Dosen Pengampuh :
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1:
REVANI SAPUTRI
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang.
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam
berpikir.lebih jelasnya, mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan
formula berpikir,sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara
berpikir salah.manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari
berpikir.namun,saat berpikir,manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai
tendensi,emosi,subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan
obyektif.
Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang
benar,tidak keliru.ada baikmya kita mengetahui apa yang dimaksud
dengan“berpikir”.berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau
belum diketahui)dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam
benak kita (dzhin)sehingga yang majhul itu menjadi ma’lum, ( diketahui)
B. Rumusan masalah
1. apa yang dapat kita pelajari tentang ilmu mantiq?
2. Apa pendapat anda tentang ilmu mantiq?
3. Mengapa kita harus belajar ilmu mantiq?
C. Tujuan
1..apa saja manfaat yang dapat dipelajari dari ilmu mantiq?
2. apa dampak mempelajari ilmu mantiq dalam kehidupan sehari hari?
3.mengapa kita harus berpikir untuk mengambil sebuah keputusan?
BAB II
Pembahasan
Pengertian Ilmu Mantiq.
Sedangkan mantiq secara etimologis atau bahasa berasal dari dua bahasa, yaitu bahasa
arab nataqa yang berarti berkata atau berucap dan bahasa latin logos yang berarti perkataan atau
sabda. Pengertian mantiq menurut istilah ialah: Alat atau dasar yang gunanya untuk menjaga
dari kesalahan berpikir. Sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berfikir
sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari berfikir yang salah.Ilmu mantiq
sering disebut bapak segala ilmu ataudikatakan ilmu daari segalayang benar karena ilmu mantiq
ialah sebagai alat untuk menuju ilmu yang benar,atau karena ilmu yang benar perlu pengarahan
mantiq.
1. Aristotales.
2. Ibnu Sina.
Mantiq adalah produk pemikiran yang dapat mengetahui keabsahan had shahih
yang diberi nama penjabaran(Ta’rif) dan keabsahan Qiyas yang diberi nama Burhan.
3. Ghazali.
: 1.Definisi / ta'rif:وا يروصصصت لوصصهجم ىال لصصصوت اصصهنا ثيح نم ةيقيدصصصتال و ةيروصصصتال
تاصصمولعمال نع هصصيف فرصصعي ملعيقيدصتArtinya: "Ilmu yang mempelajari tentang sesuatu
yang sudah diketahuigambarannya dan pembenarannya sekira-kira ia bisa
mendatangkan kepada
sesuatu yang samar gambarannya atau pembenarannya. Atau bisa juga dikatakan: Ilmu
yang mempelajari tentang ta'rif / definisi atau dalil /hujjah / argumentasi berdasarkan akal
pikiran yang sehat dalam rangka menuju jalan kebenaran dalam dunia keilmuan.Atau: "ilmu
yang mempelajari tentang cara berpikir yang tepat, sehat, dan benar untuk memperoleh jalan
kebenaran sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam ilmu logika.
2. Materi ilmu mantiq / logika ( ) هعوضوم:لوهجم ىال اهالص__يا ةحص ةروك_ذمال ثيح نم ةيقيدص_تال و
ةيروصتال تامولعمال
3.Pelopor atau pencipta ilmu logika () هعضاو: Aristoteles
a. Kalau ilmu mantiqnya tidak bercampur dengan kesesatan para filosuf, maka hukumnya
fardhu kifayah berdasarkan kesepakatan para ulama.
5. Nama lain dari ilmu mantiq () همسا: Ilmu Mantiq, Ilmu Mizan dan Mi'yarul'Ulum
6. Hubungan ilmu mantiq dengan ilmu-ilmu lain (هري___غ ىال هت: Masing-masing
mempunyai perbedaan tersendiri
7. Masalah2 dalam ilmu mantiq () هلئاسم: ilmu pengetahuan berikut pembagiannya
8. Pengambilan ilmu mantiq () هدادمتسا: diambil dari akal pikiran yang sehat
Kegiatan berfikir muncul berbarengan dengan adanya manusia pertama. Manusia diberi
potensi berfikir untuk memikirkan dirinya dan segala sesuatu yang berada di luar dirinya.
Namun, mengenai berfikir sistematis (dalam pengertian secara mantiq), para penulis ilmu mantiq
mengatakan bahwa secara konsepsional dan sistematis kegiatan berfikir yang kemudian
melahirkan tatacara berfikir yang dituangkan dalam suatu disiplin ilmu yang disebut mantiq.
Yunani adalah negeri asal ilmu mantiq atau logika karena banyak penduduknya yang mendapat
karunia otak cerdas. Negeri Yunani, terutama Athena diakui menjadi sumber berbagai ilmu.
Pada abad ke 5 sebelum masehi di yunani mantiq (logika) oleh ahli-ahli filsafat yunani
kuno dijadikan sebagai ilmu. Perkembangan ilmu mantiq tidak terlepas dari sejarah perjalanan
filsafat di yunani dan transformasinya kedalam pemikiran muslim dalam kegiatan ilmiah sejarah
perkembangan ilmu mantiq di latar belakangi dengan ilmu mantiq dan perintis-perintisnya.
Tercatat sebagai perintis pertamanya adalah sofisme. Kelompok ini mencoba mengangkat
persoalan kemasyarakatan, agama, dan akhlak dengan pendekatan akal, benar salah baik buruk
sesuatu di ukur dengan timbangan akal mereka. Sayangnya kajian mereka sering mengarah pada
kesesatan dalam berfikir, karena sebelumnya belum ada norma berfikir yang baku yang dapat
menuntun mereka kearah berfikir yang benar dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.
Bagi bangsa Yunani -dan bahkan bangsa di seluruh dunia-, Aristoteles adalah ikon
rasionalitas. Dia adalah peletak dasar cara berpikir yang tersusun dalam premis-premis, dan
kemudian ditarik sebuah konklusi. Apa yang dilakukan Aristoteles ini disebut logika. Bangsa
Yunani yang dahulu diliputi dengan dunia mitos, seakan tercengang dan terhipnotis dengan
karya Aristoteles. Posisi Aristoteles sebagai guru Alexander (putra raja Macedonia, Philip) dan
guru filsafat di sekolah yang didirikannya di Athena, the Lyceum, menjadikan pemikirannya
banyak dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani. Sampai pada tingkatan tertentu, logika
Aristoteles mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia pengetahuan.
Logika Aristoteles telah mampu merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang terabadikan dalam
“dialog”nya. Pemikiran-pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas bangsa Yunani,
bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar sebelumya, Socrates dan Plato.
Maka, tak berlebihan jika orang Yunani menganggap Aristoteles sebagai Tuhan dan Dewa
rasionalitas. Jargon rasionalitasnya mampu meluluhkan ildemi mengungkap hakekat sebuah
kebenaran.Rasionalitas dalam ilmu akan selalu diagungkan seperti halnya demokrasi dalam
politik. Logika akan terus berkembang dan mengambil peran yang sangat relevan terhadap
segala perkembangan yang ‘tidak mutlak’, terlebih ketika menemukan hal baru yang butuh
penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu melakukan pendekatan rasional. Hal ini tercermin
dari setiap karyanya. Bahkan alam semesta, menurutnya, tidak dikendalikan oleh hal-hal yang
serba kebetulan. Gerakan alam semesta ini tunduk pada hukum-hukum rasional. Pengamatan
empiris dan landasan-landasan logis harus dimanfaatkan dalam mempertanyakan setiap aspek
dunia secara sistematis. Dengan ‘dogma’ inilah budayazamannya demi mengungkap hakekat
sebuah kebenaran.Rasionalitas dalam ilmu akan selalu diagungkan seperti halnya demokrasi
dalam politik. Logika akan terus berkembang dan mengambil peran yang sangat relevan terhadap
segala perkembangan yang ‘tidak mutlak’, terlebih ketika menemukan hal baru yang butuh
penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu melakukan pendekatan Eropa mulai bergerak dari
hal-hal yang beraromakan mistik dan takhayul menuju rasio.
Perumusan logika oleh Aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu pengetahuan
secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai
pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik sepenuhnya atau tidak- serta mengungkap
kebenaran. Akal menjadi sebuah neraca, karena akallah yang paling relevan untuk membedakan
antara manusia dengan segala potensi yang dimilikinya dari makhluk lain. “ Wa Ja’ala Lakum al-
Sam’a wa al-Abshâr wa al-Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23). Oleh Ibnu Khaldun kata “af`idah”
bermakna akal untuk berfikir yang terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, akal yang memahami
esensi di luar diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas akal di sini adalah konsepsi
(tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang membawa petaka.
Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya dalam konteks interaksi sosial. Aktvitas akal di
sini adalah sebagai legalitas (tashdiq) yang dihasilkan dari eksperimen. Sehingga akal di sini
disebut sebagai akal empirik. Dan ketiga, akal yang menelorkan ilmu dan asumsi di luar indera,
lepas dari eksperimen empirik atau yang biasa disebut “akal nazhari”. Di sini konsepsi
(tashawwur) dan legalitas (tashdiq) berkolaborasi untuk menghasilkan konklusi.
Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum-hukum berpikir dengan tepat harus
mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli mantik dalam hal ini
mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika sebuah pernyataan sesuai dengan kenyataannya maka itu
benar dan pernyataan yang didasarkan pada koherensi logis adalah benar, karena kekuatan pikir
kita sebatas kebenaran yang kita ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran tidak
memiliki kekuatan. Jika aklamasi mengarah kepada logika adalah representasi dari segala
kebenaran pengetahuan, maka akan timbul pertanyaan ‘ke-independensian’ logika, apakah
termasuk dari bagian sebuah pengetahuan atau hanya sebagai ‘kacung’ ilmu pengetahuan?
Stoicisme mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema besar, yaitu metafisika, dialektika dan
etika. Dan dialektika adalah logika. Maka mereka lebih cenderung memasukkan logika sebagai
bagian dari filsafat.berbeda dengan Ibnu Sina (1037 M.) dalam bukunya al-Isyârât wa al-
Tanbîhât yang memisahkan logika sebagai ilmu independen sekaligus sebagai pengantar. Dalam
hal ini, Al-Farabi (950 M.) juga berpendapat bahwa mantik adalah Ra’îs al-‘Ulum yang
independen. Keterpengaruhan mantik arab dengan neo-platonisme dan Aristoteles sangat jelas
jika dilihat dalam hal ini, karena essensi dari pada logika itu sendiri adalah ketetapan hukum
untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui. Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan yang
mendalam, hanya dari sisi pandangnya saja yang membuat seakan berbeda. Ibnu Khaldun
mengklasifikasikan ilmu menjadi dua; pertama ilmu murni independen (‘ulûm maqshûdah bi al-
dzât) seperti ilmu syari’at yang mencakup ilmu tafsir, hadits, fikih dan kalam, dan ilmu filsafat
yang mencakup fisika dan ketuhanan. Kedua, ilmu pengantar (âliyah-wasîlah) bagi ilmu-ilmu
murni-independen, seperti ilmu bahasa Arab dan ilmu hitung sebagai pengantar ilmu-ilmu
syari’ah, dan mantik sebagai pengantar filsafat. Pengkajian terhadap ilmu pengantar hendaknya
hanya sebatas kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi ilmu independen. Karena jika tidak
demikian, ilmu alat atau pengantar tersebut akan keluar dari arah dan tujuan awal, dan bisa
mengaburkan pengkajian ilmu-ilmu independen. Pembahasan panjang lebar terhadap ilmu
pengantar inilah yang banyak dilakukan oleh ulama khalaf. Dalam perkembangan selanjutnya,
hanya ilmu independenlah yang dapat disebut sebagai ilmu. Sedangkan ilmu perantara bukan
disebut ilmu. Terlepas dari ilmu atau bukan, bisa dikatakan tujuan sebenarnya mantik atau logika
bukanlah sebagai peletak hukum berpikir melainkan berpikir untuk memperoleh kebenaran, yang
salah atau yang benar.
Kecerdasan penduduk Yunani itulah barangkali yang telah menyebabkan antara lain,
lahirnya kelompok Safshathah. Kelompok ini dengan ketangkasan debat yang mereka miliki
menghujat dan malah merusak sistem sosial, agama dan moral dengan cara mengungkap
pernyataan-pernyataan yang kelihatannya benar, tetapi membuat penyesatan-penyesatan
pemikiran nilai dan moral.
Aristoteles (384 –322 SM.) berusaha mengalahkan mereka secara ilmiah dengan pernyataan-
pernyataan logis yang brilian. Pernyataan itu ia peroleh melalui diskusi dengan murid-muridnya.
Karya Aristoteles itu sangat dikagumi pada masanya dan masa sesudahnya sehingga logika
dipelajari di setiap perguruan.
Ilmu mantik dipelajari oleh oleh umat islam sehingga banyak dari mereka yang menjadi
seorang pakar mantik. Diantara mereka juga menulis buku ilmu mantik dan mengembangkannya
dalam berbagai segi mengislamisasikannya melalui contoh-contoh yang dimunculkan oleh
mereka. Mereka juga menggunakan ilmu mantik untuk mempertajam dan mempercepat daya
pikir dan aplikasi kesimpulan yang benar dan mereka juga menggunakan ilmu mantik untuk
membantu mengokohkan hujjah-hujjah agamawi termasuk wujud Tuhan dan kebaharuan alam
semesta. Diantara ulama dan cendikiawan muslim yang terkenal mendalami menerjemah dan
mengarang di bidang ilmu mantik adalah Abdullah Ibn Al-Muqaffa’, Yaqub Ibn Ishaq Al-Kindi,
Abu Nashr Al-Farabi, Ibn Sina,abu hamid al-Ghazali, Ibn Rusyd Al-Kuthubi dan masih banyak
yang lainnya. Pada Zaman kebangkitan Eropa dari abad gelap Al-Farabi malah dijuluki dengan
guru kedua logika. Tokoh-tokoh ilmuwan lainnya yang sangat terkenal di bidang ilmu logika
adalah Abu Ali Al-Haitsam, Abu Abdillah Al-khawarizmi, Al-Tibrizi, Ibn Bajah, Al-Asmawi,
Al-Sarmanqandi yang tidak terkenal hanya belahan timur tetapi juga belahan barat.
Namun demikian banyak orang ulama besar masih mempertahankan ilmu mantik sebagai
suatu ilmu yang harus dipelajari, tetapi mempunyai bagian yang terbatas saat menggunkannya
sebagai penunjang bagi ilmu tauhid saja diantara mereka adalah Sayid Syarif Ali Al-Jurjani,
Muhammad Al-Duwani, Abdurahman Al-Akhdari, muhibullah Al-Bisri, Ahmad Al-Malawi,
Muhammad Subhan, Al-Hindi dan masih banyak yang lainnya.
Eropa hampir seribu tahun dalam masa abad gelap mulai abad ke 13 sampai abah ke 14.
Meraka menggali lagi pelajaran logika tetapi mereka tidak dapat mempelajari pelajaran logika
dengan sepenuhnya karena masih ada pengucilan gereja yang ketat. Namun demikian kegairahan
ilmu di Eropa pada masa abad tersebut setelah melalui perjuangan berat memisahkan gereja dari
negara sangat tinggi. Berbagai ilmu yang tadinya disalin dan diterjemahkan para ilmuan-ilmuan
Muslim kedalam bahasa Arab diterjemahkan kembali oleh mereka dalam bahasa latin dan
berlanjut ke bahasa-bahasa eropa.Di bidang logika mereka juga menggelari jabatan atau julukan
kepada Al-Farabi sebagai guru kedua dan Ibn Sina sebagai guru ketiga.
Buku logika Ibn Sina diterjemahkan dalam bahasa latin oleh mereka di penghujung abad
ke 12. Terjemahan yang lebih lengkap adalah dari karya logika Ibn Rusyd di awal abad ke 14.
Tejemahannya disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris). Setelah itu ilmu logika mulai
hidup kembali di Eropa, Amerika dan negara-negara lainnya berkembang dengan subur.
Dalam masa filsuf-filsuf muslim Alpharabi merupakan maha guru kedua dalam ilmu
pengetahuan karena masa Alpharabi ilmu mantiq di pelajari lebih rinci dan di praktikan termasuk
dalam pentasdiqan qodhiah.
Pada era modern muncul pemikir Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan pemikir
lainnya yang mengembangkan ilmu mantiq melalui karya-karya tulisnya.Setelah di transfer ke
dunia islam, mantiq yunani terdiri dari tiga corak berikut:
1. Mantik hasil karya kelonpok Peripateticieus (Masya’ayun) atau mantiq aliran Peripatetisme
(Massaiah, yaitu pengembangan metode aristo mabtu )
2. Mantik hasil karya Stoicieus (Rawakiyun) atau mantiq aliran Stoicisme (Rawakiyah) yang di
kembangkan oleh ahli ilmu kalam dan ahli ushul fiqh
3. Mantik hasil karya ahli tasawuf yang disebut dengan mantik Isyaraqi (Manthiq Isyraqi)
Dalam kategori lain ilmu mantiq mempunyai corak yang dikelompokan menjadi tiga
kelompok antara lain sebagai berikut:
3. Mantik islami
Ilmu Mantiq Aristoteles dapat diterima dan berkembang di dunia pemikiran islam
disebabkan oleh beberapa faktor berikut :
1. Islam mengajarkan prinsip persamaan drajat antara pemeluk islam bangsa arab dan non arab,
berbeda dengan agama non islam yang kerap kali memandang rendah masyarakat jajahannya.
3. Adanya sikap terbuka untuk mempelajari ilmu pengetahuan peninggalan karya pemikir
yunani sebagai bagian dari objek kajian ilmiah.
Pengaruh fatwa tersebut sangat kuat di kalangan umat Islam, sehinnga kegiatan dan
perkembangan alam fikiran dunia Islam mengalami kemacetan dan kebekuan. Sementara dunia
Barat sedang gembira menyambut zaman Kebangunan (Renaissance) di Eropa (abad 13-14
M).Namun demikian di awal kebangkitan islam (pada penghujung abad ke 19 yang ditandai
dengan gerakan pembaharuan, ilmu mantik yang di singkirkan oleh islam mulai dipelajari dan
dikembangkan kembali. Gerakan pembaharuan ini di pelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridho dan lain-lain. Mendapat pengharuh besar dan meluas
keseluruh dunia islam, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, ilmu mantik pada mulanya dipelajari secara terbatas di perguruan-
perguruan agama dan pesantren. Ilmu ini kemudian mendapatkan perhatian berkat semangat
positif dari gerakan pembaharuan. Meskipun pakar-pakar mantik banyak di Indonesia ternyata
buku-buku mantik atau logika yang mereka susun dalam bahasa indonesia masih digolongkan
sedikit. Sementara itu mereka juga mengakui besarnya yang signifikan dan peranan ilmu mantik
atau logika bagi pengembangan ilmu pada umumnya dan peningkatan daya pikir untuk
memperoleh kesimpulan yang benar dan logis. Ilmu Mantik sampai ke Indonesia bersama ilmu-
ilmu agama lainnya yang dibawa oleh pelajar-pelajar muslim yang belajar di Timur Tengah.
Ilmu logika baru dipelajari lebih luas setelah diperkenalkannya buku Madilog karangan
Tan Malaka yang terbit tahun 1951. Pada tahun 1954 Ilmu Mantiq telah dipelajari secara lebih
luas dan dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi.
Dalam dunia ilmu, argumen dipakai sebagai penguat gagasan. Setiap argumen dapat diuji
keabsahannya dengan logika. Maka, untuk mewujudkan argumen yang baik dan benar perlu
menguasai logika. Dalam pembacaan ini, penulis sedikitnya telah menggunakan perumusan
logika yang diusung Aristoteles sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan
baru yang berupa dialektita atau logika. Karena korelasi sebuah pernyataan dan jawaban yang
logis akan dapat dibuktikan dengan rumusan tersebut. Kesalahan penyimpulan ditemukan ketika
tidak menggunakan hukum, prinsip dan metode berpikir. Berangkat dari upaya pencarian
kebenaran tersebut ilmuwan Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles semakin gencar untuk
merumuskan perangkat metode berpikir yang rasional. Logika dalam perkembangannya
mengalami berbagai fase. Bentuk logika formal yang ada dewasa ini adalah perwujudan
kolaborasi antara pakar klasik dan modern. Tapi pionir logika formal yang sebenarnya adalah
Aristoteles, meskipun dalam pengertian yang berbeda dengan logika formal modern. Pada
hakekatnya logika tidak terpisah dari materi, yang pada awalnya merupakan sebuah pemahaman
sehingga akan mewujudkan ‘thing’ (sesuatu). Tetapi pakar modern mengawali dari sesuatu
sehingga akan muncul pemahaman. Makna awal logika Yunani adalah kalam yang kemudian
dimaknai sebagai akal, pikiran dan burhan.
Baru sekitar abad ke-2 M bangsa Arab mengadopsinya dan diterjemahkan sebatas segi
bahasa yaitu kalam dan talaffud tanpa menghubungkannya dengan makna sebenarnya yang
digunakan di Yunani ketika itu. Susunan logika Aristoteles yang sudah tertata rapi disertai
peninggalan karya-karyanya dalam jumlah yang banyak dapat dikatakan sebagai salah satu
faktor berkembangnya logika Aristoteles ke dunia Arab. Sejarahpun mencatat,banyak karya
Aristoteles telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Syria, Arab, Persia dan India. Maka
tak heran jika metode Aristoteles sangat ‘heboh’ merasuki hampir di segala caAda enam tema
besar dalam mantik Aristoteles yaitu, “Categoria Seu Praediecamenta” (al-Maqqûlât),
“Perihermenias Seu de Interpretatione” (al-‘Ibârah), “Analytica Priora” (al-Tahlîlât al-Ulâ),
“Analytica Posteriora” (al- Tahlîlât al-Tsâniyyah), “Topica, Seu De Locis Communis” (al-Jadal),
“De Sophisticis Elenchis” (al-Safsathâ’i). Seiring dengan perkembangan mantik di dunia Arab,
logika banyak mengalami perubahan, yaitu dari yang enam menjadi sembilan; ‘Isagog’
(madkhal), ‘Retorika’ (al- Khithâbah), ‘Potikia’ (al- Syi’r). Sembilan tema besar itulah yang
banyak berkembang di dunia Arab. Bahkan al-Khawarizmi dalam bukunya ” Mafâtîh al-‘Ulûm”
juga mengklasifikasikan mantik ke dalam sembilan tema tersebut. Lain halnya dengan al-Farabi
dalam “Ihshâ` al-‘Ulûm” yang tidak mengkategorikan ‘isagog’ (madkhal) sebagai bagian dari
mantik.
Ekspansi ilmu mantik dalam tataran teoritis tidak mengalami perkembangan signifikan
pada abad ke-13 hingga abad ke-14 M. Masa setelah hadirnya Ibnu Rusyd dapat dikatakan
sebagai masa melangsungkan kembali kritikan-kritikan beserta ulasannya dari golongan
rasionalis sebut saja Al-Iji, Al-Thusi dan Sa’aduddin Al-Taftazani. Dalam beberapa kurun waktu
selanjutnya merupakan masa kritikan terhadap pemakaian metode pikiran dalam memahami
soal-soal akidah, salah satunya adalah Ibnu Taymiyah, Ibnu Sholah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Al-
Qaym. Nah, baru ketika beranjak ke abad selanjutnya perkembangan mantik berupa penertiban
materi yang sengaja diselaraskan oleh al-Tustari di kedua madrasah abad pertengahan. Al-
Taftazani dan Al-Jurjani juga turut andil dalam memperjelas mantik. Maka standarisasi mantik
telah sempurna sekitar abad ke-15 M. sampai sekarang.
Jika diruntut dari awal perkembangan mantik, sudah berapa cabang keilmuan yang telah
disisipi kekuasaan logika? Bahkan sampai kepada pengetahuan yang bertendensi iluminasi atau
intuisi sekalipun, hal ini membuktikan bahwa peran akal beserta rumus-rumusnya akan selalu
dibutuhkan meskipun ada beberapa hal yang dapat berjalan tanpanya. Tasawuf sebagai disiplin
ilmu irasional, dalam beberapa halnya-pun menggunakan teori dan asas logika. Politik, sosial,
kedokteran, aritmatika, dan masih banyak disiplin ilmu lain yang pasti membutuhkan aturan
berpikir untuk mencapai sebuah kebenaran yang dituju. Namun, kebenaran ilmu pengetahuan
sifatnya relatif, sedangkan agama kebenaran yang dituju adalah sebuah kebenaran mutlak.
Dengan sebuah historitas, mungkin kita akan sedikit mengetahui bahwa hantaman dan
pengikisan mantik pada abad pertengahan adalah problematika terbesar, yang bahkan sama
sekali tidak terpikirkan oleh Aristo sendiri sebagai pencetak awal logika. Dan yang patut dihargai
adalah upaya akselarasi-akselarasi oleh ulama Islam sebelum di bawa ke Barat, yang setidaknya
menjadikan metode ini mulai diterima. Bisa jadi perihal tersebut juga sedikit melegakan
Aristoteles, bahwa ternyata masih ada pembela-pembela intelektual terhadap karyanya yang
terseok-seok melawan arus peradaban terutama oleh para agamawan.
Kompleksitas yang dipresentasikan akal akan bertaut kelindan sampai suatu masa yang
tak terbatas, boleh jadi akan menuju pada sebuah kesempurnaan misteri, bahkan sebaliknya.
Tetapi apapun itu, akal tetaplah akal, yang telah menyumbangkan peradaban besar dari sejengkal
langkah manusia.
Istilah epistimologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti teori. Secara etimologi berarti teori pengetahuan. Epistimologi merupakan cabang filsafat
yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal, susunan, metode serta kebenaran
pengetahuan. Menurut Langeveld, teori pengetahuan membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-
unsur pengetahuan dan susunan berbagai jenis pengetahuan; pangkal tumpuannya yang
fundamental, metode-metode dan batas-batasnya. Jadi epistimologi merupakan cabang atau
bagian dari filsafat yang membahas masalah-masalah pengetahuan.
d.Wahyu Allah.[6]
2.Aksiologi Ilmu (Nilai Ilmu Pengetahuan)
Secara etimologi, aksiologi berasal dari perkataan axios yang berarti nilai dan logos
berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Penggunaan istilah aksiologi sebetulnya
baru diperkalkan oleh Paul Lapie dalam bukunya “Lagique de la Volonte” dan F. Von Hartman
dalam bukunya “Grunrisder Axiologi”. Teori Tentang nilai dapat dibagi menjadi;
b) nilai estetika.
a.Nilai Etika
Istilah etika berasal dari kata ethos yang artinya adat kebiasaan. Dalam istilah lain para
ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutnya dalam moral. Walaupun antara kedua istilah
etika dan moral ada perbedaannya, namun para ahli tersebut tidak membedakannya dengan tegas,
bahkan cenderung untuk memberi arti yang sama secara praktis.
b.Nilai Estetika
Menurut perkataan al Akhdhari diatas bisa kita simpulkan bahwa hukum mempelajari ilmu
Mantiq ada 3 :
Pertama, haram. Ini merupakan pendapat Imam Ibnu Shalah (643 H), dan Imam An
Nawawi (631-676 H).
Kedua, boleh mempelajari ilmu mantiq. Ini disandarkan pendapat sebagian ulama, di
antaranya Imam Abu Hamid Al Ghazali (450-505 H). Beliau bahkan berkata, “Siapa saja yang
tidak mengetahui mantiq, maka ilmunya patut diragukan.”
Alasan diharamkannya mantiq yang seperti ini dikarenakan hal tersebut mengikuti dan
menyerupai Yahudi dan Nasrani. Dan juga ditakutkan akan terjadi penyimpangan akidah bagi
mereka yang mendalaminya, seperti kasus kaum Mu’tazilah.
sebaliknya, jika mantiq yang dipelajari tidak tersentuh dengan syubhat-syubhat filsafat,
seperti kitab Mukhtashar karya al Sanusi, Syamsiyah karya Abi al Hasan al Qazwini, Isagoji,
Sullam Munawraq nya al Akhdhari dan sebagainya.
Maka tidak ada alasan untuk mengharamkan ilmu mantiq. Para ulama telah sepakat
mantiq model ini boleh dipelajari. Bahkan hukumnya Fardhu Kifayah jika harus digunakan
untuk melawan syubhat-syubhat yang ditujukan kepada agama Islam.
MANFAAT / KEGUNAAN
Seperti dengan mempelajari ilmu-ilmu yang lain ilmu mantiq tidak terlepas dari
kegunaan dan tujuan, adapun kegunaan dan tujuan ilmu mantiq menurut muhammad nur al-
ibrahimi:
1. Membuat daya fikir akal tidak saja menjadi lebih tajam tetapi juga menjadikan lebih
berkembang dengan melalui latihan-latihan berfikir dan menganalisis serta mengungkapkan
sesuatu pemasalahan secara runtun atau ilmiah
2. Membuat seseorang menjadi mampu menempatkan persoalan dan menunaikan tugas pada
situasi dan kondisi yang tepat
3. Membuat seseorang mampu membedakan proses dengan urut fikir yang benar dan oleh
karenanya maka akan menimbulkan kesimpulan berfikir yang benar (hak) dari yang salah
(bathil) secara sendirinya.
Adapun menurut imam al-ahdhari, tujuan dan kegunaan ilmu mantiq adalah sebagai
berikut:
“Mantiq dapat memelihara pikiran dari kesalahan berfikir, memperdalam pemahaman, dan
menyingkap selimut kebodohan”.
Setelah memperhatikan tujuan dan kegunaan ilmu mantiq di atas, kita semakin menyadari
betapa pentingnya mempelajari dan menkaji ilmu mantiq dalam kegiatan akademik (ilmiah)
mengenai hal itu, imam alghozali menegaskan:
“Sesungguhnya orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang mantiq, maka ilmuny
tidak dapat dipercaya, Kegunaan yang sangat Nampak pada ilmu mantiq ini ialah untuk dapat
berfikir dengan benar hingga sampainya seseorang pada kesimpulan yang benar tanpa
mempertimbangkan kondisi dan situasi yang kemungkinan dapat mempengaruhi seseorang.
Setelah kita membahas panjang lebar mengenai pengertian dan sejrah ilmu mantiq,
harusnya kita juga mengetahui manfaat mempelaari Ilmu Mantiq. Kegunaan yang sangat
Nampak pada ilmu mantiq ini ialah untuk dapat berfikir dengan benar hingga sampainya
seseorang pada kesimpulan yang benar tanpa mempertimbangkan kondisi dan situasi yang
kemungkinan dapat mempengaruhi seseorang.
BAB III
KESIMPULAN
Jadi kesimpulannya ialah setiap orang harus mempelajari ilmu mantiq agar dalam
mengambil kesimpulan seseorang tak lagi salah.ilmu mantiqyang menuntun mereka untuk
sampai pada kesimpulan yang benar. Karena bisa saja seseorang melakukan kesimpulan yang
benar tanpa melalui ilmu mantiq.itu mungkin saja kebetulan,karena yang dapat menghasilkan
kesimpulan atau hasil akhir yang benar adalah ilmu mantiq. 0leh sebab itulah ilmu mantiq
disebut sebagai jembatan dari segala ilmu.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
https://www.studocu.com
https://workidyusuf.wordpress.com./2018/05/18
http://sholihinmuttaqin.com./2016/10
http://awalifbaqis.10,1d/2012