud dengan ilmu logika (mantiq) adalah alat yang
berisikan kaidah-kaidah untuk menjaga manusia dari ketergelinciran dalam berpikir”. Ibnu Sina, Al-
Isyarat wa Al-Tanbihat, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 1.
Kaidah-kaidah logika yang dimaksud merupakan aturan berpikir yang terpatri dalam hati
manusia untuk menjaga dari kesalahan dalam menyimpulkan sesuatu (istidlal). Fungsi inilah yang
membuat Ibnu Khaldun (w. 808 H) dalam muqaddimah menyebutnya dengan istilah “pembatas
pemikiran” (al-dlabithah al-fikriyah). Menurutnya, mantiq adalah sesuatu yang menjaga dan
meluruskan naluri berpikir sehingga sesuai antara substansi dan bentuknya. Ibnu Khaldun,
Muqaddimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 535.

C. Manfaat Ilmu Mantiq

Dampak mempelajari ilmu mantiq pada intinya akan membuat seseorang dapat berpikir
dengan benar sehingga mampu menyampaikan kesimpulan yang tepat tanpa memperhitungkan
kondisi dan situasi. Selain itu, dengan ilmu mantiq, kekuatan berpikir seseorang dapat meningkat
hingga pada tahap mampu mengoreksi kesalahan pikiran ketika sampai pada tahap pengambilan
keputusan. Oleh karena itulah, kegunaan ilmu mantiq dikatakan sebagai jembatan dari segala ilmu.

Bagi al-Ghazali, logika merupakan prasyarat yang harus dimiliki ilmuwan dalam segala bidang selain
metafisika. Ia mengidentikkan ilmu mantiq dengan filsafat.

Konsep ini akan berbeda dengan kelompok yang beranggapan bahwa logika amat membahayakan
keimanan seseorang. Jargon yang selalu didengungkan adalah ‫ من تمنطق تزندق‬man tamanthaqa
tazandaqa—barang siapa yang berlogika maka menjadi zaindik. Abd al-Rahmân Badawi (ed.)., al-
Turâs al-Yûnânî fi al-Hadlârah al-Islâmiyyah (Beirut: Dâr al-Qalam, 1980), h. 101—105.

Sebagai contoh, tashawwur dan tashdiq dapat mengantarkan kepada pengetahuan yang tidak
diketahui dan memperoleh pengetahuan baru.

Akan ada seseorang yang tidak mengetahui kenabian Rasulullah saw., tetapi melihatnya sebagai
sosok yang mengaku nabi dan memiliki mukjizat. Kemudian, ia menyusun premis (muqaddimah)
dan menyimpulkannya (natijah).
1. Premis minor (muqaddimah sughra): Muhammad adalah seseorang yang mengaku nabi dan
memiliki mukjizat.
2. Premis mayor (muqaddimah kubra): semua orang yang mengaku nabi dan memiliki mukjizat
adalah nabi.
3. Kesimpulan (natijah): Muhammad adalah nabi.

Pada awalnya, seseorang hanya memiliki pengetahuan “Muhammad adalah sosok yang mengaku
nabi dan memiliki mukjizat” (pengetahuan yang sudah diketahui), kemudian ia akan sampai pada
pengetahuan baru, yang sebelumnya tidak diketahui yaitu “Muhammad adalah nabi”. Dengan kata
lain, ketika sampai kepada pengetahuan yang belum diketahui, maka seseorang menjadi
mengetahuinya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manfaat ilmu mantiq ialah:
1) dapat memelihara dari kesalahan berpikir, memperdalam pemahaman, dan menyingkap
kebodohan;
2) melatih jiwa manusia agar dapat memperluas jiwa pikirannya;
3) dapat menambah kecerdasan dan kemampuan menggunakan akal; serta
4) mencegah manusia tersesat oleh segala sesuatu yang diperoleh berdasarkan otoritas.

Contoh lain bagaiman ilmu Mantiq bekerja.

Sokrates, Plato dan Aristo adalah tokoh kenamaan dalam ilmu logika ini, Aristoteles dan
Socrates dalam membimbing akal dan menampakkan kebenaran-kebenaran yang hakiki
menempuh metode soal jawab dan diskusi dengan murid-muridnya, sehingga sampailah seseorang
di antara mereka dengan usaha dirinya sendiri dapat menyingkap hakikat kebaikan-kebaikan yang
sebenarnya dan berhenti pada hakikat keutamaan-keutamaan itu. Oleh karena itu, ia (Socrates)
dipandang sebagai perintis jalan ke arah penyusunan Ilmu Mantiq (Al-Ibrahimi, t.t.: 4).

Sebagai contoh dikemukakan di bawah ini sistem Socrates tersebut:

Socrates: Apakah yang dimaksud dengan ‘serangga’ (insect) itu? Banyak sekali orang
memperkatakannya, sehingga ingin pula saya hendak mengetahuinya.”

Murid: “Serangga ialah binatang kecil bersayap.”

(Si murid yakin bahwa jawabannya itu benar).


S: “Kalau begitu, tentu ayam pun boleh kita namai serangga. Sampai sekarang saya yakin bahwa
ayam itu bukanlah serangga.”

M: “Ayam bukan demikian kecilnya hingga dapat dinamai serangga. Ayam itu amat besar kalau
dibandingkan dengan serangga.”

S: “Jadinya serangga ialah binatang yang amat kecil, mempunyai sayap.”

M:“Betul.”

S: “Kalau demikian, burung pipit dapat dinamai serangga, sebab dia demikian kecilnya.”

M: “Tidak! burung sekali-kali tidak dapat dinamai serangga.”

S: “Jadi, serangga ialah binatang yang amat kecil, dia bersayap, tetapi bukan dari jenis burung.”

M: “Benar!.”

S: “Kemarin saya memasuki salah satu toko, di dalamnya saya melihat kaleng-kaleng kecil. Pada
masing-masing kaleng itu tertulis: Tepung keating yang paling manjur untuk pemberantas
serangga. Pada masing-masing kaleng itu juga tergambar beberapa macam binatang kecil, bukan
dari jenis burung, tetapi tidak ada mempunyai sayap, umpama pijat-pijat, kutu kucing, dan lainlain.
Rupa-rupanya mereka salah menamakan binatang-binatang tersebut serangga, sebab masing-
masingnya tidak bersayap, menurut yang telah kita tetapkan itu?”

M: “Binatang-binatang tersebut memang serangga, semua orang tahu itu.”

S: “Aneh, aneh. Apa pulakah arti serangga sekarang menurut pikiranmu. Apakah sekarang kau
berpendapat bahwa, serangga ialah binatang yang amat kecil, mempunyai sayap bukan dari jenis
burung, dan kadang-kadang tiada bersayap. Sesungguhnya perkataan ini amat berlawanlawanan.”

M: “Celaka! Pertanyaan-pertanyaan orang ini membosankan. Cobalah tuan sendiri menerangkan


kepada saya, apa arti serangga itu, supaya saya puas dan tuan pun puas”.

S: “Bukankah dari tadi saya bilang padamu, bahwa saya sendiri pun tidak mengetahui. Tetapi
kendati pun demikian, marilah kita periksa bersama-sama, moga-moga kita sampai juga kepada
hakikat yang sebenarnya. Jalan yang paling baik ialah kita ambil 3 atau 4 ekor serangga dari jenis
yang bermacam-macam itu, kemudian kita perbandingkan yang satu dengan yang lain, untuk
mengetahui sifat-sifatnya yang sama. Apakah serangga yang akan kita ambil?”

M: Mari kita ambil kupu-kupu, semut, serangga dan kumbang.”

S: “Bagus.”

Maka diselidiki dan diperhatikanlah oleh mereka bersama-sama binatang-binatang tersebut.


Sementara itu Socrates pun banyak mendatangkan pertanyaan-pertanyaan untuk pembuka pikiran
murid itu. Kemudian sampailah mereka kepada pengertian yang sebenarnya, yaitu “serangga ialah
binatang beruas, kulitnya kesat lagi keras, kakinya enam, mempunyai sayap atau bekas sayap”.

Dengan memerhatikan contoh yang disebutkan itu kelihatan bahwa dengan memakai sistem
Socrates itu, murid dibawa melalui tiga tingkat pikiran, yaitu:

1. Yakin yang tiada berdasar.


2. Bimbang dan ragu-ragu tentang pendapatnya semula, dan ingin hendak mengetahui yang
sebenarnya.
3. Yakin yang berdasarkan kepada penyelidikan dan cara berpikir yang betul (Muchtar Yahya, 1962:
51-52).
Kemudian ajarannya itu diikuti oleh muridnya, yaitu Plato tetapi ia tidak banyak memberikan
tambahan pada pembahasan gurunya itu. Baru setelah Aristoteles muncul, lalu ia mengumpulkan
berbagai macam mantiq, menghimpunnya yang berserak-serak, menyusun metodenya serta
mensistematisasi masalah-masalah dan pasal-pasalnya, kemudian menjadikan ilmu ini sebagai
dasar dari ilmu falsafah, sehingga Aristoteles dipandang sebagai peletak dasar Ilmu Mantiq.

D. KESIMPULAN
Dengan demikian, dari kedua definisi di atas dapat simpulkan bahwa ilmu mantiq merupakan alat
untuk menjaga kesalahan dalam berpikir. Ilmu mantiq diperlukan dalam kehidupan sebab manusia
adalah makhluk yang tidak lepas dari kegiatan berpikir. Namun, manusia sering kali dipengaruhi
oleh berbagai tendensi, emosi, dan subjektivitas sehingga tidak dapat berpikir jernih, logis, serta
objektif. Dalam hal inilah, mantiq berfungsi sebagai proses pengungkapan sesuatu yang misteri
(majhul) dengan cara mengolah pengetahuan yang telah ada sehingga misteri dapat diketaui
secara gamblang.
DAFTAR PUSTAKA
A.K., Baihaqi, Ilmu Mantiq, Teknik Dasar Berpikir Logik, Jakarta: Darul Ulum Press, 1996.
Abdul Mu’in, K. H. M. Taib Thohir, Ilmu Mantiq, Jakarta: Wijaya, 1964.
Al-Damanhuri, Syekh Ahmad, Idhah al-Mubham Min Ma’ain al-Sulam, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi,
tanpa tahun.
Al-Ibrahimi, Muhammad Nur, Ilmu al-Mantiq, Jakarta: Pustaka ‘Azam, 1961.
Al-Midani, Abd al-Rahman Hasan Hanbakah, Dhawabith alMa’rifah wa Ushul al-Istidlal Wa al-
Munadzarah, Damsyik, Bairut: Dar al-Qalam, 1981.
Arif, Oesman, Ilmu Logika, Surabaya: Bina Ilmu, 1978.
Bakry, Hasbullah, Sistematika Filsafat, Solo: AB Sitti Syam- siyah, 1961.
Gazlba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku II, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
H.E., Russell, Elmentary Logika, London Macmillan Company,1950.
Machendrawaty, Nanih. Ilmu Mantiq pintu utama berfikir Logis. Bandung. CV. Mimbar Pustaka.
2019.
Mehra, Partap Sing dan Burhan, Jazir, Pengantar Logika Tradisional, Bandung: Bina Cipta, 1964.
Nawawi. Ilmu Mantiq Sebuah Metode Berpikir Logis. Malang. PT. Literasi Nusantara Abadi Grup.
2023.
O.C.C,M. Sommer, Logika, Bandung: Penerbit Alumni, 1982.
Poedjawijatna, I.R., Logika Filsafat Berpikir, Jakarta: Mutiara Agung, 1978.

Anda mungkin juga menyukai