Anda di halaman 1dari 4

Teks Ulasan: Pengertian, Ciri,

Struktur, dan Contohnya


Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Ilustrasi menulis teks ulasan. Foto: Freepik

Teks ulasan atau review text adalah teks yang berisi tinjauan dan
penilaian suatu karya berupa film, buku, karya sastra, dan lain
sebagainya. Teks ulasan dibuat agar pembaca mendapat informasi
yang menyeluruh mengenai suatu karya, baik kelebihan maupun
kekurangannya.
Dengan review, pembaca dapat mempertimbangkan apakah karya
yang diulas layak untuk dinikmati atau tidak. Membuat teks ulasan
bukanlah hal yang mudah. Penulis dituntut untuk kritis sehingga hasil
ulasan tersebut nantinya dapat memberikan kontribusi yang baik
untuk kemajuan suatu karya.
Teks ulasan memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan
jenis teks lainnya. Apa saja karakteristiknya?

Ciri-ciri Teks Ulasan

 Memuat informasi yang menonjolkan unsur-unsur karya berdasar


pandangan atau opini penulis tentang karya tersebut.
 Memberikan opini berdasarkan fakta yang diinterpretasikan.
 Struktur terdiri dari orientasi, tafsiran, evaluasi, serta rangkuman.

Struktur Teks Ulasan


Dengan mengikuti kaidah struktur yang ada, teks ulasan akan
memuat informasi yang dibutuhkan dan membuat pembaca mudah
memahaminya. Struktur teks ulasan yaitu:
1. Orientasi

Orientasi berisi gambaran umum karya sastra yang akan diulas. Salah
satu yang terpenting adalah identitas karya. Identitas karya dapat
ditulis dalam bentuk daftar atau melalui paragraf deskripsi.
Untuk cerpen atau buku, informasi yang perlu ada mencakup judul,
pengarang, penerbit, dan tahun terbit. Sedangkan untuk film pada
dasarnya sama, namun perlu dicantumkan sutradara dan tanggal
rilisnya.
Selain itu orientasi juga dapat memuat informasi apakah karya
tersebut berasal dari seniman legendaris, bagaimana respon terhadap
karya yang diulas, apakah karya menyebabkan kontroversi atau tidak,
dan lain sebagainya.

2. Tafsiran

Tafsiran merupakan bagian yang berisi penjelasan detail mengenai


sebuah karya yang diulas. Bagian ini juga memuat pandangan penulis
terhadap karya yang diulas.

3. Evaluasi

Evaluasi dilakukan setelah pengulas melakukan tafsiran terhadap


hasil karya. Pada bagian evaluasi pengulas akan menyebutkan
kelebihan, keunikan, hingga kekurangan karya secara detail.

4. Rangkuman

Rangkuman berisi kesimpulan dari ulasan terhadap suatu karya.


Bagian ini juga memuat komentar penulis apakah hasil karya tersebut
berkualitas atau tidak untuk dinikmati.
Contoh Teks Ulasan

Ilustrasi menulis teks ulasan. Foto: Freepik


Berikut adalah salah satu contoh ulasan yang dikutip dari materi
Mengklasifikasi, Menelaah, dan Merevisi Teks Usulan karya Ageng
Wibowo:
Tenggelamnya Kapal Van der Wijk
Film Tenggelamnya Kapal Van der Wijk atau TKVDW merupakan
adaptasi dari roman karya Buya Hamka yang diangkat ke layar lebar
dan dibintangi oleh Herjunot Ali, Pevita Pearce, dan Reza Rahadian.
TKVDW mulai diputar di bioskop Indonesia pada tanggal 19
Desember 2013. Film arahan Sunil Soraya ini menurut situs
filmindonesia.or.id berhasil menduduki peringkat teratas sebagai film
paling banyak ditonton sepanjang tahun 2013. Di film ini, rangkaian
kata-kata indah dari Buya Hamka bisa kita nikmati melalui karakter
Zainuddin dan Hayati.
Dikisahkan, tahun 1930, dari tanah kelahirannya Makasar, Zainuddin
(Herjunot Ali) berlayar menuju tanah kelahiran ayahnya di Batipuh,
Padang Panjang. Di antara keindahan ranah negeri Minangkabau ia
bertemu Hayati (Pevita Pearce), gadis cantik jelita, bunga di
persukuannya.
Zainuddin yang memendam perasaan pada Hayati seketika menjadi
pujangga dengan memberikan kata-kata yang mampu menusuk
perasaan wanita yang memiliki kecantikan alami tersebut melalui
rangkaian kalimat indah yang ia karang sendiri.
Setelah disuguhi oleh alur romantisme, penonton kemudian diajak
untuk memasuki wilayah konflik, yaitu ketika hubungan berbeda
budaya ini ditentang oleh para ninik-mamak Hayati dan juga para
tetua suku karena Zainuddin dianggap bukan seorang yang berdarah
Minang.
Selain itu, Zainuddin bukan termasuk seorang pria mapan sehingga
dianggap tidak cocok untuk dijadikansebagai sandaran hidup Hayati.
Lalu, pada akhirnya para tetua memutuskan agar Zainuddin segera
angkat kaki dari Batipuh agar tidak berhubungan dengan Hayati lagi.
Sebelum meninggalkan Batipuh, Zainuddin dan Hayati mengucapkan
janji setia akan menjalani hidup bersama di suatu saat nanti. Mereka
menelurkan ikrar di sebuah danau tempat Zainuddin biasa menulis.
Tetapi sebuah kenyataan kembali datang kepada diri seorang
Zainuddin, di tengah gelimang harta dan kemashyurannya.
Dalamsebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati,
kali ini bersama Aziz, suaminya.
Perkawinan harta dan kecantikan bertemu dengan cinta suci yang tak
lekang waktu. Pada akhirnya kisah cinta Zainuddin dan Hayati
menemui ujian terberatnya dalam sebuah tragedi pelayaran kapal Van
der Wijck.
Film berdurasi 165 menit ini menyuguhkan artistik dan properti ala
tahun 1930-an yang terkesan berbau kekinian, kurang meyakinkan
untuk mendukung suasana 1930-an. Tak cukup sekadar mobil kuno
yang masih kinclong, latar Batavia juga hanya mengambil seadanya
dari setting Kota Tua.
Hal yang paling terasa adalah alur ceritanya yang cukup lambat
diperparah lagi dengan banyaknya dialog surat-menyurat antara
Zainuddin dan Hayati, seolah tidak ada cara lain yang lebih kreatif
dalam menyampaikan adegan surat menyurat. Akibatnya konflik
berjalan tidak menarik, naik sebentar setelah itu datar.
Backsound lagu-lagunya Nidji pun terkesan mengganggu adegan
demi adegan, entah karena warna musik pop dan instrumen musik
modern mereka atau karena kurang pas masuk ke plot film. Kalaupun
mereka memang dipilih untuk mengisi soundtrack, seharusnya tidak
perlu dimainkan terus-menerus di sejumlah adegan. Cukup mainkan
saja di end-credit agar tidak mengganggu nuansa zaman dulunya.
Belum lagi ketika di tengah-tengah film muncul musik dugem pada
saat mereka menari-nari di pesta yang terdengar seperti dugem masa
kini.
Kekurangan lainnya adalah special effect kapal bisa dikatakan pas-
pasan. Tenggelamnya pun tak jelas apa penyebabnya (ingat kapal
Titanic, tenggelam karena menabrak gunung es), terkesan dipaksakan
seolah hanya mau tenggelam saja, biar sesuai judul, kurang dramatis.
Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa kapal yang hanya
muncul sekian menit jelang akhir film ini menjadi hal penting
sehingga menjadi judul? Apakah naskah yang kurang mampu
menerjemahkan novel aslinya?
Dengan mengesampingkan beberapa kekurangan tadi, film ini tetap
memiliki daya tarik dari segi dialog yang dipilih dan kostum yang apik
dari Samuel Wattimena, selain kepopuleran para pemainnya.
Dialog yang cenderung puitis, tidak jauh berbeda dari novel aslinya,
menjadi penghibur buat penonton. Tidak begitu mengecewakan
dibanding kalau kita menonton film dengan tema yang menonjolkan
kemewahan atau hantu-hantuan yang sempat ramai di film kita.
Setidaknya film ini turut andil menumbuhkan asa bagi perkembangan
film Indonesia yang sempat mati suri agar semakin berkembang lebih
baik lagi. Yang pasti, penonton memiliki pilihan dalam memuaskan
dahaga akan film nasional.

Anda mungkin juga menyukai