Anda di halaman 1dari 19

CATATAN LAINNYA : " Neraka 40 Jam di Tengah Laut "

Kisah tenggelamnya kapal Tampomas II

TEMPO Edisi. 50/X/07 – 13 Februari 1981

Perjalanan ini
terasa sangat menyedihkan
………….
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin
Tuhan mulai bosan melibat tingkah kita
Yang selalu salah dan
Bangga dengan dosa-dosa
……………

BELUM lagi seperempat jam lagu Ebiet G. Ade itu selesai dinyanyikan biduanita Ida Farida, penumpang KM
Tampomas II panik. “Api!, api!,” pekik mereka. Dan asap tebal dari bagian belakang kapal milik PT Pelni itu
mengurung mereka.

Itu terjadi sekitar pukul 22.15 hari Minggu 25 Januari. Kecuali yang tinggal di restauran dan asyik mendengarkan
band serta suara Ida itu, sebagian besar penumpang baru saja memasuki kamar masing-masing. Tapi segera
mereka menghambur ke luar.

Dari pengeras suara, terdengar perintah untuk menggunakan pelampung. Para penumpang di dek, hiruk-pikuk
berebut alat berwarna kuning itu. Belum lagi sejam berdiri di anjungan, kaki udah tak kuat merasakan panas. Api
di dek bawah rupanya sudah menyundulkan sengatnya. Para penumpang kembali berebut potongan-potongan
kayu untuk alas kaki mereka.
Siapa orang pertama yang melihat kebakaran itu masih belum diketahui. Yang jelas, dia adalah awak kapal yang
malam itu bertugas di bagian mesin.

“Saya terima laporan pertama dari dia,” ujar Hadi Wiyono, masinis III yang malam itu berada di posnya, di
anjungan, sebagai perwira piket.

Laporan itu disampaikan lewat interkom, alat penghubung dari ruangan ke ruangan. “Ada kebakaran di car deck
(dek tempat mobil),” bunyi laporan tadi seperti ditirukan Hadi pada TEMPO. Hadi ganti meneruskan laporan itu ke
nakoda, Kapten Abdul Rivai. Sebagai “penguasa tunggal” di kapal berbobot mati 6.139 BRT itu,
Rivai memerintahkan agar api disemprot dengan alat pemadam kebakaran yang ada.

“Tapi karena sudah penuh asap, saya menyemprot sekenanya saja,” ujar Sudibyo, perwira di bagian listrik. “Dan
karena mata sudah tidak kuat lagi saya menyelamatkan diri. Sebenarnya belum semua isi tabung habis,” katanya
lagi.

Tampomas II toh masih terus berjalan, dengan kecepatan 15 knot atau sekitar 25 km/jam. Untuk menghindari
kebakaran menjalar ke mesin, Rivai memerintahkan agar mesin dimatikan. Tapi lantaran semua penerangan ikut
padam penumpang bertambah panik. “Ada beberapa orang yang langsung terjun ke laut,” ujar Kasim, mahasiswa
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara (STIA) Ujungpandang yang baru saja menghadiri Porseni dan Wisuda
sarjana STIA se-Indonesia di Jakarta dengan 80 orang anggota rombongan, termasuk istri para sarjana baru.

“Yang terjun malam itulah yang banyak meninggal,” kata Kasim pula. Ia menyebut sebagian besar grup penari
dalam rombongan STIA yang terjun malam itu tidak tertolong lagi.

Setelah menerima laporan bahwa kebakaran tidak bisa dipadamkan, Rivai memerintahkan untuk menghidupkan
mesin. “Rivai bermaksud membawa Tampomas II ke pulau terdekat,” ujar sumber TEMPO di Ditjen Perhubungan
Laut, mengutip hasil pemeriksaan oleh suatu tim resmi atas ABK yang selamat. Mesin hidup, tapi cuma
sebentar, karena terjadi ledakan di dek mobil.

Hadi Wiyono memperkirakan sekitar 20-an awak kapal meninggal karena terkurung di dalam ruang mesin. Dari
sinilah kemudian beredar kabar terjadinya konflik antara Rivai dengan markonis, perwira yang bertugas di bagian
komunikasi.

Markonis Odang Kusdinar, kabarnya sudah minta izin kepada Rivai untuk segera mengirim berita SOS ketika
laporan kebakaran diterima dari perwira piket. Tapi Rivai konon memilih lebih baik tak mengirimkan sinyal SOS
dulu — yang memang tak dapat dilakukan sembarangan, karena akan merepotkan kapal di seluruh dunia. Yang
perlu, api dihabisi segera. Tapi upaya memadamkan api ternyata tidak berhasil. Satu-satunya jalan yang tinggal
mengirimkan berita kebakaran itu ke radio pantai.

Tapi sudah terlambat. Alat komunikasi yang ada tidak bisa digunakan lagi. Dan Odang sendiri, entah kenapa,
sewaktu dicari sudah tidak ada di kapal. (lihat box).

Rivai, sebagaimana dikatakan Hadi Wiyono, kemudian mengambil “bola api” sebagai jalan terakhir untuk
memberitahukan bahwa di situ ada kapal dalam keadaan bahaya. “Bola” itu sebesar bola tennis. Kalau
dilemparkan ke atas, akan meledak dan menimbulkan cahaya ultra violet yang tajam — sebagai tanda SOS.
“Anehnya bola api itu tidak meledak di udara,” ujar Hadi Wiyono pasti.

Lantaran bagian tengah kapal semakin panas, para penumpang berlomba mencapai tempat paling tinggi di
anjungan atau haluan. Seorang penumpang, pemuda keturunan Arab bernama Nur Abdullah, kemudian berteriak
dari haluan agar ada di antara yang di anjungan — tempat paling tinggi — mengumandangkan adzan.
Maksudnya untuk meredakan angin dan gelombang, sebagaimana biasa dilakukan nelayan Bugis. “Tapi
terdengar justru takbir beramai-ramai, sehingga mirip malam lebaran,” keluh Nur
Abdullah.
Sepanjang malam pertama itu mereka tidak bisa melihat apa-apa lagi. Kecuali gelap dan asap.

FAJAR hari Senin telah menyingsing. Seluruh cakrawala kelihatan tcrang. Kapal KM Sangihe terus melaju
dengan kecepatan 10 knot dari arah Ujungpandang ke Surabaya. Sebagaimana biasa, begitu fajar datang
pertama-tama yang harus dilakukan mualim kapal adalah melihat sekeliling cakrawala dengan teropong. Dan
pagi itu Mualim I Sangihe, J. Bilalu, melihat ada asap mengepul di arah barat. “Kap!”, Bilalu memanggil Agus K.
Sumirat, Kapten Kapal Sangihe, “boleh juga tuh Pertamina. Dia bisa dapatkan sumur minyak baru lagi,” kata
Bilalu sambil menuding asap yang
dia lihat. Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB.

Karena di seluruh cakrawala tidak ada pemandangan lain, sebentar-sebentar mata Kapten Sumirat melihat ke
sana — yang kebetulan memang berada di arah yang akan dilewati.

Satu jam kemudian Bilalu kembali meneropong asap yang sudah kian mendekat. “Kap!. Asap itu dari kapal.
Bukan pengeboran minyak Pertamina,” pekik mualim itu. “Kita menuju ke sana,” sahut Kapten Sumirat.

Pagi itu udara cukup cerah untuk ukuran Januari yang biasanya selalu berkabut tebal. Sangihe terus melaju
untuk melihat kapal apa yang mengeluarkan asap itu. Tepat pukul 07.35, Bilalu bisa membaca tulisan di kapal itu
meskipun belum jelas benar Tampomas II.

Para penumpang Tampomas II juga sudah melihat kedatangan Sangihe. Hadi Wiyono segera mencari cermin di
kamar penumpang untuk di-”soklehkan” ke arah Sangihe datang.

Saat itu juga Markonis Sangihe, Abubakar, diperintahkan untuk memberitahu Radio Pantai mana saja yang bisa
dihubungi. Abubakar memutar-mutar saluran radio di ruang Markonis yang berdampingan dengan ruang kemudi
itu. “Tiga menit kemudian saya bisa berhubungan dengan Radio Jakarta, memberitahukan bahwa KM Tampomas
II terbakar,” ujar Abubakar.

Memang hanya itu yang bisa diberitahukan. Sangihe sendiri masih belum pasti, apakah Tampomas II perlu
pertolongan darurat. Hanya Sangihe terus mendekat dan Kapten Sumirat mengumpulkan awak kapal untuk
bersiap-siap melakukan pertolongan.

Tapi begitu jarak tinggal dua kilometcr, Sumirat melihat para penumpang sudah berada di atas kapal. “Kirim
SOS”, perintah Sumirat pada Abubakar, lewat lubang kecil yang menghubungkan ruang markonis dengan ruang
kemudi. “Pukul 08.15 persis saya kirim SOS dengan morse,” ujar Abubakar. Dengan demikian diharapkan
seluruh kapal dan stasiun pantai menangkap sinyal SOS dari Sangihe itu.

Sangihe terus mendekat, pelan-pelan Dilihat oleh Sumirat, Tampomas sudah buang jangkar. Berarti Sangihe bisa
lebih dekat lagi tanpa takut terjadi tabrakan “Saya kelilingi dulu Tampomas untuk melihat dari arah mana bisa
mendekat,” ujar Sumirat. “Untuk tender (merapat) dari lambung kanan jelas tidak bisa, karena asap mengarah ke
kanan. Tapi mau fender di lambung kiri juga susah, karena ada tali jangkar yang kalau tertabrak bisa putus dan
berbahaya,” tambahnya.

Ada kesulitan lain yang lebih menghambat lagi. KM Sangihe sendiri sebenarnya dalam keadaan sakit. “Kalau
kapal ini normal, kami tidak akan lewat sini,” ujar Sumirat.

Sangihe mestinya harus membawa 900 ekor sapi dari Pare-Pare ke Padang. Tapi karena mesin rusak, ia
nongkrong dulu di Pare-Pare sampai 6 hari. Akhirnya bisa juga jalan — tapi Sumirat minta agar kapal itu dibawa
dulu ke Surabaya untuk dinaikkan dok. “Itulah sebabnya saya tidak berani ambil jalan lurus ParePare-Surabaya,
tapi menyusuri dulu pantai Sulawesi. Kalau saya ambil jalan lurus tidak akan ketemu Tampomas,” kata Sumirat.
Itu bukan kerusakan satu-satunya. KM Sangihe sebenarnya punya 3 mesin pembangkit listrik — tapi tinggal
sebuah yang masih hidup. “Akibatnya saya tidak bisa melakukan manouver (olah gerak),” ujar Sumirat. “Kalau
tidak bisa melakukan olah gerak, bagaimana bisa tender, ” katanya pula.

Sumirat, 46 tahun, sebenarnya sudah tiga kali berpengalaman melakukan tender di tengah laut. “Tapi kali ini
benar-benar tidak bisa,” katanya. “Kapten Rivai, Nakoda Tampomas, adalah teman sekelas saya, di AIP.
Bayangkan bagaimana perasaan saya setelah tidak berhasil merapat di kapalnya.”

Setelah tidak mungkin melakukan tender di lambung kanan dan kiri, Sumirat memutuskan untuk “parkir” di depan
Tampomas dengan harapan bisa mendekat dari arah depan. Ketika jarak tinggal 300 meter lagi, Sumirat
memerintahkan buang jangkar sepanjang 6 segel (142 meter).

Dengan demikian jarak kedua kapal itu tinggal sekitar 150 meter. Sumirat sekali lagi memerintahkan untuk
melepaskan dua segel lagi, sehingga jarak keduanya tinggal sekitar 100 meter.

Seorang ABK (Anak Buah Kapal) Sangihe mencoba melemparkan tali ke Tampomas. Tapi tak sampai. ABK yang
lain kemudian mengambil pistol khusus yang dipakai untuk menembakkan tali “Tapi sungguh aneh, pistol itu
mejen,” ujar Husin Hamzah, ABK Sangihe asal Gombong.

Sementara itu dari arah Tampomas, sudah ada tali yang hanyut. Seorang ABK Sangihe kemudian melemparkan
tali ke arah tali yang hanyut tadi berhasil menyangkut. Tali Tampomas itu ditarik pelan-pelan, kemudian diikatkan
di KM Sangihe. Jarak antara
kedua kapal bisa lebih diperpendek lagi. Tapi tali itu terancam putus kalau terus ditarik, sementara semakin siang
gelombang semakin besar.

Karena itu, Sumirat menghendaki ada dua tali. “Siapa yang berani membawa tali ini ke sana?” ujar Sumirat.
Seorang pemuda yang menumpang Kapal Sangihe tiba-tiba maju, menyediakan dirinya. “Saya tidak tahan lagi
mendengar jeritan mereka,” ujar Youce Freddy, 20 tahun, pemuda asal Manado yang akan cari kerja di Jakarta.

Penumpang yang sudah berkumpul di haluan Tampomas kedengaran riuh sekali, memang. “Panas!, Panas!
Neraka!, …. Cepat kirim air!”, teriak mereka bersahut-sahutan. Sebagian tidak sabar lagi lantas menerjunkan diri
ke laut –hanyut ke arah Sangihe.

Persiapan mengirim Youce segera dilakukan. Tali yang akan dibawa Youce diikatkan di pinggangnya, agar kalau
ia terjatuh bisa ditarik kembali. Waktu itu sudah pukul 12.00 siang. Youce mulai merambat sambil bergantung di
tali pertama.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga dan keberaniannya, pemuda itu maju pelan-pelan pada tambang. Selamat!
Youce sampai di Tampomas II. Langsung ia mengikatkan tali itu. Tapi ia kaget. “Saya terkejut sekali. Begitu
sampai di Tampomas saya lihat sekitar 20-an mayat berserakan di geladak,” katanya.

Mayat itu sudah berwarna hitam. Di antaranya seorang wanita tetap dalam keadaan merangkul anaknya yang
berumur sekitar 3 tahun.

Tali yang dibawanya tadi sudah terikat di Tampomas. Tapi malang, belum selesai ditarik kencang, tali pertama
sudah putus. Akibatnya Sangihe hanyut, lalu membentur Tampomas. Tali kedua pun putus. Semakin siang
gelombang memang semakin besar, sehingga Sangihe terhempas menjauh dari Tampomas.

Sementara hubungan tali tadi diusahakan, dua buah sekoci diturunkan. Sebenarnya ada empat sekoci di
Sangihc. Tapi hanya satu mesin listrik yang hidup yang hanya cukup untuk menurunkan dua sekoci. Itupun yang
satu putus dan hanyut.
Satunya lagi langsung diserbu oleh penumpang yang terjun dari Tampomas. Ada 8 awak kapal Sangihe yang
diturunkan dalam sekoci itu untuk membantu para korban naik ke sekoci. Setelah penuh, sekoci ditarik dan para
korban dinaikkan ke Sangihe.

Sekoci itu pun sekali lagi diluncurkan dan sebentar saja juga sudah penuh pula ada 158 orang yang akhirnya
diselamatkan KM Sangihe sepanjang hari Senin itu. Semuanya dalam keadaan sehat — kecuali luka bakar di
kaki mereka.

Upaya untuk mendekat Tampomas lagi sudah tak mungkin. Gelombang semakin besar. Tali temali juga sudah
habis. Sangihe kini hanya “menghadang” saja korban yang hanyut ke arah kapal itu. Di lampung kiri Sangihe
memang ada tangga yang terus terpasang. Tiga orang awak kapal menggelantung di tangga itu sambil menyaut
korban yang hanyut di dekatnya.

Sampai Senin sore itu, belum ada kapal lain yang datang. Tapi beberapa kapal diberitakan sedang menuju
tempat itu. Markonis Abubakar sepanjang hari itu tidak henti-hentinya berteriak-teriak di kamarnya. Ia melayani
pertanyaanpertanyaan
dari berbagai instansi.

“Mestinya kami kan cukup menjawab salah satu instansi saja, lantas yang lain menanyakan ke instansi tadi,” tutur
Abubakar. Suaranya sudah hampir tidak kedengaran karena 24 jam secara nonstop berteriak. “Sampai-sampai
sebuah radio kami sekarang rusak” tambahnya.

Sumirat, Kapten kapal yang berwajah seperti bintang film Koesno Soedjarwadi itu hanya menunduk sedih, ketika
ditanya bagaimana pendapatnya tentang kecaman para penumpang Tampomas yang menggambarkan seolah-
olah Sangihe penakut. “Apa pun pendapat orang, akan saya terima dengan lapang dada. Saya memahami
perasaan mereka, yang sudah begitu dekat dengan Sangihe, tapi tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Sumirat.

Mereka tak bisa berbuat-apa-apa — termasuk melawan haus dan panas.

Sepanjang Senin itu, tidak ada hujan di sekitar Tampomas. Pernah sekitar pukul 15.00 ada satu dua titik air dari
langit, tapi tidak sampai membasahi mereka. “Kalau ada hujan tentu mereka tertolong sekali. Ketika ada gerimis
saja mereka pada menengadahkan wajahnya ke langit supaya bisa basah,” ujar seorang pelaut yang
menyaksikan detik-detik itu.

Tapi setelah lepas tengah hari, mendung dan kabut memang semakin tebal. Dan ketika senja telah tiba, Sangihe
menjauh dari Tampomas sampai sekitar 1.300 meter, diikuti sumpah serapah penumpang yang masih penasaran
di Tampomas. “Semata-mata lantaran khawatir, kalau terjadi benturan di waktu malam,”
bantah Sumirat.

Malam itu KM Ilmamui, juga milik Pelni, yang baru datang pada pukul 21.00, langsung parkir sekitar 2 km dari
Tampomas. Ilmamuilah yang meneruskan pemberitahuan SOS dari Sangihe keberbagai stasiun radio pantai.

Empat jam kemudian, pukul 01.00 dini hari, Selasa 27 Januari, datang lagi kapal tangker Istana VI. Istana juga
langsung parkir di sebelah Ilmamui. Dua kapal lagi malam itu datang di Masalembo: Adhiguna Karunia dan
Senata. Semuanya langsung lego jangkar, menbentuk barisan sekitar dua kilometer dari Tampomas.

Keesokan harinya mereka bergerak maju. Istana VI, karena penuh muatan minyak, punya kelebihan sebagai
penolong: memudahkan para korban naik ke kapal itu lantaran dindingnya rendah. Ada 144 orang yang
diselamatkan Istana VI di samping 4 jenasah.

Kapal yang paling banyak menyelamatkan para korban adalah KM Sengata, milik PT Porodisa Lines. Kapal
khusus pengangkut kayu bulat dari Kalimantan ke Taiwan atau Jepang ini memang punya perlengkapan khusus,
berupa jaring yang bisa dipasang di
sepanjang lambung kanan dan kiri. Banyak korban yang selamat karena cepat meraih jaring itu, kemudian
memanjat naik. Akhirnya tercatat 169 korban yang tertolong di sini, plus dua mayat.

Para korban juga banyak memuji Sengata, karena keberaniannya mendekat Tampomas. Kapal ini sempat
beberapa detik merapat di Tampomas dan 6 orang memanfaatkannya. “Begitu dekat saya loncat” ujar Sudibyo,
38 tahun, perwira listrik Tampomas II yang bisa mermantaatkan kesempatan emas itu.

Sampai pukul 12.00 hari itu juga tidak ada turun hujan. Tapi kabut dan angin terus menjadi hambatan. Pukul
12.30, tiba-tiba ada ledakan di bagian belakang dan Tampomas II mulai miring. Di bagian belakang kapal ini ada
12 tabung besar berisi Elpiji yang biasa dipakai untuk dapur. Tampomas II memang satu-satunya kapal di
Indonesia yang menggunakan Elpiji. “Begitu miring banyak penumpang longsor bertindihan,” ujar Youce yang
terus berada di Tampomas II sampai saat terakhir. Youce kemudian berenang menuju Sengata.

Hanya 20 menit kemudian Tampomas II tenggelam, mulai dari pantatnya. Tapi tenggelamnya haluan kapal itu
tidak kelihatan dari kapal lain, karena cuaca diguyur hujan lebat sekali. Saat itu ada pertanyaan masuk ruang
markonis menanyakan bagaimana posisi Tampomas. “Dijawab bagaimana, kap” tanya Abubakar.
“Karena tidak kelihatan, saya suruh jawab saja: sedang menuju ke dasar laut,” ujar Sumirat.

Begitu hujan reda, Tampomas II memang sudah tidak kelihatan. “Anehnya keadaan cuaca berubah jadi cerah
sekali,” ujar Sumirat. Tinggal di sana sini tampak orang terhanyut — sisa-sisa sebuah perjalanan yang sangat
menyedihkan.

SELASA, 06 MARET 2012 | 12:34 WIB

Majalah Tempo Ulang Tahun ke-41

http://www.tempo.co/read/news/2012/03/06/078388283/Majalah-Tempo-Ulang-
Tahun-ke-41/1/0
TEMPO.CO, Jakarta - Majalah Tempo pada 6 Maret 2012 ini memperingati hari kelahirannya. Selama 41 tahun
sudah majalah berita mingguan ini menyuguhkan karya jurnalistiknya sejak pertama kali terbit pada 6 Maret
1971. Berbagai liputan investigatif disajikan. Berikut tujuh tema liputan investigatif yang pernah
dimuat Tempo. Majalah ini memuat kembali cerita di balik penerbitan berita investigatif itu pada edisi kecap dapur
Nomor T0140092 Edisi 01/04 13 Maret 2011 saat merayakan ulang tahun ke-40.

1. Tentang Skandal Empat Zaman

Apa kesulitan terberat jurnalisme investigatif: ancaman fisik, gugatan hukum, atau bahkan pembredelan?
Pengantar laporan utama majalah Tempo edisi 20 Januari 1973 memberi jawaban: ”Banyak yang dapat
diketahui, tapi sedikit yang bisa dikemukakan.”

Laporan utama edisi itu mengungkap skandal impor 290 mobil mewah sepanjang 1969-1971, yang melibatkan
pengusaha Robby Tjahjadi. Mendirikan perusahaan dengan hanya tiga pegawai, termasuk dirinya, Robby
menyuap aparat Bea-Cukai, tentara, dan polisi buat memuluskan kejahatannya. Mereka memalsukan aneka
dokumen, termasuk paspor dan surat-surat kendaraan.

Badan Koordinasi Intelijen Negara membongkar jaringan Robby. Ketika edisi itu disiapkan, sang pengusaha
sedang diadili. Koran-koran rajin memberitakannya—walau sepotong-sepotong. Agar memperoleh bahan lebih,
wartawan Tempo George Junus Aditjondro merunut kembali aneka dokumen, mewawancarai sumber dari
pelbagai lembaga, menemui kalangan dekat Robby, juga mereportase Pelabuhan Tanjung Priok.

Dari bahan-bahan itu tersusun laporan utama berjudul ”Hukuman Mati buat Robby Tjahjadi?”. Setelah
melakukan liputan investigatif, Tempo menyimpulkan, ”Banyak prasangka yang hidup di masyarakat, ternyata
tidak seluruhnya punya dasar kuat”. Sebaliknya, Tempo menemukan sejumlah hal yang tidak muncul di
pengadilan. Antara lain adanya penyelundup kakap, seorang petinggi militer, yang telah menyelundupkan ribuan
mobil.

Kurang dari dua tahun setelah diterbitkan, majalah ini telah memiliki model jurnalisme sendiri, yakni ”seni
mengemukakan yang sebenarnya”. Rubrik Forum Kita pada edisi Robby Tjahjadi itu juga menekankan
jurnalisme yang ”tak patut mengharapkan tepuk tangan, sementara tak ingin menerima tinju kemarahan”.

Pada penerbitan selanjutnya, Tempo menyelidiki karut-marut Bea-Cukai. Aditjondro, kini peneliti masalah
korupsi, pada Juli 1973 begadang siang-malam memelototi proses bongkar-muat barang di Priok. Dari ”kerja
lembur” itu, ia menemukan 26 pintu siluman buat penyelundupan. Pada artikel berjudul ”Kisah 26 Terowongan”
tertulis: ”Berbagai kisah nyata tentang congtipu, uang semir, cak-kopi, selundup, dan biaya siluman yang bisa
bergeser dari meja verifikasi ke balik WC masih saja terjadi.”

Tiga tahun kemudian, wartawan Tempo Fikri Jufri membongkar skandal keuangan perusahaan minyak negara,
Pertamina. Seusai serah-terima jabatan Direktur Utama Pertamina, dari Ibnu Sutowo ke Piet Haryono, pada
Maret 1976, Fikri menemukan data jumlah utang perusahaan yang sudah mencapai US$ 10 miliar. Pertamina di
ambang bangkrut.

Menemui sejumlah pejabat penting—termasuk Menteri Pertambangan M. Sadli yang didatangi di rumahnya
ketika masih bersarung—Fikri mengumpulkan bahan-bahan. Hasilnya laporan panjang berjudul ”Pertamina:
Menduga Dalamnya Sumur”. Di situ diungkapkan kesalahan-kesalahan bisnis Ibnu Sutowo yang antara lain
membeli sejumlah kapal tanker.

Bahkan, setelah dibunuh oleh Presiden Soeharto pada 1994 karena liputan investigasi kapal perang bekas
Jerman Timur, Tempo tak membelokkan langkah. Ketika terbit kembali, empat tahun kemudian—setelah
kejatuhan Soeharto—Tempo tetap mengibarkan bendera investigasi. Berita utama edisi perdana 1998
mengangkat isu pemerkosaan perempuan Tionghoa pada kerusuhan yang membakar Jakarta, Mei 1998.

Banyak orang ragu benar-tidaknya cerita kontroversial itu. Apalagi tim relawan mencatat ada 168 kasus
pemerkosaan. Tempo menelusuri banyak informasi. Hasilnya, angka yang disebut tim relawan mungkin meleset.
Tapi Tempo menemukan sejumlah perempuan yang dipaksa sekelompok orang secara seksual.

Kini, 40 tahun setelah diterbitkan, Tempo menghasilkan investigasi yang merentang sangat luas: dari
megakorupsi sampai aborsi, dari penyelundupan sampai penggelapan pajak, dari pembunuhan aktivis sampai
penyelewengan dana haji. Awak redaksi selalu berganti-ganti, tapi mereka selalu menghasilkan ”seni
mengemukakan yang sebenarnya”.

Pertanyaannya, apakah para pendiri sejak awal telah membayangkan Tempo sebagai majalah investigatif.
”Tidak,” kata Goenawan Mohamad. Awalnya, kata dia, majalah ini dirancang hanya untuk ”menulis sesuatu yang
berbeda dengan koran-koran”. Berkiblat kepada majalah Time, para pendiri merancang agar Tempo menulis
”cerita di balik berita”.

Fikri Jufri mengatakan cara kerja investigatif berkembang dari waktu ke waktu. ”Dulu, kalau ada yang perlu
dikejar, ya dikejar.”

Dibayangkan dari awal atau tidak, pilihan jurnalisme investigasi ini sering mendatangkan serangan balik. Pada
zaman Orde Baru, serangan berupa surat teguran sampai pembredelan. Ketika kemudian terbit kembali,
tantangannya berbeda. Serangan paling ”lembut”, gugatan hukum dari obyek tulisan. Tulisan tentang kebakaran
Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan skandal pajak Asian Agri, misalnya, membawa rentetan gugatan ke meja
hijau—walau hasilnya sebagian besar dimenangi Tempo.

Dari fitrahnya, jurnalisme investigasi memang membawa banyak risiko dibandingkan dengan ”jurnalisme biasa”.
Mulai ancaman, teror, intimidasi yang dihadapi para wartawan ataupun lembaganya, sampai tuntutan hukum
yang bisa membuat gulung tikar sebuah media. Aneka serangan itu dimaksudkan agar menimbulkan rasa jeri—
dikenal sebagai chilling effect—media massa yang menjalankan praktek investigasi.

Masih segar dalam ingatan, molotov yang dilempar ke kantor Redaksi Majalah Tempo,tahun lalu. Ketika itu,
majalah ini menulis rekening-rekening mencurigakan milik sejumlah perwira tinggi kepolisian. Memajang sampul
dengan judul ”Rekening Gendut Perwira Polisi”, majalah edisi ini lenyap diborong orang pada pagi buta.

Tugas pers adalah melacak, mencatat, dan menyebarluaskannya kepada masyarakat—demikian tertulis dalam
pengantar buku kumpulan investigasi Tempo (1999). Selanjutnya, aparat hukumlah yang diharapkan bergerak.
Dalam hal ini, Tempo konsisten menjalankan jurnalisme yang ”tak patut mengharapkan tepuk tangan dan tak
ingin menerima tinju kemarahan”.

2. Dari Pertamina sampai Kartika

SUATU hari di pengujung November 1975. Redaktur PelaksanaMajalah Tempo Fikri Jufri tiba di kediaman
Siswono Yudhohusodo, pengusaha muda yang sedang naik daun ketika itu. Fikri punya janji wawancara dengan
Sis—begitu bekas aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung ini biasa disapa.

Belum lagi dia duduk, sang empunya rumah bergegas keluar. ”Dia minta maaf harus mendadak membatalkan
wawancara,” kata Fikri, soal peristiwa 26 tahun silam itu. Naluri jurnalistiknya langsung mencium ada sesuatu.
Mengabaikan tujuan wawancaranya semula, Fikri langsung berusaha mengorek informasi. ”Ada apa, Bung?” dia
bertanya. Sambil lalu, Siswono menjelaskan dengan nada datar, ”Direktur Utama Pertamina dan lima direkturnya
diberhentikan.” Fikri sontak terkesima. ”Saya sadar, saya dapat berita besar,” katanya kemudian.

Jelas berita besar karena Pertamina pada masa keemasan Orde Baru adalah raksasa yang menyilaukan mata.
Tangan-tangan perusahaan minyak nasional itu merambah ke berbagai bidang usaha. Telekomunikasi,
pendidikan, kesehatan, pariwisata, sampai angkutan tanker minyak. ”Sebut saja satu bidang usaha, pasti ada
Pertamina-nya,” kata satu pejabat zaman itu, berkelakar.

Kekayaan Pertamina memang menggunung. Di laut, mereka punya 200-an kapal, termasuk puluhan tanker
minyak. Di udara, ada puluhan pesawat dan helikopter. Pada akhir 1974, Pertamina bahkan berani membeli
model terbaru jet eksekutif Boeing 727 yang dilengkapi ruang rapat dan kamar mandi kecil. Harganya US$ 15
juta (sekitar Rp 135 miliar pada nilai sekarang—Red.).

Pada masa itu, Indonesia sedang menikmati berkah bonanza minyak. Harga per barel minyak bumi terus
menanjak, menyediakan sumur dolar yang tak pernah kering buat Orde Baru. Tak mengherankan jika Presiden
Soeharto amat percaya kepada Direktur Utama Pertamina waktu itu, Ibnu Sutowo.

Beberapa media Barat bahkan menjuluki Ibnu Sutowo sebagai ”The Second Most Powerful Man in Indonesia”—
orang terkuat nomor dua, setelah Soeharto. Buktinya, sejumlah liputan investigasi harian Indonesia Raya pada
1969-1970 tentang berbagai dugaan kongkalikong Ibnu Sutowo di Pertamina tak pernah ditanggapi serius oleh
pemerintah.

Ibnu Sutowo sudah jadi pemimpin perusahaan minyak negara itu sejak masih bernama Permina pada Oktober
1957. Jika berita dari Siswono tentang pergantian pemimpin perusahaan itu benar, pastilah ada krisis besar yang
membuat Ibnu harus tersingkir.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Fikri mendatangi kantor Menteri Pertambangan M. Sadli. Sang menteri
belum datang. Fikri langsung mengambil posisi strategis, duduk di kursi dekat tangga naik ke ruang kerja Sadli.
Dengan begitu, Sadli pasti melewatinya saat tiba di kantor—Fikri mengancar-ancar.

Begitulah, ketika Sadli lewat, Fikri langsung berseru, ”Jadi betul, Pak?” Sadli, yang tak mengira krisis di
Pertamina bisa bocor ke telinga wartawan, hanya menjawab pasrah, ”Betul.” Tentu sepotong konfirmasi itu tak
cukup untuk menulis satu laporan panjang. Apalagi Pemimpin Redaksi Tempo ketika itu, Goenawan Mohamad,
meminta agar peristiwa ini jadi laporan utama edisi berikutnya.

Fikri kembali mengejar Sadli. Kali ini di rumahnya. ”Pagi hari, saya sudah sampai ke rumah Sadli lagi. Dia baru
mandi, masih pakai celana kolor,” kata Fikri sambil tertawa geli. Kebetulan Sadli adalah dosen Fikri di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.

Begitu melihat Fikri di teras depan, Pak Menteri langsung cemberut. ”Ada apa lagi? Tidak ada wawancara hari
ini,” katanya ketus. Yang disemprot malah tersenyum lebar. ”Saya ke sini mau minum kopi, Pak, belum sarapan,”
kata Fikri. Dengan tanggapan ringan itu, suasana langsung cair. Sadli mempersilakan tamunya duduk untuk
sarapan bersama.

Di tengah-tengah percakapan, Fikri berusaha memancing, ”Jadi utang Pertamina ini sekian, ya? Utang
dagangnya sekian?” katanya sambil memerinci deretan angka. Tak sadar, Sadli terbawa umpan Fikri. ”Bukan
segitu, lebih, Bung,” katanya mengoreksi. Wawancara pun berlanjut lancar.

Nah, tokoh terakhir yang harus diwawancarai Tempo sebelum berita menghebohkan ini bisa dimuat tentu Ibnu
Sutowo sendiri. Masalahnya, orang ini tak mudah ditemui. Berterang-terangan dia mengaku tak suka bicara
kepada jurnalis. Tapi Fikri pantang menyerah. Dia cepat-cepat mendatangi Ibnu Sutowo di kantornya, markas
Pertamina, Jalan Perwira, Jakarta Pusat.

Ketika itu, Fikri hanya mengandalkan kedekatannya dengan Marah Junus, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat
Pertamina. ”Saya berusaha bisa cocok ngobrol dengan banyak orang,” kata Fikri membuka rahasia jejaring
perkawanannya yang luas. ”Tapi saya terutama bisa ngobrol panjang dengan Marah Junus,” katanya. Fikri
akhirnya berhasil mendapatkan dua jam penuh wawancara dengan Ibnu Sutowo.
Dalam wawancara itu, Ibnu mengakui telah salah kalkulasi. Akibat mengandalkan komitmen dana pinjaman
jangka panjang US$ 1,7 miliar dari Timur Tengah, Pertamina berani menggunakan pinjaman jangka pendek
untuk membiayai proyek-proyek mercusuar. Belakangan, komitmen dana itu menguap tak jelas. ”Tiba-tiba saya
mendapat kabar, utang jangka panjang itu tidak bisa cair,” kata Ibnu. ”Maka kacaulah kami.”

Sampai sekarang, Fikri masih ingat betul detail wawancara krusial itu. ”Satu pernyataan yang masih saya ingat:
Ibnu Sutowo bilang uang dari Timur Tengah itu ternyata fatamorgana,” katanya.

Ketika akhirnya dimuat di edisi November 1975, berita Tempo tentang krisis utang Pertamina menggemparkan
banyak orang. Khalayak tak menyangka perusahaan sebesar Pertamina ternyata terbelit pinjaman sampai lebih
dari US$ 10,5 miliar. ”Kami yang pertama kali memuat soal krisis ini,” kata Fikri.

Karena skala usahanya yang amat luas, kisruh utang Pertamina segera berdampak pada perekonomian
nasional. Apalagi penerimaan negara tahun itu hanya US$ 6 miliar dan cadangan devisa cuma US$ 600 juta.

Ketika menyampaikan pidato kenegaraannya di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta, awal
Januari 1976, Presiden Soeharto mengakui dampak buruk krisis Pertamina pada program pembangunan
nasional. ”Kesulitan yang dialami oleh Pertamina tentu saja mempunyai akibat-akibat yang luas, terutama karena
menyangkut jumlah-jumlah yang sangat besar,” kata Soeharto di hadapan anggota DPR.

Tiga bulan kemudian, Ibnu Sutowo dicopot dari jabatannya. Piet Haryono diangkat sebagai Direktur Utama
Pertamina yang baru. Meski kariernya berakhir tragis, hubungan Ibnu Sutowo dan Fikri Jufri tetap baik.
Wawancara ”bersejarah” Fikri bahkan dimuat dalam biografi resmi Ibnu Sutowo yang ditulis Ramadhan
K.H., Saatnya Saya Bercerita. Buku itu terbit pada 2008 atas restu putra pertama Ibnu, Pontjo Sutowo.

Jurnalis senior Atmakusumah Astraatmadja mengakui bahwa salah satu kekuatan investigasi Tempo adalah
ketaatannya memberikan ruang tanggapan buat tertuduh. ”Tak ada pihak yang terlewat, semua yang diliput
diberi ruang untuk merespons,” katanya.

EMPAT tahun kemudian, pada Februari 1980, Tempo kembali menurunkan laporan investigasi soal Pertamina.
Kali ini soal sengketa perebutan harta antara Kartika Thaher dan anak-anak tirinya di Pengadilan Tinggi
Singapura. Mereka berebut hak penguasaan atas rekening bersama Haji Thaher dan Kartika di Bank Sumitomo
sebesar US$ 35 juta. Thaher, yang jadi Asisten Umum Ibnu Sutowo saat Ibnu menjadi Direktur Utama Pertamina,
sudah meninggal pada Juli 1976.

Informasi awal soal kasus ini didapat Redaktur Tempo Harjoko Trisnadi. ”Karena Fikri yang lebih paham isu
ekonomi, saya perkenalkan sumber saya itu kepada dia,” kata Harjoko, ketika diundang ke kantor Tempo,
Februari lalu. Fikri membenarkan. ”Kami makan malam di Restoran Oasis bersama sumber yang dibawa
Harjoko,” katanya.

Berdasarkan data awal itu, Fikri menelusuri asal-muasal dana jutaan dolar yang disimpan Thaher di rekeningnya
itu. Belakangan terungkap ada indikasi dana itu adalah suap dari sejumlah rekanan Pertamina, termasuk
perusahaan kontraktor Jerman, Klockner, untuk proyek pembangunan pabrik baja Krakatau Steel.

Setelah sengketa harta Kartika Thaher ini dimuat Tempo, hampir semua bank di Indonesia merevisi aturan
internalnya. Sejak itu tak ada lagi rekening bersama pasangan suami-istri, yang hanya bisa ditarik salah satu
pihak. ”Semua aturan kepemilikan rekening bersama yang multitafsir diperbaiki,” kata Harjoko.

Selain punya dampak eksternal, laporan investigasi Tempo ternyata punya pengaruh ke dalam. ”Berita-berita
soal Pertamina ini membuat oplah kita naik terus,” kata Harjoko sambil tertawa keras.

3. Menguntit Komodo Sampai Tokyo

BAU anyir mayat masih tercium di kapal motor Sangihe yang bersandar di Pelabuhan Ujungpandang, akhir
Januari 30 tahun silam. Di kapal ini sebelumnya digeletakkan jasad sejumlah penumpang kapal motor
Tampomas II yang diangkut dari laut. Tanpa rasa jijik atau ngeri, Dahlan Iskan masuk ke kapal. Kepala
Biro Tempo Jawa Timur ini mengemban satu misi: mengorek informasi terbakarnya Tampomas II dari awak kapal
Sangihe.

Sangihe adalah kapal pertama yang membantu mengevakuasi penumpang Tampomas yang tengah berlayar dari
Jakarta menuju Ujungpandang. Ahad, 25 Januari 1981, kapal yang belum setahun dibeli PT Pelayaran Nasional
Indonesia itu terbakar di sekitar Kepulauan Masalembo, Jawa Timur. Dua hari terbakar di tengah laut, kapal
buatan Mitsubishi Heavy Industries, Jepang, tahun 1971 yang dikemudikan nakhoda Abdul Rivai itu akhirnya
karam. Rivai sendiri ditemukan tewas di laut.

Menurut Dahlan—kini Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara—tak ada wartawan yang meliput langsung
kebakaran itu karena akses ke lokasi cukup sulit. Dahlan, yang ditugasi kantor pusat Tempo di Jakarta, langsung
terbang ke Makassar karena Sangihe berlabuh di sana. ”Saya harus mengumpulkan cerita terperinci untuk
merekonstruksi tenggelamnya Tampomas,” katanya pertengahan Februari lalu.

Tiga hari tiga malam dia mewawancarai hampir semua awak kapal. Nyaris tanpa tidur. Dahlan sadar, keterangan
satu narasumber harus dicek dengan narasumber lain untuk memastikan kebenaran cerita. Wartawan yang
bergabung di Tempo pada 1975 ini mengetahui awak Sangihe sempat memotret kebakaran di Tampomas.
Dengan bujuk rayu, rol film berisi foto-foto itu bisa pindah ke kantongnya.

Agar cerita yang diperolehnya tak didahului media harian, Dahlan menjaga agar awak Sangihe sedapat mungkin
tak turun ke darat. ”Kalau turun, pasti mereka diwawancarai wartawan lain,” katanya sambil tertawa. Dahlan
bahkan mewawancarai para korban selamat yang dirawat di rumah sakit setempat saat awak Sangihe terlelap.

Setelah cerita lengkap ada di tangan, Dahlan kembali ke kantor Tempo di Pasar Senen, Jakarta. Rajutan
ceritanya yang dimuat di edisi 7 Februari 1981 begitu hidup. Membaca tulisan Dahlan laksana berada di lokasi
kejadian. Suasana tegang dan cemas begitu terasa. Dalam istilah di kalangan wartawan Tempo, reportase itu
begitu ”basah”. Tulisan Dahlan juga mengungkap ketidakmampuan awak kapal menggunakan alat keselamatan
di kapal nahas itu.

Dahlan membuka tulisan berjudul ”Neraka 40 Jam di Tengah Laut” dengan penggalan laguBerita kepada
Kawan karya Ebiet G. Ade. Lagu itu kebetulan dinyanyikan penumpang Tampomas sekaligus biduanita Ida
Farida sebelum api membakar kapal. Simaklah jeritan para penumpang yang disisipkan Dahlan dalam
tulisannya: ”Panas! Panas! Neraka! Cepat kirim air!”

Ada pula penggalan kisah Youce Freddy, penumpang Sangihe asal Manado, yang memberanikan diri mengirim
tali ke Tampomas agar bisa ditarik Sangihe. ”Saya terkejut sekali. Begitu sampai di Tampomas, saya lihat 20-an
mayat bergeletakan di geladak,” katanya. Mayat itu sudah berwarna hitam. Gosong terbakar api. Di antaranya
seorang wanita dalam keadaan merangkul anaknya yang berumur sekitar tiga tahun.

Pemimpin redaksi saat itu, Goenawan Mohamad—yang terkenal lebih sering mengkritik ketimbang memuji—
mengakui dahsyatnya reportase Dahlan. ”Dahlan wartawan hebat,” kata Goenawan mengenang tulisan
Tampomas itu.

EDISI dengan tajuk ”Tragedi (dan Skandal?) Tampomas II” itu muncul dengan lima tulisan soal Tampomas.
Goenawan Mohamad mengatakan redaksi memutuskan terbakarnya kapal itu sebagai cerita sampul. Salah satu
alasannya: jumlah korban tewas begitu banyak, lebih dari 400 orang—versi lain mengatakan 666 orang.

Laporan Tempo edisi awal Februari itu mengungkap minimnya fasilitas keselamatan di Tampomas. Salah
satunya, tak berfungsinya flare gun atau pistol suar sebagai penanda kondisi kapal sedang gawat. Selain itu, ada
tulisan yang mempersoalkan pembelian kapal bekas tersebut. Goenawan mengatakan redaksi Tempo curiga
proses pembelian berlangsung secara tak wajar. ”Kami punya hipotesis seperti itu. Buktinya harus dicari,”
katanya.

Pekan itu juga Tempo mengerahkan awak redaksi untuk mengejar cerita di balik pembelian kapal yang semula
bernama Emerald itu. Salah satunya I Ketut Surajaya, kini guru besar sejarah Universitas Indonesia. Ketut, yang
ketika itu sedang berada di Jepang, melaporkan Komodo Marine Company, penjual Emerald, baru membeli
Emerald dua bulan setelah menandatangani kontrak dengan PT Pengembangan Armada Niaga Nasional
(PANN).
PT PANN menjadi bagian dari tim pembelian kapal yang ditujukan buat memenuhi kebutuhan transportasi laut.
Kontrak senilai US$ 8,3 juta itu ditandatangani pada 23 Februari 1980. Pertanyaannya: bagaimana mungkin
pihak Indonesia menandatangani kontrak dengan perusahaan yang belum memiliki kapal?

Tempo juga menemukan Tampomas II rusak enam kali dalam pelayaran perdana. Para teknisi dari Jepang
hanya sekali mengikuti pelayaran Tampomas. Karena itu, Penanggung Jawab Rubrik Nasional Tempo Susanto
Pudjomartono dan Redaktur Pelaksana Fikri Jufri ditugasi mengejar Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut Junus Effendi Habibie—kini Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda—yang menjadi ketua panitia
pengarah pengadaan kapal. Saat itu, Fanny, panggilan J.E. Habibie, berkilah teknisi Indonesia sudah bisa
menangani Tampomas II.

Saat Susanto dan Fikri menemui Fanny, adik mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie itu sempat
meninggalkan ruangannya. Susanto melihat sejumlah foto Tampomas yang terbakar ada di meja Fanny. ”Saya
dan Fikri langsung memilih foto yang paling bagus,” kata Susanto. Diam-diam, foto itu mereka ambil. Muncullah
di sampul muka pemandangan mengerikan itu: foto Tampomas II dengan api dan asap membubung tinggi dan
para penumpang berpelampung jingga memadati haluan kapal.

TELEPON berdering tengah malam di satu rumah di Rushgrove Avenue, London North West 9, beberapa saat
setelah Tempo edisi awal Februari terbit. Bergegas Abdullah Alamudi mengangkatnya. Dari seberang sana
terdengar suara redaktur Tempo Yusril Djalinus.

Yusril menugasi koresponden Tempo yang juga wartawan BBC itu mencari informasi Tampomas II dari
perusahaan asuransi Lloyd’s of London. Lloyd’s memiliki data lengkap sejarah kapal, dari galangan pembuat,
frekuensi berlayar, hingga perpindahan pemilik, serta taksiran harga jual kembali.

Tak mudah sebenarnya mendapat data itu karena Lloyd’s agak menutup akses informasi. Tapi Abdullah berhasil
memperolehnya. ”Dari data itu terlihat harga Tampomas II terlalu mahal,” kata wartawan yang menggunakan
nama samaran Gabriel Gay jika menulis untukTempo itu.

Di Jakarta, Tempo memperoleh informasi serupa. Seorang pejabat di bidang perhubungan mengatakan harga
Tampomas II sebenarnya hanya US$ 2,25 juta. Ini jauh lebih murah daripada harga pembelian resmi, US$ 6,4
juta, plus US$ 1,9 juta untuk mengkonversi kapal pengangkut barang ini menjadi kapal penumpang. Uang
pembelian itu berasal dari pinjaman Bank Dunia dan hibah pemerintah Norwegia.

Setelah edisi perdana Tampomas, Tempo masih getol menelusuri penyimpangan dalam pembelian kapal itu.
Kembali tenaga dikerahkan untuk menelusuri pembelian Tampomas. Salah satunya menugasi
pembantu Tempo di Hong Kong, Christina Vertuchi, melacak jejak Komodo Marine yang disebut dalam kontrak
beralamat di sana. Hasilnya, di sana tidak ada perusahaan bernama Komodo Marine yang mengubah nama
Emerald menjadi Great Emerald.

Komodo malah ditemukan beralamat di Jakarta. Perusahaan itu dimiliki dua warga Indonesia: George Hendra
dan Lie Kian Liong alias Santoso Sumarli. Keduanya kukuh mengatakan Tampomas sudah dimiliki sebelum
perjanjian jual-beli dengan PT PANN ditandatangani. Kapal itu dibeli Komodo dari Arimura Sangyo Co Ltd, yang
bermarkas di Tokyo.

Semua cerita ini dimuat di edisi pekan berikutnya. Sejak itu, Tempo selalu melaporkan perkembangan terbaru
ihwal Tampomas II, setidaknya selama dua tahun sejak kapal tenggelam.

George Hendra akhirnya ditangkap enam bulan setelah kapal tenggelam. Ia sempat dibawa ke pengadilan. ”Tapi
cuma syahbandar yang dihukum,” kata Goenawan Mohamad. Dia menyimpulkan, hipotesis awal
redaksi Tempo bahwa ada penyimpangan dalam pembelian Tampomas tak terbukti.

Toh, wartawan senior yang juga mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, menilai
liputan Tempo soal Tampomas II memberikan informasi lengkap kepada masyarakat. Apalagi saat itu berita soal
Tampomas dari koran sangat minim. Dia juga memuji pemberitaan soal Tampomas ”ikut mendorong perbaikan
transportasi laut”.

Redaktur Senior Tempo Amarzan Loebis juga mengakui pemberitaan Tampomas tak berpengaruh banyak dalam
pengusutan perkara dugaan korupsinya. Amarzan menilai pemberitaan Tampomas sebenarnya bukan
investigasi, melainkan reportase mendalam. Namun Goenawan, Amarzan, dan Fikri Jufri berpandangan serupa:
liputan soal Tampomas menjadi salah satu akar investigasi ala Tempo.

4. Bukan Menjilat dan Menghamba

PADA April 2002, majalah Tempo menulis soal Pantai Indah Kapuk. Inilah perumahan di Jakarta Utara yang
banyak dituding sebagai penyebab banjir di sebagian ruas jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta. Ditulis
dalam rubrik Investigasi, artikel itu dibuka dengan judul menyentak: ”Janji-janji Ciputra”.

Dibangun pada 1992, Pantai Indah Kapuk merupakan wujud mimpi besar sang taipan. Di lahan 830 hektare di
dekat laut itu, rencananya akan dibangun 10 ribu rumah mewah, 10 hotel, 10 gedung perkantoran, 10
kondominium, 1.000 apartemen, serta lapangan golf, taman laut, marina, dan hutan lindung.

Agar tak mendatangkan banjir—karena dibangun sebagian di atas hutan lindung dan kawasan yang mestinya
tanpa bangunan—manajemen Pantai Indah Kapuk mendatangkan konsultan dari Belanda. Pompa-pompa
penyedot dipasang untuk menguras genangan jika musim hujan tiba.

Habitat satwa akan diperbaiki. Sanctuary burung-burung akan dibangun, juga danau untuk ikan air payau. Hutan
lindung tak bakal dirusak, malah diperluas hingga 100 hektare—dua kali luas sebelumnya. Di awal tulisan
dikutiplah janji Ciputra itu:

”Monyet tak akan berkurang. Saya akan lebih banyak menanam bakau, ketapang.... Jika kelak kerusakan
lingkungan terbukti, saya siap dihadapkan ke meja hijau. Saya mempertaruhkan segalanya: nama baik,
moral, bank guarantee.”

Investigasi Tempo menunjukkan janji itu hampa belaka. Banjir menggenangi jalan tol beberapa tahun setelah
Pantai Indah Kapuk dibangun. Beton-beton penahan ombak memang menyuburkan bakau di muara sungai.
Tapi, akibatnya, mulut muara jadi menyempit hingga menahan air yang mestinya meluncur ke laut.

Dimintai konfirmasi, Ciputra tutup mulut. ”Tanya saja Budi Nurwono,” katanya. Budi adalah Direktur PT Mandara
Permai, pengelola Pantai Indah Kapuk. Tak menyerah, tim investigasiTempo kembali mengirim seorang reporter
untuk menemui ”Pak Ci”—demikian Ciputra biasa disapa. Kali ini, ia mau sedikit ngomong.

Wawancara itu menjadi penutup liputan investigasi. Redaktur Arif Zulkifli menuliskan wawancara satu halaman
itu. Artikel disunting oleh Dwi Setyo Irawanto, ketika itu redaktur pelaksana. Oleh Dwi Setyo, pengantar
wawancara diperbaiki. Di belakang nama Ciputra ditambahi keterangan: komisaris PT Tempo Inti Media (penerbit
majalah ini).

Penggarapan proyek investigasi Pantai Indah Kapuk melaju zonder kendala—meski melibatkan
komisaris Tempo sendiri. ”Tak ada intervensi sama sekali,” kata Arif Zulkifli, kini redaktur eksekutif. Keputusan
menambahkan kalimat ”komisaris PT Tempo Inti Media (penerbit majalah ini)” di belakang nama Ciputra diambil
tanpa sempritan manajemen.

Ada kabar, setelah artikel itu terbit, selama beberapa lama Ciputra tak muncul di rapat komisaris. Untuk pertama
kali, Ciputra juga tak nongol dalam perayaan ulang tahun Tempo—sesuatu yang tak pernah ia lakukan
sebelumnya. Ia ngambek. ”Ya, ketika itu saya memang kesal,” katanya. ”Kesal kepada Tempo, anak saya
sendiri.”

AKAR independensi Tempo bisa dilacak dalam pengantar edisi pertama Tempo, Maret 1971. Ketika itu,
Goenawan Mohamad menulis:

Asas jurnalisme kami bukanlah asas jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya bahwa kebajikan,
juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya bahwa tugas pers bukan menyebarkan
prasangka, justru melengkapinya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling
pengertian. Jurnalisme majalah ini bukanlah jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak
dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba.

Menjalankan prinsip itu, Tempo rebah-bangun. Di era Orde Baru—masa paling sulit bagi pers yang mencoba
kritis dan tak memihak—kesulitan bersikap independen dialami karena pers diperintahkan menulis cerita versi
pemerintah. Fakta sebenarnya, jika merugikan penguasa, maka tak boleh muncul.

Pelbagai cara dilakukan Tempo untuk mengatasi itu. Janet Steele, guru besar Universitas George Washington,
Amerika Serikat, yang pernah menelitiTempo, menulis bahwa salah satu caranya adalah menggunakan kata
”konon” sebagai ganti ”it is reported”. Kata ini memang mengaburkan fakta yang sebenarnya, tapi setidaknya tak
menghapus fakta itu sama sekali. ”Konon” juga berperan dalam melindungi narasumber.

Independensi juga diterapkan ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Bertahun-tahun menjadi kolumnis
tetap majalah Tempo—makan, minum, bermalam, dan berkelakar bersama—namun toh ketika jadi presiden,
Gus Dur tak lepas dari kritik keras majalah ini. Tiga kali Tempo menurunkan laporan utama mengkritik Gus Dur
yang ketika itu dituding terlibat skandal Bulog. Tapi, alih-alih berang, Gus Dur malah hadir dalam resepsi temu
kolumnis sekaligus peluncuran buku Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di Tempo.

BENARKAH Tempo tak memihak? Sebetulnya tidak juga. Dalam sejumlah isu, pemihakanTempo terlihat jelas.
Katakanlah soal Ahmadiyah. Dalam isu yang satu ini, Tempomenganggap semua warga negara berhak memilih
keyakinannya. Karena itu, meski sebagian umat Islam menyatakan Ahmadiyah sesat dan dianjurkan keluar dari
Islam—karena mengakui ada nabi selain Muhammad—Tempo konsisten menyatakan Ahmadiyah berhak
menyebut diri sebagai bagian dari Islam.

Pembelaan yang sama dilakukan terhadap Lia Eden, bekas perancang bunga yang belakangan menyatakan diri
sebagai Bunda Maria dan Malaikat Jibril. Dalam rapat redaksi ketika kasus Lia Eden muncul, beberapa awak
redaksi mempertanyakan bagaimana menyikapi ”absurditas” agama Lia ini. ”Saya ingat,” kata Arif Zulkifli, ”kami
memutuskan membela Lia bukan karena keyakinannya, tapi karena kami percaya bahwa setiap orang punya hak
untuk punya keyakinan.”

Salah satu institusi yang membahas sikap Tempo itu adalah rapat opini. Itu adalah pertemuan para redaktur, dari
anggota magang redaktur pelaksana (biasa disebut M3) hingga pemimpin redaksi. Juga hadir jajaran redaktur
senior dan konsultan ahli. Sesekali kami mengundang ahli politik atau ekonomi.

Digelar tiap Rabu siang, dalam rapat itulah setiap argumen diuji. Yang salah juga bisa dikoreksi. Sebutlah
misalnya polemik soal gaji presiden. Dalam satu kesempatan, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan telah
tujuh tahun tak naik gaji. Pidato itu kemudian mengundang kritik. Presiden dianggap tak sensitif karena minta
naik gaji. Sejumlah politikus DPR membuat aksi mengumpulkan koin untuk presiden.

Dalam rapat opini, isu ini dibahas. Tak benar bahwa presiden minta naik gaji karena faktanya ia hanya
menyebutkan gajinya sudah tujuh tahun tak naik. Mengkritik presiden boleh-boleh saja. Tapi, soal aksi ”Koin
untuk Presiden”, Tempo menilai itu menghina institusi Kepala Negara.

Pilihan sikap ini tak membuat Tempo lunak kepada pemerintah. Dalam isu kekerasan kepada warga Ahmadiyah
di Cikeusik, Banten, posisi Tempo adalah menggugat pemerintah yang tak memberikan perlindungan kepada
kelompok minoritas itu—sesuatu yang sesungguhnya diamanatkan konstitusi.

Dalam artikel Opini berjudul ”Ahmadiyah tanpa Negara”, majalah Tempo edisi 14-20 Februari 2011 menulis:
Pemerintah Yudhoyono tak boleh mengorbankan konstitusi demi kepentingan politik praktisnya. Selain menindak
tegas pelaku pembunuhan di Cikeusik, Presiden harus memastikan kabinetnya sanggup menjamin hak kaum
minoritas seperti Jemaat Ahmadiyah.

Tulisan itu ditutup dengan semacam rasa geram. Bila seorang presiden sudah tak sanggup menghormati
konstitusi negerinya, sekuat-kuatnya rakyat perlu mengupayakanimpeachment baginya.

5. Sekali Semaput, Sekali Mati Suri

PINTU lift terbuka. Entah, apakah ada denting bel elektronik sebelumnya. Fikri Jufri tak mengingat sedetail itu.
Kejadiannya sudah 29 tahun silam, saat ia masih menjadi Redaktur Pelaksana Tempo. Yang dia ingat dengan
pasti hingga kini adalah munculnya pria 58 tahun dari pintu yang terkuak: Ali Moertopo. Orang dengan
kekuasaan terbesar di Indonesia kala itu, setelah Presiden Soeharto tentunya. ”Eh, Fik, ada apa di sini?” tanya
Menteri Penerangan yang tentu saja akrab dengan para wartawan itu.
Di sini maksudnya adalah di Hotel Sanur Beach, Bali. Mereka memang kebetulan bertemu di depan lift, tapi Fikri
sebenarnya sengaja mengejar sang menteri ke Bali. Ia dengar, setelah berkunjung ke sejumlah daerah di
Indonesia bagian timur, Moertopo singgah di Bali sealam beberapa hari. Fikri pun mengejarnya ke sana, tapi
bukan untuk wawancara. Wawancara apa, wong Tempo sudah tak lagi terbit. Surat izinnya dicabut karena
memberitakan kerusuhan saat kampanye Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, 18 Maret 1982.

Moertopo, yang mencabut surat izit terbit, tentu saja tahu itu. Karena itu, dia bertanya untuk apa Fikri di Bali.
Sebenarnya dia pun tahu kenapa orang Tempo ada di sana untuk menemuinya. Dia bertanya hanya untuk
memastikan. ”Saya mau nututi Pak Ali,” jawab Fikri. ”Urusan apa?” tanya Ali Moertopo lagi. ”Ya, urusan
pembredelan,” jawab Fikri. Lalu, dengan nada tinggi Moertopo menjawab: ”Bukan tempatnya di sini!”

Keesokan harinya, saat akan check out dari hotel, Ali Moertopo mengajak Fikri bicara. ”Tunggu dulu, Fik.
Mengenai Tempo, banyak sekali yang ingin membunuhnya. Saya bilang tidak, itu masih anak-anak buah saya,”
kata Moertopo. Fikri diam saja, dia tahu ini hanya teknik retorika sang menteri. ”At the most two months from
now, Tempo terbit lagi.”

Kurang dari dua bulan, Tempo akhirnya benar-benar terbit kembali. ”Teror” itu tak membuat awak Tempo kapok
melaporkan berita-berita yang mengkritik pemerintah. ”Setelah itu, tetap kritik seperti biasa,” kata Fikri.

Mendapat tekanan dari pemerintah sudah biasa didapat Tempo sejak terbit pertama kali pada 1971.
Maklum, Tempo berdiri di masa pemerintah Soeharto yang terkenal represif. ”Berkali-kali saya atau anggota
direksi lainnya dipanggil oleh Departemen Penerangan untuk menerima teguran. Tegurannya bisa lewat telepon
atau surat,” kata Harjoko Trisnadi, mantan Direktur Tempo. Tapi sebagian besar teguran tidak terlalu ditanggapi.
”Kadang Goenawan (Mohamad) malah tak membaca surat teguran dari Departemen Penerangan. Dia kasih
surat itu ke saya atau ke anggota direksi lain.”

Memang, ada cara-cara untuk menghindari tekanan itu. ”Misalnya, saya selalu bilang kepada reporter muda, 'lu
boleh tamparin tuh orang, tapi jangan colok matanya,” kata Fikri. Maksudnya, memberitakan sesuatu yang
mengkritik ketidakbaikan harus dilakukan, meski ada yang tersinggung. Tapi berita itu diturunkan bukan untuk
menyudutkan seseorang.

”Berita, bagi kami, bukanlah sejenis pelor. Ia tak ditembakkan untuk menggertak, atau untuk pamer, atau untuk
melumpuhkan satu pihak. Ia juga bukan sesuatu yang meledak-ledak,” demikian tertulis dalam Surat dari
Redaksi saat majalah ini terbit lagi pada 15 Mei 1982. ”Berita, bagi kami, adalah sesuatu yang ditawarkan, untuk
‘dibeli’, dalam arti harfiah ataupun kiasan. Kami ini ibarat pedagang keliling.”

”Pedagang” itu berhenti berkeliling 12 tahun kemudian. Pada Juni 1994, pemerintah benar-benar mencabut surat
izin usaha penerbitan pers Tempo dan dua media lainnya: Editor danDetik. Meski tidak dimaksudkan untuk
membuat celaka orang, tetap saja banyak pihak yang tersinggung. Berita tentang pembelian sejumlah kapal
perang eks Jerman Timur yang kelewat mahal dianggap mengadu domba anak buah presiden.

Berbeda dengan pemberhentian sementara pada 1982, kali ini hampir tak ada harapan lagi untuk
menerbitkannya. Bambang Bujono sebagai Ketua Dewan Karyawan memang sempat mengusahakan penerbitan
kembali, tapi awak Tempo saat itu sungguh pesimistis. ”Kepada Dahlan Iskan (mantan wartawan Tempo,
Pemimpin Redaksi Jawa Pos), Harmoko (Menteri Penerangan saat itu) sudah bilang Tempo tak akan terbit lagi,”
kata Harjoko.

Sebenarnya ada sebuah tawaran agar Tempo bisa terbit lagi. Direktur Utama Tempo saat itu, Eric Samola,
diundang pengusaha Hashim Djojohadikusumo untuk bertemu di Lagoon Tower Hotel Hilton, Jakarta. Hashim
tampaknya dikirim oleh Prabowo Subianto—menantu presiden yang kemudian menjadi komandan pasukan
khusus. Ia datang dengan tawaran:Tempo bisa terbit kembali bila ia dan ”keluarga” diberi hak mengangkat dan
memberhentikan redaksi, dan bila ia dan ”keluarga” mendapatkan opsi pertama jika sahamTempo akan dijual.

Tawaran ini harus segera dijawab sebelum pukul 08.00 esok paginya. Waktu yang mepet karena pertemuan di
Hilton kelar setelah pukul 22.00. Untuk membicarakan tawaran itu, menjelang tengah malam,
Direksi Tempo bertemu di rumah Goenawan. Keputusan: tawaran Hashim Djojohadikusumo ditolak. Ya, kami
menolaknya, meski itu berarti kami menutup kemungkinan Tempo hidup lagi. Lewat tengah malam keputusan ini
kami sampaikan, dengan cara diplomatis, karena kami tentu saja ketakutan. Kami tahu Prabowo Subiantolah
yang mengutus Hashim dan kami menafsirkan kata ”keluarga” sebagai Keluarga Cendana.

Ada banyak ”pembangkangan sopan” yang kami lakukan, termasuk menolak pemberhentian Fikri sebagai
pemimpin redaksi setelah Goenawan Mohamad pada 1993 tak lagi duduk dalam jabatan itu. Fikri rupanya
dianggap bagian dari kegiatan ”anti-Soeharto”.

Sejak terbit kembali pada Oktober 1998, setelah Soeharto turun, kami sadar tekanan terhadap majalah ini tak
otomatis hilang. Wujud dan sumbernya saja yang mungkin berbeda. Tapi, satu hal yang kami tahu, majalah ini
tak akan menggantungkan lidahnya di mulut orang lain. Kami mungkin juga hanya pedagang keliling, tapi tak
akan menjual obat pencahar sebagai pil antidiare.

6. Menolak Mati

+ Kamu dari mana?


- Tempo Interaktif.
+ Ini apanya majalah Tempo?
- Masih saudaranya, Pak.
+ Ada izinnya enggak?

TAK mengantongi surat izin usaha penerbitan pers atau SIUPP,Tempo Interaktif dicap ilegal, terutama oleh
pemerintah dan militer. Ketika itu, pada 1996, SIUPP adalah harga mati bila ingin menerbitkan media. Untunglah,
aturan SIUPP tak menjangkau Internet.

Ali Nur Yasin, yang bergabung dengan Tempo Interaktif sejak 1996, punya cerita. Menurut Redaktur Ekonomi
dan BisnisKoran Tempo ini, pada 1996 hingga awal 1998, hanya segelintir orang pemerintahan yang bersedia
jadi narasumber. Mereka, antara lain, Kuntoro Mangkusubroto, yang saat itu menjabat Direktur Jenderal
Pertambangan, dan Menteri Negara Kependudukan Haryono Suyono. ”Mereka yang umumnya melek Internet,”
katanya.

Yang lucu, seorang petinggi kepolisian sempat menyuruh anak buahnya melacak Tempo Interaktif terkait dengan
permohonan wawancara yang diajukan. Ada juga seorang petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
yang baru bersedia diwawancarai setelah Soeharto jatuh pada 1998. Sebab, orang tahu Tempo
Interaktif memang bukan sekadar produk berita dunia maya.

Nah, orang yang paling berjasa adalah mendiang Yusril Djalinus—salah seorang pendiriTempo dan mantan
Direktur PT Tempo Inti Media. Menurut Goenawan Mohamad, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, saat
semua takut, Yusril mengajarkan tidak tunduk. ”Menunjukkan Tempo tidak mati meski dibredel,” katanya suatu
kali.

Semula, Yusril berniat memasyarakatkan koleksi Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) yang tersisa dari
pembredelan pada 1994. PDAT memang sudah menerbitkan, antara lain, buku panduan masuk perguruan tinggi
dan berbagai artikel riset di majalah Tempo. Saat itu PDAT juga tengah merencanakan penerbitan buku Apa &
Siapa Tokoh Indonesia.

Koleksi PDAT itu: ribuan buku, koleksi artikel majalah Tempo dari 1971 hingga 1994, dan sekitar tiga juta foto, tak
lagi tersimpan di gedung Tempo di Kuningan yang jembar. Setelah dibredel, PT Grafiti Pers, yang
menaungi Tempo, membeli sebuah rumah toko di Jalan Proklamasi 72 pada awal 1995 untuk menyelamatkan isi
perpustakaan tersebut—sebelum kemudian membeli tiga ruko yang berjejer di sampingnya dan menjebol dinding
penyekatnya.

Maka, pada akhir 1995, di kantor baru Tempo yang sempit itu berkumpullah empat orang. Selain Yusril, yang
saat itu Direktur PT Grafiti, ada Redaktur Pelaksana Majalah TempoBambang Bujono, desainer senior S. Prinka,
dan Saiful B. Ridwan, lulusan University of Nottingham, Inggris, yang menguasai Internet. Ketika itu Internet
masih langka, tapi cukup membetot perhatian mereka. Maka diputuskan mengunggah koleksi perpustakaan
Tempo di Internet.

Soalnya kemudian adalah menjaga kebaruan data perpustakaan yang berhenti pada 1994. Semua putar otak.
Jawabnya, ”Koleksi perpustakaan yang diunggah ada beritanya,” kata Toriq Hadad, Kepala Pemberitaan
Korporat PT Tempo, mengingat-ingat percakapan ketika itu. ”Ini seperti menerbitkan Tempo kembali,” seru Yusril
saat itu.

Toriq, yang selepas Tempo dibredel aktif di Institut Studi Arus Informasi, diminta Yusril mengepalai Tempo
Interaktif. Toriq setuju, tapi persoalan lain muncul: tak ada awak redaksi. Semua personel Tempo telah tersebar.
Tapi di PDAT saat itu ada dua ”bekas” wartawan: Hadriani Pudjiarti dari tabloid Detik, yang juga korban
pembredelan, dan Suwardi, mantan wartawan majalah ekonomi Prospek. Jadilah mereka berdua reporter
pertama Tempo Interaktif. Bambang Bujono sudah lebih dulu bergabung.

Nama Tempo Interaktif dipilih untuk menunjukkan Tempo ada di Internet. ”Enak dibaca dan perlu” tetap dipasang
dengan modifikasi ”enak diklik dan perlu”—hasil celetukan S. Prinka dalam sebuah rapat. Server pertama Tempo
Interaktif sudah dititipkan di Idola, penyedia jasa Internet di Jakarta.

Lalu berita apa yang harus digarap? Menurut Toriq, kebetulan di sekitar awal Maret 1996 itu isu mobil nasional
ramai dibicarakan. Tempo Interaktif pun menurunkan artikel dengan topik tersebut. Pada 6 Maret 1996, Tempo
Interaktif tercatat menerbitkan hasil liputan perdananya yang berjudul ”Mengapa Timor, Mengapa Tommy?”

Setelah tulisan diunggah, tak diduga sambutan pembaca meriah. Redaksi kebanjiran surat elektronik dari
pembaca. Artikel pertama tersebut dianggap menggambarkan proyek mobil nasional yang kontroversial itu
dengan gamblang. Melihat respons pembaca, redaksi lantas memutuskan menurunkan artikel setiap pekan.

Berapa banyak pembaca Tempo Interaktif ketika itu? Setahun setelah berdiri, saban hari tercatat sekitar 1.500
orang membuka situs ini atau rata-rata 40-50 ribu per bulan. Ketika itu belum banyak orang yang mengakses
Internet. Namun, masih ada tambahan pembaca, yaitu para mahasiswa yang mengunduh artikel di situs ini dan
mencetaknya. Konon, setiap pekan beredar sekitar 1.000 eksemplar ”Tempo Interaktif cetak” itu di Surabaya,
Malang, dan beberapa kota lain. Satu eksemplar dijual Rp 1.000. Tak hanya di Jawa Timur, di kota lain, seperti
Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta, ada juga yang mengedarkan edisi cetak ini.

Tempo Interaktif pun populer di kampus. Menjelang akhir 1996, lima aktivis pers kampus direkrut sebagai
reporter. Mereka adalah Ali Nur Yasin, Iwan Setiawan, Edi Budyarso, Mustafa Ismail, dan Nong Darol Mahmada.
Kecuali Mustafa yang kuliah di Aceh, sisanya berasal dari kampus di Jakarta. Setelah Nong keluar beberapa
bulan kemudian, Tempo Interaktif merekrut pegiat pers kampus dari Yogyakarta, Wenseslaus Manggut. Purwani
Diyah Prabandari, mantan wartawan Bernas, juga bergabung.

Ditambah Hadriani (Suwardi pindah ke harian Neraca), merekalah tulang punggung Tempo Interaktif. Pasukan ini
gigih mengejar berita. Dua hari setelah kerusuhan Tasikmalaya di pengujung 1996, Ali dan Nong terjun ke sana.
Hasilnya sebuah liputan lengkap. Mereka mewawancarai semua narasumber penting, mulai kiai sampai kepala
kepolisian resor, dari santri sampai komandan komando distrik militer. Hasil liputan mereka diterbitkan dalam
bentuk buku oleh Institut Studi Arus Informasi.

Kala lain, Prabandari dikirim ke Dili, meliput teror ”ninja”. Pertengahan 1998 itu Dili bagai kota mati di waktu
malam. Warga kota banyak yang mengungsi akibat memuncaknya perseteruan kelompok proreferendum dan
prointegrasi. Berangkat seorang diri dari Jakarta, Prabandari mewawancarai para pastor, Gubernur Abilio Jose
Soares, Komandan Komando Resor Militer Kolonel Tono Suratman, Kepala Kepolisian Daerah Kolonel Timbul
Silaen, sampai Mauhunu, pentolan Falintil.

Liputan-liputan tersebut diputuskan bukan oleh Toriq seorang, tapi lewat rapat perencanaan yang juga dihadiri
Yusril. ”Kami menerapkan model majalah Tempo,” ujar Toriq. Bahkan juga ada kelas evaluasi penulisan yang
berlangsung selepas rapat perencanaan pada Senin pekan berikutnya. Yusril, sang evaluator, menggelar
evaluasi dengan tajam tapi tetap kocak. Saat-saat evaluasi dengan Yusril inilah yang mengesankan, karena
selalu ada ikatan kekerabatan yang kental.

Yusril hanya sesekali menyunting tulisan. Toriq dan Wahyu Muryadi—yang selepas bredel bergabung ke Forum
Keadilan—jadi editor ”sapu jagat”. Berdua menyunting semua jenis laporan, dari isu politik sampai selebritas.
Veven Sp. Wardhana, penulis, sesekali mampir ke Proklamasi 72 untuk membantu pengeditan.

Beda benar dengan majalah Tempo, versi online ini hanya bermodalkan semangat. Tak aneh jika amunisi modal
pun kembang-kempis. Hadriani ingat, suatu siang Yusril mengumpulkan semua reporter di Proklamasi 72. Di
dalam ruangan sudah ada Goenawan Mohamad yang duduk tertunduk. Fikri Jufri mondar-mandir di ruangan
dengan wajah tegang. Toriq duduk mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. ”Kita sudah tak punya apa-
apa lagi, kecuali semangat,” kata Yusril.

Itulah waktu Tempo Interaktif hampir mati, tapi tak jadi.

7. Ketika Sahabat Harus Dikritik

CETHAK-cethok-cethak-cethok, grrredek…. Lelaki berperawakan tambun itu tampak asyik duduk di salah satu
meja redaksi yang berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, pada suatu Jumat. Pria berkacamata minus—
saking tebalnya sampai kayak stoples—itu sedang asyik memencet-mencet tombol mesin ketik di meja Syu’bah
Asa, redaktur kolom majalah Tempo pada 1970-an.

Tak lama berselang, si empunya meja, Syu’bah, datang dari salat Jumat di Masjid Istiqlal. Ia langsung
menghampiri lelaki yang di kalangan awak redaksi kala itu akrab dipanggil Cak Dur ini. Syu’bah dan
Abdurrahman Wahid, nama lengkap Cak Dur, yang oleh kalangan luas kerap disapa Gus Dur, berbincang-
bincang sebentar. Lalu Syu’bah meninggalkan mejanya dengan senyum terkembang.

Bambang Bujono, salah satu redaktur di Majalah Tempo saat itu, bertanya, ”Mas, kenapa Anda senyam-senyum
dari tadi?” Sambil menundukkan kepala, Syu’bah berbisik, ”Dia (Gus Dur) kelihatannya terlalu asyik mengetik
kolom sampai lupa tidak Jumatan.” ”Mana mungkin,” kata Bambang Bujono, yang biasa disapa Bambu,
”Bukankah dia kemari justru kalau hendak Jumatan? Kolomnya saja sudah hampir selesai.”

Begitulah Gus Dur. Kala itu, tahun 1977-an, Tempo seakan menjadi tempatnya ngantor.Maklum, saat itu ia belum
punya pekerjaan tetap. Ia bisa datang kapan saja kalau dia mau. Entah untuk urusan mengetik artikel, entah
sekadar ngobrol. Dari tempat tinggalnya di Ciganjur, Jakarta Selatan, ia biasanya naik bus ke kantor Tempo yang
ada di Proyek Senen itu. ”Ia datang langsung mencari meja yang kosong,” kata Fikri Jufri, Redaktur Senior
Tempo. ”Tapi paling sering dia duduk di meja saya.”

Thak-thik-thuk, paling lama dua jam kelar si Gus mengetik naskah kolomnya. Jika Syu’bah ada di kantor, tulisan
langsung disodorkan. Jika tak ada, Gus Dur langsung meletakkan tulisannya di meja Syu’bah. Paling-paling, kata
Bambang Bujono, jika hendak pulang, ia selalu berpesan kepada orang yang ada, ”Tolong bilangin Mas Syu’bah,
saya menulis kolom.” Lalu, wuss, ia kabur entah ke mana.

Gaya kehadiran Gus Dur di kantor kami mulai berubah pada 1982. Sementara biasanya ia kabur setelah
menyodorkan tulisan, kali ini tidak. Kok bisa? Begini kisahnya. Saat itu Tempomenerbitkan majalah Zaman.
Kebetulan kantornya bersebelahan dengan kantor kami, masih di Proyek Senen. Kebetulan juga istrinya, Sinta
Nuriyah, menjadi salah satu redaktur di majalah itu. Klop.

Sejak saat itu, Gus Dur punya pekerjaan tetap: menjemput istrinya. Jadi, sambil mengisi waktu longgarnya
hampir setiap hari, ia pasti nongkrong di kantor Tempo. Sambil menunggu sang istri selesai bekerja, ia mengetik
dan kadang mengajak diskusi. Jika sudah kelar mengetik, kata Bambang Bujono, ia tak langsung kabur, tapi,
”Menengok kerja istri dan minta uang bus.”

Dalam pengantar buku Melawan Melalui Lelucon (2000), Syu’bah mengisahkan betapa Gus Dur adalah penulis
kolom di Majalah Tempo yang amat produktif. Satu naskah yang dia setorkan belum dimuat, eh, sudah datang
tulisan lain. Kadang-kadang juga—namanya kadang-kadang artinya juga rada jarang—ia ngijon, minta honor
tulisannya dibayar duluan.

Tulisan pertama Gus Dur yang dimuat di Majalah Tempo bukanlah diproduksi di kantor Proyek Senen, melainkan
dia tulis ketika berada di Jombang. Judulnya ”Tebasan di Pinggiran Kota”. Tulisan ini dimuat di
majalah Tempo edisi 23/05, tanggal 9 Agustus 1975. Saking produktifnya, Pemimpin Redaksi Goenawan
Mohamad harus menyediakan meja khusus buat kolumnis itu untuk menulis. Mungkin ini dimaksudkan agar Gus
Dur tidak ”mengkudeta” meja milik redaksi.

Tulisan Gus Dur tak hanya bisa ditemui di Tempo, tapi juga di pelbagai media lain. Di majalah Tempo, sepanjang
1975 hingga 1992, ada 105 tulisan lebih karya dia. Kami lalu membukukan kolom Gus Dur ini pada tahun 2000
dengan judul Melawan Melalui Lelucon. Buku ini lantas diluncurkan secara resmi di kawasan Casablanca,
dihadiri Gus Dur, yang kala itu menjadi Presiden RI.

Nama Gus Dur semakin moncer. Begitu juga gagasan dan pemikirannya, baik yang dilontarkan melalui tulisan
maupun dalam ceramah-ceramahnya. Dari tahun ke tahun, ia pun menduduki sejumlah jabatan penting, mulai
Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta (1982-1985) hingga Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (selama tiga periode, sejak 1984 sampai 1999).

Meski sibuk, bukan berarti ia melupakan dunia tulis-menulis. Sewaktu menjabat Ketua Umum PBNU, lelaki
kelahiran Jombang, 4 Agustus 1940, ini masih kerap mengirimkan tulisannya untuk Tempo. Bedanya, dulu,
sebelum ia punya banyak jabatan, artikelnya banyak ditulis di kantor Tempo sambil menjemput istrinya pulang,
sedangkan kali ini ia menulis dari luar. Bisa di kantor PBNU di Kramat Raya atau di rumahnya, Ciganjur. Sesekali
ia masih mampir ke kantor Proyek Senen itu untuk berdiskusi.

Hubungan dekat ini tak membuat kami selalu harus sejalan dengan Gus Dur, yang akhirnya dilantik menjadi
Presiden RI ke-4 pada 20 Oktober 1999.

Sejak awal menjabat, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan Dewan Perwakilan Rakyat nyaris tak
pernah mulus. Reaksi keras diberikan DPR saat Gus Dur memecat Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Jusuf Kalla dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi, April 2000. Hubungan Gus Dur
dengan Golkar dan PDI Perjuangan retak.

Puncaknya saat isu penggunaan dana Yanatera, yayasan yang bernaung di bawah Badan Urusan Logistik
(Bulog), menerpa Istana. Dalam skandal hilangnya dana Bulog US$ 4 juta ini—dikenal dengan Buloggate—ramai
diberitakan bahwa orang-orang dekat Presiden Abdurrahman ikut menikmati aliran dananya. Isu ini kemudian
menjadi bola panas di DPR, yang kemudian dipakai sebagai pemicu untuk merontokkan kredibilitas Presiden
Abdurrahman.

Persahabatan adalah satu sisi yang tetap kudu dijaga, tapi di saat bersamaan kami juga wajib menegakkan
sikap profesional. Fungsi kontrol harus tetap dijalankan dengan cara mengkritik kepemimpinan Gus Dur ini demi
kepentingan publik. Kami lantas menuliskannya dalam tiga laporan utama majalah Tempo: ”Sudahlah, Gus” (14-
20 Mei 2001), ”Main Api dengan Dekrit” (28 Mei-3 Juni 2001), dan ”Pengakuan Sapuan dan Keterlibatan Istana”
(29 Mei-4 Juni 2001).

Kami juga mengkritik sikap Presiden Abdurrahman yang saat terjepit berbagai tekanan langsung mengeluarkan
jurus pamungkas: dekrit presiden, yang intinya membubarkan DPR, sekaligus membubarkan Partai Golkar.

Mungkin karena mengenal karakter independen Tempo itu, Gus Dur tak pernah mempengaruhi kami, walau
sekadar mengimbau melalui kontak telepon. ”Kalau dikritik, setajam apa pun kritik itu, Gus Dur rileks saja
menanggapi. Tak terpikir sedikit pun untuk menggugat ke pengadilan, apalagi membredel media,” ujar Wahyu
Muryadi. Wahyu, kini Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, ketika menjadi redaktur pernah diminta Gus Dur—
kemudian juga kami tugasi untuk—membantunya sebagai Kepala Biro Protokol Istana Presiden.

Menurut salah seorang juru bicara Presiden Abdurrahman saat itu, Yahya Tsaquf, saban pagi ada tradisi menarik
kala berada di Istana. Biasanya, seusai jalan kaki mengelilingi Istana Negara, ajudan dan beberapa anggota
stafnya, termasuk Yahya dan Wahyu, kerap diminta membacakan isi media massa—termasuk Tempo. Tak ada
sikap gusar Gus Dur terhadap media yang mengkritiknya. Paling-paling dia berujar, ”Enggak usah terlalu dipikir,
mungkin mereka enggak paham,” kata Yahya menirukan ucapan Gus Dur. ”Gitu aja kok repot….”

TIM MAJALAH TEMPO

Anda mungkin juga menyukai