Anda di halaman 1dari 13

Jumal Sosial & Politik, Vol. 10, No.

3, Maret

MAKALAH KEBIJAKAN DAN UU PETERNAKAN

“KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PERTANIAN DAN


PETERNAKAN”

DISUSUN OLEH :
REZKY MUHAMMAD FAJAR (1810612076)
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG,2019
KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PERTANIAN DAN PETERNAKAN

GOVERNMENT POLICIES IN AGRICULTURE AND ANIMAL HUSBANDRY GOVERNMENT

Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani


(Djoko Suseno dan Hempri Suyatna) Dan Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Sapi Potong (P. S. Yuniar,
Widiatmaka, A. M. Fuah)

Abstract

Sebagai negara agraris, Indonesia perlu mengembangkan produk pertaniannya. Terkait hal ini, petani Indonesia
memiliki peran penting dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Meskipun demikian, kebijakan pertanian
sebelumnya gagal mencapai tujuan. Konsekuensi lain menimpa petani yang telah terpinggirkan. Untuk menanggapi
masalah tersebut, kebijakan pertanian baru perlu dibuat. Artikel ini menunjukkan pertimbangan penting untuk
menetapkan kebijakan pertanian pro-petani yang baru di Indonesia

Pertanian Perkotaan dapat digambarkan sebagai pengolahan tumbuh dan distribusi tanaman pangan dan non-
pangan dan tanaman pohon dan pemeliharaan ternak, langsung untuk pasar perkotaan, baik di dalam maupun di
pinggiran daerah perkotaan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan dan potensi
pengembangan sapi potong. Data diperoleh dari wawancara dengan pemangku kepentingan dan observasi ke lokasi
ternak. Data sekunder diperoleh dari institusi dan litarature terkait. Proses Analitis Hierarki (AHP) dan Peluang
Weanesses dan Treath (SWOT) Kekuatan Tinggi digunakan untuk menyusun strategi pengembangan sapi potong.
Strategi Strengths-Threats digunakan untuk mengoptimalkan potensi pasar, sumber daya manusia dan dukungan
pemerintah lokal, mengurangi efek negatif lingkungan dan sumber daya lahan yang terbatas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan manajemen limbah dan teknologi biogas, peningkatan kapasitas koperasi petani dan
dukungan pemerintah dalam penggunaan lahan adalah aspek penting berkelanjutan untuk meningkatkan
pendapatan petani dan ketahanan pangan.

Kata Kunci : petani; kebijakan pertanian; pembangunan pertanian, AHP SWOT, ternak, perkotaan, strategi.
PENDAHULUAN

Beberapa tahun terakhir, petani kita dihadapkan pada berbagai persoalan, seperti kekeringan, kelangkaan pupuk,
hama, puso, gagal panen dan sebagainya. Baru saja petani bisa bemafas lega dengan adanya kenaikan harga gabah
hasil prodüksinya, jin impor beras untuk Perum Bulog keburu turun dengan dalih mendukung program beras untuk
rakyat miskin (raskin). Padahal sebelumnya, pemerintah menegaskan akan mempertahankan kebijakan larangan
impor beras karena perkiraan prodüksi dalam negeri yang masih di atas kebutuhan konsumsi. Kebijakan
pemerintah Indonesia untuk mengimpor beras dari negara tetangga ini menimbulkan sebuah ironi. Pemerintah lebih
mensubsidi petani dari negara lain dibandingkan berpihak kepada petani di dalam negeri. Impor beras akhimya
menjatuhkan harga beras lokal. Kâbijakan impor beras menyebabkan merosotnya tingkat pendapatan petani. Beras
impor menjatuhkan harga panen petani baik harga kering giling (GKG) dan harga beras sampai 20 0/0. Belum lagi,
petani juga terbebani oleh naiknya harga-harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM. Pendek kata, dilihat dari
seğ apapun, kebijakan impor beras tersebut tidak akan menguntungkan perberasan secara nasional dan akan
semakin memperburuk petani.Şelain melakukan impor beras, ternyata Indonesia juga melakukan impor terhadap
beberapa kebutuhan pangan lainnya.
Kekurangan beras, jagung, gula, daging sapi, garam, susu dan IainIain solusinya selalu impor. Pada tahun 1998-2001,
Indonesia adalah negara importir beras terbesar di dunia. Setiap tahun kita mengimpor gula 40 persen dari
kebutuhan nasional, 25 persen konsumsi daging nasional sapi, impor satu juta ton garam yang merupakan 50 persen
dari kebutuhan garam dan impor 70 persen kebutuhan susu. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan sebuah ironi,
dimana negara Indonesia yang merupakan negara agraris justru memiliki nilai impor kebutuhan pangan yang cukup
besar

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan 12 peternak yang dipilih secara sengaja (purpossive) dari 20
kelompok ternak yang ada. Data sekunder diperoleh dari hasil literatur, laporan dan hasil penelitian terdahulu.
Faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, diperoleh dari responden peternak melalui wawancara
mendalam tentang budidaya sapi di perkotaan. Data dianalisis deskriptif, ditabulasi dan dokumentasi fakta
lapangan. Analisis dilakukan terhadap kondisi yang tengah berlangsung saat penelitian dilakukan dan diidentifikasi
faktor penyebab masalah atau gejala tertentu. Metode ini berguna untuk menjawab pertanyaan tentang sesuatu saat
proses penelitian sedang berlangsung (Sukidin 2005). Perankingan terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan
menggunakan metode AHP terhadap hasil wawancara dengan 3 expertyakni Kepala seksi perencanaan dan
pengembangan wilayah Badan Perencaaan dan Pembangunan Daerah, Kepala seksi bina produksi peternakan,
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan dan peneliti Balai Pengembangan Peternakan
Provinsi Banten.
Potensi dan strategi pengembangan ternak sapi potong dirumuskan melalui metode A’WOT, yakni kombinasi
dari AHP (Analytical Hierarchy Process) dan SWOT (Strength Weakness Opportunity Threats). Teknik ini
menganalisis faktor internal dan eksternal pengembangan peternakan sapi potong perkotaan. Menurut Leskinen et
al. (2006), A’WOT merupakan kombinasi AHP dan SWOT dalam proses penentuan suatu strategi. Osuna dan
Aranda (2007) merumuskan strategis pengembangan perusahaan di bidang kesehatan.
Pembobotan masing masing faktor internal dan eksternal didukung oleh program Expert Choice 11 dan Microsoft
Excell, dilanjutkan dengan analisis faktor strategi internal (IFAS) dan faktor strategi eksternal (EFAS), analisis
matriks internal-eksternal (IE), analisis matriks space dan tahap pengambilan keputusan pelayana mengacu pada
Rahmawati dan Daroini (2014).
Dalam penyusunan rencana usaha peternakan sapi potong perkotaan, langkah-langkah yang diacu adalah
penyusunan faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, pemberian bobot dan rating pada masing masing
faktor dengan skala 4 (sangat kuat) sampai dengan 1 (sangat lemah) dan 4) hasil kali bobot dengan rating dengan
nilai dari 1 sampai dengan 4 dan pemberian skor. Menurut Rangkuti (2009), matriks internal eksternal dapat
digunakan dalam mengidentifikasi suatu strategi yang relevan berdasarkan sembilan sel matriks I yang
disederhanakan menjadi tiga strategi utama (Gambar 1), yaitu; Growth strategy, Stability strategy dan
Retrenchment strategy
Analisis matriks space adalah selisih dari skor faktor internal daneksternal, digunakan untuk mempertajam
rencana pengembangan peternakan sapi potong di wilayah target, sesuai Rangkuti (2009) dan Marimin (2008). Hasil
yang diperoleh pada kuadran I menunjukkan peluang sangat menguntungkan, kuadran II, terdapat ancaman,
kuadran III, terdapat kelemahan, dan pada kuadran IV tidak menguntungkan.
I.Bidang Pertanian

Kebijakan pemerintah untuk melakukan kebijakan impor terhadap kebutuhan pangan tersebut hanyalah salah satu
contoh dari berbagai kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia selama ini yang selalu tidak berpihak kepada
kepentingan petani. Mandeknya sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri,
sementara kebijakan pertanian sejak tahun 1980-an itu cenderung distorsif. Alasan memperpendek rantai tata niaga dipakai
untuk menciptakan lembaga-lembagapemasaranbaru.

Namun demikian, alih-alih untuk meningkatkan efisiensi, ternyata kebijakan tersebut justru merusak kelembagaan
pengelolaan pertanian. Hal ini, misalnya tercermin dari kehadiran Bulog (Badan Urusan Logistik) yang menggantikan
Kolognas (Komando Logistik Nasional) yang baru berusia satu tahun. Bulog ini didirikan oleh rejim Soeharto untuk
mengontrol produk-produk pertanian yang penting dan ditugasi untuk membuat standarisasi harga bagi produk pertanian.
Dalam perkembangannya, BULOG ternyata berubah menjadi lembaga yang sangat profit oriented dan monopolistic yang
hanya memberi peluang yang menguntungkan bagi sebagian kecil kelompok orang dan pada saat yang bersamaan, ada
pihak Iain yang dirugikan dalam jumlah yang sangat besar. Intervensi pemerintah dalam mengontrol harga gabah ini
menyebabkan pendapatan petani tidak pernah meningkat. Nilai tukar gabah dari tahun ke tahun justru mengalami
penurunan dan tidak sebanding dengan kenaikan barangbarang kebutuhan masyarakat. Terciptanya kondisi seperti ini
disebabkan karena manajemen Bulog yang tidak terbuka dan tidak memungkinkan public untuk terlibat mengontrol. Hal
yang sama juga terjadi dengan kehadiran Koperasi Unit Desa (KUD). KUD yang diharapkan berfungsi sebagai wadah
kelompok tani kurang berjalan secara optimal. Dalam kenyataannya, KUD lebih bersifat sebagai suatu badan usaha yang
anggota dan pengurusnya cenderung eksklusif dan tidak mewadahi kelompok tani. Bahkan yang lebih ironis harga pupuk,
bibit, maupun obat-obatan yang dijual di KUD lebih mahal daripada yang dijual di kios maupun toko-toko pertanian yang
Iain. Demikian juga halnya dengan fungsi KUD sebagai pembeli hasil produksi pertanian, dimana KUD justru lebih sering
membeli gabah dari tengkulak daripada membeli gabah petani secara langsung. Berbagai persyaratan untuk memperoleh
kredit juga dipersulit, seperti administrasi yang berbelit-belit sehingga menyebabkan petani enggan memanfaatkan kredit
dari KUD. Lewat kelompok tani, pemerintah mengintroduksi program pertanian dengan menghadirkan petugas
penyuluhan kecamatan (PPL) yang berperan sebagai pembimbing petani dalam mengajukan KUT. Tanpa bimbingan dan
rekomendasinya serta dilengkapi dengan pengesahan dari kepala desa maka kredit tidak akan dapat dikucurkan. Kondisi
demikian menyebabkan kelompok-kelompok tani justru menjadi institusi yang tidak berdaya dan tergantung kepada
pemerintah.
Pembentukan lembaga-lembaga baru di bidang pertanian oleh pemerintah, tidak terlepas dari orientasi pembangunan
Orde Baru yang menempatkan pangan tidak sekedar sebagai komoditi ekonomi, tetapi lebih dari itu sebagai komoditi politik.
Oleh karena itu, pemerintah Soeharto juga melakukan intervensi secara terbuka terhadap sektor produksi dan distribusi
pangan. Untuk memenuhi ambisinya, ia menyediakan pangan murah dan mengembangkan sektor pertanian dengan teknologi
modern. Dalam hal ini, kemudian revolusi hijau dipilih sebagai tema utama. Beberapa kegiatan untuk mendukung program
revolusi hijau diantaranya adalah penggunaan jenis-jenis bibit baru, pupuk, mesin-mesin pertanian, penggunaan lahan,
pernbangunan sarana publik lokal, bimbingan masyarakat, Koperasi Unit Desa dan subsidi harga pupuk. Untuk mendukung
program tersebut, rejim Soeharto memberikan dukungan yang luar biasa dengan menyediakan subsidi yang cukup besar
khususnya untuk suplai pupuk dan pestisida. Tujuan terpenting dari program revolusi hijau adalah swasembada beras.
Dengan kemandirian produksi beras, Soeharto berkeyakinan bahwa ia akan mampu mempertahankan kekuasaanya,
mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas politik (Fahmid, 2004 • 5). Program ini telah mampu mendorong
terwujudnya swasembada beras pada tahun 1984. Selain itu, harga makanan menjadi murah terutama pada komunitas
perkotaan (urban community).
Menyusun Strategi Kebijakan Pembangunan Pertanian ke Depan

Salah satu kunci untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah pemerintah harus memperhatikan sektor pertanian
lebih serius, terintegratif dan memiliki keberpihakan kepada nasib petani. Keberpihakan terhadap nasib petani, akan
mendorong berkembangnya sektor pertanian dalam skala luas. Dengan keberpihakan ini, semua kebijakan yang akan diambil
harus terfokus pada upaya meningkatkan
kesejahteraan petani. Sikap keberpihakan ini harus menjadi landasan bagi kebijakan pernerintah ke depan. Sesudah
terintegrasi, diharapkan semua sektor ikut bergerak sehingga pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan bisa
dijadikan landasan bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Langkah ini telah dipraktekkan China, Thailand, dan Taiwan
dan ternyata mereka berhasildan juga menguntungkan dan efisien untuk petani Indonesia.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan sektor pertanian di Indonesia adalah terbatasnya sektor pertanian
dalam menyediakan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan bagi petani karena terbatasnya akses petani terhadap
sumberdaya pertanian utamanya akses pada sumber daya lahan. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian harus diikuti
Oleh pengembangan sektor koplemen (agro industri), sehingga diperoleh sumber nilai tambah di luar lahan. Dengan
pernikiran yang demikian, maka strategi pembangunan pertanian harus diletakkan dalam perspektif pembangunan pedesaan
secara utuh meliputi sektor primer, sektor sekunder (sektor koplemen) dan sektor tersier Gasa). Inilah sebenarnya hakiki dari
strategi pembangunan sektor pertanian dengan pendekatan sistem dan usaha agribisnis. Dengan pendekatan sistem dan usaha
agribisnis tersebut, maka pembangunan pertanian jelas berbasis pada kerakyatan dan dijamin keberlanjutannya karena
pengembangannya berbasis pada sumber daya lokal. Hal ini dapat dilakukan ketika kita menganggap pertanian sebagai
persoalan negara. Kebiasaan selama ini adalah menempatkan pertanian sebagai salah satu sektor dalam bidang ekonomi.
Pertanian biasanya dibedakan dengan industri atau perdagangan tanpa ada penjelasan yang memadai terlebih dahulu. Konsep
pertanian juga sering lepas dari konteks budaya. Pertanian seingkali diartikan sebatas bagaimana kita menghasilkan
produkproduk pertanian dilihat dari sudut teknis belaka. Padahal pertanian berasal dari kata bahasa Inggris: agriculture. Jadi
pertanian melekat dalam konteks sosial budaya (Sayafa'aat, Simatupang, Mardianto Khudori, 2005 : 209).
Upaya membangun sektor pertanian harus dilakukan dengan berbasis pada potensi sumber daya nasional (pertanian)
tanpa harus memperdebatkan konsep pembangunan industri dan pembangunan pertanian. Dengan demikian, keterpisahan
antara eksistensi masyarakat banyak (petani) sebagai pelaku di sektor hulu dan masyarakat industri di sektor hilir dapat
teratasi. Untuk mendukung hal ini, maka dibutuhkan peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Keterbatasan
kemampuan sumber daya manusia di sektor pertanian menjadi persoalan yang mendesak untuk dikelola secara baik.
Pertanian masih dilihat dari Sisi tradisional, sehingga terjadi penurunan apresiasi masyarakat terhadap sektor pertanian.
Pemerintah diharapkan dapat memberikan iklim yang kondusif dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, sehingga
kebersamaan yang dibangun dapat menempatkan pertanian (agribisnis) bukan sekedar persoalan sektor pertanian semata
akan tetapi persoalan membangun sumberdaya alam dan manusia menyangkut masyarakat yang harus ditingkatkan
kesejahteraannya melalui pembangunan pertanian serta persoalan ketahanan pangan nasional. Akhirnya, keberhasilan
mengembangkan pertanian akan sangat ditentukan oleh kerapatan visi, misi dan implementasi (sikap) segenap stakeholder di
bidang pertanian (agribisnis). Menempatkan sumber daya alam dan manusia sebagai kunci pembangunan dan bukan
didasarkan pada kapasistas dan aspirasi serta atas apa yang dianggap penting tentunya juga berarti memberikan jaminan
sosial dan ekonomi akan akses dan konfrol dalam jangka yang lebih panjang.
Sajogyo (2005: 75) mengungkapkan bahwa kebijakan pembangunan pertanian harus diubah menjadi peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan petani serta masyarakat pedesaan. Untuk itu perlu dilakukan kebijakan pembangunan
pertanian baru antara Iain : partisipasi aktif petani dan masyarakat pedesaan disertai dengan pengembangan sumber daya
manusia, peningkatan penguasaan lahan dan aset produktif per tenaga kerja pertanian dan pemerataan jangkauan pada asset
produktif per tenaga kerja pertanian dan pemerataan jangkauan pada asset produktif pertanian, teknologi dan pembiayaan,
diversifikasi pertanian dalam arti luas, pengembangan lembaga keuangan pedesaan yang mandiri, pengembangan
kelembagaan pertanian dan pedesaan dan pengembangan sumberdaya pertanian. Dalam hal ini, pemerintah perlu menjadikan
pernbangunan agribisnis sebagai paradigma baru serta pembangunan ekonomi nasional yang mengarah kepada
pembangunan industri sebagai sektor andalan. Dalam pembangunan agribisnis, hambatan-hambatan kelembagaan dalam
jaringan agribisnis dan industri dalam bentuk monopoli, monopsoni dan sejenisnya yang menjurus kepamerebaknya
kesenjangan dan dualisme ekonomi harus bisa dihindari kalau tak dapat dihilangkan.
Upaya untuk mengatasi kemiskinan yang membelit petani, khususnya di Jawa bisa dilakukan dengan mendorong
terbentuknya unit usaha pertanian. Selama Orde Baru yang dikembangkan adalah pembentukan kelompok tani yang hanya
diajak memproduksi komoditas primer. Paradigma tersebut harus diubah. Kelompok tani harus menjadi kelompok usaha
pertanian, wadah usaha bersama antar petani. Tentu saja dengan pendampingan menuju pemberdayaan petani. Petani yang
memiliki kaitan emosional bergabung membangun kekuatan posisi tawarnya.
Persoalan Iain yang harus segera dijawab adalah strategi pilihan terhadap produksi unggulan yang didasarkan pada
comparative advantage (keunggulan komparatif). Pertanian Indonesia masih terjebak pada produksi berbagai macam
komoditas meskipun skala usahanya tidak memadai dan belum dikembangkannya produk hilir bernilai ünggi. Dalam hal
ini, Indonesia perlu belajar pada beberapa negara Iain. Malaysia misalnya, menitikberatkan pengembangannya pada industri
kelapa sawit. Thailand fokus pada keinginannya menjadi negara nomor satu di industri karet, tebu dan hortikultura. Dengan
orientasi yang jelas, semua sumber daya diarahkan untuk mengembangkan produk unggulan secara terpadu dengan skala
usaha yang efisien dan efektif (Kompas, 14 Desember 2005).
Dengan demikian, persoalan pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan produksi, akan tetapi juga soal daya
dukung sektor pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang menjadi prasyarat untuk melaksanakakan
pembangunan pertanian, yaitu : (1) akses terhadap kepemilikan tanah, (2) akses input dan proses produksi, (3) akses
terhadap pasar, dan (4) akses terhadap kebebasan. Dari keempat prasyarat ini yang belum dilaksanakan secara konsisten
adalah membuka akses petani dalam kepemilikan tanah dan membuka ruang kebebasan untuk berorganisasi dan
menentukan pilihan sendiri dalam berproduksi. Pemerintah hingga kini selalu menghindari kedua hal tersebut, karena
dianggap mempunyai resiko politik yang tinggi.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka penguasaan tanah lewat reforma agraria (land reform) tidak bisa ditawar-tawar
sehingga lahan pertanian hanya boleh dimiliki oleh petani di Indonesia. Perusahaan swasta dan asing hanya boleh
menguasai pabrik pengolahan dan petani diberi hak untuk membeli saham perusahaan pengolahan untuk membina
keterkaitan dan kerjasama. Membangun kedaulatan pangan yang tangguh lewat kearifan dan sumber daya lokal, merajut
kebijakan pangan yang sensitif gender dan pendidikan pertanian yang membumi tanpa merubah struktur penguasaan dan
kepemilikan tanah yang ada saat ini adalah non sens. Reforma agraria didefinisikan sebagai upayaupaya yang dilakukan
pemerintah dan masyarakat dalam merombak dan menata kembali bentuk-bentuk penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
agraria dan hubungan-hubungan sosial agraria bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sumber daya
agraria yang dimaksud bukan terbatas tanah, akan tetapi juga sumber daya alam lainnya seperti hutan, laut, sungai, pantai
udara dan lainnya. Sejarah mengajarkan, bahwa tidak ada satu negara pun yang pembangunan ekonominya berhasil dan
fundamentalnya kuat tanpa reforma agraria. Tanpa reforma agraria, fondasi pembangunan dan ekonomi nasional akan
mengalami kontradiksi kronis dan permanent, cacat, pincang, menciptakan konflik kelas-kelas sosial yang semakin tajam
dan menciptakan keterbelakangan (Khudori, 2005: 215). Hanya dengan mengimplementasikan reforma agraria, kita bisa
membangun kedaulatan pangan yang tangguh. Apalah artinya kekayaan alam yang melimpah, plasma nuftah yang beragam,
kondisi iklim tropis yang cocok untuk budidaya banyak komoditas pangan dan ilmu pertanian yang canggih apabila
kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian masih gurem. Penguasaan lahan gurem hanya akan menghasilkan kesejahteraan
gurem pula. Dengan penguasaan lahan memadai, luasan yang memenuhi kaidah minimal skala ekonomi, dikombinasikan
dengan kebijakan-kebijakan promotif dan memihak akan membuat petani sejahtera.
Redistribusi tanah adalah keharusan dalam memasuki setiap ekonomi modern.Tanpa redistribusi tanah, ekonomi
modern yang dihasilkan bersifat cacat, pincang, dan tidak bisa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Konflik kelas-
kelas sosial akan semakin panjang dan tidak terselesaikan. Tidak ada konsumsi masyarakat yang tinggi, demikian pula tidak
ada tabungan masyarakat, karena mayoritas penduduk desa hidup dalam subsistensi dan hanya sanggup membelanjakan
sebatas kebutuhan hidup yang paling primer.
Ditambah lagi oleh kenyataan, bahwa tanpa program land reform, juga tidak ada demokrasi di tingkat desa. Demokrasi
ekonomi akan menghasilkan demokrasi politik. Tumbuhnya ekonomi rakyat akan menghasilkan kreativitas dan
pengorganisasian. Land reform dengan sendirinya akan menghasilkan diferensiasi pembagian kerja masyarakat.
Berkembangnya diferensiasi ini akan menghasilkan berbagai profesi dan pekerjaan yang selanjutnya menciptakan asosiasi
dan kelembagaan baru. Hal ini dengan sendirinya akan menciptakan aspirasi dan penyaluran politik. Politik adalah cerminan
dari diferensiasi kelas-kelas sosial dan pengelompokan masyarakat yang semakin majemuk (Araf dan Puryadi, 2002: 154).
Dengan demikian, redistribusi tanah yang berkeadilan ini, akan mendorong kinerja sector pertanian dan pedesaan menjadi
semakin baik yang pada gilirannya akan berpengaruh pada perkembangan ekonomi secara keseluruhan.
Endriatmo Soetarto & Moh. Shohibudin (2004: 32) mengungkapkan bahwa ada beberapa dampak dari pelaksanaan
land
reform yakni, pertama, melalui program land reform akan menciptakan pasar atau daya beli. Kedua, petani dengan aset tanah
yang terjamin dan memadai akan mampu menciptakan kesejahteraan bagi keluarganya dan menghasilkan surplus untuk
ditabung. Ketiga, dengan berkembangnya kegiatan ekonomi pedesaan berkat kinerja pertanian yang baik, maka pajak
pertanian juga dapat ditingkatkan. Keempat. Pelaksanaan land teform akan memungkinkan terjadinya proses diferensiasi
yang meluas dan pernbagian kerja di pedesaan yang tumbuh karena kebutuhan pedesaan itu sendiri. Diferensiasi yang terjadi
tanpa land reform bersifat terbatas, menimbulkan jurang kelas yang tajam dan berwatak eksploitatif. Kelima, tanpa land
reform tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani sendiri. Malahan akan terjadi disinvestasi karena lama
kelamaan banyak petani kehilangan tanah dan kemiskinan pun meluas.
Dengan diadakannya program land reform, maka investasi yang terjadi akan lebih kokoh dan berpijak pada kekuatan
ekonomi nasional. Investasi yang ditimbulkan adalah investasi yang berasal dari hasil surplus pertanian dalam negeri, bukan
yang didorong Oleh utang luar negeri yang menjerumuskan bangsa Indonesia dengan kemelaratan, sehingga ekonomi yang
berkembang adalah ekonomi kerakyatan bukan ekonomi rente dan ekonomi konglomerasi (Faryadi, 2005: 171).
Pelaksanaan reforma agraria tentunya tidak sekedar mengatur kepemilikan (membagi atau mengumpulkan) tanah
(land reform) tetapi juga mencakup cara berproduksi, teknologi dan sebagainya. Reforma agraria adalah land reform plus
seperangkat infrastuktur : jaminan hukum, kredit (bila diperlukan), akses terhadap jasa advokasi,akses informasi baru dan
teknologi (Damanik, 2002: 40). Oleh karena itu pelaksanaan reforma agraria harus mempertimbangkan kelestarian
lingkungan dan aspek sosial politik (tidak diskriminatif ras, suku, agama, dan gender). Jangan sampai land reform hanya
sebagai alat untuk berubah kepemilikan dari orang kaya yang satu dengan orang kaya yang lain dan justru petani tetap
miskin.
Dengan demikian kebijakan reforma agraria tidak sekedar merubah struktur saja tetaapi juga harus merubah kultur
petani. Apalah artinya, struktur kepemilikan tanah berubah, akan tetapi kultur yang dimiliki oleh petani tidak berubah. Selama
ini ada beberapa kultur petani yang justru menghambat peningkatan kesejahteraan mereka seperti prinsip dahulukan selamat
sehingga mereka tidak memiliki keberanian untuk mengambil resiko. Dalam hal memilih jenis bibit dan cara-cara bertanam,
petani lebih suka meminimumkan kemungkinan terjadinya satu bencana daripada memaksimumkan penghasilan rata-ratanya.
Strategi ini mengesampingkan pilihanpilihan yang meskipun memberi harapan akan mendatangkan hasil bersih rata-rata yang
lebih tinggi, mengandung resiko-resiko kerugian besar yang dapat membahayakan subsistensinya. Sikap menghindari resiko
itu dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa petani lebih suka menanam tanaman subsistensi daripada tanaman bahan
pangan yang hasilnya untuk dijual (Scott, 1981: 27). Dengan berpinsip "dahulukan selamat" ini, petani secara rasional akan
memilih teknikteknik tradisional meskipun hasil-hasilnya sedikit. Oleh karena itu, petani akan berfikir dua kali untuk
mengalihkan produksi subsistensinya ke produksi komersiil karena peralihan ini hampir selalu memperbesar resiko. Pendek
kata, petani enggan berusaha mencari untung, jika hal itu berarti mengacaukan kegiatan-kegiatan subsistensi rutin yang sudah
terbukti memadaidi waktu yang lampau.

II.SEKTOR PERTANIAN

MATERI DAN METODE

Metode yang digunakan adalah survey dan observasi ke lokasi peternakan rakyat. Data primer diperoleh melalui
wawancara dengan 12 peternak yang dipilih secara sengaja (purpossive) dari 20 kelompok ternak yang ada. Data sekunder
diperoleh dari hasil literatur, laporan dan hasil penitian dilakukan dan diidentifikasi faktor penyebab masalah atau gejala
tertentu. Metode ini berguna untuk menjawab pertanyaan tentang sesuatu saat proses penelitian sedang berlangsung (Sukidin
2005). Perankingan terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan menggunakan metode AHP terhadap hasil wawancara dengan
3 expertyakni Kepala seksi perencanaan dan pengembangan wilayah Badan Perencaaan dan Pembangunan Daerah, Kepala
seksi bina produksi peternakan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan dan peneliti Balai
Pengembangan Peternakan Provinsi Banten.
Potensi dan strategi pengembangan ternak sapi potong dirumuskan melalui metode A’WOT, yakni kombinasi dari AHP
(Analytical Hierarchy Process) dan SWOT (Strength Weakness Opportunity Threats). Teknik ini menganalisis faktor internal
dan eksternal pengembangan peternakan sapi potong perkotaan. Menurut Leskinen et al. (2006), A’WOT merupakan kombinasi
AHP dan SWOT dalam proses penentuan suatu strategi. Osuna dan Aranda (2007) merumuskan strategis pengembangan
perusahaan di bidang kesehatan.
Pembobotan masing masing faktor internal dan eksternal didukung oleh program Expert Choice 11 dan Microsoft
Excell, dilanjutkan dengan analisis faktor strategi internal (IFAS) dan faktor strategi eksternal (EFAS), analisis matriks internal-
eksternal (IE), analisis matriks space dan tahap pengambilan keputusan pelayana mengacu pada Rahmawati dan Daroini (2014).
Dalam penyusunan rencana usaha peternakan sapi potong perkotaan di Tangerang Selatan, langkah-langkah yang diacu
adalah penyusunan faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, pemberian bobot dan rating pada masing masing faktor
dengan skala 4 (sangat kuat) sampai dengan 1 (sangat lemah) dan 4) hasil kali bobot dengan rating dengan nilai dari 1 sampai
dengan 4 dan pemberian skor. Menurut Rangkuti (2009), matriks internal eksternal dapat digunakan dalam mengidentifikasi
suatu strategi yang relevan berdasarkan sembilan sel matriks I yang disederhanakan menjadi tiga strategi utama (Gambar 1),
yaitu; Growth strategy, Stability strategy dan Retrenchment strategy
Analisis matriks space adalah selisih dari skor faktor internal daneksternal, digunakan untuk mempertajam rencana
pengembangan peternakan sapi potong di wilayah target, sesuai Rangkuti (2009) dan Marimin (2008). Hasil yang diperoleh
pada kuadran I menunjukkan peluang sangat menguntungkan, kuadran II, terdapat ancaman, kuadran III, terdapat kelemahan,
dan pada kuadran IV tidak menguntungkan.

Nilai Jumla
Bobot yang diperoleh dari AHP masing-masing faktor internal dan eksternal merupakan langkah dasar
dalam tahapan analisis perencanaan yang akan diterapkan. Permintaan terhadap daging yang tinggi, harga
daging yang baik, dan akses lokasi perkotaan untuk pemasaran yang mudah terjangkau yang didukung oleh
dukungan kebijakan pemerintah merupakan aspek pendorong yang positif untuk pengembangan peternakan di
wilayah tersebut. Input SDM pengelola yang dibutuhkan untuk proses produksi terdiri dari anggota kelompok
tani ternak yang sudah memiliki ketrampilan dalam manajemen budidaya sapi potong. Unsur utama yang
diperlukan untuk menjaga kelestarian lingkungan yang bersih adalah manajemen limbah yang berasal dari
usaha peternakan sapi potong. Penerapan teknologi sangat diperlukan dalam pemanfaatan limbah peternakan
sebagai sumber energi biogas dan pupuk organik system integrasi dengan tanaman sayuran.

Analisis Faktor Stratagi Eksternal

Tabel External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) mengkaji bobot kepentingan dari tiap faktor
peluang dan ancaman beserta nilai rating yang menunjukkan tingkat pengaruhnya (Tabel 3). Hasil perkalian
bobot dan rating dari masing-masing faktor akan menjadi skor akumulasi dari faktor eksternal yang akan
digunakan pada analisis matrik internal eksternal.
Berdasarkan matriks EFAS diketahui bahwa skor total perkalian bobot dan rating dari semua faktor
kekuatan dan kelemahan bernilai 2,9405. Nilai ini berasal dari skor faktor peluang yaitu 1,4405 dan skor faktor
ancaman dengan nilai 1,5000. Dalam kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor yang merupakan hasil
pengolahan data kuesioner dengan metode AHP dikalikan 0,5 agar bobot total faktor peluang dan ancaman
bernilai 1,000 (Rangkuti 2009). Pada kolom skor terlihat bahwa nilai paling tinggi pada faktor strategi peluang
ditunjukkan oleh faktor permintaan daging yang tinggi, hal ini berkaitan dengan lokasi pemasaran yang dekat
dengan ibukota, di samping itu jalur distribusi pemasaran menjadi pendek dan dekat dengan lokasi pendukung
komponen peternakan. Skor tertinggi untuk faktor strategi ancaman ditunjukkan oleh faktor isu pencemaran
lingkungan. Ancaman lain yang menghambat pengembangan peternakan di wilayah ini diantaranya status
tanah peternak yang sudah dimiliki pengembang properti sehingga menghalangi keberlanjutan peternakan,
selain laju konversi lahan pertanian yang semakin tinggi.

Analisis Matriks Internal Eksternal

Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan matriks IFAS dan EFAS, diketahui bahwa total skor faktor internal
sebesar 2,7872 dan total skor faktor eksternal sebesar 2,9405. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan peternakan sapi
potong di Kota Tangerang Selatan memiliki skor faktor internal dan eksternal yang tergolong rata-rata. Apabila skor faktor
internal dan eksternal ini dipetakan pada matriks Internal Eksternal, maka pengembangan peternakan sapi potong di Kota
Tangerang Selatan menempati sel 5 (lima) seperti Gambar 1. Hal ini berarti perencanaan pengembangan peternakan sapi
potong yang harus diimplementasikan di Kota Tangerang Selatan adalah growth strategy dan stability strategy. Menurut
Rangkuti (2009), strategi pertumbuhan (growth strategy) didesain untuk mencapai pertumbuhan baik dalam produksi,
asset, maupun tingkat keuntungan.
Analisis Matriks Space
Selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks
EFAS akan mengisi posisi nilai x dan y dari kuadran di matriks space-nya. Posisi kuadran usaha pengembangan
peternakan sapi potong dapat diketahui dengan berbagai faktor internal dan eksternal yang sudah dianalisis
sebelumnya. Berdasarkan analisis IFAS dan EFAS, maka diperoleh selisih skor kekuatan dan kelemahan pada
matriks IFAS yaitu 0,1181 dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS -0,0595. Kombinasi nilai ini
akan menghasilkan posisi dikuadran II seperti pada Gambar 2. Menurut Marimin (2008), posisi usaha dapat
dikelompokkan dalam 4 kuadran yaitu Kuadran I, II, III, dan IV. Pada kuadran I, strategi yang tepat adalah strategi
agresif, kuadran II strategi diversifikasi, kuadran III strategi turn around dan kuadran IV menggunakan strategi defensif.
Posisi usaha peternakan sapi potong di Kota Tangerang Selatan berada pada kuadran II (Gambar 2). Menurut
Prayudha (2014), kuadran II menunjukkan wilayah tersebut menghadapi berbagai ancaman, namun masih
mempunyai kekuatan sehingga strategi yang diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang jangka panjang dengan menerapkan strategi diversifikasi. Dengan demikian, hasil analisa space menguatkan hasil
analisis matriks internal eksternal
Tahap ketiga atau terakhir dari perumusan strategi (Rangkuti 2009) adalah tahap pengambilan keputusan.
Tahap ini dapat dilakukan dengan menggunakan matriks analisis SWOT. Berbagai hasil analisis tahap pertama dan
kedua akan menjadi pertimbangan dan masukan dalam merumuskan analisis SWOT pada tahap pengambilan
keputusan ini.

Tahap Pengambilan Keputusan dengan Analisis SWOT


Pada tahap pengambilan keputusan, matriks SWOT perlu merujuk kembali pada matriks IFAS dan matriks

Analisis ini juga bertujuan agar adanya sinkronisasi antara pemerintah dengan
petani rakyat dalam hal mengenai kebijakan pemerintah dalam bidang sektor
pertanian dan juga mendukung pertanian Indonesia untuk maju dan efisien serta
efektif dalam penyelenggaraannya dan juga kebijakan ini diharapkan dapat
diterima oleh masyarakat Indonesia dan menjadi panutan itulah guna analisis ini.

EFAS yang sudah dihasilkan. Dengan demikian dapat diketahui posisi suatu usaha berada pada sel mana dari
matriks Internal Eksternal dan berada pada kuadran mana dari matriks space (Marimin 2008). Khusus pengembangan
peternakan sapi potong di Kota Tangerang Selatan jika merujuk hasil analisis matriks Internal Eksternal maka berada
pada sel 5, dan berdasarkan analisis matriks space maka berada pada kuadran II. Strategi yang akan digunakan
dalam matriks SWOT menggunakan strategi ST (StrengthsThreats) sebagai strategi utama yaitu strategi yang dibuat
dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk mengeliminir ancaman sebesar-besarnya bagi pengembangan
peternakan sapi potong di Kota Tangerang Selatan.
Berbagai faktor kekuatan dan ancaman dikaji dan dianalisis sehingga dapat dirumuskan menjadi strategi
dalam perencanaan pengembangan peternakan sapi potong. Dukungan instansi yang membidangi peternakan di
Kota Tangerang Selatan dan potensi lokasi pemasaran menjadi kekuatan dan modal dalam merumuskan strategi
pertumbuhan (growth strategy). Sisi ancaman, isu pencemaran lingkungan dan konversi lahan menjadi faktor yang
harus diminimalisir. Upaya mobilisasi sumber daya yang merupakan kekuatan organisasi harus dilakukan untuk
memperlunak ancaman dari luar tersebut, bahkan kemudian merubah ancaman itu menjadi sebuah peluang.
1. Berdasarkan matriks SWOT (Gambar 3), dapat dirumuskan beberapa strategi dengan mengkolaborasikan
faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktorfaktor eksternal (peluang dan ancaman). Strategi
SO (Kuadran I) :

1. Meningkatkan peran kelembagaan kelompok ternak dengan pembinaan dari instansi terkait.
2. peternakan Mengoptimalkan keterampilan individu peternak serta peran kelembagaan kelompok ternak
dalam pengembangan sapi potong di Kota Tangerang Selatan dengan melihat potensi pasar dan demand
produk yang tinggi. Kemampuan sumberdaya
3. manusia harus terus ditingkatkan dengan pendampingan yang intensif.
4. Peningkatan kualitas ternak dengan penambahan pakan konsentrat sehingga menambah daya saing
Daerah Kota Tangerang Selatan sangat penting dalam peningkatan pengetahuan pengolahan limbah
peternakan.
Koordinasi antar lembaga pemerintah terkait dalam

1. pasar. Adanya peningkatan kualitas menyebabkan peternak memiliki daya saing di pasar.
Strategi ST (Kuadran II) :
1. Optimalisasi pembinaan dari instansi terkait dalam hal ini Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota
Tangerang Selatan yang membawahi bidang peternakan melalui program pembinaan peternak dalam
penerapan manajemen dan teknologi pengolahan limbah peternakan.
2. Dukungan sarana dan prasarana usaha ternak dan pengembangan kelembagaan berupa koperasi gabungan
kelompok ternak dalam membantu pemasaran ternak dan produknya guna mengimbangi tekanan produk
impor peternakan.
3. Pengendalian pemanfaatan ruang, dalam hal ini lahan peternakan yang sesuai yang sesuaia dengan potensi
biofisik dan spasial serta keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah terhadap peternakan serta perlindungan
terhadap status kepemilikan lahan peternak.
Strategi WO (Kuadran III) :
2. Peningkatan teknologi peternakan baik dalam budidaya maupun pengolahan limbah guna mengatasi
keterbatasan sumberdaya alam.Peran Dinas Pertanian da Ketahanan Pangan dan Badan Lingkungan Hidup
Daerah Kota Tangerang Selatan sangat penting dalam peningkatan pengetahuan pengolahan limbah
peternakan.
Koordinasi antar lembaga pemerintah terkait dalam pengawasan harga dan pendistribusian sarana dan
prasarana peternakan dalam rangka mengurangi ketergantungan pemenuhan produk peternakan dari daerah
lain. Koordinasi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Tangerang Selatan berperan penting dalam pengendalian harga produk peternakan.
3. Peran pendampingan pemerintah dan lembaga keuangan dalam penyediaan modal peternak.
Strategi WT (Kuadran IV) :
1. Rumusan kebijakan pemanfaatan arahan penggunaan lahan yang tidak mengesampingkan peternak.
Perlindungan lahan pertanian pada umumnya dan peternakan pada khususnya pelalui peraturan daerah
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan sangat diperlukan.
2. Peran dan pendampingan pemerintah pusat dalam menyeimbangkan harga ternak dalam negeri dan impor.
Berbagai rumusan strategi tersebut mengacu pada hasil analisis matriks IFAS, matriks EFAS, matriks
internal eksternal dan matriks space. Khusus untuk pengembangan peternakan sapi potong di Kota Tangerang
Selatan, prioritas strategi yang akan diterapkan adalah strategi ST (kuadran II). Pembinaan dari instansi terkait
tentang pemanfaatan teknologi pengolahan limbah sangat diperlukan bagi para peternak menyikapi isu pencemaran
lingkungan yang diakibatkan oleh limbah peternakan. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan dan
Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Tangerang Selatan dalam hal ini dapat berperan lebih besar dalam membina para
peternak perihal pengolahan limbah. Limbah peternakan dapat diarahkan dan dikelola sehingga menciptakan peternakan
dengan tanpa limbah (zero waste). Pengolahan limbah dan pengendalian limbah menjadi kunci pokok dalam manajemen
penanganan limbah yang berkelanjutan (Ngoc 2009).
Pembentukan koperasi gabungan kelompok ternak dapat dilakukan di Kota Tangerang Selatan mengingat jumlah kelompok
aktif di wilayah ini ada sebanyak 12 kelompok dan diperkirakan akan terus meningkat. Koperasi gabungan kelompok ternak
ini diharapkan dapat memperkuat kelembagaan dari para peternak dan meningkatkan nilai tawar (bargaining power) terhadap
produk-produk peternakan di samping peningkatan kualitas ternak.Perbaikan mutu genetik sapi potong yang pernah dan
sedang dilaksanakan di Indonesia meliputi beberapa kebijakan yang meliputi pemurnian, pengembangan sapi murni, dan
persilangan (Talib 2001). Koperasi gabungan kelompok ternak dapat mengurangi keterlibatan tengkulak dalam pemasaran
produk peternakan dan mengimbangi tekanan produk impor peternakan.
Berdasarkan potensi biofisik dan spasial serta keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah dapat diusulkan perubahan pola
ruang yang ada sehingga dapat mengakomodir sektor pertanian pada umumnya dan peternakan ada khususnya. Suatu
komoditas pertanian untuk dapattumbuh dan berproduksi secara optimalmemerlukan lahan dengan
kualitas,karakteristik, dan manajemen tertentu (FAO1976; Djaenudin et al. 2002).Perubahan pola ruang diharapkan
mampu melindungi lahan-lahan para peternak dari konversi lahan.
KESIMPULAN
I.Pertanian

Membangun sektor pertanian adalah keniscayaan, sehingga membangun sektor pertanian adalah wajib hukumnya.
Pembangunan pertanian tidak boleh timbul hanya karena "belas kasihan" atau dipandang sebagai akibat
permasalahan kerniskinan atau ketidakmandirian, akan tetapi harus dipandang karena sektor pertanian memiliki
prospek dan potensi untuk dikembangkan. Pengembangan pertanian yang pro petani memerlukan keberpihakan dari
seluruh elemen bangsa, khususnya para pengambil kebijakan agar menempatkan pertanian sebagai sektor yang perlu
mendapatkan ukuran kongkret.

II.Peternakan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkanbahwa prioritas perencanaan pengembangan peternakan sapi
potong di Kota Tangerang Selatan, adalah : 1) Optimalisasi pembinaan dari instansi terkait dalam hal ini Dinas
Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan yang membawahi bidang peternakan melalui program
pembinaan peternak dalam penerapan manajemen dan teknologi pengolahan limbah peternakan; 2) Dukungan sarana
dan prasarana usaha ternak dan pengembangan kelembagaan berupa koperasi gabungan kelompok ternak dalam
membantu pemasaran ternak dan produknya guna mengimbangi tekanan produk impor peternakan dan 3)
Pengendalian pemanfaatan ruang, dalam hal ini lahan peternakan yang sesuai yang sesuaia dengan potensi biofisik
dan spasial serta keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah terhadap peternakan serta
perlindungan terhadap status kepemilikan lahan peternak dan juga peningkatan dalam hal penyediaan lahan untuk
perkembangan usaha peternakan di Indonesia semakin maju dan efektif serta efisien.

DAFTAR PUSTAKA

1.Pertanian :
Araf Al dan Puryadi Awan, (2002). Perebutan Kuasa Tanah. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Azhar Ipong S., (1999). Radikalisme Petani Masa Orde Baru: Kasus Sengketa Tanah Jenggawah. Yogyakarta: PT Tarawang.
Bachriadi, Dianto & Anton Lucas, (2001). Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Breman, Jan & Gunawan Wiradi, (2004). Masa Cerah dan Masa Suram Di Pedesaan Jawa (Studi Kasus Dinamika Sosio-
Ekonomi Di Dua Desa Menjelang Akhir Abad ke-20), Jakarta, LP3ES.
Damanik, Jayadi, (2002). Pembaruan Agraria dan Hak Asasi Petani, Yogyakarta, Lapera Pustaka Utama.
Fahmid, Imam Mujahidin (2004). Gagalnya Politik Pangan Di Bawah Rezim Orde Baru, Kaftan Ekonomi Politik Pangan di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Studi Perkotaan (Sandi Kota) dan Institute For Social and Political Economic Issues
(ISPEI).
Faryadi, Erpan, (2005). Pembaruan Agraria dan Konflik Agraria dalam Tanah Masih Di Langit Penyelesaian Masalah
Penguasaan Tanah Dan Kekayaan Alam di Indonesia Yang Tak Kunjung Tuntas, Jakarta, Yayasan Kemala.
Jamasy Owin, (2001). 'Rumusan Agenda Pembangunan Pertanian Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa.' Dalam Jamasy
Owin (ed). Pembangunan Pertanian Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa. Jakarta: Bina Swadaya.
'Jangan Lagi Ada Kebijakan Parsial.' Kompas, 14 Desember 2005.
Khudori, (2004). Neoliberalisme Menumpas Petani, Menyingkap Kejahatan Industri Pangan, Yogyakarta: Resist Book.
Khudori, (2005). Lapar : Negeri Salah Urus. Yogyakarta: Resist Book
Lassa, Jonathan, (2005). 'Ketahanan Pangan Indonesia. 'Kompas 26 November 2005.
Sarjani Soegeng dan Sukardi Rinakit, (2005). Membaca Indonesia. Yogyakarta: Soegeng Sarjadi Syindicate.
Sajogyo dan Sumantoro Martowijoyo, (2005). Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Dalam Kancah Globalisasi. Bogor: Yayasan
Sajogyo Utama. Sayafa'aat, Simatupang, dan Mardianto, Khudori, (2005). Pertanian
Menjawab Tantangan Ekonomi Nasional, Argumentasi Teoritis, Faktual dan Strategi Kebijakan. Yogyakarta: Lapera
Pustaka Utama.
Scott, James, C, (1981). Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Simamarta, Rikardo, (2002). Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah Oleh Negara. Yogyakarta: Insist Press.

2.Peternakan

[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2014. Kota Tangerang Selatan Dalam Angka 2014. Tangerang
Selatan : BPS Kota Tangerang Selatan.
Djaenudin, D., Y. Sulaeman, & A. Abdurachman.2002. Pendekatan PewilayahanKomoditas Pertanian
MenurutPedoagroklimat di Kawasan TimurIndonesia. Jurnal Penelitian dan PengembanganPertanian 21(1): 1-10.
[DPKP] Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan. 2014a. Laporan Hasil Forum SKPD 2011-2014.
Tangerang Selatan.
[DPKP] Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan. 2014b. Profil Bidang Peternakan Kota
Tangerang Selatan. Tangerang Selatan.
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soils Bulletin No. 12. FAO, Rome.
Ikhsan, S., & A. Artahnan. 2011. Analisis SWOT untuk merumuskan strategi pengembangan komoditas
karet di Kabupaten Pulau Pisau, Kalimantan Tengah. Jurnal Agribisnis Pedesaan. 1: 166-177.
Leskinen, A. L., P. Leskinen, M. Kurtila, J. Kangas and M. Kajanus. 2006. Adapting Modern Strategic Decision Support
Tools in the Participatory Strategic Process-A Case Study of A Forest Research Station. Journal of Forest Policy and
Economics. 8 : 267-278.
Maharisi, S., Machfud, A. Maulana. 2014. Manajemen Strategi Pengembangan Pertanian Kota (Urban Agriculture) di Kota
Tangerang Selatan. Jurnal Aplikasi Manajemen. 12: 351-361
Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia,Jakarta.
Ngoc, U. N. 2009. Sustainable Solutions for Solid Waste Management in Southeast Asian Countries. Waste Management. 29:
1982-1995.
Osuna, E., A. Aranda. 2007. Combinating SWOT and AHP Techniques for Strategic Planning. ISAHP : 2-6
Prayudha, E. D., S. Bambang & H. Boedi. 2014. Strategi Kelompok Pantai Lestari Dalam Pengembangan Rehabilitasi
Mangrove di Desa Karangsong, Kabupaten Indramayu. Diponegoro Journal of Maquares Management of Aquatic
Resources. 3: 8087.
Rahmawati, N. Y. N., & A. Daroini. 2014. Strategi Pengembangan Komoditi Tanaman Porang (Amorphophallus
onchophyllus) di Kabupaten Nganjuk. Jurnal Manajemen Agribisnis. 14: 51-56.
Rangkuti, F. 2009. Analisis SWOT, Teknk Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.
Sukidin, M. 2005. Metode penelitian : Membimbing
Dan Mengantar Kesuksesan Anda Dalam Dunia Penelitian.Insan Cendekia,Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai