Anda di halaman 1dari 16

Potensi Pengembangan Agroindustri Berbasis Kedelai untuk Pemberdayaan Ekonomi

Masyarakat di Kabupaten Majalengka


Damar Wiraputra, Parlan, Siti Nurmilah
Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agroindustrial Technology, Universitas
Padjadjaran, Sumedang 45363, Indonesia
Abstrak

Setiap pemerintah daerah diberi kewenangan dalam membangun kesejahteraan


daerahnya. Sehingga setiap daerah harus mengetahui potensi sumberdaya lokal, mengelola dan
memanfaatkan potensi tersebut. Salah satu potensi sumber daya lokal yang perlu diperhatikan
adalah sektor pertanian. Pengembangan agroindustri komoditi kedelai adalah salah satu upaya
dalam meningkatkan kinerja sektor pertanian untuk menyumbang kemajuan perekonomian
wilayah. Penelitian bertujuan untuk menentukan potensi pengembangan sentra agroindustri
komoditi unggulan di Kabupaten Majalengka, mengidentifikasi keunggulan komparatif-
kompetitif komoditas unggulan pertanian berdasarkan luas panen dan merumuskan
pengembangan sentra agroindustri komoditas kedelai untuk menjadi sentra industri di Kabupaten
Majalengka. Penelitian dilakukan pada periode 2013 - 2018 dengan beberapa metode analisis
yang digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ) untuk menentukan daerah yang memiliki
komoditas kedelai unggulan, analisa Differential Shift (DS) untuk tingkat kompetitif suatu
komoditas tertentu dibandingkan dengan total produksi komoditas dalam suatu wilayah, Metode
Perbandingan Eksponensial (MPE) untuk menentukan komoditas unggulan terpilih oleh
pengambil kebijakan dan Analisa SWOT untuk melihat sejauh mana usaha industri dapat
bersaing dengan jenis usaha agroindustri lainnya. Hasil penelitian Analisa LQ menunjukkan
kedelai unggul di 8 kecamatan, jagung unggul di 7 kecamatan, kacang tanah unggul di 6
kecamatan, padi ladang unggul di 5 kecamatan dan padi sawah unggul di 6 kecamatan. Analisa
DS menunjukkan kedelai unggul di 7 kecamatan, jagung unggul di 5 kecamatan, kacang tanah
unggul di 5 kecamatan, padi ladang unggul di 5 kecamatan dan padi sawah unggul di 3
kecamatan. Selain itu,usaha tempe merupakan produk unggulan di Kabupaten Majalengka
dengan bobot total MPE sebesar 9.957806.
Kata Kunci: Kedelai, Kabupaten Majalengka, agroindustri, unggulan

1. Pendahuluan
Pelaksanaan tugas bagi pemerintah daerah untuk membangun daerah melalui
pembangunan industri dengan produk yang unggul dari daerahnya sesuai dengan amanat
dalam (Undang-undang nomor 32 tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah, memberikan
kewenangan bagi pemerintah daerah dalam memilih produk unggulannya dan membangun
kesejahteraan daerahnya sesuai dengan potensi dan keunggulan yang dimiliki. Menurut
(Tarliah, T & Kurniasih, 2016), diperlukan keselarasan arah pembangunan industri
didalamnya antara pemerintah dari daerah dan kabupaten/kota dengan pemerintahan di pusat.
Setiap daerah memiliki keunikannya masing-masing, juga hal ekonominya, demografi SDM,
infrastruktur, budayanya,, maupun social penduduknya yang perlu dikaji secara empiris
untuk menghasilkan keunggulan untuk memajukan daerahnya serta kesejahteraan
masyarakatnya.
Kabupaten Majalengka memiliki basis ekonomi salah satunya dari sektor pertanian.
Sebagai gambaran pada PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Majalengka
bahwa sektor industri mempunyai peranan sebesar 15,435% dengan laju pertumbuhan
sebesar 13,4%. Kabupaten Majalengka merupakan daerah potensi pertanian sehingga perlu
pengembangan industri diperhatikan menuju arah industri agro dengan hal itu keseimbangan
pembangunan industri dan pertanian dapat berjalan secara mantap. Nilai tertinggi PDRB
Kabupaten Majalengka pada tahun 2018 dicapai oleh lapangan usaha dari sektor pertanian,
kehutanan dan perikanan sebesar 23,63%, sedangkan posisi kedua dari sektor industri
pengolahan sebesar 17,17% (BPS, 2019). Menurut (Sulistyowati, 2016) untuk produk
supaya memiliki daya saing maka perlu diberikan nilai tambah. Sehingga dalam mendukung
komoditas pertanian primer menjadi produk olahan, produk akhir maupun produk antara baik
dan memiliki nilai tambah salah satnya melalui agroindustri
Kabupaten Majalengka memiliki hasil pertanian yang beragam berdasar dari aspek luas
tanam, luas panen, aspek produksi dan aspek jumlah pohon. Tanaman bahan makanan yang
unggul dari aspek luas tanam adalah jagung, kacang hijau dan kembang kol. Adapun
komoditas yang unggul dari aspek luas panen adalah jagung dan kacang hijau, komoditas
yang unggul dari aspek produksi adalah jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah,
alpukat, jambu biji, jeruk, mangga, melinjo dan petai, sedangkan komoditas yang unggul dari
aspek jumlah pohon adalah alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, pepaya,
sawo, melinjo, petai, sirsak dan sukun.(Tarliah, T & Kurniasih, 2016)
Sektor pertanian yang menjadi basis agroindustri tidak bisa lepas dari peran komoditas
unggulan pertanian. Berdasar dari hal itu perlu melihat dari keungggulan komparatif-
kompettitif suatu komoditi dengan sektor ekonomi dan penilaiaan masyarakat tentang
komoditas yang menjadi diunggulkan itu dapat diproduksi. Komoditi yang diunggulkan pada
Kabupaten Majalengka salah satunya adalah kedelai(Hidayat & Sutandi, A & Tjahjono,
2014).
Produk kedelai sebagai hasil pertanian Kabupaten Majalengka memiliki potensi dan
berperan untuk menumbuhkan industri kecil menengah bahkan berpeluang untuk mendukung
sebagai komoditas ekspor. Tumbuh dan kembangnya industri pangan berbahan baku dari
kedelai membuka peluang kesempatan kerja dalam sistem produksi, dimulai dari budidaya
tanam, panen, hingga ke pengolahan pasca panen, distribusi, serta pemasaran. (Balitbangtan,
2007).
Kedelai memiliki komposisi utama yang bermanfaat untuk menjadi dasar pengembangan
produk. Produk turunan yang dihasilkan dilakukan melalui tiga cara, yaitu pengolahan
kering, perebusan dan pengolahan basah. Pengolahan kering dihasilkan pakan, tepung dan
minyak. Pengolahan perebusan berupa produk susu, tahu, tempe dan dadih. Pengolahan
basah bisa menghasilkan produk ekstruksi. Produk itu berupa produk antara yang masih
dapat diolah atau produk jadi seperti minyak kedelai, biodiesel (Tajuddin, 2017)
Produk olahan dari kedelai yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai
agroindustri yaitu produk tempe. Dalam studi (Harisudin, 2013) menyimpulkan bahwa
pengembangan agroindustri (khususnya tempe) adalah salah satu alternatif dalam
meningkatkan kinerja sektor pertanian. Berdasarkan analisis matriks IE, maka posisi bersaing
agroindustri tempe berada pada kuadran V (strategi pengembangan produk dan penetrasi
pasar). Agroindustri tempe menempati urutan pertama sebagai agroindustri unggulan di
Kabupaten Bojonegoro. Studi yang dilakukan oleh (Sulistianengsih, D., Rochdiani &
Ramdan, 2011), tempe merupakan produk pangan protein tinggi yang harga per satuan lebih
murah, pembuatan sederhana dan mudah. Dalam risetnya disimpulkan bahwa memandang
dari pendapatan yang diperoleh dan R/C pada agroindustri produk tempe yang cukup
menguntungkan, sehinga jenis agroindustri tersebut perlu dikembangkan terutama dalam
bentuk industri yang dapat menciptakan kesempatan kerja di pedesaan. Maka melihat potensi
tersebut perlu dilakukan identifikasi dan Analisa terhadap pengembangan agroindustri
berbasis kedelai menjadi tempe di Kabupaten Majalengka sehingga memungkinkan
berkembangnya industri pengolahan tempe sebagai penggerak ekonomi pedesaan.

2. Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari BPS Kabupaten
Majalengka berupa data luas panen dan produksi komoditas tanaman pangan tahun 2012-
2013 dan tahun 2018-2019.

3. Teknik Analisis Data


Location Quotient (LQ)
LQ digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu komoditas. Hendayana (2003)
menggunakan metode LQ dalam penentuan komoditas unggulan nasional. Hasil perhitungan
menunjukkan indikator pemusatan aktivitas perekonomian. Persamaan dari LQ ini adalah
(Blakely dan Leigh, 2010):
Xij/ Xi
LQij=
Xj /x
Dimana:
Xij: luas panen komoditas tertentu (i) di suatu kabupaten (j)
Xi: total luas panen (i) komoditas tertentu di provinsi

Differential Shift dalam Shift Share Analysis


Komponen differential shift digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif suatu
komoditas. Hasil perhitungan menunjukkan indikator kemampuan persaingan. Persamaan
adalah sebagai berikut (Blakely dan Leigh, 2010):
Xij(t 1) Xi (t 1)
DSij= −
Xj (t 0) Xi (t 0)
dimana:
Xij : produksi komoditas tertentu (i) di suatu kabupaten (j)
Xi : total produksi komoditas (i) tertentu di provinsi
t1 : titik tahun akhir
t0 : titik tahun awal

Metode Perbandingan Eksponensial


Berdasarkan kriteria-kriteria komoditas unggulan yang telah dibobot melalui penilaian LQ dan
DS, akan ditentukan komoditas apa saja yang terpilih oleh para pengambil kebijakan
pembangunan sebagai komoditas unggulan di daerah setempat. Ada salah satu pertimbangan
mengapa dalam tahap ini hanya melibatkan pengambil kebijakan saja. Menurut (Ahdan,
Mappatoba, 2015), hal ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh apakah mereka dapat
memahami dan mengetahui dengan baik mengenai potensi wilayahnya sendiri.
Untuk mengolah persepsi tersebut telah disiapkan seperangkat kuesioner, dimana pada setiap
komoditas unggulan yang disampaikan mereka akan memberi angka 1 sampai 5 dalam setiap
kriteria yang disiapkan pada kuesioner tersebut.
1 = menunjukan penting
2 = menunjukan agak penting
3 = menunjukan penting
4= menunjukan sangat penting
5= menunjukan sangat penting sekali
Data yang dikumpulkan dari hasil survei persepsi selanjutnya akan diolah dengan MPE (Metode
Perbandingan Eksponensial) untuk menghitung skor pada setiap komoditas yang diajukan oleh
seluruh informan, dimana komoditas-komoditas yang memperoleh skor paling tinggi dinyatakan
sebagai Komoditas Unggulan Terpilih oleh pengambil kebijakan (Ahdan, Mappatoba, 2015)
(Wulandari, 2018).

m TKKj
Total Nilai = Ʃ (Rkij)
J=1
Rkij=derajat kepentingan relatif kriteria komoditas unggulan rakyat ke-i pada keputusan ke-i,
yang dinyatakan dengan skala ordinal (1,2,3)
TKKj=derajat kepentingan kriteria keputusan, yang dinyatakan dengan bobot (diperoleh dari
AHP)
n=jumlah pilihan keputusan
m= jumlah kriteria keputusan
4. Hasil dan Pembahasan
Analisis Basis Tanaman Pangan
Location Quotient (LQ)
Metode Location Quotient adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu
sektor/industri disuatu daerah terhadap peranan suatu sektor/industri tersebut secara nasional
atau di suatu kabupaten terhadap peranan suatu sektor/industri secara regional atau tingkat
provinsi. Untuk mengetahui komoditi unggulan pertanian daerah Kabupaten Majalengka.
Indeks LQ (location quetient) yaitu suatu indikator sederhana yang dapat menunjukan
kekuatan atau besar kecilnya peranan suatu sektor dalam suatu daerah dibandingkan dengan
daerah di atasnya. Hasil perhitungan analisis LQ pada tahun 2013-2018 menunjukkan bahwa
keunggulan komparatif komoditas tanaman kedelai memiliki sebaran paling luas
dibandingkan komoditas tanaman pangan lain dan diusahakan petani merata di seluruh
kota/kabupaten (Tabel 1)

Tabel 1. Nilai rataan koefisien LQ komoditas tanaman pangan berbasis luas panen rata-rata
kabupaten/kota di Kabupaten Majalengka Periode Tahun 2013-2018

Hal ini disebabkan kedelai merupakan tanaman cukup banyak dikonsumsi masyarakat di
Indonesia. Nilai LQ tertinggi terdapat pada komoditas padi ladang di Kertajati (12)
disebabkan luasan di kota tersebut besar sedangkan pembandingnya yaitu luas keseluruhan
kabupaten relatif kecil. Hal ini dapat disebabkan permintaan padi ladang dan konsumsi padi
di Kertajati tinggi.
Melihat dari kisaran nilainya, range nilai koefisien LQ terdapat komoditi yang memiliki nilai
LQ relatif tinggi, padahal secara empiris total total lahan dan total produksi relatif kecil dan
tidak dominan dibandingkan dengan komoditi lainnya. Hal ini bisa dijelaskan dengan
mengacu pada pengertian Location Quetient (LQ) sendiri yang merupakan pembagian antara
share terhadap share. Nilai LQ yang tinggi bukan mencerminkan produksi yang besar, akan
tetapi merupakan cerminan nilai relatif terhadap share komoditas dalam kabupaten.(Ahdan,
Mappatoba, 2015)
Differential Shift (DS)
Hasil perhitungan komponen DS pada tahun 2013 dan 2018 masing-masing kecamatan
menunjukkan bahwa komoditas kedelai memiliki tingkat persaingan paling tinggi untuk
dikembangkan dibandingkan komoditas tanaman pangan lain disebabkan pertumbuhan
produksi tanaman kedelai lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan produksi komoditas
tanaman pangan lainnya di Kabupaten Majalengka (Tabel 2). Hal demikian terjadi
dikarenakan banyak luas lahan di setiap Kecamatan mampu memproduksi tanaman kedelai
dibanding tanaman lain.

Tabel 2. Hasil analisis Differential Shift komoditas tanaman pangan berbasis produksi kecamatan
di Kabupaten Majalengka periode tahun 2013-2018
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) memiliki kelebihan yang menguntungkan dalam
mengurangi bias yang mengkin terjadi dalam analisis. Nilai skor yang menggambarkan
urutan prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini mengakibatkan urutan prioritas
alternatif keputusan lebih nyata. Pada metode perbandingan eksponensial ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan yaitu; menyusun alternatif-alternatif berbagai macam
keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan yang
penting untuk dievaluasi, menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria-kriteria
keputusan atau berbagai pertimbangan kriteria, melakukan penilaian terhadap semua
alternatif pada setiap kriteria, menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan
menentukan urutan prioritas keputusan berdasarkann pada skor atau nilai total masing-
masing alternative.
Penentuan tingkat kepentingan kriteria didasarkan pada 8 kriteria normatif yang dijadikan
sebagai tolak ukur penentuan prioritas produk turunan dari komoditas unggulan. Ditinjau dari
nilai bobot alternatif (skor MPE) kemudian dilakukan ranking untuk menetapkan produk
mana yang dianggap paling unggul dimana produk tempe menjadi komoditi yang paling
utama untuk diunggulkan berdasarkan penilaian pengambil kebijakan dan pakar dengan nilai
bobot alternatif 9,957806321 Menyusul tahu yang mendapat nilai bobot alternatif sebesar
9,958473416. Komoditas kecap menjadi unggulan ketiga dengan nilai 9,959934341.
Selanjutnya pakan ternak dengan nilai sebesar 9,896665041, Minyak Kedelai 9,887755658,
dan terakhir adalah Susu kedelai dengan nilai sebesar 9,826257467.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Penentuan Produk Olahan Kedelai Berdasarkan Metode MPE
Kriteria Prioritas Bobot Urutan Prioritas
Tempe 9,957806321 1
Tahu 9,958473416 2
Kecap 9,959934341 3
Pakan Ternak 9,896665041 4
Minyak Kedelai 9,887755658 5
Susu Kedelai 9,826257467 6
Penentuan ranking komoditi unggulan dipengaruhi oleh besaran nilai bobot MPE yang
dihasilkan daripada 8 kriteria dan hasil pembobotan pilihan responden. Menurut (Tajuddin,
2017) potensi lahan dan kesesuaian iklim untuk penanaman menjadi faktor penghambat
perluasan dan peningkatan produksi. Ketergantungan masyarakat terhadap produk turunan
kedelai, terutama tahu dan tempe, menjadikan kedelai sebagai bagian dari bahan pangan pokok.
Oleh karena itu, orientasi pertambahan produksi kedelai seharusnya tidak dibatasi pada
swasembada untuk memenuhi permintaan saat ini, terutama bahan baku tahu dan tempe, tetapi
lebih dari itu untuk penguatan ekonomi, industri dan kemandirian pangan.

Analisis SWOT Usaha Tempe


Untuk menganalisis profil suatu perusahaan akan digunakan pendekatan yaitu analisis
SWOT. SWOT singkatan dari Strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunity
(Peluang), Threat (Tantangan). Analisis SWOT berisi evaluasi faktor internal suatu perusahaan
berupa kekuatan dan kelemahannya dan faktor eksternal berupa peluang dan tantangan. Strategi
yang dipilih harus sesuai dan cocok dengan kapabilitas internal perusahaan dengan situasi
eksternalnya. Analisis SWOT hanya bermanfaat dilakukan apabila telah jelas ditentukan dalam
bisnis apa perusahaan beroperasi, dan ke arah mana perusahaan menuju ke masa depan serta
ukuran apa saja yang digunakan untuk menilai keberhasilan organisasi/manajemen dalam
menjalankan misinya dan mewujudkan visinya. Hasil analisis akan memetakan posisi perusahaan
terhadap lingkungannya dan menyediakan pilihan strategi umum yang sesuai, serta dijadikan
dasar dalam menetapkan sasaran organisasi selama 3-5 tahun ke depan untuk memenuhi
kebutuhan dan harapan para stakeholder (Priyambodo. 2008).
Menurut Rangkuti (2009), analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis SWOT membandingkan antara faktor
eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan
(strengths) dan kelemahan (weakness). Sebelum melakukan analisis, maka diperlukan tahap
pengumpulan data yang terdiri atas tiga model yaitu:

a. Matrik Faktor Strategi Internal


Sebelum membuat matriks faktor strategi internal, kita perlu mengetahui terlebih
dahulu cara-cara penentuan dalam membuat tabel IFAS.
- Susunlah dalam kolom 1 faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan).
- Beri rating masing-masing faktor dalam kolom 2 sesuai besar kecilnya pengaruh yang
ada pada faktor strategi internal, mulai dari nilai 4 (sangat baik), nilai 3 (baik), nilai 2
(cukup baik) dan nilai 1 (tidak baik) terhadap kekuatan nilai “rating” terhadap
kelemahan bersifat negatif, kebalikannya.
- Beri bobot untuk setiap faktor dari 0 sampai 1 pada kolom bobot (kolom 3). Bobot
ditentukan secara subyektif, berdasarkan pengaruh faktorfaktor tersebut terhadap
posisi strategis perusahaan.
- Kalikan rating pada kolom 2 dengan bobot pada kolom 3, untuk memperoleh
- Skoring pada kolom 4.
- Jumlah skoring (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi
perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan bagaimana perusahaan
tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategi internalnya. Hasil identifikasi faktor
kunci internal yang merupakan kekuatan dan kelemahan, pembobotan dan rating
dipindahkan ke tabel Matrik Faktor Strategi Internal (IFAS) untuk dijumlahkan dan
kemudian di perbandingkan antara total skor kekuatan dan kelemahan.

b. Matrik Faktor Strategi Eksternal


Sebelum membuat matrik faktor strategi eksternal, kita perlu mengetahui terlebih
dahulu cara-cara penentuan dalam membuat tabel EFAS.
- Susunlah dalam kolom 1 faktor-faktor eksternalnya (peluang dan ancaman).
- Beri rating dalam masing-masing faktor dalam kolom 2 sesuai besar kecilnya
pengaruh yang ada pada faktor strategi eksternal, mulai dari nilai 4 (sangat baik), nilai
3 (baik), nilai 2 (cukup baik) dan nilai 1 (tidak baik) terhadap kekuatan nilai “rating”
terhadap kelemahan bersifat negatif, kebalikannya.
- Beri bobot untuk setiap faktor dari 0 sampai 1 pada kolom bobot (kolom 3). Bobot
ditentukan secara subyektif, berdasarkan pengaruh faktorfaktor tersebut terhadap
posisi strategis perusahaan.
- Kalikan rating pada kolom 2 dengan bobot pada kolom 3, untuk memperolehskoring
pada kolom 4.
- Jumlah skoring (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi
perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan bagaimana perusahaan
tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategi eksternalnya.
Hasil identifikasi faktor kunci internal yang merupakan kekuatan dan kelemahan,
pembobotan dan rating dipindahkan ke tabel Matrik Faktor Strategi Eksternal (EFAS) untuk
dijumlahkan dan kemudian di perbandingkan antara total skor kekuatan dan kelemahan.

c. Matriks Posisi
Hasil analisis pada tabel matriks faktor strategi internal dan faktor strategi eksternal
dipetakan pada matriks posisi dengan cara sebagai berikut :
1. Sumbu horizontal (x) menunjukkan kekuatan dan kelemahan, sedangkan sumbu
vertical (y) menunjukkan peluang dan ancaman.
2. Posisi perusahaan ditentukan dengan hasil sebagai berikut :
- Kalau peluang lebih besar dari pada ancaman maka nilai y > 0 dan sebaliknya
kalau ancaman lebih besar dari pada peluang maka nilainya y < 0.
- Kalau kekuatan lebih besar daripada kelemahan maka nilai x > 0 dan sebaliknya
kalau kelemahan lebih besar daripada kekuatan maka nilainya x < 0.

Kuadran I: Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Perusahaan tersebut memiliki


peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus
diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif
(Growth oriented strategy). Kuadran II: Meskipun menghadapi berbagai ancaman,
perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan
adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara
strategi diversifikasi (produk/pasar). Kuadran III: Perusahaan menghadapi peluang pasar
yang sangat besar, tetapi dilain pihak, ia menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal.
Kondisi bisnis pada kuadran 3 ini mirip dengan Question Mark pada BCG matrik. Fokus
strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga
dapat merebut peluang pasar yang lebih baik. Kuadran IV: Ini merupakan situasi yang
sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai ancaman dan
kelemahan internal. Alat untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matrik
SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman
eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif stretegis seperti
yang dijelaskan dalam Tabel 1:
Tabel 1. Matrik
IFAS Strength (S) Weakness (W)
EFAS Tentukan 5-10 faktor- Tentukan 5-1- faktor-
faktor kekuatan internal faktor kelemahan
internal
Opportunities (O) Strategi SO: Ciptakan Strategi WO: Ciptakan
strategi yang strategi yang
menggunakan kekuatan meminimalkan
intuk memanfaatkan kelemahan untuk
peluang memanfaatkan peluang
Threats (T) Strategi ST: Ciptakan Strategi WT: Ciptakan
strategi yang strategi yang
menggunakan kekuatan meminimalkan
untuk mengatasi kelemahan dan
ancaman menghindari ancaman

Analisis Faktor Internal (Kekuatan dan Kelemahan) dan Faktor Eksternal


(Peluang dan Ancaman) pada Usaha Industri tempe
Prospek suatu usaha tidak terlepas dari pemahaman tentang lingkungan yang ada,
baik di dalam maupun di luar lingkungan usaha, karena pengaruh lingkungan tersebut
senantiasa berinteraksi. Berdasarkan peninjauan ke lapangan dan sesuai dengan beberapa
metode yang digunakan, untuk mengetahui faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan
faktor eksternal (peluang dan ancaman) pada usaha industri tempe.
a. Kekuatan (Strengths) pada usaha industry tempe
Produsen tempe memiliki kekuatan-kekuatan yang secara umum dimiliki oleh
pengusaha dalam menjalankan usahanya, adapun kekuatan-kekuatan tersebut antara lain:
1. Sejak dahulu tempe diminati oleh semua kalangan masyarakat.
2. Kualitas tempe terjamin.
3. Pengalaman dalam mengelola usaha tempe
4. Legalitas usaha berbentuk UKM
5. Ketersediaan bahan baku yang mudah didapatkan
b. Kelemahan (Weaknesses) pada usaha industri tempe di daerah penelitian
Kelemahan adalah yang menjadi penghalang bagi suatu usaha dalam
mengembangkan serta melaksanakan aktivitasnya yang mengganggu pencapaian laba yang
maksimum yang ingin diperoleh. Adapun kelemahan-kelemahan yang dimiliki produsen
tempe antara lain:
1. Permodalan usaha
2. Skill/kemampuan SDM yang masih rendah
3. Ketergantungan bahan baku
4. Peralatan yang masih sederhana.
5. Kemampuan berkompetisi dengan produk sejenis

c. Peluang (Opportunities) pada usaha industri tempe di daerah penelitian


Adapun peluang-peluang yang dimiliki produsen tempe di kota Medan antara lain:
1. Ketersediaan bahan baku selalu ada
2. Permintaan tempe tinggi.
3. Komitmen pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah
4. Adanya kemudahan perkreditan
5. Keterjaminan pasar.

d. Ancaman (Threats) pada usaha industrytempe di daerah penelitian


Adapun ancaman-ancaman terhadap produsen tempa di Kota Medan antara lain:
1. Harga bahan baku yang tidak tentu
2. Kompetitor dengan harga tempe lain
3. Selera konsumen yang mudah bosan sehingga akan mudah pindah langganan
4. Belum maksimalnya pelatihan dan pendampingan pengembangan usaha oleh
pemerintah setempat
5. Masih rendahnya penggunakaan peralatan produksi
STRENGTHS (S) WEAKNESS (W)
Internal
1. Ketersediaan modal 1. Ketergantungan untuk
yang cukup unutk selalu menggunakan
External menggunakan kedelai kedelai impor
impor 2. Menggunakan
2. Memiliki fasilitas fisik teknologi sederhana
yang cukup lengkap 3. Produk tempe mudah
3. Saluran pemasaran rusak
yang pendek 4. Skill SDM pengelola
4. Pengalaman dalam usaha dibawah rata-
usaha tempe rata
OPPORTUNITIES (O) Strategi SO: Strategi WO:
1. Trend produk tempe 1. Memperluas 1. Menjalin Kerjasama
meningkat pemasaran tempe dengan supplier dan
2. Permintaan produk (Kerjasama kemitraan, agen bahan baku
tempe pada saat distributor, pedagang lainnya
harga eceran, dll) 2. Menambah dan
ikan/daging/telur 2. Meniingkatkan menjaga sumber daya
meningkat kuantitas dan kualitas manusia dan fasilitas
3. Pemasaran yang luas produk tempe produksi
3. Mengelola sumber 3. Branding produk
daya manusia
(pelatihan dan
pendampingan)
THREATS (T) Strategi ST: Strategi WT:
1. Persaingan harga 1. Meningkatkan 1. Melakukan inovasi
dengan kedelai impor produksi tempe agar produk kedelai
2. Keterbatasan bahan harga produksi (diversifikasi)
baku dalam skala menurun 2. Memanfaatkan atau
besar 2. Mempertahankan mengolah limbah
3. Terlambatnya kualitas produk dan ampas menjadi
pembayaran dari harga jual pasar produk turunan
pedagang eceran 3. Meningkatkan 3. Mengoptimalkan
management sumber daya yang
pengeluaran tersedia.
(keuangan) dengan
baik dan benar

4. Kesimpulan
Penelitian dilakukan pada periode 2013 - 2018 dengan beberapa metode analisis yang
digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ) untuk menentukan daerah yang memiliki
komoditas kedelai unggulan, analisa Differential Shift (DS) untuk tingkat kompetitif suatu
komoditas tertentu dibandingkan dengan total produksi komoditas dalam suatu wilayah,
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) untuk menentukan komoditas unggulan terpilih
oleh pengambil kebijakan dan Analisa SWOT untuk melihat sejauh mana usaha industri
dapat bersaing dengan jenis usaha agroindustri lainnya. Hasil penelitian Analisa LQ
menunjukkan kedelai unggul di 8 kecamatan, jagung unggul di 7 kecamatan, kacang tanah
unggul di 6 kecamatan, padi ladang unggul di 5 kecamatan dan padi sawah unggul di 6
kecamatan. Analisa DS menunjukkan kedelai unggul di 7 kecamatan, jagung unggul di 5
kecamatan, kacang tanah unggul di 5 kecamatan, padi ladang unggul di 5 kecamatan dan padi
sawah unggul di 3 kecamatan. Sehingga tempe merupakan produk unggulan yang
memperoleh nilai MPE paling tinggi. Adapun faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan
faktor eksternal (peluang dan ancaman) pada usaha industri tempe dapat menjadi
pertimbangan serta dasar strategi yang dapat dilakukan lebih lanjut yang dapat dimanfaatkan
pengusaha untuk melakukan pengembangan agroindstri berbasis wilayah di Kabupaten
Majalangka.

Daftar Pustaka
Ahdan, Mappatoba, M. & S. (2015). Analisis Penentuan Komoditas Unggulan Sektor Pertanian
Di Kabupaten Tolitoli. Katalogis, 3(10), 155–166.
Balitbangtan. (2007). Prospek dan arah pengembangan agribisnis kedelai (Edisi Kedu; K. &
Hermanto, Ed.). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
BPS. (2019). Majalengka Dalam Angka 2019. Majalengka: BPS Kabupaten Majalengka.
Harisudin, M. (2013). Pemetaan dan strategi pengembangan agroindustri tempe di kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur. Journal of Agroindustrial Technology, 23(2), 120–128.
Hidayat, E., & Sutandi, A & Tjahjono, B. (2014). Kajian Wilayah Pengembangan Industri Kecil
Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian Di Kabupaten Majalengka. Majalah Ilmiah Globe,
16(2), 101–108.
Sulistianengsih, D., Rochdiani & Ramdan, M. (2011). Analisis agroindustri tempe (studi kasus
pada seorang perajin tempe di Desa Sindanghayu Kecamatan Banjarsari Kabupaten
Ciamis). Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH, 4(2), 174–181.
Sulistyowati, E. (2016). Arahan pengembangan sentra agroindustri berbasis komoditas kedelai di
kabupaten Jember. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Tajuddin, B. (2017). Pengembangan Kedelai untuk Kemandirian Pangan, Energi, Industri, dan
Ekonomi. Pangan, 81–95.
Tarliah, T & Kurniasih, D. (2016). Kompetensi Inti Industri Daerah Kabupaten Majalengka.
Seminar Dan Konferensi Nasional IDEC, (0406117102), 2579–6429. Retrieved from
http://idec.industri.ft.uns.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Prosiding2017_ID001.pdf
UU Nomor 32, U. (2004). Undang-undang nomor 32 tahun 2004 Republik Indonesia tentang
pemerintahan daerah. Jakarta.
Wulandari, N. & C. (2018). Metode Perbandingan Eksponensial (Mpe) Untuk Menentukan
Supplier Dan Activity Based Costing (Abc) Untuk Menentukan Produk Yang
Menguntungkan Serta Uji Hedonik Untuk Mengetahui Pengaruh Bahan Baku Dari Supplier
Yang Berbeda Terhadap Organoleptik Produk Di. Jurnal.Umj.Ac.Id/Index.Php/Semnastek,
17, 1–13. Retrieved from https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek/article/view/3504

Anda mungkin juga menyukai