Anda di halaman 1dari 15

Nama: Muhammad Aliq Ramadhan

NIM: F061201035
MK. Seminar Pra-Skripsi
Judul: Sejarah Kuliner Makassar: Perkembangan Rumah Makan dan Kuliner Tionghoa
Tahun 1942 - 1975

Kajian Pustaka

Dalam penelitian Sejarah Kuliner Makassar: Perkembangan Rumah Makan dan Kuliner

Tionghoa Tahun 1942 - 1975 penulis telah melakukan penulusuran sumber terkait topik

penelitian. Sejauh ini terdapat salah satu surat kabar yang memberikan informasi mengenai

perkembangan kuliner yaitu surat kabar Star Weekly. Surat kabar tersebut terbit setiap hari

minggu sejak tahun 1946 oleh seorang Tionghoa di Batavia. Dalam surat kabar tersebut salah

satu rubrik yang paling populer adalah “Njonja Rumah”. Isi konten dari Njonja Rumah ini adalah

resep-resep makanan Nusantara yang ditulis oleh seorang Tionghoa peranakan. Dari beberapa

edisi Star Weekly beberapa tulisan resep makanan Njonja Rumah adalah masakan Tionghoa dan

berdasarkan atas permintaan pembaca di seluruh penjuru Nusantara pada masa itu. Rubrik ini

rutin terbit sejak tahun 1951 hingga 1961.

Selain surat kabar, penulis juga menggunakan buku resep pada masa Hindia Belanda

yaitu Rijstaffelessen yang terbit pada tahun 1939. Dalam buku resep ini terdapat beberapa resep

makanan khas Tionghoa seperti bakmi, capcai, dan bakso. Hal ini menunjukkan bahwa

kebudayaan Tionghoa dalam bidang kuliner telah sejak lama membentuk identitas di Nusantara.

Bahkan dalam pandangan Belanda pun, makanan khas Tionghoa telah dianggap sebagai

makanan khas Nusantara.


Selain arsip berupa dokumen, dalam penelitian ini juga menggunakan sumber lisan

dengan menggunakan metode wawancara. Sasaran narasumber dari penelitian ini yaitu pemilik

rumah makan Tionghoa totok dan Tionghoa peranakan. Salah satu yang telah diwawancarai

adalah pemilik Rumah Makan Florida yaitu Kuswanto. Beliau merupakan generasi kedua dari

rumah makan tersebut. Pada saat masih remaja, ayah Kuswanto sering bercerita mengenai

pengalaman hidup ayahnya tentang perantauannya di Indonesia. Ayahnya Bernama Cung Hong

Ung, pendiri dari Rumah Makan Florida. Kini, Kuswanto telah berusia 79 tahun. Memori

kolektifnya mengenai ayahnya dan bisnis rumah makannya masih sangat kental.

Selain data primer, penulis juga menggunakan beberapa sumber sekunder seperti buku

dan jurnal. Dari beberapa referensi tersebut dikaji untuk memahami secara mendalam beberapa

komponen penting yang erat kaitannya dengan topik penelitian. Oleh karena itu referensi-

referensi yang berhubungan dengan topik penelitian ini dibagi menjadi; sejarah masyarakat

Tionghoa, jejak perjalanan sejarah makanan di Indonesia, sejarah makanan Tiongkok, dan

sejarah kuliner Tionghoa di berbagai daerah di Indonesia. Dengan memahami ketiga poin

tersebut maka penulis akan dengan mudah mendapatkan arah untuk menganalisis perjalanan

kuliner Tionghoa di Makassar.

Untuk memahami perjalanan sejarah etnis Tionghoa, salah satu buku yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad Ke-17 Hingga

Ke-20.1 Buku ini ditulis oleh Yerry Wirawan, seorang sejarawan yang menekuni sejarah

masyarakat Tionghoa di Indonesia. Selain itu, Yerry Wirawan juga merupakan seorang dosen

1
Yerry Wirawan. 2013. Sejarah Masyarakat Tionghoa di Makassar, Jakarta: Kepustakaan

Gramedia
sejarah di Universitas Sanata Dharma. Buku ini telah banyak digunakan sebagai referensi oleh

beberapa peneliti sejarah etnis Tionghoa.

Dalam buku ini Yerry Wirawan secara mendetail mengkaji perkembangan kehidupan

masyarakat Tionghoa di Makassar dari awal migrasi mereka hingga menjadi warga negara resmi.

Awalnya orang-orang Tionghoa di Makassar hanya melakukan aktivitas dagang saja. Hingga

VOC menguasai wilayah tersebut eksistensi pedagang Tionghoa tetap berperan dalam aktivitas

ekonomi di Kota Makassar. Masih dalam kekuasaan Belanda di Makassar, orang-orang Tionghoa

pada awal tahun 1900-an harus beradaptasi dengan sistem ekonomi baru Pemerintah Hindia

Belanda. Beragam profesi dan usaha orang-orang Tionghoa mulai dilakukan demi kebutuhan

ekonomi mereka. Keberagaman profesi dan usaha inilah terus berkembang hingga pasca

kemerdekaan Indonesia. Kebebasan ekonomi masyarakat Tionghoa inilah yang memberikan

gambaran mengapa toko-toko ataupun usaha-usaha Tionghoa dapat dijumpai di berbagai lokasi

di Makassar.

Sebagai seorang sejarawan arsip merupakan sebuah data penting untuk

mempertanggungjawabkan kredibelitas sebuah karya sejarah. Dalam buku ini Yerry Wirawan

secara komprehensif menggunakan berbagai arsip dokumen baik itu arsip Belanda, Tiongkok,

arsip pribadi, foto, dan lontarak. Data-data tersebut diolah dengan sangat baik oleh Yerry

Wirawan. Sehingga dalam buku ini perjalanan sejarah masyarakat Tionghoa di Kota Makassar

direkonstruksi dengan kronologis. Maka tak mengherankan jika buku ini seringkali dijadikan

sebagai referensi oleh peneliti sejarah. Buku ini memberikan penulis sebuah referensi

pengetahuan mengenai adaptasi ekonomi para pedagang Tionghoa di Kota Makassar. Hingga

saat ini terdapat beberapa toko milik Tionghoa di seluruh penjuru Kota Makassar.
Setelah memahami gambaran mengenai perjalanan sejarah masyarakat Tionghoa, salah

satu hal yang perlu dipahami juga adalah pengetahuan tentang gastronomi masyarakat Tionghoa.

Sebelum menulusuri jejak kuliner mereka di Makassar, diperlukan sebuah pengetahuan

mengenai sejarah makanan mereka di tanah asalnya. Buku The Food of China2 merupakan salah

satu buku yang ditulis oleh seorang profesor antropolgi dari University of California, Eugenne N.

Anderson. Buku ini membahas sejarah makanan di Tiongkok dan peran makanan dalam

masyarakat Tiongkok kontemporer. Di beberapa bab dalam buku ini membahas tentang metode

memasak masyarakat Tionghoa, perbedaan makanan di berbagai daerah di Tiongkok, dan

penggunaan makanan sebagai obat tradisional.

Catatan sejarah dan etnografi yang komprehensif dari E.N. Anderson tentang makanan

Tiongkok dari Zaman Perunggu hingga abad ke-20 ini menunjukkan bagaimana makanan telah

menjadi pusat dari kebijakan pemerintah Tiongkok, ritual keagamaan, dan praktik kesehatan

sejak masa-masa awal. Survei historis tentang kebiasaan pertanian dan kuliner, pada paruh

pertama buku ini, menawarkan banyak fakta dan interpretasi tentang topik-topik seperti pengaruh

kebijakan pemerintah terhadap inovasi pertanian; hubungan antara kepercayaan medis dengan

selera makan; daur ulang produk limbah di pertanian; ketiadaan pantangan makanan secara

tradisional (termasuk kepraktisan memakan hama, atau memberi makan hama kepada babi dan

ayam, alih-alih meracuni hama dan lingkungan); serta faktor-faktor kunci dalam kualitas

gourmet makanan Tionghoa, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit. Tanpa

mengabaikan kejadian kelaparan dalam sejarah Tiongkok, Anderson menyimpulkan bahwa kisah

lengkapnya adalah salah satu keberhasilan yang luar biasa dalam memberi makan populasi

maksimum selama ribuan tahun. Untuk mendukung pencapaian ini, ia mengutip penekanan

2
Eugenne N. Anderson. 1998. The Food of China. New Haven: Yale University Press
tradisional Tiongkok pada makanan sebagai dasar negara dan sebagai hal yang fundamental tidak

hanya untuk kesejahteraan individu tetapi juga untuk kenikmatan hidup.

Buku ini sangat membantu penulis untuk memberikan sebuah gambaran mengenai sejarah

makanan di Tiongkok. Hal ini dikarenakan karya E.N Anderson ini secara detail membahas

variasi makanan Tiongkok dari berbagai wilayah, metode memasak, serta budaya makan dan

minum masyarakat Tionghoa sejak masa dinasti hingga kontemporer.

Buku selanjutnya adalah Invitation To a Banquet: The Story of Chinese Food 3 yang ditulis

oleh seorang penulis dan juru masak ahli Chinese food schezuan asal inggris yaitu Fuchsia

Dunlop. Fuchsia Dunlop adalah seorang juru masak dan penulis makanan yang mengkhususkan

diri pada masakan Cina. Ia adalah penulis Shark's Fin dan Sichuan Pepper: Memoar Asam Manis

tentang Makan di Tiongkok, kisah petualangannya dalam menjelajahi budaya makanan

Tiongkok, dan dua buku masakan Tiongkok yang mendapat banyak pujian, Revolutionary

Chinese Cookbook, dan Sichuan Cookery (diterbitkan di AS dengan judul Land of Plenty).

Fuchsia menulis untuk berbagai publikasi termasuk Gourmet, Saveur, dan The Financial

Times. Dia adalah tamu reguler di radio dan televisi, dan telah muncul di acara-acara termasuk

Gordon Ramsay's The F-Word, NPR's All Things Considered, dan The Food Programme di BBC

Radio 4. Ia dinobatkan sebagai 'Jurnalis Makanan Tahun Ini' oleh Persatuan Penulis Makanan

Inggris pada tahun 2006, dan telah terpilih dalam tiga penghargaan James Beard Awards. Buku

pertamanya, Sichuan Cookery, memenangkan Jeremy Round Award untuk buku pertama terbaik.

Menurut Dunlop, masakan Cina adalah masakan yang paling awal mendunia. Ketika para

pekerja Tiongkok pertama mulai bermukim dan menetap di luar negeri, restoran pun
3
Fuchsia Dunlop. 2023. Invitation To a Banquet: The Story of Chinese Food. New York:

Random House
bermunculan. Namun, masakan Tionghoa memiliki keunikan tersendiri, yaitu sebagai salah satu

tradisi kuliner yang paling digemari di dunia sekaligus salah satu yang paling sedikit dipahami.

Selama lebih dari satu abad, dominasi bentuk masakan Kanton yang disederhanakan memastikan

hanya sedikit orang asing yang merasakan kekayaan dan kecanggihannya - namun saat ini hal

tersebut mulai berubah.

Dalam buku ini, juru masak dan penulis pemenang James Beard Award, Fuchsia Dunlop,

menjelajahi sejarah, filosofi, dan teknik budaya kuliner Tiongkok yang kaya dan kuno. Setiap

bab membahas hidangan klasik, mulai dari tahu mapo hingga daging babi Dongpo, mi yang diiris

dengan pisau hingga empulur jeruk bali yang direbus, untuk mengungkap aspek unik dari

keahlian memasak Tiongkok, entah itu pentingnya kedelai, daya tarik bahan-bahan eksotis, atau

sejarah kuliner vegetarian Buddha. Bertemu dengan produsen makanan lokal, koki, pencinta

kuliner, dan koki rumahan saat ia mencicipi makanan di seluruh negeri, Fuchsia mengajak

pembaca untuk bergabung dengannya dalam perjalanan tak terlupakan ke dalam makanan

Tionghoa yang dibuat, dimasak, disantap, dan dipertimbangkan di negeri asalnya.

Salah satu suku dari etnis Tionghoa yang banyak bergerak dalam bidang bisnis rumah makan

di Kota Makassar adalah Suku Hakka. Orang-orang Hakka gemar menggunakan bahan awetan

dalam masakannya. Bahan awetan tersebut seperti sayur asin dan tapai beras merah. Untuk lebih

lanjut memahami masakan Hakka referensi yang digunakan adalah buku dengan judul The

Hakka Cookbook: Chinese Soul Food from around the World 4. karya Linda Lau Anusasananan.

Anusasananan merupakan seorang anggota dari Les Dames d’Escoffier dan juga anggota dari

The San Francisco Professional Food Society and Association of Chinese Cooking Teachers.

4
Linda Lau Anusasananan. 2012. The Hakka Cookbook: Chinese Soul Food from around

the World. California: University of California Press


Bahkan pernah menjabat sebagai presiden The San Francisco Chapter of Les Dames d’Escoffier

and the Association of Chinese Cooking Teachers.

Karya Linda Lau Anusasananan ini mencoba untuk membuka dunia masakan Hakka kepada

khalayak Barat dalam kronik memukau yang menelusuri kuliner pedesaan ini hingga ke akarnya

dalam sejarah berbagai migrasi. Berawal dari dapur neneknya di California, Anusasananan

melakukan perjalanan ke rumah keluarganya di Tiongkok, dan dari sana, ia menyebarluaskan

masakan Hakka ke seluruh dunia-termasuk Hong Kong, Taiwan, Singapura, Malaysia, Kanada,

Peru, dan lainnya. Lebih dari tiga puluh koki dan juru masak rumahan berbagi pengalaman

mereka tentang diaspora Hakka dengan menyumbangkan lebih dari 140 resep untuk makanan

rumahan khas Tionghoa sehari-hari dan juga makanan khas perayaan yang lebih rumit. Buku ini

menyamakan masakan Hakka dengan jenis "soul of food", atau tradisi memasak yang lezat yang

merespons sejarah kesulitan dan penindasan yang sama. Buku ini mencerminkan keragaman dari

sekitar 75 juta orang Hakka yang tinggal di Tiongkok dan Asia, serta di berbagai komunitas yang

tersebar di seluruh dunia-namun tetap mempertahankan cita rasa dan teknik utamanya.

Setelah memahami sejarah makanan Tiongkok, salah satu poin yang perlu diketahui adalah

sejarah restoran Chinese food. Namun, sejauh ini penulis belum mendapatkan tulisan dengan

batasan spasial di Indonesia mengenai topik tersebut. Oleh karena itu penulis menggunakan

tulisan dari luar Indonesia yang ditulis oleh Haiming Liu dengan judul From Restaurant to

Panda Express: A History of Chinese Food In United States 5. Menilai dari sisi seorang penulis

dari buku ini, beliau merupakan ahli dalam bidang teori masyarakat Asia dan Amerika. Haiming

Liu merupakan seorang profesor studi Asia-Amerika di Departemen Studi Etnis dan Wanita di

5
Haiming Liu. 2015. From Restaurant to Panda Express: A History of Chinese Food In

United States. New Brunswick: Rutgers University Press


California State Polytechnic University, Pomona. Ia juga penulis The Transnational History of a

Chinese Family: Immigrant Letters, Family Business, and Reverse Migration.

Dalam buku ini Liu membahas sejarah tentang masuknya restoran Tionghoa pertama di

Amerika. Restoran tersebut bernama Canton Restaurant yang didirikan pada tahun 1849.

Berdasarkan nama restoran tersebut hal ini memberikan informasi tentang migrasi orang-orang

Tionghoa di Amerika meluas karena potensi bisnis dalam bidang kuliner. Restoran ini juga

memberikan kontribusi besar dalam perkembangan bidang kuliner di San Fransisco. Capcai

merupakan menu favorit di restoran ini. Hal ini dikarenakan harganya yang murah bagi para

penambang di sekitar restoran dibandingkan dengan restoran Amerika.

Dalam buku ini memberikan informasi yang cukup penting untuk menjadi data pembanding.

Dalam sejarah kuliner Tionghoa di Amerika Serikat perkembangannya disebabkan karena

pengaruh gold rush. Sedangkan di Indonesia khususnya di Makassar perkembangan kuliner

disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, beberapa makanan Tionghoa mencoba untuk

menyesuaikan diri dengan penduduk mayoritas contohnya adalah bakpao yang diisi dengan

kacang, atau daging sapi/ayam. Kedua, adalah setelah melalui proses adaptasi beberapa makanan

Tionghoa tersebut memang cocok dengan selera lidah masyarakat Kota Makassar.

Dalam buku Liu, ia menggunakan data primer berupa koran dan majalah seperti American

Heritage, Appleton’s Journal, Catholic World, Chicago Tribune, Daily Alta California, Los

Angels Time, New York Times, San Fransisco Chronicle. Dalam sumber-sumber tersebut

memberitakan sebuah peristiwa yang dapat memberikan informasi mengenai restoran Tionghoa

di Amerika. Salah satunya adalah Canton Restaurant, merupakan restoran Chinese food tertua di

Amerika.
Setelah memahami mengenai etnis Tionghoa beserta dengan kuliner khasnya, komponen

penting untuk diketahui juga adalah perjalanan sejarah kuliner di Indonesia sendiri. Namun,

penelitian sejarah bertema sejarah gastronomi masih kurang dilakukan di Indonesia. Tetapi ada

salah satu sejarawan yang ahli dalam sejarah makanan Indonesia yaitu Fadly Rahman. Ia

merupakan dosen ilmu sejarah Universitas Padjajaran dan terkenal sebagai ahli sejarah

gastronomi. Salah satu karya beliau yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rijstaffel:

Budaya Kuliner di Indonesia Pada Masa Kolonial.6 Meskipun buku ini tidak membahas

mengenai pengaruh Tionghoa pada bidang kuliner di Indonesia namun, buku ini menjadi rujukan

untuk mengetahui bagaimana sejarah makanan Indonesia dihidangkan dengan cara modern.

Penulis mengkaji sejarah perkembangan budaya pada bidang kuliner di Indonesia pada masa

kolonial. Dalam budaya makan di Indonesia makan bersama di tikar atau lesehan dengan

hidangan seadanya merupakan budaya yang sejak zaman dahulu telah ada. Namun, sejak

kedatangan Belanda di Indonesia budaya ini perlahan mengalami perubahan. Orang-orang

Belanda yang menetap di Nusantara berupaya membuat diri mereka senyaman mungkin

termasuk persoalan makanan. Rijstaffel merupakan sebuah sajian makan nasi dengan hidangan

lauk pendampingnya yang disajikan secara ekslusif. Melalui Rijstaffel inilah untuk pertama

kalinya hidangan di Indonesia dikemas secara ekslusif.

Karya Fadly Rahman tersebut menggunakan sumber-sumber Belanda yaitu buku resep

Indische Keuken dan beberapa arsip foto. Arsip foto cukup banyak digunakan untuk memvalidasi

penelitiannya. Terdapat beberapa foto dalam buku tersebut yang memperlihatkan orang-orang

Belanda menyajikan makanan Indonesia di atas sebuah meja.

6
Fadly Rahman. 2016. Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia Pada Masa Kolonial.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


Buku Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia Pada Masa Kolonial juga memberikan

informasi penting terhadap topik penelitian Kuliner Tionghoa. Dikarenakan dalam buku tersebut

menjelaskan hidangan-hidangan yang disajikan untuk para elit pada masa tersebut terdapat

beberapa masakan yang telah terakulturasi antara Indonesia dengan Tionghoa. Selain informasi

mengenai masakan Tionghoa, buku ini juga memberikan gambaran tentang bagaimana makanan

menjadi objek dalam penelitian sejarah. Dikarenakan hal ini masih cukup jarang dilakukan

dalam penelitian sejarah di Indonesia.

Sebagai ahli sejarah gastronomi Indonesia, tentu dalam topik penelitian ini penulis tidak

hanya menggunakan satu karya Fadly Rahman. Karya kedua dari beliau yang penulis gunakan

adalah Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia.7 Dalam buku ini menjelaskan sejarah

perjalanan kuliner Indonesia dari abad ke-18 hingga pasca kemerdekaan. Masyarakat Tionghoa

beberapa kali disebutkan dalam buku ini, pengaruh mereka memang cukup signifikan dalam

perjalanan sejarah kuliner Indonesia. Pengaruh mereka berawal dari bahan makanan yang

mereka bawa dari tanah kelahiran mereka, teknologi pengembangan olahan pangan, dan

makanan khas mereka yang diakulturasi sesuai dengan lidah masyarakat Indonesia. Berbagai

jenis makanan khas Tionghoa telah mengalami proses akulturasi di Indonesia seperti onde-onde,

bakpao, siomay, otak-otak, dan mie ayam. Semua makanan tersebut telah terbiasa dikonsumsi

oleh lidah masyarakat Indonesia.

Metode yang digunakan dalam karya tersebut hamper sama dengan karya sebelumnya.

Namun, skop pembahasan dalam buku ini cukup luas baik secara spasial dan temporal. Oleh

karena itu Fadly Rahman menggunakan beberapa sumber-sumber VOC salah satunya adalah

7
Fadly Rahman. 2016. Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama


penelitian mengenai botani yang dilakukan oleh Rumphius, peneliti asal Jerman. Selain dokumen

arsip, Fadly Rahman juga menggunakan naskah kuno Jawa dan sumber lisan.

Dalam karya ini, cukup memberikan sebuah gambaran terhadap sebuah fenomena

penting yang ada kaitannya dengan topik penelitian penulis. Yaitu dalam buku ini beberapa kali

menyebutkan sebuah ‘kepertamaan’ orang-orang Tionghoa dalam pengelolaan botani,

pengolahan bahan makanan, memperkenalkan bahan makanan, dan pengaruh orang-orang

Tionghoa terhadap makanan-makanan di Nusantara. Informasi tersebut tentu dapat

mengantarkan penulis mengenai pengaruh etnis Tionghoa pada bidang makanan secara umum di

Nusantara.

Selain buku, penulis juga menggunakan karya jurnal dari Fadly Rahman yaitu Kuliner

Sebagai Identitas Keindonesiaan.8 Dalam jurnal tersebut menjelaskan mengenai peran kuliner

dalam pembentukan identitas nasional. Beberapa masakan tradisional Indonesia ditulis dalam

buku-buku resep. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan pengaruh

kolonialisme di Indonesia melalui makanan. Dari sinilah lahir sebuah kategorisasi masakan

Indonesia menjadi tiga yaitu masakan Indonesia, Belanda, dan Tionghoa. Hal ini menandakan

bahwa betapa kuatnya pengaruh kolonialisme Belanda dan Tionghoa dalam makanan Indonesia.

Selain itu, jurnal ini juga membahas trend resep makanan dalam koran Star Weekly pada tahun

1951 sampai tahun 1960. Penulis dari resep makanan tersebut diberi nama samaran yaitu Njonja

Rumah. Resep-resep makanan dari Rumah Njonja ini menuai banyak permintaan resep makanan

dari pembaca koran Star Weekly salah satunya yaitu makanan Tionghoa.

8
Fadly Rahman. 2018. “Kuliner Sebagai Identitas Keindonesiaan”. Jurnal Sejarah,

Volume 2, Nomor 1.
Relevansinya dengan topik penelitian ini adalah jurnal tersbut memberikan informasi

mengenai peran makanan dalam membentuk wajah identitas dalam sebuah masyarakat. Dapat

diartikan bahwa makanan dapat ‘mewakili’ identitas dari sebuah daerah. Salah satunya adalah

Kota Makassar. Makassar sangat identik dengan berbagai makanan khas daerahnya seperti Coto,

Pallubasa, Pisang Epe, dan lain sebagainya. Namun, terdapat juga pengaruh makanan khas

budaya luar yang membentuk identitas baru di Kota Makassar. Pengaruh luar yang paling

signifikan adalah Tionghoa.

Setelah memahami kasus sejarah makanan di Indonesia. Selanjutnya adalah referensi

mengenai topik penelitian yang sama dengan penulis tetapi batasan spasial yang berbeda.

Terdapat salah satu jurnal dengan judul Perkembangan Kuliner Tionghoa di Batavia 1915-1942.9

Jurnal ini ditulis oleh seorang sejarawan lulusan Universitas Negeri Jakarta. Karya ini

merupakan penelitian skripsinya yang juga diterbit menjadi buku oleh Penerbit Dramaturgi.

Jurnal ini menjelaskan perkembangan kuliner Tionghoa di Batavia yang tidak lepas dari

migrasi orang-orang Tionghoa ke Batavia yang kebanyakan dilakukan oleh para lelaki Tionghoa

karena tidak adanya perempuan Tionghoa. Para lelaki ini menikah dengan wanita lokal. Akibat

adanya pernikahan beda budaya ini menyebabkan asimilasi maupun akulturasi pada bidang

kuliner. Orang Tionghoa mendapat pengaruh lokal dalam bidang kuliner, begitu pula sebaliknya.

Apa lagi sejak masifnya kolonialisme Belanda, orang Tionghoa di tanah rantau tidak hanya

menerima unsur lokal namun juga pengaruh Belanda.

Dalam merekonstuksi sejarah perkembangan kuliner Tionghoa di Batavia ini, putri

menggunakan sumber-sumber primer berupa buku-buku resep yang ditulis sezaman dengan

9
Widya Putri. 2022. “Perkembangan Kuliner Tionghoa di Batavia 1915-1942”.

Historiography: Journal of Indonesian History and Education, Volume 2, Nomor 2.


periode penelitiannya. Buku-buku resep tersebut kemudian dianalisis bahannya agar dapat

menghasilkan kesimpulan bahwa beberapa makanan Tionghoa tersebut telah terakulturasi oleh

baik itu budaya Batavia dan Belanda.

Metode analisis Putri ini juga banyak digunakan oleh peneliti lainnya. Seperti jurnal dengan

judul Pengaruh Budaya Tionghoa Terhadap Kuliner di Kota Medan 10 yang ditulis oleh Tuti

Sartika Sijabat. Dalam karyanya, ia menjelaskan tentang kedatangan bangsa Tionghoa memberi

pengaruh yang sangat besar terhadap kuliner di Kota Medan, mulai dari variasi makanan, nama,

cita rasa, hingga alat makan. Pengaruh budaya Tionghoa dari munculnya berbagai jenis makanan

olahan berbahan dasar mie seperti mie ayam, miso, bihun, mitiaw, dan lain sebagainya.

Pengaruh budaya Tionghoa juga mempengaruhi penamaan makanan seperti ci cong fan, bakpao,

capcay, bakmi, bakpia, pangsit dan lumpia. Selain makanan kebudayaan Tionghoa juga

mempengaruhi tata cara makan di Medan yaitu menggunakan sumpit.

Jurnal berikutnya adalah Pengaruh Budaya Kuliner Cina dan Belanda Terhadap Kuliner

Indonesia11 karya Rizki Zamhari. Dalam jurnal ini, penulis mengungkap bahwa kebudayaan

yang dibawa orang Cina dan Belanda memiliki peran pengaruh besar dalam bidang kuliner di

Indonesia. Bahkan hingga saat ini masih eksis dimana kebudayaan ini telah terakulturasikan

menjadi budaya baru yang kemudian menciptakan kuliner khas dan unik.

10
Tuti Sartika Sijabat. 2022. “Pengaruh Budaya Tionghoa Terhadap Kuliner Di Kota

Medan”. Jurnal Cakrawala Mandarin, Volume 6, Nomor 2.


11
Rizki Zamhari. 2022. “Pengaruh Budaya Kuliner Cina dan Belanda Terhadap Kuliner

Indonesia”. Judul Lusa Kawa, Vol. 2, No. 1.


Kemudian karya Randy Sienatra dengan judul Inovasi Kuliner Peranakan Chinese-

Indonesia.12 Berdasarkan penelitian dalam jurnal ini, beberapa masakan khas Tionghoa yang

telah populer di Indonesia telah terinovasi memiliki cita rasa yang unik dan mampu memberikan

pembaharuan pada rasa makanan peranakan, namun tetap mempertahankan rasa otentik/asli dari

masakan tersebut karena metode dan bumbu yang digunakan tetap mempertahankan bumbu asli

dari masakan tersebut.

Daftar Pustaka

Wirawan, Yerry. 2013. Sejarah Masyarakat Tionghoa di Makassar, Jakarta: Kepustakaan

Gramedia

Anderson, Eugenne N.. 1998. The Food of China. New Haven: Yale University Press

Dunlop, Fuchsia. 2023. Invitation To a Banquet: The Story of Chinese Food. New York: Random
House
Anusasananan, Lau Linda. 2012. The Hakka Cookbook: Chinese Soul Food from around the
World. California: University of California Press
Liu, Haiming. 2015. From Restaurant to Panda Express: A History of Chinese Food In United
States. New Brunswick: Rutgers University Press
Fadly Rahman. 2016. Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia Pada Masa Kolonial. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
12
Randy Sienatra. 2020. “Inovasi Kuliner Peranakan Chinese-Indonesia”. Journey

Volume 3 Nomor 2.
Fadly Rahman. 2016. Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Fadly Rahman. 2018. “Kuliner Sebagai Identitas Keindonesiaan”. Jurnal Sejarah, Volume 2,
Nomor 1.
Widya Putri. 2022. “Perkembangan Kuliner Tionghoa di Batavia 1915-1942”. Historiography:
Journal of Indonesian History and Education, Volume 2, Nomor 2.
Tuti Sartika Sijabat. 2022. “Pengaruh Budaya Tionghoa Terhadap Kuliner Di Kota Medan”.
Jurnal Cakrawala Mandarin, Volume 6, Nomor 2.
Rizki Zamhari. 2022. “Pengaruh Budaya Kuliner Cina dan Belanda Terhadap Kuliner
Indonesia”. Judul Lusa Kawa, Vol. 2, No. 1.
Randy Sienatra. 2020. “Inovasi Kuliner Peranakan Chinese-Indonesia”. Journey Volume 3
Nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai