Satu bulan terakhir ini Ibu Pertiwi menangis. Seakan tidak rela dengan bencana
yang bertubi-tubi menimpa pada negeri ini. Mulai dari kebakaran hutan dan lahan
(Karhutla), erupsi gunung Merapi, banjir, gempa bumi, kekeringan, hingga tanah
longsor. Bencana alam tersebut menyebabkan 4.362.537 orang mengungsi, 337
jiwa meninggal dunia, 12.463 luka-luka dan 55 orang hilang..
Semua itu merupakan fenomena alam yang apabila sudah sampai waktunya tidak
ada daya dan kekuatan satu pun yang bisa menunda barang sedetik pun. Yang bisa
dilakukan adalah menangkap sinyal-sinyal atau gelagat akan perubahan alam
tersebut yang bakal menimbulkan bencana. Sebagaimana yang dilakukan oleh
BMKG dan pihak-pihak terkait.
Namun, sayangnya, walaupun sudah ada peringatan, masih saja ada segelintir
orang yang mengacuhkan peringatan tersebut, yang pada gilirannya menjadi
korban bencana secara sia-sia. Lain halnya dengan bencana Gempa bumi. Tanpa
ada peringatan dini, tanpa ampun, mereka harus menjadi korban ganasnya Alam.
Jerit tangis campur haru mewarnai suasana bencana ini dan kita yang menyaksikan
lewat layar kaca hanya bisa pasrah campur haru.
- Media elektronik maupun cetak mengabarkan dan menjadi headline berita. Bahkan,
di dunia maya dan jejaring sosial pun sontak dan tidak kalah harunya memberikan
respon keprihatinan akan musibah ini.
Negara merespons dengan membentuk sakorlak dan tanggap darurat bencana. Hal-
hal ini sangat berdampak positif dan menunjukan kepedulian sesama anak bangsa
yang senasib dan sepenanggungan atas musibah yang terjadi kepada mereka.
Berbagi momen dan even kegiatan pun digelar, dalam rangka mencari dan
mengumpulkan sumbangan berupa dana, pikiran, dan barang-barang yang
dibutuhkan oleh para korban.
Walaupun masih ada keterbatasan, dalam pemerataannya karena kendala alam dan
teknis, tapi yang jelas kepedulian itu masih ada di tengah-tengah kehidupan yang
semakin hedonis ini. Memang kalau dilihat dari sisi jumlah barang kali bantuan-
bantuan tersebut, tidak serta merta dapat mengembalikan apa-apa yang hilang
sebelum adanya bencana. Namun, paling tidak sebagai bentuk rasa keprihatinan,
kepedulian, itu masih ada.
Menyikapi bencana yang terjadi hendaknya harus bijak dan realistis. Tanpa harus
melontarkan statemen mencari-cari alasan akan penyebab bencana tersebut. Yang
ada tetap tabah, menerima, dan tegar akan musibah yang terjadi. Karena bisa-bisa
jadi bencana ini merupakan: 1) Musibah, 2) Fitnah, 3) Ujian, dan 4) Azab.
Tidak ada satu orang pun yang bisa menvonis. Termasuk dari keempat kategori
tersebut. Masing-masing bisa benar sesuai dengan sudut pandang mana melihatnya.
Tapi, yang jelas, sebagaimana Sila pertama Pancasila, "Ketuhanan yang Maha
Esa", sebagai umat yang percaya, yakin bahwa di 'Balik Musibah Pasti Ada
Hikmah'.
Untuk itu agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan tentunya filosofi itu perlu
ditanamkan dalam hati. Seraya tetap tabah dan berusaha untuk bangkit bahwa
sebagai makhluk ada keterbatasan yang harus diakui sehingga bisa berdampak
positif. Yaitu lebih mendekatkan kepada Yang Kuasa. Pada gilirannya merasa
ikhlash menerima musibah yang terjadi.
Semoga tulisan ini bisa menjadi sumbangsih, kepada para korban bencana negeri
ini sehingga tidak larut dalam kesedihan dan bisa menerima kenyataan yang terjadi.
Seseorang yang sedang menjalankan kegiatan belajar mandiri lebih ditandai dan
,b
ditentukan oleh yang mendorongnya belajar. Bukan oleh kemampuan fisiknya.
memindahkan kata atau kalimat dari kiri kekanan memindahkan kata atau
kalimat dari kanan kekiri
Catatan: :
Maaf bu saat saya mendownload file karena format MS Word saya berbeda jadi spasinya
hilang semua, jadi langsung saya beri spasi. Untuk yang tugas menyunting saya tidak
dapat menemukan maan yang sebelumnya memang blm diberi space atau tidak. Mohon
maaf bu.