Anda di halaman 1dari 15

Cara Membelajarkan Anak Mengenai

Budaya dan Waktu


PAUD JatengSeptember 28, 2015Materi Parenting PAUD, Pendidikan Anak Usia Dini

Cara Membelajarkan Anak Mengenai Budaya dan Waktu. Mengerti dan menerima
perbedaan dan kesamaan dapat dilakukan pada masa usia dini. Upaya untuk
mengenalkan perbedaan dan kesamaan serta penerimaan terhadap perbedaan tersebut
dapat dilakukan dengan konsep pembelajaran ilmu sosial yang menarik dan
bermakna. Lingkungan hendaknya mengembangkan kebudayaan, baik lingkungan
rumah maupun lingkungan sekolah.

Cara Membelajarkan Anak Mengenai Budaya


Lingkungan sekolah yang menghargai keragaman dan kesatuan dibangun atas dasar
rasa saling menghormati yang dalam terhadap semua individu dan kelompok (Copple,
2003; Garcia, 2003).

Untuk menciptakan ruang kelas yang mengandung rasa saling menghargai di antara
individu dan kelompok, pendidik terlebih dahulu harus memahami tentang: (1)
perilaku, nilai-nilai, dan gagasan guru sendiri mengenai orang lain; (2) perilaku, nilai
nilai, dan gagasan anak mengenai orang lain; dan (3) bagaimana perilaku terhadap
orang lain dipelajari.

Perilaku dan nilai nilai yang nyata dan membimbing merupakan dasar untuk
menghargai keanekaragaman. Sebagai seorang pendidik, guru harus lebih dari sekedar
memahami perilaku diri sendiri dan perilaku anak.

Guru juga harus familiar dengan konsep kunci untuk belajar menghargai
keanekaragaman, seperti: (1) memahami keterkaitan dan saling ketergantungan; (2)
pengetahuan tentang kesamaan yang menyatukan orang-orang dari beragam budaya,
pengalaman, ras/etnis dan bangsa; dan (3) keterampilan untuk menyelesaikan konflik
interpersonal yang kemudian menjadi dasar untuk bekerja sama dengan orang lain.
Cara Membelajarkan Anak Mengenai Waktu
Anak usia dini memiliki keterbatasan persepsi tentang urutan dan lamanya waktu serta
keterbatasan kemampuan untuk mengatur urutan dan pengalaman sehari hari. Ide
intuitif anak tentang waktu adalah subyektif. Subjektivitas ini penyebab utama
kesalahan yang terjadi.

Pada anak usia 5 tahun mengetahui bahwa menunggu selama 10 menit akan lebih sulit
daripada menunggu selama 5 menit, tetapi mereka juga menyimpulkan bahwa
diperlukan waktu lebih sedikit untuk roda yang berbalik cepat dalam putaran selama 5
menit daripada yang dilakukannya untuk sebuah keran yang menitik dalam waktu
yang sama (Vukelich dan Thornton, 1990).

Pemahaman yang terbentuk kadang kala bertentangan dengan konsep yang


sebenarnya. Waktu yang berdasarkan intuisi berbeda dari waktu operasional. Waktu
operasional menyangkut pemahaman hubungan urutan, durasi, dan berdasarkan
operasi persamaan dalam logika, baik kualitatif maupun kuantitatif (Piaget, 1946).

Tidak sampai memasuki operasi formal anak, dekat dengan masa remaja awal, apakah
mereka mampu menguasai waktu operasional. Mungkin karena urutan sementara
hanya membutuhkan perbandingan kualitatif, seperti kecil lawan besar, anak anak usia
4 5 tahun dapat menunjukkan beberapa pemahaman kemampuan dalam mengurutkan
peristiwa.

Usia 4 6 tahun dapat melakukan tindakan secara berurutan untuk mencapai tujuan;
mereka tahu peristiwa yang terjadi dan mereka dapat mengurutkan kejadian sehari
hari dengan mengorganisir siklus (Vukelich & Thornton, 1990).

Anak usia 4 tahun dapat akurat dalam menilai sesuatu yang bersifat sementara atas
tingkat kesempatan; pada usia 5 tahun, anak-anak dapat menilai urutan terbelakang
dari kegiatan sehari-hari dan urutan terdepan dari titik yang telah ditentukan dalam
beberapa hari dan dapat mengevaluasi panjang interval dari kegiatan sehari-hari.

Sekitar usia 7, anak-anak juga dapat menilai urutan peristiwa mundur dari beberapa
titik acuan.
Seiring waktu anak mencapai Taman Kanak kanak, mereka menggunakan istilah
istilah waktu dan jam dalam bercerita. Meskipun mereka belum diinternalisasi
konsep/lamanya jarak, seperti jam dan menit, mereka memahami bahwa istilah istilah
ini memiliki makna.

Anak pertama memulai dengan kegiatan mengasosiasikan jadwal kelas reguler setiap
hari, kemudian mereka mencocokkan jadwal ini dengan waktu yang ada di jam.
Selanjutnya, konsep jam, setengah jam, dan seperempat jam dapat berkembang.
Seminar Parenting ‘Mendidik Anak di Era
Digital’ oleh ibu Elly Risman (3)
June 4, 2014erinyudha

Sesi ketiga

Orang tua jaman sekarang, bisa jadi tidak sesusah jaman orang tua mereka dulu dalam
membesarkan anak. Kesejahteraan (secara umum ya, kebanyakan) sudah meningkat. Bisa
dibilang, hari gini, dari tukang becak, bedinde, petani sampai pemulung, siapa yang tidak punya
handphone dan TV di rumahnya? Pekerja bangunan aja motornya bagus2 (logikanya kan, kalau
bisa beli itu semua mestinya makan juga sudah kenyang kan ya? Anak2nya juga pada sekolah
kan ya?). Para ibu juga dan anak2nya sudah pada pintar2, sekolahnya tinggi2.

Tapi justru, tantangan bagi orang tua jaman sekarang dalam mendidik anak agar punya akhlak
dan moral yang baik, jauh lebih besar seiring dengan berkembangnya teknologi.

Sesi ini nih yang paling penting. Mari dilanjuut…

Bagaimana upaya pencegahan yang bisa kita lakukan untuk melindungi anak kita dari
bahaya pornografi? Apa yang harus kita lakukan untuk meminimalisir kemungkinan anak
bersentuhan dengan pornografi?

Soal internet dan handphone. Orang tua harus mengikuti perkembangan jaman juga… Untuk
yang anaknya sudah agak besar dan mulai kenal internet dan pegang handphone, kita juga harus
menguasai cara berinternet dan mengerti fitur2 yang ada pada handphone anak kita. Kalau anak
punya akun di social media (facebook, twitter, path, dll), bertemanlah dengan anak kita di situ,
kenali teman-temannya. Sesekali cek riwayat koneksi internetnya, diskusi dengan mereka, dan
ajak anak untuk menggunakan internet dengan bijak. Orang kan akan mudah menerima masukan
ketika sedang senang, dan dalam suasana santai. Maka jangan melarang mereka ini itu dengan
cara mengomel. Bisa saja di depan kita mereka menurut, tapi malah melakukannya dengan
sembunyi2.

Soal bacaan dan komik. Jangan beli komik sembarangan, dan langsung mengiyakan begitu
anak menyodorkan gambar covernya. Lihat dulu isinya. Ajarkan pula anak membaca berbagai
jenis bacaan seperti: science, petualangan, fiksi yang islami dan atau mendidik, kisah rasul dan
sahabatnya, dll. Sebagai orang tua, tetaplah ingat, bahwa anak meniru apa yang dilihatnya.
Maka, jadilah contoh yang baik, dengan sering membaca bacaan bermutu (bukan tabloid gossip
ya).

Soal games. Belajar kenal dengan games. Sesekali lihat dan perhatikanketika anak main games.
Tanyakan games apa yang sedang dimainkannya. Periksa rating/peringkatnya.Banyak lho games
bajakan dengan harga terjangkau dan ratingnya sudah diubah atau tidak sesuai dengan
sebenarnya. Misalnya yang tadinya rating-nya AO (adult only) atau M (mature), diubah menjadi
T (teen).

Tanyakan dari mana dia mendapatkannya. Diskusikan dampak bermain games, terlebih dalam
jangka waktu yang lama dan sering. Jaman sekarang tidak heran ya, melihat anak balita jari
jemarinya sudah piawai memainkan berbagai jenis gadget, selama berjam-jam. Padahal yang
disarankan, untuk anak usia 4 tahun saja memainkannya tidak boleh lebih dari 10 menit.

Berikut adalah dampak negative games bagi kesehatan (jika terlalu sering memainkannya):
1. Menyebabkan kejang lengan (repectitive strain injury)
2. Mengikis lutein pada retina mata (menyebabkan pandangan menjadi kabur di usia dini)
3. Mencetus ayan/epilepsi

Soal film/TV. Atur jam TV boleh menyala. Pilih program edukatif yang cocok untuk anak.
Tidak semua film kartun cocok/baik untuk anak lho. Sinchan mencontohkan kelakuan anak yang
nakal dan genit. The Simpsons menampilkan kekerasan. Barbie menampilkan kecantikan dan
kemewahan yang berlebihan. Dan lain2nya. Tayangan Disney Junior rasanya lebih baik. Tapi
tetap ya, pantau, tidak boleh ditonton terus2an. Untuk anak balita maksimum 2 jam per hari!
Sesekali bahas tayangan2 tersebut dengan anak, apa yang mereka sukai, apa yang tidak.
Mengapa mereka suka dan atau tidak. Jika anak punya pemahaman yang salah, beri pengertian
yang benar.

Soal fim bioskop. Ini untuk anak yang sudah remaja, yang mulai ingin nonton ke bioskop
bersama teman2. Tanyakan, apa perlu ke bioskop? Dengan siapa? Nonton apa? Hati2 dengan
iklan sebelum di tengah dan akhir fim. Diskusikan dampak melihat adegan syur dalam keadaan
gelap dengan teman. Tawarkan alternatif untuk membeli DVD nya dan menontonnya beramai2
di rumah.

Soal hubungan sosial. Sejak anak balita, kenalkan bedanya mahram, teman, sahabat, orang
asing. Apa yang boleh dilakukan dan tidak dengan mereka. Ajarkan mereka untuk menjaga
tubuhnya sendiri, dengan mengenalkan sentuhan yang baik, tidak baik, dan membingungkan.
Batasan bagian badan mana yang boleh dipegang orang2 lain itu. Kalau anak sudah lebih
dewasa, ajarkan bagaimana seharusnya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram, hukum pacaran dalam Islam, dsb.

Bagaimana menjelaskan kepada anak soal bagaimana orang bisa kecanduan pornografi
dan bahayanya?

Ini untuk anak yang sudah agak besar dan bisa diajak komunikasi soal bahaya pornografi. Apa
yang terjadi kalau sudah kecanduan, kenapa kecanduan bisa terjadi dan kenapa kita harus
menjauhinya. Terangkan dengan analogi yang mudah dimengerti anak. Ibu Elly mencontohkan
dengan es krim. Misalnya seperti ini.

Kalau hari ini kita dibelikan satu buah es krim Walls, bagi yang biasa makan es puter, es krim
Walls pasti terasa lebih enak doong. Setelah habis satu, pasti ingin nambah lagi. Dibelikan lagi
deh es krim Walls. Habis dua buah. Puas. Kenyang. Besok2nya, kalau punya uang, ingin beli
Walls lagi gak? … Iyalah. Teruus, begitu hingga selama berhari2 berminggu2 makan Walls,
kira2 mulai bosan gak? … Iya ya, sedikit.

Tiba2 ada yang nawarin, es krim Baskin & Robbins. Kira2 terasa lebih enak gak dibanding
Walls?… Tentunya… Coba satu. Enak. Ingin nambah lagi dong. Habis dua buah. Puas.
Kenyang. Besok2nya, kalau punya uang, kira2 inginnya beli Walls atau Baskin & Robbins?
Kalau bisa ya Baskin & Robbins lah ya…Begitu terus, hingga selama berhari2 berminggu2
makan Baskin & Robbins, kira2 mulai bosan gak? Hmm, iya, agak. Kalau makan Walls lagi,
kira2 bagaimana rasanya? … Biasa saja kali ya… Eh, tiba2 ada yang nawarin, es krim Haagen
Dazs. Bagaimana rasanya…?? Luar biasa. Begitu seterusnya. Kalau sudah biasa makan Haagen
Dazs, terus makan Walls, kira2 yang terasa apa? Tidak ada enak2nya sama sekali. Bagaimana
dengan es puter? Yakkss, ini mah es krim jadi2an.

Kalau sudah biasa makan es krim Haagen Dazs setiap hari selama bertahun2, lalu mendadak
bangkrut, tidak punya uang untuk beli dan sementara kebutuhan akan es krim meningkat, kira2
apa yang dilakukan? Bisa jadi mencuri uang untuk bisa beli es krim. Atau mencuri es krim nya
langsung!
Begitu juga proses kecanduan pornografi. Bisa jadi, bagi remaja lelaki, tadinya deg2an setiap
melihat perempuan berpakaian s*ksi. Lama2 karena seriiing …, jadinya biasa saja lihat yang
begitu, bahkan yang tanpa sehelai benang pun rasanya biasa. Selanjutnya kira2 remaja lelaki tadi
butuh tantangan baru gak yang bisa buat deg2an lagi? Mungkin gak mencoba yang aneh2,
semacam waria, lalu sesama lelaki, atau bahkan binatang? Bukan tidak mungkin bukan? Selama
punya uang, bisa bayar. Suatu saat kalau pas tidak punya uang tapi kebutuhan memuncak, kira2
apa yang dilakukan? Bisa jadi memperk*sa orang yang ada di sekitarnya. Tidak peduli siapa dia.
Bisa jadi kerabat dekatnya, atau tetangga, atau muridnya.

Tidak takut? Tidak malu kalau sampai ketahuan? Tidak mikir panjang apa akibatnya bagi si
pelaku dan korbannya? Kok tega2nya…

Kan orang yang kecanduan pornografi otaknya rusak… tidak bisa membedakan mana yang baik
dan buruk. Mana bisa berpikir normal??

Bagaimana jika sudah terlanjur terpapar dan kecanduan pornografi?

Pertama, I know that thas is not easy (honestly, that is disaster!), but… try as much as you can,

to be…

calm…

tenang…

tenang…

tenang…

jangan panik, jangan marah.

Terima musibah ini… (kalau kata Aa Gym, mau tidak terima juga sudah terjadi, sudah ada tanda
terimanya—yaitu otak anak yang rusak).

Selanjutnya, maafkan anak, lalu… minta ampun sama Allah SWT. Segala sesuatu terjadi atas
kehendakNya. Sadari bahwa yang terjadi adalah hasil dari apa yang kita lakukan. Bahwa kita
akan memanen yang kita tanam. Introspeksi diri. Mungkin ini semua terjadi karena kesalahan
kita sebagai orang tua. Mungkin kita yang kurang perhatian sama anak. Mungkin kita yang
terlalu sibuk dengan pekerjaan dan mencari harta. Mungkin kita yang salah telah melimpahkan
pengasuhan anak pada orang lain. Mungkin kita yang tanpa sadar memberi makan anak dengan
uang yang tidak halal. Mungkin kita yang terlalu egois tidak mau kehilangan ‘me time’ (bolak
balik ibu Elly mengeraskan suara setiap menyebut soal me time ini)

(Hayo ngakuu.. siapa yang tidak pernah mengalami–saking begitu asyiknya chat lewat BBM dan
Whatsapp sama teman2, atau facebooking, atau ngeblog atau baca buku, atau nonton film…
sampai2 anaknya dibiarkan main sendirian, bahkan anak2 manggil2 malah kita cuekin..??

… gak ada yang tunjuk jari kan..? gak ada kan??).

Maka, perbanyak mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, bagi yang beragama Islam,
perbanyak sholat, baca al Qur’an, sedekah, dan bersabar. Ingat, jadikan sabar dan sholat sebagai
penolongmu. Jangan lupa bersyukur. Memang tidak mudah, tapi dengan melihat para orang tua
yang kasus anaknya lebih parah akan membantu kita untuk bersyukur.

Jangan berlarut2 sendiri dalam kesedihan, kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Ingat, ada
anak yang membutuhkan dukungan dan bantuan untuk melepaskan diri dari kecanduan
pornografi. Ajak anak bicara baik2 hingga mau terbuka untuk bicara. Bisa jadi sulit, kaku dan
canggung untuk yang dari awalnya hubungan dengan anaknya memang tidak dekat. Tidak
terbiasa mengobrol, tidak terbiasa merangkul, tidak terbiasa memeluk. Datang ke ahli adalah
salah satu pilihan, untuk membuka masalah (memancing agar anak mau bicara masalahnya) dan
mencari solusinya. Jika kecanduan sudah cukup parah, memerlukan terapi dari
ahli/terapist/psikolog untuk penanganannya.

Pe-eR berikutnya, musyawarah dengan pasangan, tindakan apa yang harus dilakukan sebagai
orang tua ke depannya. Misalnya dengan memperbaiki pola pengasuhan dan komunikasi.

Bagaimana agar pasangan (suami) mau peduli dengan apa yang kita (ibu2) katakan
mengenai masalah anak?

Ibu Elly sampai memberi trik bicara yang baik dengan para suami yang biasanya cuek dengan
urusan pengasuhan anak. Sepertinya sudah tercetak dari sononya bahwa urusan ayah itu mencari
uang, urusan ibu mengasuh anak. Padahal peran kedua orang tua sangatlah penting.

Anak laki2 yang kurang kasih sayang/perhatian/peran ayahnya cenderung menjadi nakal, terlibat
narkoba dan sex bebas. Sementara, anak perempuan cenderung depresi, dan jika salah pergaulan
dapat pula terjerumus dalam kehidupan sex bebas. Maka ajak ayahnya anak2 untuk ikut terlibat
dalam pengasuhan anak.

Oh ya, trik bicara dengan pasangan yaitu:

1. Pilih waktu yang tepat (kata ibu Elly waktu yang pas itu setelah kebutuhan suami yang satu itu
terpenuhi), dalam suasana santai, perut sudah terisi dan ketika badan dan mata masih segar.
2. Sampaikan isyu kritis alias point-nya langsung, jangan bertele2.
3. Rumuskan dalam 1 kalimat, yang terdiri tidak lebih dari 15 kata. Misalnya kita bisa pancing
bilang, ‘ayah, jangan2 anak kita bisa rusak lho otaknya’. Pasti kan suaminya kaget tuh, dan balik
tanya, ‘hah? Maksudnya rusak otaknya bagaimana?’. Kita kasih jawaban2 pendek dulu. Kan
makin bingung tuh, terus bertanya lagi dan bertanya lagi. Setelah itu ya langsung aja ajak bicara
panjang lebar. Tapi ingat ya jangan bertele2, soalnya lelaki kan cenderung straight to the point.
Bisa bosan dan bingung mereka kalau kita muter2 bicaranya.

Apa yang harus diperhatikan sebelum memulai berdiskusi dengan pasangan untuk
memperbaharui pola pengasuhan?

Life is a journey, kalau kata orang bilang. Dan setiap perjalanan harus mempunyai tujuan.
Membesarkan anak merupakan bagian dari perjalanan itu. Sebagai orang tua kita harus punya
tujuan dalam membesarkan anak. Bukan hanya menjadikannya sebagai anak pintar, sukses
dalam bidang akademis dan karir saja, tapi ada tujuan yang lebih penting dan mulia dari itu, yang
Allah inginkan dari kita.

Maka dari itu, berikut ini adalah visi dan prinsip penting yang harus diingat, persiapkan
anak menjadi:

 hamba Allah SWT yang taat,


 calon istri/suami yang baik,
 calon ayah/ibu yang baik
 seorang professional dalam pekerjaan/karirnya,
 pendidik (untuk mendidik anak2nya – dan mendidik istrinya, bagi para suami)
 penanggung jawab keluarga (bagi laki2 dalam mencari nafkah dan memimpin keluarganya; bagi
perempuan dalam mengatur rumah tangga dan mengurus suami dan anak2nya)
 pengayom orang tua di masa tuanya (terutama untuk anak laki2, ingat, bahwa seorang anak laki2
bertanggung jawab terhadap ibunya… yang sering terjadi, begitu menikah anak laki2 biasanya
pergi dari rumah dan cenderung lebih dekat istri beserta keluarganya… malah yang merawat
orang tua di masa tuanya kebanyakan adalah anak perempuannya… padahal anak perempuan
yang telah menikah mestinya lebih mengutamakan suaminya daripada orang tuanya)
 pendakwah (sebagai muslim, berdakwah merupakan kewajiban… berdakwah tidak harus ceramah
di pengajian…, dengan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari2, bukan hanya urusan
ibadah saja, tapi hingga cara kita berpakaian, bergaul, bertetangga, menjaga diri dari perbuatan
sia2 seperti bergunjing, dsb, kita sudah menjadi agen muslim yang baik… yang juga merupakan
bagian dari dakwah)

Jadi, pola pengasuhan seperti apa yang sebaiknya kita terapkan?

Setelah pasangan sepakat dengan visi baru dalam mengasuh anak, akan kita bentuk menjadi
seperti apa anak2 kita nantinya,baru deh diskusi bersama pasangan, untuk memperbaharui pola
pengasuhan yang akan terus menerus mengalami perkembangan jaman. Terapkan langkah2 pola
pengasuhan untuk dapat mencapai visi tersebut. Bekali diri dengan ilmu parenting dan agama
sebagai modal dasar sebagai orang tua.

Sejak masa golden age-nya, bangun kedekatan dengan anak. Kalau sedang di rumah, luangkan
waktu dan perhatian yang cukup untuk anak. Yang tidak pakai disambi2 melakukan pekerjaan
lainnya, termasuk pekerjaan rumah tangga.

Yeee… gimana dong, ntar siapa yang masak? Siapa yangbersih2 rumah?

Kalau ibu Elly bilang, kalau perlu dan mampu, katering saja dah… Jadi waktu yang biasa ibu2
habiskan di dapur bisa dialokasikan untuk anak. Atau, kalau bisa, mampu, dan ada orang yang
bisa dipekerjakan, pekerjakanlah pembantu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Agar para ibu tidak terlalu lelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehingga masih punya
cukup waktu yang berkualitas, energy dan mood yang baik untuk berinteraksi dengan anak.
Karena hubungan itu dibangun bertahun2. Tidak bisa berubah dalam sekejap. Anak yang tidak
terbiasa mengobrol santai dengan orang tuanya sejak kecil, pasti akan sulit untuk nyaman
memulai bercerita berbagai hal seperti dia bercerita dengan teman akrabnya.

Perbaiki pola komunikasi. Menjadi akrab dengan anak bukan berarti kita akan kehilangan
wibawa kita sebagai orang tua. Tetap tempatkan diri sebagai orang tua yang perhatian, penuh
kasih sayang, namun tegas dengan menerapkan disiplin (tegas bukan berarti galak ya). Dengan
dibiasakan untuk disiplin, akan memudahkan kita sebagai orang tua untuk mengatur dan
mengendalikan anak serta mengajarinya untuk bersikap dan bertingkah laku yang baik. Dalam
jangka panjang, anak yang terbiasa disiplin akan memiliki kemampuan self-control yang baik,
sehingga nantinya tidak mudah untuk terpengaruh dan ikut2an teman jika hal itu tidak sesuai
dengan nilai2 kebaikan yang sudah ditanamkan pada dirinya. Disiplin ini dapat kita mulai
dengan membuat peraturan di rumah yang wajib dipatuhi bersama, misal: soal bangun pagi, jam
menonton TV, dsb.

Ajarkan pula anak untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Beri anak
tanggung jawab mengenai urusan rumah sesuai usianya. Bisa dimulai dengan hal kecil semacam
membereskan mainannya setelah selesai bermain, menyalakan lampu pagar dan menutup gorden
pada jendela2 menjelang maghrib tiba, dll. Latih anak2 sejak kecil untuk melakukan sendiri hal2
yang berhubungan dengan dirinya, seperti menyiapkan isi tas untuk sekolah, menyiapkan
pakaian yang akan dikenakan seusai mandi, menaruh piring kotor setelah makan (dan
mencucinya jika sudah bisa), dll.
Kembangkan pula pada diri anak kemampuan berpikir kritis. Jangan biasakan mengajukan yes
or no questions. Tidak salah kalau anak hanya menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Titik. Biasakan
memulai pertanyaan dengan kata ‘bagaimana’. Pancing lagi dengan pertanyaan2 yang membantu
anak untuk banyak bercerita dan berpikir.

Selanjutnya, para orang tua, janganlah fokus pada aspek akademis semata. Janganlah yang
ditanyakan kepada anak hanya berkisar seputar soal ‘besok ada ulangan tidak?’, ‘tadi ulangan
dapat nilai berapa?’, tadi siang datang les atau tidak?’, ‘sudah mengerjakan pe-er atau belum
untuk besok?’. Sensitiflah dengan bahasa tubuh anak. Kalau sore2 anak pulang dari sekolah
wajahnya kusut, berikan perhatian. Katakan, wajahnya terlihat lelah dan tidak bersemangat.
Tanyakan, apakah si anak sedang sedih atau kecewa atau lelah? Lanjut dengan obrolan
‘kenapa?’. Apakah karena terlalu padat kegiatannya, apakah sedang banyak tugas, apakah sedang
butuh refreshing. Dengarkan keluh kesahnya. Jangan meremehkan bebannya. Bantu dan dukung
anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Boleh juga sesekali hibur dan berikan perhatian
dengan, misalnya, memasakkan makanan kesukaannya, dsb.

Ajari anak mengenai konsep harga diri yang baik. Katakan pada anak (terutama perempuan)
bahwa diri dan tubuhnya sangat berharga dan tidak boleh disentuh sembarangan. Jelaskan
dengan analogi barang dagangan yang murah dan mahal. Barang murah akan ditaruh di kotak
bertuliskan ‘obralan’, dan banyak disentuh orang2, tapi belum tentu dibeli. Barang mahal akan
ditaruh di etalase dan dikunci. Hanya orang2 yang berniat sungguh2 untuk membeli yang akan
meminta penjual toko untuk mengeluarkannya dari etalase.

Ajari anak jenis2 sentuhan: yang boleh (e.g. belaian pada kepala dan pelukan dari orang tuanya,
dokter yang memeriksanya), sentuhan yang jahat (e.g. seseorang yang menyentuh area tubuh
anak yang tertutup pakaian renang biasa), dan sentuhan yang membingungkan (e.g sentuhan
pada area bahu ke bawah dan lutut ke atas). Kenalkan pula pada anak konsep mahram, bedanya
orang asing, teman, sahabat, dan saudara.

Last, but not least, sebagai orang tua di era digital, jangan malas untuk belajar aktif
menggunakan teknologi. Baca pada bagian bagaimana melindungi anak dari bahaya pornografi
pada jawaban dari pertanyaan pertama di atas.

Jadilah orang tua yang kreatif. Pikirkan juga soal kegiatan alternatif pengganti video
games, TV, baca komik, bermain internet, bergadget ria…

Terutama, ibu sebagai menteri pendidikan dalam rumah tangga, harus aktif belajar dan
mengembangkan diri serta punya banyak ide. Termasuk mengadakan aktivitas yang seru untuk
anak2nya sendiri.

Yang anak2nya perempuan bisa diajak untuk membuat kue yang bentuknya lucu2 biar tertarik,
dan rasanya disukai anak2. Atau membuat berbagai prakarya seperti: buku cerita
bergambar, puppet show dari boneka kertas, pembatas buku, meyusun foto dalam bentuk kolase
untuk dipajang, membuat pop-up card, menggambar untuk dipajang di kamar anak2, membuat
kreasi dari barang bekas macam kartu undangan dan baju bekas, menjahit sederhana, dll.

Untuk anak laki2, bisa diajak untuk membuat mobil2an dari kaleng atau kotak susu bekas,
membuat perabot dari kayu atau kardus atau kaleng bekas, membuat bendera, membuat track
rally mobil2annya dari kertas karton dan bahan2 prakarya lainnya, membuat bangunan dari stik
es krim bekas, menggambar, dll. Biasakan pula anak laki2 untuk aktif berolah raga dan
beraktivitas di luar rumah (jangan hanya disuruh les inggris, komputer dan musik saja).
Diketahui bahwa laki2 (yang sudah baligh) mempunyai siklus pada alat reproduksinya untuk
berproduksi setiap tiga hari sekali. Dengan berolahraga, dapat meredakan dan mengendalikan
dorongan seksualnya serta mengalihkan pikiran negatifnya.
Ide lain, sesekali ajak pula keluarga berpiknik di hamparan rumput, camping(baik camping2andi
halaman belakang rumah maupun camping beneran di bumi perkemahan), berkunjung ke
berbagai tempat wisata indoor dan outdoor, untuk kemudian dibikin tulisan yang disertai
gambar2 hasil jepretannya sendiri, masukkan ke blog (jika anak sudah padai membaca dan
menulis).

Untuk para ibu2 bekerja, wanita karir, ibu2 pejabat, bussines women, wanita2 akademisi
yang kecanduan sekolah (terutama di luar negeri dan meninggalkan anak2nya yang masih
kecil2 di tanah air)… perempuan2 hebat yang sibuknya luar biasa…

Mari kita sadari bahwa, bagaimanapun hebatnya kita, jika Allah sudah menitipkan anak
kepada kita.Kita adalah baby sitter-nya Allah SWT, yang jika bekerja dengan baik, amanah
dengan titipanNya, akan digaji dengan surga. Maka, janganlah tugas kita sebagai orang tua
(terutama ibu) untuk mengasuh, menjaga, medidik dan merawat mereka di sub-kontrakkan lagi
kepada orang lain.

Meskipun itu ibu kita sendiri…! *tegas bener ibu Elly ngomongnya*

Tubuh nenek2 tidak dirancang untuk mengasuh cucu. Karena (umumnya) sudah menopause,
tentunya sudah lebih gampang capek, gampang emosi, (mungkin) osteoporosis, asam urat, dan
penyakit2 orang menua lainnya. Sudah cukuplah tugas mereka dahulu mengasuh kita.

Maka buat yang sering menitipkan anaknya kepada neneknya (termasuk saya! :D) jangan protes
kalau anaknya jadi manja, kebanyakan nonton tayangan tidak bermutu di TV dan main games,
susah beralih dari minum susu pakai botol ke gelas, jadi galak karena sering diomeli, susah
diatur karena bingung antara aturan berbeda yang diterapkan neneknya dan orang tuanya
sehingga selalu berpihak kepada yang menguntungkan bagi dirinya.

Apalagi pengasuhan anak (terutama, balita) diserahkan kepada pembantu… juga bukan pilihan
bijak.

Bagaimana mungkin para ibu yang lulusan sarjana (dan mungkin cum laude), S1, S2 (bahkan
S3), rela berjuang dan berlelah2 kuliah, kemudian bekerja di kantor, tapi justru menyerahkan
pendidikan untuk anak2nya (yang merupakan tanggung jawab utamanya) kepada mereka para
ART/pengasuh yang tingkat pendidikannya relative rendah, mungkin SMP atau bahkan SD?

Pernahkah ibu2 menghitung, dalam sehari, berapa jam ibu2 bekerja ada di kantor? Dan
berapa jam ada di rumah? Berapa jam waktu istimewa untuk anak2?

(Belum lagi kalau yang pekerjaannya mengharuskan sering dinas ke luar kota berhari2).

Berdasar pengalaman, biasanya sekitar 2-3 jam kita bertemu anak di pagi hari. Itu pun diselang-
selingi aktivitas mandi, sarapan, sambil melakukan pekerjaan rumah tangga, juga persiapan
berangkat kerja.Dengan suasana terburu2, sambil mengomel2, menyuruh anak2 untuk cepat2
makan, siap2 berangkat sekolah, dsb…

Kemudian kita menghabiskan waktu 8-10 jam (or even more!) bekerja di luar rumah dan
perjalanan menuju dan dari tempat kerja (di mana anak2 balita kita banyak menghabiskan
waktunya bersama pengasuh). Baru bertemu lagi di sore hari menjelang maghrib, di mana
kondisi kita sudah lelah, yang mengakibatkan gampang ngomel2 kalau melihat sesuatu yang
tidak beres atau anak masih pecicilan dan susah diatur… kalau pun kita sempat bercengkrama
dengan mereka biasanya juga disambi melakukan pekerjaan rumah tangga, atau nonton TV,
membaca buku favorit, pegang gadget, dll, dengan alasan ‘me time’… dan 2-3 jam kemudian
anak2 sudah tertidur.
Jangan protes kalau anak balita kita jadi hapal banyak lagu orang dewasa, mengerti berbagai
jenis sinetron dan gossip infotainment, jadi penakut (karena sering ditakut2i sama hantu oleh si
pengasuh, kalau tidak menurut), jadi suka menyalahkan orang lain (karena kalau jatuh
pengasuhnya memukul lantainya sebagai tanda yang salah itu lantainya),
ataungomongtidaksopan, karena ketularan kebiasaan yang mengasuh, jadi kecanduan games dan
TV (karena ketularan si pengasuh).

Jangan salahkan si mbak pengasuh/ART itu ya bu kalau mengajari anak2 ibu hal2 yang tidak
benar dan tidak baik. Harap maklum… kan mereka bukan orang pandai seperti ibu yang lulusan
sarjana dari universitas ternama… kan mereka bukan lulusan terbaik ketika sekolah… kan
mereka ‘hanya’ lulusan SD atau SMP… dan mungkin mereka juga masih bocah belasan tahun
yang masih asyik dengan dunia remajanya… mungkin juga belum pernah punya anak. Jadi
jangan berharap mereka bisa cerdas mengasuh anak kita. Jangan harap mereka curious dan
paham berbagai teori ilmu parenting seperti kita (apalagi dengan penuh kesabaran
menerapkannya kepada anak kita). Sekali lagi ingat ya… kan mereka ‘hanya’ lulusan SD atau
SMP.

Bagaimana kalau kita cari pengasuh yang pandai??

Masalahnya sekarang bukan lagi urusan bisa bayar atau tidak… Masalahnya, lha wong cari yang
kurang pandai saja susah…

Terus, kira2 kalau pengasuh itu lulusan sarjana (yang berarti pandai), apa iya mereka mau
bekerja sebagai pengasuh anak orang lain? Lha kita saja (yang ngakunya lulusan sarjana ini,
kebanyakan) lebih memilih untuk bekerja kantoran toh daripada mengurus anak sendiri?

Mari yuk salahkan diri kita sendiri yang sudah lalai sebagai ibu… :(((((

Layakkah bekerja untuk mendapatkan materi, status dan kepuasan pribadi dengan
mengorbankan anak?

*thinking*

Kasihan ya anak2 kita…

Eh, kalau dipikir2, sebenarnya yang lebih kasihan dan merugi itu kita sendiri sebagai orang tua…
tidak memanfaatkan kesempatan mengasuh dan mendidik anak2 kita sendiri, titipan dari Allah
SWT yang merupakan investasi dunia akhirat. Yang (kalau sukses) bayarannya surga.

Dari sisi agama, sesungguhnya setiap dari kita akan dimintai pertanggungjawabannya atas segala
yang Allah titipkan kepada kita. Entah itu waktu, tenaga, ilmu, harta,
termasuk anak.Dan tanggung jawab utama seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak
adalah suami dan anak2nya. Bukan perkara mencari nafkah (apalagi kalau kebutuhan pokok kita
sudah tercukupi dari penghasilan suami).

Siapkah kita jika nanti di akhirat ditanya ‘mengapa anakmu tidak mengenal Tuhan-nya?’,
‘mengapa anakmu tidak bisa mengaji?’, ‘mengapa anakmu tidak sholat 5 waktu?’, ‘mengapa
anakmu punya akhlak, moral dan iman yang buruk, sehingga banyak berbuat dosa, banyak
menghabiskan waktu untuk hal2 yang sia2?’… akankah kita menjawab dengan ‘karena saya
ibunya, sibuk bekerja, mencari harta sebanyak2nya, agar anak kami bisa hidup enak,… atau…
karena saya ibunya sibuk berkarir, mencari jabatan agar keluarga kami jadi keluarga terpandang,
punya status terhormat di masyarakat…?
Eh, ini bukan berarti perempuan tidak boleh bekerja ya.

Tentu saja boleh asal alasannya tepat. Misalnya, memang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
yang semakin hari semakin mencekik, sementara penghasilan suami tidak mencukupi. Tapi yang
ada, kebanyakan wanita bekerja sekarang adalah untuk berkarir, eksistensi diri, bosan di rumah,
atau memperbanyak harta supaya hidup lebih nyaman, makan lebih enak, mobil lebih bagus, beli
gadget tercanggih, bisa beli baju dan kerudung model terbaru, dan kebutuhan tertier lainnya.

Bukan pula berarti perempuan tidak boleh sekolah tinggi ke luar negeri.

Sekolah tinggi tetap perlu, karena sesungguhnya banyak pelajaran lain yang kita dapatkan
dengan pernah menjalani status sebagai mahasiswi dan lulus. Bukan sekedar belajar
ilmu science, engineering and so on… tapi juga melatih mental, keingintahuan, kemauan untuk
mengembangkan diri, keterbukaan untuk menerima ilmu baru, kemampuan beradaptasi, daya
juang, kefokusan, dan kedisiplinan.

Hal2 itu kan diperlukan untuk persiapan menjadi istri dan ibu yang baik. Karena semakin tinggi
sekolahnya biasanya semakin melek teknologi. Orang yang suka sekolah (kecuali yang niatnya
cari gelar yeee) juga biasanya senang belajar, senang memperbaharui diri menjadi lebih baik,
ingin selalu tahu perkembangan terbaru, termasuk soal ilmu mendidik anak . Penting sekali
bukan sebagai bekal dalam mendidik anak di era digital ini?

Walaupun, memang harusnya profesi termulia kita itu sebagai ibu.. mau lulusan S1, S2, atau S3
Harvard, Yale, ataupun Oxford sekalipun… Sebagai ibu, sekolah tinggi dan tidak bekerja bukan
berarti lalu ilmu kita tidak terpakai… tetaplah, sekolah tinggi membentuk dan atau mengubah
cara berpikir seseorang (in a good way). Tentunya bedalah pola pikir seorang lulusan SMP dan
lulusan SMA. Beda pula cara berpikir, motivasi, dan cita2 seorang lulusan sekolah di pedalaman
dan seorang lulusan sekolah di kota metropolitan.

Maka dari itu, boleh banget perempuan sekolah tinggi ke luar negeri. Btw, ibu Elly juga kan bisa
jadi seperti sekarang ini, bisa cerita macam2 tentang ilmu soal parenting ini, tentunya tidak lepas
dari kontribusi ilmu yang dia dapatkan ketika kuliah psikologi, training2 tentang parenting dan
pengalamannya mengajar TK dan interaksinya dengan berbagai orang selama tinggal di US.

Hanya saja, idealnya… (catat ya, idealnya) … kalau bisa ya sekolah tinggi di luar negeri
dilakukan sebelum menikah gitu, ketika belum punya tanggung jawab sebagai ibu (jangan seperti
saya :(( ). Atau, boyong saja anak dan bapaknya sekalian. Atau lakukan ketika sedang ikut suami
yang sekolah/kerja di luar. Walaupun kesibukan kuliah di luar negeri menyita waktu, mungkin
itu jauh lebih baik daripada berpisah sementara dengan anak dan bapaknya di tanah air
bertahun2. Alternatif lain, ya menikah muda, segera punya anak, naah… kuliah ke luar negerinya
ketika anak sudah agak besar, jadi kitanya tidak terlalu repot dan si anak tidak memerlukan
perhatian sebanyak ketika dia masih balita.

Walaupun, kalau menurut ibu Elly, untuk yang punya anak balita, idealnya salah satu dari orang
tuanya ada di rumah untuk concern mengasuh anak. Kalau bapaknya yang punya karir bagus dan
penghasilan lebih besar, ya ibunya di rumah saja. Begitu pula sebaliknya. Kalaupun terdesak
kebutuhan ekonomi, win-win solution-nya barangkali bekerja atau menjalankan bisnis dari
rumah ya, yang bisa disambi2 sambil mengasuh anak. Orang tua itu tim, harus bisa bagi2 peran.
Kalau anak2 sudah agak besar, sudah bisa mandiri dan banyak kegiatan, bolehlah kedua orang
tua kembali berkarir.

………………………………………………………..

Finally…
Tidak terasa 3.5 jam lebih telah berlalu. Tertohok rasanya mendengarkan wejangan2 dari ibu
Elly. Jadi merasa sangaaatt bersalah. Rasanya mendadak kangen anak dan ingin memeluknya,
minta maaf atas kelalaian kita dalam mengasuhnya.

Kalau kita pulang kantor dan mendapati anak kita terluka akibat keteledoran si baby sitter, kira2
apa reaksi kita? Marah? Kesal? Kecewa? Kalau lukanya terlalu parah,bisa jadi si baby
sitter langsung kita pecat.

Bayangkanlah reaksi Allah SWT jika mengetahui kelalaian kita dalam mendidik anak, sehingga
si anak jauh dari Allah SWT, mempunyai akhlak yang buruk, menderita kerusakan otak, dll yang
jelek2.

Ketika anak lahir, Allah SWT menitipkannya kepada kita dalam keadaan suci, murni, bersih,
seperti kertas putih. Akankah kita mewarnai kertas itu dengan gambar yang bagus dan penuh
warna warni indah? Ataukah kita mencoret2nya dengan lukisan benang kusut berwarna hitam
suram yang catnya belepotan?

Petuah ibu Elly bahwa kita ini baby sitter-nya Allah SWT terus terngiang2 di kepala.

So, untuk seluruh orang tua yang peduli dengan keimanan, pendidikan dan pembentukan akhlak
anak2nya…
Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan
Buku (Gernas Baku)
19 April 2018 07:57 Diperbarui: 19 April 2018 08:49 5573 4 2

www.thezencircus.com

Membaca dapat diibaratkan membuka jendela dunia, karena dengan membaca akan menambah
imu dan wawasan kita. Membaca juga akan membentuk pola pikir baru dan akan meningkatkan
kemampuan seseorang dalam menemukan berbagai keunikan dan hal baru yang berguna bagi
kehidupan. Semakin banyak membaca akan membentuk pribadi yang berilmu dan bijak dalam
melangkah serta mengambil keputusan.

Hasi survei Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2015
menunjukan bahwa Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara. Menurut survei Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, sebanyak 91,47% anak usia dini lebih suka menonton televisi
dan 13,11% yang suka membaca.

Berdasar dua survei tersebut dapat dikatakann bahwa tingkat membaca kita masih kurang
kususnya untuk anak usia dini. Abad 21 membutuhkan anak yang mampu berfikir kritis, kreatif,
komunikatif dan mampu berkolaborasi. Orangtau dituntut mendampingi putra putrinya untuk
menguasai beragam kecakapan literasi.

Membiasakan membaca memang bukanlah perkara yang mudah, perlu dukungan dari berbagai
pihak. Pemerintah melalui progran Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku (Gernas
Baku). Gerakan ini adalah gerakan yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan RI guna mendukung inisiatif dan peran keluarga dalam
meningkatkan minat baca anak melalui pembiasaan, di rumah, satuan PAUD, dan di masyarakat.
Gerakan ini secara resmi akan dilaksankan serentak di Indonesia pada tanggal 5 Mei 2018.
Gernas Baku telah dimulai program dan pengkajiannya sejak bulan Februari 2018 melalui
kegiatan bulan sosialisasi dan kampanye serta seminar nasional Gernas Baku.

Bulan Maret 2018 adalah bulan donasi buku dan penyediaan pojok baca di PAUD serta
penyediaan buku bacaan anak usia dini dan bacaan orangtua di dalam lingkungan keluarga.

Bulan parenting dan minggu pengondisian dilaksanakan pada bulan April 2018. Puncak kegitan
bulan Mei dengan soft launcing dan pelaksanaan nasional serentak di seluruh Indonesia.

Tujuan gerakan ini adalah membiasakan dan menumbuh kembangkan minat baca anak usia dini.
Bersama orangtua dan anak akan mempererat hubungan sosial emosional antara anak dan
orangtua yang saat ini sudah mulai luntur dengan kesibukan orangtua di dunia kerja. Selain anak,
gerakan ini juga akan membiasakan orangtua membacakan buku bersama anak.

Gernas Baku melibatkan orangtua ketika anak berada di rumah. Berbagai kegiatan dapat
dilakuakan orangtua dengan langkah awal memahami kemampuan membaca anak sesuia tahap
perkembangannya. Orangtua akan belajar bagaimana memahami teknik yang menarik minat
anak untuk gemar membaca dan membiasakan membacakan buku untuk anak.

Satuan PAUD yang berisi warga sekolah menciptakan berbagai kegiatan untuk mendukung
gerakan ini. Sekolah menyediakan pojok baca dan perpustakaan untuk memupuk minat anak
dalam membaca buku.

Orangtua juga dapat dilibatkan sebagai sukarelawan membacakan buku untuk anak. Sedangkan
masyarakat melalui berbagai komunitas baca juga bisa menjadikan sarana untuk mendukung
gerakan ini.

Gernas Baku menjadi salah satu solusi bersama untuk meningkatkan minat baca anak, bersama
orangtua, sekolah dan masyarakat bersama-sama menciptakan kondisi menyenangkan dan
mendukung kebiasaan membaca.

Dengan membaca, masa depan anak akan mampu bertahan di tengan perkembangan zaman yang
begitu cepat dan terus bersaing. Mari kita ikut menyukseskan gerakan ini dengan ikut serta
sesuai dengan kemampuan kita maisng- masing.

Sumber:

Panduan Pelaksanaan Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku (Gernas Baku)


Kemendikbud, RI 2018.

Ario Soviana

Anda mungkin juga menyukai