Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Public relations memiliki fungsi sebagai jembatan antara organisasi dan

publiknya, baik publik internal maupun eksternal. Agar fungsi ini berjalan efektif,

maka praktisi public relations harus memiliki kemampuan berkomunikasi dan

menjalin hubungan baik dengan publik. Public relations harus mampu

menciptakan kesan positif pihak yang diajak berkomunikasi terhadap

organisasinya. Kesan diartikan sebagai bagaimana orang lain memandang dan

mempersepsi organisasi. Layaknya komunikasi interpersonal, public rrelations

menggunakan simbol verbal dan nonverbal untuk mempresentasikan

organisasinya (Kriyantono, 2014: 219).

Manusia selalu mempunyai tujuan dalam berkomunikasi. Salah satunya

adalah untuk memberikan kesan tertentu kepada lawan bicaranya. Menurut

Goffman, orang berinteraksi karena ingin menyajikan suatu gambaran diri

(impresi) yang akan diterima orang lain sehingga ia akan melakukan manajemen

kesan (impression management) untuk memberikan kesan tertentu atau

membentuk pesan kepada orang lain. Pesan tersebut dapat berupa kata-kata,

tindakan, gaya berpakaian, dan cara lainnya yang dapat menggambarkan dan

membentuk persepsi orang lain terhadap diri kita (Satrio, 2017: 1).

Sebagai seorang praktisi public relations, dalam menjalankan segala

kegiatannya tentunya harus memiliki konsep diri yang positif. Konsep diri

berkaitan dengan bagaimana cara Anda memandang diri Anda dan persepsi Anda

1
tentang bagaimana orang lain memandang diri Anda. Konsep diri adalah segala

yang Anda pikirkan dan rasakan tentang diri Anda serta keseluruhan kepercayaan

dan sikap yang Anda rasa tentang diri Anda. Sering Anda berprasangka buruk

terhadap diri sendiri. Misalnya, jangan-jangan orang lain menganggap saya jelek,

pasti si A menganggap saya tidak bisa. Jika hal ini berlarut, Anda bisa jatuh dalam

fenomena dimana pnadangan orang lain tentang diri Anda terinternalisasi dalam

benak Anda. Misalnya, merasa orang lain menganggap diri Anda bodoh, lama-

lama tanpa Anda sadari anggapan tadi terinternalisasikan ke dalam benak Anda

(Kriyantono, 2008: 264).

Konsep diri ini berkaitan dengan upaya melakukan “impression

management”. Artinya, agar tujuan komunikasi kita tercapai, maka kita berusaha

mengatur (me-manage) cara kita berkomunikasi, penampilan diri kita, cara

berjalan, dan sebagainya. Pada akhirnya, membuat khalayak terkesan. Jika konspe

diri kita negatif, maka proses manajemen impresi ini sulit dilakukan (Kriyantono,

2008: 264).

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan di kaji dalam makalah ini adalah:

1. Apa itu Impression Management Theory?

2. Bagaimana penerapan teori Impression Management dalam Public

Relations?

2
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Kasus.

2. Untuk mengetahui apa itu Impression Management Theory.

3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan teori Impression Management

dalam praktik Public Relations.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Presentasi Diri Organisasi

Impression Management atau yang lebih dikenal dengan istilah

pengelolaan kesan sering kali dilakukan oleh orang-orang yang memiliki profesi

dan dituntut untuk memiliki self image yang positif. Pengelolaan kesan juga

secara umum dapat didefinisikan sebagai sebuah teknik presentasi diri yang

didasarkan pada tindakan mengontrol persepsi orang lain dengan cepat dengan

mengungkapkan aspek yang dapat menguntungkan diri sendiri atau tim. Gagasan

impression management juga mengacu pada praktek dalam komunikasi

profesional dan hubungan masyarakat, diman istilah ini digunakan untuk

menggambarkan proses pembentukan perusahaan atau citra publik organisasi

(Tubagus Bani, 2016: 1).

Menurut Ariani, banyak penelitian yang terkait dengan pengaturan

organisasi yang telah berfokus pada bagaimana menejemen impresi dapat

membantu individu dalam mencapai citra yang baik dan mencapai kesuksesan

karir. Manajemen impresi adalah proses dimana individu menyajikan informasi

tentang diri sendiri agar tampil sesuai dengan keinginan individu tersebut

sehingga orang lain melihat dan menilainya sebagai sesuatu yang sesuai dengan

keinginan individu tersebut (Rosenfeld, Giacalone, & Riordan 1994 dalam Ariani,

2014: 13).

Dalam pengelolaan sosial dan organisasi, individu mencoba untuk

memengaruhi orang lain tentang citra mereka dengan terlibat dalam berbagai

4
perilaku, baik secara sadar maupun tidak. Manajemen impresi telah mendapat

perhatian dalam penelitian organisasi dan diakui sebagai hal yang biasa terjadi

dalam pengelolaan organisasi. Manajemen impresi juga telah diterima dalam

literatur perilaku organisasi (Bolino, 1999 dalam Ariani, 2016: 13).

Pemikiran tentang presentasi diri salah satunya dikembangka oleh

Sosiolog Erving Goffman. Erving Goffman lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni

1922. Mendapat gelar S1 dari Univ. Toronto, menerima gelar doctor dari Univ.

Chicago. Beliau wafat pada tahun 1982 ketika sedang mengalami kejayaan

sebagai tokoh sosiologi dan pernah menjadi professor dijurusan sosiologi Univ.

Calivornia Barkeley serta ketua liga Ivy Univ. Pennsylvania. Erving Goffman,

dianggap sebagai pemikir utama terakhir Chicago asli (Travers, 1922: Tselon,

1992); Fine dan Manning (2000) memandangnya sebagai sosiolog Amerika paling

berpengaruh di abad 20. Antara 1950-an dan 1970-an Goofman menerbitkan

sederetan buku dan esai yang melahirkan analisis dragmatis sebagai cabang

interaksionisme simbolik. Walau Goffman mengalihkan perhatiannya di tahun-

tahun berikutnya, ia tetap paling terkenal karena teori dramtugisnya (Prista Ayu,

2011: 1).

Pemikiran mengenai presentasi diri yang dikembangkan oleh Goffman

adalah untuk menjelaskan interaksi sosial antarindividu, dalam karya besarnya the

Presentation of Self in Everyday Life (1959). Di dalam buku ini, Goffman

membuat metafora kehidupan sosial sebagai panggung pertunjukan. Menurut

Goffman, dunia ini bagaikan proses pertunjukan atau drama di depan khalayak.

Goffman fokus pada interaksi sosial dimana setiap orang berkembang untuk

5
menampilkan gambaran dirinya atau konsep dirinya di depan orang lain

(Kriyantono, 2014: 219).

Pemikiran Goffman tersebut sangat dipengaruhi oleh teori-teori sosial lain,

seperti interaksi simbolis. Saat berinteraksi, individu berupaya mengelola kesan

tertentu saat mempresentasikan diri di mata khalayaknya. Presentasi diri

merupakan peran yang dimainkan seseorang yang terbentuk dari konstruksi sosial

dalam interaksi sosial. Karena metafora sebagai panggung pertunjukan, pemikiran

Goffman ini dikenal juga sebagai teori atau pendekatan dramaturgi (Kriyantono,

2014: 219).

Dalam metafora pertunjukan drama, Goffman menjelaskan proses

presentasi diri yang juga dikenal dengan teori impression management. Teori ini

dapat diterapkan dalam konteks public relations, karena membahas tiga konsep

penting yang juga ada dalam praktik public relations, yaitu relasi, identifikasi, dan

citra. Dalam proses interaksi, individu tidak bisa lepas dari upaya membangun

hubungan, mengidentifikasi karakter lawan, dan membangun citra atau kesan

positif orang lain terhadap dirinya. Karenanya, teori ini pun dapat digunakan

untuk menjelaskan aktivitas organisasi dalam berinteraksi dengan lingkungannya

(Kriyantono, 2014: 220).

B. Teori Impression Management

Teori manajemen impresi (impression management) menyebut, bahwa

dalam interaksi sosial setiap individu berupaya menampilkan gambaran dirinya

atau konsep dirinya di depan orang lain. Upaya ini disebut manajemen impresi,

6
yaitu individu secara sengaja menggunakan komunikasi untuk menciptakan

impresi yang diinginkan dari orang lain terhadapnya (Johansson, 20017 dalam

Kriyantono, 2014: 220).

Karena manajemen impresi terkait cara mempresentasikan diri, maka

Rosenfeld, Giacalone & Riordan (1994) menyebut sebagai teori presentasi diri.

Dalam interaksi dengan orang lain, individu menggunakan komunikasi untuk

mengelola impresi orang lain terhadap diri individu tersebut (Goffman, 1959).

Komunikasi yang digunakan ini, menurut Goffman dibagi dalam dua bagian, yaitu

(Kriyantono, 2014: 220):

1. Bagian yang secara relatif mudah bagi individu untuk mengelola dan

memanipulasinya, yaitu komunikasi verbal.

2. Bagian yang relatif lebih sulit sering terjadi diluar kesadaran atau tidak

disengaja sehingga sulit dikontrol, yaitu komunikasi nonverbal.

Komunikan biasanya akan melakukan cek dan membandingkan perilaku

verbal dan perilaku nonverbal. Akibatnya, muncul situasi simetris dalam proses

komunikasi: individu sebagai komunikator menyadari hanya satu bagian, yaitu

komunikasi verbal, sementara orang lain (komunikan) dapat menangkap pesan

verbal dan nonverbal (Goffman, 1959 dalam Kriyantono, 2014: 220).

Dalam interaksi, simbol verbal dan nonverbal menghasilkan dua jenis

pesan, yaitu: pesan yang sengaja disampaikan (expression given on) yang oleh

Goffman disebut “wilayah depan” (front region/front stage) yang berisi upaya

individu untuk bergaya atau menampilkan peran tertentu di hadapan khalayak,

panngung ini bersifat terbuka; dan pesan yang tidak disampaikan (expression

7
given off) yang oleh Goffman disebut “wilayah belakang” (back region/back

stage) merujuk pesan yang sengaja disembunyikan dari penilaian orang namun

kemungkinan khalayak dapat menerima karena sulitnya mengontrol simbol

nonverbal (Kriyantono, 2014: 221).

Interaksi sosial memungkinkan proses komunikasi bersifat resiprokal atau

saling berbalasan. Teori ini dibangun Goffman dalam konteks menjelaskan

fenomena komunikasi interpersonal yang tatap muka. Dalam situasi ini, dua pihak

yang berkomunikasi akan saling memengaruhi dengan cara mengelola kesan

masing-masing. Agar sifat resiprokal ini berlanjut, kesan pertama sangat penting

karena menghasilakn efek pertama (primary-effect) yang menentukan proses

komunikasi dibangun dan dimodifikasi lebih lanjut oleh para partisipan

komunikasi. Pemodifikasi inilah yang mencakup upaya manajemen impresi yang

akan mendorong terjadinya “workingconcensus” atau level kesetujuan (level of

agreement), yang menurut Goffman (Johansson, 2007:277) yaitu “bersifat

berbeda tergantung setting interaksi.” (Kriyantono, 2014: 221).

Dalam setting interaksi tersebut, terdapat serangkaian tindakan yang

dilakukan individu yang disebut sebagai performance. Setiap individu

menampilkan karakter tertentu kepada orang lain, seperti suatu panggung tempat

paara aktor bermain peran. Orang lain akan menilai peran yang dimainkan

individu itu. Untuk menentukan peran ini, menurut Goffman, individu harus

memahami situasi atau setting interaksi. Artinya, individu tidak hanya

menyampaikan informasi tentang dirinya, tetapi juga mendapat informasi tentang

8
orang lain. Proses bertukar informasi ini menyebabkan individu mengetahui apa

yang diharapkan orang lain (Goffman, 1959 dalam Kriyantono, 2014: 222).

C. Presentasi Diri untuk Manajemen Impresi dalam Organisasi

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa

manajemen impresi terkait dengan strategi indiviu atau organisasi untuk

mempresentasikan dirinya selama interaksi dengan pihak lain (Kriyantono,

2014:222). Istilah presentasi diri dan presentasi diri strategis digunakan oleh

Edward Jones dan rekannya untuk mendeskripsikan konsep mereka tentang

manajemen kesan. Teori presentasi diri ini didasarkan pada asumsi bahwa

presentasi perilaku seseorang secara koheren selama interaksi akan menyebabkan

orang lalin menentukan tipe atribusi terhadap orang itu (Littlejohn & Foss, 2016:

611).

Perilaku dan atribusi yang diasosiasikan Edward Jones diringkas menjadi

lima tipe atribusi atau tipologi startegi presentasi diri yang biasa dilakukan

individu, strategi karakteristik yang akan mengungkapkan masing-masing

atribusi, dan berbagai taktik untuk mengimplementasikan strategi tersebut

(Littlejohn & Foss, 2016: 611). Kriyantono (2014:222) berpendapat bahwa

tipologi ini juga berlaku untuk menjelaskan perilaku organisasi dalam

mempresentasikan dirinya untuk memengaruhi impresi publiknya.

Kelima tipologi presentai diri Edward Jones (Metts, 2009) yang dikutip

dalam Kriyantono (2014:222-223) antara lain:

1. Strategi ingratiation (menyenangkan orang lain)

9
Biasanya digunakan oleh organisasi yang ingin dipersepsi sebagai pihak

yang menyenangkan atau ramah. Strategi ini diwujudkan dengan

menampilkan emosi-emosi positif selama interaksi dengan publik, seperti

organisasi suka membanut publik dan menghargai kepentingan publik.

2. Startegi self-promotion (promosi diri)

Biasanya digunakan oleh organisasi yang ingin diimpresikan sebagai

organisasi yang berkompeten. Strategi ini diaplikasikan dengan

menampilkan prestasi yang dicapai organisai, hala-hal baik yang telah

dilakukan organisasi terhadap publiknya, dan menampilkan berbagai

penghargaan yang diperoleh organisasi atas prestasinya.

3. Strategi exemplification (sebagai contoh)

Biasanya digunakan oleh organisasi yang ingin diimpresikan sebagai

organisasi yang layak dijadikan contoh atau model bagi organisasi lainnya.

Strategi ini terwujud dari beberapa tindakan, seperti mendemonstrasikan

kemampuan, kelebihan, integritas, dan nilai-nilai organisasi.

4. Strategi supplication (self-handicapping)

Biasanya digunakan oleh organisasi yang ingin dipersepsi sebagai

organisasi yang memiliki keterbatasan dalam membantu publik.

Organisasi diimpresikan sebagai pihak yang lemah sekaligus yang menjadi

korban dari krisis yang terjadi.

5. Strategi intimidation

Biasanya digunakan oleh organisasi yang ingin dipersepsi sebagai

organisasi yang kuat dan mampu mengontrol situasi. Diwujudkan dengan

10
menampilkan atribut yang mempresentasikan kemarahan atau keinginan

untuk menghukum pihak lain yang menyebabkan kerugian.

D. Model Manajemen Kesan

Beberapa teori manajemen kesan yang muncul sepanjang 50 tahun terakhir

ini berbeda-beda dalam fokus dan terminologinya. Tetapi, mereka dapat

diintegrasikan kedalam model proses manajemen kesan hirarkis. Meskipun tujuan

interaksional spesifik itu bersifat cair dan baru, ada empat meta tujuan yang

merepresentasikan tautan yang kompleks pada kompetensi manajemen kesan dari

pembicara. Pada masing-masing level, upaya sadar harus diupayakan untuk

menginterpretasikan situasi dan melakukan tindakan yang tepat (Littlejohn &

Foss, 2016: 613).

Adapun keempat meta tujuan tersebut dalam Littlejohn & Foss (2016:613-

614) antara lain:

1. Menunjukkan Kompetensi Sosial

Dalam hal ini, kita melakukan interaksi dengan halus sehingga identitas

sosial terbentuk dan dijaga tanpa banyak usaha. Ini terjadi di latar

belakang, dan konten dari interaksi ada di latar depan. Interaktan

menginterpretasikan petunjuk situasional, seperti status, definisi relasi, dan

parameter episode dengan tepat dan bertindak sesuai petunjuk itu. Mereka

mampu dan mau mnegikuti norma, aturan dan ekspektasi komunikasi dan

konteks komunikasi. Interaktan sama-sama kompeten dalam menghargai

muka orang lain, yang merupakan hal biasa dalam interaksi rutin.

11
Kadang-kadang adalah perlu untuk mengkonstruksi identitas secara

sengaja. Ketika memberika presentasi publik, misalanya, kita sadar bahwa

kita ingin dianggap sudah siap, berpengetahuan, dan fasih. Ketika bertemu

orang baru atau dalam acara sosial, kita ingin dipandang sebagai orang

yang menyenangkan, menarik, lucu, atraktif, dan sebagainya. Jika

kenaikan gaji di tempat kerja didasarkan pada evaluasi atas kompetensi

kita, kita akan berusaha menciptakan kesan bahwa kita suka bekerja keras,

produktif, rajin, dan loyal.

2. Konstruksi Kesan

Kita mengandalkan pada keterampilan menginterpretasikan situasi dan

kemudian menjalankan strategi manajemen kesan yang menurut kita dapat

menciptakan kesan yang paling sesuai. Tentu saja, kunci untuk interaksi

yang lancar dalam situasi ini adalah kemampuan untuk memonitor kesan

yang diciptakan, namun juga memiliki sumber daya kognitif yang cukup

untuk menunjukkan kompetensi sosial dasar.

3. Melindungi Integritas Kesan

Interaktan harus memperhatikan potensi ancaman pada identitas dalam

suatu situasi dan harus mampu menghindari atau meminimalkan ancaman

itu (baik bagi diri sendiri maupun orang lain). Penggunaan facework

preventif yang baik dan strategi kesopanan dapat memfasilitasi kebutuhan

ini. Ketika usaha untuk mencegah hilangnya muka tidak sukses, maka

interaktan akan berusaha mendapatkan meta tujuan keempat.

12
4. Memulihkan Integrasi Kesan

Orang perlu menghentikan atau meninggalkan interaksi yang sedang

berlangsung guna membangun kembali legitimasi atau viabilitas identitas

sosial yang hilang. Strategi restorasi mungkin fokus pada upaya pemulihan

karakter moral, menyangkal niat negatif, atau menjelaskan atau

bertanggung jawab atas tindakan yang tidak tepat atau ngawur. Orang

yang menyinggung mungkin meminta maaf dan menunjukkan penyesalan,

alasan bahwa itu tidak disengaja, atau justifikasi yang menerima tanggung

jawab tetapi menawarkan pemulihan situasi. Alternatifnya, jika interaktan

lain perlu memulihkan integritas kesan, tindakan kompeten diperlukan

untuk mendukung upaya restorasi.

Meta tujuan ketiga dan keempat berasal dari definisi dasar atas ciri

identitas sosial. Entah itu kita menyebutnya wajah, presentasi diri, atau kesan,

semuanya selalu tidak kentara-mereka eksis hanya dalam performa. Norma

reprositas mendorong orang untuk saling responsif terhadap performa identitas

satu sama lain-jika saya mendukung performa identitas Anda, Anda akan

membalas dengan mendukung saya, dan interaksi kita akan lancar. Dalam

kenyataan, tidak ada performa yang sempurna, dan ancaman atas identitas adalah

hal yang tak terelakkan (Littlejohn & Foss, 2016: 614).

Istilah identias sosial dalam situasi ini berakar dalam sosiologi melalui

essai dari Erving Goffman. Meski ia mengembangkan teorinya pada saat yang

sama ketika psikolog sosial mengembangkan teori presentasi diri strategis, ia

tidak tertarik pada motivasi psikologis dari penampilan perilaku publik. Dia hanya

13
menyatakan bahwa prinsip pengatur dari semua interaksi sosial adalah manajemen

identitas sosial atau manajemen wajah yang dikoordinasikan. Goffman

menggunakan metafora permainan untuk menjelaskan pandangan tentang

manajemen kesan ini. Di mengatakan bahwa ketika orang melakukan interaksi,

mereka mengkonstruksi dan mempertahankan wajah dengan cara yang sama

seperti aktor menjalankan perannya di panggung (Littlejohn & Foss, 2016: 612).

E. Teori Impression Manajemen dalam Public Relations

Organisasi adalah kumpulan individu dengan berbagai pendekatan

karakteristik. Agar kerja organisasi berjalan efektif, maka individu yang

beragaman tersebut harus mampu bekerja sama. Kerja sama baru dapat terjalin

jika masing-masing individu saling memahami karakter individu lainnya,

memahami motivasi dibalik perilaku individu lainnya, dan mampu menyesuaikan

diri dengan perbedaan itu. Karenanya, menurut Rosenfeld (1994), pengetahuan

tentang manajemen impresi menjadi penting agar interaksi antar-individu yang

berbeda-beda ini dapat berjalan lancar dan dapat menyelesaikan masalah

komunikasi yang diakibatkan perbedaan itu (Kriyantono, 2014: 223).

Sama seperti perilaku komunikasi pada konteks yang lain, individu dalam

suatu organisasi berupaya memengaruhi impresi individu lainnya. Keinginan

membangun impresi ini merupakan sifat alami manusia yang ingin dipersepsi

positif oleh manusia yang lain; yang diipresikan yaitu perilaku, motivasi, atau

moralitsnya (Rosenfeld, dkk., 1994 dalam Kriyantono, 2014: 223).

14
Bisa saja seorang karyawan ingin diimpresikan sebagai orang yang

mandiri, memiliki potensi di masa depan, atau orang yang pandai. Individu

melakukan manajemen impresi ini untuk beberpaa tujuan, seperti

mempretahankan eksistensi dirinya dan mendapatkan promosi. Dalam

penelitiannya, Rosenfeld, dkk (1994) menemukan bahwa kelompok minoritas di

organisasi, sepert minoritas karena etnis, jenis kelamin, dan pendatang baru,

menggunakan manajemen impresi untuk memengaruhi kelompok mayoritas yang

memiliki posisi berpengaruh (Kriyantono, 2014: 223).

Organisasi tidak berbeda dengan seorang individu, yaitu seorang aktor

dalam panggung pertunjukan kehidupan sosial dalam berbagai setting interaksi di

depan khalayak. Segala simbol seperti busana yang dipakai, seragam perusahaan,

cara berjalan dan berbicara, desain dan interior kantor, dan website perusahaan

digunakan untuk presentasi diri agar mendapat kesan positif dari orang lain.

Misalnya, untuk memberi kesan kepada tamu, lobi hotel di desain dengan interior

yang indah, nyaman, dan sejuk. Dalam konteks inilah public relations dituntut

mengelola media komunikasinya untuk memberitahukan wajah perusahaan

kepada publiknya agar menimbulkan kesan positif. Mengelola media komunikasi

merupakan bagia dari peran public relationa untuk menerapkan strategi rekayasa

komunikasi (communication engineering). Kemasan company prifile yang

menarik dapat memengaruhi bagaimana penerimaan pesan oleh publik. Hal ini

didukung pula oleh pemikiran Marshal McLuhan tentang “The Medium is the

Message.” Mediumnya (kemasan fisik company profile) saja merupaka pesan

yang bisa membentuk citra positif perusahaan (Kriyantono, 2014: 224).

15
Johansson (2007) menemukan bahwa teori impression management

banyak dikaitkan dengan situasi krisis. Organisasi dituntut untuk melakukan

manajemen kriris dengan baik, sehingga muara akhirnya dapat meningkatkan

citra. Citra yaitu imaji dan impresi publik apakah organisasi bersifat kredibel dan

legitimate atau tidak. Dengan kata lain, manajemen krisis menuntut suatu

manajemen impresi (Kriyantono, 2014: 224).

Teori ini juga menarik diterapkan untuk mengkaji perilaku komunikasi

antara manajer dengan anggota organisasi. Misalnya, untuk memahami bagaimana

proses membangun identitas organisasi dan mengkomunikasikan identitas itu

(dikenal dengan pencitraan); untuk memahami kendala-kendala yang ditemui saat

menerapkan strategi perubahan identitas. Beberapa pertanyaan penelitian yang

juga dapat diteliti anatra lain: strategi impresi yang bagaimana yang diterapkan

dan dikomunikasikan praktisi public relations dalam berbagai setting yang

berbeda? Bagaimana impresi itu mengelola fron stgae dan backstage? Bagaimana

persepsi khalayak terhadap strategi impresi itu? (Kriyantono, 2014: 224).

Manajemen kesan terkadang bersifat rutin dan terkadang strategis,

terkadang sukses dan tekadang gagal. Namun manajemen ini selalu merupakan

aspek fundamental dan menentukan dalam interaksi sosial (Littlejohn & Foss,

2016: 614).

16
F. Contoh Kasus

IMORESSION MANAJEMEN PEJABAT PUBLIK DALAM MEDIA SOSIAL

(Ulfah Nurul Islam, 2018 dalam artikel penelitiannya)

Sadar atau tidak, sebagian besar orang telah melakukan pengelolaan kesan

dalam kehidupan sehari-hari. Khusunya pada seseorang yang memiliki peran atau

profesi yang berhubungan dengan masyarakat seperti seorang pejabat publik.

Menurut pasal 1 Angka 8 UU No. 14 tahun 2008 yang berisi tentang Keterbukaan

Informasi Publik, pejabat publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas

untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sebagai seorang

yang mempunyai posisi di hadapan publik, salah satu tugas utama dari pejabat

publik adalah melayani kepentingan orang banyak. Karena tugas inilah pejabat

publik dituntut memiliki karakter yang baik dan dapat dijadikan panutan. Pada

umumnya mereka ingin dikenal sebagai orang yang bersahabat, pintar, dan

memiliki moral yang bagus.

Salah satu pejabat publik di Indonesia yang dikenal aktif menggunakan

media sosial adalah Ridwan Kamil. Ia adalah walikota Bandung, Jawa Barat

dengan masa jabatan 2013 - 2018. Dalam akun twitter-nya ia telah men-twitt

sebanyak 41,1 ribu kali dan diikuti oleh 2,97 juta pengikut. Sedangkan dalam

akun Instagram-nya ia telah mengunggah sebanyak 4.574 gambar dan diikuti oleh

7,6 juta pengikut. Ridwan Kamil juga dikenal sebagai tokoh yang paling aktif via

Instagram melebihi Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo (@ganjar_pranowo)

dengan 952 unggahan dan 401 ribu pengikut, melebihi Gubernur DKI Jakarta,

Sandiaga Uno (@sandiagauno) dengan 1,733 unggahan dan 1 juta pengikut,

17
bahkan melebihi Presiden RI, Joko Widodo (@jokowi) dengan unggahan

sebanyak 461 gambar dan 7,5 juta pengikut.

Melalui media sosial Ridwan Kamil membentuk pengelolaan kesan dan

mempengaruhi presepsi orang lain terhadap dirinya. Hal tersebut terbukti atas

kemenangannya dalam pemilihan walikota Bandung tahun 2013 silam. Di

kalangan pegiat kreativitas Kota Bandung, dalam beberapa tahun terakhir dia

cukup terkenal. Selain itu, tim suksesnya cukup solid dan berhasil meraih simpati

kaum muda melalui kampanye via jejaring sosial, baik itu melalui Twitter, FB,

dan juga video animasi yang diunggah nya ke Youtube cukup unik sehingga

banyak diakses anak muda (Abdullah, 2013).

Ridwan Kamil menggunakan lima strategi pengelolaan kesan. Lima

strategi tersebut, antara lain; Ingratiasi, Intimidasi, Promosi Diri, Eksemplifikasi,

dan Suplikasi.

 Ingratiasi yang dilakukan seperti: melakukan kebaikan, meningkatkan diri,

meningkatkan orang lain, dan menyesuaikan pendapat.

 Intimidasi yang dilakukan seperti: ancaman, amarah.

 Promosi diri yang dilakukan seperti: klaim kinerja, akun kinerja.

 Eksemplifikasi yang dilakukan seperti: penyangkalan diri, menolong,

militansi.

 Suplikasi yang dilakukan seperti: depresi diri, meminta bantuan.

Ridwan Kamil mengunggah foto di instgram miliknya yang menunjukkan ke lima

strategi tersebut.

18
Ridwan Kamil mengunggah buku kumpulan masalah Bandung yang

belum terselesaikan. Di awal kepemimpinan Ridwan Kamil, sudah ada buku

inventaris permasalahan yang ada di kelurahan dan kecamatan wilayah kota

Bandung (judul cover), yang merupakan permasalahan yang sudah ada di periode

kepemimpinan sebelumnya. Dan sudah menjadi tugas Walikota berikutnya untuk

menyelesaikan masalah yang ada. Seperti sifat tindakan favor doing, Ridwan

Kamil membantu orang lain dengan melakukan sesuatu untuk mereka.

Menunjukkan bahwa ia akan menyelesaikan masalah yang setebal bantal menjadi

lembaran, seperti yang ia katakan pada keterangan gambar yang ia upload

“Jumlah kumpulan masalah2 Bdg yg setebal bantal. Semoga 2018 tinggal

beberapa lembar.Amin.” Dengan melakukan hal tersebut ia akan dianggap sebagai

Walikota yang ramah dan peduli kepada masyarakatnya.

Dalam insytagramnya pula, terdapat foto walikota Ridwan Kamil beserta

wakilnya Oden M Danial dalam balutan seragam dinas. Terdapat pula keterangan

gambar “Bersama pak wakil walikota di persiapan pelantikan”. Mengenakan

seragam dinas merupakan wujudan dari seseorang yang mengerjakan amanah

sesuai dengan pekerjaannya. Dengan postur tubuh tegak dan senyum di wajah ia

memperlihatkan keramahan seorang pemimpin masa depan yang sebentar lagi

akan dilantik.

Ada juga foto Ridwan Kamil menunjukkan kepercayaan dirinya terbukti

dengan foto close up dengan angle terbaiknya yang diunggah di hadapan ribuan

pengikutnya di Instagram. Selain itu melipat tangan juga dapat diartikan dengan

tindakan defensif, yang berarti ia akan siap menghadapi perannya yang

19
membutuhkan banyak tanggung jawab di masa yang akan datang. Kemudian

senyum di wajahnya dapat diartikan bahwa Ridwan Kamil merupakan seseorang

yang ramah dan seseorang yang positif yang dapat diartikan juga sebagai sifat

optimis. Hal tersebut dikuatkan lagi dengan sapaan “Happy Friday everyone”

pada keterangan gambarnya.

Kedua unggahan di atas menampilkan sosok terbaik Ridwan Kamil

sebagai seorang walikota. Sesuai dengan tindakan self enchancement dimana ia

memuji diri sendiri dengan cara menerima kekurangan dan menutupi

kekurangannya. Fokus kedua unggahan di atas adalah menonjolkan kelebihan

dengan apa yang ia miliki dan dapat ia perlihatkan pada masyarakat, bahwa ia

adalah seorang Walikota yang dapat dipercaya dengan semua kepercayaan diri,

tugas, keramahan dan sifat optimisnya.

Memberikan pujian kepada orang lain sesuai dengan tindakan other

enchancement. Dimana seseorang memuji keberhasilan dan berterima kasih

kepada orang lain untuk menonjolkan sisi lain dirinya. Contohnya dengan

mengunggah foto bersama teman-temannya dalam acara peluncuran buku oleh

temannya sebagai bentuk dukungan dan apresiasi terhadap orang lain.

Menyetujui pendapat orang lain yang ada di sekitar masyarakat, contohnya

dengan melakukan apa yang dilakukan orang lain pada umumnya. Selain tindakan

yang disetujui oleh publik seseorang juga bisa menyetujui opini yang datang dari

posisi yang lebih tinggi dari dirinya.

Seseorang melakukan upaya-upaya yang membuatnya terlihat berbahaya

dan harus diwaspadai. Menimbulkan rasa kuatir dan takut pada lawan dengan cara

20
memberikan peringatan atau ancaman, memamerkan kekuasaan dan

mengekspresikan amarah. Sebenarnya pada taktik intimidasi terdapat dua

tindakan, yaitu Threats dan Anger, namun Ridwan Kamil hanya menggunkan

tindakan Anger di dalam unggahannya. Anger sendiri merupakan tindakan yang

memperlihatkan kemarahannya dengan mengekspresikannya memalui tindakan.

Mengisyaratkan bahwa ia seorang yang tidak dapat dianggap remeh.

Ridwan Kamil mengunggah foto piala penghargaan kota Bandung Sehat

2013. Piala merupakan suatu simbol keberhasilan yang telah didapatkan,

pencapaian prestasi atas usaha dalam suatu kompetisi. Mengunggah piala juga

menunjukkan kesukacitaan terhadap pencapain tersebut. Dalam keterangan

gambar di atas Ridwan Kamil juga menuliskan “Still need to work hard for

excellence in public health service” yang menggambarkan bahwa ia telah bekerja

keras dan akan bekerja keras lagi dalam meningkatkan pelayanan kesehatan

publik.

Unggahan tersebut sesuai dengan taktik performance claim, yang mana

Ridwan Kamil mengklaim prestasi yang telah ia dapatkan selama menjabat

walikota, bahkan di awal masa kepemimpinannya. Menunjukkan kemampuannya

di hadapan orang lain memperlihatkan kesan bahwa dirinya dapat menjadi

walikota Bandung yang panutan dengan prestasi.

Ridwan Kamil juga mengunggah beberapa foto bersama dengan pejabat

publik lainnya. Dalam foto tersebut Ridwan Kamil memperlihatkan bahwa

lingkungan disekitarnya bersama tokoh-tokoh terkemuka dan kerjasama dengan

para ahli sebagai bentuk permormance accounts. Menunjukkan lingkungan

21
disekitarnya merupakan bagian dari promosi diri yang memperlihatkan bahwa

Ridwan Kamil adalah seorang yang kompeten dengan pekerjaannya sebagai

walikota.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Impression Management atau yang lebih dikenal dengan istilah

pengelolaan kesan sering kali dilakukan oleh orang-orang yang memiliki

profesi dan dituntut untuk memiliki self image yang positif. Pengelolaan

kesan juga secara umum dapat didefinisikan sebagai sebuah teknik

presentasi diri yang didasarkan pada tindakan mengontrol persepsi orang

lain dengan cepat dengan mengungkapkan aspek yang dapat

menguntungkan diri sendiri atau tim.

Teori manajemen impresi, menyebut bahwa dalam interaksi sosial

setiap individu berupaya menampilkan gambaran dirinya atau konsep

dirinya di depan orang lain, dimana individu secara sengaja menggunakan

komunikasi untuk menciptakan impresi yang diinginkan dari orang lain

terhadapnya. Manajemen impresi terkait dengan strategi individu atau

organisasi untuk mepresentasikan dirinya selama interaksi dengan pihak

lain.

23

Anda mungkin juga menyukai