Anda di halaman 1dari 15

PENGARUH BUDAYA DAN LINTAS BUDAYA PADA PRODUK

INDOMIE

Khairunnisa 2021011001
Elita Yuni Setiyarini 2021011004
Rizky Khairunnisa 2021011026
Magister Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Lampung

ABSTRAK
Dalam bab ini, kami memeriksa pengaruh budaya dan faktor lintas budaya pada
tanggapan afektif dan kognisi konsumen, perilaku, dan lingkungan fisik dan
sosial. Kami mendefinisikan budaya sebagai makna yang dimiliki bersama oleh
orang-orang dalam suatu masyarakat (atau dalam kelompok) dan mendiskusikan
bagaimana pemasar Indomie dapat mempelajari isi budaya. Kami
mengidentifikasi beberapa nilai penting dan tren gaya hidup dalam budaya Lokal
dan mancanegara untuk menarik beberapa implikasi dalam strategi pemasaran.
Kami menyajikan model proses budaya dimana makna budaya dipindahkan di
antara lokasi yang berbeda, terutama dari lingkungan ke produk dan dari produk
ke konsumen. Kemudian kami memeriksa pengaruh perbedaan lintas budaya pada
konsumen. Akhirnya, kami membahas bagaimana pemasar dapat menggunakan
pengetahuan ini untuk mengembangkan strategi pemasaran internasional yang
efektif.
Kata Kunci: Indomie, budaya, lintas budaya, strategi pemasaran internasional

1. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara berpenduduk besar telah menempatkan industri
pangan sebagai industri yang strategis baik dalam penyerapan pasar maupun
penyediaan sumber daya. Keragaman budaya dari ratusan suku bangsa yang
tersebar di luasan wilayah kepulauan Indonesia merupakan warisan leluhur yang
sangat bernilai tinggi. Perilaku makan merupakan bagian penting pula dari adat
istiadat di banyak suku. Bahkan makanan telah menjadi simbol kebudayaan dan
berpotensi menjadi bagian budaya nasional.
Perubahan gaya hidup konsumen yang menuntut semuanya lebih praktis
menyebabkan makanan instan semakin diminati. Salah satunya adalah mie instan,
produk makanan cepat saji yang semakin digemari masyarakat karena kemudahan
dalam hal penyajiannya, harganya yang terjangkau, mudah didapatkan dan
sifatnya yang tahan lama.
Indomie sebagai pemimpin pasar mie instant telah melakukan banyak
terobosan dalam menjaga keutuhan pangsa pasar dan bahkan meningkatkannya.
Salah satu produk Indomie yang diluncurkan adalah dalam program Lintas
Budaya Nusantara adalah Indomie Selera Nusantara (ISN). ISN merupakan hasil
dari pengembangan produk yang mengangkat cita rasa makanan khas daerah di
Indonesia. Selain itu, harga yang cukup terjangkau dan variasi rasa yang beragam
yang kemudian menyebabkan konsumen untuk memutuskan membeli produk mie
instan merk Indomie. Serta kualitas yang selalu terjaga sehingga konsumen tetap
bertahan pada mie instan merk Indomie tersebut.
Dengan perkembangan pesat Indomie dalam pasar lokal, Indofood berusaha
untuk mengembangkan pasarnya juga ke Mancanegara sehingga pada tahun 1992
pertama kalinya Indomie mengekspor produknya. Awalnya, Indofood membentuk
Direktorat Ekspor dengan tugas fokus mengembangkan ekspor Indomie ke
berbagai negara. Tim ini aktif mempelajari semua izin impor di setiap negara.
Lalu tahap selanjutnya adalah menetapkan target negara. Pada saat itu, sasaran
utamanya adalah negara dengan tenaga kerja Indonesia paling banyak, yaitu Hong
Kong, Taiwan, Arab Saudi, dan negara lainnya. Selain menargetkan pada negara
dengan tenaga kerja Indonesia, Indofood juga menargetkan negara yang menjadi
tujuan pelajar Indonesia melanjutkan pendidikannya diluar negeri, seperti
Amerika Serikat dan Australia. Sampai saat ini Indomie sudah dipasarkan dan
berkembang di lebih dari 80 negara.

Gambaran umum Produk Indomie


Indomie diproduksi oleh Indofood, pelopor mie instan di Indonesia dan
merupakan salah satu produsen mie instan terbesar di dunia. Indomie hadir dalam
banyak varian mulai dari rasa sup klasik seperti Ayam, Sayur, dan Kari Ayam,
hingga Indomie Mi Goreng rasa terpopuler kami. Tersedia di lebih dari 100
negara di seluruh dunia seperti Australia, Selandia Baru, AS, Kanada, di seluruh
Asia, Afrika, Eropa, dan negara-negara Timur Tengah.
Ketika mi instan pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia di
tahun 1969, banyak yang meragukan bahwa mi instan dapat dijadikan sebagai
salah satu bahan pangan pokok. Akan tetapi, karena mi instan sendiri harganya
relatif terjangkau, mudah disajikan dan awet, Indomie berkembang pesat seiring
dengan diterimanya mi instan di Indonesia. Produk Indomie yang pertama kali
diperkenalkan adalah Indomie Kuah Rasa Kaldu Ayam yang saat itu sesuai
dengan selera lidah masyarakat Indonesia. Kemudian pada tahun 1982, penjualan
produk Indomie mengalami peningkatan yang sangat signifikan dengan
diluncurkannya varian Indomie Kuah Rasa Kari Ayam. Puncaknya pada tahun
1983, Produk Indomie kembali semakin digemari oleh masyarakat Indonesia
dengan diluncurkannya varian Indomie Mi Goreng.
Berpuluh tahun menghiasi dunia kuliner Tanah Air, Indomie tak lantas
berpuas diri dengan varian yang sudah ada. Untuk lebih memanjakan lidah para
penikmatnya, Indomie terus berinovasi menyajikan varian baru. Salah satunya
melalui varian Indomie Selera Nusantara yang mewakili ragam makanan khas
daerah. Varian Indomie Selera Nusantara terdiri dari 12 masakan khas daerah di
Indonesia. Diantaranya Indomie Goreng Aceh, Indomie Empal Gentong, Indomie
Soto Tengkleng, Indomie Mie Kocok Bandung, Indomie Coto Makassar, Indomie
Mie Celor, Indomie Soto Medan, Indomie Masak Habang, Indomie Cakalang,
Indomie Soto Banjar Limau Kuit, Indomie Soto Padang dan Indomie Soto
Lamongan. Namun, varian Indomie Selera Nusantara tidak dipasarkan secara
nasional, hanya tersedia di daerah asal makanan khas tersebut.
Selain menyajikan varian baru khas nusantara, Indofood juga berfokus dalam
mengembangkan ekspor Indomie ke berbagai negara dengan menetapkan negara
tujuan ekspansi. Indofood membentuk regional office dengan membangun pabrik
di sejumlah negara, seperti di Arab Saudi, Malaysia, Nigeria, Suria hingga Mesir.
2. Kajian Pustaka
2.1 Definisi Budaya
Menurut Supranto dan Limakrisna (2011), budaya (culture) adalah
keseluruhan yang kompleks (complex whole) meliputi pengetahuan, kepercayaan,
seni, hukum, moral, kebiasaan dan setiap kemampuan dan kebiasaan yang
diperoleh oleh setiap orang sebagai anggota masyarakat. Budaya bersifat tidak
statis, karena dapat berubah dari waktu ke waktu. Sedangkan, menurut Sumarwan
(2011), budaya adalah segala nilai, pemikiran, simbol, yang mempengaruhi
perilaku, sikap, kepercayaan, dan kebiasaan seorang masyarakat.
Sebagai aspek terluas dari lingkungan sosial makro, budaya memiliki
pengaruh pada konsumen. Namun meskipun perhatian penelitian meningkat,
budaya tetap ada kesusulitan untuk dipahami oleh pemasar. Puluhan definisi telah
membingungkan para peneliti tentang apa itu “budaya” atau bagaimana budaya
bekerja untuk mempengaruhi konsumen. Untungnya, perkembangan teoritis baru-
baru ini membantu memperjelas konsep budaya dan bagaimana itu mempengaruhi
orang. Kami memperlakukan budaya sebagai kerangka mental dan makna yang
dimiliki bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok sosial (Peter & Olson,
2010). Dalam arti luas, makna budaya mencakup umum perspektif, kognisi khas
(keyakinan) dan reaksi afektif, dan karakteristik pola perilaku. Setiap masyarakat
membangun visinya sendiri tentang budaya dengan menciptakan dan
menggunakan makna yang penting untuk mewakili perbedaan budaya.
Pemasar harus mempertimbangkan beberapa masalah ketika menganalisis
budaya. Pertama, makna budaya dapat dianalisis pada tingkat yang berbeda.
Seringkali budaya dianalisis di tingkat makro dari seluruh masyarakat atau negara
(Kanada, Prancis, Polandia, Kenya, atau Australia). Namun, karena budaya adalah
makna yang dimiliki bersama di antara suatu kelompok orang (dari berbagai
ukuran), pemasar juga dapat menganalisis makna budaya subkultur (Afrika
Amerika, orang tua, orang yang tinggal di New England) atau sosial kelas (kelas
menengah versus kelas pekerja).
Isu kedua, sangat penting untuk memahami budaya. Karena yang dilakukan
pada bagian ini yaitu tentang bagaimana cara memeriksa makna psikologis atau
representasi pribadi, mental dari objek, peristiwa, dan perilaku yang tersimpan
dalam ingatan konsumen individu.
Ketiga, makna budaya diciptakan oleh manusia. Para antropolog sering
mengatakan bahwa makna budaya “dinegosiasikan” oleh orang-orang dalam suatu
kelompok melalui interaksi sosial mereka. Konstruksi makna budaya lebih terlihat
pada tingkat kelompok yang lebih kecil
Keempat, makna kultural selalu bergerak dan dapat berubah dengan cepat
perubahan. Pada hari-hari awal masyarakat konsumsi di Inggris abad ke-18, untuk
Misalnya, perubahan budaya dalam nilai, persepsi, dan perilaku masyarakat
sangat dramatis bahwa seorang pengamat percaya semacam kegilaan telah
mengambil alih masyarakat.
Masalah terakhir adalah bahwa kelompok sosial berbeda dalam jumlah
kebebasan yang harus dimiliki orang mengadopsi dan menggunakan makna
budaya tertentu. Masyarakat Amerika Utara dan Eropa memberi orang banyak
kebebasan untuk memilih makna budaya dan menggunakannya untuk
menciptakan identitas diri yang diinginkan. Di sebagian besar masyarakat lain
(Cina, India, Arab Saudi), orang memiliki kebebasan yang relatif lebih sedikit
(tetapi meningkat) untuk melakukannya.

2.2 Proses Budaya


Proses budaya menggambarkan bagaimana makna budaya ini “dipindahkan”
dari satu “tempat” ke tempat lain oleh tindakan organisasi (bisnis, pemerintah,
agama,pendidikan) dan oleh individu dalam masyarakat. Ada dua cara pemaknaan
ditransfer dalam masyarakat yang berorientasi pada konsumsi. Pertama, strategi
pemasaran dirancang untuk memindahkan makna budaya dari lingkungan fisik
dan sosial ke dalam produk dan layanan dalam upaya untuk membuat mereka
menarik bagi konsumen. Kedua, konsumen secara aktif berusaha untuk
memperoleh makna budaya ini dalam produk untuk membangun yang diinginkan
identitas pribadi atau konsep diri.
2.3 Tinjauan Sub-Budaya
Dalam tinjauan sub-budaya terdapat beberapa konteks penilaian seperti:
1. Afeksi dan Kognisi.
Penilaian Afeksi dan Kognisi merupakan penilaian terhadap suka atau
tidak suka, perasaan emosional yang tindakannya cenderung kearah berbagai
objek atau ide serta kesiapan seseorang untuk melakukan tindakan atau
aktivitas.
2. Perilaku
Perilaku merupakan suatu bentuk kepribadian yang dapat diartikan bentuk
sifat-sifat yang ada pada diri individu, yang ditentukan oleh faktor internal
(motif, IQ, emosi, dan cara berpikir) dan faktor eksternal (lingkungan fisik,
keluarga, masyarakat, sekolah, dan lingkungan alam).
3. Faktor Lingkungan
Prinsip teori Gestalt ialah bahwa keseluruhan lebih berarti daripada
sebagian-bagian. Sedangkan teori lapangan dari Kurt Lewin berpendapat
tentang pentingnya penggunaan dan pemanfaatan lingkungan. Berdasarkan
teori Gestalt dan lapangan bahwa faktor lingkungan merupakan kekuatan yang
sangat berpengaruh pada perilaku konsumen.

2.4 Pengaruh Lintas Budaya


Untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam budaya yang berbeda,
pemasar harus memahami perbedaan makna budaya dalam masyarakat yang
berbeda. Perbedaan lintas budaya dalam makna dan mempertimbangkan
bagaimana pengaruhnya konsumen dalam masyarakat yang berbeda. Kami juga
membahas bagaimana pemasar dapat memperlakukan perbedaan lintas budaya
dalam mengembangkan strategi pemasaran internasional. Perbedaan lintas
budaya tidak selalu bertepatan dengan batas negara. Ini jelas di banyak negara di
mana perbedaan budaya di antara kelompok-kelompok sosial internal sama
besarnya dengan antara negara-negara yang terpisah.
1. Perbedaan Lintas Budaya
Pemasar harus mempertimbangkan perbedaan lintas budaya ketika
mengembangkan strategi pemasaran untuk pasar luar negeri. Kami membahas
beberapa perbedaan ini di sini. Perbedaan Budaya Konsumsi. Tingkat
orientasi konsumsi di pasar yang berbeda merupakan faktor lintas budaya
penting yang harus dipertimbangkan oleh perusahaan ketika mengembangkan
strategi pemasaran internasional. Jelas, sebagian besar budaya AS melibatkan
kegiatan konsumsi. Banyak wilayah lain di dunia, termasuk Kanada, sebagian
besar negara Eropa barat, dan Jepang yang juga memiliki konsumen yang
kuat budaya.
2. Konsep diri
Perbedaan lintas budaya dalam konsep diri ini cenderung
mempengaruhibagaimana orang-orang dalam budaya tersebut menafsirkan
makna produk dan menggunakan produk untuk mencapai tujuan penting
dalam hidup mereka (Thompson et al dalam Peter & Olson, 2010). Misalnya,
perilaku memberi hadiah orang Jepang sangat dipengaruhi oleh konsep diri
yang berorientasi sosial.
3. Perubahan Lintas Budaya Serupa
Frekuensi perubahan budaya serupa yang terjadi di banyak masyarakat di
seluruh dunia pada waktu yang hampir bersamaan terus meningkat. Misalnya,
peran sosial perempuan dalam msyarakat Amerika Utara telah banyak
berubah 30 tahun terakhir. Semakin banyak perempuan bekerja di luar rumah,
nilai-nilai, tujuan, keyakinan, dan perilaku telah berubah (Russell W. Belk
dalam Peter & Olson, 2010)
4. Implikasi Pemasaran
Pemasar harus menentukan perbedaan lintas budaya mana yang relevan
dengan situasi mereka. Kepekaan dan toleransi terhadap perbedaan lintas
budaya dalam arti adalah sifat yang sangat diinginkan oleh manajer
pemasaran internasional. Perusahaan internasional juga mempekerjakan
manajer dari budaya lokal karena mereka membawa pengetahuan mendalam
tentang makna budaya asli untuk pengambilan keputusan strategis.
3. Pembahasan
3.1 Analisis Budaya pada Produk Indomie
Mie instant Indomie merupakan salah satu produk mie instant yang digemari
konsumen karena memproduksi berbagai variasi yaitu dalam bentuk mie goreng
dan mie kuah. Produk mie instant Indomie yang dibuat dalam berbagai variasi ini
disesuaikan dengan selera konsumen yang juga bervariasi, yang selalu mengalami
perubahan seiring dengan perubahan lingkungan, juga sesuai dengan perilaku
konsumen itu sendiri. Sehingga setiap produksi mie instan indomie senantiasa
menghasilkan berbagai produk yang variatif dan disesuaikan dengan kondisi
budaya daerah dimana produk Indomie akan dipasarkan.
Faktor budaya berpengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku pembelian
konsumen dalam faktor budaya ini terdapat beberapa komponen yang merupakan
faktor menentu paling mendasar dari segi keinginan dan perilaku seseorang
karena budaya menyangkut segala aspek (Yakup et al., 2011).
Salah satu faktor budaya yang menjadi petunjuk utama seseorang adalah gaya
hidupnya, yaitu berbagai tata cara, adat istiadat serta kebiasaan berkelakuan,
mental. Keseluruhan ciri tersebut mempengaruhi hidupnya sehari-hari dan dijiwai
oleh pandangan hidupnya. Kebudayaan makan nasi adalah budaya yang telah
berlangsung cukup lama, dan nasi merupakan bahan makanan pokok di Indonesia.
Namun, sekarang ini kegiatan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia ditandai
dengan meningkatnya penawaran aneka jenis komoditi makanan, minuman, yang
semuanya serba siap saji (instan). Mie diperkenalkan di Indonesia oleh kaum
pendatang, yaitu etnik Tionghoa. Saking populernya makanan berbentuk seperti
tali yang dapat diulur panjang dan dapat dinikmati dengan cara disedot yang bagi
orang Tionghoa menjadi lambang keawetan hidup. Akan tetapi kelahiran mie
instan (mie yang disajikan secara cepat) justru berasal dari negara Jepang dengan
istilah ramen, menjadi mie instan atau instan noodle. Mie instan berfungsi sebagai
makanan mendadak (instan) dan siap saji, sebagai alternatif pengganti makanan
pokok sebelumnya.
Mie instan digunakan sebagai bahan makanan pokok karena mie instant
dianggap sebagai makanan mengenyangkan pengganti nasi yang dimana
keduanya sama-sama mengandung sumber karbohidrat.
Berdasarkan kondisi sosiokultural Indonesia, Indomie sebagai produk dari
perusahaan global yang juga berasal dari Indonesia sangat kental akan
kebudayaan dan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Indomie memunculkan
varian rasa produk mie yang asli Indonesia seperti ayam bawang, soto, sate,
rendang, cabe ijo, dan masih banyak varian rasa lainnya yang sesuai dengan selera
masyarakat Indonesia. Dari sisi pemasaran, Indomie juga menyeluruh mulai dari
kalangan bawah hingga kalangan atas sehingga semua lapisan masyarakat
Indonesia bias menikmatinya. Dari sisi harga pula produk Indomie juga sesuai
dengan ekonomi masyarakat Indonesia. Pendekatan dari iklan pun selalu
menampilkan unsur sosiokultural masyarakat Indonesia. Dalam produk Indomie,
iklan yang ditampilkan produk ini selalu menampilkan lebih dari 1 orang.
sekalipun berganti-ganti iklan, namun dalam setiap iklannya selalu menampilkan
kebersamaan yang dimulai dari teman, keluarga, dan rekan kerja. Produk Indomie
tidak pernah melepaskan unsur sosiokultural di negeri nya sendiri. mulai dari
pemasaran, produk, harga, hingga iklan yang dibuat.
Berdasarkan sosiokultur di mancanegara, Indomie dapat menjangkau
sosiokultur masyarakat negara lainya. Masyarakat mancanegara yang cenderung
individual dan sibuk, membutuhkan makanan cepat saji yang memiliki rasa enak.
Kesibukan dari masyarakat mancanegara membuat penjualan Indomie lewat situs
online cukup berhasil, walaupun harga yang ditawarkan lebih tinggi dari
penjualan Indomie di toko.

3.2 Strategi Pemasaran Indomie Khas Nusantara


Kebanyakan produk-produk mie instan khususnya Indomie cocok untuk
masyarakat di seluruh daerah Indonesia. Warga Indonesia yang melakukan
perjalanan keluar kota atau luar negeri membawa Indomie untuk mengatasi
masalah ketersediaan makanan yang praktis dan sesuai dengan selera karena mie
instant sesuai untuk daerah dataran tinggi maupun rendah. Bahkan ada beberapa
produk Indomie yang sudah memiliki pasar di luar negeri, artinya produk mie
tersebut cocok bagi segala keadaan geografi, dan banyak dikonsumsi semua
kalangan baik dikalangan bawah dan menengah keatas.
Produk Indomie diproduksi sesuai dengan selera lidah masyarakat Indonesia
dan dengan harga yang dapat dijangkau oleh calon konsumennya. Untuk terus
memuaskan lidah konsumennya, Indomie selalu berinovasi dengan mengeluarkan
varian baru yang unik.
Inovasi produk merupakan salah satu kunci keberhasilan suatu strategi
pemasaran untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran.
Inovasi produk erat kaitannya dengan penciptaan produk baru. Hal ini karena
inovasi produk merupakan penerapan ide atau gagasan baru ke dalam produk
sehingga tercipta produk baru (Eka, 2019).
Inovasi yang dilakukan Indofood adalah menciptakan varian Indomie Selera
Nusantara yang terinspirasi dari ragam makanan khas daerah di seluruh Indonesia.
Varian Indomie Selera Nusantara terdiri dari 12 masakan khas daerah di
Indonesia. Varian Indomie Selera Nusantara diantaranya Indomie Goreng Aceh,
Indomie Empal Gentong, Indomie Soto Tengkleng, Indomie Mie Kocok Bandung,
Indomie Coto Makassar, Indomie Mie Celor, Indomie Soto Medan, Indomie
Masak Habang, Indomie Cakalang, Indomie Soto Banjar Limau Kuit, Indomie
Soto Padang dan Indomie Soto Lamongan.
Setelah dirilis secara resmi pada acara Halal Mie Halal, respon masyarakat
terhadap varian Indomie Selera Nusantara sangat baik. Terbukti dari banyaknya
penikmat Indomie yang bertanya lewat media sosial resmi Indomie di mana
konsumen bisa mendapatkan ke-12 varian rasa tersebut. Pasalnya, pada awalnya
sebagian varian Indomie Selera Nusantara memang dijual hanya di daerah asal
rasa makanan khas Indomie Selera Nusantara, sehingga agak sulit didapatkan oleh
para pecinta Indomie dari wilayah lain.
Namun sekarang, Indofood bekerja sama dengan Blibli.com, yaitu dengan
cara Indomie membuat promo spesial untuk para pecinta Indomie yang penasaran
atau rindu dengan rasa lezat varian Indomie Selera Nusantara. Lewat promo
Indomie Jelajah Nusantara, Indomie menghadirkan paket bundle Indomie Selera
Nusantara dengan berbagai rasa khas makanan daerah.
Bundling merupakan strategi pemasaran populer dari penjualan dua atau lebih
produk atau jasa yang terpisah dalam satu paket. Dengan kata lain, bundling
adalah teknik pemasaran menjual dua atau lebih produk yang terpisah bersama-
sama dalam satu paket (Stremersch and Tellis, 2002). Venkatesh and Kamakura
(2003) menjelaskan bahwa strategi bundling yang optimal dan pola harga yang
terjangkau menunjukkan solusi optimal untuk produk substitusi yang dimana
konsumen bersedia membayar lebih untuk paket pelengkap daripada produk
mandiri. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Hanhchen and Baumgartner (2020)
yang menjelaskan bahwa bundling dapat digunakan sebagai strategi penetapan
harga yang sangat efektif saat perusahaan akan meluncurkan produk baru.
Seperti yang dilakukan Indofood melalui paket bundling pada varian rasa
Indomie Selera Nusantara, dimana konsumen dapat membeli delapan rasa
sekaligus. Konsumen dapat memperoleh Indomie Rebus Cakalang, Indomie Mie
Celor, Indomie Soto Medan, Indomie Coto Makassar, Indomie Empal Gentong,
Indomie Goreng Cakalang, Indomie Soto Banjar Limau Kuit, dan Indomie Mie
Kocok Bandung dalam satu paket. Dalam satu paket bundling, harga yang
ditawarkan untuk produk Indomie varian rasa khas Selera Nusantara berkisar
anatar Rp 40.000-Rp 45.000.
Dengan strategi harga pada produk bundling yang ditawarkan produk
Indomie akan menciptakan motivasi yang baik konsumen untuk membeli produk
yang dibundle. Dengan tingkat komplementaritas produk dan sensitivitas harga
bundling akan merangsang lebih banyak permintaan pelanggan, perusahaan perlu
menetapkan harga yang lebih rendah untuk produk yang dibundel karena harga
yang lebih rendah dapat lebih merangsang permintaan pelanggan dan
mempromosikan produk yang dibundle (Yan et al., 2013).

3.3 Strategi Pengembangan Pasar Internasional pada Produk Indomie


Indomie merupakan salah satu produk mi instan yang diproduksi oleh PT
Indofood Sukses Makmur Tbk. Indomie pertama kali diekspor pada tahun 1992
yang merupakan hasil kerja akumulasi secara konsisten. Indofood pada awalnya
membentuk Direktorat Ekspor dengan tugas fokus mengembangkan ekspor
Indomie ke berbagai negara, sehingga tim ini aktif mempelajari semua izin impor
di setiap negara.
Ekspansi produk dilakukan ketika perusahaan mengembangkan bisnis mereka
dengan mengadopsi strategi perluasan pasar. Hal ini dilakukan saat perusahaan
akan mencoba menjangkau pasar lain setelah menangkap minat dari pasar sasaran
(Asmussen and Nielsen, 2015).
Alasan utama dari ekspansi Indomie ke luar negeri adalah untuk para warga
negara Indonesia (WNI) yang bermukim di luar negeri dan merindukan makan
Indomie. Saat itu, sasaran utama mereka adalah negara-negara dengan jumlah
tenaga kerja Indonesia (TKI) yang paling banyak. Selain itu, Indomie juga sering
dibawa oleh pelajar-pelajar Indonesia di luar negeri, sehingga Indomie menjadi
populer di berbagai negara yang menjadi tujuan pelajar Indonesia melanjutkan
pendidikannya.
Pada awalnya, negara yang menjadi target utama Indofood untuk melakukan
ekspansi Indomie adalah Hong Kong, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Arab
Saudi karena memiliki jumlah TKI paling banyak. Kemudian disusul oleh negara-
negara lain seperti Amerika Serikat dan Australia karena memiliki jumlah pelajar
Indonesia paling banyak.
Selain melakukan ekspansi, Indofood juga menggunakan cara lisensi untuk
memasarkan produk Indomie di pasar internasional. Lisensi merupakan strategi
inovasi penting yang digunakan banyak perusahaan untuk mendapatkan akses ke
teknologi yang dikembangkan di organisasi atau negara lain (Kulatilaka and Lin,
2006). Kliener and Krueger (2013) mengungkapkan bahwa pemberian lisensi
digunakan untuk “mencegah” persaingan dan menaikkan upah bagi pemegang
lisensi. Indomie menggunakan cara lisensi kepada Pinehill Arabia Food Limited
(Saudi Arabia), De United Food Industries Limited (Nigeria), dan yang terbaru
adalah Indoadriatic Industry (Serbia) yang ketiganya memperoleh hak untuk
menggunakan merek Indomie di negaranya masing-masing. Bahkan, di Nigeria,
yang merupakan pasar mie instan terbesar ke-13 di dunia, Indomie sudah seperti
makanan pokok dan dianggap sebagai makanan asli Nigeria sendiri karena
aktivitas pemasaran dan building brand yang dilakukan oleh Indofood. Cara
lisensi ini tentu sangat efektif salah satunya dengan tujuan agar produk Indofood
dapat diterima dengan baik di negara asing baik dari segi masyarakat ataupun
sesama perusahaan lain.
Sampai saat ini, Indomie sudah menjangkau lebih dari 180 negara, baik di
Eropa, Eropa Timur, Timur Tengah, Asia Tenggara, Asia Timur, Australia,
Amerika, Amerika Selatan, hingga Afrika. Di Eropa dan Amerika, produk
Indomie menjadi mie instan favorit masyarakat disana, karena struktur mie nya
yang kenyal dan sesuai dengan selera mereka. Selain itu juga rasa dari Indomie
menjadi alasan utama banyaknya warga Eropa dan Amerika. Dengan
memperkenalkan rasa asli kuliner Indonesia, membuat keunikan rasa Indomie
semakin beragam dan membuat penasaran, mungkin hal itulah yang membuat
banyak masyarakat yang mengkonsumsinya.
Membangun brand sangatlah penting, bahkan jika brand sudah populer,
nilainya bisa sampai 100 kali dari equity perusahaan. Indomie sebagai brand
Indonesia begitu terasa di luar maupun di dalam negeri. Sering orang menyebut
mi instan dengan sebutan “Indomie”.
DAFTAR PUSTAKA

Asmussen, Christian Geisler and Bo Bernhard Nielsen. (2015). The dynamics of


regional and global expansion. The Multinational Business Review, Vol. 23
No. 4, pp. 306-327.
Eka, Priehadi Dhasa. (2019). The Influence of Product Innovation and Product
Quality on Consumer Purchase Interest in PT. Alfasindo Metal in Jakarta.
Jurnal Administrare, Vol. 6, No. 2, july-December 2019, Page 197-206.
Hahnchen, Anjulie and Bernhard Baumgartner. (2020). The Impact of Price
Bundling on the Evaluation of Bundled Products: Does It Matter How You
Frame It?. Schmalenbach Bus Rev, 72: 39–63.
Kliener, M., and Krueger, A. (2013). Analyzing the extent and influence of
occupational licensing on the labor market. Journal of Labor Economics, 31
(2), S173–S202.
Kulatilaka, Nalin and Lihui Lin. (2006). Impact of Licensing on Investment and
Financing of Technology Development. Management Science, Vol. 52, No.
12, pp. 1824–1837.
Peter, J. Paul and Jerry C. Olson. (2010). Consumer Behavior & Marketing
Strategy (9th Ed). United States: McGraw-Hill.
Stremersch, Stefan and Gerald J. Tellis. (2002). Strategic Bundling of Products
and Prices: A New Synthesis for Marketing. Journal of Marketing, Vol.66,
Page 55-72.
Sumarwan, Ujang. (2011). Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya Dalam
Pemasaran (Edisi Kedua). Bogor: Ghalia Indonesia.
Supranto, J & Nandan Limakrisna. (2011). Perilaku Konsumen & Strategi
Pemasaran Untuk Memenangkan Pesaingan Bisnis. Bogor: Mitra Wacana
Media.
Venkatesh, R., dan Mahajan, V. (1993). A probabilistic approach to pricing a
bundle of products or services. Journal of Marketing Research, Vol.30,
No.11, 494–508.
Yakup, Durmaz, et al. (2011). The Impact of Cultural Factors on the Consumer
Buying Behaviors Examined through An Impirical Study. International
Journal of Business and Social Science, Vol. 2 No. 5, 109-114.
Yan, Ruiliang, et al. (2013). Bundling products to success: The influence of
complementarity and advertising. Journal of Retailing and Consumer
Services, 21(1), 48–53.

Anda mungkin juga menyukai