Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SURVEY TANAH DAN EVALUASI LAHAN

“KLASIFIKASI KEMAMPUAN LAHAN”

Kelas: H
Kelompok: 2
Devi Romadhina 175040101111016
Dita Anjarsari Agustin 175040101111017
Novia Yurika Wulandari 175040101111023
Tiyas Eka Oktaviani 175040101111036
Wafa Nur Izzah 175040101111048
Shofiya Salsabila 175040101111057
Sesilia Kindlywati Siboro 175040101111102
Sintia Fauzia 175040101111107
Cindy Citra Yolanda 175040101111124
Bethari Wisnu Dewayani 175040101111127

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
1. STRUKTUR KLASIFIKASI KEMAMPUAN LAHAN USDA
1.1 Pengertian Kemampuan Lahan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2009 tentang
Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang
Wilayah menegaskan bahwa kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan
yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi
lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan
klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit
pengelolaan.
Klasifikasi kemampuan lahan atau kapabilitas lahan merupakan potensi dari
suatu lahan untuk penggunaan dari sistem pertanian secara umum tanpa
mengetahui penggunaan untuk jenis tanaman-tanaman yang tumbuh diatas
permukaan lahan ataupun pengelolaan dari lahan tersebut. Tujuan dari adanya
pengelompokan klasifikasi lahan yaitu, agar potensi dari lahan tersebut dapat
berproduksi secara maksimal sesuai dengan kemampuan dari lahannya. Dalam
sistem klasifikasi lahan ini dikelompokan ke dalam tiga kategori, yaitu kelas,
subkelas, dan satuan (unit) kemampuan atau pengelolaan (Rayes, 2007).
Proses klasifikasi dari kemampuan lahan ini menurut Rayes (2007) pada
dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan menggunakan metode faktor
pembatas. Metode faktor pembatas merupakan suatu sifat ataupun kualitas dari
lahan yang disusun berurutan mulai dari yang terbaik (pembatas paling rendah)
hingga yang semakin buruk (pembatas terbesar). Masing-masing dari kelas ini
disusun berdasarkan tabel kriteria yang digunakan dalam penggunaan lahan
tertentu, sehingga dapat disesuaikan faktor pembatas terkecil untuk kelas terbaik
dan faktor pembatas terbesar yaitu untuk kelas terburuk.
1.2 Struktur Klasifikasi
Klasifikasi kemampuan lahan terbagi tiga kategori yaitu kelas, subkelas, dan
satuan (unit). Satuan-satuan kemampuan lahan merupakan pengelompokan dari
beberapa satuan peta tanah. Satuan peta tanah merupakan bagian dari lansekap
yang memiliki karakteristik dan kualitas yang serupa dan batas-batasnya
ditetapkan oleh suatu definisi yang tepat. Pengelompokan didalam tingkat
subkelas didasarkan pada jenis faktor penghambat yang ada. Terdapat empat jenis
utama pengambat yaitu: (1) bahaya erosi (e), (2) kelebihan air (w), (3) pembatas
perkembangan akar tanaman (s), (4) pembatas iklim (e)
Satuan kemampuan merupakan pengelompokan dari satu atau lebih satuan
peta tanah individu yang memiliki potensi dan penghambat secara terus menerus
yang serupa. Pengelompokan dalam satuan (unit) kemampuan lahan adalah
pengelompokan tanah-tanah yang mempunyai keragaan dan memiliki persyaratan
yang sama terhadap sistem pengelolan yang sama pula bagi usaha tani tanaman
pertanian pada umumnya. Tanah-tanah yang berada dalam satu satuan
kemampuan akan sesuai bagi penggunaan usaha tanaman yang sama dan
memberikan keragaan yang sama terhadap berbagai alternative pengelolaan bagi
tanaman tersebut.
2. URAIAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak dipakai di Indonesia
dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele tahun 1943. Menurut sistem ini
pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Jadi,
kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas
atau penghambat (deegre of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian
yang umum.
Kelas kemampuan lahan menurut USDA dibedakan atas delapan kelas
kemampuan lahan. Intensitas dan pilihan penggunaan lahan semakin menurun
dengan semakin besarnya angka kelas. Dimana diuraikan sebagai berikut:
Kelas Kemampuan I
Lahan kelas kemampuan I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi
penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai
dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput,
padang rumput, hutan produksi, dan cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas
kemampuan I mempunyai salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas sebagai
berikut: (1) terletak pada topografi datar (kemiringan lereng < 3%), (2) kepekaan
erosi sangat rendah sampai rendah, (3) tidak mengalami erosi, (4) mempunyai
kedalaman efektif yang dalam, (5) umumnya berdrainase baik, (6) mudah diolah,
(7) kapasitas menahan air baik, (8) subur atau responsif terhadap pemupukan, (9)
tidak terancam banjir, (10) di bawah iklim setempat yang sesuai bagi
pertumbuhan tanaman umumnya.
Kelas kemampuan 1 menurut Rayes (2007) mempunyai tanah yang aman dari
bahaya banjir, umumnya sesuai untuk penanaman intensif. Tanah yang kelebihan
air dan mempunyai lapisan bawah yang permeabilitasnya lambat tidak termasuk
dalam kelas 1. Sekalipun tanah dalam kelas 1 cukup subur, tetapi tindakan
pemupukan, pengapuran atau upaya-upaya lain yang bertujuan untuk
mempertahankan atau meningkatkan produktivitas masih sangat diperlukan.
Kelas Kemampuan II
Tanah-tanah dalam lahan kelas kemampuan II memiliki beberapa hambatan
atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau
mengakibatkannya memerlukan tindakan konservasi yang sedang. Lahan kelas II
memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan
konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara
jika tanah diusahakan untuk pertanian tanaman semusim. Hambatan pada lahan
kelas II sedikit, dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan. Tanah-tanah ini
sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang
penggembalaan, hutan produksi dan cagar alam.
Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas II adalah salah satu atau
kombinasi dari faktor berikut: (1) lereng yang landai atau berombak (>3 % – 8
%), (2) kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang, (3) kedalaman efetif sedang (4)
struktur tanah dan daya olah kurang baik, (5) salinitas sedikit sampai sedang atau
terdapat garam Natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinan
timbul kembali, (6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air
dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang
sedang tingkatannya, atau (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman atau
pengelolannya.
Tanah dalam kelas II memerlukan kegiatan konservasi khusus dan tindakan-
tindakan lainnya guna mengurangi bahaya erosi, pengendalian kelebihan air dan
yang lainnya. Misalnya tanah dengan lereng landai dan memiliki bahaya erosi
sedang, jika digunakan untuk tanaman semusim mungkin memerlukan salah satu
atau kombinasi tindakan, seperti: teras, penanaman dalam bidang-bidang teratur,
pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan rumput dan tanaman
legume, mulsa, pemupukan dan pengapuran (Rayes, 2007).
Kelas Kemampuan III
Tanah-tanah dalam kelas III mempunyai hambatan yang berat yang
mengurangi pilihan pengunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau
keduanya. Tanah-tanah dalam lahan kelas III mempunyai pembatas yang lebih
berat dari tanah-tanah kelas II dan jika digunakan bagi tanaman yang memerlukan
pengolahan tanah, tindakan konservasi yang diperlukan biasanya lebih sulit
diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman
semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput,
padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka marga satwa.
Hambatan yang terdapat pada tanah dalam lahan kelas III membatasi lama
penggunaannya bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau
kombinasi pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan
mungkin disebabkan oleh salah satu atau beberapa hal berikut: (1) lereng yang
agak miring atau bergelombang (>8 – 15%), (2) kepekaan erosi agak tinggi
sampai tinggi atau telah mengalami erosi sedang, (3) selama satu bulan setiap
tahun dilanda banjir selama waktu lebih dari 24 jam, (4) lapisan bawah tanah yang
permeabilitasnya rendah, (5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan
padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat padat
(claypan) yang membatasi perakaran dan kapasitas simpanan air, (6) terlalu basah
atau masih terus jenuh air setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah,
(8) salinitas atau kandungan natrium sedang, (9) kerikil dan batuan di permukaan
sedang, atau (1) hambatan iklim yang sedang.
Kelas kemampuan III jika diusahakan untuk tanaman semusim dan pertanian ,
tanah ini memerlukan drainase dan pengolahan tanah yang dapat memelihara atau
memeperbaiki struktur sehingga memudahkan pengolahan tanah. Tambahan
bahan organic sangat dianjurkan guna untuk menghindari adanya pelumpuran dan
pemadatan dan tidak dianjurkan mengolah tanah dalam keadaan basah (Rayes,
2007).
Kelas kemampuan IV
Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV
lebih besar dari pada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga
lebih terbatas. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan
yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi yang lebih sulit diterapkan dan
dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegatasi dan dam penghambat,
disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik
tanah. Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan
tanaman pertanian dan pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang
penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam.
Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV disebabkan
oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) lereng yang miring atau
berbukit (> 15% – 30%), (2) kepekaan erosi yang sangat tinggi, (3) pengaruh
bekas erosi yang agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya dangkal, (5) kapasitas
menahan air yang rendah, (6) selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun dilanda
banjir yang lamanya lebih dari 24 jam, (7) kelebihan air bebas dan ancaman
penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase (drainase buruk),
(8) terdapat banyak kerikil atau batuan di permukaan tanah, (9) salinitas atau
kandungan Natrium yang tinggi (pengaruhnya hebat), dan/atau (10) keadaan
iklim yang kurang menguntungkan.
Kelas Kemampuan V
Menurut Rayes (2007) Tanah-tanah dalam kelas V tidak sedikit memiliki
bahaya erosi, tetapi memiliki pembatas lain yang sulit dihilangkan sehingga
pilihan penggunaannya menjadi sangat terbatas, yaitu untuk padang rumput,
padang penggembalaan, hutan produksi, atau suaka alam. Tanah-tanah ini
menyulitkan penggoalahan tanah bagi tanaman semusim, biasanya terletak pada
topografi datar atau hampir datar tetapi tergenang air, sering dilanda banjir,
berbatu, iklim kurang mendukung, memiliki kombinasi pengahambat tersebut.
Ciri-cirinya adalah:
1. Terletak di dasar lembahyang sering kebanjiran sehingga sulit digunakan
untuk penanaman tanaman semusim secara normal.
2. Tanah-tanah yang hampir datar tetapi keadaan iklim tidak memungkinkan
tanaman untuk berproduksi secara normal.
3. Hampir datar tetapi berbatu-batu
4. Tanah-tanah rawa yang tidak memungkinkan didrainase untuk tanaman
semusim, akan tetapi dapat ditanami rumput atau tanaman pohon dengan
pengelolaan yang tepat.
Kelas Kemampuan VI
Menurut Rayes (2007) Tanah-tanah dalam kelas VI memiliki penghambat
yang berat sehingga tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pertanian. Penggunaan
tanah ini hanya terbatas untuk padang rumput atau padang penggembalaan, hutan
produksi, hutan lindung, atau cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai
penghambat atau bahaya kerusakan yang tidak dapat dihilangkan. Berupa salah
satu atau kombinasi faktor-faktor berikut yakni Lereng curam, Bahaya erosi berat,
Telah tererosi berat, Berbatu, Zona perakaran dangkal, Kelebihan air atau
kebanjiran, Kapasitas menahan air rendah, Salinitas atau kandungan Na tinggi,
Iklim tidak mendukung. Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng yang agak
curam jika akan digunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus
dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Beberapa tanah didalam kelas VI
yang daerah perakarannya dalam, tetapi terlerak pada lereng agak curam dapat
digunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi.
Kelas Kemampuan VII
Tanah-tanah dalam kelas VII memiliki pembatas yang berat sehingga tidak
sesuai untuk pertanian dan penggunaannya sangat terbatas untuk padang rumput,
hutan produksi dan suaka alam. Jika tanah-tanah ini digunakan untuk padang
rumput atau hutan produksi, maka harus dilakukan usaha pencegahan erosi yang
berat. Tanah-tanah kelas VII memiliki beberapa penghambat atau bahaya
kerusakan yang berat dan tidak dapat dihilangkan seperti lereng sangay curam,
mengalami erosi sangat berat, tanah dangkal, berbatu, tanah selalu tergenang,
kandungan garam dan Na tinggi, iklim yang tidak mendukung, pembatas-
pembatas lain yang menyebabkan tidak sesuai untuk pertanian (Rayes, 2007).
Kelas Kemampuan VIII
Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai
untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan
lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada
lahan kelas VIII dapat berupa terletak pada lereng yuang sangat curam (>65%),
berbatu atau kerikil (lebih dari 90% volume tanah terdiri dari batu atau kerikil
atau lebih dari 90% permukaan lahan tertutup batuan), kapasitas menahan air
sangat rendah. Contoh lahan kelas VIII adalah puncak gunung, tanah mati, batu
terungkap, dan pantai pasir (Simanungkalit, 2011).
3. SUB-KELAS KEMAMPUAN LAHAN
Subkelas merupakan pembagian lebih lanjut dari kelas dan dibedakan
berdasarkan jenis faktor pembatas atau bahaya kerusakan. Subkelas merupakan
pengelompokan satuan-satuan kemampuan lahan yang memiliki jenis pembatas
atau bahaya dominan yang sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat
dari sifat-sifat tanah dan iklim. Beberapa tanah dapat mengalami erosi jika tidak
dilindungi, sementara yang lain secara alami berada dalam kondisi basah dan
harus dikeringkan jika ingin ditanamani. Beberapa tanah memiliki kedalaman
efektif yang dangkal atau mudah mengalami kekeringan atau memiliki
kekurangan lainnya. Selain itu terdapat tanah yang terletak di suatu wilayah yang
memiliki iklim tidak mendukung yang dapat membatasi penggunaannya.
Empat jenis batasan yang diakui pada tingkat subkelas yaitu: bahaya erosi,
yang ditunjukkan oleh simbol (e); keadaan drainase atau kelebihan air atau bahaya
banjir (w); kedalaman efektif tanah menghambat perakaran (s); dan hambatan
iklim (c). Subkelas menyediakan peta informasi bagi pengguna mengenai tingkat
dan jenis pembatas. Sementara, lahan atau tanah kelas I tidak memiliki subkelas.
a. Subkelas erosi (e)  terdiri dari tanah yang rentan terhadap adanya erosi,
dimana erosi merupakan masalah dominan atau bahaya dalam penggunaannya.
Kerentanan terhadap erosi dan kerusakan akibat erosi di masa lalu merupakan
faktor tanah yang untuk menempatkan tanah pada subkelas ini. Bahaya erosi
disebabkan oleh lereng yang curam dan erodibilitas (kepekaan erosi) tanah
yang tinggi.
b. Subkelas kelebihan air (w)  dimana drainase yang buruk atau kelebihan air
dan bahaya banjir merupakan bahaya dominan atau batasan dalam penggunaan
tanah karena dapat merusak tanaman. Drainase tanah yang buruk, basah, muka
air yang tinggi, dan luapan adalah kriteria dalam menentukan tanah mana yang
termasuk dalam subkelas ini.
c. Subkelas penghambat tanah di daerah perakaran (s)  seperti namanya, tanah
ini memiliki keterbatasan di daerah perakaran, seperti kedangkalan zona
perakaran karena batu atau lapisan yang menghambat perakaran, batuan di
permukaanlahan, kapasitas menahan air yang rendah, sifat-sifat kimia yang
sulit untuk diperbaiki seperti salinitas atau kandungan natrium,atau senyawa
kimia lainnya yang menghambat pertumbuhan tanaman dan sulit diatasi.
d. Subkelas iklim (c)  dimana faktor iklim (temperatur dan curah hujan) yang
tidak mendukung adalah satu-satunya bahaya atau batasan utama dalam
penggunaan tanahnya.
Keterbatasan yang ditimbulkan oleh adanya erosi, kelebihan air, tanah yang
dangkal, berbatu, kapasitas menahan air yang rendah, salinitas atau kandungan
garam dapat dimodifikasi atau sebagian dapat diatasi dan merupakan faktor
pembatas yang diutamakan dibandingkan dengan keterbatasan iklim dalam
menentukan subkelas, yang diberikan simbol (e), (w), dan (s). Tanah-tanah yang
tidak memiliki batasan selain iklim dikategorikankan kedalam subkelas (c).
Apabila terdapat dua jenis penghambat bernilai sama yang dapat dimodifikasi
atau diperbaiki, maka penetapan subkelas dapat didasarkan pada prioritasnya,
yaitu (e), (w), (s). Sebagai contoh, kita perlu mengelompokkan beberapa tanah di
area lembab yang memiliki bahaya erosi dan bahaya air berlebih; dimana (e) akan
lebih diutamakan dibandingkan (w). Dalam pengelompokan tanah yang memiliki
batasan air berlebih dan batas zona perakaran, (w) akan lebih diutamakan daripada
(s). Dalam pengelompokan tanah subhumid dan semiarid yang memiliki bahaya
erosi dan batasan iklim, (e) akan lebih diutamakan daripada (c); dan dalam
mengelompokkan tanah dengan batasan zona perakaran dan keterbatasan iklim,
(s) lebih diutamakan daripada (c).
Jika tanah memiliki dua jenis penghambat, maka keduanya dapat ditulis jika
diperlukan untuk penggunaan secara lokal dengan menuliskan yang lebih
dominan terlebih dahulu. Subkelas ditandai dengan adanya penambahan huruf
kecil yang ditempatkan di belakang angka atau nomor kelas kesesuaian lahan,
misalnya IIe, Vw, VIIIs, dan sebagainya.
4. SATUAN KEMAMPUAN LAHAN
Satuan kemampuan lahan atau capability unit merupakan pengelompokkan
lahan yang sama atau hampir sama kesesuaiannya terhadap pertumbuhan tanaman
sehingga memerlukan pengelolaan yang sama atau memberikan tanggapan
(respon) yang sama terhadap pengelolaan yang diberikan (Rayes, 2007). Dapat
diartikan lebih lanjut sebagai serangkaian alternatif pengelolaan tanah, air, dan
tanaman yang cukup seragam dan dapat disajikan dalam capability unit serta tidak
mempertimbangkan efek dari manajemen masa lampau yang tidak memiliki efek
positif maupun negatif secara permanen pada tanah. Di mana tanah telah
mengalami perubahan akibat manajemen, sehingga karakteristik permanen tanah
telah berubah, tanah tersebut ditempatkan dalam rangkaian tanah yang berbeda.
Tanah yang dikelompokkan ke dalam capability units merespons dengan cara
yang serupa dan memerlukan pengelolaan yang serupa walaupun mereka mungkin
memiliki karakteristik tanah yang menempatkannya dalam rangkaian tanah yang
berbeda.
Satuan atau unit kemampuan lahan mampu memberikan informasi yang lebih
spesifik dan terperinci daripada sub-kelas untuk di aplikasikan ke bidang tertentu
seperti bidang pertanian atau peternakan. Tanah yang dikelompokkan menjadi
capability unit harus cukup seragam dalam kombinasi karakteristik tanah yang
memengaruhi kualitasnya agar memiliki potensi yang serupa dan keterbatasan
atau bahaya yang berkelanjutan seragam. Dengan demikian tanah dalam
capability unit harus cukup seragam untuk:
a. Menghasilkan jenis tanaman dan tanaman rumput yang serupa dengan
praktik pengelolaan yang serupa,
b. Memerlukan perlakuan dan pengelolaan konservasi yang serupa di bawah
jenis dan kondisi tutupan vegetatif yang sama
c. Memiliki potensi produktivitas yang sebanding.
(Perkiraan hasil rata-rata di bawah sistem manajemen yang serupa tidak boleh
lebih dari 25% di antara jenis-jenis tanah yang termasuk dalam unit.)
Menurut Rayes (2007) penulisan tingkat satuan kemampuan lahan,
menggunakan tambahan angka Arab di belakang symbol sub-kelas.
Contoh : IIIw-1, IIe-2 dan lain lain.
Angka-angka tersebut menunjukkan besarnya tingkat dan faktor penghambat yang
terdapat dalam sub-kelas tersebut.
Satuan kemampuan lahan biasanya juga dikenal sebagai aspek – aspek fisik
kemampuan lahan yang dianalisis. Informasi aspek – aspek fisik kemampuan
lahan yang dimaksud tersebut dan dibutuhkan bagi pengembangan pertanian
maupun industri yaitu berupa:
1. Satuan Kemampuan Lahan Morfologi
2. Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Lereng
3. Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Pondasi
4. Satuan Kemampuan Lahan Ketersediaan Air
5. Satuan Kemampuan Lahan Kerentanan Bencana
6. Satuan Kemampuan Lahan Drainase
7. Satuan Kemampuan Lahan Pembuangan Limbah
8. Satuan Kemampuan Lahan Terhadap Erosi
9. Satuan Kemampuan Lahan Kemudahan di Kerjakan
5. KRITERIA KLASIFIKASI
Pengelompokan dalam kelas kemampuan lahan dinilai untuk setiap satuan
peta yang diperoleh dari hasil survey tanah. Dalam setiap satuan peta terdapat
informasi tentang taksa tanah (pada kategori yang tergantung dari skala peta
tanah) dan komponen lahan seperti bentuk lahan, lereng, hidrologi, dan iklim
dalam hubungannya dengan penggunaan lahan, pengelolaan, dan produktivitas
lahan. Informasi tersebut terdapat pada legenda peta.
Kelas kemampuan di dasarkan atas tingkat atau intensitas dan jumlah factor
pembatas atau bahaya kerusakan yang mempengaruhi jenis penggunaan lahan,
resiko kerusakan tanah jika salah kelola, keperluan pengelolaan tanah dan resiko
kegagalan tanaman. Sehingga diperlukan kriteria yang jelas yang dapat membantu
pengelompokan tanah pada setiap kategori, yaitu kelas, sub kelas, dan satuan
kemampuan. Berikut merupakan kriteria factor pembatas yang menentukan kelas
maupun sub kelas atau satuan kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Arsyad
(1989) dalam Rayes (2007). Kriteria-kriteria tersebut dapat diterapkan di
Indonesia.
1. Iklim
Terdapat 2 komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan,
yaitu temperature dan curah hujan. Di daerah tropis factor-faktor yang
mempengaruhi temperature udara adalah elevasi (ketinggian tempat dari
permukaan laut). Menurut Braak (1928) berdasarkan hasil penelitiannya di
Indonesia memprediksi suhu menggunakan persamaan berikut.
T = 26.3OC – 0.61 h
Keterangan:
T = Temperatur (OC)
O
26.3 C = temperature rata-rata pada permukaan laut
h = ketinggian tempat dalam hektomater (100 m)
Hal yang mempengaruhi kemampuan tanah adalah penyediaan air secara
alami berupa curah hujan di daerah agak basah, agak kering dan kering. Karena
klasifikasi pada setiap lokasi didasarkan atas penampilan tanaman, maka pengaruh
interaksi antara iklim dengan tanah harus diperhitungkan. Misalnya daerah dengan
iklim agak basah, tanah berpasir dapat diklasifikasikan dalam kelas VI atau kelas
VII sedangkan tanah yang memiliki kapasitas menahan air sama di daerah yang
beriklim lebih basah dapat diklasifikasikan dalam kelas III atau IV. Sedangkan
pada lahan beriklim kering karena hujan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
tanaman maka dapat diklasifikasikan dalam kelas I, II, III, IV jika masalah
kekurangan air dapat diatasi dengan adanya irigasi. Jika masalah kekurangan air
dapat diatasi dengan cara irigasi, maka tanah dapat diklasifikasikan berdasarkan
pengaruh sifat-sifat atau bahaya permanen lainnya yang merupakan maslah atau
bahaya penggunaan setelah pembangunan fasilitas irigasi.
2. Lereng, bahaya erosi, dan erosi yang telah terjadi
Kecuraman lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng (cekung atau
cembung) dapat mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Kecuraman
lereng tercantum pada legenda peta tanah, sedangkan panjang dan bentuk lereng
tidak tercatat. Jika data hasil penelitian tentang besarnya erosi di bawah system
pengelolaan tertentu atau kepekaan tanah tersedia, maka data tersebut dapat
digunakan untuk mengelompokkan tanah pada tingkat kelas.
Berikut merupakan pengelompokan kecuraman lereng:

Kelas
Kriteria Deskripsi
lereng
A Datar < 3%
B Landai atau berombak 3 – 8%
C Agak miring atau bergelombang 8 – 15%
D Miring atau berbukit 15 – 30%
E Agak curam 30 – 45%
F Curam 45 – 65%
G Sangat curam > 65%
Kepekaan erosi tanah (nilai K) dibedakan atas:

Kelas
Kriteria Deskripsi
kepekaan erosi
KE1 Sangat rendah 0,00 – 0,10
KE2 Rendah 0,11 – 0,20
KE3 Sedang 0,21 – 0,32
KE4 Agak tinggi 0,33 – 0,43
KE5 Tinggi 0,44 – 0,55
KE6 Sangat tinggi 0,56 – 0,64

Kerusakan erosi yang telah terjadi (erosi masa lalu) dibedakan menjadi

Kelas
kerusakan Kriteria Deskripsi
erosi
Eo Tidak ada erosi Tidak ada lapisan yang hilang
e1 Ringan < 25% hilang
e2 Sedang 25 – 75% lapisan atas hilang
>75% lapisan atas sampai < 25% lapisan
e3 Agak berat
bawah hilang
e4 Berat >25% lapisan bawah hilang
e5 Sangat berat Erosi parit
3. Kedalaman Tanah (k)
Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar
tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman (Rayes, 2007).
Lapisan tersebut dapat berupa kontak lithic, lapisan padas keras, padas liat, padas rapuh atau
phlintit. Kedalaman efektif tanah diklasifikasikan sebagai berikut:

Kedalaman
Kriteria Deskripsi
efektif
k0 Dalam > 90 cm
k1 Sedang 50 – 90 cm
k2 Dangkal 25 – 50 cm
k3 Sangat dangkal < 25 cm
4. Tekstur tanah
Tektur tanah mempengaruhi kapasitas tanah untuk menahan air dan
permeabilitas tanah serta berbagai sifat fisik dan kimia tanah lainnya. Definisi
kelas struktur tanah mengacu pada system USDA.

Penentuan klasifikasi kemampuan lahan tekstur lapisan atas tanah (0 – 30


cm) dan lapisan bawah (30 – 60 cm) berdasarkan pengelompokan berikut:

Kelas tekstur
Deskripsi
tanah
t1 Tanah bertekstur halus (liat berpasir, liat berdebu dan liat)
Tanah bertekstur agak halus (lempung liat berpasir, lempung
t2
berliat, dan lempung liat berdebu)
Tanah bertekstur sedang (lempung, lempung berdebu, dan
t3
debu)
Tanah bertekstur agak kasar (lempung berpasir, lempung
t4
berpasir halus, dan lempung berpasir halus)
t5 Tanah bertekstur kasar (pasir berlempung, pasir)
5. Permeabilitas tanah (p)
Permeabilitas tanah adalah kemampuan tanah untuk mengalirkan air. Permeabilitas
tanah dikelompokkan sebagai berikut:

Kelas
permeabili Kriteria Deskripsi (cm/jam)
tas tanah
P1 Lambat < 0,5
P2 Agak lambat 0,5 – 2,0
P3 Sedang 2,0 – 6,25
P4 Agak cepat 6,25 – 12,5
P5 Cepat >12,5
6. Drainase
Drainase yang berasal dari bahasa inggris drainage mempunyai arti
mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Drainase secara umum
dapat didefenisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air,
baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu
kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase dapat
juga di artikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya
dengan salinitas. Jadi, darinase menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga
air tanah (Suripin, 2004).
Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut:
d0 = berlebihan (terkuras berlebihan); air yang berlebihan segera keluar dari
tanah dan tanah hanya akan bertahan sedikit air sehingga tanaman akan
segera memperbaiki kekurangan air
d1 = baik; tanah memiliki peredaran udara (aerasi) yang baik Seluruh profil
tanah dari atas hingga ke bawah> 150 cm) berwarna cerah yang seragam dan
tidak mengandung karatan (coklat bercak-bercak kuning, coklat atau kelabu).
d2 = agak baik; tanah beraerasi baik di daerah perakaran. Tidak ada bercak-
bercak berwarna kuning, coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas
lapisan bawah (hingga sekitar 60 cm dari permukaan tanah).
d3 = agak buruk; lapisan atas tanah beraerasi baik; tidak ada bercak-bercak
kuning, kelabu atau coklat. Bercak-bercak di sekitar seluruh lapisan bawah
(sekitar 40 cm dari permukaan tanah /.
d4 = Buruk; bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) ada warna atau
bercak-bercak kelabu, coklat dan kekuningan.
d5 = sangat buruk; seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan
tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau ada bercak-bercak kebiruan, atau
ada udara yang menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama
sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman.
7. Faktor-faktor Khusus
Faktor-faktor Khusus Faktor-faktor penghambat lain yang mungkin ada
adalah batu, bahaya banjir dan salinitas.
a. Batu dan Kerikil
Bahan kasar dapat berada di dalam lapisan tanah atau di atas permukaan
tanah. Bahan kasar yang terdapat di dalam lapisan 20 cm atau di bagian atas tanah
yang berukuran lebih besar dari 2 mm dibedakan sebagai berikut:
a) Kerikil, adalah bahan kasar yang berdiameter > 2 mm 7,5 cm (jika berbentuk
bulat) atau sampai 15 cm sumbu panjang (jika berbentuk pipih). Kerikil di
dalam lapisan 20 cm permukaan tanah dikelompokkan sebagai berikut
b0 = tidak ada atau sedikit (< 15% volume tanah)
bl = sedang (15-50 % volume tanah)
b2 = banyak (50-90% volume tanah)
b3 = sangat banyak (> 90% volume tanah)
b) Batu kecil, adalah bahan kasar atau batu berdiameter 7,5 cm sampai 25 cm
(jika berbentuk bulat), atau sumbu panjangnya berukuran 15 40 cm (jika
berbentuk pipih). Jumlah batu kecil dikelompokkan sebagai berikut:
b0 = tidak ada atau sedikit (0 - 15% volume tanah).
b1 = sedang (15-50% volume tanah); pengolahan tanah mulai agak sulit dan
pertumbuhan tanaman agak terganggu.
b2 = banyak (50 90 % volume tanah); pengolahan tanah sangat sulit dan
pertumbuhan tanaman terganggu.
b3 = sangat banyak (> 90 % volume tanah); pengolahan tanah tidak
mungkin dilakukan dan pertumbuhan tanaman terganggu.
Batu di atas permukaan tanah-tanah ada dua macam, yaitu batuan lepas
yang terletak di atas permukaan tanah (dalam bahasa Inggris disebut stone), dan
batuan tersingkap yang berada di atas permukaan tanah yang merupakan bagian
dari batuan besar yang terbenam di dalam tanah. Pengelompokan batuan di atas
permukaan tanah adalah sebagai berikut:
a. Batuan lepas, adalah batu yang tersebar di atas permukaan tanah dan
berdiameter > dari 25 cm (berbentuk bulat) atau bersumbu memanjang lebih
dari 40 cm (berbentuk pipih). Penyebaran batuan lepas di atas permukaan
tanah di kelompokkan sebagai berikut
b0 = tidak ada (< 0,01 % luas areal).
b1 = sedikit (0,01%- 3 % permukaan tanah tertutup); pengolahan tanah
dengan mesin agak terganggu tetapi tidak mengganggu pertumbuhan
tanaman.
b2 = sedang (3% 15 % permukaan tanah tertutup); pengolahan tanah mulai
agak sulit dan luas daerah produktif berkurang.
b3 = banyak (15% - 90% permukaan tanah tertutup); peng- olahan tanah dan
penanaman menjadi sangat sulit.
b4 = sangat banyak (> 90% permukaan tanah tertutup); tanah sama sekali
tidak dapat digunakan untuk produksi pertanian.
b. Batuan tersingkap (rock). Penyebaran batuan tersingkap di kelompokkan
sebagai berikut:
b0 = tidak ada (< dari 2 % permukaan tanah tertutup).
b1 = sedikit (2% - 10% permukaan tanah tertutup); pengolahan tanah dan
penanaman agak terganggu.
b2 = sedang (10% - 50% permukaan tanah tertutup); pengolahan tanah dan
penanaman terganggu.
b3 = banyak (50% 90% permukaan tanah tertutup); pengolahan tanah dan
penanaman sangat terganggu. sangat banyak (> 90 % permukaan tanah
tertutup); tanah sama sekali tidak dapat diolah.
c. Bahaya Banjir / Genangan
Bahaya banjir atau penggenangan dikelompokkan sebagai berikut:
O0= tidak pernah (dalam periode satu tahun tanah tidak pernah kebanjiran
selama > 24 jam).
O1 kadang-kadang (tanah kebanjiran > 24 jam dan terjadinya tidak teratur
dalam periode < satu bulan).
02= selama waktu satu bulan dalam setahun tanah secara teratur kebanjiran
untuk selama > 24 jam
03 selama 2 5 bulan dalam setahun, secara teratur selalu dilanda banjir yang
lamanya lebih dari 24 jam.
04 = selama waktu 2 6 bulan tanah selalu dilanda banjir secara teratur yang
lamanya > 24 jam. 3.
d. Salinitas
Salinitas tanah dinyatakan dalam kandungan garam larut atau hambatan
listrik ekstrak tanah berikut:
g0 = bebas (< 0,15% garam larut; 0-4 (EC x 103) mmhos per cm pada suhu
25°C).
g1 = sedikit terpengaruh (0,15 0,35% garam larut; 4 8 (EC x 10) mmhos/cm
pada suhu 25°C)
g2 = cukup terpengaruh (0,35 0,65% garam larut; 8 - 15 (EC x 109)
mmhos/cm pada suhu 25°C).
g3 = sangat terpengaruh (> 0,65% garam larut; > 15 (EC x 103 mmhos/cm
pada suhu 25C)
Berdasarkan definisi kelas dan subkelas kemampuan lahan serta
pengelompokan sifat-sifat atau kualitas lahan, maka hubungan antara kelas
kemampuan dan kriteria klasifikasi lahan, oleh Arsyad (1989) disusun menjadi
suatu matriks seperti tertera pada Tabel 9.3 yang berlaku secara umum untuk
daerah beriklim basah dan panas.
Faktor Kelas Kemampuan Lahan
I II III IV V VI VII VI
Penghambat/
II
Pembatas
1. Lereng A B C D A E F G
2. Kepekaa KE1, KE3 KE4, (*) (*) (*) (*) (*)
n erosi KE2 KE5
3. Tingkat eo e1 e2 e3 (* e4 e5 (*)
erosi *)
4. Kedalam k0 k1 k2 k2 (*) k3 (*) (*)
an tanah
5. Tekstur t1,t2, t1,t2, t1,t2,t3 t1,t2,t3 (*) t1,t2,t3 t1,t2,t3 t5
lapisan t3 t3 ,t4 ,t4 ,t4 ,t4
atas
6. Tekstur sda sda sda sda (*) sda sda t5
lapisan
bawah
7. Permeab P2, P2, P2, P3, P2, P3 P1 (*) (*) P5
ilitas P3 P3
P4 P4
8. Drainase d1 d2 d3 d4 d5 (**) (**) d0
9. Kerikil / b0 b0 b1 b2 b3 (*) (*) b4
batuan
10. Bahaya O0 O1 O2 O3 O4 (**) (**) (*)
banjir
11. Garam / g0 g1 g2 g3 (* g3 (*) (*)
salinitas *)
(*

6. STUDI KASUS
Kemampuan lahan untuk arahan penggunaan lahan pada lereng timur laut
gunung agung kabupaten karangasem-Bali. Terdapat 12 lahan yang diobservasi
yaitu 1-12. Langkah pertama untuk menentukan kelas kemampuan lahan daerah
penelitian adalah membuat peta unit lahan. Unit lahan merupakan sebidang lahan
yang memiliki kondisi sama dalam hal bentuk lahan, jenis tanah, kemiringan
lereng, dan penggunaan lahan. Ada beberapa faktor pembatas dalam menentukan
kemampuan lahan Tekstur atas, tekstur bawah, lereng permukaan, drainase,
kedalaman efektif, erosi, kerikil/ batuan dan banjir.
Pada lahan 1 termasuk kelas III, dengan faktor penghambat/pembatas berupa
kedalaman efektif tanah (k). Pada lahan 2 juga tergolong kelas III dengan faktor
pembatas utama berupa tekstur tanah (t), dan kedalaman efektif tanah (k). lahan 3
memiliki kemampuan lahan kelas III dengan faktor pembatas/penghambat berupa
kedalaman efektif tanah (k) dan kerikil/batuan (b). lahan 8 tergolong kelas III,
dengan faktor penghambat berupa kedalaman efektif tanah (k), keadaan erosi (e),
dan kerikil/batuan (b). Kemampuan lahan pada unit lahan ini tergolong cukup
tinggi karena lahan kelas III dapat digunakan untuk jenis tanaman semusim.
Lahan kelas III dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, di antaranya
untuk pertanian tanaman semusim, tanaman yang memerlukan pengolahan tanah,
tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam.
Sementara untuk penggunaan nonpertanian, lahan kelas III dapat digunakan untuk
kegiatan rekreasi serta obyek penelitian.
Sedangkan pada lahan 4 mempunyai kemampuan lahan kelas IV, dengan
beberapa faktor pembatas, di antaranya adalah kedalaman efektif tanah (k),
keadaan erosi (e), dan kerikil/batuan (b). Pada lahan 7 juga tergolong kelas IV,
dengan faktor penghambat/pembatas berupa kedalaman efektif tanah (k). lahan 9
memiliki kemampuan lahan yang tergolong kelas IV, dengan faktor pembatas
berupa kerikil/batuan (b). Sedangkan pada lahan 10 adalah kelas IV, dengan faktor
pembatas/penghambat utama yaitu kedalaman efektif tanah (k). Pada lahan 12
tergolong memiliki kemampuan lahan kelas IV, dengan faktor penghambat atau
pembatas berupa kedalaman efektif tanah (k) dan kerikil/batuan (b). Kemampuan
lahan pada unit ini tergolong sedang, karena hambatan dan ancaman kerusakan
pada lahan kelas IV lebih besar dari pada lahan kelas III. Pilihan tanaman pada
lahan kelas IV juga lebih terbatas. Jika digunakan untuk tanaman semusim
diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi yang lebih
sulit diterapkan dan dipelihara. Tindakan tersebut seperti pembuatan teras bangku,
saluran bervegatasi dan dam penghambat, di samping tindakan yang dilakukan
untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah pada lahan kelas IV
ini masih dapat dijadikan lahan pertanian dengan tingkatan pengawetan tanah
yang lebih khusus dan lebih berat.
Kemampuan lahan kelas 4 terdapat pada lahan 5, 6, dan 11. Pada lahan 5
faktor pembatas berupa kedalaman efektif tanah (k). Sedangkan pada lahan 6
faktor penghambatnya yaitu kedalaman efektif tanah (k) dan kerikil/batuan (b).
Dan pada lahan 11 faktor penghambatnya berupa kedalaman efektif tanah (k).
Kemampuan lahan ini lebih buruk dari kemampuan lahan pada unit-unit lahan
sebelumnya. Potensi unit lahan tergolong rendah karena lahan pada kelas ini
mempunyai faktor penghambat berat yang menyebabkan penggunaan tanah sangat
terbatas. Lahan kelas VI mempunyai ancaman kerusakan yang sangat sulit untuk
dihilangkan. Namun demikian lahan kelas VI masih dapat digunakan untuk
beberapa penggunaan, seperti penggunaan lahan yang dapat diupayakan adalah
hutan produksi, hutan lindung dan cagar alam.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarta, I Gede. 2014. Analisis Kemampuan Lahan untuk Arahan Penggunaan
Lahan pada Lereng Timur Laut Gunung Agung Kabupaten Karangasem-
Bali. Media Komunikasi Geografi 15 (1): 19-32.
Rayes, M. Luthfi. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Yogyakarta:
C.V ANDI OFFSET.
Simanungkalit, N. M. 2011. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Penggunaan Lahan
Pertanian di Sub DAS Gotigoti Daerah Aliran Sungai Batangtoru
Kabupaten Tapanuli Utara. Jurnal Geografi 3 (1): 1-16.
Suripin.2004. Sistem Drainase Yang Berkelanjutan, Edisi Pertama, Andi,
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai