1. Pendahuluan
Pelaksanaan tugas bagi pemerintah daerah untuk membangun daerah melalui
pembangunan industri dengan produk yang unggul dari daerahnya sesuai dengan amanat
dalam (Undang-undang nomor 32 tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah, memberikan
kewenangan bagi pemerintah daerah dalam memilih produk unggulannya dan membangun
kesejahteraan daerahnya sesuai dengan potensi dan keunggulan yang dimiliki. Menurut
(Tarliah, T & Kurniasih, 2016), diperlukan keselarasan arah pembangunan industri
didalamnya antara pemerintah dari daerah dan kabupaten/kota dengan pemerintahan di pusat.
Setiap daerah memiliki keunikannya masing-masing, juga hal ekonominya, demografi SDM,
infrastruktur, budayanya,, maupun social penduduknya yang perlu dikaji secara empiris
untuk menghasilkan keunggulan untuk memajukan daerahnya serta kesejahteraan
masyarakatnya.
Kabupaten Majalengka memiliki basis ekonomi salah satunya dari sektor pertanian.
Sebagai gambaran pada PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Majalengka
bahwa sektor industri mempunyai peranan sebesar 15,435% dengan laju pertumbuhan
sebesar 13,4%. Kabupaten Majalengka merupakan daerah potensi pertanian sehingga perlu
pengembangan industri diperhatikan menuju arah industri agro dengan hal itu keseimbangan
pembangunan industri dan pertanian dapat berjalan secara mantap. Nilai tertinggi PDRB
Kabupaten Majalengka pada tahun 2018 dicapai oleh lapangan usaha dari sektor pertanian,
kehutanan dan perikanan sebesar 23,63%, sedangkan posisi kedua dari sektor industri
pengolahan sebesar 17,17% (BPS, 2019). Menurut (Sulistyowati, 2016) untuk produk
supaya memiliki daya saing maka perlu diberikan nilai tambah. Sehingga dalam mendukung
komoditas pertanian primer menjadi produk olahan, produk akhir maupun produk antara baik
dan memiliki nilai tambah salah satnya melalui agroindustri
Kabupaten Majalengka memiliki hasil pertanian yang beragam berdasar dari aspek luas
tanam, luas panen, aspek produksi dan aspek jumlah pohon. Tanaman bahan makanan yang
unggul dari aspek luas tanam adalah jagung, kacang hijau dan kembang kol. Adapun
komoditas yang unggul dari aspek luas panen adalah jagung dan kacang hijau, komoditas
yang unggul dari aspek produksi adalah jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah,
alpukat, jambu biji, jeruk, mangga, melinjo dan petai, sedangkan komoditas yang unggul dari
aspek jumlah pohon adalah alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, pepaya,
sawo, melinjo, petai, sirsak dan sukun.(Tarliah, T & Kurniasih, 2016)
Sektor pertanian yang menjadi basis agroindustri tidak bisa lepas dari peran komoditas
unggulan pertanian. Berdasar dari hal itu perlu melihat dari keungggulan komparatif-
kompettitif suatu komoditi dengan sektor ekonomi dan penilaiaan masyarakat tentang
komoditas yang menjadi diunggulkan itu dapat diproduksi. Komoditi yang diunggulkan pada
Kabupaten Majalengka salah satunya adalah kedelai(Hidayat & Sutandi, A & Tjahjono,
2014).
Produk kedelai sebagai hasil pertanian Kabupaten Majalengka memiliki potensi dan
berperan untuk menumbuhkan industri kecil menengah bahkan berpeluang untuk mendukung
sebagai komoditas ekspor. Tumbuh dan kembangnya industri pangan berbahan baku dari
kedelai membuka peluang kesempatan kerja dalam sistem produksi, dimulai dari budidaya
tanam, panen, hingga ke pengolahan pasca panen, distribusi, serta pemasaran. (Balitbangtan,
2007).
Kedelai memiliki komposisi utama yang bermanfaat untuk menjadi dasar pengembangan
produk. Produk turunan yang dihasilkan dilakukan melalui tiga cara, yaitu pengolahan
kering, perebusan dan pengolahan basah. Pengolahan kering dihasilkan pakan, tepung dan
minyak. Pengolahan perebusan berupa produk susu, tahu, tempe dan dadih. Pengolahan
basah bisa menghasilkan produk ekstruksi. Produk itu berupa produk antara yang masih
dapat diolah atau produk jadi seperti minyak kedelai, biodiesel (Tajuddin, 2017)
Produk olahan dari kedelai yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai
agroindustri yaitu produk tempe. Dalam studi (Harisudin, 2013) menyimpulkan bahwa
pengembangan agroindustri (khususnya tempe) adalah salah satu alternatif dalam
meningkatkan kinerja sektor pertanian. Berdasarkan analisis matriks IE, maka posisi bersaing
agroindustri tempe berada pada kuadran V (strategi pengembangan produk dan penetrasi
pasar). Agroindustri tempe menempati urutan pertama sebagai agroindustri unggulan di
Kabupaten Bojonegoro. Studi yang dilakukan oleh (Sulistianengsih, D., Rochdiani &
Ramdan, 2011), tempe merupakan produk pangan protein tinggi yang harga per satuan lebih
murah, pembuatan sederhana dan mudah. Dalam risetnya disimpulkan bahwa memandang
dari pendapatan yang diperoleh dan R/C pada agroindustri produk tempe yang cukup
menguntungkan, sehinga jenis agroindustri tersebut perlu dikembangkan terutama dalam
bentuk industri yang dapat menciptakan kesempatan kerja di pedesaan. Maka melihat potensi
tersebut perlu dilakukan identifikasi dan Analisa terhadap pengembangan agroindustri
berbasis kedelai menjadi tempe di Kabupaten Majalengka sehingga memungkinkan
berkembangnya industri pengolahan tempe sebagai penggerak ekonomi pedesaan.
m TKKj
Total Nilai = Ʃ (Rkij)
J=1
Rkij=derajat kepentingan relatif kriteria komoditas unggulan rakyat ke-i pada keputusan ke-i,
yang dinyatakan dengan skala ordinal (1,2,3)
TKKj=derajat kepentingan kriteria keputusan, yang dinyatakan dengan bobot (diperoleh dari
AHP)
n=jumlah pilihan keputusan
m= jumlah kriteria keputusan
4. Hasil dan Pembahasan
Analisis Basis Tanaman Pangan
Location Quotient (LQ)
Metode Location Quotient adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu
sektor/industri disuatu daerah terhadap peranan suatu sektor/industri tersebut secara nasional
atau di suatu kabupaten terhadap peranan suatu sektor/industri secara regional atau tingkat
provinsi. Untuk mengetahui komoditi unggulan pertanian daerah Kabupaten Majalengka.
Indeks LQ (location quetient) yaitu suatu indikator sederhana yang dapat menunjukan
kekuatan atau besar kecilnya peranan suatu sektor dalam suatu daerah dibandingkan dengan
daerah di atasnya. Hasil perhitungan analisis LQ pada tahun 2013-2018 menunjukkan bahwa
keunggulan komparatif komoditas tanaman kedelai memiliki sebaran paling luas
dibandingkan komoditas tanaman pangan lain dan diusahakan petani merata di seluruh
kota/kabupaten (Tabel 1)
Tabel 1. Nilai rataan koefisien LQ komoditas tanaman pangan berbasis luas panen rata-rata
kabupaten/kota di Kabupaten Majalengka Periode Tahun 2013-2018
Hal ini disebabkan kedelai merupakan tanaman cukup banyak dikonsumsi masyarakat di
Indonesia. Nilai LQ tertinggi terdapat pada komoditas padi ladang di Kertajati (12)
disebabkan luasan di kota tersebut besar sedangkan pembandingnya yaitu luas keseluruhan
kabupaten relatif kecil. Hal ini dapat disebabkan permintaan padi ladang dan konsumsi padi
di Kertajati tinggi.
Melihat dari kisaran nilainya, range nilai koefisien LQ terdapat komoditi yang memiliki nilai
LQ relatif tinggi, padahal secara empiris total total lahan dan total produksi relatif kecil dan
tidak dominan dibandingkan dengan komoditi lainnya. Hal ini bisa dijelaskan dengan
mengacu pada pengertian Location Quetient (LQ) sendiri yang merupakan pembagian antara
share terhadap share. Nilai LQ yang tinggi bukan mencerminkan produksi yang besar, akan
tetapi merupakan cerminan nilai relatif terhadap share komoditas dalam kabupaten.(Ahdan,
Mappatoba, 2015)
Differential Shift (DS)
Hasil perhitungan komponen DS pada tahun 2013 dan 2018 masing-masing kecamatan
menunjukkan bahwa komoditas kedelai memiliki tingkat persaingan paling tinggi untuk
dikembangkan dibandingkan komoditas tanaman pangan lain disebabkan pertumbuhan
produksi tanaman kedelai lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan produksi komoditas
tanaman pangan lainnya di Kabupaten Majalengka (Tabel 2). Hal demikian terjadi
dikarenakan banyak luas lahan di setiap Kecamatan mampu memproduksi tanaman kedelai
dibanding tanaman lain.
Tabel 2. Hasil analisis Differential Shift komoditas tanaman pangan berbasis produksi kecamatan
di Kabupaten Majalengka periode tahun 2013-2018
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) memiliki kelebihan yang menguntungkan dalam
mengurangi bias yang mengkin terjadi dalam analisis. Nilai skor yang menggambarkan
urutan prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini mengakibatkan urutan prioritas
alternatif keputusan lebih nyata. Pada metode perbandingan eksponensial ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan yaitu; menyusun alternatif-alternatif berbagai macam
keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan yang
penting untuk dievaluasi, menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria-kriteria
keputusan atau berbagai pertimbangan kriteria, melakukan penilaian terhadap semua
alternatif pada setiap kriteria, menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan
menentukan urutan prioritas keputusan berdasarkann pada skor atau nilai total masing-
masing alternative.
Penentuan tingkat kepentingan kriteria didasarkan pada 8 kriteria normatif yang dijadikan
sebagai tolak ukur penentuan prioritas produk turunan dari komoditas unggulan. Ditinjau dari
nilai bobot alternatif (skor MPE) kemudian dilakukan ranking untuk menetapkan produk
mana yang dianggap paling unggul dimana produk tempe menjadi komoditi yang paling
utama untuk diunggulkan berdasarkan penilaian pengambil kebijakan dan pakar dengan nilai
bobot alternatif 9,957806321 Menyusul tahu yang mendapat nilai bobot alternatif sebesar
9,958473416. Komoditas kecap menjadi unggulan ketiga dengan nilai 9,959934341.
Selanjutnya pakan ternak dengan nilai sebesar 9,896665041, Minyak Kedelai 9,887755658,
dan terakhir adalah Susu kedelai dengan nilai sebesar 9,826257467.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Penentuan Produk Olahan Kedelai Berdasarkan Metode MPE
Kriteria Prioritas Bobot Urutan Prioritas
Tempe 9,957806321 1
Tahu 9,958473416 2
Kecap 9,959934341 3
Pakan Ternak 9,896665041 4
Minyak Kedelai 9,887755658 5
Susu Kedelai 9,826257467 6
Penentuan ranking komoditi unggulan dipengaruhi oleh besaran nilai bobot MPE yang
dihasilkan daripada 8 kriteria dan hasil pembobotan pilihan responden. Menurut (Tajuddin,
2017) potensi lahan dan kesesuaian iklim untuk penanaman menjadi faktor penghambat
perluasan dan peningkatan produksi. Ketergantungan masyarakat terhadap produk turunan
kedelai, terutama tahu dan tempe, menjadikan kedelai sebagai bagian dari bahan pangan pokok.
Oleh karena itu, orientasi pertambahan produksi kedelai seharusnya tidak dibatasi pada
swasembada untuk memenuhi permintaan saat ini, terutama bahan baku tahu dan tempe, tetapi
lebih dari itu untuk penguatan ekonomi, industri dan kemandirian pangan.
c. Matriks Posisi
Hasil analisis pada tabel matriks faktor strategi internal dan faktor strategi eksternal
dipetakan pada matriks posisi dengan cara sebagai berikut :
1. Sumbu horizontal (x) menunjukkan kekuatan dan kelemahan, sedangkan sumbu
vertical (y) menunjukkan peluang dan ancaman.
2. Posisi perusahaan ditentukan dengan hasil sebagai berikut :
- Kalau peluang lebih besar dari pada ancaman maka nilai y > 0 dan sebaliknya
kalau ancaman lebih besar dari pada peluang maka nilainya y < 0.
- Kalau kekuatan lebih besar daripada kelemahan maka nilai x > 0 dan sebaliknya
kalau kelemahan lebih besar daripada kekuatan maka nilainya x < 0.
4. Kesimpulan
Penelitian dilakukan pada periode 2013 - 2018 dengan beberapa metode analisis yang
digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ) untuk menentukan daerah yang memiliki
komoditas kedelai unggulan, analisa Differential Shift (DS) untuk tingkat kompetitif suatu
komoditas tertentu dibandingkan dengan total produksi komoditas dalam suatu wilayah,
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) untuk menentukan komoditas unggulan terpilih
oleh pengambil kebijakan dan Analisa SWOT untuk melihat sejauh mana usaha industri
dapat bersaing dengan jenis usaha agroindustri lainnya. Hasil penelitian Analisa LQ
menunjukkan kedelai unggul di 8 kecamatan, jagung unggul di 7 kecamatan, kacang tanah
unggul di 6 kecamatan, padi ladang unggul di 5 kecamatan dan padi sawah unggul di 6
kecamatan. Analisa DS menunjukkan kedelai unggul di 7 kecamatan, jagung unggul di 5
kecamatan, kacang tanah unggul di 5 kecamatan, padi ladang unggul di 5 kecamatan dan padi
sawah unggul di 3 kecamatan. Sehingga tempe merupakan produk unggulan yang
memperoleh nilai MPE paling tinggi. Adapun faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan
faktor eksternal (peluang dan ancaman) pada usaha industri tempe dapat menjadi
pertimbangan serta dasar strategi yang dapat dilakukan lebih lanjut yang dapat dimanfaatkan
pengusaha untuk melakukan pengembangan agroindstri berbasis wilayah di Kabupaten
Majalangka.
Daftar Pustaka
Ahdan, Mappatoba, M. & S. (2015). Analisis Penentuan Komoditas Unggulan Sektor Pertanian
Di Kabupaten Tolitoli. Katalogis, 3(10), 155–166.
Balitbangtan. (2007). Prospek dan arah pengembangan agribisnis kedelai (Edisi Kedu; K. &
Hermanto, Ed.). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
BPS. (2019). Majalengka Dalam Angka 2019. Majalengka: BPS Kabupaten Majalengka.
Harisudin, M. (2013). Pemetaan dan strategi pengembangan agroindustri tempe di kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur. Journal of Agroindustrial Technology, 23(2), 120–128.
Hidayat, E., & Sutandi, A & Tjahjono, B. (2014). Kajian Wilayah Pengembangan Industri Kecil
Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian Di Kabupaten Majalengka. Majalah Ilmiah Globe,
16(2), 101–108.
Sulistianengsih, D., Rochdiani & Ramdan, M. (2011). Analisis agroindustri tempe (studi kasus
pada seorang perajin tempe di Desa Sindanghayu Kecamatan Banjarsari Kabupaten
Ciamis). Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH, 4(2), 174–181.
Sulistyowati, E. (2016). Arahan pengembangan sentra agroindustri berbasis komoditas kedelai di
kabupaten Jember. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Tajuddin, B. (2017). Pengembangan Kedelai untuk Kemandirian Pangan, Energi, Industri, dan
Ekonomi. Pangan, 81–95.
Tarliah, T & Kurniasih, D. (2016). Kompetensi Inti Industri Daerah Kabupaten Majalengka.
Seminar Dan Konferensi Nasional IDEC, (0406117102), 2579–6429. Retrieved from
http://idec.industri.ft.uns.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Prosiding2017_ID001.pdf
UU Nomor 32, U. (2004). Undang-undang nomor 32 tahun 2004 Republik Indonesia tentang
pemerintahan daerah. Jakarta.
Wulandari, N. & C. (2018). Metode Perbandingan Eksponensial (Mpe) Untuk Menentukan
Supplier Dan Activity Based Costing (Abc) Untuk Menentukan Produk Yang
Menguntungkan Serta Uji Hedonik Untuk Mengetahui Pengaruh Bahan Baku Dari Supplier
Yang Berbeda Terhadap Organoleptik Produk Di. Jurnal.Umj.Ac.Id/Index.Php/Semnastek,
17, 1–13. Retrieved from https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek/article/view/3504