Anda di halaman 1dari 5

B.

TEORI IMPRESSION MANAGEMENT

Teori manajemen impresi (impression management) menyebut, bahwa dalam in- teraksi sosial setiap
individu berupaya menampilkan gambaran dirinya atau konsep dirinya di depan orang lain. Upaya ini
disebut manajemen impresi, yaitu individu secara sengaja menggunakan komunikasi untuk menciptakan
impresi yang diinginkan dari orang lain terhadapnya (Johansson, 2007). Karena manajemen impresi
terkait cara mempresentasikan diri, maka Rosenfeld, Giacalone & Riordan (1994) menyebut sebagai
teori presentasi diri. Dalam interaksi dengan orang lain, individu meng- gunakan komunikasi untuk
mengelola impresi orang lain terhadap diri individu tersebut (Goffman, 1959). Komunikasi yang
digunakan ini, menurut Goffman, dibagi dalam dua bagian: bagian yang secara relatif mudah bagi
individu untuk mengelola dan memanipulasinya, yaitu komunikasi verbal; dan bagian yang relatif lebih
sulit sering terjadi di luar kesadaran atau tidak disengaja sehingga sulit dikontrol, yaitu komunikasi
nonverbal. Komunikan biasanya akan melakukan cek dan membandingkan perilaku verbal (apa yang
diucapkan) dan perilaku nonverbal (misalnya gerakan tu- buh). Akibatnya, muncul situasi asimetris
dalam proses komunikasi: individu sebagai komunikator menyadari hanya satu bagian, yaitu komunikasi
verbal, sementara orang

lain (komunikan) dapat menangkap pesan verbal dan nonverbal (Goffman, 1959). Individu merupakan
aktor yang berusaha mengontrol situasi (dalam scene atau setting) dan isi dari interaksi yang mereka
ikut terlibat. Dalam interaksi, simbol verbal dan nonverbal menghasilkan dua jenis pesan, yaitu: pesan
yang sengaja disampaikan (expression given on) dan pesan yang tidak disampaikan (expression given
off). Melalui "expression given on", individu secara aktif menggunakan simbol verbal dan nonverbal
untuk mengelola kesan yang dia ingin diterima dan dilihat oleh orang lain. Karena simbol verbal yang
lebih mudah dikelola, maka expression given on ini lebih banyak

merujuk pada simbol verbal. Kehidupan sosial yang berisi segala macam "expression given on" ini, oleh
Goffman disebut "wilayah depan" (front region/front stage). Wilayah ini berisi upaya individu untuk
bergaya atau menampilkan peran tertentu di hadap- an khalayak. Panggung depan bersifat terbuka dan
dapat dimaknai oleh orang lain. Biasanya perilaku di panggung depan ini disesuaikan dengan aturan atau
norma- norma yang berlaku umum. Di sinilah tempat terjadinya pengaturan setting, seperti tata lampu,
dekorasi, cara berpakaian, posisi tempat duduk, dan raut wajah.

Sementara itu, "expression given off" merujuk pesan yang secara sengaja disembu- nyikan dari penilaian
orang. Tetapi dimungkinkan khalayak dapat menerima makna tertentu tentang diri individu, meskipun
individu itu tidak sengaja mengekspresikan- nya. Hal ini dikarenakan sulitnya mengontrol simbol
nonverbal. Meskipun individu itu berhenti berbicara, misalnya, tetapi bahasa tubuhnya masih dapat
menghasilkan kesan tertentu bagi orang lain. Kehidupan sosial yang berisi pesan "given off" ini dike- nal
sebagai "wilayah belakang" (back region/back stage). Panggung belakang adalah tempat atau peristiwa
yang memungkinkan para aktor menyiapkan diri agar dapat bermain peran di panggung depan dengan
baik.

Wilayah depan (front region) terdiri dari personal front dan setting. Personal front terdiri dari alat-alat
yang dapat dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang harus dimiliki seorang individu saat terlibat
dalam setting tertentu. Setting yaitu situasi fisik yang harus ada ketika individu merencanakan
melakukan pertunjukan. Contoh, seorang dokter memerlukan ruang operasi dan kamar periksa sebagai
setting-nya dan memakai jas dokter sebagai personal front-nya.

Interaksi sosial memungkinkan proses komunikasi bersifat resiprokal atau saling berbalasan. Teori ini
dibangun Goffman dalam konteks menjelaskan fenomena komu- nikasi interpersonal yang tatap muka.
Dalam situasi ini, dua pihak yang berkomunikasi akan saling memengaruhi dengan cara mengelola kesan
masing-masing. Agar sifat resiprokal ini berlanjut, kesan pertama sangat penting karena menghasilkan
efek per- tama (primary-effect) yang menentukan proses komunikasi dibangun dan dimodifikasi lebih
lanjut oleh para partsipan komunikasi. Pemodifikasian inilah yang mencakup level kesetujuan (level of
agreement), yang menurut Goffman (Johansson, 2007: 277) upaya manajemen impresi yang akan
mendorong terjadinya "workingconcensus" atau

Dalam setting interaksi tersebut, terdapat serangkaian tindakan yang dilakukan yaitu "bersifat berbeda
tergantung setting interaksi." individu yang disebut sebagai performa (performance). Setiap individu
menampilkan karakter tertentu kepada orang lain, seperti suatu panggung tempat para aktor bermain
peran. Orang lain akan menilai peran yang dimainkan individu itu. Untuk menentukan peran ini,
menurut Goffman, individu harus memahami situasi atau setting interaksi. Artinya, individu tidak hanya
menyampaikan informasi tentang dirinya, tetapi juga mendapat informasi tentang orang lain. proses
bertukar informasi ini menyebabkan individu mengetahui apa yang diharapkan orang lain (Goffman,
1959).

PRESENTASI DIRI UNTUK MANAJEMEN IMPRESI DALAM ORGANISASI

Seperti disampaikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa manajemen impre terkait dengan strategi
individu atau organisasi untuk mempresentasikan dirinya selan interaksi dengan pihak lain. Strategi
presentasi ini menggunakan atribut atau simbol tertentu agar pihak lain mengenal atau memperlakukan
individu atau organisasi itu seperti atribut atau simbol yang digunakan untuk presentasi diri.
Konsep presentasi diri dari Goffman telah diaplikasikan beberapa ilmuwan untuk menjelaskan
bagaimana individu membangun impresi orang lain. Buku ini mendeskripsikan tulisan Edward Jones
yang mengaplikasikan konsep presentasi dini untuk menjelaskan hubungan antara perilaku individu di
depan publik dan motif di balik perilaku itu. Jones membuat lima kategori atau tipologi strategi
presentasi diri yang biasa dilakukan individu berdasarkan atribut yang digunakan (dikutip di Metts,
2009). Saya berpendapat bahwa tipologi ini juga berlaku untuk menjelaskan perilaku organisasi dalam
mempresentasikan dirinya untuk memengaruhi impresi publiknya, Kelima tipologi presentasi diri dari
Edward Jones (Metts, 2009) antara lain:

1. Strategi ingratiation (menyenangkan orang lain). Biasanya digunakan oleh organisasi yang ingin
dipersepsi sebagai pihak yang menyenangkan atau ramah (friendly). Strategi ini diwujudkan dengan
menampil kan emosi-emosi positif selama interaksi dengan publik, seperti organisasi suka membantu
publik dan menghargai kepentingan publik.

2. Strategi self-promotion (promosi diri) Biasanya digunakan oleh organisasi yang ingin diimpresikan
sebagai organisasi yang berkompeten. Strategi ini diaplikasikan dengan menampilkan prestasi yang
dicapai organisasi, hal-hal baik yang telah dilakukan organisasi terhadap pub- liknya, dan menampilkan
berbagai penghargaan yang diperoleh organisasi atas prestasinya.

3. Strategi exemplification (sebagai contoh). Biasanya digunakan oleh organisasi yang ingin diimpresikan
sebagai organisasi yang layak dijadikan contoh atau model bagi organisasi lainnya. Strategi ini terwu jud
dari beberapa tindakan, seperti mendemonstrasikan kemampuan, kelebihan, integritas, dan nilai-nilai
organisasi.

4. Strategi supplication (self-handicapping). Biasanya digunakan oleh organisasi yang ingin dipersepsi
sebagai organisasi yang memiliki keterbatasan dalam membantu publik. Organisasi diimpresikan sebagai
pihak yang lemah sekaligus yang menjadi korban dari krisis yang terjadi. 5. Strategi intimidation.

Biasanya digunakan oleh organisasi yang ingin dipersepsi sebagai organisasi yang

kuat dan mampu mengontrol situasi. Diwujudkan dengan menampilkan atribut

yang mempresentasikan kemarahan atau keinginan untuk menghukum pihak


lain yang menyebabkan kerugian.

Organisasi adalah kumpulan individu dengan berbagai perbedaan karakteristik. Agar kerja organisasi
berjalan efektif, maka individu yang beragaman tersebut harus mampu bekerja sama. Kerja sama baru
dapat terjalin jika masing-masing individu saling memahami karakter individu lainnya, memahami
motivasi di balik perilaku individu lainnya, dan mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan itu.
Karenanya, menurut Rosenfeld (1994), pengetahuan tentang manajemen impresi menjadi penting agar
interaksi antar-individu yang berbeda-beda ini dapat berjalan lancar dan dapat menyelesaikan masalah
komunikasi yang diakibatkan perbedaan itu.

Sama seperti perilaku komunikasi pada konteks yang lain, individu dalam suatu organisasi berupaya
memengaruhi impresi individu lainnya. Keinginan membangun impresi ini merupakan sifat alami
manusia yang ingin dipersepsi positif oleh manusia yang lain; yang diimpresikan yaitu perilaku, motivasi,
atau moralitasnya (Rosenfeld, dkk., 1994). Bisa saja seorang karyawan ingin diimpresikan sebagai orang
yang mandiri, memiliki potensi di masa depan, atau orang yang pandai. Individu melakukan manaje-
men impresi ini untuk beberapa tujuan, seperti mempertahankan eksistensi dirinya dan mendapatkan
promosi. Dalam penelitiannya, Rosenfeld, dkk. (1994) menemukan bahwa kelompok minoritas di
organisasi, seperti minoritas karena etnis, minoritas karena jenis kelamin, dan pendatang baru,
menggunakan manajemen impresi untuk memengaruhi kelompok mayoritas yang memiliki posisi
berpengaruh.

TEORI IMPRESSION MANAGEMENT DALAM PRAKTIK DAN PENELITIAN PUBLIC RELATIONS

Organisasi tidak berbeda dengan seorang individu, yaitu seorang aktor dalam panggung pertunjukan
kehidupan sosial dalam berbagai setting interaksi di depan khalayaknya. Segala simbol seperti busana
yang dipakai, seragam perusahaan, cara berjalan dan berbicara, desain dan interior kantor, dan web site
perusahaan digunakan untuk presentasi diri agar mendapat kesan positif dari orang lain. Misalnya untuk
memberi kesan kepada tamu, lobi hotel didesain dengan interior yang indah, nyaman, dan sejuk. Dalam
konteks inilah public relations dituntut mengelola media komunikasinya untuk memberitahukan wajah
perusahaan kepada publiknya menimbulkan kesan positif. Mengelola media komunikasi merupakan
bagian dari peran public relations untuk menerapkan strategi rekayasa komunikasi (communication
engineering). Kemasan company profile yang menarik dapat memengaruhi bagaimana penerimaan
pesan oleh publik. Hal ini didukung pula oleh pemikiran Marshal McLuhan tentang "The Medium is the
Message." Mediumnya (kemasan fisik company profile) saja merupakan pesan yang bisa membentuk
citra positif perusahaan.
Johansson (2007) menemukan bahwa teori impression management banyak dikaitkan dengan situasi
krisis. Krisis mempunyai dua peluang bagi organisasi: sebagai entry point untuk meningkatkan citra atau
sebagai entry point kehilangan citra. Organisasi dituntut untuk melakukan manajemen krisis dengan
baik, sehingga muara akhirnya dapat meningkatkan citra. Citra yaitu imaji dan impresi publik apakah
organisasi bersifat kredibel dan legitimate atau tidak. Dengan kata lain, manajemen krisis menuntut
suatu manajemen impresi.

Teori ini juga menarik diterapkan untuk mengkaji perilaku komunikasi antara manajer dan anggota
organisasi. Misalnya, untuk memahami bagaimana proses membangun identitas organisasi dan
mengomunikasikan identitas itu (dikenal dengan pencitraan); untuk memahami kendala-kendala yang
ditemui saat menerapkan strategi perubahan identitas. Beberapa pertanyaan penelitian yang juga dapat
diteliti antara lain: strategi impresi yang bagaimana yang diterapkan dan dikomunikasikan praktisi public
relations dalam berbagai setting yang berbeda? Bagaimana impresi itu mengelola front stage dan back
stage? Bagaimana persepsi khalayak terhadap strategi impresi itu?

Anda mungkin juga menyukai