Anda di halaman 1dari 270

BAB I

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

SERTA KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA

A. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia yang saat ini kita gunakan sebagai bahasa resmi di negara

berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang kita gunakan tersebut merupakan

bahasa Melayu tua yang sampai sekarang masih dapat kita selidiki sebagai

peninggalan masa lampau. Penelitian lebih lanjut yangdilakukan oleh para ahli,

bahkan menghasilkan penemuan bahwa bahasa Austronesia itu juga mempunyai

hubungan kekeluargaan dengan bahasa-baha sayang dipergunakan di daratan Asia

tenggara. Bahkan saat ini bahasa Indonesia atau bahasa Melayu itu digunakan

sebagai bahasa penghubung di beberapa Negara Asia Tenggara.Sudah sejak dahulu

kala, bahasa Indonesia atau bahasa Melayu itu dikenal oleh penduduk daerah yang

bahasa sehari-harinya bukan bahasa Indonesia atau Melayu. Hal tersebut dibuktikan

dengan adanya beberapa prasasti yangditemukan di daerah-daerah yang bahasa

sehari-hari penduduknya bukan bahasa Indonesia atau Melayu. Tentu saja ada juga

ditemukan di daerah yang bahasa sehari-hari penduduknya sudah menggunakan

bahasa Indonesia atau Melayu. Sejarah perkembangan bahasa ini dapat dibuktikan

dengan adanya prasasti Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684 M), Kota Kapur

(686 M),Karah Barahi (686 M).Ketika bangsa Eropa pertama kali datang ke

Indonesia, bahasa Melayu sudah mempunyai kedudukan yang luar biasa di tengah-

tengah bahasa-bahasa daerah di Nusantara ini.

1
Pada tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa

persatuan atau bahasa nasional. Nama bahasa Indonesia tersebut sifatnya adalah

politis, karena setujuan dengan nama negara yang diidam-idamkan bangsa Indonesia.

Sifat politik ditimbulkan karena keinginan agar bangsa Indonesia mempunyai

semangat juang bersama-sama dalam memperoleh kemerdekaan agar lebih merasa

terikat dalam satu ikatan: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Persatuan dan

kesatuan bangsa Indonesia diikrarkan melalui butir-butir Sumpah Pemuda sebagai

berikut :

Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah

yangsatu, tanah Indonesia.

Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang

satu,bangsa Indonesia

Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa

persatuan,bahasa Indonesia.

Pada ketiga ikrar tersebut terdapat perbedaan ikrar antara ikrar pertama kedua

dan ketiga yaitu pada kata mengaku dan menjunjung. Ikrar pertama dan kedua

menyatakan ”mengaku bertumpah darah yang satudan mengaku berbangsa yang

satu”. Artinya, tanah air dan bangsa kamihanya satu yaitu Indonesia. Berbeda dengan

”menjunjung bahasa persatuan,bahasa Indonesia”. Ikrar ini menunjukkan bahwa

bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan dalam mempersatukan bangsa

Indonesia, tidak berarti bahwa bahasa daerah dihapuskan. Bahasa daerah tetap harus

dijaga dan dilestarikan sebagai kekayaan budaya bangsa. Jadi, sangatlah keliru jika

ada warga daerah yang malu berbahasa daerah dalam berkomunikasi.Bahasa

Indonesia sebagai bahasa persatuan diartikan sebagai bahasayang digunakan di

2
dalam kegiatan berkomunikasi yang melibatkan banyak tokoh atau masyarakat yang

berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Itulah sebabnya bahasa Indonesia memiliki

fungsi dan kedudukan sebagai bahasa persatuan.

Apa sebab justru bahasa melayu yang dijadikan bahasa nasional? Mengapa

bukan bahasa Jawa atau bahasa Sunda yang jumlah pemakaiannyameliputi hampir

seluruh penduduk Indonesia. Juga bahasa yang kesusastraannya sudah maju

dibandingkan dengan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya? Slamet

Mulyana (2009) mengemukakan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, sebagai

berikut :

1. Sejarah telah membantu penyebaran bahasa Melayu. Bahasa

Melayumerupakan lingua franca di Indonesia, bahasa penghubung atau bahasa

perdagangan. Dengan bantuan para pedagang, bahasa Melayu disebarkan ke

seluruh pantai Nusantara terutama di kota-kota pelabuhan. BahasaMelayu

menjadi bahasa penghubung antara individu.

2. Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sederhana, mudah dipelajari. Tidak

dikenal tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa atau bahasa Bali, atau

perbedaan pemakaian bahasa kasar dan halus seperti dalam bahasa Sunda atau

bahasa Jawa.

3. Faktor psikologis, yaitu suku bangsa Jawa dan Sunda telah dengan sukarela

menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, semata-mata didasarkan

pada keinsafan akan manfaatnya, ada keikhlasan mengabaikan semangat dan

rasa kesukuan karena sadar akan perlunya kesatuan dan persatuan.

4. Kesanggupan bahasa itu sendiri juga menjadi salah satu faktor penentu.Jika

bahasa itu tidak mempunyai kesanggupan untuk dapat dipakai menjadi bahasa

3
kebudayaan dalam arti yang luas, tentulah bahasa itutidak akan dapat

berkembang menjadi bahasa yang sempurna. Pada kenyataannya dapat

dibuktikan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dapat dipakai untuk

merumuskan pendapat secara tepat dan mengutarakan perasaan secara jelas.

Kita wajib bersyukur atas kerelaan mereka membelakangkan bahasa ibunya

demi cita-cita yang lebih tinggi, yakni cita-cita nasional. Tiga bulan menjelang

Sumpah Pemuda, tepatnya 15 Agustus 1926. Soekarno dalam pidatonya menyatakan

bahwaperbedaan bahasa di antara suku bangsa Indonesia tidak akan menghalangi

persatuan, tetapi makin luas bahasa Melayu (bahasa Indonesia) itu tersebar,makin

cepat kemerdekaan Indonesia terwujud.

Pada zaman Belanda ketika Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918

bahasa Melayu memperoleh pengakuan sebagai bahasa resmi kedua di samping

bahasa Belanda yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam sidang

Dewan rakyat. Sayangnya, anggota bumiputra tidak banyak yang memanfaatkannya.

Masalah bahasa resmi muncul lagi dalam Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo

pada tahun 1938. Pada kongres itu ada dua hal hasilkeputusan penting, yaitu bahasa

Indonesia menjadi (1) bahasa resmi dan(2) bahasa pengantar dalam badan-badan

perwakilan dan perundang-undangan. Demikianlah ”lahirnya” bahasa Indonesia

bukan sebagai sesuatu yangtiba-tiba jatuh dari langit, tetapi melalui perjuangan

panjang disertai keinsafan, kebulatan tekad, dan semangat untuk bersatu. Api

perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai Indonesia merdeka yang sebelum itu

harus berjuang melawan penjajah.

Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia dan Jepang tidak dapat

menggunakan bahasa lain selain bahasanya sendiri. Bahasa Belanda jatuh dari

4
kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahkan dilarang untuk digunakan. Jepang

mengajarkan bahasa Jepang kepada orang Indonesia dan bermaksud menggunakan

bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda untuk digunakan oleh orang

Indonesia. Akan tetapi, usaha itu tidak dapat dilakukan secara cepat seperti waktu dia

menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara Jepang memilih jalan yang

praktis, yaitu memakai Indonesia yang sudah tersebar di seluruh kepulauan

Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat bahwa selama zaman pendudukan Jepang

1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di semua tingkat

pendidikan.

Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan

bahasa Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat berjalandengan

lancar. Bagi orang Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar terutama bagi para

pemimpin pergerakan kemerdekaan. Dalam waktu yangpendek dan mendesak

mereka harus beralih dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Selain itu, semua

pegawai negeri dan masyarakat luas yang belumpaham akan bahasa Indonesia,

secara cepat dapat memahami bahasaIndonesia.

Waktu Jepang menyerah, tampak bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa

persatuan makin kuat kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas,semua peristiwa

tersebut menyadarkan kita tentang arti bahasa nasional. Bahasa nasional identik

dengan bahasa nasional yang didasari oleh nasionalisme, tekad, dan semangat

kebangsaan. Bahasa nasional dapat terjadi meskipun eksistensi negara secara formal

belum terwujud. Sejarah bahasa Indonesia berjalan terus seiring dengan sejarah

bangsa pemiliknya.

5
B. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia

Kedudukan diartikan sebagai status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai

budaya yang dirumuskan atas dasar nilai sosial bahasa yang bersangkutan.

Sedangkan fungsi adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas

pemakaian bahasa itu dalam kedudukan yangdiberikan kepadanya. Bahasa Indonesia

memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dansebagai bahasa negara. Kedudukan

bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dimiliki sejak diikrarkan Sumpah Pemuda

pada tanggal 28 Oktober 1928, sedangkan kedudukan sebagai bahasa negara dimiliki

sejak diresmikan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Dalam UUD

1945, Bab XV, Pasal 36 tercantum ”Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia”.

1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional

Salah satu kedudukan bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa nasional.

Kedudukan sebagai bahasa nasional tersebut dimiliki oleh bahasa Indonesia sejak

dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Kedudukan ini

dimungkinkan oleh kenyataan bahwa bahasa Melayu, yang mendasari bahasa

Indonesia telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di

seluruh kawasan tanah air kita. Dan ternyata di dalam masyarakat kita tidak terjadi

persaingan bahasa, yaitu persaingan diantara bahasa daerah yang satu dan bahasa

daerah yang lain untuk mencapai kedudukan sebagai bahasa nasional.

Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia

berfungsi sebagai: (a) lambang kebanggaan nasional, (b) lambang identitas nasional,

(c) alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berlatarbelakang sosial budaya dan

bahasa yang berbeda, dan (d) alat perhubungan antardaerahdan antarbudaya.

6
a. Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia mencerminkan

nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebanggaan kita. Melaluibahasa

nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang

dijadikannya pegangan hidup. Atas dasar itulah, bahasa Indonesia kita

pelihara dan kita kembangkan. Begitu pula rasa bangga dalam berbahasa

bahasa Indonesia wajib kita bina terus. Rasa bangga merupakan wujud sikap

positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif itu terungkapjika lebih suka

menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa atau kata-kataasing.

b. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dapat menimbulkan

wibawa, harga diri, dan teladan bagi bangsa lain. Hal ini dapat terjadi jika

bangsa Indonesia selalu berusaha membina dan mengembangkan bahasa

Indonesia secara baik sehingga tidak terkontaminasi oleh unsur-unsur bahasa

asing (terutama bahasa Inggris). Untuk itu, kesadaran akan kaidah pemakaian

bahasa Indonesia harus selalu ditingkatkan. Percampuran bahasa Indonesia

dengan bahasa Inggris dalam berbahasamasih sering kita temukan, seperti

contoh berikut ini.

Papan usaha : Anditya Tailor; Service Televisi.

Ujaran : ”Aku lebih suka belanja di supermarket daripada di

pasar tradisional”.

Bahasa campuran seperti di atas tidak baik dipandang dari segi kebanggaan suatu

bangsa dan tidak benar dipandang dari segi kebahasaan. Agar pemakai dapat

dijadikan teladan dan dihormati orang lain terutama orang asing, pemakaian bahasa

seperti contoh di atas harus diubah dan diperbaiki menjadi seperti berikut ini.

Papan usaha : Penjahit Anditya; memperbaiki Televisi.

7
Ujaran : ”Aku lebih suka belanja di swalayan daripada di

pasartradisional”.

c. Sebagai alat pemersatu, bahasa Indonesia mampu menunjukkan fungsinya

yaitu mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagaisuku,

agama, budaya, dan bahasa ibunya. Hal itu tampak jelas sejak diikrarkannya

Sumpah Pemuda. Pada zaman Jepang yang penuh kekerasan dan penindasan,

bahasa Indonesia digembleng menjadi alat pemersatu yang ampuh bagi

bangsa Indonesia. Dengan bahasa nasional itu kita letakkan kepentingan

nasional diatas kepentingan daerah atau golongan.

d. Sebagai alat perhubungan, bahasa Indonesia mampu menghubungkan bangsa

Indonesia yang berlatarbelakang sosial budaya dan bahasa ibu yangberbeda-

beda. Berkat bahasa Indonesia, suku-suku bangsa yang berbeda-beda bahasa

ibu itu, dapat berkomunikasi secara akrab dan lancar sehingga

kesalahpahaman antarindividu antarkelompok tidak pernah terjadi. Karena

bahasa Indonesia pula kita dapat menjelajah ke seluruh pelosok tanah air

tanpa hambatan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, bahasa Indonesia

memungkinkanberbagai suku bangsa mencapai keserasian hidup sebagai bangsa

yangbersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaanpada

nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yangbersangkutan.

Dengan bahasa nasional, kita dapat meletakkan kepentingannasional kita, jauh di atas

kepentingan daerah dan golongan.

Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan

antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula melaksanakan fungsinya sebagai

8
alat pengungkapan perasaan. Jika beberapa tahun yang lalu masihada orang yang

merasa bahwa bahasa Indonesia belum sanggupmengungkapkan nuansa perasaan

yang halus, maka sekarang dapat kita lihatdalam kenyataan bahwa seni sastra, baik

yang tertulis maupun lisan, sertadunia perfilman kita telah berkembang sedemikian

rupa sehingga nuansa perasaan yang betapa halus pun dapat diungkapkan dengan

menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan tersebut tentulah menambah tebalnya

rasa bangga kita akan kemampuan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.

2. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara

Selain kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga

berkedudukan sebagai bahasa negara, sesuai dengan ketentuan yang tertera didalam

Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36. Di dalam kedudukan sebagai bahasa

negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (a) bahasa resminegara; (b) bahasa

pengantar di dalam dunia pendidikan; (c) alat perhubungan dalam tingkat nasional

untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta

kepentingan pemerintah; dan(d) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan,

dan teknologi.

a. Sebagaibahasa negara adalah pemakaiannya sebagai bahasa resmi

kenegaraan. Di dalam hubungan dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai

di dalam segalaupacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik secara lisan

maupun dalam bentuk tulisan. Dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan

serta surat-surat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan

kenegaraan lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis

Permusyawaratan Rakyat ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato,

9
terutama pidato kenegaraan, ditulisdan diucapkan dalam bahasa Indonesia.

Hanya dalam keadaan tertentu,demi kepentingan komunikasi antarbangsa,

kadang-kadang pidato resmi ditulis dan diucapkan dalam bahasa asing,

terutama bahasa Inggris. Demikian pula halnya dengan pemakaian bahasa

Indonesia oleh warga masyarakat kita dalam hubungannya dengan upacara,

peristiwa, dan kegiatan kenegaraan. Dengan kata lain, komunikasi timbal

balik antarpemerintah dan masyarakat berlangsung dengan menggunakan

bahasa Indonesia.

Untuk melaksanakan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan dengan

sebaik-baiknya, pemakai bahasa Indonesia di dalam pelaksanaan administrasi

pemerintahan perlu senantiasa dibina dan dikembangkan, penguasaan bahasa

Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan di

dalampengembangan ketenagaan seperti penerimaan karyawan baru,

kenaikan pangkat baik sipil maupun militer, dan pemberian tugas-tugas

khusus baik di dalam maupun di luar negeri. Di samping itu, mutu

kebahasaan siaran radio dan televisi perlu pula senantiasa dibina dan

ditingkatkan.

b. Sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman

kanak-kanak sampai ke perguruan tinggi di seluruhIndonesia, kecuali di

daerah-daerah seperti Aceh,Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Makasar.

Di daerah-daerah ini, bahasa daerah yang bersangkutan dipakai sebagai

bahasa pengantar sampai dengan tahun ketiga pendidikan dasar.

c. Sebagai alat perhubungan tingkat nasional, bahasa Indonesia dipakai sebagai

alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas,alat

10
perhubungan antardaerah dan antarsuku, dan juga sebagai alat perhubungan

dalam masyarakat yang latar belakang sosial budaya dan bahasayang sama.

Dewasa ini orang sudah banyak menggunakan bahasa Indonesia apapun

masalah yang dibicarakan, apakah itu masalah yang bersifat nasional maupun

kedaerahan.

d. Sebagai alat pengembang kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan,

danteknologi, bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa yang digunakan

untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional yang

memilikiciri-ciri dan identitas sendiri. Disamping itu, bahasa Indonesia juga

dipakai untuk memperluas ilmu pengetahuan dan teknologi modern baik

melalui penulisan buku-buku teks, penerjemahan, penyajian pelajaran di

lembaga-lembaga pendidikan umum maupun melalui sarana-sarana lain di

luar lembaga pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Indonesia

merupakan bahasa terpenting di kawasan republik kita ini. Suatu bahasa disadari

penting atau tidak, didaskan pada tiga faktor, yaitu: (1) jumlah penuturnya, (2) luas

penyebarannya, dan (3) peranannya sebagai sarana ilmu, susastra, dan ungkapan

budaya yang bernilai tinggi.

Penutur suatu bahasa yang berjumlah sedikit menutup kemungkinan bahasa

tersebut memiliki peranan yang penting. Artinya, jika ada dua bahasa yang satu

jumlah penuturnya sedikit dan bahasa yang satu memiliki jumlah penutur yang

banyak, maka bahasa dengan jumlah penutur sedikit akan kurang mendapat perhatian

dari penutur lainnya.

11
Luas penyebaran suatu bahasa menunjukkan banyak hal. Pertama,bahasa

tersebut banyak disenangi oleh pengguna. Kedua, bahasa tersebut mudah dipelajari

dan enak digunakan. Ketiga, masyarakat penggunanya adalah orang-orang yang

memiliki wibawa, prestasi dan prestise yang tinggi sehingga masyarakat dari luar

bahasa itu berasal akan merasa bangga jika menggunakan bahasa tersebut.

Sebuah bahasa menjadi sangat penting jika memiliki fungsi atau selalu

digunakan dalam penyebaran ilmu pengetahuan, sastra, dan teknologi. Hanya orang-

orang terpelajar yang selalu berusaha menambah dan mengembangkan ilmu

pengetahuan, baik sastra maupun teknologi. Tidak dapat dibayangkan jika bahasa

yang berfungsi sebagai pengembang ilmu pengetahuan tersebut tidak ada.

12
BAB II

RAGAM DAN LARAS BAHASA

A. Ragam Bahasa

Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda

menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang

yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam

bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai

prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah

(karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat

menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa

resmi.

Menurut Dendy Sugono (1999:9), bahwa sehubungan dengan pemakaian

bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa

baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam

pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tidak resmi,

seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.

Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa,

ragam bahasa terdiri atas: (1) ragam bahasa lisan, (2) ragam bahasa tulis. Bahasa

yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur

dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan

memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam

bahasa tulis. Jadi, dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam

ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu,

aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan

13
yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam

bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan

tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem

bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada

pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata,

masing-masing memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.

Bahasa Indonesia, di samping mengenal kosa kata Indonesia dikenal pula

kosa kata bahasa Indonesia ragam baku, yang alih-alih disebut sebagai kosa kata

bahasa Indonesia baku. Kosa kata bahasa Indonesia ragam baku atau kosa kata

bahasa Indonesia baku adalah kosa kata baku bahasa Indonesia, yang memiliki ciri

kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolok ukur yang ditetapkan

berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau

instansi di dalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu

digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun

demikian, tidak tertutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam

pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa

ragam yang bersangkutan.

Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum, tidak

tertutup kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosakata ragam bahasa baku agar

dapat menjadi anutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Dalam hal

iniyang perlu diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan

dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik

pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980).

14
Menurut Felicia (200:8), ragam bahasa dapat dibagi berdasarkan (a) media

pengantar (sarana) dan (b) situasi pemakaiannya.

1. Berdasarkan Media Pengantar (Sarana)

Ragam bahasa berdasarkan media pengantar dikelompokkan atas dua yakni,

(a) ragam lisan, dan (b) ragam tulis.

a. Ragam lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat

menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato

atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah; dan ragam lisan

yang nonstandar, misalnya dalam percakapan antarteman, di pasar, atau

dalam kesempatan nonformal lainnya.

b. Ragam tulis adalah bahasa yang ditulis atau yang tercetak. Ragam tulis pun

dapat berupa ragam tulis yang standar maupun nonstandar. Ragam tulis yang

standar kita temukan dalam buku-buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar,

poster, iklan. Kita juga dapat menemukan ragam tulis nonstandar dalam

majalah remaja, iklan, atau poster.

2. Berdasarkan Situasi Pemakaiannya

Ragam bahasa baku dapat berupa : (a) ragam bahasa baku tulis dan (b) ragam

bahasa baku lisan. Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang

diungkapkan tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku

lisan makna kalimat yang diungkapkan ditunjang oleh situasi pemakaian, sehingga

kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam

penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam

15
pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat,

serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.

Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga

kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri

kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata

serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur

kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan

kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang

disampaikan secara lisan.

Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya

dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa

lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap

disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena

itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis,

walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat

dikatakan sebagai ragam tulis. Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan

ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda. Contoh perbedaan ragam bahasa

lisan dan ragam bahasa tulis (berdasarkan tata bahasa dan kosa kata):

No. Aspek yang Ragam Bahasa Lisan Ragam Bahasa Tulis


Dibandingkan
1 Tata Bahasa a. Nia sedang baca surat a. Nia sedang membaca
kabar. surat kabar.
b. Ari mau nulis surat. b. Ari hendak menulis
surat.
c. Tapi kau tak boleh nolak c. Kamu tidak boleh
surat lamaran itu. menolak lamaran itu.
d. Untuk mengatasi d. Jalan layang tersebut
kemacetan lalu lintas jalan dibangun untuk

16
layang itu dibangun. mengurai kemacetan.
lalu lintas
2 Kosa kata a. Ariani bilang kalau kita a. Ariani mengatakan
harus belajar. bahwa kita harus
b. Kita harus bikin karya belajar.
tulis b. Kita harus menulis
karya ilmiah

Istilah lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar,

semi standar, dan nonstandar. Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan

berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku.

Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di bidang kosakata,

peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis laras yang diperlukan

dalam kehidupan modem (Alwi, 1998: 14).

Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan

berdasarkan: (a) Topik yang sedang dibahas, (b) Hubungan antarpembicara,

(c) Medium yang digunakan, (d) Lingkungan, dan (e) Situasi saat pembicaraan

terjadi. Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar

adalah sebagai berikut:

a. Penggunaan kata sapaan dan kata ganti,

b. Penggunaan kata tertentu,

c. Penggunaan imbuhan,

d. Penggunaan kata sambung (konjungsi), dan

e. Penggunaan fungsi yang lengkap.

Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam

standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita

hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu,

17
Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan

menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan

kata gue.

Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai

perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan

kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu.

Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar kita harus menggunakan

imbuhan secara jelas dan teliti.

Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan

ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan

dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.

Contoh : (1) Ibu mengatakan, kita akan pergi besok

(1a) Ibu mengatakan bahwa kita akan pergi besok

Pada contoh (1) merupakan ragam semi standar dan diperbaiki contoh (1a) yang

merupakan ragam standar.

Contoh : (2) Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu.

(2a) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu.

Kalimat (1) kehilangan kata sambung (bahwa), sedangkan kalimat (2) kehilangan

kata depan (untuk). Dalam laras jurnalistik kedua kata ini sering dihilangkan. Hal ini

menunjukkan bahwa laras jurnalistik termasuk ragam semi standar.

Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam

standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena

situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang

nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika

18
kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.”

Sering kali juga kita menjawab “Tau.” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya,

pëmbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah intonasi.

Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak

terwujud dalam ragam tulis.

B. Laras Bahasa

Pada saat bahasa digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa masuk dalam

berbagai laras sesuai dengan fungsi pemakaiannya. Jadi, laras bahasa adalah

kesesuaian antara bahasa dan pemakaiannya. Dalam hal ini kita mengenal iklan,

laras ilmiah, laras ilmiah populer, laras feature, laras komik, laras sastra, yang masih

dapat dibagi atas laras cerpen, laras puisi, laras novel, dan sebagainya. Setiap laras

memiliki cirinya sendiri dan memiliki gaya tersendiri. Setiap laras dapat

disampaikan secara lisan atau tulis dan dalam bentuk standar, semi standar, atau

nonstandar. Laras bahasa yang akan kita bahas dalam kesempatan ini adalah laras

ilmiah.

1. Laras llmiah

Berdasarkan uraian di atas bahwa setiap laras dapat disampaikan dalam

ragam standar, semi standar, atau nonstandar. Akan tetapi, tidak demikian halnya

dengan laras ilmiah. Laras ilmiah harus selalu menggunakan ragam standar. Sebuah

karya tulis ilmiah merupakan hasil rangkaian gagasan yang merupakan hasil

pemikiran, fakta, peristiwa, gejala, dan pendapat. Jadi, seorang penulis karya ilmiah

menyusun kembali pelbagai bahan informasi menjadi sebuah karangan yang utuh.

19
Oleh sebab itu, penyusun atau pembuat karya ilmiah tidak disebut pengarang

melainkan disebut penulis (Soeseno, 1981: 1).

Berdasarkan uraian di atas dapat dibedakan antara pengertian realitas dan

fakta. Seorang pengarang akan merangkaikan realita kehidupan dalam sebuah cerita,

sedangkan seorang penulis akan merangkaikan berbagai fakta dalam sebuah tulisan.

Realistis berarti bahwa peristiwa yang diceritakan merupakan hal yang benar dan

dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya, tetapi tidak secara langsung dialami

oleh penulis. Data realistis dapat berasal dan dokumen, surat keterangan, press

release, surat kabar atau sumber bacaan lain, bahkan suatu peristiwa faktual. Faktual

berarti bahwa rangkaian peristiwa atau percobaan yang diceritakan benar-benar

dilihat, dirasakan, dan dialami oleh penulis (Marahimin, 1994: 378).

Karya ilmiah memiliki tujuan dan khalayak sasaran yang jelas. Meskipun

demikian, dalam karya ilmiah, aspek komunikasi tetap memegang peranan utama.

Oleh karenanya, berbagai kemungkinan untuk penyampaian yang komunikatif tetap

harus dipikirkan. Penulisan karya ilmiah bukan hanya untuk mengekspresikan

pikiran tetapi untuk menyampaikan hasil penelitian. Kita harus dapat meyakinkan

pembaca akan kebenaran hasil yang kita temukan di lapangan. Dapat pula kita

menumbangkan sebuah teori berdasarkan hasil penelitian kita. Jadi, sebuah karya

ilmiah tetap harus dapat secara jelas menyampaikan pesan kepada pembacanya.

Sebuah tulisan dapat dianggap sebagai karya ilmiah apabila memiliki

persyaratan sebagaimana diungkapkan Brotowidjojo (1988:15-16) sebagai berikut:

a. Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan

aplikasi hukum alam pada situasi spesifik.

20
b. Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat

terkaan. Dalam pengertian jujur terkandung sikap etik penulisan ilmiah,

yakni penyebutan rujukan dan kutipan yang jelas.

c. Karya ilmiah disusun secara sistematis, setiap langkah direncanakan secara

terkendali, konseptual, dan prosedural.

d. Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan

alasan yang indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan.

e. Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan

pembuktian berdasarkan suatu hipotesis.

f. Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah hanya

mengandung kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan

yang bernada keraguan. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta,

tidak bersifat ambisius dan berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat

emotif.

g. Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul

kesan argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh penyusunan

kerangka karangan yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hukum alam

yang diterapkan pada situasi spesifik itu dibiarkan berbicara sendiri. Pembaca

dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri berupa pembenaran dan keyakinan

akan kebenaran karya ilmiah tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa karya ilmiah

memiliki tiga ciri, yaitu :

a. Harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar atau mendua makna

21
b. Harus secara tepat mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan pengertian yang

digunakan, agar tidak menimbulkan kerancuan atau keraguan.

c. Harus singkat, berlandaskan ekonomi bahasa.

Disamping persyaratan tersebut di atas, untuk dapat dipublikasikan sebagai

karya ilmiah ada ketentuan struktur atau format karangan yang kurang lebih bersifat

baku. Ketentuan itu merupakan kesepakatan sebagaimana tertuang dalam

International Standardization Organization (ISO). Publikasi yang tidak

mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ISO memberikan kesan

bahwa publikasi itu kurang valid sebagai terbitan ilmiah (Soehardjan, 1997:10).

Struktur karya ilmiah (Soehardjan, 1997:38) terdiri atas judul, nama penulis, abstrak,

pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima

kasih dan daftar pustaka. ISO 5966 (1982) menetapkan agar karya ilmiah terdiri atas

judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, inti tulisan (teori metode,

hasil, dan pembahasan), simpulan, dan usulan, ucapan terima kasih, dan daftar

pustaka (Soehardjan, 1997:38).

2. Laras Bahasa Keilmuan

Menurut Sunaryo (1994:1), bahwa dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan

kaidah-kaidah berbahasa, baik yang berkaitan kebenaran kaidah pemakaian bahasa

sesuai dengan konteks situasi, kondisi, dan sosio budayanya. Pada saat kita

berbahasa, baik lisan maupun tulis, kita selalu memperhatikan faktor-faktor yang

menentukan bentuk-bentuk bahasa yang kita gunakan. Pada saat menulis, misalnya

kita selalu memperhatikan siapa pembaca tulisan kita, apa yang kita tulis, apa tujuan

tulisan itu, dan di media apa kita menulis. Hal yang perlu mendapat perhatian

22
tersebut merupakan faktor penentu dalam berkomunikasi. Faktor-faktor penentu

berkomunikasi meliputi : partisipan, topik, latar, tujuan, dan saluran (lisan atau tulis).

Partisipan tutur ini berupa P1 yaitu pembicara/penulis dan P2 yaitu pembaca

atau pendengar tutur. Agar pesan yang disampaikan dapat terkomunikasikan dengan

baik, maka pembicara atau penulis perlu (a) mengetahui latar belakang

pembaca/pendengar, dan (b)memperhatikan hubungan antara pembicara/penulis

dengan pendengar/pembaca. Hal itu perlu diketahui agar pilihan bentuk bahasa yang

digunakan tepat, disamping agar pesannya dapat tersampaikan, agar tidak

menyinggung perasaan, menyepelekan, merendahkan dan sejenisnya.

Topik tutur berkenaan dengan masalah apa yang disampaikan penutur ke

penanggap penutur. Penyampaian topik tutur dapat dilakukukan secara: (a) naratif

(peristiwa, perbuatan, cerita); (b) deskriptif (hal-hal faktual: keadaan, tempat barang,

dsb.), (c) ekspositoris, (d) argumentatif dan persuasif.

Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri:

(a) Cendekia: bahasa Indonesia keilmuan itu mampu digunakan untuk

mengungkapkan hasil berpikir logis secara tepat.

(b) Lugas dan jelas: bahasa Indonesia keilmuan digunakan untuk menyampaikan

gagasan ilmiah secara jelas dan tepat.

(c) Gagasan sebagai pangkal tolak: bahasa Indonesia keilmuan digunakan dengan

orientasi gagasan. Hal itu berarti penonjolan diarahkan pada gagasan atau hal-hal

yang diungkapkan, tidak pada penulis.

(d) Formal dan objektif : komunikasi Ilmiah melalui teks ilmiah merupakan

komunikasi formal. Hal ini berarti bahwa unsur-unsur bahasa Indonesia yang

digunakan dalam bahasa Indonesia keilmuan adalah unsur-unsur bahasa yang

23
berlaku dalam situasi formal atau resmi. Pada lapis kosa kata dapat ditemukan

kata-kata yang berciri formal dan kata-kata yang berciri informal (Syafi’ie,

1992:8-9). Contoh kata berciri formal: (a) Korps; (b) Berkata; (c) Karena;

(d) Suku cadang. Contoh kata berciri informal: (a) Korp; (b) Bilang;

(c) Lantaran; (d) Onderdil

3. Laras Ilmiah Populer

Laras ilmiah populer merupakan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi

diungkapkan dengan cara penuturan yang mudah dimengerti. Karya ilmiah populer

tidak selalu merupakan hasil penelitian ilmiah. Tulisan itu dapat berupa petunjuk

teknis, pengalaman dan pengamatan biasa yang diuraikan dengan metode ilmiah.

Jika karya ilmiah harus selalu disajikan dalam ragam bahasa yang standar, karya

ilmiah populer dapat disajikan dalam ragam standar, semi standar dan nonstandar.

Penyusun karya ilmiah populer akan tetap disebut penulis dan bukan pengarang,

karena proses penyusunan karya ilmiah populer sama dengan proses penyusunan

karya ilmiah. Pembedaan terjadi hanya dalam cara penyajiannya.

Berdasarkan uraian di atas, persyaratan yang berlaku bagi sebuah karya

ilmiah berlaku pula bagi karya ilmiah populer. Akan tetapi, dalam karya ilmiah

populer terdapat pula persoalan lain, seperti kritik terhadap pemerintah, analisis atas

suatu peristiwa yang sedang populer di tengah masyarakat, jalan keluar bagi

persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, atau sekedar informasi baru yang ingin

disampaikan kepada masyarakat.

Jika karya ilmiah memiliki struktur yang baku, tidak demikian halnya

dengan karya ilmiah populer. Oleh karena itu, karya ilmiah populer biasanya

24
disajikan melalui media surat kabar dan majalah, biasanya format penyajiannya

mengikuti format yang berlaku dalam laras jurnalistik. Pemilihan topik dan

perumusan tema harus dilakukan dengan cermat. Tema itu kemudian dikerjakan

dengan jenis karangan tertentu, misalnya narasi, eksposisi, argumentasi, atau

deskripsi. Secara lebih rinci lagi, penulis dapat mengembangkan gagasannya

dalam berbagai bentuk pengembangan paragraf seperti pola pemecahan masalah,

pola kronologis, pola perbandingan, atau pola sudut pandang.

25
BAB III

KETERAMPILAN BERBAHASA

A. Keterampilan Berbahasa

Berdasarkan kurikulim 1994 sampai saat ini kurikulum 2013, pengajaran

bahasa Indonesia di lembaga pendidikan dilaksanakanmencakup empat aspek

keterampilan berbahasa, yaitu: menyimak (listening skills), berbicara (speaking

skills), membaca (reading skills), dan menulis (writing skills). Dalam pengajaran

bahasa Indonesia, keempat aspek keterampilan berbahasa ini harus sekaligus

dikuasai oleh siswa, sehingga diharapkan siswa terampil berbahasa. Demikian halnya

di perguruan tinggi, pembelajaran keterampilan berbahasa juga menyangkut empat

aspek keterampilan berbahasa yangurutan kedudukannyatidak dapat dipertukarkan

atau dibalikkan. Urutan keempat keterampilan ini menandakan bahwa proses inilah

yang dialami semua manusia sejak pemerolehan bahasanya, mulai dalam keluarga

sampai ke situasi formal di sekolah. Oleh sebab itu, pada tataran sekolah maupun

perguruan tinggi harus sekaligus disampaikan sebab keempat keterampilan berbahasa

tersebut berhubungan erat antara komponen yang satu dengan komponen lainnya.

Hal ini sesuai dengan pendapat Henry Guntur Tarigan dengan istilah hubungan catur

tunggal, artinya ada empat komponen yang harus dikuasai untuk mencapai satu

tujuan, yaitu keterampilan berbahasa (language skills).

26
1. Keterampilan Menyimak

Kemampuan menyimak adalah kemampuan memahami isi ujaran. Ada

beberapa faktor yang mempunyai pertalian yang sangat erat dengan kemampuan ini.

Pertama, faktor fisik berupa alat penyimak atau pendengaran dan situasi lingkungan

tempat berlangsungnya kegiatan menyimak. Kedua, faktor kebahasaan berupa

kosakata dan struktur. Ketiga, faktor isis, berupa pesan yang disampaikan melalui

wacana lisan. Ketiga faktor itu selalu muncul secara bersamaan dalam setiap

peristiwa menyimak. Agar dapat menyimak dengan baik, alat penyimak harus baik,

tidak cacat. Situasi lingkungan tempat peristiwa menyimak berlangsung sangat

berpengaruh pada kualitas hasil simakan. Faktor kebahasaan, juga mempunyai

pengaruh yang sangat menentukan dalam peristiwa menyimak. Faktor isi berperan

penting dalam menentukan kadar hasil simakan, sebab ada kaitannya dengan skemata

yang dimiliki si penyimak. Jika isi pembicaraan masih ada dalam jangkauan

pengetahuan dan pengalaman mahasiswa, mereka akan dengan mudah memahami isi

pembicaraan itu. Sebaliknya, jika isi pembicaraan ada di luar jangkauan skemata

mahasiswa, mereka akan merasa kesulitan memahaminya sehingga merasa bosan.

Pada kegiatan menyimak, diperlukan pemusatan perhatian yang terus-

menerus agar mahasiswa sebagai penyimak dapat menangkap ide pokok dari suatu

pembicaraan yang disajikan oleh dosen. Mahasiswa yang sadar akan besarnya

manfaat menyimak, akan berusaha menyimak suatu pembicaraan dengan penuh

perhatian. Oleh karenya, minat dan perhatian mahasiswa pada suatu pembicaraan,

harus selalu ada selama berlangsungnya peristiwa menyimak. Mahasiswa akan

mengalami kesulitan untuk menangkap makna suatu pembicaraan jika tidak

mempunyai minat, dan perhatiannya terganggu.Penilaian pembelajaran menyimak di

27
perkuliahan, lebih ditekankan pada aspek kognitif. Oleh sebab itu, teknik

pengukurannya lebih ditekankan pada penggunaan bentuk tes. Butir-butir tes dalam

penilaian menyimak, diberikan secara lisan, baik langsung, maupun melalaui media

rekaman, sedangkan jawabannya dapat dibuat secara tertulis.

2. Keterampilan Berbicara

Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1986:136) bahwa pengertian

berbicara adalah (1) berkata; (2) bercakap; berbahasa; (3) melahirkan pendapat;

dan(4) berunding. Senada dengan pendapat ini, Henry Guntur Tarigan

(1985:1)menyatakan bahwa “berbicara adalah kegiatan menyampaikan ide,

maksud/tujuan, hasrat hati kepada orang lain melalui bahasa lisan”. Lebih lanjut

dikatakannya: “Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil

seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya. Keterampilan

hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan banyak latihan. Melatih

keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir”.

Keterampilan berbicara berkaitan pula dengan keterampilan pragmatik yang

mulai mendapat perhatian serius oleh ahli-ahli linguistik mulai tahun 1970-an. Di

Indonesia mulai tahun 1984 saat diperkenalkan istilah pragmatik. Pada saat itu,

istilah pragmatik benar-benar tidak dikuasai guru, namun istilah pelajaran maupun

prosedur pengajarannya, sebagaimana diungkapkan dalam pendahuluan tadi adalah

kategori berbicara. Salah satu pengertian yang dikemukakan di sini diikutip dari

pendapat ahli Lenvison dalam P.W.J. Nababan, yaitu :

1. Pragmatik adalah kajian hubungan dari hubungan antar bahasa dan konteks

yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Di sini pengertian/pemahaman

28
bahasa menunjukkan kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu

ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan

hubungan tata bahasanya, yakni hubungan dengan konteks pemakaiannya.

2. Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan

kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai dengan kalimat”.

Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa pragmatik ialah kajian yang

menghubungkan kemampuan menginterpretasi antara bahasa dengan konteks yang

melingkupinya. Oleh karena itu, kajian tentang konteks menjadi sangat penting

dalam kajian pragmatik. Peneliti akan menguraikan tentang konteks pada bagian

berikutnya.

Pengertian lain yang dapat dikemukakan ialah pendapat P.W.J. Nababan:

“…..kita akan memakai istilah pragmatik secara lebih luas untuk aturan-aturan

pemakaian bahasa yaitu memilih bentuk bahasa dan menentukan maksudnya dengan

maksud pembicara sesuai dengan konteks dan keadaannya”.Senada dengan pendapat

ini, A. Hamid Hasan Lubis membedakan pragmatik atas: “(1) Pragmatik sebagai

sesuatu yang diajarkan, (2) Pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan

mengajar”. Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan disebut sebagai pokok bahasan

pragmatik. Dalam kurikulum menyebut istilah pragmatik sebagai pokok bahasan

bersama pokok bahasan lain: membaca, kosa kata, struktur, menulis dan apresiasi

bahasa dan sastra Indonesia.

Sebelum kurikulum pragmatik ditafsirkan sebagi keterampilan berbahasa

yang meliputi keterampilan membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Oleh

karenanya banyak yang berpendapat pragmatik mewarnai pengajaran lebih tepat

dibandingkan sebagai bahan pelajaran. Sekalipun ada pendapat yang demikian,

29
namun pembahasan pragmatik sebagai materi pelajaran cukup relevan karena

berlandaskan isi kurikulum yang jelas-jelas menyebut pragmatik sebagi pokok

bahasan. Dalam bahasan ini akan dikaji hal-hal yang menyangkut pengajaran

pragmatik sebagi berikut: (a) Materi pengajaran pragmatik; (b) Metode pengajaran

pragmatik; (c) Hasil belajar pragmatik.

a. Materi Pengajaran Pragmatik

Materi pengajaran pragmatik ditekankan pada pencapaian tujuan belajar

pragmatik, yaitu berupa penguasaan siwa dalam memilih bentuk bahasa sesuai

dengan konteks penggunaannya. Penekanan pada kemampuan memilih bentuk

bahasa sesuai konteks ini berarti materi pengajaran itu membimbing mahasiswa pada

berbagai bentuk bahasa dan aneka konteks penggunaan bahasa. Materi pelajaran ini

umumnya mengenai penggunaan bahasa dalam lingkup sosial pemakaiannya, seperti

yang lazim dibahas dalam sosiolinguistik.

Bedasarkan uraian di atas, maka salah satu materi pelajaran dalam pragmatik

ialah masalah yang berhubungan dengan penggunaan bahasa berdasarkan fungsi

bahasa. Halliday menyebut ada tujuan fungsi bahasa, yaitu: (1) Fungsi instrumental;

(2) Fungsi regulator; (3) Fungsi interaksi; (4) Fungsi personal; (5) Fungsi heuristic;

(6) Fungsi representasional atau informatif; dan (7) Fungsi imajinatif. Atau fungsi

bahasa yang dikemukakan Wilkins adalah: (1) Modalitas; (2) Situasi; (3) Argumen;

(4) Penemuan rasional dan eksposisi; (5) Emosi personal; (6) Hubungan emosional;

dan (7) Hubungan interpersonal.

Beberapa fungsi bahasa lain yang dikemukakan para ahli, namun antara satu

dan lain pendapat tidak ditemukan perbedaan yang berarti. Fungsi bahasa ini

30
kemudian diperjelas dalam bentuk materi pelajaran berupa kegiatan bahasa yang

bersesuaian dengan masing-masing fungsi tersebut. Yang harus diingat dalam

menjabarkan materi ini ialah pragmatik sebagai materi pelajaran berarti yang

diajarkan kepada siswa itu berupa fungsi komunikatif bahasa.Prinsip-prinsip

pengembangan bahan ajar berdasarkan pendekatan komunikatif ini diuraikan oleh

Bujur Surbakti sebagai berikut: “1. Materi harus terdiri atas bahasa sebagai alat

komunikasi; 2. Desain materi harus lebih menekankan proses belajar mengajar bukan

pokok bahasan; 3. Materi memberi dorongan kepada siswa untuk berkomunikasi

secara wajar”.

Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia didaftarkan sejumlah pokok-pokok

pembicaraan (sub pokok bahasan) dalam pokok bahasan pragmatik seperti: informasi

faktual, sikap moral, sikap intelektual dan lainnya. Tampaknya materi ini diuraikan

dari fungsi bahasa yang diuarikan oleh Van Ek, yakni: “(1) Memberi dan mencari

informasi faktual;(2) Mengungkapkan dan mengetahui sikap intelektual; (3)

Mengungkapkan dan mengetahui sikap emosional; (4) Mengetahui dan

mengungkapkan sikap moral; (5) Menyarankan sesuatu; dan (6) Sosialisasi”.

Fungsi memberi dan mencari informasi faktual adalah memperkenalkan,

melaporkan, membenarkan dan bertanya. Fungsi mengungkapkan dan mengetahui

sikap intelektual meliputi menyatakan setuju dan tidak setuju, menerima atau

menolak tawaran. Fungsi mengungkapkan dan mengetahui sikap emosional dapat

berupa menyatakan kesenangan dan ketidaksenangan, kejutan, harapan, keinginan

dan sebagainya. Fungsi mengungkapkan dan mengetahui sikap moral, yakni kegiatan

meminta maaf, menyarankan, menasehati dan memperingati. Sedangkan fungsi

sosialisasi adalah memberi salam, menarik perhatian, dan menganjurkan.

31
b. Metode Pengajaran Pragmatik

Metode pengajaran pragmatik haruslah berorientasi pada kepentingan

melahirkan kemampuan mahasiswa dalam memilih bentuk bhasa sesuai dengan

konteks penggunaannya. Metode mengajar ini lazim disebut dengan prosedur

pengajaran. Karena orientasinya itu, maka mengajarkan pragmatik itu harus berupa

pendekatan komunikatif. Pendekatan pembelajaran komunikatif kemudian

dikonkritkan menjadi metodologi komunikatif. Tentang hal ini dikemukakan Bujur

Surbakti sebagai berikut: “Pendekatan komunikatif diturunkan menjadi metodologi

komunikatif. Metodologi ini mengharapkan setiap aktivitas menghasilkan suatu

produk yang berbeda dari setiap individu atau kelompok. Metodologi komunikatif

berasumsi (1) produk-produk yang berlainan sifatnya itulah yang dicari, (2)

keberhasilan dan ketidakberhasilan dari suatu aktifitas merupakan masukan yang

berguna, (3) jawaban dan temuan yang berbeda-beda tentang sesuatu masalah akan

menghasilkan suatu jawaban yang lebih sempurna. Demikian hakikat metodologi

komunikatif, misalnya pada diskusi”.

Konsep yang dikemukakan Surbakti pada alinea di atas jelas menegaskan

bahwa keragaman tidaklah berarti kesalahan, walau bukan pula berarti tidak

perlunya kesamaan pendapat. Secara pasti dapat dinyatakan bahwa proses lahirnya

jawaban (walau berbeda jawaban) sama pentingnya dengan kebenaran jawaban

itu.Untuk mengkonkritkan metode mengajarkan pragmatik dengan pendekatan

komunikatif ada sebelas langkah yang dikemukakan oleh Finocciaro dan Brumfit,

yakni:“(1) Penyajian dialog, (2) Pelatihan pengucapan kalimat, (3) Tanya jawab

topik/situasi dialog, (4) Tanya jawab pengalaman pribadi, (5) Pembahasan ungkapan,

32
(6) Penyimpulan kaidah, (7) Pengenalan lisan, (8) Produksi lisan, (9) Penyalinan

dialog, (10) Penyajian contoh tugas, dan (11) Evaluasi”.

Selanjutnya, langkah-langkah yang dikemukakan oleh Finocchiaro dan

Brumfit di atas, disederhanakan oleh Syamsul Arif, dkk menjadi lima langkah yang

mereka sebut Prosedur Hasil Modifikasi, karena modifikasi dari langkah-langkah

Finocchiaro dan Brumfit. Kelima langkah yang dikemukakan Syamsul Arif, dkk

adalah sebagai berikut: “(1) Penyajian atau presentasi teks, (2) Pembahasan atau

diskusi teks, (3) Perumusan atau formulasi kaidah, (4) Ekspresi atau produksi, dan

(5) Evaluasi. Contoh pelaksanaan kelima langkah itu diuraiakn sebagai berikut:

1. Langkah pertama dapat disajikan melalui rekaman, misalnya pidato, dialog

antarkeluarga atau guntingan koran, iklan dan sebagainya. Yang utama dalam

langkah ini adalah menghadirkan penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi

nyata ke dalam kelas, sehingga mahasiswa memperoleh gambaran nyata

tentang kompetensi dan fungsi komunikatif yang diajarkan.

2. Langkah kedua ialah diskusi teks. Kegiatannya meliputi analisis teks/wacana

dari segi isi, struktur dan terutama penggunaan bahasanya. Kegiatan ini

terutama untuk menemukan faktor-faktor komunikatif yang membatasi

pilihan bentuk bahasa.

3. Langkah ketiga ialah formulasi kaidah yang bertujuan untuk merumuskan

perolehan pada langkah kedua tadi. Kaidah yang dirumuskan berupa kaidah

gramatikal dan kaidah komunikatif, kaidah yang sebelumnya masih tercerai-

berai dalam langkah kedua tadi.

4. Langakah keempat ialah merupakan langkah yang memungkinkan siswa

produktif dalam berekspresi berbahasa.

33
5. Langkah kelima dapat ditempuh dengan tes pemahaman yang disesuaikan

dengan tujuan yang dirumuskan dosen.

Kelima langkah yang dianjurkan di atas, dapat dinyatakan cukup berorientasi pada

kepentingan tujuan belajar pragmatik dan memenuhi pendekatan komunikatif. Yang

perlu diperhatikan setelah langkah keempat bahwa langkah berikutnya dapat kembali

pada langkah ketiga dan kedua.

Metode lain dalam mengajarkan pragmatik adalah: metode latihan, diskusi,

ceramah, penugasan. Terlihat secara terpisah langkah dalam prosedur yang

dikemukakan Syamsul Arif, dkk terdapat, namun baru disadari setiap langkah ini

mempunyai prosedur sendiri-sendiri dan memungkinkan dosen untuk memilih salah

satu metode atau gabungan beberapa metode bahkan mengganti metode yang

ditawarkan. Oleh karena itu, mungkin saja terjadi metode yang dipilih tidak

menggunakan pendekatan komunikatif. Kesimpulan yang dapat diberikan pada

bagian ini ialah metode mengajar pragmatik harus menggunakan pendekatan

komunikatif karena pragmatik itu lebih ditekankan pada segi kemampuan bahasa

sebagai alat komunikasi.

Konteks berbahasa atau konteks penggunaan bahasa menurut Syafei ada

empat, yaitu: (1) Konteks fisik (phsical contex); (2) Konteks epistemis (epistemis

contex);(3) Konteks Linguistik (linguistic contex); dan (4) Konteks sosial (social

contex). Konteks fisik dapat meliputi tempat berkomunikasi, objek yang

dikomunikasikan dan perilaku komunikan. Konteks lain berupa epistemis latar

belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui antarkomunikator. Konteks

linguistik berarti kalimat-kaliamat yang membentuk suatu pengertian bagi tuturan

tertentu. Konteks sosial berupa relasi sosial antara penutur dan pendengar.

34
Bentuk bahasa dalam kegiatan pragmatik disesuaikan dengan konteks

penggunaannya, yakni:

1. Konteks fisik yang berbeda akan mempengaruhi pilihan bahasa pembicara.

Bentuk bahasa yang dipilih penutur dalam situasi formal berbeda dengan

tidak formalnya dan seterusnya. Pengetahuan pada latar belakang

pembicaraan.

2. Memungkinkan pembicaraan menjadi komunikatif. Misalnya, jika penutur

membicarakan “bulu” dalam pengertian biologi, maka konsep yang

terbentuk di benak pendengar mestilah sama.

3. Konteks linguistik memungkinkan kita memahami pembicaraan sebagai

suatu komunikasi yang utuh tidak terputus-putus.

4. Relasi sosial antar komunikasi juga harus mewarnai pembicaraan.

Kekerabatan dan keakraban akan membentuk bahasa yang digunakan.

Penggunaan bahasa lebih bermanfaat dari penguasaan gramatikal. Dell

Hymes memberi ciri penanda konteks penggunaan bahasa sebagai berikut:“1.

Advesser (pembicara); 2. Advesse (pendengar); 3. Topik pembicaraan; 4. Setting

(waktu, tempat); 5. Channel (penghubungnya: bahasa tulisan, lisan dan sebagainya);

6. Code (dialeknya, stailnya); 7. Massage from (debat, diskusi, seremoni, agama);

dan 8. Even (kejadian)”. Atau dalam bahasa lain, Hymes mengemukakan setiap

fonem dalam “speaking” sebagai penanda ciri komunikasi, yaitu :

“S : Setting atau secene, yaitu tempat bicara (ruang diskusi dan suasana
diskusi).
P : Partisipasi (pembicara, lawan bicara dan pendengar. Dalam diskusi
ini adalah seluruh diskusi).
E : End atau tujuan (tujuan akhir diskusi).

35
A : Act atau suatu peristiwa di mana seseorang pembicara sedang
mempergunakan dalam penyampaian pendapatnya.
K : Key atau nada suaranya dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam
menyampaikan pendapatnya.
I : Instrumen atau alat untuk menyampaikan pendapat, misalnya secara
tertulis, lewat telepon dan sebagainya.
N : Normal atau aturan permainan yang mesti ditaati setiap peserta
diskusi.
G : Genre atau jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari
jenis kegiatan lain”.

Keseluruhan pendapat Hymes inilah yang lazim disebut sebagai ciri konteks.

Sekaitan dengan hal ini, ada empat kategori faktor yang membuat terjadinya variasi

bahasa sebagaimana dikemukakan P.W.J. Nababan, yaitu:

“1. Faktor-faktor geografis, yaitu di daerah mana bahasa itu dipakai


sebagai bahasa daerah (regional variety).
2. Faktor-faktor kemasyarakatan, yaitu golongan sosio-ekonomi mana
yang memakai bahasa itu sebagai bahasa golongan (socio variety).
3. Faktor-faktor situasi berbahasa. Ini mencakup: pemeran serta
(pembicara, pendengar, orang lain), topik yang dibicarakan, jalur
bahasa (lisan, tulisan, telegram dan sebagainya), ini disebut bahasa
situasi (functional variety).
4. Faktor-faktor waktu, yaitu di mana-mana (kurun waktu dalam
perjalanan sejarah atau bahasa) bahasa itu dipakai sebagai bahasa
zaman (temporal atau chronological variety)”.

c. Keterampilan Berbahasa Pidato

Jauh sebelum manusia mempunyai tradisi baca tulis, manusia sudah

mempergunakan bahasa yang di sebut dengan bahasa lisan (berkomunikasi) secara

langsung. Berdasarkan hal tersebut ada empat kegiatan berbahasa yang sering

dilakukan semua orang yaitu: keterampilan menyimak, keterampilan berbicara,

membaca dan menulis.

36
1) Pengertian dan Tujuan Pidato

Pidato adalah penyampaian gagasan, pikiran atau informasi kepada orang

banyak secara lisan dengan cara-cara tertentu. Pidato dapat diartikan sebagai seni

membujuk seperti yang dikatakan oleh Aristoteles “The art of persuasion”. Jadi

orang dikatakan berpidato yang baik apabila dia mampu membujuk para

pendengarnya untuk memahami, menerima, dan mematuhi pesan-pesan yang

dikemukakannya.

Tujuan pidato dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) Memberitahukan;

(2) Menghibur atau menyenangkan; dan (3) Membujuk atau mempengaruhi. Apabila

hal ini sudah diketahui oleh objek (mahasiswa) maka dengan mudah mengerjakan

atau penulisan jenis pidato.

3) Metode Pidato

Jenis-jenis metode pidato pada pembicaraan/pertemuan resmi ataupun

dipertemuan tidak resmi adalah: (1) Metode Naskah; (2) Metode Menghapal;

(3) Metode Improptu; dan (4) Metode Ekstemporan. Namun walaupun begitu model

metode, masih ada model dari penggabungan beberapa metode yang secara pasti

pembaca menggunakan secara bersamaan.

4) Persiapan Pidato

Gorys Keraf (1980:317–318) menyatakan bahwa persiapan pidatofokus pada:

(1) Menentukan topik dan tujuan; (2) Menganalisis pendengar dan situasi;

(3) Memilih dan menyempitkan topik; (4) Mengumpulkan bahan; (5) Membuat

37
kerangka uraian; (6) Menguraikan secara mendetail; dan (7) Melatih dengan suara

nyaring.

2.1.5. Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara

Ada faktor-faktor yang harus diperhatikan oleh pembicara untuk keefektifan

berbicara, yaitu factor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan adalah

unsur-unsur bahasa yang secara langsung diungkapkan. Sedangkan unsur-unsur

nonbahasa adalah unsur-unsur penunjang berbahasa, seperti mimik, gerak-gerik,

pandangan mata, dan lain-lain, yang kesemuanya merupakan penunjang

keterampilan berbahasa. Berikut ini diuraikan secara terperinci faktor-faktor

penunjang keefektifan berbicara.

d. Faktor-faktor Kebahasaan sebagai Penunjang Keefektifan Berbicara

1) Ketepatan Ucapan

Ketepatan ucapan yang dimaksud adalah seorang pembicara harus

membiasakan diri untuk mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Sudah tentu

pola ucapan yang digunakan tidak selalu sama. Akan tetapi, jika perbedaan yang

terlalu menyolok, maka keefektifan komunikasi akan terganggu. Seorang pembicara

tidak sadar pada saat ia mengucapkan sesuatu kata dengan tidak benar, juga bila ia

membuat suatu kesalahan dalam berbahasa. Hanya bila diberitahukan maka

pembicara dapat memperbaikinya.

Presiden Amerika yang bernama Eisenhower, pernah salah mengucapkan

suatu kata yang penting, dan terus-terusan. Beliau selalu mengucapkan kata

“nuclear” dengan “nucular”. Anehnya, tidak ada seorangpun yang tampaknya pernah

38
memberitahukan padanya bahwa ada kata yang selalu dia ucapkan salah. Baru

setelah dia meninggal dunia, ada sebuah artikel dari surat kabar yang memperhatikan

hal tersebut. Jika mau berusaha, maka bunyi-bunyi bahasa yang salah ucap atau yang

tidak dapat diucapkan, akan dapat dihindari.

2) Penempatan Tekanan, Nada, Sendi, dan Durasi yang Sesuai

Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan daya tarik tersendiri

dalam berbicara. Dalam pemberian tekanan pada kata atau suku kata tekanan suara

biasanya jatuh pada suku kata terakhir, kedua dari belakang, kemudian ditempatkan

pada suku kata pertama. Dalam hal ini, perhatian pendengar dapat beralih pada cara

berpidato pembicara, sehingga pesan yang disampaikan kurang diperhatikan.

3) Pilihan Kata (Diksi)

Pendengar akan lebih tertarik mendengarkan bila pembicara berbicara dengan

jelas dalam bahasa yang dikuasainya. Pilihan kata harus sesuai dengan pokok

pembicaraan. Sebaiknya, kata-kata yang belum dikenal dihindari pemakaiannya,

karena akan menghambat kelancaran komunikasi. Selain itu, hendaknya dipilih kata-

kata konkret, yang menunjukkan aktivitas. Pemilihan kata yang tepat merupakan

kunci keberhasilan atau kehidupan pidato.

4) Ketepatan Sasaran Pembicaraan

Sebagai sarana komunikasi, setiap kalimat terlibat dalam proses penyampaian

dan penerimaan. Hal yang disampaikan berupa ide, gagasan, atau informasi,

hendaknya dapat mencapai sasaran pembicaraan. Kalimat pembicaraan hendaknya

39
efektif sehingga proses penyampaian berupa ide, gagasan atau informasi hendaknya

dapat mencapai sasaran pembicaraan. Kalimat pembicaraan hendaknya

efektif, sehingga proses penyampaian akan mencapai sasaran pembicaraan.

Seseorang pembicara harus dapat menimbulkan suatu ekspresi pendengarnya.

Seorang pembicara harus mampu memukau perhatian pendengarnya, sehingga apa

yang dikemukakannya dapat dipahami dan dilakukan oleh pendengarnya.

b. Faktor-faktor Non Kebahasaan sebagai Penunjang Keefektifan Berbicara

1. Sikap yang Wajar, Tenang dan tidak Kaku, artinya sikap ditentukan oleh

situasi, tempat dan penguasaan materi pembicaraan Penguasaan Materi

pembicaraan yang baik, setidaknya akan menghilangkan kegugupan. Untuk

itu, perlu latihan yang berulang-ulang. Dalam latihan, hendaknya sikap ini

ditanamkan lebih awal.

2. Pandangan Harus Diarahkan Kepada Lawan Bicara, artinya pandangan

pembicara sangat membantu dalam berpidato. Pendengar sebaiknya

diusahakan untuk terlibat dalam pembicaraan. Untuk itu, pembicara harus

melihat situasi.

3. Kesediaan Menghargai Pendapat Orang Lain, artinya alam menyampaiakan

isi pidato, seorang pembicara hendaknya memiliki sikap terbuka, yang

berarti dapat menerima pendapat orang lain.

4. Gerak-gerik dan Mimik yang Tepat, artinya gerak-gerik dan mimik yang

tepat, dapat menunjang keberhasilan sebuah pidato, hal ini dapat

menghidupkan komunikasi.

40
5. Kenyaringan Suara, artinya kenyaringan suara ditentukan oleh situasi,

tempat, dan jumlah pendengar.

6. Kelancaran, artinya seorang pembicara yang lancara berbicara, akan

memudahkan pendengar menangkap isi pembicara. Bunyi-bunyi ee, oo, aa,

dapat mengganggu penangkapan pendengar. Untuk itu, hal ini perlu

dihindari.

7. Relevansi/Penalaran, artinya proses berpikir untuk sampai pada suatu

kesimpulan harus logis, karena ini berhubungan dengan pokok pembicaraan.

Penguasaan Topik, artinya penguasan topik harus dipersiapkan sebelum berpidato,

dan merupakan faktor yang utama dalam pidato.

3. Hakikat Membaca

1. Pengertian Membaca

Sebelum sampai pada masalah membaca pemahaman, terlebih dahulu akan

disampaikan beberapa defenisi membaca yang dikemukakan oleh para ahli,

W.J.S.Poerwodarminta (1976: 71) mengatakan bahwa membaca adalah melihat

sambil melisankan suatu tulisan dengan tujuan ingin mengetahui isinya. Selanjutnya

Henry Guntur Tarigan (1983: 2) mengungkapkan bahwa membaca adalah proses

pemerolehan pesan yang disampaikan oleh seorang penulis melalui tulisan. Pendapat

lain dikemukakan oleh A.S.Broto dalam Henry Guntur Tarigan, (1983: 58),

membaca itu adalah mengungkapkan lambang bunyi.

41
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa yang

dimaksud dengan membaca adalah proses pengucapan tulisan untuk mendapatkan isi

yang terkandung di dalamnya.

Dalam kehidupan sehari-hari peranan membaca tidak dapat dipungkiri lagi.

Ada beberapa peranan yang dapat disumbangkan oleh kegiatan membaca, antara

lain: kegiatan membaca dapat membantu memecahkan masalah, dapat memperkuat

suatu keyakinan/kepercayaan pembaca, sebagai suatu pelatihan, memberi

pengalaman estetis meningkatkan prestasi, memperluas pengetahuan dan sebagainya.

Kegiatan membaca tidak timbul secara alami, ada faktor-faktor yang dapat

mempengaruhinya, yaitu faktor dalam (intern) pembaca dan faktor luar (ekstern)

pembaca. Faktor yang berasal dari dalam diri pembaca itu antara lain: tuntutan

kebutuhan pembaca, adanya rasa persaingan antar sesamanya, sedangkan faktor yang

berasal dari luar pembaca meliputi: tersedianya waktu, tersedianya sarana yang

diperlukan oleh pembaca, adanya dorongan dari luar, (guru misalnya), adanya hadiah

atau yang sejenis dalam waktu-waktu tertentu dan sebagainya.

Pelajaran membaca merupakan dasar landasan untuk tingkat pendidikan lebih

tinggi. Seandainya dasar tersebut kurang kuat, niscaya pengaruhnya cukup besar dan

sangat terasa, baik bagi para siswa sendiri atau juga oleh para guru.

Membaca ada beberapa macam, yaitu membaca teknik, membaca dalam hati,

membaca bahasa, membaca pustaka, membaca cepat, dan membaca indah. Dari

bermacam-macam membaca tersebut ada yang bertujuan untuk kelancaran bacaan,

menemukan isi bacaan dan merasakan keindahan bacaan, dan sebagainya.

42
Mulai tahun 1994-1995, pengajaran bahasa Indonesia di lembaga pendidikan

SD dilaksanakan berdasarkan kurikulim 1994, yang mencakup empat aspek

keterampilan, yaitu: menyimak listening skills, berbicara (speaking skills), membaca

(reading skills), dan menulis (writing skills). Dalam pengajaran membaca

pemahaman, aspek kemampuan membaca pemahaman diajarkan secara terpadu dan

merupakan suatu kesatuan yang diajarkan dengan suatu kegiatan membaca terarah.

Kegiatan itu, misalnya persiapan untuk membaca, membaca dan diskusi,

mengembangkan dan mempraktekkan serta memperluas informasi dan gagasan-

gagasan (Tarigan, 1986 : 4).

Membaca adalah melihat dan menyerap dan memahami isi informasi yang

disampaikan dalam bahasa tulis. Keterampilan membaca termasuk dalam komponen

pemahaman. Dengan komponen ini diharapkan para siswa dapat membaca wacana

serta dapat menyerap informasi yang ada di dalamnya secara tepat dan cepat.

Membaca pemahaman merupakan kemampuan seseorang dalam memahami isi

tuturan tertulis yang dibacanya, baik gagasan pokok maupun gagasan penjelas,

termasuk pula isi yang tersurat dan tersirat (Oka, 1983 : 72).

Proses membaca itu sebenarnya tidak ubahnya dengan proses ketika

seseorang berpikir dan bernaluri. Nurhadi (1987 : 13) mengatakan bahwa dalam

proses membaca telah terlihat aspek-aspek berpikir seperti mengingat, memahami,

membeda-bedakan, membanding-bandingkan, menganalisis, dan pada akhirnya

menerapkan apa – apa yang terkandung di dalam bacaan tersebut.

Membaca melibatkan beberapa keterampilan yang bekerja sama dalam

bentuk aktivitas jasmani dan rohani, agar apa yang dibaca dapat dipahami, terutama

43
untuk memperluas pengetahuan. Lebih tegas lagi, Nugroho Oka (1983 : 19)

mengatakan bahwa membaca adalah suatu proses yang sangat rumit dan unik pula

sifatnya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa membaca

pemahaman bertujuan untuk menemukan gagasan pokok dan gagasan penjelas

sebuah bacaan atau wacana.

2. Jenis-jenis Membaca

1) Membaca Teknik

Membaca teknik pada dasarnya sama dengan membaca nyaring. Dalam hal

ini yang perlu mendapat perhatian guru ialah lafal kata, intonadi frase, intonasi

kalimat, serta isi bacaan itu sendiri. Disamping itu, pungtuasi atau tanda-tanda baca

dalam tata tulis bahasa Indonesia tidak boleh diabaikan. Para siswa harus dapat

membedakan segala jenis intonasi kalimat berita, intonasi kalimat tanya, intonasi

kalimat seru, dan sebagainya. Juga lagu kalimat orang yang sedang susah, marah,

bergembira, dan suasana lainnya. Siswa dapat memberi tekanan yang berbeda pada

bagian-bagian yang dianggap penting, dengan bagian-bagian kalimat atau frase yang

bernada biasa.

Pengajaran membaca teknik ini mencakup dua hal, yaitu pengajaran

membaca dan pengajaran membacakan. Pengajaran membaca yang dimaksud yaitu

aktivitas tersebut untuk keperluan siswa itu sendiri dan untuk pihak lain, misalnya

guru atau kawan-kawan lainnya. Si pembaca bertanggung jawab dalam hal lafal kata,

lagu atau intonasi kalimat serta kandungan isi yang ada di dalamnya. Pengajaran

44
yang tergolong membacakan yaitu si pembaca melakukan aktivitas tersbut lebih

banyak ditujukan kepada orang lain. Pembaca bertanggung jawab atas lagu atau

intonasi kalimat, lafal kata, kesenyapan, ketetapan tekanan, suara dan sebagainya.

Sebagai penyimak atau pendengarnya, lebih bertanggung jawab terhadap isi bacaan,

karena mereka ini di pihak yang berkepentingan terhadap aktivitas pembaca.

2) Membaca Dalam Hati

Membaca dalam hati pada hakekatnya merupakan kegiatan membaca bagi

orang yang telah dewasa. Rata-rata, apabila orang sudah meninggalkan bangku

sekolah, kebiasaan yang mereka lakukan bukan lagi membaca nyaring atau membaca

suara tetapi jenis membaca dalam hati. Jenis membaca ini melibatkan dua sarana

kelengkapan hidup setiap manusia, yaitu mata dan ingatan. Proses membaca

melibatkan indera mata yang sehat dan pikiran yang jernih. Proses ini menghasilkan

suatu informasi yang diproses dalam otak dan menjadi sebuah ingatan.

3) Membaca Bahasa

Pelajaran “membaca bahasa” ini mempunyai kesamaan dengan membaca

dalam hati, dalam hal tidak bersuara sewaktu aktivitas membaca itu dilaksanakan.

Tujuan yang akan dicapai dalam pelajaran membaca bahasa agar para siswa semakin

bertambah pengetahuannya tentang seluk-beluk bahasa Indonesia. Kemudian mereka

itu dapat menerapkannya dalam berbagai bentuk bahasa dan berbagai situasi. Dalam

pelajaran ini, isi bacaan tidak menjadi tujuan pokok.

45
4) Membaca Pustaka

Tidak semua bahan yang disampaikan oleh guru kepada murid-muridnya

dapat terlaksana dengan mulus, artinya tidak mengalami hambatan-hambatan atau

rintangan. Adakalanya guru berhalangan hadir, ada pula hari-hari yang semestinya

ada kegiatan belajar – mengajar ternyata libur atau untuk kegiatan lain yang tidak

dapat ditinggalkan, misalnya rapat dewan guru, rapat dinas lainnya, upacara bendera

dan kegiatan lainnya, itu semua, akan menjadi sebab tertinggalnya beberapa pokok

bahasan.

Untuk mengatasi hal itu, maka di sekolah diberi mata pelajaran membaca

pustaka. Mata pelajaran ini berguna untuk menambah informasi beberapa bidang

ilmu pengetahuan yang mereka tidak peroleh di bangku sekolah, mengembangkan

wawasan anak-anak, atau memberi selingan kepada anak-anak dari bacaan-bacaan

berat, menikmati keindahan bacaan (kesusastraan) dan sebagainya.

Tidak semua sekolah memiliki perpustakaan, padahal, membaca pustaka itu

sebenarnya adalah membaca buku-buku yang ada atau disediakan di perpustakaan.

Untuk mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan ini, maka guru dapat

menganjurkan para siswa untuk meminjam buku-buku yang diperlukan tersebut dari

Perpustakaan yang ada di daerah tersebut. Atau dapat pula dengan cara, para guru

kreatif mengkliping bahan ajar dongeng dari sumber-sumber lain yang dapat di

manfaatkan di sekolah.

46
5) Membaca Indah (Estetika)

Membaca indah sering disebut juga membaca emosional. Dinamai demikian,

sebab selalu menyangkut pada hal-hal yang berkaitan dengan keindahan atau estetika

yang dapat menimbulkan emosi atau perasaan dari pembaca atau pendengarnya.

Tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran ini siswa dapat memperoleh suatu

keinadahan yang sumber bahasa atau keindahan yang bersumber bacaan. Unsur

irama, intonasi, ketepatan ucapan memegang peranan yang sangat penting. Ketepatan

mengintonasikan kalimat berita, kalimat tanya, kalimat seru, kalimat langsung,

kalimat ajakan dan jenis – jenis kalimat yang lain secara tepat, akan berpengaruh

terhadap keberhasilan jenis membaca ini.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah

proses komunikasi yang dilakukan oleh seseorang untuk mengetahui isi pesan yang

disampaikan penulis kepada pembaca.

3. Kecepatan Membaca

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat : “Kecepatan adalah waktu

yang ditempuh untuk memenuhi jarak tertentu”. Sedangkan Harson dalam Tarigan

(1988 : 62) menyatakan, “Kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan gerakan-

gerakan yang sejenis secara berturut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya”.

Tampubolon (1990 : 5) menyatakan, “Membaca adalah satu dari empat

kemampuan bahasa pokok yang merupakan satu bagian atau komponen dari

komunikasi tulis”. Senada dengan pendapat ini, Tarigan (1986 : 7) menyatakan

“Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk

47
memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis media kata-kata bahasa

tulis”.

Wydiamartaya (1992 : 6) mengemukakan bahwa “tidak ada kecepatan

membaca yang merupakan kecepatan terbaik untuk tiap jenis bacaan cerita pendek,

dari biografis, misalnya tidak perlu dibaca dengan kecepatan yang sama, kita yang

perlu menyesuaikan kecepatan yang hendak kita capai”.

Harjasujana (1988 : 5) menyatakan, “Kecepatan membaca seseorang dapat

bervariasi bergantung pada beberapa faktor. Dari antara beberapa faktor yang

dituntut melakukan kecepatan membaca adalah tipe atau jenis bacaan, tujuan

membaca, tingkat pemahaman yang diinginkan dalam membaca, keterampilan

membaca dan tingkat kesukaran bahan bacaan”.

Nurhadi (1987 : 35) menyatakan, “Kecepatan membaca dengan 150 kata per

menit dengan latihan intensif selama jangka waktu satu sampai dua bulan akan

meningkat menjadi 40 kata per menit.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kecepatan membaca

adalah waktu yang ditempuh untuk membaca bacaan dan tuntutan untuk memahami

bacaan tersebut. Kecepatan dan pemahaman seseorang tidaklah sama dilihat dari

tingkat kesukarannya. Kecepatan membaca dengan ketepatan menguasai isi bacaan

atau wacana berhubungan dengan tingkat kemampuan seseorang mencerna isi bacaan

atau wacana. Setiap orang akan berbeda dalam hal kecepatan memaknai bacaan atau

wacana, semakin sering seseorang membaca, akan semakin mudah baginya

memaknai isi bacaan atau wacana.

48
4. Faktor-faktor Penentu Kemampuan Membaca

1) Kompetensi kebahasaan, yaitu penguasaan bahasa Indonesia secara

keseluruhan, terutama tata bahasa dan kata-kata, termasuk berbagai arti dan

masa serta ejaan dan tanda-tanda baca, dan pengelompokan kata. Aplikasi

dalam bahasa Indonesia memegang peranan yang sangat penting. Oleh karena

itu bagi tata bahasa ini perlu dikuasai benar-benar.

2) Kemampuan mata, yaitu keterampilan mata mengadakan gerakan-gerakan

membaca yang efisien. Gerakan-gerakan yang dimaksud terutama ialah

skade, fiksasi, lompatan kembali, jangkauan penglihatan dan jangkauan

pemahaman.

3) Penentuan informasi fokus, yaitu menentukan lebih dahulu informasi yang

diperlukan sebelum mulai membaca pada umumnya dapat meningkatkan

efisien membaca seperti : informasi fokus pada kalimat, paragraf, artikel,

surat kabar, buku dan lain sebagainya.

4) Teknik-teknik dan metode-metode membaca, yaitu cara-cara membaca

yang paling efisien dan efektif untuk menentukan informasi fokus yang

diperlukan. Teknik-teknik yang umum ialah baca pilih, baca lompat, baca

layap, baca tahap. Disamping itu, dalam membaca untuk studi, ada dua

metode yang biasanya dipergunakan yaitu: CATU (cari, tulis, kembali, uji).

Dan SURTABAKU (Survey, Tanya, Baca, Katakan, dan Ulang).

5) Fleksibilitias membaca, yaitu kemampuan menyesuaikan strategi membaca

dengan kondisi membaca. Yang dimaksud membaca ialah teknik dan metode

membaca, kecepatan membaca, dan gaya membaca (santai, serius, dengan

49
konsentrasi). Dan kondisi baca ialah tujuan membaca informasi fokus, dan

materi bacaan dalam arti keterbacaan.

6) Kebiasaan membaca, yaitu minat (keinginan, kemauan, dan motivasi) dan

keterampilan membaca yang baik dan efisien, yang telah berkembang dan

membudi daya secara maksimal dalam diri seseorang (Tampubolon,

1987: 242).

5. Masalah Yang Dihadapi Pembaca

Pada umumnya orang tak sadar dengan masalah membacanya. Kebanyakan

orang telah puas dengan kondisi kemampuan membacanya, baik dalam kecepatan

maupun dalam tingkat pemahaman. Padahal, secara teoretis kecepatan dan

pemahaman terhadap bacaan itu dapat ditingkatkan dua atau tiga kali lipat dari

kecepatan dan pemahaman semula. Ini bila benar-benar seseorang mau

meningkatkannya. Nurhadi 91987:17-30) menyatakan, ada beberapa masalah dan

hambatan yang umum terjadi pada setiap orang, masalah tersebut antara lain ada

dibawah ini.

1) Rendahnya tingkat kecepatan membaca

Metode membaca wacana dengan kecepatan yang menurut anda memadai

dengan bantuan ukuran jam atau stop watc, berapa menit dan berapa detik untuk

menyelesaikan wacana tersebut. Mulailah dengan tanda panah, jangan mengabaikan

pemahaman. Setelah selesai membaca, uji pemahaman anda terhadap wacana yang

50
telah dibaca. Tingkat pemahaman diukur dalam persentase, sedangkan kecepatan

diukur dalam jumlah kata per menit.

Kecepatan membaca 175-250 kata per menit termasuk kecepatan yang

rendah, sedangkan kecepatan berkisar 250-350 kata per menit kecepatan membaca

ini termasuk sedang atau cukup memadai. Akan tetapi, bila kecepatan membaca

berkisar 400-500 kata atau lebih, itu dikatakan pembaca yang cepat dan efektif.

Kecepatan membaca memang diukur dengan berapa banyak kata atau jumlah kata

yang terbaca setiap menitnya. Jika wacana itu cukup banyak, tinggal menghitung

jumlah kata, kemudian dibagi dengan waktu menyelesaikan.

Kecepatan membaca menjadi hambatan, karena pada umumnya orang tidak

ambil pusing dengan kebiasaan membaca yang rendah. Masalahnya, orang tidak

menyadari bahwa ada jenjang kemampuan membaca cepat yang menantang dari

tingkat yang rendah hingga tingkat yang efektif, kecepatan membaca seseorang

semakin efektif pula, dan kebiasaan membacanya semakin baik pula. Kecepatan

membaca yang rendah sangat berpengaruh terhadap tingkat penguasaan seseorang

terhadap wacana yang dibacanya.

2) Minimnya pemahaman yang diperoleh

Tingkat pemahaman terhadap bacaan juga salah satu indikator keefektifan

membaca seseorang. Dengan menjawab pertanyaan pemahaman yang dianggap

memadai pada kondisi normal, berkisar antara 40-60% atau bila menjawab dengan

benar separuh dari jumlah pertanyaan.

51
Minimnya tingkat pemahaman, menjadi masalah karena kecenderungan

anggapan bahwa semakin lambat cara membaca seseorang, semakin tinggi pula

pemahamannya. Padahal peningkatan kecepatan membaca akan diikuti dengan

pemahaman terhadap isi bacaannya pula.

3) Gangguan-gangguan fisik

Ada kalanya seseorang pembaca merasa nikmat membaca baris-baris bacaan

disertai dengan mengucapkan secara verbal. Bila didengarkan, seperti orang sedang

bercakap-cakap. Setiap kata yang dibacanya divokalkan. Persis seperti orang

membacakan teks untuk orang lain. Yang diharapkan dari cara membaca semacam

ini adalah kemampuan berpikir. Ingat membaca adalah “proses berpikir” jauh

melampaui alat-alat ucap untuk berbicara. Ada faktor grafik lain yang penghambat

kecepatan membaca, yaitu :

a. Membantu melihat /menelusuri baris-baris bacaan dengan alat-alat tertentu.

b. Menggerak-gerakkan kaki menurut irama musik yang diperdengarkan.

c. Membaca sambil berguman-guman, atau bersenandung.

d. Kebiasaan berhenti lama pada setiap awal baris.

e. Kebiasaan mengulang-ulang unit bahasa yang telah dibaca.

Anda diharapkan menghilangkan kebiasaan-kebiasaan jelek dalam membaca,

diharapkan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan. Kegiatan membaca adalah

proses berpikir, karena itu, membaca merupakan kegiatan bernalar juga. Pada

prinsipnya ikuti pola berikut ini.

52
Kemampuan membaca awal
Kemampuan membaca awal

Menghilangkan gangguan dan hambatan membaca

Mengetahui teknik mengembangkan kecepatan membaca

Latihan

Meningkatkan sikap kritis

Membaca cepat dan efektif

6. Pembaca yang baik menguasai kecepatan membaca, yaitu:

a. Membaca sekilas, memetik secara kasar, tiga atau empat hal dalam satu

halaman untuk memperoleh gambaran umum sebagai suatu keseluruhan.

b. Membaca dengan cepat (bo scan) yaitu membaca segala sesuatu secara

cepat untuk mencari hal tertentu yang diinginkan. Membaca cepat yang

baik rata-rata 800-1000 kata dalam satu menit. Seseorang tidak akan

dapat lulus ujian berdasarkan apa yang dibacanya dengan cepat, tetapi ia

akan mendapatkan apa yang dicarinya.

c. Membaca demi kesenangan, suatu cara yang melewati hal-hal yang

kurang menarik, dan membaca lambat-lambat, hal-hal yang menarik hati

53
atau di mana terdapat apresisasi yang kuat. Membaca seperti ini rata-rata

500-600 kata dalam satu menit.

d. Membaca secara serius bahan-bahan yang penting dan tidak akan

kehilangan sesuatu hal. Membaca serius seperti ini rata-rata dengan

kecepatan 300-500 kata dalam satu menit (Tarigan, 1987:118).

e. Ada beberapa metode mengembangkan kecepatan membaca, yaitu:

 Metode kosakata adalah metode mengembangkan kecepatan

membaca melalui pengetahuan kosakata. Artinya, metode ini

mengembangkan perhatian pada aspek perbendaharaan kata seorang

pembaca.

 Metode motivasi (minat) adalah memotivasi para pemula atau

pembaca yang mengalami hambatan dalam kecepatan membaca

dengan berbagai macam ransangan bacaan yang menarik sehingga

tumbuh minat membacanya.

 Metode bantuan alat adalah untuk melatih kecepatan membaca itu

dengan bantuan alat ketika seseorang membaca melihat baris-baris

bacaan, gerak mata, dipercepat dengan bantuan alat yang berupa

ujung pensil. Ujung kayu, ujung alat yang digunakannya. Pertama

dengan kecepatan rendah, kemudian dipercepat, dan terus dipercepat.

Jadi kecepatan membaca mengikuti kecepatan gerak alat.

 Metode gerak mata adalah metode yang paling banyak dipakai dan

dikembangkan orang saat ini. Baik untuk pengajaran membaca

pemula maupun bagi siapa yang ingin meningkatkan kecepatan

membacanya. Metode ini utnuk meningkatkan kecepatan membaca,

54
selain cara dan dalam waktu yang relative singkat, seseorang akan

mampu meningkatkan kecepatan membacanya. (Nurhadi, 1987:54-55)

7. Mengukur Kecepatan Membaca

Para ahli mengemukakan berbagai macam yang dapat digunakan untuk

mengukur kecepatan membaca, oleh sebab itu kemampuan seseorang dalam

membaca disebut kecepatan dalam membaca dan pemahaman bacaan apa yang

dibacanya. Nurhadi (1987 : 41) menyatakan, bahwa cara mengukur kecepatan

membaca adalah sebagai berikut:

a. Tandailah di mana anda mulai membaca (lebih mudah kalau dimulai dari

judul)

b. Bacalah teks tersebut dengan kecepatan yang menurut anda memadai

c. Tandailah akhir anda membaca (kalimat akhir, bila bacaan itu pendek).

Usahakan mencari bacaan yang berisi sekitar 1000-1500 kata saja.

d. Catat waktu mulai anda membaca (jam,….,menit……,detik……)

e. Catat waktu berakhirnya membaca (jam, ….,menit,….detik,……)

f. Hitung berapa waktu yang anda perlukan dalam detik

g. Hitung jumlah kata dalam teks yang dibaca (ingat, tanda-tanda baca ikut

dihitung).

h. Kalikan jumlah kata dengan bilangan 60 (1 menit = 60 detik) hasil perkalian

ini disebut jumlah total.

i. Bagi hasil perkalian tersebut dengan jumlah waktu yang anda perlukan untuk

membaca tadi, maka hasilnya adalah “jumlah kata per menit”.

55
Proses tersebut, apabila digambarkan adalah sebagai berikut:

I. Saat mulai membaca : jam …., menit….detik…..

Saat akhir membaca : jam …., menit…detik …..

Waktu yang diperlukan : …………………….. detik

II. Jumlah kata x 60 detik = jumlah total kata

III. Jumlah total kata = waktu yang diperlukan

Jumlah kata per menit

Contoh :

I. Saat mulai membaca : jam 08 : 15 : 00

Saat akhir membaca : jam 08 : 17 : 30

Waktu yang diperlukan : 150 detik

II. Jumlah kata 400 x 60 detik = 144.000

III. Jumlah total kata 144.000 : 150 detik = 960 kata

Siswa Sekolah Dasar (SD) atau siswa setingkat Sekolah Lanjutan Pertama

(SLTP) kecepatan membaca sekitar 200 kata per menit. Siswa Sekolah Lanjutan Atas

(SLTA), kecepatan membaca dianggap memadai bila mampu membaca sekitar 250

kata per menit. Untuk mahasiswa sekitar 325 kata per menit, sedangkan mahasiswa

Pasca Sarjana dan Program Doktor sekitar 400 kata per menit. Bagi orang dewasa

56
kecepatan itu bisa turun lagi, dan dianggap memadai pada kecepatan 200 kata per

menit. Kecepatan membaca harus diikuti oleh tingkat pemahaman terhadap bacaan

minimal 50% atau (40% - 60%).

Tampubolon (1986 : 11) menyatakan, cara mengukur kecepatan membaca

adalah sebagai berikut:

Jarak kata yang dapat dibaca x persentase pemahaman isi bacaan

1 menit

Misalnya, jika yang dibaca per menit 200 kata, dan jawaban yang benar atas

pertanyaan isi bacaan 60, maka kemampuann membacanya adalah :

200
x 60 %=120 kpm
1menit

8. Pemahaman Bacaan

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:74) terdapat bahwa

“Pemahaman adalah proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan”.

Sedangkan Tampubolon (1990:241) menyatakan, “Kemampuan membaca adalah

kecepatan membaca dan pemahaman isi”.

Harjasujana (1996:68) menyatakan, “Kecepatan efektif membaca merupakan

perpaduan antara kecepatan membaca dengan kemampuan memahami isi bacaan”.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pemahaman isi bacaan

merupakan cermin dan kemampuan kognisi, yakni kemampuan berpikir dan bernalar

dalam mencerna masukan grafis yang diterima lewat indera mata.

57
Harjasujana dan Mulyati (1996/1997 : 72-73 menyatakan : bahwa disertai

prestasi pemahaman minimal 70% rincian rata-rata kecepatan yang disesuaikan

dengan keperluan membaca adalah sebagai berikut:

1. Kecepatan rata-rata 1000 kpm atau lebih biasa digunakan pada membaca

skimming ataupun scanning (untuk mengenal bacaan, menjawab pertanyaan

tertentu, mengetahui struktur organisasi bacaan, mencari gagasan pokok).

2. Kecepatan rata-rata 500-800 kpm (tinggi) dan (digunakan untuk membaca

bacaan ringan)

3. Kecepatan rata-rata 350-500 kpm (cepat) digunakan untuk membaca bacaan

mudah yang bersifat deskriptif informatif dan fiksi yang agak sukar

menikmati keindahan.

4. Kecepatan rata-rata 250-350 kpm (rata-rata) digunakan untuk membaca fiksi

yang kompleks atau nonfiksi yang agak sulit untuk mendapatkan detail

informasi, mencari hubungan atau mengevaluasi ide penulis.

5. Kecepatan rata-rata 100-125 kpm (lambat) digunakan untuk mempelajari

bacaan yang sukar, bacaan ilmiah, analisis nilai sastra klasik, memecahkan

persoalan yang diunjuk bacaan yang bersifat instruksional.

4. Keterampilan Menulis

Menulis sebagai salah satu dari keterampilan berbahasa telah tumbuh sejak

manusia merasa perlu merekam hal-hal penting, baik yang sudah dibicarakan

maupun yang akan dibicarakan. Manusia mulai merekam dengan menggunakan

tulisan berupa lambang-lambang alam sekitar atau lambang binatang, kemudian

58
berkembang secara sempurna menjadi huruf-huruf atau fonem-fonem, maka lahirlah

tulisan-tulisan yang semula hanya sederhana, baru berupa sebuah kesatuan makna

yang utuh yang dapat dimengerti oleh kelompok tertentu. Dengan demikian, menulis

mempunyai peranan tertentu yang amat penting bagi manusia. Salah satunya adalah

dengan menulis seseorang dapat mengungkapkan gagasan dan pikiran untuk

mencapai maksud dan tujuannya.

a. Pengertian Menulis

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menulis adalah “Membuat goresan

pada benda lain dengan bentuk yang dibaca, membuat huruf dan angka yang disusun

menurut aturan tertentu, sehingga mengandung maksud seperti yang diinginkan

penulis”. Sejalan dengan pendapat ini, Semi (1996:8) mengemukakan: “menulis atau

mengarang pada hakekatnya merupakan pemindahan pemikiran atau perasaan ke

dalam lambang-lambang bahasa.”

Menurut Tarigan bahwa: “menulis adalah menurunkan, melukiskan lambang-

lambang dalam grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh

seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik kalau

mereka memahami bahasa grafik.

Kamisa (1997:99) berpendapat bahwa: “menulis adalah sama dengan

mengarang”. Sementara itu, Widyamartya (1989:9) mengatakan: “Mengarang adalah

suatu proses kegiatan berpikir manusia yang hendak mengungkapkan kandungan

jiwanya kepada orang lain, atau kepada diri sendiri dalam tulisan.

59
Saudi Takala Ahmad (1987:71) mengatakan: “Mengarang adalah suatu

proses menyusun, mencatat, dan mengkomunikasikan makna dalam tataran ganda

bersifat interaktif dan diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu dengan

menggunakan sistem tanda konvensional yang dapat diteliti.

Menulis tidak saja terbatas pada proses mengkomunikasikan ide tertentu saja,

tetapi lebih dari pada itu, menulis adalah suatu proses menyusun, mencatat dan

melibatkan serta tekniknya untuk menghasilkan tulisan sehingga ide-ide dapat

disalurkan dengan baik.

Suparno mengatakan menulis merupakan kegiatan penyampaianpesan (ide,

gagasan, perasaan, atau informasi) secara tertulis kepada pihak lain (pembaca). Pesan

adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Tulisan merupakan

simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati pemakainya.Yus

Rusyana dalam Sabarti mendefinisikan menulis sebagai kegiatan atau suatu

keterampilan menggunakan pola-pola bahasa dalam menyampaikan suatu gagasan

atau pesan dalam bentuk rangkaian lambang-lambang aksara. Sama halnya dengan

apa yang dikemukakan Tarigan bahwa menulis merupakan suatu proses dalam

memerankan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu

bahasa yang dapat dipahami orang lain.

The Liang Gie mengatakan bahwa mengarang adalah keseluruhan rangkaian

kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa

tulis kepada pembaca untuk dipahami. Menulis merupakan proses mengungkapkan

ide, pikiran, dan gagasan dalam bentuk sistem aksara suatu bahasa. Menulis

60
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk menghasilkan sebuah

tulisan.

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kata menulis berasal

dari kata tulis. Tulis adalah ada huruf (angka dan sebagainya) yang dibuat (digurat

dan sebagainya) dengan pena (pensil, cat, dan sebagainya). Menulis adalah membuat

huruf, angka , dan sebagainya dengan pena, pensil, cat, dan sebagainya melahirkan

pikiran atau perasaan seperti mengarang, membuat surat, dan sebagainya dengan tu-

lisan. Selanjutnya menulis adalah menuangkan gagasan, pendapat, perasaan,

keinginan, dan kemauan, serta informasi ke dalam tulisan dan kemudian

“mengirimkannya” kepada orang lain (Syafi’ie,1998:45).

Selain itu, menulis juga merupakan suatu aktivitas komunikasi yang

menggunakan bahasa sebagai medianya. Wujudnya berupa tulisan yang terdiri atas

rangkaian huruf yang bermakna dengan semua kelengkapannya, seperti ejaan dan

tanda baca. Menulis juga suatu proses penyampaian gagasan, pesan, sikap, dan

pendapat kepada pembaca dengan simbol-simbol atau lambang bahasa yang dapat

dilihat dan disepakati bersama oleh penulis dan pembaca.

Menurut Akhadiah dkk (1998:1.3) menulis adalah suatu aktivitas bahasa yang

menggunakan tulisan sebagai mediumnya. Tulisan itu sendiri atas rangkaian huruf

yang bermakna dengan segala kelengkapan lambang tulisan seperti ejaan dan

pungtuasi. Sebagai salah satu bentuk komunikasi verbal (bahasa), menulis juga dapat

didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan dengan menggunakan

tulisan sebagai mediumnya. Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam

suatu tulisan. Adapun tulisan merupakan sebuah sistem komunikasi antarmanusia

61
yang menggunakan simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati

pemakainya. Di dalam komunikasi tertulis terdapat empat unsur yang terlibat.

Keempat unsur itu adalah (1) penulis sebagai penyampai pesan, (2) pesan atu isi

tulisan, (3) saluran atau medium tulisan, dan (4) pembaca sebagai penerima pesan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, menulis pada hakikatnya adalah suatu

proses berpikir yang teratur, sehingga apa yang ditulis mudah dipahami pembaca.

Sebuah tulisan dikatakan baik apabila memiliki ciri-ciri, antara lain bermakna, jelas,

bulat dan utuh, ekonomis, dan meme-nuhi kaidah gramatika.Menulis berarti

menyampaikan pikiran, perasaan, atau pertimbangan melalui tulisan. Alatnya adalah

bahasa yang terdiri atas kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Pikiran

yang disampaikan kepada orang lain harus dinyatakan dengan kata yang mendukung

makna secara tepat dan sesuai dengan apa yang ingin dinyatakan. Kata-kata itu harus

disusun secara teratur dalam klausa dan kalimat agar orang dapat menangkap apa

yang ingin disampaikan itu. Makin teratur bahasa yang digunakan, makin mudah

orang menangkap pikiran yang disalurkan melalui bahasa itu. Oleh karena itu,

keterampilan menulis di sekolah sangatlah penting.

b. Pembelajaran Menulis

Mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki

kemampuan sebagai berikut : (1)Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai

dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) Menghargai dan

bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Negara;

(3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif

untuk berbagai tujuan; (4)Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan

62
kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan social; (5) Menikmati dan

memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti,

serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (6) Menghargai dan

membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia

Indonesia.

Ada beberapa persyaratan yang sebaiknya dimiliki seorang siswa untuk

meng-hasilkan tulisan yang baik. Syafi’ie (1988:45) mengemukakan bahwa syarat-

syarat tersebut adalah (1) kemampuan untuk menemukan masalah yang akan ditulis,

(2) kepekaan terhadap kondisi pembaca, (3) kemampuan menyusun rencana

penulisan, (4) kemampuan menggunakan bahasa, (5) kemampuan memulai tulisan,

dan (6) kemampuan memeriksa tulisan.

Kemampuan menulis adalah kemampuan seseorang untuk menuangkan buah

pikiran, ide, gagasan, dengan mempergunakan rangkaian bahasa tulis yang baik dan

benar. Kemampuan menulis seseorang akan menjadi baik apabila dia juga memiliki:

(a) kemampuan untuk menemukan masalah yang akan ditulis, (b) kepekaan terhadap

kondisi pembaca, (c) kemampuan menyusun perencanaan penelitian, (d) kemampuan

menggunakan bahasa indonesia, (e) kemampuan memuali menulis, dan (f)

kemampuan memeriksa karangan sendiri. Kemampuan tersebut akan berkembang

apabila ditunjang dengan kegaiatan membaca dan kekayaan kosakata yang

dimilikinya.

Suatu tulisan pada dasarnya terdiri atas dua hal. Pertama, isi suatu tulisan

menyampaikan sesuatu yang inggin diungkapkan penulisnya. Kedua bentuk yang

merupakan unsur mekanik karangan seperti ejaan, pungtuasi, kata, kalimat, dan

63
alinea Akhadiah, (1997:13). Sementara itu, WJS Poerwodarminto (1987:105) secara

leksikal mengartikan bahwa menulis adalah melahirkan pikiran atau ide. Setiap

tulisan harus mengandung makna sesuai dengan pikiran, perasaan, ide, dan emosi

penulis yang disampaikan kepada pembaca untuk dipahami tepat seperti yang

dimaksud penulis.

Pendapat lainnya menyatakan bahwa menulis adalah keseluruhan rangkaian

kegiatan seseorang dalam mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui

bahasa tulis kepada pembaca seperti yang dimaksud oleh pengarang. Agar

komunikasi lewat lambang tulis dapat tercapai seperti yang diharapkan, penulis

hendaklah menuangkan ide atau gagasannya kedalam bahasa yang tepat, teratur, dan

lengkap. Dengan demikian, bahasa yang dipergunakan dalam menulis dapat

menggambarkan suasana hati atai pikiran penulis. Sehingga dengan bahsa tulis

seseorang akan dapat menuangkan isi hati dan pikiran.

c. Menulis sebagai Suatu Proses

Pembelajaran menulis sebagai suatu proses di sekolah dasar mengisyaratkan

kepada guru untuk memberikan bimbingan nyata dan terarah yang dapat

meningkatkan kemampuan menulis siswa. Hal ini dilakukan guru melalui tahap-

tahap proses menulis, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan (pramenulis,

menulis, pasca-menulis), dan evaluasi.

Kegiatan menulis merupakan keterampilan mekanis yang dapat dipahami dan

dipelajari. Menulis sebagai suatu proses terdiri atas beberapa tahapan. Tompkins

(1994) dan Ellis dkk. (1989) menguraikan lima tahapan menulis, yaitu: pramenulis,

pengedrafan, perbaikan, penyuntingan, dan publikasi.

64
Pada pramenulis, siswa diberi kesempatan menentukan apa yang akan

ditulis, tujuan menulis, dan kerangka tulisan. Setelah siswa menentukan apa yang

akan ditulis dan sistematika tulisan, siswa mengumpulkan bahan-bahan tulisan

dengan menggunakan buku-buku dan sumber lainnya untuk memudahkan dalam

penulisan.

Pada pengedrafan, siswa dibimbing menuangkan gagasan, pikiran, dan

perasaannya dalam bentuk draf kasar. Pada tahap perbaikan, siswa merevisi draf

yang telah disusun. Siswa dapat meminta bantuan guru maupun teman sekelas untuk

membantu dan mempertimbangkan gagasan yang dikemukakan. Pada tahap

penyuntingan, siswa dilatih untuk memperbaiki aspek mekanik (ejaan, tanda baca,

pilihan kata, dan struktur kalimat) yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan. Hal ini

dilakukan untuk memperbaiki karangan sendiri maupun teman sekelas. Pada tahap

publikasi, siswa menyampaikan tulisan kepada teman sekelas untuk meminta

masukan dari guru dan teman sekelas agar mereka dapat berbagi informasi sehingga

tulisan menjadi sempurna.

Siswa menjadi partisipan aktif dalam seluruh tahapan menulis proses:

pramenulis, pengedrafan, perbaikan, dan penyuntingan sehingga siswa memahami

betul apa yang ditulisnya. Ketika menentukan topik yang akan ditulis, di benak siswa

tergambar sejumlah informasi yang akan ditulis. Informasi yang tersimpan di benak

siswa dituangkan dalam sebuah tulisan dengan bantuan guru dan teman sekelas.

Ketika menulis, siswa bebas mengungkapkan gagasan dengan cara menghubungkan

kalimat secara utuh dan padu membentuk sebuah paragraf serta menuangkannya

pada tulisan. Siswa menggunakan bahan-bahan pustaka untuk mendukung tulisannya

65
dan berdiskusi dengan guru dan teman sekelas apabila ada bahan tulisan yang kurang

jelas.

d. Tujuan dan Manfaat Menulis

Kegiatan menulis dilakukan dengan berbagai tujuan. Menulis mempunyai

empat tujuan, yaitu untuk mengekpresikan diri, memberikan informasi kepada

pembaca, mempersuasi pembaca, dan untuk menghasilkan karya tulis.

Jenis tulisan menurut tujuan menulis adalah sebagai berikut :

1) Narasi yakni karangan/tulisan ekspositoris maupun imajinatif yang secara spesifik

menyampaikan informasi tertentu berupa perbuatan/tindakan yang terjadi dalam

suatu rangkaian waktu.

2) Deskripsi yakni karangan/tulisan yang secara spesifik menyampaikan informasi

tentang situasi dan kondisi suatu lingkungan (kebendaan ataupun kemanusiaan).

Penyampaiannya dilakukan secara objektif, apa adanya, dan terperinci.

3) Ekposisi yakni karangan/tulisan yang secara spesifik menyampaikan informasi

tentang sesuatu hal (faktual maupun konseptual). Penyampaiannya dilakukan de-

ngan tujuan menjelaskan, menerangkan, dan menguraikan sesuatu hal sehingga

pengetahuan pendengar/pembaca menjadi bertambah.

4) Argumentatif, yakni karangan/tulisan yang secara spesifik menyampaikan

informasi tentang sesuatu hal (faktual maupun konseptual). Penyampaiannya

dilakukan dengan tujuan mempengaruhi, memperjelas, dan meyakinkan.

66
5) Persuasif, karangan/tulisan yang secara spesifik menyampaikan informasi tentang

sesuatu hal (faktual maupun konseptual). Penyampaiannya dilakukan dengan

tujuan mempengaruhi, meyakinkan, dan mengajak.

Graves dalam Akhadiah dkk. (1998:14) mengemukakan manfaat menulis

sebagai : (1) menulis mengasah kecerdasan, (2) menulis mengembangkan daya

inisiatif dan kreativitas, (3) menulis menumbuhkan keberanian, dan (4) menulis

mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi.

1) Menulis Mengasah Kecerdasan

Menulis adalah suatu aktivitas yang kompleks. Kompleksitas menulis terletak

pada tuntutan kemampuan mengharmonikan berbagai aspek. Aspek-aspek itu meli-

puti (1) pengetahuan tentang topik yang akan dituliskan, (2) penuangan pengetahuan

itu ke dalam racikan bahasa yang jernih, yang disesuaikan dengan corak wacana dan

kemampuan pembacanya, dan (3) penyajiannya selaras dengan konvensi atau aturan

penulisan. Untuk sampai pada kesanggupan seperti itu, seseorang perlu memiliki

kekayaan dan keluwesan pengungkapan, kemampuan mengendalikan emosi, serat

menata dan mengembangkan daya nalarnya dalam berbagai level berfikir, dari

tingkat mengingat sampai evaluasi.

2) Menulis Mengembangkan Daya Inisiatif dan Kreativitas

Dalam menulis, seseorang mesti menyiapkan dan mensuplai sendiri segala

sesuatunya. Segala sesuatu itu adalah (1) unsur mekanik tulisan yang benar seperti

pungtuasi, ejaan, diksi, pengalimatan, dan pewacanaan, (2) bahasa topik,dan (3)

pertanyaan dan jawaban yang harus diajukan dan dipuaskannya sendiri. Agar

67
hasilnya enak dibaca, maka apa yang dituliskan harus ditata dengan runtut, jelas dan

menarik.

3) Menulis Menumbuhkan Keberanian

Ketika menulis, seorang penulis harus berani menampilkan kediriannya,

termasuk pemikiran, perasaan, dan gayanya, serta menawarkannya kepada publik.

Konsekuensinya, dia harus siap dan mau melihat dengan jernih penilaian dan

tanggapan apa pun dari pembacanya, baik yang bersifat positif ataupun negatif.

4) Menulis Mendorong Kemauan dan Kemampuan Mengumpulkan Informasi

Seseorang menulis karena mempunyai ide, gagasan, pendapat, atau sesuatu

hal yang menurutnya perlu disampaikan dan diketahui orang lain. Tetapi, apa yang

disampaikannya itu tidak selalu dimilikinya saat itu. Padahal, tak akan dapat

menyampaikan banyak hal dengan memuaskan tanpa memiliki wawasan atau

pengetahuan yang memadai tentang apa yang akan dituliskannya. Kecuali, kalau

memang apa yang disampaikannya hanya sekedarnya.

Kondisi ini akan memacu seseorang untuk mencari, mengumpulkan, dan

menyerap informasi yang diperlukannya. Untuk keperluan itu, ia mungkin akan

membaca, menyimak, mengamati, berdiskusi, berwawancara. Bagi penulis,

pemerolehan informasi itu dimaksudkan agar dapat memahami dan mengingatnya

dengan baik, serta menggunakannya kembali untuk keperluannya dalam menulis.

Implikasinya, dia akan berusaha untuk menjaga sumber informasi itu serta

memelihara dan mengorganisasikannya sebaik mungkin. Upaya ini dilakukan agar

ketika diperlukan, informasi itu dapat dengan mudah ditemukan dan dimanfaatkan.

Motif dan perilaku seperti ini akan mempengaruhi minat dan kesungguhan dalam

mengumpulkan informasi serta strategi yang ditempuhnya.

68
Menulis banyak memberikan manfaat, di antaranya (1) wawasan tentang

topik akan bertambah, karena dalam menulis berusaha mencari sumber tentang topik

yang akan ditulis, (2) berusaha belajar, berpikir, dan bernalar tentang sesuatu

misalnya menjaring informasi, menghubung-hubungkan, dan menarik simpulan, (3)

dapat menyusun gagasan secara tertib dan sistematis, (4) akan berusaha menuangkan

gagasan ke atas kertas walaupun gagasan yang tertulis me-mungkinkan untuk

direvisi, (5) menulis memaksa untuk belajar secara aktif, dan (6) menulis yang

terencana akan membisakan berfikir secara tertib dan sistematis.

Menulis tidak saja terbatas pada proses mengkomunikasikan ide

tertentu saja, tetapi lebih dari pada itu, menulis adalah suatu proses

menyusun, mencatat dan melibatkan serta tekniknya untuk menghasilkan

tulisan sehingga ide-ide dapat disalurkan dengan baik.

69
BAB IV

PILIHAN KATA DAN DEFINISI

A. Pilihan Kata
Setiap bahasa untuk semua konsep dinyatakan dengan kata. Kita dapat

menguasai bahasa hanya jika menguasai sejumlah kata. Meskipun demikian

menguasai kata-kata saja belum berarti menguasai bahasa. Dalam pemakaiannya

kata-kata itu dirangkaikan menjadi kelompok kata, klausa, dan kalimat. Dalam hal

ini ada beberapa kaidah sehubungan dengan pembentukan kalimat bahasa Indonesia.

Pilihan kata atau diksi pada dasarnya adalah hasil dari upaya memilih kata

tertentu untuk dipakai dalam kalimat, alinea, atau wacana. Pemilihan kata akan dapat

dilakukan bila tersedia sejumlah kata yang artinya hampir sama atau bermiripan.

Ketersediaan kata akan ada apabila seseorang mempunyai perbendaharaan kata yang

memadai, seakan-akan ia memiliki senarai (daftar kata). Dari senarai kata itu dipilih

satu kata yang paling tepat untuk mengungkapkan suatu pengertian. Tanpa

menguasai kata yang cukup banyak, seseorang tidak mungkin dapat melakukan

pemilihan kata.

Kata merupakan salah satu unsur dasar bahasa yang sangat penting. Dengan

kata-kata kita berpikir, menyatakan perasaan, serta gagasan. Dengan kata-kata orang

menjalin persahabatan, dua bangsa melakukan perjanjian perdamaian dan kerja sama.

Tetapi sebaliknya, dengan kata-kata pula mungkin suatu pertengkaran bahkan

peperangan dimulai.

70
Memilih kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan, terutama melalui

tulisan merupakan suatu pekerjaan yang cukup sulit. Pemilihan kata bukanlah

sekadar kegiatan memilih kata yang tepat, melainkan juga memilih kata yang cocok.

Cocok dalam hal ini berarti sesuai dengan konteks di mana kata itu berada, dan

maknanya tidak bertentangan dengan nilai rasa masyarakat pemakainya. Untuk itu,

dalam memilih kata diperlukan analisis dan pertimbangan tertentu. Sebagai contoh

Suatu karangan merupakan media komunikasi antara penulis dan pembaca.

Akan tetapi, komunikasi tersebut hanya akan berlangsung dengan baik selama

pembaca mengartikan kata dan rangkaian kata-kata sesuai dengan maksud penulis.

Jika pembaca mempunyai perbedaan dengan tafsiran penulis tentang kata atau

rangkaian kata-kata yang dipakai maka komunikasi itu akan terputus. Terjadilah

salah faham, kesenjangan komunikasi, dan sebagainya yang mungkin juga pernah

kita alami. Oleh sebab itu kita perlu berhati-hati dalam memilih kata-kata yang akan

digunakan di dalam tulisan.

Dalam memilih kata ada dua persyaratan pokok yang harus diperhatikan, yaitu

ketepatan dan kesesuaian. Persyaratan ketepatan menyangkut makna, aspek logika

kata-kata; kata-kata yang dipilih harus secara tepat mengungkapkan apa yang ingin

diungkapkan. Dengan demikian, maka pendengar atau pembaca juga menafsirkan

kata-kata tersebut tepat seperti maksud kita. Selanjutnya persyaratan kesesuaian

menyangkut kecocokan antara kata-kata yang dipakai dengan kesempatan/situasi dan

keadaan pembaca. Jadi, menyangkut aspek sosial kata-kata.

71
1. Kata sebagai Lambang

Kata merupakan lambang objek, makna, atau konsep. Sebuah kata

mengandung makna yang bersifat umum. Oleh sebab untuk memahami

hubungan antara kata sebagai lambang dengan makna yang menandai

lambang tersebut harus memahami istilah (1) yang diartikan, (2) yang

mengartikan. Contoh, kata kursi yang dieja <kursi>. Tanda ini terdiri dari

unsur makna atau yang diartikan ‘kursi’ dan unsur bunyi atau yang

mengartikan dalam wujud runtunan fonem [ k, u, r, s, i]. Lalu tanda atau

lambang <kursi> ini yang dalam hal ini terdiri dari unsur makna dan unsur

bunyinya mengacu pada suatu referen yang berada di luar bahasa, yaitu

kursi sebagai salah satu perabotrumah tangga. Makna kursi dan bangku

adalah berbeda karena benda atau pun lambangnya sudah berbeda. Oleh

sebab itu dalam memilih kata sebagai lambang perlu ketepatan dan

pemahaman.

Perlu diingatkan bahwa referensi pada setiap individu mungkin

berbeda dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Sehubungan

dengan hal itu maka kita harus menggunakan kata-kata secara tepat

sehingga tidak ditafsirkan dengan makna individual pembaca atau

pendengar. Dalam hal ini berlaku kaidah maknayang mengacu kepada

ketepatan pemakaian kata sebagai lambang objek atau konsep.

2. Sinonim, Homofonim, Homograf


Jika di dalam bahasa setiap kata hanya melambangkantepat satu objek

atau konsep, akan berkuranglah kesulitan komunikasi antara anggota suatu

72
masyarakat. Kenyataannya tidak demikian. Hubungan antara kata dengan

maknanya sering menjadi rumit.

Ada beberapa kata yang mempunyai makna yang sama atau mirip,
seperti kata-kata:
1. Muka, paras, wajah, tampang;

2. Hasil, produksi, prestasi, keluaran;

3. Rancangan, rencana, desain;

4. Urutan, peringkat;

5. Musykil, sulit, rumit, sukar;

Ada pula kata-kata yang mempunyai beberapa makna yang

berdekatan atau erat hubungannya, misalnya kata-kata seperti:

1) Coklat

2) Canggih

3) Susah

4) Laju

5) Asam

Di samping itu masih ada lagi kelompok kata-kata yang sama bunyi

atau tulisannya (homofoni=sama bunyi; homograf = sama tulisan) yang

mempunyai arti yang sama sekali tidak berhubungan.

Contoh: Homograf
1) teras = inti (e diucapkan seperti dalam kata “beras”) dan teras

= bagian bangunan (e diucapkan seperti dalam kata “elok”)

2) sedan = tangis dan

sedan = mobil

73
Homofoni

1) buku (kitab) dan buku (bagian di antara 2 ruas)

2) tampang (muka)dantampang (bibit)

3) salam (nama pohon, daunnya untuk bumbu) dan salam

(damai, kependekan dari assalamu’alaikum pernyataan

hormat, tabik dan sebagainya)

4) rapat (pertemuan) dan rapat (tidak ada/pendek jaraknya)

Dalam menginterpretasikan makna yang bersinonim lebih sulit karena

kata-kata yang bersinonim itu kerap kali tidak dapat saling menggantikan.

Kata indah bersinonim dengan cantik, bagus, dan elok. Namun demikian,

kita tidak dapat menggantikan kata gadis cantik dengan gadis indah, atau

jaksa agung dengan jaksa raya atau jaksa tinggi. Jadi, kata-kata yang

bersinonim tidak dapat dipertukarkan begitu saja karena penggunaannya

dalam kalimat tetap harus dibedakan.

- terminal, halte, perhentian, stasiun, pengkalan;


- strategi, teknik, taktik;
- kecil, mikro, minor
Berbeda dengan kata biasa ialah istilah. Jika makna biasa masih penuh

dengan segala kemungkinan maka makna istilah sudah pasti. Istilah lazim

digunakan secara khusus dalam bidang ilmu atau bidang kegiatan tertentu.

Maknanya dapat dipahami dengan tepat. Untuk mengetahui makna kata, kita

dapat menggunakan kamus. Kata istilah dalam bidang-bidang ilmu

tertentudapat dilihat dalam kamus istilah, misalnya kamus istilah pertanian,

kamus istilah statistika, dan kamus istilah linguistik. Di samping kamus

74
istilah masih banyak lagi jenis kamus lain, di antaranya kamus sinonimdan

kamus dwibahasa, misalnya kamus Inggris-Indonesia.

Selain dalam kamus, makna kata dapat pula dicari dalam ensiklopedia,

yaitu himpunan pengetahuan yang disusun secara sistematis/alfabetis. Di

dalam bahasa Indonesia ada Ensiklopedia Indonesia dan di dalam bahasa

Inggris di antaranya ada ensyclopaedia Britama, Encycloaedia of Social

Sciences, Encylopaedia Americana dan World Book Encylpaedia.

3. Denotasi dan Konotasi


Suatu kata kerap kali tidak hanya mendukung satu konsep atau objek

(referen) saja, melainkan juga menimbulkan asosiasi dengan sesuatu. Kita

perhatikan kalimat-kalimat berikut:

dia bekerja sebagai pelayan toko

dia bekerjasebagai pramuniaga.

Baik kata pelayan toko atau pramuniaga menunjuk kepada seseorang

yang bekerja untuk suatu toko (termasuk “toko keliling”). Tetapi di dalam

pemakaian tokonya kata pramuniaga mengandung nilai lebih terhormat

daripada pelayan toko. Demikian pula kata wafat dan mati. Kedua kata itu

mengandung makna hilangnya kehidupan dari suatu organisme. Tetapi

dalam kenyataannya kita tidak dapat mengganti gajah mati menjadi gajah

wafat atau gajah gugur.

Konsep dasar yang didukung oleh suatu kata (makna konseptual,

referen) disebut denotasi; sedangkan nilai rasa, atau gambaran tambahan

yang ada di samping denotasi tersebut disebut konotasi atau nilai kata. Nilai

75
kata yang diberikan oleh masyarakat bermacam-macam: tinggi, baik,

sopaan, lucu, biasa, rendah, kotor, porno, sakral. Nilai suatu kata ditentukan

oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Nilai itu mungkin

bersifat positif (tinggi menyenangkan, baik, sopan, sakral) atau negatif

(rendah, menjengkelkan, kotor, porno). kata-kata seperti karyawan, karya,

dan wisma dinilai tinggi sedangkan kata-kata seperti buruh, mampus,

tampang, dan gubuk dihubungkan dengan sesuatu yang tidak

menyenangkan, tidak baik, atau sederhana.

Nilai kata dapat juga bersifat perseorangan. Kata surat yang bagi

kebanyakan orang tidak bernilai apa-apa (denotatif) bagi seseorang mungkin

mengandung nilai negatif. Hal ini terjadi sesuai dengan pengalaman

pribadinya.

Dalam penulisan, yang perlu diperhatikan adalah konotasi sosial. Agar

dapat menyatakan gagasannya dengan tepat, seorang penulis harus dapat

memilih kata dengan konotasi tepat.

Perlu ditekankan di sini bahwa istilah ilmu tidak terikat nilai (bebas

nilai). Tak ada emosi atau perasaan yang timbul bila kita membaca kata-kata

seperti fonem, moneter, fotosintesis, fisik, nuklir, saprofit, H2O, sinar-X,

hipotesis, dan sebagainya dalam makalah ilmiah.

Makna mana yang dipilih dalam tulisan? ini tergantung kepada tujuan

dan sifat tulisan itu. Jika yang mau dipaparkan ialah suatu bahasan ilmiah

mengenai suatu masalah, maka di dalam karangan terutama akan digunakan

kata-kata dengan makna denotatif. Tetapi, di dalam senjak atau iklan

misalnya akan lebih banya digunakan kata dengan makna konotatif.

76
4. Kata Abstrak dan Kata Konkret

Kata abstrak adalah kata yang mempunyai referen berupa konsep,

sedangkan kata konkret adalah kata yang mempunyai referen berupa obyek

yang dapat diamati. Kata abstrak lebih sulit dipahami daripada kata konkret.

Kata-kata mana yang dipakai dalam tulisan? Hal ini bergantung kepada

jenis dan tujuan penulisan. Jika yang akan dideskripsikan ialah suatu fakta,

tentu saja harus lebih banyak digunakan kata-kata konkret. Tetapi jika yang

dikemukakan ialah klasifikasi atau generalisasi, maka yang banyak

digunakan ialah kata-kata abstrak. Kerap kali suatu uraian dimulai dengan

kata yang abstrak (konsep tertentu) kemudian dilanjutkan dengan penjelasan

yang menggunakan kata-kata konkret.

Contoh: Keadaan kesehatan anak-anak di desa sangat buruk. Banyak yang

menderita malaria, radang paru-paru. cacingan, dan kekurangan gizi.

5. Kata Umum dan Kata Khusus


Kata umum dibedakan dari kata khusus berdasarkan ruang lingkupnya.

makin luas ruang lingkup suatu kata, makin umum sifatnya. Sebaliknya,

makin sempit ruang lingkupnya makin khusus sifatnya.

Kata-kata abstrak biasanya merupakan kata umum; tetapi kata umum

tidak selalu abstrak. Kata konkret lebih khusus daripada kata abstrak.

Tingkat keumuman kata itu dapat digambarkan sebagai suatu piramida

terbalik.

77
abstrak/umum/
keadaan
luas/kurang jelas
kesehatan
penyakit
penyakit darah
leukimia
le
le
le

konkret/khusus/sempit/jelas

Makin umum suatu kata makin banyak kemungkinan salah paham atau

perbedaan tafsiran. Sebaliknya, makin khusus, makin sempit ruang lingkupnya,

makin sedikit kemungkinan terjadi salah paham. Dengan kata lain, makin

khusus kata yang di pakai, makin dekat penulis kepada ketepatan pilihan

katanya. Namun demikian, suatu kata khusus/konkret masih juga menimbulkan

gambaran yang berbeda-beda pada beberapa individu, yaitu sesuai dengan

pengalaman atau pengetahuan masing-masing mengenai kata tersebut.

Keumuman/kekhususan kata dapat pula ditinjau dari kemungkinan

hubungannya dengan kata-kata lain. Ada kata-kata yang mempunyai hubungan

luas, ada pula kata-kata yang mempunyai hubungan sempit, terbatas, bahkan

khusus (unik).

78
Perhatikan pasangan kata-kata berikut:

Hubungan Luas Hubungan Khusus/unik

1) besar - mayor, makro

2) kecil - mikro, sipit

3) runcing - mancung

4) bergelombang - keriting, ikal

5) memasak - menanak

6) campuran - ramuan

7) memotong - menebang

8) aturan - hukum

9) membawa - menjinjing

10) jatuh - terungkur

Yang termasuk ke dalam kata khusus ialah :

1) Nama diri : Dadi, Nero, Pusi, Mas Karto, Obet

2) Nama geografi : Aceh, Krakatau, Kali Ciliwung, Pontianak

3) Kata-kata indera :

Untuk mengecap : manis, asam, asin, pahit, pedas

Untuk peraba : halus, kasar, lembut

Untuk pendengaran : detak, debur, debar, dengung, desir, derap, detik,

desas, desus, desah, derak

Untuk penglihatan : silau, kelam, kemilau, remang, kabut, kilat, kelap-

kelip

79
Untuk penciuman : harum, apak, basi, wangi.

Kata-kata indera sering dipergunakan secara menyilang. Kata

manis untuk pengecap digunakan juga untuk penglihatan. Demikian

juga kata asam sering digunakan untuk penciuman. Kata jelas untuk

penglihatan digunakan juga untuk pendengaran.

6. Kata Populer dan Kata Kajian


Kata-kata seperti besar, pindah, kecil, batu, waktu, isi, harga, dan

lain-lain lebih dikenal oleh masyarakat luas daripada kata-kata seperti

andal, acak, transfer, minor, batuan, momentum, faktor, volume,

sangkil, canggih.

Kelompok kata-kata yang pertama termasuk kata-kata populer.

Kata-kata ini dipergunakan pada berbagai kesempatan dalam

komunikasi sehari-hari di kalangan semua lapisan masyarakat. Sebagian

besar kosa kata dalam semua bahasa berupa kata-kata populer.

Kelompok kata yang lain hanya dikenal dan dipergunakan secara

terbatas dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Kata-kata ini adalah

kata-kata yang dipergunakan oleh para ilmuwan atau kelompok profesi

tertentu dalam makalah atau perbincangan khusus. Banyak diantara

kata-kata jenis ini merupakan kata serapan atau kata asing (Latin,

Yunani, Inggris ).

Pembentukan kata-kata kajian dalam bahasa indonesia dewasa ini

dilakukan secara sadar oleh suatu badan/komisi. Dalam hal ini ada

beberapa ketentuan yang harus diikuti sebagai pedoman.

80
Kita bandingkan pasangan kata-kata berikut :

Populer Kajian
1) Batu - batuan
2) Penduduk - populasi
3) Besar - makro
4) Banyak tuntutan/persyaratan - canggih
5) Isi - volume
6) Bisul - abses
7) Bunyi - fonem
8) Hasil - Produk
- Prestasi
- Keluaran
9) Perbedaan - kelainan
10) Cara - metode
11) Sejajar - kesejajaran
12) Bagian - unsure
- Komponen, suku
cadang
13) Tahap - stadium
14) Arang - karbon
15) Berarti - bermakna, signifikan
16) Sah - sahih
17) Dapat dipercaya - terandalkan

7. Jargon, Kata Percakapan, dan Slang


Dalam tulisan yang formal untuk khalayak yang lebih luas lebih

baik dihindari kata-kata yang termasuk “ jargon “ mempunyai beberapa

pengertian, diantaranya kata-kata teknis yang dipergunakan secara

terbatas dalam bidang ilmu, profesi, atau kelompok tertentu. Kata-kata

81
ini kerap kali merupakan kata sandi/kode rahasia untuk kalangan

tertentu (dokter, militer, perkumpulan rahasia).

Dalam percakapan informal,kaum terpelajar biasa menggunakan

kata-kata percakapan. Kelompok kata-kata percakapan. Kelompok kata-

kata ini mencangkup kata-kata populer, kata-kata kajian, dan slang yang

hanya dipakai oleh kaum pelajar.

Contoh :

Sikon (situasi dan kondisi), pro dan kon (pro dan kontra), kep (kapten),

dok (dokter), prik (suntik), dan sebagainya.

Pada waktu tertentu banyak terdengar slang yaitu kata-kata tak

baku yang dibentuk secara khas sebagai cetusan keinginan akan sesuatu

yang baru. Kata-kata ini bersifat sementara : kalau sudah terasa usang,

hilang atau menjadi kata-kata biasa (asoy, mana tahan, bahenol, selangit

dan sebagainya), yang mungkin hanya dikenal di daerah tertentu.

8. Perubahan Makna
Dalam memilih kata-kata, kita harus waspada karena makna kata

itu kerap kali berubah atau bergeser. Perubahan ini dapat meluas atau

menyempit, kadang-kadang berubah sama sekali. Kata ibu dulu hanya

mengandung arti “wanita yang melahirkan”, sekarang menjadi kata

umum untuk wanita yang sudah dewasa. Juga kata bapak, kakak,

belayar, merantau, saudara, kaisar duit dan sebagainya. Sebaliknya, ada

kata-kata yang mengalami penyimpitan arti kata pala (dari bahasa

sansekerta phala)dahulu beraarti buah dalam arti umum atau hasil.

82
Sekarang kata itu berarti semacam buah saja. Contoh lain pendeta (dulu

= orang berilmu) dan sarjana (dulu cendekiawan).

9. Kata Asing dan Kata Serapan


Dalam proses perkembangan bahasa mana pun selalu terjadi

“peminjaman” dan penyerapan unsur-unsur bahasa asing. Hal ini terjadi

akibat adanya hubungan antarbangsa dan kemajuan teknologi,terutama

dibidang transportasi dan komunikasi.

Yang dimaksud dengan kata asing di sini ialah unsur-unsur yang

berasal dari bahasa asing yang masih dipertahankan bentuk aslinya

karena belum menyatu dengan bahasa Indonesia. Contoh, seperti option

dan system. Sedangkan kata-kata atau unsur-unsur serapan adalah

unsur-unsur bahasa asing yang telah disesuaikan dengan wujud/struktur

bahasa Indonesia. Kata-kata semacam ini dalam proses morfologi

diperlakukan sebagai kata asli. Banyak diantara kata-kata serapan ini

yang sudah tidak terasa lagi keasingannya kata-kata seperti pelapor,

dongkrak, sakelar, dan sebagainya adalah contoh-contoh kata semacam

itu.

Bacalah kutipan berikut :


Tetapi moral dari dongeng ini belumlah diceritakan. Moral disini ialah
bahwa pertapa pertama yang pengamat,penemu yang tajam,pertapa
kedua yang penuh pikir. Dan penonton yang menjadi bakim tidaklah
mewakili individu yang berbeda melainkan empat kaidah mental yang
terdapat dalam suatu individu yang terlatih dalam ilmu (W.M.Davis
dalam Junjun S.Suriasumantri, 1981:63).

Kata-kata yang ditulis miring pada kutipan diatas merupakan contoh

unsur serapan. Sebagian sudah tidak terasa keasingannya dan sudah

83
menjadi perbendaharaan kata populer.Unsur-unsur serapan itu lebih-

lebih kata asing harus digunakan secara berhati-hati. Makna dan cara

penulisannya harus dipahami benar. Kita sering mendengar atau

membaca kata-kata semacam itu yang sering digunakan secara tidak

tepat.

Contoh :

Favorit, hobi, praktis, logis, asosiasi, ekonomis.

Tidak tepat : saya hobi membaca novel

Seharusnya : Hobi saya membaca novel.

10. Kata-kata Baru


Bahasa berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu dan bidang

kehidupan lainnya. Demian pula bahasa indonesia. Akhir-akhir ini

banyak sekali kata-kata yang dikemukakan berbagai pihak. Sebagian

diantaranya telah diterima oleh masyarakat.

Contoh :

1) Canggih 6) pemerian 11) bahang

2) rambang, acak 7) atak 12) terandalkan

3) kendala 8) telaah 13) laik,kelaikan

4) lahan 9) pemantauan 14) prakiraan

5) sangkil 10) pendekatan 15) pascabedah

Kita dapat menggunakan kata-kata seperti itu asal kita tau dengan

tepat makna dan pemakaiannya. Jika kata itu sudah dibakukan kita

dapat menggunakannya tanpa tanda khusus : tetai,jika kata itu belum

84
dibakikan atau belum dikenal secara luas kita perlu menggarisbawahi

dan memberikan padanannya dalam bahasa asing atau dalam bahasa

Indonesia.

Contoh :
Berhari-hari ia memikirkan rancang bangun ‘out line’karangannya

11. Makna Kata dalam Kalimat

Setiap kata mempunyai konteks. Artinya kata-kata itu

dipergunakan dalam hubungan yang lebih luas, misalnya dalam

kalimat, paragraf, atau karangan. Dalam bahasa struktur memang kita

kerap kali menjumpai pemakaian kata yang seakan-akan tidak

mempunyai konteks. Misalnya seseorang tiba-tiba menyatakan,

“Hujan”! kata hujan sebenarnya diucapkan dalam suatu konteks yang

tidak dinyatakan karena sudah dipahami. Disini konteksnya adalah

situasi.

Makna kata pada dasarnya bergantung kepada konteks yang

mencangkup baik situasi fisik maupun verbal pada waktu dan tempat

suatu kata digunakan. Karena segala sesuatu selalu berubah dalam

kaitan waktu dan tempat, maka tak ada kata yang diucapkan atau

digunakan dengan makna yang tepat sama.

Konteks fisik suatu kata adalah latar ‘setting’geografis dan sejarah

pada waktu suatu kata dituliskan atau diucapkan (dalam proses

encoding) dan dibaca atau didengar (dalam proses decoding). Kata

gerombolan pada tahun lima puluhan dan enam puluhan selalu

dihubungkan dengan kejahatan (gerombolan bersenjata,pengacau).

85
Nama D.N. Adit bagi bangsa indonesiaakan mengingatkan kita pada

peristiwa G 30 S PKI, sedangkan nama westerling akan mengingatan

kita pada pembunuhan besar-besaran disulawesi dan sekaligus kepada

nama pahlawan Wolter Monginsidi.

Makna kata baru jelas bila dipergunakan dalam kalimat, dalam

konteks verbalnya. Yang dimaksud dengan konteks verbal ialah

hubungan suatu kata dengan kata-kata yang mendahului dan

mengikutinya. Konteks verbal ini kerap kali menolong kita menerka

makna kata yang belum kita kenal dalam suatu kalimat.

Contoh :

Dalam merencanakan suatu pengajaran perlu didentifikasi juga

kendala-kendala yang mungkin dihadapi serta dipikirkan

beberapa cara untuk mengatasinya.

Arti kata-kata yang digarisbawahi itu dengan mudah dapat diterka.

Didalam menulis, kita harus hati-hati memilih kata-kata yang

bersinonim, sebab ada kalanya kata-kata itu mempunyai perbedaan arti

yang besar jika dipergunakan dalam konteks tertentu. Kata-kata itu

harus dipergunakan sesuai dengan kelompoknya dalam kalimat. Hal ini

berhubungan dengan kelaziman yang berlaku didalam pemakaian suatu

bahasa. Kata-kata cepat, laju, lekas, segera dipergunakan dalam

kelompok yang berbeda. Juga kata-kata makro, besar, raya, agung.

Contoh :
1) Mereka pergi ke Surabaya dengan kereta cepat.

86
2) Dengan laju pertambahan penduduk sebesar 2,3% penduduk

Indonesia pada tahun 2000 akan berjumlah 250 juta.

3) Rencana itu perlu segera dilaksanakan.

4) Jangan lekas-lekas mengambil keputusan ;pikirkan baik-baik.

5) Agar efektif, mula-mula mereka menyusun rencana makro.

6) Gedung-gedung besar telah menggantikan hamparan sawah

yang dahulu menghijau disepanjang jalan itu.

7) Hari Raya idul fitri tahun ini jatuh pada hari sabtu.

8) Jaksa agung memerikan penjelasan tentang hasil konvensi

Hukum Laut Internasional.

Selanjutnya suatu kata akan memiliki makna yang berbeda

biladigunakan dalam konteks yang berbeda.

Contoh :

1) Mereka mengikuti perlombaan jalan cepat (menunjukkan

gerak).

2) Kursus cepat lebih disukai orang di daerah itu daripada kursus

jangka panjang (menunjukkan waktu).

3) Ambillah seberapa kamu suka asal jangan merusak pohonnya

(menyuruh,mengizinkan).

4) Ambillah, kalau kamu berani! (tidak mengizinkan ,


mengancam).
5) Ia sudah kembali tadi malam (pulang).

6) Ia terpaksa mengetik naskahnya kembali (mengulang).

87
7) Di akademi itu mereka mempelajari bahasa asing (alat

komunikasi).

8) Budi bahasanya yang halus menarik hati teman-temannya

(tegur sapa, tingkah laku).

9) Ia berusaha membahasakan maksudnya dengan jelas


(mengungkapkan dalam kalimat)

12. Kelangsungan Kata

Dalam menulis harus diusahakan untuk mempergunakan kata-kata yang

langsung dan sehemat mungkin. Misalnya, kita gunakan kata mujarab

untuk pengertian yang cepat menyembuhkan (obat) canggih untuk

menuntut banyak persyaratan, dan sebagainya.

13. Kesesuaian dalam Pemilihan Kata

Kata-kata yang digunakan harus sesuai kesempatan atau situasi yang

akan kita masuki dengan tulisan itu. Maksudnya, dalam kesempatan apa

kita menyampaikan tulisan itu. Apakah kita menulis untuk kesempatan

formal, seperti ceramah ilmiah, atau untuk mengabarkan keadaan kepada

orang tua yang tinggal dikota lain. Di samping itu, kita juga harus

memperhatikan keadaan masyarakat sasaran tulisan: golongan lapisannya

pendidikannya, umurnya, dan sebagainya.kata-kata dalam tulisan yang

ditujukan kepada kelompok tertentu: guru, ilmuan, petani yang sebagian

besar buta huruf, mahasiswa, siswa SD, dan sebagainya. Agar cepat

memenuhi persyaratan kesesuaian dalam memilih kata-kata, perlu

diperhatikan juga hal-hal berikut.

88
14. Nilai-nilai Sosial

Dalam memilih kata-kata yang akan dipergunakan harus diperhatikan

nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat pembaca. Hal ini terutama

berhubungan erat dengan nilai sosial kita. Harus diperhatikan apakah di

kalangan masyarakat sasaran tulisan itu ada kata tabu, atau kata-kata

yang mempunyai konotasi lain yang mungkin akan menyinggung rasa

sopan santun atau kepercayaan mereka.

Kita perhatikan pasangan kata-kata berikut :

(1) Isteri - bini

(2) Wanita - perempuan

(3) Pria - laki-laki

(4) Wafat - mati

(5) Putera - anak

(6) Kehadapan - kepada

(7) Saudara - kamu

Kata-kata itu akan digunakan pada konteks yang berbeda. Meskipun

isteri dan bini memiliki makna denotatif yang sama, dalam pemakaian

kedua kata itu sering kali tidak dapat saling menggantikan.

89
Isteri menteri tidak lazim diganti dengan bini menteri. Tetapi kita

sering menemukan bini Bang Amat diganti isteri Bang Amat.Putera Pak

Gubernur di kalangan tertentu tidak biasa diucapkan anak Pak Gubernur.

Sehubungan dengan nilai sosial kata perlu diperhatikan kata-kata

yang secara umum bernilai biasa/positif, sedangkan di daerah lain

bernilai negatif bahkan merupakan kata baru.

15. Kata-kata Baku dan Non Baku


Ragam bahasa buku (standar) ialah ragam bahasa yang digunakan

kelas terpelajar didalam masyarakat. Kelas ini meliputi pejabat-pejabat

pemerintah guru, dokter, penulis, dan sebagainya.

Ragam bahasa baku dapat dikenali dari kata-kata maupun struktur

kalimat yang digunakan. Kata-kata baku dan nonbaku dapat dikenal

dari pilihan, ejaan atau bentuknya.

Perhatikan pasangan-pasangan berikut:

Baku Nonbaku

(1) Kaidah -Kaidah (ejaan)

(2) Kemana -Kemana (ejaan)

(3) Tidak -Enggak (pilihan)


(4) Berkata - Ngomong (pilihan)
(5) Membuat - Bikin (pilihan)
(6) Mengapa -Kenapa,ngapain
(pilihan)
(7) Beri -kasi (pilihan)
(8) Boleh -Bole (ejaan)
(9) Memikirkan -Mikirin (bentuk)

90
Ragam buku dipergunakan di dalam tulisan-tulisan formal.

Peraturan pemerintah, undang-undang, surat dinas, buku teks, majalah

berkala resmi berbagai makalah ilmiah, dan sebagainya. Ragam inilah

yang harus lebih kita perhatikan, karena ragam tulisan yang kita pelajari

adalah ragam tulisan formal.

16. Sasaran Tulisan


Setiap tulisan ada sasaranya, yaitu kelompok masyarakat kepada

siapa tulisan itu ditujukan. Cerita anak-anak mempunyai sasaran anak-

anak. Karangan ilmiah ditujukan kepada masyarakat ilmiah.

Sasaran tulisan akan menentukan ragam bahasa, kalimat, serta kata-

kata yang digunakan. Tulisan yang sasarannya adalah masayarakat

umum, terutama menggunakan kata-kata popular dan gaya

penyampaian popular pula. Tulisan yang khusus ditujukan kepada

banyak mengandung kata-kata yang banyak digunakan oleh wanita.

Contoh:

1. Masalah adalah pertanyaan yang timbul karena adanya

kesenjangan Antara dan sollen dan das sein

2. Kalau kamu membagikan 30 kelereng kepada 5 orang temanmu,

berapa kelereng didapat oleh setiaap orang?

3. Hari ini kita akan membicarakan cara merawat wajah dengan


obat-obatan tradisional.
4. Kita harus tahu bagaimana menggunakan pupuk buatan ini.
Jangan kebanyakan dan jangan terlalu sering memakainya

91
5. Reaksi tubuh terhadap rangsangan pengaruh luar bagi jenis dan
bangsa ternak berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-
faktor morfologi, anatomi.
Dari topik yang dikemukan serta kata-kata yang digunakan dalam

kalimat tersebut, kita dapat dengan mudah menerka siapa sasaranya.

Sehubungan dengan sasaran tulisan, harus dipergunakan kata-kata serta

gaya bahasa dan bentuk kalimat yang sesuai. Karena itu, kita harus tahu

bagaimana sifat sasaran tulisan kita: latar belakang pendidikan, umum,

profesi, dan sebagainya.

B. Definisi
Dari bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa bahasa seringkali bersifat

majemuk dalam bentuk dan maknanya. Kekaburan dan kemajemukan itu terwujud

baik dalam kalimat maupun dalam kata-kata sebagai unsur dasarnya. Hal ini

merupakan salah satu kelemahan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah,

karena ilmu menuntut persyaratan ketepatan sehingga bahasa ilmu pun harus

tepat, reproduktif.

Untuk mengatasi kemajemukan itu, makna kata-kata sebagai unsur dasar

bahasa dalam pemakainya perlu dibatasi. Pembatasan pemakaian kata dapat

dilakukan dengan berbagai cara. Kata-kata konkret dengan mudah dihubungkan

dengan objek sebenarnya atau tiruan (miniatur) dan gambarnya. Tetapi kata-kata

abstrak tidak melambangkan objek yang nyata sehingga tidak dapat ditiru atau

digambarkan. Dalam hal ini pembatasan hanya mungkin dilakukan dalam bentuk

contoh atau batasan verbal yang lazim disebut definisi.

92
Uraian berikut akan menjelaskan beberapa jenis definisi dan bagaimana

membuatnya.

1. Pengertian dan jenis definisi

Salah satu persyaratan dalam penulisan karangan ilmiah ialah pemakaian

kata-kata secara ejeg (konsisten), baik mengenai bentuk maupun maknanya.

Persyaratan itu timbul karena”sifat bawaan” bahasa yang rumit dan tidak tepat.

Lebih-lebih mengenai hubungan kata dan maknanya.

Untuk menjaga keajekan itu, perlu kita menetapkan arti kata atau istilah yang

kita gunakan. Menetapkan arti kata berarti membatasi pemakaian kata itu. Arti

yang sudah ditetapkan itu disebut batasan kata yang lazim disebut definisi.

Definisi merupakan persyaratan yang tepat mengenai arti suatu kata atau

konsep. Definisi yang baik akan menunjukkan batasan-batasan pengertian suatu

kata secara tepat dan jelas.

Sehubungan dengan definisi, karena yang didefinisikan ialah kata/konsep –

perlu dipahami terlebih dahulu pengertian konsep dan kata. Konsep adalah

pengertian yang disimpulkan secara umum atau (abstraksi) dengan mengamati

persamaan yang terdapat diantara sejumlah gejala. Misalnya konsep “bujur

sangkar” adalah hasil abstraksi dari pengamatan terhadap sejumlah bujur sangkar.

Konsep itu mencakup ciri- ciri yang sama, yaitu suatu bidang datar tertutup,

bersisi empat, keempat sisinya sama panjang.

Kata adalah unsur bahasa yang melambangkkan suatu objek atau konsep.

Kata konkret melambangkan objek (referenya berupa objek) dan kata abstrak

melambangkan konsep (referennya konsep).

93
Jadi, mendefinisikan suatu kata berarti membatasi objek atau konsep yang

dilambangkan oleh kata tersebut. Caranya bermacam- macam. Dalam bagian ini

akan dijelaskan beberapa diantaranya

Berdasarkan sumbernya, definisi dapat dikelompokan sebagai definisi umum,

ilmiah, dan persona. Definisi umum mencakup definisi nominal dan definisi

formal; sedangkan definisi personal yaitu definisi yang disusun sesuai dengan

pendapat pribadi penulis. Dari pengertian definisi operasional dapat

dikelompokan sebagai definisi personal. Menurut unsur pembentuknya, definisi

ada yang berbentuk satu kata, satu kalimat, dan suatu paragraf atau lebih.

Selanjutnya, menurut isinya satu defenisi dapat berupa defenisi sinonim/ antonim,

definisi negatif, definisi dengan contoh, definisi dengan proses, definisi dengan

kontras/ perbandingan, defenisi dengan klasifikasi dan diferensiasi. Agar lebih

jelas maka pembahasan dalam bagian ini akan diuraikan pengelompokan defini

menurut isinya.

1. Definisi Nominal
Definisi ini terutama digunakan dalam kamus, baik kamus satu

bahasa (seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia) *, maupun dalam kamus

dwibahasa (seperti kamus bahasa Ingris – Indonesia), dan kamus

etimologi. Dalam defenisi ini suatu kata dibatasi dengan kata lain yang

merupakan sinonim (padananya), dengan terjemahanya atau menunjukan

asal katanya (etimologinya). Misalnya, kata “Agung” dalam KUBI dibatasi

sebagai berikut:

94
Agung I: besar; mulia; luhu (KUBI = 19) kata “kelapa” dapat dibatasi

sebagai cocos mucifera, dan kata “bhineka” sebagai bentuk selesai bhin

(S) + ika. Jadi dengan ringkas definisi nominal adalah definisi yang

difiniesnnya merupakan:

1. Sinonim atau padanan difiniendum

2. Terjemahan dari bahasa lain

3. Asal usulnya

Contoh:

Ikan ialah dalam bahasa inggris disebut fisb.

Kata demokrasi diturunkan dari kata demos atau kratein

Yang dimaksut dengan tenaga ialah kekuatan.

2. Definisi Normal
Definisi formal atau definisi logis merupakan definisi klasifikasi

dan diferensiasi. Di dalam definisi ini difiniendum dikeluarkan dari

genus (kelas) dan spesiesnya.

Definisi formal merupakan satu kalimat pernyataan yang terdiri

dari dua ruas, yaitu ruas difiniendum dan ruas difiniens. merupakan

peraturan kedua ruas itu harus dapat dipertukarkan tempatnya tanpa

mengubah arti. Jika X= Y adalah sebuah definisi formal, maka

pernyataan itu harus dapat diubah menjadi Y=X tanpa mengubah arti:

sama halnya dengan 9= 4 + 5 dapat diubah menjadi 4 + 5 = 9.

Contoh:
Mahasiswa = pelajar diperguruan tinggi, dapat diubah menjadi:

pelajar diperguruan tinggi = mahasiswa.

95
Jelas, bahwa satu definisi formal mmpunyai: bentuk

persamaan, yang berarti ruas kiri sama dengan ruas kanan. Ruas itu

berisi difiniedum dan difiniens . perhatikan defenisi berikut:

Mahasiswa ialah pelajar

diperguruan tinggi

Definiendum definiens

Di dalam defenisi formal definiens terdiri dari dua bagian pula.

Definiens ”pelajar diperguruan tinggi” terdiri atas “pelajar” dan

“diperguruan tinggi” pelajar merupakan kelas atasan mahasiswa sedang

diperguruan tinggi merupakan ciri yang membedakan mahasiswa dan

siswa SLA.

Agar lebih jelas berikut ini kita bicarakan pengertian genus dan

species terlebih dahulu.

Benda-benda dan gagasan dapat dikelompokan secara sistematik. Kalau

pengelompokan ini didasarkan atas hubungan ke atas ke bawah, maka

kitaa kan memperoleh kelas- kelas atasan dan kelas-kelas bawahan. Kelas

atasan disebut genus dan kelas bawahan adalah spesies. Kalau ini

mempunyai kelas bawahan lagi, dilihat dari bawahan genus tadi, kelas

bawahan tersebut merupakan subspesies. Kedudukan genus dan spesies itu

relatif sifatnya. Dengan demikian, ditinjau dari kelas bawahannya suatu

spesies merupakan genus, dan ditinjau dari kelas atasannya genus

merupakan spesies.

Kelas yang luas sekali denotasinya sehingga tidak mungkin

merupakan species,disebut genus tertinggi (sumun genus),sedangkan kelas

96
yang sangat kecil denotasinya sehingga tidak mungkin menjadi genus,

disebut species terendah (infima species). Jadi,d efinisi’’ ikan ialah sejenis

vertebrata yang hidup di air, bersisik, berdarah dingin, bernapas dengan

insang, badannya seperti terpedo, dan berkembang biak dengan bertelur’’.

3. Definisi Operasional
Definisi operasioanal menunjukan kepada kita apa yang harus kita

lakukan dan bagaiman melakukanya.Apa yang diukur dan bagaimana

mengukurnya. Definisi ini kita perlukan terutama jika kita mengadakan

penelitian sehubungan dengan hal-hal yang tidak diamati dan diukur

secara langsung seperti hasil belajar,kemampuan menalar,dan intelegensi.

Misalnya seorang petaniingin meningkatkan produksi produksi

ikannya. Ia meneliti pengaruh sejenis makanan terhadap pertumbuhan ikan

piaraannya.Apa yang dijadikan tolok ukurnya? Yang akan diukur dalam

hal ini ialah pertumbuhan ikan.Tetapi, ini belum jelas karena pertumbuhan

ikan dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.Supaya dapat mengukur

dengan tepat, maka konsep”pertumbuhan ikan” harus didefinisikan secara

operasional.

Konsep itu dapat didefinisikan sebagai”pertambahan berat rata-rata

ikan setelah diberi makanan dan waktu tertentu.” dari definisi itu jelas

bahwa yang akan diukur berbentuk pertambahan berat rata-rata.Alat yang

diperlukan ialah timbangan.Pertambahan berat rata-rata dihitung dari

selisih antara berat setelah diberi makanan dan waktu belum diberi

makanan itu.

97
Contoh lain, Kita ingin mengetahui apakah ada hubungan antara

taraf pendidikan orang tua dengan kemampuan berbahasa anak dibawah

lima tahun.Kita dapat saja membatasi kemampuan berbahasa itu sebagai

jenis dan jumlah pola kalimat yang sudah dikuasai atau jenis dan jumlah

kosa kata yang sudah dimiliki atau juga kedua-duanya.Hal ini bergantung

pada teori, pengetahuan, sera pengalaman kita, dan akhirnya sendiri yang

menentukan apa definisi yang sesuai menurut pendapat dan kondisi

sendiri.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa definisi operasioal lebih bersifat

personal, bukan definisi formal dan bukan pula menurut kamus.Dalam

penelitian definisi ini sangat penting, karena definisi ini akan turut pula

menentukan instrumen apa yang dipakai serta bagaimana menganalisis

datanya.

Beberapa contoh:
1. Kecepatan bicara ialah jumlah kata yang dapat diucapkan dalam

satu satuan waktu.

2. Kekuatan gempa yaitu angka yang ditujukan skala ricbter pada

waktu gempa terjadi.

3. Kecepatan mobil ialah rata-rata jumlah kilometer yang dapat

ditempuh dalam waktu satu jam.

4. Prestasi atlet ialah jumlah medali yang dicapainya dalam jangka

waktu tertentu.

5. Pertumbuhan jasmani anak ialah pertambahan tinggi badaannya


dalam jangka waktu tertentu.

98
4. Definisi Luas
Definisi ini merupakan uraianpanjang lebar, mungkin satu paragraf,

satu bab, atau mungkin meliputi seluruh karangan. Definisi ini kita

perlukan jika kita berhadapana dengan suatu konsep yang rumit, yang

tidak mungkin dijelaskan dengan kalimat pendek. Konsep “ketahanan

nasional” misalnya, tidak akan jelas jika hanya didefinisikan sebagai

“kemampuan dinamik suatu bangsa yang dapat dihimpun menjadi

kekuatan nasional untuk mengatasi tantangan, hambatan, dan gangguan

baik yang datang dari dalam maupun dari luar”. Karena itu, konsep

tersebut diberi defenisi luas. Dari defenisi itu kita dapat mengetahui

perkembangan konsep itu unsur-unsurnya, pengembangan di dalam

semua aspek kehidupan bangsa dan seterusnya.

Contoh :
Apakah kolesterol? Kolesterol adalah suatu zat esensial yang digunakan

untuk membentuk hormone, asam empedu, membran sel, dan lapisan

pelindung di sekeliling saraf. Selain itu juga masih banyak manfaat

lainnya.

Substansi yang larut dalam lemak ini tidak hanya terdapat dalam

darah tetapi juga di otak, sumsum tulang belakan, dan hati. Di dalam

makanan kolesterol terdapat dalam lemak hewani, minyak, dan kuning

telur.

Pada garis besarnya terdapat 3 golongan kolesterol. Semua

tergolong pada lipoprotein, suatu senyawa organik di dalam darah yang

99
tersusun dari protein dalam bermacam-macam substansi lemak yang

tergolong dalam lipid, termasuk asam lemak dan kolesterol.

Tiga golongan besar dari kolesterol adalah :


- High Density Lipoprotein HDL-C
- Low Density Lipoprotein (LDL-C); dan
- Very Low Density Lipoprotein (VLDL-C)
Kolesterol yang baik adalah HDL-C, terdiri dari lebih banyak

proteindengan sedikit kolesterol dan trigliserid, suatu substansi lemak yang

lain.

HDL-C membantu membersihkan pembuluh-pembuluh darah. Semakin

tinggi kadar HDL-C, maka semakin sedikit kemungkinan untuk mendapat

serangan jantung.Adapun LDL-C terdiri dari sedikit protein dan sejumlah

besar besar kolesterol dan trigliserid. Begitu pula, VLDL-C mengandung

sedikit sekali protein, tetapi dengan jumlah kolesterol yang sedikit saja dan

sebagian besar terdiri dari triglisterid. Kolesterol biasanya dinyatakan

sebagai perbandingan antara HDL-C/LDL-C atau HDL-C/total kolesterol.

(Dikutip dari Klinik Dokter Sadoso Bola, 14 Februari 1986)

Perhatikan bahwa definisi mengenai kolesterol di atas merupakan

uraian tentang pengertiannya, manfaatnya, sifatnya, pengelompokannya,

serta unsur-unsurnya. Dengan demikian pembaca dapat membedakannya

dengan zat lain.

Dari contoh di atas jelas bahwa definisi luas lebih bersifat luwes dan

informal daripada definisi-definisi yang telah diuraikan terlebih dahulu.

Namun demikian, kerangka dasar definisi formal, yaitu bahwa definisi

100
mencakup klasifikasi dan diferensiasi, tetap dipertahankan dan

dipergunakan sebagai dasar untuk mengembangkan defenisi luas itu.

Kadang-kadang dalam suatu definisi luas seorang penulis

menjelaskan etimologi definiendum secara berlebihan. Yang perlu diingat

ialah bahwa hal itu dilakukan dengan sadar untuk memperjelas defenisi.

Jika hal itu hanya mengaburkan atau kita tidak yakin mengenai asal usul

definiendum tersebut lebih baik tidak usah dikemukakan.

Definisi luas biasanya dibuat untul memperluas diferensianya. Hal itu

terlihat pada contoh di muka:paragrap kedua dan selanjutnya semuanya

memaparkan diferensia kolesterol.

5. Beberapa Jenis Definisi Lain


Dalam usaha membatasi penegertian kata atau konsep penulis

kerap kali menggunakan cara pemberian definisi yang tidak/ formal. Pada

bagian terdahulu telah dibahas definisi sinonim dan definisi luas. Berikut

ini akan disajikan contoh-contoh definisi informal lainnya yaitu definisi

dengan pengingkaran, definisi dengan contoh, dan definisi dengan

pertentangan yang semuanya bersifat personal.

a. Definisi dengan Pengingkaran (Nagasi)


Definisi dengan pengingkaran mungkin disajikan dalam bentuk

paragrap (sepertidefinisi luas, atau mungkin juga hanya terdiri atas

satu kalimat).

Contoh :

101
Yang dimaksud dengan guru di sini bukanlah guru yang hanya

memberikan informasi dengan berceramah lalu memberikan

ulangan, melainkan guru sebagai organisator, fasilitator, agen

pembaharuan dan pengganti orang tua ……

Pembatasan di atas dimulai dengan pengingkaran yang diikuti

dengan identifikasi yang dimaksud. Definisi dengan pengingkaran

yang tidak diikuti dengan penjelasan lebih lanjut tidak jelas.

Perhatikan bagaimana jika defenisi di atas tadi hanya

mengemukakan pengingkaran, seperti berikut :

Yang dimaksud dengan guru di sini ialah bukan guru yang hanya

memberikan informasi dengan ceramah kemudian memberikan

ulangan.Bentuk pengingkaran saja tidak dapat membatasi pengertian

dengan baik.

Yang dimaksud dengan X adalah bukan N . “Bukan N” tidak

jelas menunjuk kepada apa. Itulah sebabnya definisi dengan

pengingkaran perlu dijelaskan lebih lanjut.

b. Definisi dengan Pertentangan/Kontras

Kadang-kadang untuk memperjelas suatu istilah yang sulit kita dapat

mempertentangkannya dengan yang lain

Contoh : Untuk memahami desain ex-post facto sebaiknya anda

mengetahui dulu apa bedanya dengan desain eksperimental. Di dalam

desain eksperimental hubungan kausal antara variable yang diteliti

dipelajari melalui suatu perlakuan; ada variabel yang

102
dimanipulasikan. Di dalam desain ex-post facto hubungan kausal

dipelajari-dilacak kembali-tanpa melakukan manipulasi variabel…..

c. Definisi dengan Contoh

Dalam hal ini suatu istilah atau konsep dijelaskan dan dibatasi

maknanya dengan sejumlah contoh.

Contoh :

Yang dimaksud dengan variabel assigned ialah variabel yang serupa

dengan ras, golongan darah, jenis kelamin, warna kulit, umur, dan

sebagainya. Variabel semacam itu tidak dapat dimanipulasikan.

6. Penyusunan Definisi
Dalam bagian terdahulu telah dibahas pengertian serta ciri-ciri

bermacam-macam definisi. Agar dapat membuatnya dengan betul, perlu

kita perhatikan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Akan tetapi,

karena definisi-definisi yang bersifat informal lebih bersifat informal lebih

bersifat personal dan tidak terlalu terikat, maka pada bagian berikut kita

hanya akan membicarakan persyaratan defenisi nominal, formal,

operasional, dan luas.

a. Definisi Nominal
Pada bagian terdahulu telah dibahas bahwa definiens pada definisi

nominal meruapakan kata lain (padanan atau terjemahan )

definiendum. Jelasnya, definisi nominal dibentuk dengan cara

sebagai berikut :

103
1) Dengan memberikan asal kata (etimologi) definiendum,

Misalnya, “antropologi” berasal dari kata Latin anthropos yang

berarti ‘manusia’ dan logos yang berarti ‘ilmu’.

2) Dengan memberikan pandanan atau sinonim definiendum,

Misalnya, “Motivasi intrinsik ialah dorongan yang datang dari

dalam”

3) Dengan memberikan kata popular yang dikenal oleh khalayak

ramai untuk definiendum yang berupa kata kajian.

Contoh: “Cocos nucifera LINN ialah yang lazim dikenal


sebagai pohon kelapa”.
Dengan memberikan terjemahan dalam bahasa lain, Misalnya,

“Kesenjangan ialah gap”, “Kendala ialah constraint”, “Canggih ialah

sopbisticated”.

b. Definisi Formal
Definisi formal disusun per genus et differentia. Kata atau

konsep yang akan didefinisikan (definiendum) diklasifikasikan ke

dalam genusnya (proses klasifikasi), kemudian ditunjukkan ciri-ciri

pembela (diferensia) yang ada pada definiendum (proses

diferensiasi).

Agar kita dapat membuat defenisi formal dengan baik, perlu kita

perhatikan hal-hal berikut :

1) Definiendum dan definiens harus bersifat koterminus, artinya

harus saling menutup (tumpang tindih). Dengan demikian,

104
definiens harus sama luas dengan definiendum; tidak boleh

terlalu luas atau terlalu sempit untuk definiendum.

Definisi “gergaji ialah alat pemotong yang terbuat dari

lempengan baja” merupakan definisi yang terlalu luas, karena

ciri “terbuat dari lempengan baja” juga memasukkan pisau,

parang, pedang, dan sebagainya. Sebaliknya, definisi “lemari

ialah tempat menyimpan pakaian” merupakan definisi yang

sempit karena definiens hanya memasukkan lemari pakaian saja.

2) Definiens tidak boleh merupakan sinonim/padanan kata,

terjemahan, bentuk popular, asal-usul (etimologi) kata, atau

mengulangi definiendum.

3) Definiens harus dinyatakan dengan kata-kata yang jelas, tidak

boleh berbentuk kiasan seperti pada “Penderitaan ialah neraka

dunia”.

4) Definiendum dan definiens harus konvertibel (convertible),

artinya dapat dipertukarkan tempatnya. Dengan demikian

definiendum dan definiens harus sama/identik nilainya.

Perhatikan definisi: “Guru ialah manusia”, tidak dapat

dipertukarkan menjadi “Manusia ialah guru”. Manusia tidak

sama nilainya dengan guru.

105
BAB V

EJAAN DAN TANDA BACA

A. Penulisan Ejaan

Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi

ujaran dan bagaimana antarhubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan

dan penggambungannya dalam suatu bahasa). Secara teknis, yang dimaksud

dengan ejaan ialah penulisan huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca

(Arifin, 2008:164). Ejaan adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana

ucapan atau apa yang dilisankan oleh seseorang ditulis dengan perantara

lambang-lambang atau gambar-gambar bunyi.

Ejaan yang Disempurnakan adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku

sejak tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik

atau Ejaan Soewandi. Ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak 1972 sampai

saat ini ialah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan atau dikenal dengan

singkatan EYD. EYD diresmikan pemakaiannya sejak Agustus tahun 1972

berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 57 Tahun 1972.

Dilihat dari usianya, implementasi EYD dalam penulisan sudah cukup lama

karena lebih dari tiga dasawarsa. Namun, kenyataanya menunjukkan bahwa

sampai saat ini masih sering dijumpai tulisan yang tidak taat asas atau

menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan.

106
1. Pemakaian Huruf Kapital

Terdapat 15 cara pemakaian huruf kapital. Dalam penulisan karya

tulis ilmiah, sering terjadi penyimpangan pemakaian huruf kapital

terutama yang berkaitan dengan penulisan nama orang serta galar dan

pangkat, hal-hal geografis, hari-hari besar atau peristiwa bersejarah, nama

badan atau lembaga, judul dan singkatan. Dalam buku pedoman Ejaan

Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), huruf kapital dipakai

dalam hal berikut ini:

a. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata awal
kalimat.
Contoh:
Kenaikan bahan pokok disebabkan oleh kelangkaan BBM.

Bencana tanah longsor (landslide) merupakan bencana yang cukup

sering terjadi di Indonesia.

Pada contoh di atas, huruf K dan B adalah huruf pertama pada awal

kalimat, sehingga huruf K dan B harus menggunakan huruf kapital.

b. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama petikan

langsung.

Contoh:

Naira menasihatkan, “Jangan lewat di tempat itu, Nak?”

“Kemarin engkau terlambat,” katanya.

Pada contoh di atas, kalimat dalam tanda petik merupakan petikan

langsung atau pernyataan langsung dari seseorang, biasanya petikan

langsung ditulis dalam cerita rekaan atau berita di media cetak,

sehingga huruf pertamanya harus menggunakan hufuf kapital.

107
c. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang

ber-hubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti

untuk Tuhan.

Contoh:

- Tuhan akan menunjukkan jalan yang benar kepada hamba-nya.

- Bimbinglah hamba-Mu, ya Tuhan, ke jalan yang Engkau beri

rahmat.

Pada contoh pertama di atas, kata –Nya, -Mu, Engkau merupakan kata

ganti untuk Tuhan, sehingga huruf pertamanya harus menggunakan

huruf kapital. Setiap mengaji anak TPA selalu membawa Al-Quran.

Pada contoh dua di atas, Al-Quran merupakan nama kitab suci

dari agama Islam, sehingga setiap awal unsur katanya harus

menggunakan huruf kapital.

d. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama nama

gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.

Contoh:
Mahaputra Yamin

Pada contoh di atas, mahaputra merupakan nama gelar

kehormatan, dan kata mahaputra diikuti nama orang yaitu Yamin,

sehingga huruf pertama harus menggunakan huruf kapital.

Pangeran Charles

Pada contoh di atas, pangeran merupakan nama gelar keturunan

dan kata pangeran diikuti nama orang yaitu Charles, sehingga huruf

pertama nama gelar harus menggunakan huruf kapital.

108
Ustad Solmed

Contoh di atas, ustad merupakan nama gelar keagamaan dan kata

ustad diikuti nama orang yaitu Solmed, sehingga huruf pertama nama

gelar harus menggunakan huruf kapital.

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama gelar

kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang tidak diikuti nama orang.

Contoh:

Dia baru saja diangkat menjadi sultan.

Tahun ini dia pergi naik haji.

Pada contoh di atas, nama gelar sultan tidak diikuti nama orang,

sehingga huruf pertama nama gelar tidak menggunakan huruf kapital.

e. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama unsur

nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai

sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama

tempat.

Contoh:
Menteri Pendidikan RI M. Muhajir mengunjungi sekolah darurat di
Jakarta.
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada contoh di atas, presiden merupakan nama jabatan sesorang

dan diikuti nama orang yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga

huruf pertama nama jabatan harus menggunakan huruf kapital.

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan

dan pang-kat yang tidak diikuti nama orang, atau nama tempat.

109
Contoh:
Kakaknya baru saja diangkat menjadi gubernur di daerahnya.

Siapa gubernur yang baru dilantik itu?

Pada contoh di atas, nama jabatan gubernur tidak diikuti nama

orang, sehingga huruf pertama nama jabatan tidak digunakan huruf

kapital.

f. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama unsur-

unsur nama orang.

Contoh:

Aliffya Khalifa Sakhi

Mayyuka Reforika
Pada contoh di atas, nama Mayyuka Reforika terdiri dari 2 unsur,

yaitu Mayyuka dan Reforika. Kedua unsur ini harus diawali dengan

huruf kapital. Demikian juga nama yang panjang, yang terdiri dari

banyak unsur, seperti Endang Usmawati Panca Putri Otnawsu, setiap

kata harus diawali dengan huruf kapital atau huruf besar.

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang

yang di-gunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran.

Contoh:
mesin diesel
10 volt
5 ampere
Pada contoh di atas, diesel adalah nama penemu, yang dijadikan

nama mesin yang ditemukannya, tetapi tidak diawali dengan huruf

110
kapital karena sudah menjadi nama jenis barang yang lazim

digunakan.

g. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku

bangsa, dan bahasa.

Contoh:
bangsa Indonesia
Pada contoh di atas, kata Indonesia merupakan nama bangsa,

sehingga huruf pertamanya harus menggunakan huruf kapital.

Ecih lahir di Jawa Barat.

Pada contoh di atas, kata Jawa Barat merupakan nama propinsi,

sehingga huruf pertamanya harus menggunakan huruf kapital.

Yuka pintar berbahasa Mandarin.

Pada contoh di atas, kata Mandarin merupakan nama bahasa dari

negara Cina, sehingga huruf pertamnya harus menggunakan huruf

kapital.

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa,

suku, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan.

Contoh:

mengindonesiakan kata asing.


keinggris-inggrisan.
Pada contoh di atas, kata Indonesia sebagai nama bangsa,

mendapatkan imbuhan dan akhiran sehingga membentuk kata kerja.

Jadi, huruf i pada kata Indonesia tidak menggunakan huruf kapital.

h. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama pada

tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa bersejarah.

111
Contoh:

Sepupu saya menikah pada bulan November.

Kata November merupakan nama bulan, sehingga huruf

pertamanya harus menggunakan huruf kapital.

Hari Rabu kami akan pergi ke Lampung Barat.

Kata Rabu merupakan nama hari, sehingga huruf pertamanya

harus menggunakan huruf kapital.

Bulan depan hari raya Idul Adha.

Kata Idul Adha merupakan hari raya, sehingga huruf pertamanya

harus menggunakan huruf kapital.

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama peristiwa

sejarah yang tidak dipakai sebagai nama.

Contoh:

Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsanya.

Perlombaan senjata membawa risiko pecahnya perang dunia.

i. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama nama

geografis.

Contoh:
Indonesia memiliki tempat wisata yang tak kalah dengan luar

negeri, salah satunya Raja Empat di Papua.

Saya akan mengunjungi Pulau Komodo.

Pada contoh di atas, kata Pulau Komodo merupakan nama

geografis atau daerah yang terletak di Nusa Tenggara Timur, sehingga

huruf pertamanya harus menggunakan huruf kapital.

112
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah

geografis yang tidak menjadi unsur nama diri.

Contoh:
Kapal itu akan melewati teluk.

Pada contoh di atas, kata teluk tidak menjadi unsur nama diri,

sehingga hu-ruf t pada kata teluk menggunakan huruf kecil.

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografis

yang digunakan sebagai nama jenis.

Contoh:

kacang bogor

gula jawa

garam inggris

Pada contoh di atas, kata bogor merupakan nama jenis dari

kacang, yang berasal dari Bogor, sehingga huruf pertama pada kata

bogor harus menggunakan huruf kecil.

j. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara,

lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi

kecuali kata seperti dan.

Contoh:

Badan Kesejahteraan Ibu dan Anak

Pada contoh di atas, merupakan nama lembaga pemerintahan dan

pada awal katanya harus menggunakan huruf kapital, kecuali untuk

kata dan tidak diawali dengan huruf kapital, karena kata dan

merupakan kata hubung.

113
k. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama setiap

unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga

pe-merintahan dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.

Contoh:

Garis-Garis Besar Haluan Negara

Rancangan Undang-Undang Kepegawaian

Pada contoh di atas, merupakan kata ulang sempurna berupa

nama lembaga, sehingga setiap unsurnya diawali dengan huruf kapital.

l. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama semua

kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama

buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di,

ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.

Contoh:

Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.

Gunakan referensi sebanyak-banyaknya, salah satunya adalah

Penggunaan Ejaan yang Disempurnakan edisi terbaru.

Pada contoh di atas, kalimat bercetak miring merupakan judul

dari sebuah majalah, sehingga setiap awal kata ditulis dengan huruf

kapital, karena kata dan merupakan kata hubung.

m. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pe-

nunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik,

dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.

Contoh:
“Kekurangannya besok saja ya Om” Kata Ami.

114
“Kapan Bapak berangkat?” Tanya Harto.

Pada contoh di atas, kata bapak digunakan dalam kalimat sapa,

sehingga huruf pertamanya harus menggunakan huruf kapital.

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk

hubungan kekerabatan yang tidak dipakai dalam pengacuan atau

penyapaan.

Contoh:

Kita harus menghormati bapak dan ibu kita.


Semua kakak dan adik saya belum berkeluarga.
n. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama unsur

sing-katan nama gelar, pangkat, dan sapaan.

Contoh:

Dr. doktor

M.A. master of art

S.H. sarjana hukum

Prof. profesor

Tn. tuan

Ny. nyonya

Sdr. Saudara

Dr. Prabowo akan mencalonkan diri kembali dalam Pilpres 2014.

o. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata ganti

Anda.

Contoh:

Surat Anda telah kami terima.

115
Sudahkah Anda tahu berita yang sedang beredar mengenai BBM?

2. Pemakaian Huruf Miring

a. Huruf miring digunakan untuk menuliskan nama buku atau sebuah

kalimat.

Contoh :

Cerita kasih tak sampai, Siti Nurbaya, novel karya Marah Rusli yang

melegenda

b. Huruf miring digunakan untuk menuliskan judul buku di daftar pustaka

dalam sebuah karya ilmiah.

Contoh :

Tampubolon, D.P. 1087. Kemampuan Membaca, Teknik Membaca

Efektif dan Efisien. Bandung

c. Huruf miring digunakan untuk menuliskan nama ilmiah dan nama latin

dalam kalimat

Contoh :

Oriza Sativa adalah nama ilmiah tumbuhan padi.

d. Huruf miring ditulis untuk nama majalah, surat kabar, dan film

Contoh :

Majalah Katini dan Femina sangat populer di kalangan wanita.

Film kartun si unyil, dengan tokoh pak Raden sangat populer di tahun
1980-an.
e. Huruf miring digunakan menuliskan alamat website atau sebuah link di

dalam kalimat

116
Contoh :
Untuk mencari berbagai informasi yang mudah dan cepat, anda dapat

mencarinya di kamus listrik pintar yang bernama www.google.com

3. Pemakaian Huruf Tebal

Penggunaan huruf tebal dalam laporan atau karya ilmiah digunakan untuk

menuliskan judul buku, bab, bagian bab, daftar isi, daftar tabel, daftar lambang/

simbol, daftar pustaka, indeks, dan lampiran.

 Judul : Pengaruh Minat Baca Terhadap Prestasi Mahasiswa

 BAB :

BAB I PENDAHULUAN

BAB II DASAR TEORI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PEMBAHASAN

BAB V PENUTUP

 Daftar dan lampiran:


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR SIMBOL

DAFTAR PUSTAKA

INDEKS

LAMPIRAN

117
4. Penulisan Kata

Kesalahan penulisan kata yang diatur di dalam EyD dan sering dijumpai

dalam penulisan ilmiah, antara lain, penulisan kata berimbuhan, penulisan kata

depan, dan penulisan kata gabung. Demikian juga hal nya, kesalahan penulisan

partikel per dan pun sering dijumpai dalam tulisan ilmiah.

1. Penulisan Gabungan kata

a. Kata majemuk ditulis terpisah.

Misalnya:

duta besar

mata kuliah

kambing hitam

b. Gabungan kata yang dapat menimbulkan kesalahan pengertian

dapat ditulis dengan menambahkan tanda hubung di antara unsur-

unsurnya untuk menegaskan pertalian unsur yang bersangkutan.

Misalnya:

anak-istri Ali
anak istri-Ali
ibu-bapak kami
ibu bapak-kami
c. Gabungan kata yang dirasakan sudah padu benar ditulis serangkai.

Misalnya:

apalagi daripada

bagaimana darmabakti

barangkali purnawirawan

beasiswa antarkota

118
belasungkawa pancasila

bilamana sukacita

hulubalang kacamata

d. Bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan

akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai.

Misalnya:

dilipatgandakan

menggarisbawahi

menyebarluaskan

penghancurleburan

5. Penulisan Kata Depan

Kata depan di dan ke di tulis terpisah dari kata yang mengikutinya kecuali

di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti

kepada dan daripada.

Misalnya:

a. Baju itu berada di dalam lemari.

b. Mereka mengajar di kota

c. Ia ikut terjun ke tengah kancah perjuangan.

d. Seluruh mahasiswa berangkat ke lokasi penelitian.

B. Pemakaian Tanda Baca

Tanda baca merupakan salah satu hal yang penting dalam bahasa tulis.Oleh

karena itu, penggunaannya harus tepat. Tanda baca juga dapat disebut sebagai

119
lambang-lambang tulisan yang dipergunakan oleh penulis untuk melambangkan

berbagai aspek bahasa lisan, yang bukan bunyi-bunyi bahasa (fonem)

1. Tanda Titik
(1) Tanda Titik

Tanda titik dipakai pada akhir kalimat berita.

Contoh:

Biarlah mereka duduk di sana.

Dia menanyakan siapa yang akan datang.

(2) Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam satu bagan,

ikhtisar, atau daftar.

Contoh:

1. Patokan Umum

1.1 Isi Karangan

1.2 Ilustrasi

1.2.1 Gambar Tangan

(3) Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik

yang menu jukkan jangka waktu.

Contoh:

Pukul 14.30.05 (pukul 2 lewat 30 menit 05 detik)

(4) Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik

yang menunjukkan jangka waktu.

Contoh:

5.32.22 (5 jam, 32 menit, 22 detik)

120
(5) Tanda titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak

berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru, dan tempat terbit dalam

daftar pustaka.

Contoh:

Badudu, J.J. 1985. Membina Bahasa Indonesia. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Alwi, Hasan. dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.

(6.a) Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau

kelipatannya.

Contoh:

Desa itu berpenduduk 24.200 orang.

Korban bencana banjir dan longsor mencapai 1.523 jiwa.

(6. b) Tanda titik tidak dipakai pada akhir untuk memisahkan bilangan

ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah.

Contoh:

Ia lahir pada tahun 1999 di Sumatera Utara.

(7) Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala

karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.

Contoh:

Data Pegawai Negeri Sipil Lampung

Acara Kunjungan Adam Malik

(8) Tanda titik tidak dipakai dibelakang alamat pengirim dan tanggal

surat atau nama dan alamat penerima surat.

121
Contoh:

Jalan Prof. Soemantri Brojonegoro 1

Bandar Lampung

8 Juli 1989

2. Tanda Koma (,)


(1) Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau

pembilangan.

Contoh:

Peralatan yang harus dibawa ketika ujian tes berlangsung adalah

membawa papan ujian, pensil, penghapus, dan pena.

(2)Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari

kalimat serta berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi,

sedangkan atau melainkan.

Contoh:

Saya ingin datang, tetapi tidak ada motor.

Wanita yang datang kemarin ternyata bukan Cylla melainkan

kembarannya.

(3.a) Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk

kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.

Contoh:

Kalau hari hujan, saya tidak akan datang.

Karena sibuk, ia lupa akan janjinya.

122
(b) Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anaak kalimat dari

induk kalimat jika anak kalimat itu mengiringi innduk kalimat.

Misalnya: Saya tidak akan datang kalau hari hujan.

Dia tahu bahwa soal itu penting.


(4) Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung

antar-kalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya

oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun, begitu, dan akan tetapi.

Contoh:

....oleh karena itu, kita harus berjaga-jaga.

....jadi, soalnya tidak semudah itu.

(5) Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti, o, ya, wah, aduh,

kasihan, dari kata lain yang terdapat di dalam kalimat.

Contoh:

Wah, indah sekli pantai ini.

Hati-hati, ya, nanti jatuh.

(6) Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian

lain dalam kalimat.

Contoh:

Kata Ayah, “Kapan kita ke Medan lagi?”

“Saya gembira sekali,” kata ibu, “karena kamu lulus.”

(7) Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian

alamat, (iii) tempat dan tanggal, (iv) nama tempat dan wilayah atau

negeri yang ditulis berurutan.

123
Contoh:

Surat-surat ini harap dialamatkan kepada Dekan Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas HKBP

Nommensen, Jalan Sangnaualuh No.4, Sumatera Utara.

(8) Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik

susunan-nya dalam daftar pustaka.

Contoh: Keraf, Gorys. 1993. Argumentasi dan Narasi. Jakarta:

Gramedia.

(9) Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.

Contoh: W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk Karang-

mengarang (Yogyakarta: UP Indonesia. 1967), hlm.4

(10) Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik

Contoh: B. Simatupang, S.T.

Ny. Zainem, M.A.

(11) Tanda koma dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara

rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.

Contoh: 18,8 m
Rp 12,50
(12) Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang

sifatnya tidak membatasi.

Contoh:

Semua siswa, baik yang laki-laki maupun yang perempuan,

mengikuti latihan paduan suara.

124
3. Tanda titik dua (:)

(a) Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang diikuti

rangkaian atau pemerian.

Contoh:

Kita sekarang memerlukan perabot rumah tangga: kursi, meja, dan

lemari.

Hanya ada dua pilihan bagi para pejuang kemerdekaan: hidup atau

mati.

(b) Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan

pemerian.

Contoh:

1. Ketua : Ahmad Wijaya

Tempat : Ruang Sidang Nusantara

Pembawa Acara : Bambang S.

Hari, tanggal : Selasa, 28 Oktober 2008

Waktu : 09.00-10.30

(c) Tanda titik dua dapat dipakai dalam naskah drama sesudah kata yang

menunjukkan pelaku dalam percakapan.

Contoh:

Ibu : "Bawa kopor ini, Nak!"

Amir : "Baik, Bu."

Ibu : "Jangan lupa. Letakkan baik-baik!"

125
(d) Tanda titik dua dipakai di antara (1) jilid atau nomor dan halaman, (2)

bab dan ayat dalam kitab suci, (3) judul dan anak judul suatu karangan,

serta (4) nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan.

Contoh:

Horison, XLIII, No. 8/2008: 8

Yesaya 1:5

Dari Pemburu ke Terapeutik: Antologi Cerpen Nusantara

Pedoman Umum Pembentukan Istilah Edisi Ketiga. Jakarta:

Pusat Bahasa

126
BAB V

KALIMAT EFEKTIF

A. Pendahuluan

Tujuan tulis-menulis atau karang-mengarang adalah untuk mengungkapkan

fakta-fakta, perasaan, sikap dan isi pikiran secara jelas dan efektif, kepada para

pembaca. Sebab itu ada beberapa persoalan yang harus diperhatikan untuk

mencapai penulisan yang efektif, misalnya pertama-tama pengarang harus

mempunyai suatu obyek yang ingin dibicarakan; bila ia sudah menemukan obyek

itu, maka ia harus memikirkan dan merenungkan gagasan atau idenyaa secara

jelas, kemudian mengembangkan gagasan-gagasan utamanya secara segar, jelas

dan terperinci.

Semuanya ini merupakan bentuk-bentuk pertama dalam gagasan pengarang.

Langkah kedua adalah ia harus menuangkannya dalam bantuk-bentuk kalimat,

yaitu dalam bantuk kalimat yang baik sehingga mereka membacanya sanggup

mengadakan penghayatan kembali sejelas dan sesegar sebagai pada waktu

gagasan-gagasan itu pertama kali muncul dalam pikiran pengarang. Bila kalimat-

kalimat itu sanggup menciptakan daya khayal dalam diri pembaca atau pendengar

seperti atau sekurang-kurangnya mendekati apa yang dibayangkan oleh

pengarang, maka dapatlah dikatakan bahwa kalimat-kalimat yang mendukung

gagasan itu sudah cukup efektif, cukup baik menjalankan tugasnya.

Kalimat merupakan suatu bentuk bahasa yang mencoba menyusun dan

menuangkan gagasan seseorang secara terbuka untuk dikomunikasikan kepada

127
oranglain. Tetapi apakah dengan menguasai pola-pola kalimat suatu bahasa

seseorang sudah merasa yakin bahwa ia telah menguasai bahasa itu dengan baik?

Dalam komunikasi sehari-hari, kita memerlukan bahasa sebagai medium,

karena ia memberikan kemugkinan yang sangat luas bila dibandingkan dengan

cara-cara lain, misalnya gerak-gerik, isyarat-isyarat dengan bendera atau panji,

asap, dan sebagainya. Bahasa seebagai medium kominikasi hanya akan

bermanfaat sebaik-baiknya bila ia dikuasai oleh mereka yang masuk dalam

lingkaran komunikasi tersebut. Penguasaan bahasa dengan demikian tidak saja

mencakup persoalan penguasaan kaidah-kaidah atau pola-pola sintaksis bahasa

itu, tetapi juga mencakup beberapa aspek lainya.

Aspek-aspek penguasaan bahasa meliputi:

1. Penguasaan secara aktif sejumlah besar perbendaharaan kata (kosa kata)

bahasa tersebut.

2. Penguasaan kaidah-kaidah sintaksis bahasa itu secara aktif.

3. Kemampuan menemukan gaya yang paling cocok untuk menyampaikan

gagasan-gagasan.

4. Tingkat penalaran (logika) yang dimiliki seseorang.

Dalam bab ini sama sekali tidak dibicarakan pembentukan kalimat

berdasarkan kaidah-kaidah bahasa. Untuk sementara dianggap kita semua sudah

tahu tentang segi-segi sintaksis bahasa. Dalam bab ini khusus akan diberikan

uraian mengenai kalimat kalimat ditinjau dari segi komposisi dan retorika yang

mengenai kalimat yang efektif.

Dengan mempergunakan kedua syarat pertama diatas, sudah dapat di

harapkan bahwa kita sudah bisa berkomunikasi dengan mempergunakan bahasa

128
itu. Namun penguasaan kaidah sintaksis kosa kata saja, belum memungkinkan kita

mempergunakan bahasa kita dengan hidup dan segar. Sebab itu diperlukan syarat-

syarat lain agar bahasa kita (dalam bentuk kecilnya berupa kalimat) dpat

dirasakan hidup, segar, mudah ditangkap dan dipahami. Bila kalimat-kalimat kita

sudah memiliki kemampuan ini, maka kalimat-kalimat itu dapat disebut sebagai

kalimat yang efektif.

Sebuah kalimat yang efektif mempersoalkan bagaimana ia dapat mewakili

secara tepat isi pikiran atau perasaan pengarang, bagaimana ia dapat mewakilinya

secara segar, dan sanggup menarik perhatian pembaca dan pendengar terhadap

apa yang dibicarakan. Kalimat yang efektif memilki kemampuan atau tenaga

untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau

pembaca identik dengan apa yang dipikirkan pembicara atau penulis. Disamping

itu kalimat yang efektif selalu tetap berusaha agar gagasan pokok selalu mendapat

tekanan atau penonjolan dalam pikiran pembaca atau pendengar.

Jadi yang dimaksud dengan kalimat yang efektif adalah kalimat yang

memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Secara tepat dapat mewakili gagasan atau perasaan pembicara atau penulis

2. Sangup menimbulkan gagasan yang sama tepatnya dalam pikiran pendengar

atau pembaca sepertii yang dipikirkan pembicara atau penulis.

Bila kedua syarat ini dipenuhi maka tidak mungkin akan terjadi salah paham

antara mereka yang terlibat dalam komunikasi.

Seperti yang sudah dikemukakan diatas, di samping kerangka-kerangka

sintaksis dan kosa kata, kita memerlukan syarat-syarat lain untuk dapat

menciptakan kalimat yang efektif. Syarat-syarat lain tersebut akan mencakup pula

129
masalah kegaya-bahasaan dan penalaran. Syarat-syarat tersebut dapat diperinci

lagi atas; kesatuan gagasan, koherensi yang kompak, penekanan, variasi,

paralelisme, dan penalaran. Berikut akan disajikan satu per satu.

1. Kesatuan Gagasan
Setiap kalimat yang baik harus jelas memperhatikan kesatuan

gagasan, mengandung satu ide pokok. Yang dimaksud dengan kesatuan

adalah terdapatnya satu ide pokok dalam sebuah kalimat. Dengan satu ide

kalimat dapat panjang atau pendek, menggabungkan lebih dari satu unsur

pilihan, bahkan dapat mempertentangkan unsur pilihan yang satu dengan

yang lain asalkan ide atau gagasan kalimatnya satu. Dalam laju kalimat

tidak boleh diadakan perubahan dari satu kesatuan gagasan kepada kesatuan

gagasan lain yang tidak ada hubungan, atau menggabungkan dua kesatuan

yang tidak mempunyai hubuungan sama sekali. Bila dua kesatuan yang

tidak mempunyai hubungan disatukan, maka akan rusak kesatuan pikiran

itu.

Kesatuan gagasan janganlah pula diartikan bahwa hanya terdapat

suatu ide tunggal. Bisa terjadi bahwa kesatuan gagasan itu terbentuk dari

dua gagasan pokok atau lebih. Secara praktis sebuah kesatuan gagasan

diwakili oleh sebuah subyek, predikat, obyek. Kesatuan yang diwakili oleh

subyek, predikat, obyek itu dapat berbentuk kesatuan tunggal, kesatuan

gabungan, kesatuan pilihan, dan kesatuan yang mengandung pertentangan.

Contoh-contoh berikut dapat menjelaskan kesatuan gagasan tersebut,

baik kesatuan yang terpadu dan kesatuan yang tidak terpadu.

130
a. Yang Jelas Kesatuan Gagasannya
Kita bisa merasakan dalam kehidupan sehari-hari, betapa emosi

itu seringkali merupakan tenaga pendorong yang amat kuat dalam tindak

kehidupan kita. (Kesatuan tunggal)

Semua penduduk desa itu mendapat penjelasan mengenai Rencana

Pembangunan Lima Tahun (Kesatuan Tunggal)

Pada saat seorang sarjana harus merumuskan konsep-konsep

menjadi istilah, dengan perkataan lain pada saat ia harus membentuk

istilah, kadang-kadang terasa adanya kesulitan . (kesatuan tunggal)

Pimpinan Perguruan Tinggi sadar bahwa pelayanan kurikuler ini

akan berhasil baik nila penyempurnaan sistim perkuliahan dan tenaga

pengajar disertai dengan penyempurnaan perpustakaan, laboratorium,

peralatan, gedung, dan administrasi (Kesatuan Tunggal)

Dia telah meninggalkan rumahnya jam enam pagi, dan telah

berangkat dengan pesawat satu jam yang lalu. (kesatuan gabungan)

Ayah bekerja diperusahaan pengankutan itu, tetapi ia tidak senang

dengan pekerjaan itu (Kesatuan yang mengandung pertentangan)

Kamu boleh menyusul saya ke tempat itu, atau tinggal saja disini.

(kesatuan pilihan)

b. Yang Tidak Jelas Kesatuan Gagasannya

Kesatuan gagasan biasanya menjadi kabur karena kedudukan subyek

atau predikat tidak jelas, terutama karena salah menggunakan kata-kata

depan. Kesalahan lain terjadi karena kalimatnya terlalu panjang sehingga

penulis atau pembicara sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang mau

131
dikatakan. Coba perhatikan kalimat-kalimat berikut, dan katakana

mengapa kesatuan gagasannya tidak jelas atau kabur.

Di daerah-daerah sudah mempunyai lembaga bahasa

Di dalam pendidikan memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi antara

anak didik dan pendidik.

Dalam pendidikan juga sangat berhubungan erat kepada bahasa.

Di rumah-rumah sakit penuh sesak penderita-penderita atom yang belum

mati.

Dengan adanya kenakalan anak-anak yang kadang-kadang sudah

merupakan perbuatan kriminil memerlukan perhatian yang cukup serius

dari alat-alat Negara.

Di Bali sekarang ini terkenal dengan patung-patung yang bercorak sangat


primitive
Kebutuhan akan makan oleh manusia tidak dapat menunggu sampai hari

esok

Menangggapi tulisan saudara pada harian Kompas hari Kamis 27 Maret

1975 pada halaman IV kolom redaksi Yth. Mengenai TVRI Palembang

yang isinya mengungkapkan perasaan tidak puas, mual dan jengkel

terhadap acara-acara produksi TVRI Palembang, dengan tulisannya

antara lain dalam menampilkan acara TVRI Palembang tidak terlebih

dahulu menganalisa acara-acara yang diproduksinya sendiri itu, asal jadi

saja.

Karena bahasa kesatuan Indonesia yang berasall dari bahasa

nasionalnya.

132
Terhadap orang yang lebih tinggi umurnya dan aatau kedudukannya

berbeda caranya

Penetapan bahasa kesatuan kita, sangat mudah; pada mana, masa-masa

perjuangan, dimana rakyat Indonesia, yang etrsebar dari Sabang hingga

Merauke, yang senasib, seperjuangan serta satu cits-cita, maka karena

kesadaran tadi, disertai pemikiran, maka rakyat Indonesia menetapkan

bahasa Nasional tersebut sebagai bahasa kesatuan

2. Koherensi Yang Baik dan Kompak

Yang dimaksud dengan Kohenreni atau Kepaduan yang Baik dan Kompak

adalah terjadinya hubungan yang padu antara unsur-unsur pembentuk kalimat.

Artinya ada hubungan timbal-balik yang baik dan jelas antara unsur-unsur (kata

atau kelompok kata) yang membentuk kalimat itu. Bagaimana hubungan antara

subyek dan predikat, antara predikat dan obyek, serta keterangan-keterangan lain

yang menjelaskan tiap-tiap unsur pokok tadi.

Setiap bahasa memiliki kaidah-kaodah tersendiri bagaimana mengurutkan

gagasan-gagasan tersebut. Ada bagian-bagian kalimat yang memiliki hubungan

yang lebih erat sehingga tidak boleh dipisahkan, ada yang lebih renggang

kedudukannya sehingga boleh ditempatkan dimana saja, asal jangan disisipkan

antara kata-kata atau kelompok kata yang rapat hubungannya. Kesalahan yang

seringkali juga merusakkan koherensi adalah menempatkan kata depan, kata

penghubung yang tidak sesuai atau tidak pada tempatnya, penempatan

keterangan aspek yang tidak sesuai dan sebagainya.

Sebagai sudah dikatakan di atas, bilamana gagasan yang tidak

berhubungan satu sama lain disatukan, maka selain merusak kesatuan pikiran,

133
juga akan merusak koherensi kalimat yang bersangkutan. Dalam kesatuan

pikiran lebih ditekankan adanya isi pikiran, sedangkan dalam koherensilebih

ditekankansegi struktur, atau interrelasi antara kata-kata yang menduduki sebuah

tugas dalam kalimat. Sebab itu bisa terjadi bahwa sebuah kalimat dapat

mengandung sebuah kesatuan pikiran, namun koherensinya tidak baik.

a. Koherensi rusak karena tempat kata dalam kalimat tidak sesuai dengan pola

kalimat.

BAIK : adik saya yang paling kecil memukul anjing di

kebun kemarin pagi, dengan sekuat tenaganya.

TIDAK BAIK : adik saya yang palinng kecil memukul dengan

sekuat tenaganya kemarin pagi di kebun

anjingAnjing kemarin pagi dikebun adik saya

memukul dengan sekuat tenaga.Demikian pula

pemisahan saya yang paling kecil dari kata adik

juga akan merusak koherensi kelompok kata

dalam kalimat.

b. Kapaduan sebuah kalimat akan rusak pula karena salah mempergunakan

kata-kata depan, kata penghubung, dan sebagainya.

Interasksi antara perkembangan kepribadian dan perkembangan penguasaan

bahasa menentukan bagi pola kepribadian yang sedang berkembang (tanpa

bagi). Sejak lahir manusia memiliki jiwa untuk melawan kekejaman alam, atau

kepada pihak lain karena merasa dirinya lebih kuat (tanpa kepada).

Walaupun segi kepariwisataan telah memberi lapangan kerja kepada

penduduk Balidan telah mendorong pada sektor seni lukis, seni pahat dan

134
kerajinan lainnya, namun mita mulai merasakan aspek-aspek negative daripada

perkembangan ini (tanpa pada, sedangkan daripada sebaiknya dari)

Pola kesalahan semacam ini sering sekali terjadi, terutama bila kita

menghadapi bentuk-bentuk yang mirip:

Benar Salah

Membahayakan Negara membahayakan bagi Negara

Berbahaya bagi Negara

Membicarakan suatu masalah Membicarakan tentang suatu….

Berbicara tentang suatu masalah

Mengharapkan belas kasihan Mengharapkan akan belas kasihan

Berharap belas kasihan

Menceritakan peristiwa itu Menceritakan tentang peristiwa itu

Bercerita tentang peristiwa itu

Saling membantu Saling bantu membantu

Bantu membantu.

c. Kesalahan lain yang dapat merusak koherensi adalah pemakaian kata, baik

karena merangkaikan dua kata yang maknanya tidak tumpang tindih, atau

hakekatnya mengandung kontradiksi.

Banyak para peninjau yang menyatakan bahwa perang yang sedang

berlangsung itu merupakan Perang dunia di Timur Tengah (atau banyak

peninjau ; makna banyak dan para tidak tumpang tindih)

Sampai tahun 1952 banyak penjahat-penjahat perang Jerman yang

dilepaskan dan diampuni dosanya (banyak penjahat)

135
Demi untuk kpentingan sauudara sendiri, saudara dilarang merokok (demi

kepentingan atau untuk kepentingan)

Sering kita membuat suatu kesalahan-kesalahan yang tidak kita sadari

(suatu kesalahan atau kesalahan-kesalahan)

Merangkaikan dua kata yang sinonim masih mungkin; agar supaya saudara

lulus, belajarlah dengan rajin.

d. Suatu corak kesalahan yang lain yang sering dilakukan sehubungan dengan

persoalan koherensi atau kepaduan kalimat adalah salah menempatkan

keterangan aspek (sudah, telah, akan, belum, dsb) pada kata kerja tanggap

Saya sudah membaca buku itu hingga tamat (baik)

Saya sudah baca buku itu hingga tamat (baik)

Saya sudah baca buku itu hingga tamat (kurang baik, bahasa

cakapan)

Jadi: saya baca, kau pukul, kami lihat, dsb. Sebagai bentuk tanggap yang

tidak boleh diselingi keterangan apapun, karena hubungan keduanya sangat

mesra.

3. Penekanan

Inti pikiran yang terkandung dalam tiap kalimat (gagasan utama) haruslah

dibedakan dari sebuah kata yang dipentingkan. Gagasan utama kalimat tetap

didukung oleh subyek, dan predikat sedangkan unsure yang dipentingkan dapat

bergeser dari suatu kata ke kata yang lain. Kata yang dipentingkan harus

mendapat tekanan atau harus lebih ditonjolkan dari unsur-unsur yang lain. Dalam

bahasa lisan kita dapat mempergunakan tekanan, gerak-gerik dan sebagainya

136
untuk memberi tekanan pada sebuah kata. Dalam bahasa tulisan hal ini tidak

mungkin dilakukan. Namun masih terdapat bebrapa cara yang dapat dipergunakan

untuk memberi penekanan itu, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa

tulisan.

Cara-cara tersebut adalah:

a. Mengubah posisi dalam kalimat

Sebagai prinsip yang dapat dikatakan bahwa semua kata yang ditempatka

pada awal kalimat adalah kata yang dipentingkan. Berdasarkan prinsip

tersebut, untuk mencapai efek yang diinginkan sebuah kalimat dapat dirubah-

rubah strukturnya dengan menempatkan sebuah kata yang dipentingkan pada

awal kalimat.

Kami berharap pada kesempatan lain kiita dapat membicarakan lagi soal

ini.

Kalimat di atas menunjukkan bahwa kata yang dipentingkan adalah kami(

berharap), bukan yang lain-lain. Di samping kami, kita dapat memberi

penekanan pada kata-kata lainnya; harap, pada kesempatan lain kita, soal ini.

Kata-kata tersebut dapat ditempatkan pada awal kalimat, dengan konsekuensi

bahwa kalimat di atas bisa mengalami perubahan strukturnya, asal isinya tidak

berubah.

Harapan kami adalah agar soal ini dapat kita biacarakan lagi pada

kesempatan lain

Pada kesempatan lain kami berharap kita dapat membicarakan lagi soal

ini

137
Kita dapat membicarakan lagi soal ini pada kesempatan lain demikian

harapan kami

Soal ini dapat kita bicarakan pada kesempatan lain, demikian harapan

kami.

b. Mempergunakan repetisi

Repetisi adalah pengulangan sebuah kata yang dianggap penting dalam

sebuah kalimat.

Harapan kita demikianlah dan demikian pula harapan setiap pejuang.

Kemajuannya menyangkut kemajuan di segala bidang, kemajuan

kesadaran politik, kesadaran bermasyarakat, kesadaran berekonomi,

kesadaran berkebudayaan, dan kesadaran beragama.

Memang, dalam penglihtan saya, bahasa Indonesia merupakan suatu alat

yaitu alat untuk komunikasi. Dalam hubungan antara suami dan istri,

antara orangtua dan anak, antara komandan dan anak buah, antara guru

dan murid, antara pemerintah dan rakyat, antara sesama warga

masyarakat pastilah diperlukan bahasa sebagai alat komunikasi.

c. Pertentangan
Pertentangan dapat pula dipergunakan untuk menekan suatu gagasan.

Kita bisa saja mengatakan secara langsung hal-hal berikut dengan

konsekuensi bahwa tidak terdapat penekanan:

Anak itu rajin dan jujur.

Ia menghendaki perbaikan yang menyeluruh di perusahaan itu

138
Agar kata rajin dan jujur serta menghendaki perbaikan yang

menyeluruh dapat lebih ditonjolkan, maka kedua gagasan itu ditempatkan

dalam suatu posisi pertentangan, misalnya:

Anak itu tidak malas dan curang, tetapi rajin dan jujur

Ia tidak menghendaki perbaikan yang bersifat tambal sulam, tetapi

perbaikan yang menyeluruh di perusahaan itu.

Perhatikan juga contoh-contoh lain dibawah ini:

Kita tidak menghendaki sastra yang merupakan pidato-kecap berisi

propaganda politik tertentu. Tetapi kita tidak pula menghendaki adalah

sastra yang tanpa konsepsi. Yang kita kehendaki adalah sastra yang

dikehendaki oleh rakyat, yakni sastra yang benra-benar bertumpu pada

problematic rakyat sendiri, yang berjiwa pancasila dan melaksanakan

amanat Penderitaan Rakyat

Sebenarnya yang ingin disampaikan adalah amanat dalam kalimat terakhir.

Namun supaya amanat itu lebih ditonjolkan maka diperlukan dua kalimat yang

mengandung pertentangan.

d. Partikel Penekanan
Dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa partikel yang berfungsi untuk

menonjolkan sebuah kata atau ide dalam sebuah kalimat. Partikel-partikel yang

dimaksud adalah : lah, pun, kah, yang oleh kebanyakan tatabahasa disebut

imbuhan.

Saudaralah yang harus bertanggungjawab dalam soal itu

Bapaklah yang harus lebih dahulu memberi contoh

139
Ia pun mencoba mendekatkan kedua belah pihak daam suatu

perbandingan

Kami pun turut dalam kegiatan itu

Rakyatlah yang harus menanggung akibat kekotoran dalam


permainan manipulasi uang rakyat itu?
Benarkah seperti apa yang dikatakannya itu?
Tolonglah dia, pasti sia segera selesai

4. Variasi
Variasi merupakan suatu upaya yang bertolak belakang dengan repetisi.

Repetisi atau pengulangan sebuah kata untuk memperoleh efek penekanan, lebih

banyak menekankan kesamaan bentuk. Pemakaian bentuk yang sama secara

berlebihan akan menghambarkan selera pendengar atau pembaca. Sebab itu ada

upaya lain yang bekerja berlawanan dengan repetisi yaitu variasi. Variasi tidak

lain daripada menganeka-ragamkan bentuk-bentuk bahasa agar tetap terpelihara

minat dan perhatian orang.

Variasi dalam kalimat dapat diperoleh dengan beberapa macam cara, yaitu:

a. Variasi Sinonim Kata

Variasi berupa sinonim kata, atau penjelasan-penjelasan yang berbentuk

kelompok kata-kata pada hakekatnya tidak merubah isi dari yang akan

disampaikan.

Dari renungan itulah penyair menemukan suatu makna, suatu realitas

yang baru, suatu kebenaran yang menjadi ide sentral yang menjiwai

seluruh puisi (BKI).

Seribu puspa di taman bunga seribu wangi menyegar cita (BKI)

140
Pengertian makna, realitas yang baru dan kebenaran merupakan hal yang

sama diperoleh penyair dalam renungannya itu.

Demikian pula puspa dan wangi sebenarnya menyatakan hal yang sama.

b. Variasi Panjang Pendeknya Kalimat

Variasi dalam panjang pendeknya struktur kalimat yang akan

mencerminkan dengan jelas pikiran pengarang, serta pilihan yang tepat

dari struktur panjangnya sebuah kalimat dapat member tekanan pada

bagian-bagian yang diinginkan. Bila kita menghadapi kalimat atau

rangkaian kalimat panjang yang identik strukturnya, maka itu merupakan

pertanda bahwa kalimat tersebut kurang baik diagrap, serta pikiran

pengarang sendiri tidak jelas.

Perhatikan variasi pengarang pendek kalimat dalam contoh berikut:

Saudara J.U.Nasution memberikan alas an untuk menolak sajak tersebut

dengan mengutarakan bahwa ouisi itu tidak mengikuti logika puisi, pada

malam lebaran tidak ada bulan. Sebenarnya tak perlu kita bawa logika

puisi untuk menolak puisi tersebut. Penciptaan puisi memang bukanlah

hanya dapat melambangkan banyak hal. Tetapi pernyataan itu juga

harus intensif, yang dengan sendirinya dapat menimbulkan kesan kepada

pembaca, dan kesan yang timbul bukan karena peneliti pernah

mengalami hal yang sama atau mengetahui jiwa penyair atau situasi

penyair waktu menciptakan sajak itu bukanlah suatu puisi yang baik. Dia

juga harus memberi sesuatu kepada manusia dan yang diberikan sesuatu

yang berharga (BKI)

141
Bila kita perinci fragmen di atas maka kalimat pertama mengandung 23

kata (nama orang dihitung 1 kata). Sedangkan kalimat-kalimat selanjutnya

berturut-turut terdiri dari : 11 kata, 9 kata, 37 kata, 15 kata, dan 16 kata.

Ternyata fragmen ini tidak membosankan, karena cukup mengandung

variasi.

c. Variasi Penggunaan Bentuk me- dan di-


Pemakaian bentuk gramatikal yang samadalam beberapa kalimat

berturut-turut juga dapat menimbulkan kelesuan. Sebab itu haruslah

dicari variasi pemakaian bentuk gramatikal, terutama dalam

mempergunakan bentuk-bentuk kata kerja yang mengandung prefiks me-

dan di-.

Perhatikan kutipan berikut:

Seorang ahli Inggris yang duduk dalam Team Penelitian dan

Pengembangan Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia pernah

mengemukakan bahwa di daerah-daerah yang luas tetapi tipis

penduduknya serta kurang aktivitas ekonominya, seyogianya

pemerintah tidak membangun pelabuhan samudra. Namun pemerintah

tidak membangun memutuskan demikian.

Memang, cukup mengendorkan semangat kalau kita melihat keadaan di

Nusa Tenggara (Tidak termasuk Bali dan Lombok) yang tetap ‘tidur

nyenyak’ meskipun pemerintah sudah membangun banyak fasilitas

pengangkutan laut serta udara.

Kutipan diatas akan dirasakan lain kalau dibuat variasi seperti dibawah

ini:

142
Seorang ahli Inggris yang duduk dalam Team Penelitian dan

Pengembangan Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia pernah mengemukakan

bahwa di daerah-daerah yang luas tetapi tipis penduduknya serta kurang

aktivitas ekonominya, seyogianya tidak dibangun pelabuhan samudra.

Namun pemerintah tidak memutuskan demikian. Memang, cukup

mengendorkan semangat kalau kita melihat keadaan di Nusa Tenggara

(Tidak termasuk Bali dan Lombok) yang tetap ‘tidur nyenyak’ meskipun

pemerintah sudah dibangun.

d. Variasi Dengan Merubah Posisi Dalam Kalimat


Variasi dengan merubah posisi dalam kalimat sebenarnya mempunyai

sangkut paut juga dengan penekanan dalam kalimat. (lihat 4a)

Bagaimana saudara membuat variasi kalimat berikut dengan memberi

tekanan pada kata-kata yang terdapat dalam kurung:

Di bidang angkutan udara MNA mempergunakan pesawat Twin Otter

yang harganya tiga kali lebih mahal dari harga Dakota, karena

beberapa keunggulannya. (pergunakan; MNA; pesawat Twin Otter;

harganya tiga kali lebih mahal; karena beberapa keunggulannya)

Pelaksaan bantuan hokum di Negara kita, yang dilaksanakan atas dasar

peraturan peninggalan zaman penjajahan dahulu sifatnya sangat

terbatas. (di Negara kita; peraturan peninggalan zaman penjajahan;

sifatnya sangat terbatas)

5. Paralelisme
Bila variasi struktur kalimat merupakan suatu alat yang baik untuk

menonjolkan gagasan sentral, maka paralelisme juga menempatkan gagasan-

143
gagasan yang sama penting dan fungsinya ke dalam suatu struktur/kontruksi

gramatikal yang sama. Bila salah satu dari gagasan itu di tempatkan dalam suatu

struktur kata benda, maka kata-kata atau kelompok-kelompok kata yang lain yang

menduduki fungsi yang sama harus juga ditempatkan dalam struktur kata benda;

bila yang satunya ditempatkan dalam kata kerja, maka yang lain-lainnya juga harus

ditempatkan dalam struktur kata kerja.

Paralelisme atau kesejajaran bentuk membantu memberi kejelasan dalam


unsur gramatikal dengan mempertahankan bagian-bagian yang sederajat dalam
konstruksi yang sama.
Contoh kesejajaran yang salah:

- Kegiatan di perpustakaan meliputi pembeliaan buku, membuat

katalog, dan buku-buku diberi label.

- Kakakmu menjadi dosen atau sebagai pengusaha?

Contoh kesejajaran yang benar:

- Kegiatan di perpustakaan meliputi pembeliaan buku, pembuatan

katalog, dan pelabelan buku.

- Kakakmu menjadi dosen atau menjadi pengusaha?

Untuk memperjelas pemahaman perhatikanlah kutipan berikut:

Apabila pelaksanaan pembangunan lima tahun kita jadikan titik-tolak, maka

menonjollah pokok yang minta perhatian dan pemecahan. Reorganisasi

administrasi departemen-departemen. Ini yang pertama. Masalah pokok yang

lain yang menonjol ialah pemborosan dan penyelewengan. Ketiga karena

masalah pembangunan ekonomi yang kita jadikan titik-tolak, maka kita ingin

juga mengemukakan factor lain. Yaitu bagaimana memobilisir potensi

nasional secara maksimal dalam partisipasi pembangunan ini (Kompas)

144
Bila kita perhatikan kutipan di atas tampak bahwa reorganisasi administrasi ,

pemborosan dan penyelewengan serta mobilitas potensi nasional merupakan

masalah pokok yang mempunyai hubungan satu sama lain. Dengan

mempergunakan konstruksi yang paralel ketiganya dapat di hubungkan secara

mesra, serta akan memberi tekanan yang lebih jelas pada ketiga-tiganya.

BAIK : Reorganisasi administrasi departemen-departemen; penghentian

pemborosan dan penyelewengan-penyelewangan, serta mobilisasi

potensi-potensi nasional, merupakan masalah-masalah pokok yang

meminta perhatian kita. (semuanya kata benda)

BAIK : Mereorganisir administrasi departemen-departemen menghentikan

pemborosan dan penyelewengan-penyelewengan, serta memobilisir

potensi-potensi nasional, merupakan masalah-masalah pokok yang

meminta perhatian pemerintah kita. (semuanya kata kerja).

SALAH : Reorganisasia dministrasi departemen-departemen menghentikan

pemborosan dan penyelewengan- penyelewengan, serta mobilisasi

potensi-potensi nasional, merupakan masalah-masalah pokok yang

meminta perhatian pemerintah kita

BAIK : Tahap terakhir dari penyelesaian gedung itu adalah: pengecatan

seluruh temboknya, pemasangan penerangan, pengujian sistim

pembagian air, dan pengaturan tata ruangnya. ( atau: mengecat….,

memasang…., menguji…., mengatur….).

SALAH : Tahap terakhir dari penyelesaian gedung itu adalah: pengecatan

seluruh temboknya, memasang penerangan, pengujian sistim

pembagian air, dan pengaturan tata ruangnya.

145
6. Penalaran atau Logika
Struktur gramatikal yang baik bukan merupakan tujuan dalam komunikasi,

tetapi sekadar merupakan suatu alat untuk merangkaikan sebuah pikiran atau

maksud dengan sejelas-jelasnya. Di samping itu dalam sebuah kehidupan sehari-

hari kita mengalami kenyataan-kenyataan yang menunjukkan bahwa ada anggota

masyrakat yang dapat mengungkapkan pendapat dan isi pikirannya dengan

teratur, tanpa mempelajari secara khusus struktur gramatikal suatu bahasa. Berarti

ada unsur lain yang harus diperhitungkan dalam pemakaian suatu bahsa. Unsur

lain ini adalah segi penalaran atau logika. Jalan pikiran pembicara turut

menentukan baik tidaknya kalimat seseorang, mudah tidaknya dapat dipahami.

Yang dimaksud dengan kelogisan adalah terdapatnya arti kalimat yang

logis/masuk akal. Logis dalam hal ini juga menuntut adanya pola pikir yang

sistematis. Sebuah kalimat yang sudah benar strukturnya, sudah benar pula

pemakaian tanda baca kata, atau frasanya, dapat menjadi salah jika maknanya

lemah dari segi logika berbahasanya.

Perhatikan contoh kalimat yang lemah dari segi logika berbahasa berikut

ini:

- Kambing sangat senang bermain hujan (jika diperhatikan dari strujtur

dan tanda baca kalimat tersebut sudah benar, namun tidak dapat logis

karena kambing merupakan binatang yang takut air)

- Karena lama tinggal di asrama putra, anaknya semua laki-laki (tidak

ada hubungan tinggal di asrama putra dengan mempunyai anak laki-

laki)

146
Tulisan-tulisan yang jelas dan terarah merupakan perwujudan dari berpikir

logis. Perhatikan kalimat-kalimat berikut. Tiap bagian kalimat (klausa) dapat

dimengerti, namun penyatuannya menimbulkan hal yang tidak bisa atau sulit

diterima akal:

Orang itu mengerjakan sawah-ladangnya dengan sekuat tenaga

Karena mahasiswa-mahasiswa Indonesia harus menggarap suatu karya ilmiah

sebelum dinyatakan lulus dari suatu Perguruan Tinggi

Dia mengatakan pada saya bahwa ia telah lulus, tetapi anjng itu tidak mau

mengikuti pemerintah pemburu itu.

147
BAB VI

PENGEMBANGAN ALINEA

A. Pengembangan Alinea

Perkembangan dan pengembangan alinea mencakup dua persoalan utama yaitu

pertama, kemampuan memperinci secara maksimal gagasan utama alinea ke dalam

gagasan-gagasan bawahan, dan kedua, kemampuan mengurutkan gagasan-gagasan

bawahan ke dalam suatu urutan yang teratur.

Gagasan utama alinea hanya akan menjadi jelas bila diadakan perincian yang

cermat. Gagasan utama biasanya didukung oleh kalimat topik. Gagasan-gagasan

bawahan dapat dapat didukung masing-masing oleh sebuah kalimat atau lebih. Ada

juga kemungkinan bahwa semua gagasan bawahan sudah tercakup dalam: kalimat

topik. Malahan ada dua gagasan yang didukung oleh sebuah kalimat saja.

Untuk mengembangkan sebuah alinea, baik untuk memperinci gagasan utama,

maupun unuk mengurutkan perincian-perincian itu dengan terratur,

dikembangkanlah bermacam-macam metode pengembangan. Metode

pengembangan mana yang dipakai tergantung dari sifat alinea itu. Dasar

pengembangan alinea dapat terjadi karena adanya hubungan alamiah, hubungan

logis serta ilustrasi-ilustrasi. Hubungan alamiah didasarkan pada keadaan yang

nyata di alam (urutan kejadian, urutan tempat atau sudut pandangan) sedangkan

hubungan logis didasarkan pada tanggapan penulis atas relasi dari perincian-

perincian itu.

148
Dibawah ini akan diuraikan beberapa metode pengembangan itu sesuai dengan

dasar pembentukan alinea tersebut.

1. Klimaks dan Anti-Klimaks

Perkembangan gagasan dalam sebuah alinea dapat disusun dengan

mempergunakan dasar klimaks, yaitu sauatu gagasan utama mula-mula diperinci

dengan sebuah ggagasan bawwahan yang dianggap paling rendah

kedudukannya, berangsur-angsur dengan gagasan-gagasan lain hingga ke

gagasan yang paling tinggi kedudukannya atau kepentingannya. Dengan kata

lain gagasan-gagasan disusun sekian macam sehingga tiap gagasan yang berikut

lebih tinggi kepentingannya dari gagasan sebelumnya, atau perhatian penulis

terhadap gagasan beikutnya selalu menjadi lebih besar bila dibandingkan dengan

perhatiannya terhadap gagasan-gagasan sebelumnya.

”Bentuk traktor mengalami perkembangan dari jaman ke jaman sejalan

dengan kemajuan teknologi yang dicapai umat manusia. Pada waktu mesin

uap sedang jaya-jayanyya, ada traktor yang dijalankan dengan uap.

Modelnya kira-kira seperti mesin gilingyang digerakkan oleh uap. Pada

wwaktu tank sedang menjadi pusat perhatian orang, trakor pun ikut-ikutan

diberi model seperti tank. “Keturunan” traktor model tank ini sampai

sekarang masih dipergunakan orang, yaitu traktor yang pakai roda rantai.

Traktor semacam ini adalah hasil perusahaan Caterpillar. Di samping

Caterpillar, Fordpun tidak ketinggalan dalam pembuatan traktor dan alat-

alat pertanian lainnya. Jepang tidak mau kalah saing dalam bidang ini.

Produksi Jepang yang khas di Indonesia terkenal dengan nama padi

149
ttraktor yang bentuknya sudah mengalami perubahan dari model-model

sebelumnya.”

Gagasan utama alinea di atas adalah “bentuk traktor mengalami

perkembangan dari jaman ke jaman” yang terdapat dalam kalimat topik pada

awal alinea. Gagasan utama ini kemudian diperinci dalam empat gagasan

bawahan, yaitu: trraktor yang dijalankan dengan uap, traktor yang pakai roda

rantai, traktor buatan Ford, dan traktor buatan Jepang atau padi traktor.

Gagagsan bawahan pertama didukung oleh dua kalimat, gagagsan bawahan

kedua didukung oleh tiga kalimat. Sebaliknya gagasan bawahan ketiga hanya

didukung hanya didukung oleh satu kalimat. Sebab itu terasa bahwa gagasan ini

juga kurang jelas. Gagasan bawahan keempat ditunjang oleh dua kalimat.

Demikian pula cara menganalisis alinea-alinea lainnya dengan macam-

macam metode pengembangan lain. Yang penting adalah menetapkan gagasan

utamanya, baru kemudian dipersoalkan bagaimana perincciannya. Alinea yang

bersifat deduktif atau induktf lebih mudah dianalisa karena gagasan utamanya

didukung oleh sebuah kalimat topik. Sebaliknya alinea yang gagasam utamanya

didukung oleh sebuah kalimat (deskriptif dan naratif) agak lebih sukar karena

harus dirumuskan secara tersendiri dengan memperhatikan isi semua kalimatnya.

Variasi dan klimaks adalah antiklimaks, yaitu penulis mulai dari suatu

gagasan atau tema yang dianggap paling tinggi kedudukannya kemudian

perlahan-lahan menurun melalui gagasan-gagasan yang lebih rendah hingga

paling rendah.

150
2. Sudut Pandangan

Yang dimaksud dengan sudut pandangan adalah tempat dari mana seorang

pengarang melihat sesuatu. Sudut pandangan tidak diartikan sebagai penglihatan

atas sesuatu barang dari atas atau dari bawah, tetapi bagaimana kita melihat

barang itu dengan mengambil sesuatu posisi tertentu. Bagaimana seorang

menggambarkan isi sebuah ruang? Pertama-tama ia harus mengambil sebuah

posisi tertentu, kemudian secara perlahan-lahan dan berurutan menggambarkan

barang demi barang yang terdapat dalam ruangan itu, dimulai dari yang paling

dekat berangsur-angsur ke belakang. Sebab itu urutan semacam ini disebut juga

urutan-ruang. Perhatikanlah lukisan keadaan di bawah ini:

“Sekarang hanya beberapa langkah lagi jaraknya mereka dari tebing di

atas jalan.Medasing menegakkan dirinya sambil mengawasi ke muka dan iapun

berdiri tiada berggerak sebagai pohon di antara pohon-pohon yang lain. Oleh

isyarat yang lebih terang dari perkataan itu maju sekalian temannya sejajar

dengan dia.

Di antara daun kayu tampak kepada mereka tebing itu turun ke bawah; di

kakinya tegak pondok, sunyi-mati, tak sedikit juapun kentara, bahwa dia

melindungi manusia yang hidup, pandai bergerak dan bersuara. Di bawahnya

kedengaran sebentar-sebentar sapi mendengus dan binatang-binatang itupun

kelihatan kekabur-kaburan dalam sinar bara yang kusam. Dari celah-celah

dinding pondok keluar cahaya yang kuning merah, tetapi tiada berapa jauh

sinar yang halus itu lenyap dibalut oleh kelam yang maha kuasa. Di keliling

pondok itu tertegak pedai, ketiganya sunyi dan sepi pula”. (AP)

151
Detail-detail dapat diarahkan kepada segi lain, misalnya pelukisan secara

cermat attas seseorang yang berjalan dari suatu bagian ke bagian yang lain dari

suatu obyek yang diselidiki. Atau untuk melukiskan perbedaan antara dua hal,

maka mula-mula hal yang pertama dilukiskan secermat-cermatnya, kemudian

pembicaraan dialihkan kepada hal yang kedua dengan menggambarkan segi-segi

yang menunjukkan perbedaan dengan hal yang pertama. Seperti halnya dengan

menggambarkan suatu hal dengan mepergunakan sudut pandang yang biasa,

maka dalam membuat pertentangan ini, penulis tidak boleh memasukkan detail-

detail yang tidak dilihatnya dari tempat itu, walaupun mungkin pengetahuannya

tentang hal itu lebih banyak daripada yang dapat dilihatnya dari tempat itu.

Di samping menggambarkan hal atau barang secara mendetail dari suatu

segi pandangan tertentu, pengarang dapat mencurahkan perhatiannya tterhadap

suatu suasana tertentu. Suasana merupakan suatu bagian yang esensil dari sudut

pandangan. Suatu suasana yang tengah berlangsung hanya boleh diganggu

apabila ada sebab yang sungguh-sungguh dapat dipertanggung-jawabkan, dan

harus sudah diadakan persiapan-persiapan ke arah itu.

Walaupun agak menyimpang dari bagian ini, namun agar kita jangan

mempunyai gambaran yang terlalu sempit tentang sudut pandangan atau point of

view ini, maka perlu kiranya ditegaskan bahwa sudut pandangan juga

mempunyai beberapa pengertian yang lain.

Pertama sudut pandangan juga mencakup apakah persoalan yang sedang

dibahas dilihat dari sudut pandangan orang pertama (saya, kami, kita), atau sudu

pandangan kedua (engkau, kamu, saudara), atau dengan mempergunakan bentuk

tak berorang atau bentuk di-. Sudut pandangan ini sama sekali tidak ada

152
hubungan dengan dasar pengembangan sebuah alinea, tetapi mencakup

konsistensi sudut pandangan dalam seluruh uraian. Bila sekali penulis

mempergunkan sudutt pandangan pertama, jangan berpaling mempergunakan

orang kedua atau benttuk tak berorang.

Kedua, sudut pandangan juga mencakup pengertian bagaimanan pandangan

atau anggapan penulis terhadap subyek yang tengah digarapnya itu. Seorang

penulis terhadap subyek yang tengah digarapnya itu. Seorang penulis misalnya

membuat suatu artikel tentang pemuda-pemudi yang sudah ketagihan ganja,

dengan bertolak dari sudut pandangan yang penuh simpati dan kesedihan, dan

mengemukakan bahwa terseretnya mereka dalam kebiasaan yang terkutuk itu

karena kesalahan orang tuanya. Atau mengenai pokok yang sama ia bertolak dari

suatu sudut pandangan yang penuh permusuhan, kemarahan bahwa perbuatan

semacam ini hanya merusak moral dan berbahaya bagi bangsa dan negara. Jadi

sudut pandangan yang terakhir ini membuat pengarangnya memilih nada

tertentu, kata-kata dan frasa tertentu. Sudut pandangan inilah yang boleh

dikatakan membentuk bahan mentah menjadi suatu karangan, ia membantu

merumuskan maksud penulis dan membatasi pokok yang akan digarapnya.

3. Perbandingan dan Pertentangan


Yang dimaksud dengan perbandingan dan pertentangan adalah suatu cara

dimana penagarang menunjukkan kesamaan atau perbedaan antara dua orang,

obyek atau gagasan dengan bertolak dari segi-segi tertentu.

Kita dapat membandingkan misalnya dua tokoh pendidikan, bagaimana

politik pendidikan yang dijalankan dengan memperhatikan pula segi-segi lain

untuk menerangkan gagasan sentral itu. Maksud daripada perbandinan itu adalah

153
untuk sampai kepada suatu penilaian relatif mengena kedua tokoh tersebut. Segi-

segi perbandingan harus disusun sekian macam sehingga kita dapat sampai

kepada gagasan sentralnya. Misalnya mula-mula kita mebandingkan rasa humor

mereka, cara mereka menghadapi lawan-lawannya, cara mereka menghargai

pendukung-pendukungnya, serta tingkah laku pribadi mereka; rangkaian

perbandingan-perbandingan itu diarahkan kepada gagasan sentral, yaitu

bagaimana rasa huumor mereka menjadi senjata politis, serta bagaimana mereka

menghadapi lawan-lawan mereka sekian macam sehingga tidak merugikan

sahabat-sahabat dan sekutu-sekutu mereka.

Perhatikanlah kutipan di bawah ini, serta katakan apakah terdapat

perbandingan dan pertentangan dalam kutipan itu atau tidak:

“Demokrasi sering yang menandai sepak terjang angkatan ’66 yang juga

sangat terkenal dengan istilah Orde Baru pada hakekatnya adalah

bangkitnya kesadaran dan keinsafan akan pentingnya kritik. Sebab

‘Demokrasi tanpa kritik merupakan isapan jempol belaka’, demikian tulis

Prof.Dr.R.C. Kwant. ‘Kritik menyodorkan kenyataan secara penuh

tanggung-jawab dengan tujuan agar orang yang bersangkutan mengadakan

pemikiran kembali dan selanjutnya mengadakan perbaikan diri atau sel

koreksi’.

Mengapa demokratisering dan dinamiserin dengan cita-cita yang begitu

luhur itu dapat kurang lancar jalannya, pada hemat kami memang bisa

dimaklumi dengan mengingat namanya sendiri yakni Orde Baru. Ini berarti

bahwa kritik masih merupakan halyang baru.hal itu jelas kalau kita

taruhkan pada latar belakang Orde Lama sebagai kebalikannya. Dalam

154
kehidupan orde lama kata ‘kritik’ tidak termuat dalam kamus sehari-hari.

Yang ialah kata-kata macam menjilat, mendukung tanpa reserve dan

sebagai kelanjutannya adalah merongrong, ganyang dan mendongkel.

Kata-kata tertarik itu diperuntukkan lawan-lawannya yang tidak sefaham,

sebab setiap gejala yang menunjukkan akan adanya suatu pengertian ke

arah perbaikan tetapi yang tidak begitu mendatangkan kenan lingkungan

istana karena dipandang bertentangan dengan apa yang sedang berlaku

maka disebutnya merongrong kewibawaan, melawan kebijaksanaan yang

telah digariskan oleh pemerintah. Kuliah filsafat yang menjadikan manusia

bisa berfikir lurus dan kritis dan karenanya telah dijadikan studium

generalekemudian harus dicabut dari loembaga ilmiah tertinggi ini dengan

dalil’karena menghidupkan alam pikiran liberal’. Karenanya harus

diganyang oleh setiap tindakan yang mau merealisasikan gagasan ‘ilmu

untuk rakyat’. Filsafat adalah ajaran kaum liberal, borjuis, dengan

sendirinya rakyat yang menciptakan masyarakat sosialis emotif filsafat”.

( Basis, Peb. 67).

Alinea pertama hanya berfungsi sebagai dasar untuk memahami alinea yang

kedua. Dasar yang dinyatakan dalam alinea pertama itu adalah pentingnya kritik.

Tetapi supaya persoalan kritik ini bisa lebih jelas ungsinya maka diuraikan

dalam sebuah perbandingan, yaitu antara orde lama dan orde baru. Dalam orde

lama kritik tidak ada. Karena tidak ada kritik, maka timbullah akibat selanjutnya;

menjilat, mendukung tanpa reserve sedangkan untuk lawan-lawan politik

dilontarkan kata-kata: merongrong, ganyang dan mendongkel; begitu puliah

kuliah filsafat yang membuat manusia bisa berpikir kritis dilarang. Kalau kita

155
sudah melihat ciri-ciri orde lama ini, maka orde baru haruslah merupakan

kebalikan dari itu, yakni adanya kritik dengan segala konsekuensinya.

4. Analogi
Bila perbandingan dan pertentangan memberi sejumlah ketidaksamaan dan

perbedaan antara dua hal, maka analogi merupakan perbandingan yang

sistematisdari dua hal yang berbeda, tetapi dengan memperhatikan kesamaan segi

atau fungsi dari kedua hal tadi, sekedar sebagai ilustrasi. Atau dapat dikatakan

secara lebih sederhana, perbandingan menunjukkan kesamaan antara barang-

barang dalam kelas yang sama, sebaliknya anologi menunjukkan kesaman-

kesamaan antara dua barang atau hal yang berlainan kelasnya. Bila seorang

mengatakan: “Awan dari ledakan bom atau itu, membentuk sebuah cendawan

raksasa”, maka perbandingan antara awan ledakan atom dan cendawan

merupakan sebuah anologi, sebab kedua hal itu sangat berbeda kelasnya, kecuali

kesamaan bentuknya.

Analogi biasanya digunakan untuk membandingkan sesuatu yang tidak atau

kurang dikenal dengan sesuatu yang dikenal baik oleh umum, untuk menjelaskan

hal yang kurang dikenal umum.

Perhatikan contoh berikut:

“Pencabangan suatu bahasa proto menjadi dua bahasa baru atau lebih, setia

tiap-tiap bahasa baru itu dapat bercabang pula dan seterusnya, dapat disamakan

dengan pencabangan sebatang pohon. Pada suatu waktu batang pohon tadi

mengeluarkan cabang-cabang baru; tiap cabang kemudian bertunas dan

bertumbuh menjadi cabang-cabang baru. Cabang-cabang yang baru ini

156
kemudian mengeluarkan ranting-ranting yang baru. Demikian seterusnya. Begitu

pula pencabangan pada bahasa.

Tetapi harus diingat bahwa antara pencabangan bahasa dan pencabangan

sebatang pohon terdapat suatu perbedaan. Setelah sebuah bahasa bercabang,

maka antara bahasa-bahasa yang baru itu masih terdapat kontak timbal-balik,

masih terjalin pengaruh mempengaruhi antara kedua bahasa itu. Lain halnya

dengan cabang-cabang pohon, sekali tumbuh menjadi sebuah cabang atau

ranting yang terpisah, ia tidak menghiraukan lagi nasib cabang atau ranting-

ranting lainnya”.

5. Contoh
Sebuah gagasan yang terlalu umum sifatnya, atau generalisasi-generalisasi

memerlukan ilustrasi-ilustrasi yang konkrit sehingga dapat dipahami oleh

pembaca. Untuk ilustrasi terhadap gagasan-gagasan atau pendapat yang umum itu

maka sering dipergunakan contoh-contoh yang konkrit, yang mengambil tempat

dalam sebuah alinea. Tetapi harus diingat bahwa sebuah contoh sama sekali tidak

berfungsi untuk membuktikan pendapat seseorang, tetapi dipakai sekedar untuk

menjelaskan maksud penulis. Dalam hal ini pengalaman-pengalaman pribadi

merupakan behan yang paling efektif untuk setiap pengarang.

“Dalam bukunya ‘The world and the Wwest’ Arnold Toynbee mengemukakan

pendapatnya, bahwa hasil teknologi Barat tidak dengan serta merta dapat

ditanamkan ke dalam bumi Timur, berhubung teknik itu merupakan hasil

daripada suatu perkembangan yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.

Tehnik Barat modern merupakan suatu bagian integral yang tak dapat dipisahkan

dari alam kebudayaan sekitarnya. Sehingga, barangsiapa ingin mempergunakan

157
hasil tehnik Barat, mau tidak mau harus menyesuaikan alam kebudayaannya

sendiri dengan alam pikiran dan kebudayaan Barat modern.

Dengan sebuah contoh yang konkrit dan sederhana pendapat ini dapat kita

terangkan sebagai berikut: Sebelas tahun yang lalu Indonesia mengimporkan

gerbong-gerbong kereta api dari Perancis. Rupanya cukup mentereng, dan

sebagian dilengkapi dengan alat-alat airconditioning. Manakah tak terpelihara,

patut dipakai pada trayek-trayek tingkat 3 saja guna mengangkut anak-anak

sekolah dan kaum petani dari pedusunan ke kota. Siapa yang salah? Para

pemakaikah? para pegawai PNKA-kah? Mempergunakan hasil tehnik modern

menuntut perhatian dan pengawasan yang cukup cermat, menuntut pula dari

fihak para penumpang rasa tanggungjawab terhadap milik negara dan bangsa,

supaya dipelihara dan dipakai dengan rapi dan bersih. Ternayta publik umum di

Indonesia kadang-kadang belum cukup dewasa dan masak untuk mempergunakan

gerbong-gerbong itu dengan semestinya”.(Basis, August 1970).

6. Proses
Sebuah dasar lain yang dapat juga dipergunakan untuk menjaga agar

perkembangan sebuah alinea dapat disusun secara teratur adalah proses. Proses

merupakan suatu urutan dari tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan untuk

menciptakan atau menghasilkan sesuatu atau urutan dari sesuatu kejadian atau

peristiwa.

Untuk menyusun sebuah proses, pertama-tama penulis harus mengetahui

perincian-perincian secara menyeluruh. Kedua, ia harus membagi proses tersebut

atas tahap-tahap kejadiannya. Bila tahap-tahap kejadian ini berlangsung dalam

waktu-waktu yang berlainan, maka penulis harus memisahkan dan mengurutkan

158
secara kronologis. Ketiga, sesudah mengadakan pembagian sebagai diuraikan

tadi, ia harus menjelaskan tiap tahap dalam detail yang cukup tegas sehingga

pembaca dapat melihat seluruh proses itu dengan jelas.

Laporan tentang jalannya suatu peristiwa sejarah akan berbeda dengan

laporan-laporan tentang proses mekanis, lebih-lebih tahap-tahap dalam dalam

peristiwa itu tidak bisa dibedakan dengan tegas karena prosesberlangsung

serempak. Sering pula terjadi, bahwa di samping melukiskan proses itu,

pengarang menyampaikan juga komentarnya mengenai sebab-sebab dan akibat-

akibat yang ditimbulkannya. Mereka yang biasa menghadapi seluk-beluk pesawat,

sering menghadapi problem semacam ini, Bayangkan bila seorang ahli mesin

harus memasang sebuah mesin baru.

Ia hanya menghadapi sebuah buku pedoman atau buku petunjuk tentang

pemasangan mesin-mesin, serta di pihak lain. Di sini ia maenyadari sepenuhnya

betapa pentingnya untuk menerangkan cara pemasangan itu secara sederhana

dengan bahasa yang konkrit.

Penulisan proses semacam ini, juga merupakan bagian yang penting pada

perguruan tinggi, yaitu pada waktu menuliskan laporan-laporan laboratoria.

Proses laboratoria itu dapat bersifat mekanis (memasang sebuah mesin, atau

percobaan-percobaan fisika), dapat bersifat alamiah atau organis (pernapasan,

reaksi-reaksi kimia). Dalam tulisan-tulisan yang bersifat historis penulis juga

mempergunakan urutan-urutan berdasarkan proses: misalnya mengapa dan

bagaiman Belanda menduduki Jogyakarta.

159
Singkatnya proses itu menyangkut jawaban atas pertanyaan-pertanyaan:

Bagaimana mengerjakan hal itu? Bagaimana bekerjanya? Bagaimana barang itu

disusun? Bagaimana hal itu terjadi?

“Sebagai contoh kita ambil ’pertemuan angkasa’ Gemini-7 tanggal 1

Desember 1965. Gemini-7 sudah berhari-hari berada dalam peredarannya

yang berbentuk lingkaran dengan tinggi 294 km. Sebetul-betulnya telah

diperhitungkan kapan bidang lintasan Gemini-7 akan sama dengan bidang

peluncuran Gemini-6. Ini bisa terjadi tiap hari karena rotasi bumi. Kemudian

ditunggu sampai Gemini-7 berada pada tempat yang tepat, baru Gemini-6

diluncurkan. Hasil peluncuran Gemini-6: Lintasannya berapigeum 261 km,

dan berpergeium 161 km. Jadi berada di bawah dan ke belakang Gemini-7.

Tetapi Gemini-6 lebih rendah, jadi lebih cepat jalannya. Demikian Gemini-7

disusul sedikit demi sedikit. Sekarang soalnya tinggal meninggikan

lintasannya supaya bisa bertemu. Setelah satu kali putaran, tepat pada

perigeumnya Gemini-6 menghidupkan roketnya untuk menghapuskan

pengaruh hambatan udara sehingga apogeumnya tetap 261 km. Setelah

kembali mencapai apogeumnya Gemini-6 dipercepat sehingga perigeumnya

214 km. Sementara diadakan koreksi mengenai arahnya supaya bidang yang

dilintasi keduanya lebih tepat sama. Waktu sampai perigeumnya yang baru,

dipercepat lagi sehingga apogeumnya makin tinggi lagi: 274 km. Jarak dari

Gemini-7 tinggal 309 km. Akhirnya percepatan yang paling penting

dilakukan sehingga lintasannya menjadi lingkaran. Jarak dengan Gemini-7

hanya 25 km. Beberapa km ini diselesaikan pada fase terakhir selama 30

menit. Dengan cara berkali-kali mengadakan pembentukan arah, pengukuran

160
jarak dan percepatan. Akhirnya bertemulah dengan Gemini-7”. (Basis,

Nopember 1967)

Bagaimana pendapat saudara mengenai kutipan di atas? Apakah juga terdapat

sebuah deskripsi mengenai proses? Proses macam apa itu? Dapatkah saudara

sependapat bahwa dengan cara itu telah dicapai sebuah alinea yang bulat?

7. Sebab-Akibat
Perkembangan sebuah alinea dapat pula dinyatakan dengan mempergunakan

sebab-akibat sebagai dasar. Dalam hal ini sebab bisa bertindak sebagai gagasan

utama sedangkan untuk memahami sepenuhnya akibat itu perlu dikemukakan

sejumlah sebab sebagai perinciannya. Persoalan sebab-akibat sebenarnya sangat

dekat hubungannya dengan proses. Bila proses itu dipecah-pecahkan untuk untuk

mencari hubungan antara baian-bagiannya, maka proses itu dapat dinamakan

prosees kausal, atau sebab-akibat.

Dalam mengemukakan hubungan sebab-akibat tersebut pengarang harus

menggarap persoalannya berdasarkan suatu rangka tertentu, misalnya berdasarkan

kepentingan relatifnya, berdasarkan kesederhanaan atau kekompleksannya,

kelangsungan atau ketidak-langsungan sebab atau akibat itu terhadap pokok

utamanya.

Dalam uraian-uraian yang bersifat logis, misalnya tulisan-tulisan ilmiah, tesis,

skripsi dan sebagainya, sebab dan akibat memegang peranan yang sangat penting.

Dalam eksposisi biasa, sebab dan akibat dikemukakakn berdasarkan observasi dan

refleksi yang ada. Seseorang yang menderita penyakit flu akan dihadapkan kepada

serangkaian sebab yang diduga mungkin telah mengakibatkan penyakit flu tadi. Ia

harus memilih diantara sebab-sebab yang paling mungkin: karena mengendarai

161
motor malam-malam, tidak menyelimuti badan dengan baik waktu tidur, terlalu

lama berjemur di panas, teralalu kedinginan, atau atau karena kejangkitan oleh

orang lain yang juga menderita penyakit tersebut. Beberapa dari sebab-sebab itu

mungkin merupakan sebab yang langsung, bila dibandingkan dengan sebab-sebab

lainnya.

Dengan memisahkan mana merupakan sebab langsung dan mana yang tidak,

maka dapatlah diambil tindakan pencegahan pada waktu-waktu mendatang.

“Melihat sepintas lalu masyarakat kota bandar kita terkesan oleh kesibukan-

kesibukan kerja dan lalu-lintas sehari-hari. Hubungan dagang dengan relasi-

relasi dari luar daerah pulau atau pun asing yang pemberesannya harus

selekas mungkin diadakan berhubung terikatnya perahu layar pada angin

musim, pemuatan barang-barang ekspor dan pembongkaran barang-barang

impor, semuanya itu tak memungkinkan orang bekerja pelan-pelan sperti

menanti menguningnya padi di musim panen. Kiranya inilah yang mebentuk

tipe manusia pesisiran, yang lain dari tipe manusia pendalaman. Keluasan

muka-laut membentuk jiwa lepas dan bebas. Silih-bergantinya pergaulan

dengan orang-orang dari pelbagai suku dan kebangsaan, memberi sifat

kelonggaran dan suka menerima unsur-unsur baru. Tetapi sekali kita

berjumpa dengan rombongan bangsawan dengan pengiringnya yang sedang

mengadakan inspeksi di daerah bandar, kita lalu memperoleh kesan

kesimpulan lain yaitu: kebebasan masyarakat pesisir yang terikat! Kesan

demikian reasonable”, (Basis, Mei 1968)

Contoh di atas lebih jelas membicarakan mengapa jiwa orang pesisir lebih

dinamis dan lebih bebas, bila dibandingkan dengan orang-orang di pedalaman.

162
Mengapa demikian? Bila kita dapat mengajukan pertanyaan itu, berarti kita harus

mencari sebab-sebabnya. Akibat yang disimpulkan dalam alinea di atas adalah

"kebebasan masyarakat pesisir yang terikat". Sebaliknya coba perhatikan kutipan

di bawah ini:

"Dalam tekanan mental yang demikian hebat, tiba-tiba terjadi ledakan fitnah

Gerakan Tigapuluh September. Ternyata akibat peristiwa ini terjadilah

kegoncangan hebat dalam sendi-sendi kehidupan. Suara hati yang selama ini

tertindis tipis-tipis, membersit ke luar dan menjadi banjir besar yang

menantang sendi-sendi hidup lama. Lahirlah angkatan baru yang berjuang

atas dorongan hati nurani. Muncullah sanjak-sanjak yang membawakan

suara orde baru seperti kumpulan-kumpulan sanjak Taufiq

Ismail Tirani,IBenteng, kumpulanIsanjak-sanjakIW.

Situmeang Kebangkitan, dan lain-lain". (BKI).

Bila dibandingkan dengan kutipan pertama di atas, kutipan kedua ini lebih

memperinci secara mendetail akibat-akibat. Sebab dinyatakan secara ringkas atau

umum yaitu ledakan fitnah Gerakan Tigapuluh September, sedangkan perincian-

perincian ditekankan kepada akibat-akibat. Kutipan pertama di atas sebaliknya

lebih memperinci sebab-sebabnya. Namun kedua kutipan mempunyai dasar yang

sama yaitu membicarakan sebab dan akibat.

Sebuah variasi dari sebab-akibat ini adalah pemecahan masalah. Pemecahan

masalah juga bertolak dari hubungan kausal, tetapi tidak berhenti di situ saja; ia

masih berjalan lebih lanjut menunjukkan jalan-jalan ke luar untuk menjauhkan

sebab-sebab tersebut, atau menjauhkan akibat-akibat yang dihasilkan oleh sebab-

sebab tadi.

163
8. Umum-khusus
Kedua cara ini, yaitu umum-khusus dan khusus-umum, merupakan cara yang

paling menegembangkan gagasan-gagasan dalam sebuah alinea secara teraatur.

Dalam hal yang pertama gagasan utama ditempatkan pada awal alinea, serta

pengkhususan atau perincian-perinciannya terdapat pada kalimat-kalimat berikut.

Sebaliknya dalam hal kedua mula-mula perician-perinciannya, kemudian pada

akhir alinea generalisasinya. Jadi, yang variasi dalam kedua jenis alinea itu adalah

semacam penggabungan, yaitu awala linea terdapat gagasan utamanya (jadi

bersifat umum-khusus), tetapi pada akhir alinea gagasan utama tadi diulang sekali

lagi (jadi bersifat khusus-umum).

“Sebuah teori tentang fungsi bahasa yang sangat terkenal, ialah teori Karl

Buhler, seorang ahli jiwa dan seorang ahli bahasa bangsa Austria. Sejak

tahun 1918 diperkenalkan teori tentang bahasa dan berbagai tulisan. Pada

tahun 1934 terbitlah bukunya “ Spracheteorie” yang membela teori fungsi

bahasanya. Mula-mula teoro Buhler itu tidak mendapat perhatian dan

akhirnya mempengaruhi pengajaran bahasa disekolah-sekolah. Karl Buhler

membantah pendapat Wilhelm Wundt 1832-1920, bahwa bahasa itu hanyalah

ekspresi saja daripada peristiwa-peristiwa batin dan dapat dinyatakan

dengan berbagai cara. Dengan gerak-gerik, dengan mimik, dan dengan

bunyi. Teori Wundt itu akan jelas kiranya, jika kita memperhatikan tingkah

laku orang lebih-lebih tingkah laku orang primitive”. (SB)

9. Klasifikasi
Yang dimaksud dengan klasifikasi adalah sebuah proses untuk

mengelompokkan barang-barang yang dianggap yang mempunyai kesamaan-

164
kesamaan tertentu. Sebab itu klasifikasi bekerja ke dua arah yang berlawanan,

yaitu pertama, mempersatukan satuan-satuan ke dalam kelompok, kedua,

memisahkan kesatuan tadi dari kelompok lainnya. Dengan demikian klasifikasi

mempunyai persamaan-persamaan tertentu baik dengan pertentangan dan

perbandingan maupum umum-khusus dan khusus-umum.

Persamaanya dengan pertentangannya dan perbandingan adalah bahwa

keduanya bertolak dan penetapan ciri-ciri yang sama penetapan perbedaan-

perbedaantertentu. Tetapi dalam klasifikasi prosenya masih berjalan terus

menentukan pengelompokkan. Di pihak lain klasifikasi mempunyai persamaan

dengam umum-khusus dan khusus-umum, karena proses klasifikasi itu tidak lain

daripada membuat perincian-perincian sesuatu umum, tetapi itu untuk

memperoleh kelas-kelasnya atau kelompok-kelompoknya.

Dalam klasifikasi, tiap kelompok yang memperoleh dalam langkah

sebelumnya mungkin masih diperinci lebih lanjut ke dalam kelompok-kelompok

yang kecil lagi. Walaupun demikian penulis harus memegang prinsip yang jelas

tentang dasar klasifikasinya, baik untuk tingkat lebih tinggi maupun tingkat-

tingkat yang lebih rendah.

“Jika seorang hendak membagi bahasa Melayu ataupun bahasa Indonesia

itu juga, maka pastilah tidak cukup, apabila ia hanya dibagi atas bahasa

Melayu rendah dan bahasa melayu tinggi, pun tidak cukup disisi-sisikan

empat macam bahasa : Bahasa dalam, bangsa bangsawan, bahasa dagang

dan bahasa kacukanpun perbedaan bahsa melayu yang ditulis atas

percakapan tiada dapat diterima olehn karena banyaknya jenis bahasa

Melayu yang ditulis dan banyak pulau jenis yang dipercakapkan. Bahasa

165
yang dipercakapkan oleh tukang penangkap ikan, lain daripada bahasa yang

dipercakapkan oleh orang tani, lain pula daripadaa bahasa yang

dipercakapkan oleh guru sekolah atau kuil dipelabuhan. Bahasa yang di

pakai di Riau lain daripada bahasa yang dipakai si Jakarta lain dari pada

yang di Ambon, yang di Banjarmasin lain daripada yang dipadang. Tetapi

sekaliannya itu masuk lingkungan bahasa Melayu yang satu. Dan bahasa

Indonesia sebagai sambungan bahasa Melayu, pastilah pula mempunyai

corak dan warna yang terdapat pada bahasa Melayu itu dahulu.” ( PBI)

Klasifikasi atas obyek-obyek yang konkrit mungkin tidak banyak

mendatangkan kesulitan, karena prinsip-prinsipn yang dipergunakan juga bersifat

konkrit: besarnya, bahannya, bentuknya, tujuannya, dan lain sebagainya. Tetapi

bila kita melangkah kepada gagasan-gagasan yang abstrak, maka selalu timbul

kesulitan untuk mempertahankan dasar itu. Klasifikai dibuat oleh manusia, bukan

inheren dalam obyek yang diklasifikasikan itu. Sebab itu klasifikasi pertama-tama

tidak menyangkut soal “benar” dalam arti yang mutlak, tetapi “benar” dalam arti

yang pragmatis, yaitu cocok atau tidak mutlak maksud-maksud tertentu. Sebab itu

penolakkan kita terhadap sebuah klasifikasi pertama-tama diarahkan kepada dasar

yang dipakai untuk mengadakan klasifikasi itu. Bila dasar yang dipergunakan itu

kita terima, baru langkah selanjutnya adalah apakah hasil klasifikasi itu benar-

benar sesuai dengan dasar itu.

10. Definisi Luas


Yang dimaksud dengan definisi luas dalam pembentukkan sebuah alinea

adalah usaha pengarang untuk memberikan keterangan atau arti terhadap sebuah

istilah atau hal. Di sini kita tidak menghadaapi hanya sama hadap sebuah istilah

166
dalam bagian tentang kalimat (Lihat definisi dalam bagian tentang kalimat), tetapi

suatu rangkaian kalimat yang membentuk sebuah alinea. Terkadang-kadang untuk

memberi pengertian yang bulat tentang pengertian itu, satu alineaa belum

dianggap cukup, sehingga diperlukan rangkaian dan pada alinea-alinea, malahan

dapat pula dalam bentuk sebuah buku. Namun prinsip-prinsip definisi tetap sama.

Di sini kita lebih sering menghadapi sebuah definisi luas daripada definisi formal

biasa, atau definisi dengan menerangkan etimologi kata atau istilah tersebut.

Perhatikanlah bagaimana Moh. Said mencoba memberi batasan tentang

Demokrasi Pancasila. ia memerlukan suatu rangkaian dapat sampai dengan

kepada pengertian demokrasi Pancasila itu.

“Istilah asing demokrasi biasanya diterjemahkan dengan kata kedaulatan

rakyat yang diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk

rakyat.

Demokrasi dalam arti ini hanya menggambarkan suatu segi dari pada

demokrasi, sedangkan demokrasi dalam arti yang sebenarnya mempunyai makna

yang lebih luas.

Demokrasi pada hakekatnya berupa suatu mentalitas untuk membina suatu

kehidupan dalam masyarakat; mentalitas dalam arti cara berpikir, besikap, dan

berbuat.

Mentalitas demokrasi mempunyai ciri pokokyang mencita-citakan kelarasan

antara kebebasan (=liberal) serta kesamaan hak (=egalite) untuk menentukan

nasib pribadi (=the right of selfdetermination) dan rasa tangung-jawab atas

kebaikan nasib bersama atau nasib kolekti sebagai masyarakat (=raternité =

persaadraan).

167
Ketidaklarasan antara kebebasan serta kesamaan pribadi dan tanggung-jawab

kolektif ini menyebabkan demokrasi di suatu pihak menjurus ke liberalisme, dan

pihak lain menjurus ke kolektifisme dipaksakan melalui pelbagai bentuk

kediktatoran.

Baik liberalisme yang menjadi sumber saling-lomba, saling rebut dan rampas

secara bebas (=free-flight liberalisme) dalam bidang semat (harta benda,

ekonomi), drajat (kedudukan, sosial) dan kramat (kekuasaan politik), maupun

kolektipisme melalui kediktatoran yang melenyapkan kebebasan, hak dan

tanggung-jawab pribadai demi kepentingan kolektif, bersifat penyelewengan yang

memberi hak asasi kepada tiap manusia untuk membina pribadi (persona) dan

nasibnya menurut aris kodrat pribadinya dan keyakinannya masing-masing

dengan kolektifisme (tanpa kediktatoran) yang menciptakan kemakmuran dan

kesejahteraan bersama.

Cita-cita demokrasi yakni keselarasan antara personalisme dan kolektifisme

itu tak lain daripada suatu keadilan sosial yang berupa sosialisme. Jadi cita-cita

demokrasi pada hakekatnya tidak lain daripada masyarakat sosialis atau

masyarakat gotong-royong.

Dengan demikian Pancasila berupa demokrasi yang mencita-citakan

terwujudnya masyarakat Sosialis Pancasila, yakni suatu masyarakat sosialis yang

norma-norma keadilan sosialnya bersumber pada keselarasan kebebasan atau

hak tiap orang dan bangsa untuk membina pribadi dan nasibnya menurut garis

kodrat pribadinya dan keyakinannya masing-masing (the right of

seldetermination atau azas kemerdekaan) dengan rasa tanggung-jawab tiap

warga bangsa atas kebaikan nasib bangsanya (sila kebangsaan); dengan rasa

168
tanggung-jawab tiap orang sebagai umat manusia atas kebaikan nasib sesama

umat manusia (sila kemanusiaan); dan dengan rasa tanggung-jawab tiap orang

sebagai titah atau makluk Tuhan yang berbudi, terhadap Tuhannya (=Sila ke-

Tuhanan), demi ‘memayuhayu salira, memayuhayu bangsa, memayuhayu

manungsa’ (kebaikan pribadi, bangsa dan umat manusia) dan demi penunaian

tanggung-jawab manusia sebagai titah atau makluk terhadap Tuhannya”. (Basis,

Juni 1967).

Untuk sampai kepada batasan atau pengertian tentang demokrasi Pancasila

penulis mula-mula memberikan dasar-dasar pengertian tentang demokrasi pada

umunya, baru kemudian membatasi pengertian demokrasi Pancasila itu. Semua

rangkaian alinea itu menuju kepada kebulatan pengertian tentang demokrasi

Pancasila.

Cara apapun yang dipergunakan untuk memperoleh kebulatan alinea, prinsip

kesatuan ide, perpaduan (koherensi) dan perkembangan yang baik tidak boleh

dilanggar begitu saja. Pelanggaran atas prinsip-prinsip tersebut mengakibatkan

terganggunya konsentrasi atas ide sentralnya.

11. Perkembangan dan Kepaduan antar Alinea


Semua yang telah diuraikan di atas bertolak dari alinea sebagai sebuah unit.

Kesatuan-kesatuan yang kita sebut alinea ini tidak berdiri sendiri tetapi

merupakan suatu unsur yang kecil dalam sebuah unit yang lebih besar, entah

berupa bab maupun unit yang berupa sebuah karangan yang lengkap. Karena

alinea merupakan unit yang lebih kecil, maka harus dijaga agar hubungan antara

alinea yang satu dengan alinea yang lain, yang bersama-sama membentuk unit

yang lebih besar itu, terjalin dengan baik. Atau dengan kata lain harus

169
terdapat perkembangan dan perpaduan yang baik antar alinea yang satu dengan

alinea yang lain.

Tiap tulisan yang baik selalu akan bertolak dari sebuah tesis. Tesis itulah

yang dikembangkan dalam alinea-alinea yang mempunyai pertalian yang jelas,

baik pertalian dalam perkembangan gagasannya maupun perpaduan alinea-

alineanya. Karena hubungan yang jelas itulah, pembaca dapat mengikuti uraian itu

dengan jelas dan mudah. Kesulitan biasanya ditimbulkan oleh alinea-alinea yang

menempatkan gagasan pokoknya pada awal alinea, sedangkan alinea itu sendiri

terlalu panjang. Karena kalimat-kalimat yang memuat perincian itu terlalu banyak

pembaca akan kehilangan hubungan bila harus mulai dengan alinea yang berikut.

Di sinilah letak kemampuan pengarang, bagaimana ia harus memulai alinea yang

baru, tetapi perpaduan dengan alinea sebelumnya, terutama dengan gagasan utama

dalam alinea sebelumnya itu, harus jelas.

Hubungan kalimat utama dengan tesis, dapat diutamakan dengan patokan-

patokan dari tiap alinea, yang menunjukkan kepada pembaca apa yang harus

dibuat, bagian yang mana dari tesis itu akan dikembangkan. Patokan itu sekaligus

mempunyai tujuan ganda yaitu menempatkan tiap alinea sebagai suatu kesatuan

yang struktural dari seluruh karangan, dan menjamin transisi antar alinea.

Seperti halnya dengan alinea, maka perpaduan antara alinea dapat juga

dijamin dengan cara-cara seperti yang telah digunakan dalam sebuah alinea yaitu:

repetisi kata-kata kunci, terutama repetisi yang dinamakan anafora. Anafora

adalah perulangan kata yang sama pada kalimat yang berturutan atau dalam hal ini

juga pada awal alinea yang berurutan. Di samping kata-kata kunci bisa

170
dipergunakan kata ganti. Baik kata-kata kunci maupun kata-kata ganti dipakai

untuk menghubungkan hal-hal yang sudah disebut dalam alinea sebelumnya.

Kadang-kadang terjadi bahwa sebuah alinea dapat pula bertindak sebagai

sebuah transisi, seperti halnya sebuah kata transisi dalam sebuah alinea. Alinea-

alinea semacam ini biasanya menyusul sesudah pengarang menyelesaikan satu

unit dari karangannya, dan ingin meneruskan unit lainnya. Alinea-alinea transisi

dapat digunakan untuk beberapa tujuan:

a. Merupakan ringkasan dari apa yang telah diuraikan, sebelum mulai

dengan unit berikutnya.

b. Menyampaikan sebuah ilustrasi atau contoh dari pokok yang telah

diuraikan dalam alinea atau alinea-alinea sebelumnya.

c. Menjelaskan apa yang akan diuraikan oleh pengarang dalam bagian atau

unit selanjutnya.

171
BAB VII

PERENCANAAN KARANGAN

A. Pendahuluan
Penulisan karangan formal, seperti makalah penelitian, tesis, atau karangan

ilmiah lainnya, menuntut beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan ini

menyangkut isi, bahasa, dan teknik penyajian. Karena itu, karangan formal, terutama

yang cukup panjang, perlu direncanakan dengan baik terlebih dahulu.

Tentu saja kita tidak perlu bersusah payah membuat perencanaan atau kerangka

karangan, jika hanya akan menulis surat pribadi kepada teman atau menulis karangan

pendek yang bahannya sudah siapa dikepala. Dalam hal seperti ini, kegiatan menulis

merupakan kegiatan tunggal, dan kerangka karangan cukup dalam pikiran saja.

Tetapi, jika kita akan menyusun tesis atau makalah ilmiah sebaiknya kita rencanakan

lebih dahulu.

Secara teoretis, proses penulisan meliputi 3 tahap utama, yaitu tahap pra

penulisan, tahap penulisan, dan tahap revisi. Ini tidak berarti bahwa kegiatan-

kegiatan kita lakukan secara terpisah-pisah. Pada tahap prapenulisan kita membuat

persiapan- persiapan yang akan dipergunakan pada tahap penulisan. Dengan kata

lain, kita merencanakan karangan.

Berikut ini akan kita bahas cara merencanakan karangan langkah demi langkah.

B. Langkah-langkah Perencanaan Karangan


1. Pemilihan topik
Kegiatan yang mula-mula dilakukan jika kita akan menulis suatu

karangan ialah menentukan topik. Hal ini berarti bahwa harus ditentukan apa

172
yang harus dibahas dalam tullisan. Kadang-kadang topik karangan

ditentukan oleh dosen atau panitia yang meminta kita menulis, misalnya

panitia seminar. Dalam hal seperti ini kita tidak perlu bersusah payah

memikirkan topik yang akan digarap. Akan tetapi, dalam memilih topik perlu

dipertimbangkan beberapa hal, yaitu:

a. Topik itu ada manfaat nya dan layak dibahas. Ada manfaatnya,

mengandung pengertian bahwah bahasan tentang topik itu akan

memberikan sumbangan kepada ilmu atau prosesi yang ditekuni, atau

sekurang-kurang nya berguna bagi pengembangan ilmu yang dimiliki,

layak dibahas berarti topik itu memang memerlukan pembahasan dan

sesuai dengan bidang yang ditekuni topik mengenai jumlah provinsi di

Indonesia merupakan contoh topik yang tidak layak dan tidak

memerlukan pembahasan apa-apa demikian juga topik seperti “hari

lahir para pengarang Indonesia” “perayaan hari pahlawan di desa saya”,

atau “kerja bakti untuk membersihkan lingkungan”, bukankah topik-

topik yang layak dibahas oleh mahasiswa. Bandingkan topik-topik diatas

dengan topik-topik berikut; “perkembangan perbendaharaan kata anak-

anak di bawah umur lima tahun” “usaha untuk menolong anak-anak

yang mengalami kesulitan membaca”, “pelestarian sumber daya

perairan”, dan sebagainya.

Topik-topik yang terakhir merupkan topik yang cukup sulit untuk

dibahas. Tentu saja hal ini idak berarti bahwa topik yang layak adalah

topik yang sulit. Banyak opik sederhana mengenai hal-hal di

lingkungan kita yang layakdan ada gunanya untuk dibahas. Misalnya

173
topik-topik sehubungan dengan “kebiasaan membaca”, “pemakaian

puuk buatan”, merupakan topik yang tidak terlalu sulit tetapi layak

dibahas.

b. Topik itu cukup menarik terutama bagi penulis .Hal ini perlu

diperhatikan. Topik bagi penulis akan meningkatkan kegairahan dalam

mengembangkan, dan bagi pembaca akan mengundang minat untuk

membacanya.

c. Topik itu dikenal baik. Pada bagian pendahuluan telah dikemukakan

bahwa agar dapat menulis dengan baik tentang suatu topik, kita harus

mempunyai pengetahuan yang menandai tentang topik itu. Apabila kita

ingin menulis tentang kenakalan remaja maka pengetahuan tentang

kenakalan remaja harus kita kuasai. Kita harus dapat menjelaskan apa

yang dimaksudkan dengan kenakalan remaja, contoh-contoh kenakalan

remaja, teori- teori yang berhubungan, penyebab-penyebabnya, cara

mengatasinya, dan sebagainya, sesuai dengan ruang lingkup

pembahasan. Pengetahuan tentang hal diatas harus dicari dan

dikumpulkan. Pengetahuan yang berupa fakta dan dapat diperoleh dari

pengamatan dilapangan atau sumber informasi lain, sedangkan yang

berupa teori dapat diperoleh dari buku-buku.

d. Bahan yang diperlukan dapat diperoleh dan cukup memadai. Hal ini erat

hubungan nya dengan butir 3). Bagaimana mungkin kita menulis

karangan tentang suatu topik yang bahannya tidak ada atau sangat sulit

diperoleh? Apalagi yang akan ditulis adalah karangan ilmiah.

Mungkinkah ditulis dengan karangan ilmiah tentang perubahan cuaca di

174
planet Yupiter atau tentang peristiwa yang terjadi tadi malam disalah

satu negara di Afrika Selatan?

Topik ini tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Topik yang terlalu

luas seperti bank, pendidikan di Indonesia, lalu lintas, dan seni rupa, tidak

memberi kesempata kepada kita untuk membahasnya secara mendalam. Topik

yang seperti ini hanya dapat dibahas secara garis besar atau sepintas lalu.

Apalagi jika panjang karangan dibatasi. Sebaiknya, didalam karangan ilmiah,

bila topik terlalu sempit, maka sifatnya akan terlalu khusus tidak dapat

digeneralisasikan, sehingga tidak banyak gunanya bagi perkembangan bidang

ilmu. Kecuali, jika yang ditulis itu berupa studi kasus. Contoh topik yang terlalu

sempit misalnya, “Kesulitan membaca yang dialami Tuna siswa Kelas 11 SD

Cibadak”. Persyaratan terakhir ini akan diuraikan lebih lanjut pada langkah

berikut.

2. Pembatasan Topik
Setelah kita berhasil memilih topik yang memenuhi persyaratan 1, 2, 3,

dan 4, maka langkah kedua yang harus dilakukan ialah membatasi topik

tersebut.Dalam hal ini tentu saja dapat dipikirkan secara langsung suatu topik

yang cukup terbatas untuk dibahas misalnya, “Cara belajar mahasiswa

Universitas Terbuka”, “Penghijauan untuk mengurangi polusi di kota-kota

besar”, “Pemakaian bahasa Indonesia dalam cerita pendek penulis remaja”,

dan sebagainya. Sebenarnya, proses pembatasan topik itu dapat dipermudah

dengan cara membuat diagram jam atau diagram pohon.

175
Untuk membuat diagram jam, topik diletakakan dalam sebuah lingkaran

dari topik itu diturunkan berapa topik yang lebih Sempit. Gambar 1 akan

menjelaskan keterangan di atas.Ilmu kelautan

Lautan Atlantik
Laut sebagai sumber
energi masa depan
Laut teritorial
Indonesia Kekayaan dilautan

Laut sebagai lapangan laut Laut di Indonesia


kerja

Laut bagi bangsa


Peranan laut dalam Indonesia
hubungan
antarbangsa Kandungan kimia air
laut Kehidupan dalam laut

Riwayat Lautan

Berdasarkan diagram di atas diperoleh belas topik yang lebih tentang laut.

Kedua belas topik itu dapat dibatasi lebih lanjut dengan mengemukakan

petanyaan-pertanyaan yang akan mempersempit dalam mengarahkan

pembahasan.Misalnya, kita ingin membahas topik “kekayaan di lautan”.

Kekayaan di lautan mana? Di wilayah Indonesia? Kekayaan jenis mana yang akan

dibahas fauna, flora, atau mineral? Kita pilih misalnya, fauna. Fauna yang mana:

ikan, kerang, atau, mutiara? Aspek apa yang kita bahas? Pembudidayaannya?

176
Melalui pertanyaan-pertanyaan itu kita akan sampai pada topik yang cukup

terbatas, misalnya “pembudidayaan karang mutiara di Maluku Selatan”

3. Topik dan Judul


Setelah diperoleh topik yang sesuai maka dalam pelaksanaannya topik yang

telah dipilih itu harus dinyatakan dalam suatu judul karangan. Apakah yang

dimaksud dengan judul? Samakah judul dengan topik?

Yang dimaksudkan dengan topik ialah pokok pembicaraan dalam

keseluruhan karangan yang akan digarap; sedangkan judul ialah nama, titel, atau

semacam label untuk suatu karangan. Pernyataan topik mungkin saja sama dengan

judul, tetapi mungkin juga tidak. Dala karangan fiktif (rekaan) kerap kali judul

karangan tidak menunjukan topik. Roman Layar Terkembang misalnya tidak

membicarakan layar dalam arti yang sebenarnya.

Demikian juga novel Kabut Sutra Ungu, sama sekali tidak membahas kabut

ataupun sutera dalam arti yang sebenarnya.

Dalam karangan formal atau karangan ilmiah judul krangan harus tepat

menunjukkan topiknya. Penentuan judul tersebut harus dipikirkan secara

bersungguh sungguh dengan mengingat beberapa persyaratan, antara lain:

1. Harus sesuai dengan topik atau isi karangan beserta jangkauannya

2. Judul sebaiknya dinyatakan dalam bentuk frase.

Judul sebaiknya dinyatakan dalam bentuk frase benda dan bukan dalam

bentuk kalimat. Judul “Pembudidayaan Kerang Mutiara di Maluku Selatan”

177
berbentuk frase. Judul itu akan menjadi kalimat bila kita ubah menjadi,

“Kerang Mutiara di Maluku Selatan Perlu Dibudidayakan”.

3. Selanjutnya, judul karangan diusahakan sesingkat mungkin.

Misalnya “Cara Untuk Membudidayakan Kekayaan Lautan yang Berupa

Kerang Mutiara di Maluku Selatan” dapat disingkat dalm bentuk frase

seperti pada butir 2).

4. Judul baru dinyatakan secara jelas; artinya judul itu tidak dinyatakan dalam

kata kiasan atau tidak mengandung kata yang mengandung arti ganda.

Misalnya judul “Menjalani Neraka Dunia”, tidak dapat digunakan dalam

karangan ilmiah yang memaparkan hasil pengamatan terhadap keadaan

ekonomi negara-negara yang sedang berperang.

Dalam karangan fiksi biasanya judul karangan dapat ditentukan kemudian.

Adakalanya judul itu diubah dengan maksud untuk lebih menarik perhatian

pembaca. Untuk karangan ilmiah seperti sikripsi, tesis atau karya ilmiah lainya di

perguruan tinggi biasanya lebih dulu dibacakan dengan pembingbing.

Berikut ini tercantum beberapa contoh topik yang cukup terbatas.

1. Tanah kritis di Indonesia: cara mengatasinya

2. Pengaruh pembukaan jalan raya terhadap cara hidup rakyat di desa Meja

3. Kemungkinan mekanisme pertanian di Sumatera Barat

4. Kemungkinan pengurangan arus urbanisasi ke Jakarta

5. Pemakaian bahasa Inggris didalam surat kabar di Indonesia

178
4. Tujuan Penulisan
Setiap penulis harus mengungkapkan dengan jelas tujuan penulis yang

akan di garanya. Perumusan tujuan penulisan sangat penting dan harus

ditentukan lebih dahulu karena hal ini akan merupakan titik tolak dalam

seluruh kegiatan menulis tersebut. Rumusan tujuan penulis adalah suatu

gambaran penulis dalam kegiatan menulis kegiatan selanjutnya. Dengan

menentukan tujuan penulisa, akan diketahui apa yang harus dilakukan pada

tahap penulisan. Kita akan tau bahan-bahan yang diperlukan, macam

organisasi karangan yang akan diterapkan atau mungkin juga sudut

pandangan yang akan dipilih. Tujuan merupakan penentu yang pokok dan

akan mengarahkan serta membatasi karangn. Kesadaran mengenai tujuan

selama proses penulisan akan menjaga keutuhan tulisan.

Tujuan penulisan dapat dinyatakan dengan dua cara. Jika sebuah

tulisan akan mengembangkan gagasan yang merupakantema seluruh tulisan,

tujuan dapat dinyatakan dalam bentuk tesis. Tetapi, untuk suatu tulisan yang

tidak mengembangkan gagasan seperti itu, tujuan penulisan dapat dituliskan

dalam bentuk pernyataan maksud.

a. Tesis
Seorang penulis sebelum memulai tulisannya terlebih dahulu

menutarakan gagasan atau (ide) pokok tulisannya.Gagasan pokok harus

dengan jelas dinyatakan dalam kalimat yang lengkap.Kalimat yang dimuat

gagasan pokok atau pokok pikiran tulisan disebut tesis.Jadi, sebuah tesis

adalah sebuah kalimat yang merupakan kunci untuk seluruh tulisan, seperti

179
halnya kalimat utama di dalam sebuah parangraf pertama dalam karangan.

Perhatikan contoh berikut:

Tesis: Kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa dalam hal menulis

pada umumnya masih jauh dari memuaskan; oleh sebab itu, perlu dicari

penyebabnya sehingga pengajaran bahasa Indonesia dapat diperbaiki.

Tesis di atas memberitakan kepada pembaca bahwa uraian selanjutnya

akan mengarah kepada ketidak mampuan mahasiswa berbahasa Indonesia

dalam hal menulis dan mencari penyebab-penyebabnya agar pengajaran

bahasa Indonesia dapat di perbaiki. Jadi dari kalimat tesis di atas pembaca

akan dapat memperkirakan bahwa uraian selanjutnya akan mencakup:

1. Uraian tentang ketidakmampuan mahasiswa dalam hal menulis.

2. Analisis penyebabnya.

3. Saran perbaikan.

Selanjutnya suatu tesis juga turut menentukan urutan pembahasan

dan bahan atau informasi yang diperlukan. Hal ini tidak berarti bahwa

fakta-fakta dan informasi-informasi baru dipelajari sesudah tesis

ditetapkan. Sebaliknya, pengamatan serta pengetahuan tentang fakta

tertentu akan mengarahkan kita dalam memikirkan tesis. Selanjutnya,

berdasarkan tesis itu ditentukan fakta dan informasi mana yang diperlukan.

Agar efektif, suatu tesis hendaknya terbatas, utuh, dan tepat. Tesis

yang terbatas akan mengarahkan pendekatan mana yang akan diambil

dalam pembahasan selanjutnya. Dengan demikian tesis itu akan membatasi

sampai dimana pembahasan yang akan dilakukan. Tesis “Banyak

kekayaan tersimpan di Lautan Indonesia” merupakan contoh tesis yang

180
umum, yang tidak cukup terbatas. Tesis ini masih dapat dipecahkan

kedalam beberapa tujuan.

Contoh:

Tesis (umum) : Banyak kekayaan tersimpan di Lautan Indonesia.


Terbatas:

1) Di perairan Indonesia sebelah timur banyak hidup tiram

mutiara yangdapat dibudidayakan.

2) Lautan Indonesia merupakan sumber energi potensial di masa

datang.

3) Jika dibandingkan dengan kekayaan di daratan, kekayaan di

Lautan Indonesia belum banyak dimanfaatkan oleh rakyat

Indonesia.

4) dan seterusnya.

Tesis yang terbatas tidak memberikan petunjuk bagaimana cara

menangani topik. Peryataan itu hanya memungkinkan kita menulis tentang

sesuatu tanpa memberikan petunjuk tentang apa yang akan dibahas dan

bagaimana membahasnya.

(1) Menemukan Tesis Karangan


Bagaimana menemukan tesis karangan untuk tulisan kita? Dalam uraian

berikut kita membahas hal itu. Mula-mula kita menetukan topik karangan,

kemudian membatasinya. Kedua langkah itu telah dibicarakan pada bagian

terdahulu. Kalau kita telah menemukan topik yang terbatas, kita pikirkan dan

catat beberapa gagasan sehubungan dengan topik tadi. Mana diantara

gagasan-gagasan itu yang paling menarik perhatian? Kita tulis satu di

181
antaranya. Kemudian kita kemukakan lagi satu pertanyaan yang berhubungan

dengan gagasan itu. Pertanyaan itu akan menuntun kita kepada langkah

ketiga, yaitu langkah yang terakhir dalam mencari tesis untuk karangan.

Kemudian kita kemukakan beberapa kalimat sebagai jawaban untuk

pertanyaan itu. Dari kalimat-kalimat itu kita pilih satu yang menarik minat

kita. Kalimat itulah yang akan menjadi tesis karangan kita.

Contoh:

1) Topik: Kekayaan Alam Di lautan Indonesia.

2) Topik terbatas: Penangkapan Ikan Di lautan Indonesia.

Beberapa gagasan/pernyataan sehubungan dengan topik terbatas:

(a) Sebagian besar penangkapan dilakukan dengan alat tradisional.

(b) Dibandingkan dengan luas lautan, sangat sedikit penduduk

Indonesia Yang hidup dari penangkapan ikan.

(c) Penangkapan ikan kerap kali dilakukan tanpa mengingat

kelestariannya.

(d) Hasil penangkapan kerap kali terpaksa terbuang karena busuk.

Misalkan kita tertarik akan gagasan terakhir. Kita mengemukakan

pertanyaan: Mengapa ikan itu menjadi busuk?

3) Beberapa gagasan sehubungan dengan pertanyaan di atas:

(a) Pengolahan hasil penangkapan ikan kebanyakan dilakukan secara

tradisional.

(b) Perahu nelayan kita tidak dilengkapi dengan sarana pengawet dan

pengolah ikan.

(c) Bangsa Indonesia sangat memerlukan tenaga ahli di bidang

182
pengolahan hasil laut.

(d) Dan seterusnya.

4) Langkah terakhir: dari pernyataan-pernyataan itu kita memilih satu yang

menarik perhatian dan menurut pendapat kita paling memenuhi

persyaratan sebagai tesis karangan kita.

(2) Menyusun Tesis


Setiap tesis mengandung gagasan pokok yang akan dikembangkan.

Kata yang mengandung gagasan itu merupakan kata kunci. Sesuai dengan

banyaknya gagasan yang akan dikembangkan, suatu tesis mungkin

mengandung satu atau beberapa kata kunci.

Contoh:
(a) Lari pagi adalah olah raga yang murah.

(b) Indonesia memerlukan tenaga ahli pengolahan hasil laut.

(c) Mengarang itu gampang.

(d) Kebakaran hutan merusak keseimbangan alam dan memperkecil

populasi satwa liar.

(e) Lari pagi adalah olah raga yang murah, mudah, dan menyenangkan.

Kata-kata atau kelompok kata yang dicetak miring di atas merupakan

kata-kata kunci yang mengandung gagasan yang akan dikembangkan. Poin a,

b, dan c masing-masing mengandung satu gagasan, sedangkan nomor d dan e

mengandung beberapa gagasan.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana menyusun tesis yang

memenuhi persyaratan? Dalam hal ini ada beberapa keharusan dan larangan

yang harus diperhatikan.

183
a) Tesis yang baik harus bisa meramalkan, mengendalikan, dan

mengarahkan penulis dalam mengembangkan karangan.

Agar dapat meramalkan, sesuatu tesis harus dinyatakan dalam bentuk

pernyataan (proposisi) yang mungkin dibahas dan memerlukan pembahasan.

Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut:

(1) Orang kaya mempunyai harta yang banyak.

(2) Ikan hidup di air.

(3) Indonesia meliputi 28 provinsi.

Gagasan-gagasan di dalam pernyataan di atas tidak memerlukan

pembahasan lebih lanjut sebab sudah sangat jelas. Bandingkan dengan:

(1) Kekayaan bukan ukuran kebahagiaan.

(2) Peternakan terpadu merupakan alternatif lain bagi petani.

Suatu tesis yang direncanakan dengan baik akan memungkinkan

pembaca meramalkan kemana arah pembicaraan selanjutnya. Dari tesis juga

dapat diperkirakan bahan penulisan yang diperlukan.

Contoh:

Letak Indonesia pada posisi silang mengundang berbagai masalah.

Dari tesis di atas pembaca dapat meramalkan bahwa tulisan selanjutnya

akan membahas berbagai masalah yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai

akibat letak negara pada posisi silang.

Bagi penulis tesis berfungsi mengendalikan arah pengembangan

karangan. Tesis itu akan membimbing kita dalam menentukan subtopik-

184
subtopik yang akan dibahas. Tesis “Lari pagi adalah olah raga yang murah

dan mudah” memerlukan pembahasan/argumentasi bahwa:

(1) Lari pagi tidak memerlukan biaya banyak, dan

(2) Lari pagi tidak sulit dilakukan.

Dari tesis itu kita tahu bahwa ada dua gagasan yang akan di bahas.

Tesis seperti di atas lebih mengendalikan penulis dalam mengembangkan

karangan. Selanjutnya, perhatikan contoh-contoh berikut.

Mengendalikan : Lautan Indonesia merupakan sumber energi potensial di

masa depan.

Tidak mengendalikan : Banyak kekayaan tersimpan di lautan Indonesia.

Mengendalikan : Pertambahan penduduk yang tidak disertai dengan

perluasan lapangan kerja akan memperbesar jumlah pengangguran dan

kejahatan.

Tidak mengendalikan : Kita menghadapi masalah kependudukan.

Kalau tesis kita “Kelapa adalah tanaman serba guna”, maka karangan

kita akan membahas manfaat bagian-bagian pohon kelapa. Kita tidak akan

membicarakan cara mengelola perkebunan kelapa supaya lebih

mendatangkan keuntungan. Ini berarti tesis yang baik juga membatasi

pembahasan.

b) Tesis yang baik juga harus memenuhi persyaratan berikut.

(1) Tesis harus dinyatakan dalam kalimat lengkap; tidak boleh

dinyatakan dalam bentuk frase.

Benar : Fungsi teori ialah menjelaskan, meramalkan, dan

185
mengendalikan.

Salah : Teori sebagai penjelas, peramal, dan pengendali.

(2) Tesis harus dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan tidak boleh

dalam bentuk kalimat pertanyaan.

Benar : Jika dibandingkan dengan luas perairan Indonesia, masih

sangat sedikit orang Indonesia yang mencari nafkah di laut.

Salah : Berapa jumlah nelayan Indonesia?

(3) Bagian-bagian tesis harus saling berhubungan: tesis tidak boleh

mengandung unsur-unsur yang tidak berkaitan.

Benar : Salah satu fungsi teori ialah mengendalikan, yaitu mencegah

atau mengusahakan terjadinya sesuatu.

Salah : Salah satu fungsi teori ialah mengendalikan; beberapa teori

berasal dari zaman dahulu.

(4) Tesis harus terbatas, tidak boleh terlalu luas.

Benar : Di dasar lautan Indonesia banyak terdapat barang tambang

yang belum dimanfaatkan.

Salah : Indonesia negara yang kaya.

(5) Tesis tidak boleh mengandung ungkapan seperti “menurut pendapat

saya”, “saya duga”, dan “saya kira”. Ungkapan semacam itu akan

melemahkan argumentasi.

Benar : Bahasa adalah alat sosialisasi yang mengubah manusia

biologis menjadi manusia sosial

Salah : Menurut pendapat saya bahasa adalah alat sosialisasi yang

mengubah manusia biologis menjadi manusia biologis.

186
(6) Tesis tidak boleh dinyatakan dengan bahasa yang tidak jelas

Benar : Anak yang terlalu pintar, kerap kali tidak memperhatikan

pelajaran karena apa yang dijelaskan guru sudah dikuasainya.

Salah : Anak yang sangat pandai kerap kali menimbulkan kesulitan.

(7) Tesis tidak boleh dinyatakan dengan kata kiasan.

Benar : Kebakaran hutan memperkecil populasi satwa liar.

Salah : Jago merah yang mengamuk di hutan melahap satwa liar.

b. Pernyataan Maksud
Pada bagian pertama pada bab ini sudah dikatakan bahwa tujuan penulisan

selain dapat dinyatakan dengan tesis dapat juga dinyatakan dengan pernyataan

maksud. Untuk suatu tulisan yang tidak mengembangkan gagasan yang

merupakan tema seluruh tulisan tujuan dapat dinyatakan dalam bentuk

pernyataan maksud.

Di atas sudah dijelaskan bahwa tesis hanya terdapat di dalam tulisan yang

mengembangkan gagasan secara dominan. Jika kita ingin memaparkan

kekalutan yang dialami penduduk ketika terjadi kebakaran, maka kita tidak

akan mengembangkan suatu gagasan secara dominan. Dalam hal yang seperti

ini tujuan penulisan dapat dinyatakan dalam bentuk pernyataan bentuk.

Contoh:

1) Dalam makalah ini akan dibahas perbedaan sistem perekonomian pada

pemerintah orde lama dengan sistem perekonomian pada pemerintahan

orde baru.

2) Penulis ingin mengemukakan peristiwa-peristiwa sejarah yang

187
membuktikan bahwa Pancasila dapat menyelamatkan bangsa dari ancaman-

ancaman pengkhianatan.

3) Apa yang menyebabkan keterlibatan remaja dengan narkotika? Penulis

akan mengemukakan beberapa hal yang erat hubungannya dengan pendidikan

keluarga serta perhatian orang tua.

4) Dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa proses belajar mengajar yang

dapat merangsang daya kreatif siswa.

Pernyataan maksud di atas tidak hanya mengungkapkan tujuan penulisan,

melainkan juga menunjukkan arah pengembangan tulisan selanjutnya.

Pernyataan-pernyataan maksud itu sekaligus mencakup struktur tulisan serta

pemilihan bahan yang diperlukan.

5. Bahan Penulisan
Pada memilih dan membatasi topik kita hendaknya sudah memperkirakan

kemungkinan mendapatkan bahan. Dengan membatasi topik, maka kita pun

sebetulnya telah memusatkan perhatian pada topik yang terbatas itu, serta

mengumpulkan bahan yang khusus pula. Dengan bahan-bahan yang khusus ini

kita akan berusaha membahas topik tersebut secara terinci dan mendalam.

Bahan penulisan ini dapat dikumpulkan pada tahap prapenulisan seperti

yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya dan dapat pula pada waktu

penulisan berlangsung. Untuk masalah kecil yang tujuannya sudah jelas dalam

pikiran kita penetapan dan pengumpulan bahan dapat dilakukan pada waktu

penulisan. Tetapi, untuk sebuah karangan yang besarseperti skripsi, tesis atau,

188
disertasi, bahan-bahan seharusnya dikumpulkan dulu sebelum proses penulisan

dimulai.

1. Sumber Bahan Penulisan

Jika tujuan penulisan sudah dirumuskan dengan tepat, maka kita pun sudah

dapat menentukan bahan atau materi penulisan, serta macam dan luasnya.

Yang dimaksud dengan bahan penulisan ialah semua informasi atau data

yang dipergunakan untuk mencapai tujuan penulisan. Data tersebut mungkin

merupakan teori, contoh-contoh, rincian atau detail, perbandingan, sejarah

kasus, fakta, hubungan sebab akibat, pengujian dan pembuktian, angka-

angka, kutipan, gagasan, dan sebagainya, yang dapat membantu penulis

dalam mengembangkan topik yang dipilih. Bahan itu dapat kita peroleh dari

berbagai sumber.

2. Perpustakaan sebagai Sumber Bahan Penulisan


Perpustakaan menyimpan berbagai pengetahuan hasil pemikiran manusia

dari abad ke abad. Manusia telah meneliti dan mengumpulkan berbagai

macam pengetahuan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.

Melalui studi kepustakaan kita memperoleh kesimpulan-kesimpulan atau

pendapat-pendapat. Kesimpulan-kesimpulan yang kita peroleh kita beri

penilaian kembali sehingga kita dapat merumuskan suatu pendapat yang

baru.

Studi kepustakaan menuntut kita membaca secara kritis semua beban yang

kita perlukan. Kecekatan menyeleksi bermacam-macam sumber yang

mengandung sudut pandangan yang berbeda-beda dan bertentangan satu sama lain

perlu kita miliki. Kita dituntut dapat memilih, menimbang, menolak dan

189
menyusun kembali bahan-bahan yang ada ke dalam suatu tulisan yang dapat

meyakinkan pembaca. Pembaca yang kritis akan dapat menyeleksi tulisan yang

baik, yang dapat dipercaya dan yang tidak.

Dalam pemakaian perpustakaan dapat dibedakan tiga jenis bahan bacaan.

Pertama, bahan bacaan yang memberikan gambaran umum tentang topik yang

kita pilih. Untuk ini biasanya tidak diperlukan catatan-catatan mendetail. Kedua,

bahan bacaan yang harus dibaca secara kritis dan mendalam, karena bahan

penulisan terdapat dalam bacaan ini. Dari bahan seperti inilah penulis membuat

catatan-catatan yang biasanya berbentuk kutipan-kutipan. Ketiga, bahan bacaan

tambahan sebagai pelengkap bahan-bahan yang sudah ada.

Perpustakaan sebagai sumber bahan penulisan menampilkan wujud berbeda-

beda sesuai dengan daerah atau tempat terdapatnya perpustakaan tersebut.

Menurut tujuannya, IFLA (International Federation Library Association)

mengelompokkan perpustakaan sebagai berikut:

1) Perpustakaan Sekolah

2) Perpustakaan Perguruan Tinggi

3) Perpustakaan Umum

4) Perpustakaan Khusus

5) Perpustakaan Nasional
Perpustakaan sekolah berisi bahan-bahan untuk menunjang pelaksanaan

kurikulum dan memperluas cakrawala pengetahuan siswa. Perpustakaan umum berisi

bahan-bahan yang dapat dimanfaatkan oleh segala lapisan masyarakat dari segala

tingkatan umur dan pendidikan, misalnya perpustakaan di rukun warga, kelurahan,

dan seterusnya. Perpustakaan khusus, contohnya perpustakaan di Bogor yang

190
digunakan oleh peneliti biologi. Perpustakaan nasional berisi terbitan nasional yang

dapat dipergunakan bangsa Indonesia untuk memperluas pengetahuannya.

Perpustakaan Nasional Indonesia baru diresmikan pada bulan Mei 1980 dan

merupakan gabungan Perpustakaan Museum Jakarta, Perpustakaan Sejarah Politik,

serta Bibliografi Pusat Pembinaan Perpustakaan. Namun, setiap jenis perpustakaan

pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu mencerdaskan bangsa sesuai

dengan tingkatnya masing-masing.

Perpustakaan perguruan tinggi bertujuan menunjang kurikulum perguruan

tinggi. Dalam hal ini perpustakaan berfungsi sebagai sarana pendidikan dan

pengajaran, pusat kegiatan ilmiah dan budaya, dan pusat sarana penelitian dan

pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena itu, sebuah perpustakaan hendaknya

juga menyimpan karya-karya yang memadai yang dapat memenuhi keperluan di atas.

Untuk memperoleh bahan yang diperlukan, seorang penulis tidak perlu

membaca semua buku, majalah, atau surat kabar yang tersedia pada sebuah

perpustakaan. Setiap perpustakaan memiliki koleksi yang khas, namun sarana yang

dipakai oleh setiap perpustakaan biasanya bersifat standar. Sarana yang dipakai pada

semua perpustakaan untuk membantu setiap orang guna melengkapi bahan yang

diperlukan adalah katalog, buku-buku referensi standar, indeks, dan lain-lain.

3. Kartu - Kartu Katalog


Pada setiap perpustakaan disediakan kartu-kartu katalog yang merupakan

petunjuk untuk mengetahui koleksi bahan pustaka yang terdapat dalam perpustakaan

itu. Dengan bantuan katalog pemakai perpustakaan dapat mencari buku yang

diinginkan. Kartu katalog ini biasanya berukuran 7,5 x 12,5 cm, disusun berdasarkan

urutan nama-nama pengarang menurut abjad. Kemudian dicantumkan juga judul

191
buku dan pokok uraian. Mungkin terdapat variasi penyimanan, namun prinsip kartu

pengarang merupakan dasar pada umumnya.

Setiap perpustakaan memiliki sistem penyusunan kartu katalog tersendiri.

Setiap buku harus memiliki tiga kartu katalog yaitu kartu katalog pengarang, kartu

katalog judul dan kartu katalog subjek. Semuanya disusun menurut abjad. Bila yang

kita ingat secara pasti nama pengarang, maka nama pengarang itulah yang dicari

dalam urutan kartu katalog pengarang. Kalau judul buku yang diingat, maka yang

kita cari kartu katalog judul. Kartu katalog subjek sebenarnya sama dengan kartu

katalog pengarang dan kartu ini dikumpulkan bersama-sama dalam suatu judul utama

yang menyangkut subjek yang bersangkutan.

Di dalam kartu katalog tertera deskripsi bibliografi bahan pustaka seperti berikut :
1) Nama pengarang (nama keluarga mendahului nama kecil), atau yang

dianggap sebagai pengarang apabila nama pengarang tidak diketahui. Nama

pengarang seluruhnya menggunakan huruf kapital.

2) Judul buku (huruf pertama ditulis dengan huruf capital) termasuk anak

judul, bila ada.

3) Edisi

4) Data penerbitan yang terdiri dari : tempat terbit, penerbit, dan tahun terbit.

Data di atas perlu dicatat dengan teliti karena dalam sebuah karya tulis

semua data ini harus dicantumkan.

5) Besar dan tebalnya buku, banyaknya halaman, bab, jumlah jilid, serta data

ulang cetak.

6) Deskripsi isi;hal ini tidak selalu ada dalam kartu katalog. Tetapi deskripsi isi

akan lebih memudahkan penulis menyeleksi bahan-bahan yang diperlukan.

192
7) Nomor buku (Call Number) yaitu :

(a) nomor klasifikasi

(b) tanda pengarang, 3 huruf pertama dari nama pengarang dengan

maksud untuk membedakan dengan buku yang mempunyai nomor klasifikasi

yang sama.

Selanjutnya cobalah perhatikan contoh-contoh di bawah ini.

Contoh 1: Unsur-Unsur Katalog (secara umum)

1) Kutipan, jika kita menyalin informasi tersebut tepat seperti

aslinya.

2) Parafrase, jika kita mengungkapkan kembali maksud penulis

dengan kata – kata sendiri.

3) Rangkuman (ringkasan), jika kita menyarikan apa yang kit baca.

4) Evaluasi atau ulasan, jika kita mengemukakan reaksi terhadap

gagasan yang dikemukakan penulis.

Bentuk mana yang akan dipilih sangat bergantung kepada pertimbangan

kita. Ada penulis yang menganggap cukup membuat sarinya saja, ada juga

yang mengutip seluruhnya. Namun sebaiknya dipertimbangkan penting

tidaknya mengutip dan panjang pendek serta macam kutipan yang dibuat

1) Contoh Kutipan

angkatan

“. . . angkatan, yakni seperangkat angka yang saling berhubungan satu sama lain.”

193
B.H. Erickson dan T.A Nosanchuk terjemahan

R.K. Sembiring, Memahami Data : Statistik untuk Ilmu Sosial,

(Jakarta: LP3ES, 1982), halaman 21.

Catatan pada kartu di atas merupakan kutipan langsung, artinya sesuai dengan

aslinya. Sumber kutipan tersebut harus dicatat selengkap mungkin. Perhatikan contoh

di atas.

2) Parafrase
anak berbakat

Ditinjau dari umur serta tingkat kemampuan mentalnya dan dibandingkan

dengan pelayanan pendidikan yang diterimanya, anak berbakat adalah anak yang

sangat berkelainan.

S.C.U. Munandar , ed., Anak-Anak Berbakat: Pembinaan dan


Pendidikannya (Jakarta: Rajawali, 1982), halaman 15.

3) Ringkasan

Administrasi Negara

Administrasi Negara dilaksanakan berdasarkan UUD 1945. Tugasnya

mencakup semua aspek kehidupan nasional bangsa.

Sahono Soebroto, ed., Wawasan Nusantara

Jakarta: Surya Indah,1982), halaman 7.

194
4) Ulasan

Ringkasan (Precis )

Gorys keraf mengemukakan bahwa ringkasan adalah cara yang efektif

untuk menyajikan suatu karangan yang panjang dalam bentuk singkat. Dalam

membuat ringkasan dituntut keterampilan mereproduksi dari karya asli secara

singkat, dan tetap mempertahankan pikiran pengarang dengan pendekatan

yang asli.

Namun dalam kenyataannya, sering orang tidak dapat membedakannya dengan

ikhtisar yang juga merupakan penyajian singkat dari karangan asli. Padahal, kedua

bentuk itu berbeda penekanannya.

*Gorys Keraf, Komposisi, Ende-Flores: Nusa Indah, 1980, halaman 261.


Pada setiap kartu selalu dicantumkan sumbernya secara lengkap. Hal ini akan

memudahkan kita dalam membuat catatan kaki dan daftar kepustakaan.

Selanjutnya bahan- bahan yang sudah terkumpul, diklasifikasikan berdasarkan

kriteria sesuai dengan keperluan. Klasifikasi, seperti juga analogi, pada dasarnya

merupakan jenis analisis dan sintesis. Dalam klasifikasi kita mengambil sesuatu dari

konteksnya semula (bacaan, pengalaman, dan lain–lain) dan mengelompokkannya ke

dalam kelas–kelas yang baru berdasarkan kriteria tertentu. Kelas- kelas yang

terbentuk dengan cara itu merupakan konsep baru hasil sintesis penulis berdasarkan

konsep yang sudah ada.

6. Kerangka Karangan
Langkah terakhir pada tahap prapenulisan adalah mengorganisasikan karangan.

Dalam hal ini tujuan penulisan serta bahan penulisan turut menentukan bentuk

195
organisasi karangan itu. Bentuk atau pola organisasi karangan akan dibicarakan pada

bagian lain dari uraian ini.

Agar organisasi karangan dapat ditentukan, sebelumnya kita harus menyusun

kerangka (outline) karangan. Menyusun kerangka karangan merupakan satu cara

untuk menyusun suatu rangkaian yang jelas dan struktur yang teratur dari karangan

yang akan digarap.

Sebuah kerangka karangan merupakan suatu rencana kerja yang mengandung

ketentuan-ketentuan tentang bagaimana kita menyusun karangan itu. Kerangka

karangan juga akan menjamin penulis menyusun gagasan secara logis dan teratur.

Penyusunan kerangka karangan sangat dianjurkan karena akan menghindarkan

penulis dari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu terjadi. Kegunaan kerangka

karangan bagi penulis ialah:

1) Kerangka karangan dapat membantu penulis menyusun karangan secara

teratur, dan tidak membahas satu gagasan dua kali, serta dapat mencegah

penulis keluar dari sasaran yang sudah dirumuskan dalam topic atau judul.

2) Sebuah kerangka karangan memperlihatkan bagian-bagian pokok karangan

serta memberi kemungkinan bagi perluasan bagian-bagian tersebut. Hal ini

akan membantu penulis menciptakan suasana yang berbeda-beda, sesuai

dengan variasi yang diinginkan.

3) Sebuah kerangka karangan akan memperlihatkan kepada penulis bahan-

bahan atau materi apa yang diperlukan dalam pembahasan yang akan

ditulisnya nanti.

196
1. Bentuk Kerangka

Sebuah kerangka karangan dapat dibedakan atas kerangka kalimat dan

kerangka topik. Kerangka kalimat mempergunakan kalimat berita yang

lengkap untuk merumuskan setiap topik, subtopik maupun sub-subtopik. Di

dalam kerangka topik setiap butir dalam kerangka terdiri dari topik yang

berupa frase bukan kalimat pelengkap.

Menyusun kerangka berarti memecahkan topik kedalam subtopik dan

mungkin selanjutnya ke dalam sub-subtopik. Sebelum kerangka kerja yang

sebenarnya disusun terlebih dahulu harus dibuat kerangka kasar, atau yang

disebut kerangka sementara. Misalnya, kita akan menulis karangan mengenai

kegiatan sebuah universitas pada periode tertentu. Mula-mula kita

memecahkan topik tersebut ke dalam suatu babakan besar. Perhatikan contoh

berikut!

Topik: Kegiatan Mahasiswa Universitas Komodo Selama Periode Tahun


1980-1982
I. Kegiatan Akademis

II. Kegiatan Sosial

III. Kegiatan di Bidang Olah Raga dan Seni

Setelah diperoleh kerangka kasar, maka kita mulai memikirkan rincian

untuk setiap babakan kasar diatas. Hasilnya, diperoleh sebuah kerangka yang

lebih terinci.

Contoh :

Kegiatan Mahasiswa Universitas Komodo Selama Periode Tahun 1980-1983

1. Kegiatan Akademis

197
1.1 Penelitian

1.2 Seminar

1.3 Ceramah Ilmiah

1.4 Karya Wisata

2. Kegiatan Sosial

2.1 Partisipasi Mahasiswa Universitas Komodo Dalam Usaha

Menanggulangi Akibat Bencana Alam

2.2 Partisipasi Mahasiswa dalam Meningkatkan Kesehatan Masyarakat di

Sekitar Kampus

2.3 Partisipasi Mahasiswa dalam Usaha Meningkatkan Keterampilan Kaum

Ibu

2.4 Dan seterusnya.

Kerangka karangan itu masih dapat dirinci lagi, misalnya dengan cara

mengelompokkan kegiatan menurut jenis penellitian, fakultas, atau tahun

anggaran.

Contoh :

1. Kegiatan Akademis

1.1 Penelitian

1.1.1 Kegiatan tahun 1980-1981

1.1.2 Kegiatan tahun 1981-1982

1.1.3 Kegiatan tahun 1982-1983

1.2 dan seterusnya

Contoh–contoh kerangka di atas merupakan contoh kerangka topik. Ini

berarti kita sudah memiliki kerangka kerja yang akan menuntun kita dalam

198
mengembangkan karangan. Satu hal yang perlu diingat dan diperhatikan ialah

bahwa penyusunan kerangka karangan itu hendaknya didasarkan pada kriteria

atau sistem tertentu

Perhatikan contoh kerangka berikut!

FAUNA PULAU SUMBAWA

I. Binatang buas

II. Mamalia

III. Binatang Pemakan Daging

IV. Binatang yang dapat diternakkan

V. Binatang malam

Contoh di atas merupakan contoh kerangka yang kacau. Antara butir I – V,

dan II –IV terdapat tumpang tindih. Rincian dari topic ke subtopic tidak

berdasarkan kriteria tertentu sehingga pengelompokkan menjadi kacau.

Perhatikan bahwa antara butir-butir itu terdapat tumpang tindih.

Jika kita ingin membuat kerangka yang baik dan terinci (memuat sub-sub

bagian), kita mulai membuat kerangka secara garis besarnya terlebih dahulu.

Kerangka ini akan memperlihatkan karangan kita secara menyeluruh. Setelah

itu barulah setiap butir diuraikan ke dalam sub-subbagiannya. Dalam hal ini

kita pergunakan tanda yang berbeda untuk memperlihatkan tingkatan (hierarki)

butir-butir dalam kerangka.

199
Contoh :

MENYONGSONG KEWAJIBAN BELAJAR

TINGKAT PENDIDIKAN DASAR

SUATU PENGANTAR

I. Pendahuluan

II. Beberapa Pengamatan

A. Kedudukan Pendidikan Dasar dalam Rangka Kewajiban Belajar

B. Apa yang Telah Dirintis dalam Rangka Kewajiban Belajar

C. Apa yang Telah Kita Laksanakan dalam Menyongsong Kewajiban

Belajar

III. Masalah-masalah Pelaksanaan Kewajiban Belajar

A. Periode Perintisan (1950-1960)

B. Periode Pelita I dan II

IV. Strategi Pelaksanaan Kewajiban Belajar

A. Strategi Jangka Panjang

B. Strategi Jangka Pendek1)

Contoh kerangka karangan di atas mempergunakan angka Romawi untuk

nomor bagian dan huruf besar untuk subbagian.

Contoh berikut menggunakan Sistem Desimal.

Contoh 1: Sistem Lekuk

1. …………………………………………………………………………………

………………………………………………………………....

200
1.1 …………………………………………………………………………

…………………………………………………………………

1.2 …………………………………………………………………………

………………………………………………………………...

1.2.1 ……………………………………………………………………

……………………………………………………………

1.2.2 ……………………………………………………………………

…………………………………………………………….

2. …………………………………………………………………………………

………………………………………………………………….

2.1 …………………………………………………………………………

…………………………………………………………………

2.2 …………………………………………………………………………

…………………………………………………………………

2.2.1 ……………………………………………………………………

……………………………………………………………

2.2.2 ……………………………………………………………………

…………………………………………………………….

Dan seterusnya.

Contoh 2 : Sistem Lurus

1.

……………………………………………………………………………

……………………………………................

201
1.1

……………………………………………………………………………

……………………………………………………

1.2.1

…………………………………………………………………………………

……………………………………............

1.2.2

…………………………………………………………………………………

……………………………………………….

2. .

……………………………………………………………………………

…………………………………………………….

2.1

……………………………………………………………………………

………………………………………………………

2.2

……………………………………………………………………………

………………………………………………………

Dan seterusnya.

Selanjutnya jagalah agar hubungan antara bagian antara bagian dengan sub-

bagiannya selalu konsisten

202
Contoh 1
Variasi bahasa dapat ditinjau dari berbagai segi
A. Variasi berdasarkan tempat (daerah)

B. Variasi berdasarkan profesi

C. Variasi berdasarkan umur

D. Dan seterusnya

Contoh 2

1. Variasi bahasa dapat ditinjau dari berbagai segi

A. Variasi berdasarkan tempat (daerah)

B. Bahasa ilmuwan berbeda dengan bahasa pedagang kecil

C. Bahasa Prokem adalah hasil kreativitas remaja

Di antara kedua contoh di atas yang mana menurut anda yang lebih

konsisten dan jelas?

Perhatikan butir-butir yang terdapat pada kedua contoh itu. Ternyata

contoh 1 lebih konsisten dan lebih jelas dari pada contoh 2. Butir-butir pada

contoh 1 didasarkan atas satu patokan, yaitu variasi dan semua butir

dinyatakan dalam bentuk topik. Pada contoh 2 tidak demikian halnya. Butir–

butir pada contoh 2 dinyatakan dalam bentuk topik (A) dan bentuk kalimat

pada (B) dan (C). Dasar patokan untuk butir (A), (B), dan (C) juga tidak jelas.

2. Pola Organisasi
Langkah terakhir pada tahap penulisan ialah pengorganisasian karangan.

Dalam hal ini tujuan dan bahan penulisan turut menentukan bentuknya.

Organisasi karangan pada umumnya mengikuti pola ilustratif, analisis, dan

203
argumentatif. Pola ini disusun sesuai dengan arah pembicaraan dan detail

pembahasan tertentu.

Jika kita akan menjelaskan suatu gagasan atau prinsip umum secara

konkret dan khusus maka kita harus menggunakan pola ilustratif. Arah

pembicaraan menurut pola ini ialah dari hal yang umum kepada yang khusus.

Pembahasan dimulai dengan hal-hal yang bersifat umum, kemudian menjadi

khusus dan lebih khusus lagi. Dalam pola ini makna tesis atau kalimat utama

dikemukakan melalui ilustrasi. Ilustrasi itu dapat berupa contoh,

perbandingan, atau sebuah kontras.

Jika kita mempergunakan contoh-contoh sebagai ilustrasi, ada beberapa

hal yang harus kita perhatkan. Pertama, contoh yang dipakai harus

mempunyai hubungan yang langsung dengan kata yang umum (tesis, kalimat

utama) yang dijelaskan. Untuk menjelaskan suatu genus misalnya,

pergunakan spesies yang langsung di bawahnya. Kedua contoh itu benar-

benar dapat menjelaskan tesis atau kalimat topik yang dikemukakan.

Dalam organisasi karangan dengan pola analitis, pokok pembicaraan

diuraikan ke dalam bagian-bagian. Dengan jalan menguraikan bagian-bagian

itu tesis atau kalimat topik dapat dijelaskan. Arah pembahasan ialah dari

pokok pembicaraan diuraikan kepada bagiannya. Bagian – bagian ini

kemudian diuraikan lagi ke dalam sub-subbagian. Dengan demikian, pola ini

hanya dipergunakan bila tesis atau topik mengenai suatu kesatuan (benda

konkret atau gagasan abstrak) yang terdiri dari bagian-bagian. Dengan cara

menguraikan bagian-bagian itu tesis dapat dijelaskan. Pola analisis ini ada

204
tiga macam, yaitu analisis, klasifikasi, analisis proses, dan analisis sebab-

akibat.

Pola analilis klasifikasi kita pergunakan bila pembahasan mengenai

pokok pembicaraan didasarkan pada klasifikasi tertentu.

Contoh :
VARIASI BAHASA INDONESIA

1. Pendahuluan

2. Variasi berdasarkan tempat

3. Variasi berdasarkan umur

4. Variasi berdasarkan situasi

5. Variasi berdasarkan media

6. Variasi berdasarkan profesi

Pola analisis proses dapat kita pergunakan jika pembahasan mengenai

topik atau pembicaraan yang mengarah pada pembagian-pembagian yang

menggambarkan suatu proses.

Contoh :

PENGAJARAN KOSA KATA DI SMP

1. Pendahuluan

2. Pengenalan kata-kata baru/sulit

3. Pemahaman secara pasif

205
4. Pemahaman secara aktif

5. Pengembangan karangan pendek berdasarkan kata-kata baru

6. Dan seterusnya

Pola karangan diatas menggambarkan suatu proses pengajaran kosa kata

bagi anak-anak SMP dari mulai mengenal kata-kata baru sampai kepada

membuat karangan pendek berdasarkan kata-kata baru tadi.

Pola karangan analisis sebab-akibat dapat dilihat pada contoh berikut ini.

Contoh :

PENYAKIT AKIBAT KEKURANGAN GIZI

1. Pendahuluan

2. Makanan Bergizi

3. Hubungan Gizi dengan Kesehatan

4. Penyakit yang Timbul Akibat Kekurangan Gizi

5. Dan seterusnya

Di dalam praktek pola ilustratif seringkali digabungkan dengan pola

analitis. Hal ini dapat kita lihat pada contoh berikut!

Contoh :

VARIASI BAHASA INDONESIA

1. Pendahuluan : Situasi Kebahasaan di Indonesia

2. Variasi berdasarkan tempat : Dari Aceh sampai Irian

3. Variasi berdasarkan umur : Bahasa Prokem

4. Variasi berdasarkan situasi dari yang resmi sampai yang santai

206
5. Variasi berdasarkan media: bahasa buku dan surat kabar

6. Variasi berdasarkan profesi: dari bahasa ilmuwan sampai bahasa abang

becak

Semua butir, dari butir satu sampai butir enam pada contoh di atas

bersifat analisis karena merupakan bagian-bagian dari pokok pembicaraan.

Akan tetapi keterangan di belakang titik dua (:) bersifat ilustratif, karena

memberikan contoh-contoh yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal

yang khusus.

Selanjutnya, dalam pola argumentatif kita menyusun evidensi ke dalam

urutan yang logis untuk menjelaskan suatu tesis atau proposisi. Arah

pembahasan menurut pola ini ialah dari evidensi sebagai premis kepada

kesimpulan.

Contoh :

Tempe bongkrek adalah makanan berbahaya. Banyak orang yang sakit dan

mati akibat keracunan makanan tersebut.

Pada contoh di atas bagian yang dicetak miring merupakan kesimpulan.

Bagian yang lain yang merupakan premis yaitu dasar untuk penarikan

kesimpulan. Suatu argument sekurang-kurangnya menghubungkan satu

premis dengan satu kesimpulan.

Dengan selesainya kerangka karangan atau kerangka kerja maka kita

sudah dapat melangkah pada tahap kedua yaitu tahap penulisan. Akan tetapi

sebelum kita mulai dengan penulisan yang sebenarnya perlu kita menilai

kembali persiapan penulisan yang telah kita buat, dengan cara mengajukan

pertanyaan-pernyataan berikut:

207
1) Apakah tesis (pertanyaan maksud) yang kita rumuskan sudah cukup jelas?

2) Apakah kerangka karangan sudah lengkap?

3) Apakah kerangka itu disusun berdasarkan atas sistem atau patokan

tertentu?

4) Apakah urutan kerangka sudah logis?

5) Apakah hubungan antara bagian sub-subbagian jelas dan konsisten?

6) Dapatkah setiap butir dalam kerangka dikembangkan secara terinci?

208
BAB VII

ASPEK PENALARAN DALAM KARANGAN

A. Pendahuluan

Menulis merupakan proses bernalar. Untuk menulis mengenai suatu topik

itu harus berpikir, menghubung-hubungkan berbagai fakta, membandingkan dan

sebagainya. Dalam bab ini akan dibahas aspek penalaran dalam karangan.

B. Jenis-jenis Penalaran dalam Karangan

Setiap saat selama hidup kita, terutama dalam keadaan jaga (tidak tidur),

kita selalu berpikir. Berpikir merupakan kegiatan mental. Pada waktu kita

berpikir, dalam benak kita timbul serangkaian gambar tentang sesuatu yang tidak

hadir secara nyata, kegiatan ini mungkin tidak terkendali, terjadi dengan

sendirinya, tanpa kesadaran, misalnya pada saat-saat kita melamun. Kegiatan

berpikir yang lebih tinggi dilakukakan secara sadar, tersusun dalam urutan yang

paling berhubungan, dan bertujuan untuk sampai kepada suatu kesimpulan. Jenis

kegiatan berpikir yang terakhir inilah yang disebut kegiatan bernalar.

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dicatat bahwa proses bernalar atau

tingkatnya penalaran merupakan proses berpikir yang sistematik untuk

memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan. Kegiatan penalaran mungkin

bersifat ilmiah atau tidak ilmih. Dari prosesnya, penalaran itu dapat dibedakan

sebagai penalaran induktif dan deduktif. Penalaran ilmiah mencakup kedua

proses penalaran itu.

209
1. Penalaran Induktif

Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk menarik

kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan

atas fakta-fakta yang bersifat khusus, prosesnya disebut induksi.

Penalaran induktif mungkin merupakan generalisasi, analogi, atau

hubungan-hubungan sebab-akibat. Generalisasi adalah proses penalaran

berdasarkan pengamatan atas sejumlah gejala dengan sifat-sifat tertentu

mengenai semua atau sebagai dari gejala serupa itu. Di dalam analogi

kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala ditarik berdasarkan

pengamatan terhadap sejumlah gejala khusus yang bersamaan. Hubungan

sebab-akibat ialah hubungan ketergantungan antara gejala-gejala yang

mengikuti pola sebab-akibat, akibat-sebab, dan akibat-akibat. Untuk

lebih jelasnya, berikut akan dibahas satu persatu

a. Generalisasi
Generalisasi ialah proses pennalaran berdasarkan pengamatan

atas sejumlah gejala dengan sifat-sifat tertentu untuk menarik

kesimpulan umum mengenai semua atau sebagaian dari gejala serupa.

Proses ini sering kali kita lakukan di dalam kehidupan sehari-hari.

Secara tak sadar sering kita membuat generalisasi tentang sifat

golongan tertentu berdasarkan satu atau beberapa orang anggota yang

kita kenal. “Orang Jepang peramah”, “Orang Jawa tidak suka berterus

terang”, dan sebagainya, adalah contoh-contoh generalisasi yang

sering kita dengar.

210
Sahkan kesimpulan seperti di atas? U ntuk menjawab pertayaan-

pertanyaan itu harus mengetesnya :

1. Cukup memadaikah gejala-gejala khusus yang diamati sebagai

dasar penarikan kesimpulan? Kekurangan jumlah gejala yang

perlu diamati akan menimbulkan kekeliruan generalisasi

terlampau luas. Pernyataan seperti “Orang Jepang peramah” dan

“Orang Jawa tidak suka berterus terang” yang didasarkan atas

satu atau beberapa orang Jepang dan orang Jawa yang kebetulan

dikenal, adalah contoh generalisasi terlalu luas.

2. Apakah gejala yang diamati cukup mewakili keseluruhan atau

bagian yang dikenai generalisasi? Dengan kata lain, apakah

sampel yang diamati betul-betul mewakili populasinya?

3. Tidak adakah kekecualian dalam kesimpulan umum yang

ditarik? Jika kekecualian terlalu banyak, maka tak mungkin

diambil generalisasi. Jika satu atau beberapa saja, kita masih

dapat membuat generalisasi. Dalam hal ini hindarilah kata-kata

“setiap” atau “semua”. Pergunakan ungkapan “cenderung”,

“pada umumnya”, “rata-rata”, “pada mayoritas yang diamati”,

atau yang semacam itu.

Berikut ini tertera contohnya :

Dalam memilih jurusan IPA siswa kelas satu (1) SMA Negeri

Cikampek dipengaruhi faktor social, ekonomi, budaya, tingkat

pendidikan keluarga. Siswa yang pernah ke kota besar (kota

kabupaten dan ibu kota RI) dan banyak bergaul dengan orang

211
kota mudah menyerap situasi baru tanpa “dianalisa”. Ini

menunjukkan kekurangan pengertian lanjut dari siswa yang

dapat dihubungkan dengan tempat tinggal siswa di daerah yang

berbudaya desa. Ini terlihat ketika siswa memilih jurusan IPA

yang dianggap super. Dan karena situasi lingkungan dengan

tingkat pendidikan yang rata-rata di bawah SMA, siswa tidak

mengetahui tindak lanjut setelah memilih jurusa IPA.

Siswa yang berlatar belakang budaya desa dan berlatar belakang

budaya kota berbeda dalam motivasi dan persiapan memilih

jurusan IPA. Masyarakat berbudaya desa menerima mentah-

mentah pengaruh kota yang dianggap baik dalam rangka

perubahan kebudayaan kota, tanpa seleksi. Ini dibuktikan

dengan anak yang ingin duduk di jurusan IPA atas pengaruh

orang kota yang ternyata tidak diikuti dengan prestasi belajar

yang baik, sehingga anak tidak terjuruskan ke jurusan IPA, yang

artinya dijuruskan ke jurusan IPS dan bahasa.

(Dikutip dengan perubahan dariAnalisa pendidikan,1982/1983)

Kutipan di atas merupakan hasil generalisasi berdasarkan suatu

penelitian terhadap sekelompok siswa kelas I SMA Negeri Cikampek.

Generalisasi itu dikenakan kepada siswa kelas I SMA Negeri Cikampek

berdasarkan atas pengamatan terhadap sejumlah sampel.

b. Analogi
Kita dapat membandingkan sesuatu dengan lainnya berdasarkan atas

persamaan yang terdapat di antara keduanya, kita mungkin menyebut

212
suatu bau yang sedap sebagai “bau bunga melati atau bau 4711”.

Perbandingan seperti itu dimaksudkan sebagai cara untuk menjelaskan

sesuatu yang baru berdasarkan persamaanya dengan sesuatu yang telah

dikenal. Hasilnya tidak memberikan kesimpulan atau pengetahuan yang

baru. Perbandingan demikian disebut analogi penjelas (deklaratif).

Analogi yang dimaksudkan di sini bukan analogi penjelas seperti di

atas, melainkan analogi induktif. Artinyaa, suatu proses penalaran untuk

menarik kesimpulan /inferensi tentang kebenaran suatu gejala khusus

berdasarkan kebenaran gejala khusus lain yang memiliki sifat-sifat

esensial penting yang bersamaan. Dengan demikian, untuk

mengemukakan sesuatu analogi induktif, yang perlu diperhatikan ialah

apakah persamaan yang dipakai sebagai dasar kesimpulan benar-benar

merupakan ciri-ciri esensial penting yang berhubungan erat dengan

kesimpulan yang dikemukakan. Sebagai contoh, misalnya kesimpulan

beberapa ilmuawan yang mengatakan bahwa anak kera dapat diberi

makan seperti anak manusia berdasarkan persamaan yang terdapat di

antar sistem pencernaan anak kera dan anak manusia. Kesimpulan itu

merupakan analogi induktif yang sah, karena yang dipakai sebagai dasar

kesimpulan (sistem pencernaan) merupakan ciri esensial yang

berhubungan erat dengan kesimpulan (cara memberi makan).

Contoh:

Bagaikan badai mengamuk, memorakporandakan segala sesuatu yang

ditemui. Rumah-rumah berantakan, phon-pohon bertumbuhan tiada

bersisa. Tinggallah akhirnya dataran luas dan sunyi dengan puing-puing

213
gedung dan pohon-pohon yang tumbang. Demikianlah penderitaan telah

membuatnya hancur luluh tanpa ampun. Rasanya tak ada lagi yang

tersisa, kecuali badan yang hampa rasa, tanpa citra, cipta, dan karya.

Tulisan di atas merupaka contoh analogi deklaratif. Dalam tulisan

hebatnya penderitaan digambarkan sebagai badai nyang menghancurkan

ratak suatu daerah. Maksudnya tentu saja agar pembaca data lebih

menghayal bagaimana beratnya penderitaan yang dialami.

c. Hubungan Kausal (Sebab Akibat)


Menurut prinsip umum hubungan sebab akibat, semua peristiwa

hanya ada penyebabnya. Dalam hal ini orang kerap kali sampai pada

kesimpulan yang salah karena proses penarikan kesimpulan tidak sah.

Contohnya orang menghubungkan suatu wabah dengan kutukan dewa

atau tempat tertentu yang dianggap keramat.

Hubungan sebab akibat antara peristiwa-peristiwa mungkin

mengu=ikuti pola dari sebab ke akibat, akibat ke sebab, atau akibat ke

akibat.

1. Penalaran dari sebab ke akibat dimulai dengan pengamatan

terhadap suatu sebab yang diketahui. Berdasarkan pengamatan itu

ditarik ke simpulan mengenai akibat yang mungkin ditimbukan.

2. Penalaran dari akibat ke sebab dimulai dari suatu akibat yang

diketahui. Berdasarkan akibat tersebut dipikirkan apa yang

mungkin menjadi penyebabnya.

Penalaran dari akibat ke sebab dipergunakan dalam penelitian expost

facto, misalnya untuk menentukan penyebab kematian/kecelakaan, dan

214
lain-lain. Cerita-cerita detektif dan proses peradilan merupakan contoh

lain yang jelas untuk penalaran dari akibat ke sebab.

Kutipan berikut menggambarkan hubungan sebab akibat dan dimulai

dengan mengemukakan suatu peristiwa yang merupakan akibat berbagai

hal.

Contoh:

MUSIBAH CHALLENGER

Meledaknya pesawat cballenger selama malam kemarin benar-benar

sangat mengejutkan. Seperti jutaan orang lain dari seluruh dunia, kita pun

patut menyatakan ikut berbelasungkawa atas tewasnya tujuh astronot AS

tersebut. Terlebih lagi karena Indonesia mempunyai kaitan dengan

program itu, dengan penjadwalan seorang wanita Indonesia, Pratiwi

Sudarmono sebagai salah seorang astronot yang akan ikut penerbangan

Columbia tahun ini.

Challenger baru meluncur 75 detik, ketika pesawat angkasa AS

tersebut meledak dan meluncur berkeping-keping bagain bola api di

angkasa, dan hanya ditemukan serpihan-serpihan reruntuhannya saja,

lebih dari 100 km di lepas pantai timur AS. Peristiwa ini menjadi sangat

dramatis, karena seluruh kejadian, dari awal sampai akhir, disaksikan

oleh wakil Presiden AS, George Bush, dan lebih dari 600 guru dan 4000

murid sekolah, jutaan penoton TV yang mengikuti peluncuran itu melalui

pesawat mereka.

Tidak akan segera diketahui apa yang menjadi pelatuk musibah itu.

Tetapi dengan mudah bias dimengerti, bahwa ledakan sekian ton oksigen

215
dan hydrogen cair yang menjadi bahan bakar utama pesawat itu akan

membuat apa pun yang ada di dalam Challenger menjadi berkeping-

keping tak berbekas.

Memang, peluncuran Challenger terakhir ini tidak mulus. Sampai

empat kali peluncuran harus ditunda. Akan tetapi, itu saja sebenarnya

belum cukup untuk membuat orang berkecil hati. Sebab, salah satu

penerbangan Columbia juga harus dijadwalkan kembali sampai tujuh

kali. Yang membuat orang harus tergugah ialah, sebenarnya peluncuran

seperti itu adalah hamper menjadi rutin. Peluncuran selasa malam

kemarin adalah peluncur pesawat ulang-alik yag ke-25, dan peluncuran

pesawat angkasa bermanusia yang ke-56. Begitu besar orang

mengandalkan hal yang sudah rutin itu, sehingga peluncuran-peluncuran

pesawat jenis ini yang semula (tahun 1981) hanya dilakukan dua sampai

tiga kali setahun, tahun ini direncanakan 15 kali.

Mungkin salah satu pelajaran yang bias ditarik dari musibah ini ialah,

pada saat-saat tertentu kita memang harus tergugah dari yang serba rutin,

dan kembali menggungat apakah yang kita lakukan selama ini memang

tidak bias diperbaiki lagi. Sebab, salah satu yang terlewat dari

pengamatan rutin ternyata menjadi fatal.

Dalam persoalan seperti ini, seperti juga dalam segala persoalan

teknologi tinggi yang serba rumit, apalagi penuh risiko, kerutinan

sebenarnya harus selalu dihindarkan. Tetapi gejala itu pun terjadi.

Menggugat dan ingin tahu, selalu menjadi pendorong utama bagi

manusia untuk selangkah lagi maju ke depan. Tetapi sesampainya di

216
sana, manusia sering juga menjadi terlalu ambisius, dan kadang-kadang

terlalu menyombongkan kehebatannya.

Peristiwa seperti meledaknya Challenger itu harus menggugah

kembali kesadaran kita, bahwa betapa pun hebatnya manusia, betapa

besar pun daya hitung, kecermatan, dan jangkauan akalnya, ternyata

masih ada saja sesuatu yang lepas dari pengamatannya. Apa pun nanti

yang akan ditemukan oleh tim ahli yang bertugas meneliti musibah itu,

yang akan kedapatan pastilah salah satu bentuk ketidaksempurnaan.

Musibah Challenger menelanjangi ketidaksempurnaan manusia

dihadapan Sang Maha Sempurna. Pada saat seperti itu, manusia harus

sadar, betapa luar biasa pun prestasi yang sudah dicapainya, tetapi

ternyata masih banyak pula hal yang terlepas dari pengamatannya.

Meskipun demikian, tidak bias juga dikatakan bahwa usaha manusia

untuk menanggapi angkasa dan meraba-raba apa yang belum

diketahuinya itu adalah menentang Yang Maha Kuasa. Selama ini selalu

terbukti betapa sangat kuat berakar dalam kodrat manusia hasrat untuk

melakukan sesuatu demi keinginnya, kalau perlu dengan perngorbanan

jiwanya.

Kadang-kadang memang sulit bagi kebanyakan kita untuk memahami

mengapa manusia harus mempertarukan jiwanya untuk memahami mengapa

manusia harus mempertaruhkan jiwanya untuk mendaki gunung berbahaya,

menyusuri sungai ganas, mengarungi lautan penuh misteri, dan bertualang

di angkasa yang serba tanda Tanya. Apabila berhasil masih perlu segera

dipertanyakan, lalu apa gunanya itu semua.

217
Meskipun demikian, sudah sangat banyak orang yang mengorbankan

hidupnya untuk hal-hal seperti itu, dan masih akan lebih banyak lagi orang

yang secara sukarela bersedia melakukan hal-hal serupa dengan risiko bagi

jiwanya, seperti astronot Challenger. Dengan keberanian-keberanian yang

terkadang sulit dimengerti seperti itulah manusia beringsut-ingsut

meninggalkan makhluk-mahkluk lain, dan mengangkat derajatnya.

Dengan pandangan seperti itu, musibah Challenger tidak boleh

mengecilkan dorongan manusia untuk selalu ingin menjelajahi alam lain

yang belum diketahuinya, walaupun saat-saat seperti sekarang ini juga harus

digunakan untuk meneliti dan mengatur kembali ambisi-ambisi nya.

3. Penalaran dari akibat ke akibat, berpangkal dari suatu akibat dan

berdasarkan akibat tersebut langsung dipikirkan akibat lain tanpa

memikirkan sebab umum yang menimbulkan kedua akibat ini.

Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi rangkaian sebab akibat

yang berkepanjangan. Sebagai contoh misalnya, seorang siswa SMA

menjadi frustasi karena gagal dalam ujian seleksi. Kegagalan ini disebabkan

oleh karena tak sempat menyiapkan diri untuk ujian tersebt. Hal ini terjadi

karena ia terpaksa dirawat di rumah sakit selama dua bulan akibat

kecelakaan lalu lintas. Mobil yang dikemudikannya menabrak tiang listrik

karena ia tertidur ketika mengendarainnya.

Dari contoh itu kita lihat bahwa penyebab pertama kegagalan siswa

itu ialah “kantuk”. Penyebab itu diikuti oelh serangkaian akibat yang

masing-masing merupakan penyebab peristiwa lain. Maka terjadilah

rangkaian sebab akibat seperti yang telah dibahas pada bagian 3.2.2 butir 4).

218
Selanjutnya, dalam penalaran akibat ke akibat harus diyakini bahwa

ada penyebab umum yang menimbulkan akibat-akibat itu. Dalam hal ini

perhatikan apakah penyebab itu betul-betul merupakan penyebab satu-

satunya yang menimbulkan kedua akibat tersebut. Apakah tidak ada

penyebab lain yang mungkin juga menimbulkan salah satu atau kedua

akibat tersebut?

Berdasarkan uraian di atas, mungkin diperoleh kesan bahwa hubungan

sebab-akibat merupakan suatu hal yang mudah dan jelas. Tetapi di dalam

kenyataan tidak begitu sederhana. Kerap kali terdapat peristiwa-peristiwa

sebab akibat yang rumit. Karena itu, seperti telah pernah dikemukakan kita

harus berhati-hati dalam menentukannya. Dengan memperlajari proses

berpikir yang sah, kita akan dapat menilai, apakah putusan kita tentang

suatu sebab-akibat betul-betul merupakan hasil proses penalaran yang logis

dan tidak dipengaruhi oleh sikap pribadi. Kepercayaan/takhayul, pandangan

politik, atau prasangka. Dalam hal ini, ilmu statistika kadang-kadang dapat

membantu kita.

2. Penalaran Deduktif

Penalaran deduktif atau deduksi dimulai dengan suatu premis yaitu

pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Kesimpulannya merupakan

implikasi pernyataan dasar itu artinya, apa yang dikemukakan di dalam

kesimpulan secara tersirat telah ada di dalam pernyataan itu.

Penalaran deduktif didasarkan atas prinsip, hukum, teori, atau putusan

lain yang berlaku umum untuk suatu hal ataupun gejala. Jadi sebenarnya,

proses deduksi tidak menghasilkan suatu pengetahuan yang baru, melainkan

219
pernyataan/kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya.

Sebagai contoh, kesimpulan-kesimpulan berikut sebenarnya adalah

implikasi pernyataan ‘Bujur sangkar adalah segi empat yang sama sisi’.

1) Suatu segi empat yang sisi-sisi horisontalnya tidak sama panjang

dengan sisi tegak lurusnya bukan bujur sangkar.

2) Semua bujur sangkar harus merupakan segi empat, tetapi tidak semua

segi empat merupakan bujur sangkar.

3) Jumlah sudut dalam bujur sangkar ialah 360 derajat.

4) Jika sebuah bujur sangkar dibagai dua dengan garis diagonal akan

terjadi dua segi tiga sama kaki.

5) Segitiga yang terbentuk itu merupakan segi tiga siku-siku.

6) Setiap segi tiga itu mempunyai dua sudut lancip yang besarnya 45

derajat.

7) Jumlah sudut dalam segi tiga itu 180 derajat.

Setiap pernyataan yang tercantum itu merupakan cara lain untuk

mengungkapkan pernyataan di atasnya secara konsisten. Pernyataan (2)

merupakan implikasi pernyataan (1) pernyataan (3) merupakan implikasi

pernyataan (2) dalam penalaran induktif kesimpulan bukan merupakan

implikasi data yang diamati artinya, kesimpulan mengenai fakta-fakta yang

diamati tidak tersirat di dalam fakta itu sendiri.

Dalam praktik, proses penulisan tidak dapat dipisahkan dari proses

pemikiran/penalaran. Tulisan adalah perwujudan hasil

pemikiran/penalaran. Tulisan yang kacau mencerminkan pemikiran yang

220
kacau. Karena itu, latihan keterampilan menulis pada hakikatnya adalah

pembiasaan berpikir/bernalar secara tertib dalam bahasa yang tertib pula.

a. Silogisme

Silogisme merupakan suatu cara penalaran yang formal.

Penalaran dalam bentuk ini jarang ditemukan/dilakukan dalam

kehidupan sehari-hari. Kita lebih seringmengikuti polanya saja,

meskipun kadang-kadang secara tidak sadar. Misalnya ucapan “Ia

dihukum karena melanggar peraturan “X”, sebenarnya dapat kita

kembalikan ke dalam bentuk formal berikut :

a. Barang siapa melanggar peraturan “X”

b. Ia melanggar peraturan “X”

c. Ia harus dihukum

Bentuk seperti itulah yang disebut silogisme. Kalimat pertama

(premis mayor) dan kalimat kedua (premis mayor) merupakan

pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan (kalimat ketiga).

Pada contoh, kita lihat bahwa ungkapan “melanggar. . . “ pada

premis mayor diulangi dalam premis minor. Demikian pula

ungkapan” harus dihukum di dalam kesimpulan. Hal itu terjadi pada

bentuk silogisme yang standar.

Akan tetapi, kerap kali terjadi bahwa silogisme itu tidak

mengikuti bentuk standar seperti itu misalnya:

Semua yang dihukum itu karena melanggar peraturan

Kita selalu mematuhi peraturan

Kita tidak perlu cemas bahwa kita akan di hokum

221
Pernyataan itu dapat dikembalikan menjadi :

a. Semua yang melanggar peraturan harus dihukum

b. Kita tidak pernah melanggar (selalu mematuhi) perarturan

c. Kita tidak dihukum

Secara singkat silogisme dapat dituliskan

Jika A = B dan B = C maka A = C

1. Premis dan Term

Untuk memahami silogisme perlu kita ketahui dahulu beberapa

istilah yang digunakan.

Proposisi ialah kalimat logika yang merupakan pernyataan

tentang hubungan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai

benar atau salah.

Premis ialah pernyataan yang digunakan sebagai dasar

penarikan kesimpulan.

Merupakan kesimpulan yang ditarik berdasarkan premis

mayor dan premis minor. Subjek pada kesimpulan itu merupakan term

minor. Term menegah menghubungkan term mayor dengan term

minor dan tidak boleh terdapat pada kesimpulan. Perlu diketahui, term

ialah suatu kata atau kelompok kata yang menempati fungsi subjek (S)

atau predikat (P).

Contoh :
a. Semua cendekiawan adalah manusia pemikir

b. Semua ahli filsafat adalah cendekiawan

c. Semua ahli filsafat adalah manusia pemikir.

222
Bentuk di atas merupakan bentuk stadar silogisme. Di

dalamnya terdapat 3 term (hanya 3 trem), yaitu term mayor, minor,

dan tengah. Term-term itu tercantum dalam kalimat yang disebut

proposisi. Proposisi (1), dan (2) merupakan premis yaitu pernyataan

dasar untuk menarik kesimpulan pada proposisi nomor (3) Proposisi

(1) merupaka premis mayor yaitu premis yang merupakan pernyataan

dasar umum yang dianggap benar untuk satu kelas tertentu. Di

dalamnya terdapat term mayor (manusia pemikir) yang muncul dalam

kesimpulan sebagai predikat.

Proposisi (2) merupakan premis minor yang mengemukakan

pernyatan tentang peristiwa atau gejala khusus yang merupakan

bagian atau anggota kelas premis mayor. Di dalamnya terdapat term

minor (ahli filsafat) yang menjadi subjek dalam kesimpulan. Term

mayor itu dihubungkan oleh term tengah (cendekiawan) yang tidak

boleh diulang di dalam kesimpulan. Term tengah inilah yang

memungkinkan kita menarik kesimpulan.

2. Macam-macam Proposisi

Pada bagian terdahulu telah disinggung pengertian proposisi

berdasarkan pengertian tentang term, maka proposisi dapat pula

dibatasi sebagai pernyataan tentang hubungn antara term-term. Dari

kualitasnya hubungan itu mungkin berisi pembenaran (positif), yaitu

menyatakan adanya hubungan antara term-term; atau bersifat

mengingkari (negatif), artinya menyatakan tidak adanya hubungan

antara term-term.

223
Proposisi dapat digolongan-golongkan berdasarkan beberapa kriteria.

a. Menurut bentuknya, proposisi dapat dibedakan sebagai proposisi

tunggal dan majemuk. Proposisi tunggal ialah proposisi yang

hanya berisi satu pernyataan saja, sedangkan proposisi majemuk

merupakan gabungan antara dua proposisi tunggal atau lebih.

Contoh :

Tunggal : Semua manusia fana

Setiap calon mahasiswa harus mengikuti ujian seleksi.

Majemuk : Semua manusia fana dan pernah lupa

Tidak seorngpun siswa SLA menjadi anggota serat

Guru Besar ITB dan IPB


Proposisi “Semua manusia fana dan pernah lupa” sebenarnya

merupakan gabungan dua proposisi tunggal, yaitu “Semua manusia

fana” dan “Semua manusia pernah lupa”. Karena kedua proposisi itu

positif, maka gabungannya merupakan proposisi majemuk kopulatif .

Sedangkan “Tidak seorangpun siswa SLA menjadi Senat Guru Besar

ITB dan IPB” merupakan himpunan duan proposisi tunggal negatif,

yaitu “Tak seorang pu siswa SLA menjadi anggota Senat Guru Besar

ITB” dan “Tak seorang pun siswa SLA menjadi anggota Senat Guru

Besar IPB”. Gabungan seperti itu merupakan proposisi majemuk

rimotif .

b. Menurut sifat pembenaran atau pengikaran hubungan antara

subjek (S) dan predikat (P), proposisi mungkin merupakan

proposisi kategori atau proposisi kondisional. Jika hubungan itu

224
tanpa syarat, proposisi digolongkan kedalam proposisi kategoris,

dan sebaliknya jika disertakan syarat, proposisi termasuk ke

dalam proposisi kondisional.

Contoh :
Kategoris : Sebagaian manusia hidup makmur.
Kondisional : Jika mutu makanan ayam diperbaiki telur
yangIdihasilkanIlebihbertumu.
Proposisi kondisional dapat dibagi bagi lagi menjadi proposisi

kondisional hipotesis dan proposisi kondisional disjungtif .

Proposisi kondisional hipotesis terdiri atas dua bagian, yaitu

antiseden dan konsekuen. Antiseden ialah bagian yang berisi syarat

dan konsekuen berisi akibat. Menurut logika tradisional anteseden

selalu mendahului konsekuen.

Contoh :

Kalau metodenya diubah (anteseden) maka hasilnya akan

berbeda (konsekuen).

Proposisi kondisional disjungtif berisi alternatif (pilihan)

Contoh : - Pelakunya seorang bekas pelaut atau bekas anggota

gerombolan.

- Kita akan melanjutkan diskusi ini atau bubar saja.

c. Berdasarkan kuantitasnya, proposisi dibedakan menjadi proposisi

universal dan proposisi khusus (particular, particular). Pada proposisi

universal, predikat membenarkan atau mengingkari seluruh subjek,

sedang pada proposisi particular hanya membenarkan atau

mengingkari bagian saja.

225
Ungkapan untuk menyatakan proposisi universal antara lain :

semua, seluruh, tiap-tiap, setiap kali, masing-masing, selalu, tidak

satu pun, tidak pernah, dan tidak seorangpun. Untuk proposisi

particular biasanya dipergunakan kata-kata seperti: sebagian, banyak,

kebanyakan, sering, kadang-kadang, dan dalam keadaan tertentu,

beberapa.

d. Selanjutnya menurut kualitas dan kuantitasnya proposisi dapat

digolong-golongkan sebagai berikut :

1. Proposisi universal positif (affirmative), di dalam logika diberi

simbol A

2. Proposisi universal negatiF : E

3. Proposisi particular positif : I

4. Proposisi particular negative : O

Contoh :

A : Semua pengikut Sipenmaru lulusan SLTA

E :Tidak satu pun siswa SLTA menjadi anggota

Senat

Guru Besar IPB

I : Beberapa penting memiliki traktor.

O : Sebagai mahasiswa tidak pernah melakukan

KKN.

3. Distribusi Term

Menurut kualitas dan kuantitas proposisi, term mungkin bersifat

distributif atau nondistributif. Suatu term dikatakan distributif, jika

226
meliputi seluruh denotasinya, dan dikatakan nondistributif, jika hanya

meliputi sebagian saja.

Dengan demikian, maka dalam proposisi

A : S distributif, P nondistributif.

E : S distributif, P distributif.

I : S nondistributif, P nondistributif

O : S nondistributif, P distributif

Proposisi A :

E :

I :

O :

Contoh :

Premis Mayor (MY) : Manusia makhluk rasional

Premis minor (MN) : Kucing bukan manusia

Kesimpulan (K) : Kucing tidak rasioanl

My : Setiap manusia pernah lupa

Mn : Mahasiswa adalah manusia

K : Mahasiswa pernah lupa

Dari uraian di atas dapat diringkaskan bahwa :

a. Silogisme merupakan bentuk penalaran deduktif yang formal.

b. Proses penalaran dimulai dari premis mayor melalui premis minor sampai

pada kesimpulan.

c. Strukturnya tetap : premis mayor, premis minor, kesimpulan.

d. Premis mayor berisi pernyataan umum.

227
e. Premis minor berisi pernyataan yang lebih khusus yang merupakan

bagian premis mayor (term mayor).

f. Kesimpulan dalam silogisme selalu lebih khusus daripada premisnya.

4. Persyaratan

Selain itu ada beberapa pembatasan yang perlu diketahui sehubungan

dengn penalaran dalam bentuk silogisme.

a. Di dalam silogisme hanya mungkin terdapat 3 (tiga) term.

Contoh :

Semua manusia berakal budi

Semua Mahasiswa adalah manusia

Semua mahasiswa berakal budi.

b. Term tengah tidak boleh terdapat di dalam kesimpulan.

c. Dari dua premis ingkar (negatif, menggunakan kata “tidak” atau

bukan”) tidak dapat di tarik kesimpulan.

d. Kalau kedua premisnya positif (tidak ingkar), kesimpulannya harus

positif.

e. Term-term yang mendukung proposisi harus jelas, tidak mengandung

pengertian ganda atau menimbulkan keraguan.

Misalnya :

My : Semua buku mempunyai halaman


Mn : Ruas mempunyai buku
K : Ruas mempunyai halaman.

f. Dari premis mayor particular dan premis minor negative tidak dapat di

tarik kesimpulan.

228
g. Premis mayor dalam silogisme mungkin berasal dari teori atau

diperoleh melalui penelitian ilmiah yang panjang prosesnya.

Kebenaran dan kesalahan kesimpulan yang ditarik dari premis yang

demikian lebih “mudah” diuji. Tetapi dalam kenyataan premis mayor

kerap kali bersumber pada pendapat umum, kebiasaan, kepercayaan,

bahkan takhayul. Kita harus berhati-hati dalam hal terakhir.

b. Entimem

Di atas telah disinggung bahwa silogisme jarang sekali ditemukan di dalam

kehidupan sehari-hari. Di dalam tulisan pun, bentuk itu hamper tidak pernah

digunakan.

Bentuk yang biasa ditemukan dan dipakai ialah bentuk entimen. Entimen ini

pada dasarnya adalah silogisme. Tetapi, di dalam entimen salah satu premisnya

dibilangkan/tidak diucapkan karena sudah sama-sama diketahui.

Contoh :

Menipu adalah dosa karena merugikan orang lain.

Kalimat di atas dapat dipanggil menjadi dua :

a. Menipu adalah dosa

b. Karena (menipu) merugikan orang lain.

Kalimat a merupakan kesimpulan sedangkan kalimat b adalah premis

minor (karena bersifat khusus). Maka silogisme dapat disusun :

My :

Mn : menipu merugikan orang lain

K : menipu adalah dosa

229
Dalam kalimat di atas, premis yang dihilangkan adalah premis mayor. Untuk

melengkapi kita harus ingat bahwa premis mayor selalu bersifat lebih umum, jadi

tidak mungkin subjeknya “menipu”. Kita dapat menalar kembali dan menemukan

premis mayornya: perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa.

Untuk mengubah entimen menjadi silogisme, mula-mula kita cari dulu

kesimpulannya. Kata-kata yang menandakan kesimpulan ialah kata-kata seperti

jadi, maka, karena, itu, dengan demikian, dan sebagainya. Kalausudah, kita

temukan apa premis yang dihilangkan.

Contoh lain :

Pada malam hari tidak ada matahari, jadi tidak mungkin terjadi

proses fotosintesis. Bagaimana silogismenya?

My : Proses fotosintesis memerlukan sinar matahari

Mn : Pada malam hari tidak ada matahari

K : Pada malam hari tidak mungkin ada fotosintesis.

Sebagainya, kita juga dapat mengubah silogisme ke dalam entimem, yaitu

dengan menghilangkan salah satu premisnya

Contoh :

My : Anak-anak yang berumur di atas sebelas tahun telah

mampuberpikir formal.

Mn : Siswa kelas VI di Indonesia telah berumur lebih dari sebelas

tahun.

K : Siswa kelas VI di Indonesia telah mampu berpikir formal.

Kalau dihilangkan premis mayornya entimemnya akan berbunyi “Siswa kelas

VI di Indonesia telah berumur lebih dari sebelas tahun, jadi mereka mampu

230
berpikir formal. Atau dapat juga “Anak-anak kelas VI di Indoneisa telah mampu

berpikir formal karena mereka telah berumur lebih dari sebelas tahun”. Kalau

dihilangkan premis minornya menjadi “Anak-anak yang berumur di atas sebelas

tahun telah mampu berpikir formal, karena itu, siswa kelas VI telah mampu

berpikir formal.

c. Salah Nalar

Dalam ucapan atau tulisan kerap kali kita dapati pernyataan yang

mengandung kesalahan. Ada kesalahan yang terjadi secara tak sadar karena

kelelahan atau kondisi mental yang kurang menyenangkan, seperti salah ucap atau

salah tulis misalnya. Ada pula kesalahan yang terjadi karena ketidaktahuan, di

samping kesalahan yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu.

Kesalahan yang kita persoalkan di sini adalah kesalahan yang berhubungan

dengan proses penalaran yang kita sebut salah nalar. Pembahasan ini akan

mencakup dua jenis kesalahan menurut penyebab utamanya, yaitu kesalahan

karena bahasa yang merupakan kesalahan informal dan kesalahan karena materi

dan proses penalarannya yang merupakan formal.

1. Kesalahan Informal

Sebagai sarana penalaran terutama kerap kali kita dapati pernyataan

yang mengandung kesalahan. Kata-kata kali kabur, tidak tegas maknanya,

sehingga dapat diartikan bermacam-macam. Demikian juga kalimat sering

kali dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Perhatikanlah kalimat-kalimat

berikut:

1. Kesadaran bela Negara merupakan perwujudan rasa cinta

kepada tanah air,

231
2. Cinta seorang ibu kepada anaknya tak dapat diukur dengan

materi.

3. “Aku memang mencintaimu palupi, tapi engkau tidak harus

mencintaiku . . .”

4. Anak dosen yang cantik itu adalah mahasiswa UT


5. Mugi berkata kepada teman Sita bahwa ia harus berangkat
sekarang juga.
Kelima kalimat di atas menunjukkan keragaman dan kekaburan

makna kata cinta pada kalimat (1), (2), dan (3) mempunyai makna yang

berbeda-beda. Kalimat nomor (4) dapat meragukan. Siapa yang cantik:

dosennya atau anaknya? Kalimat (5) dapat ditafsirkan dengan beberapa

cara:

1. Mugi berkata bahwa ia (Mugi) harus berangkat sekarang juga.

2. Mugi berkata bahwa ia (Sita) harus pergi sekrang juga.

3. Mugi berkata bahwa ia (teman Sita) harus pergi sekarang juga.

Kesalahan informal biasanya dikelompokkan sebagai kesalahan

relevansi. Kesalahan ini terjadi apabila premis-premis tidak mempunyai

hubungan logis dengan kesimpulan. Yang termasuk ke dalam jenis

kesalahan ini ialah :

1. Argumentum ad Hominem

Secara harafia kesalahan itu berarti “argumentasi ditunjukan

kepada diri orang”. Kesalahan itu terjadi bila seseorang

mengabil keputusan atau kesimpulan tidak berdasarkan

penalaran melainkan untuk kepentingan dirinya, dengan

mengemukakan alasan yang tidak logis sebenarnya. Misalnya,

232
orang menolak pemerataan dengan alasan bahwa pemerataan itu

merupakan yang dituntut orang komunis, sedangkan komunisme

adalah aliran yang dilarang di sini (Alasan yang sebenarnya

ialah karena pemerataan itu merugikan dirinya).

2. Argumentum ad Baculum

Baculum berarti “tongkat” yang dimaksud di sini ialh suatu

kesalahan yang terjadi apabila suatu keputusan diterima atau

ditolak Karena adanya ancaman hukuman atau tindak kekerasan:

Misalnya jika seorang mengakui kesalahan yang dituduhkan

kepadanya (yang sebenarnya tidak dilakukan) karena ia diancam

dengan kekerasan.

3. Argumentum ad Verucundiam atau Argumentum Adictoritatis

Kesalahan ini terjadi bila sesorang menerima pendapat atau

keputusan bukan dengan alasan penalaran melainkan karena

yang menyatakan pendapat atau keputusan itu adalah yang

memiliki kekuasaan.

4. Argumentum ad Populum

Arti harafiahnya ialah “argumentasi ditunjukan kepada rakyat”.

Argumentasi yang dikemukakan tidak mementingkan kelogisan;

yang penting agar orang banyak tergugah. Hal ini sering

dilakukan dalam propaganda.

5. Argumentum ad Misericordiam

Argumentasi dikemukakan untuk membangkitkan belas kasihan.

Biasanya argumentasi semacam ini dikemukakan bila seseorang

233
ingin agar kesalahannya dimaafkan. Misalnya seorang siswa

yang mendapat nilai buruk mengatakan bahwa Ia tidak

mempunyai cukup waktu lama untuk belajar karena membantu

orang tua mencari nafkah.

6. Kesalahan Non-Causa Pro-Causa

Kesalahan ini terjadi jika seseorang mengemukakan suatu sebab

yang sebenarnya bukan merupakan sebab atau bukan sebab yang

lengkap: contohnya seorang laki-laki dinyatakan meninggal

akibat jatuh dari tangga. Akaan tetapi, pemeriksaan dokter

menyatakan bahwa orang itu meninggal bukan karena jatuh. Ia

mendapat serangan jantung ketika sedang menuruni tangga.

7. Kesalahan Aksidensi

Yang dimaksud kesalahan aksidensi ialah kesalah terjadi akibat

penerapan prinsip umum terhadap keadaan yang bersifat

aksidental, yaitu suatu keadaan atau kondisi kebetulan, yang

tidak seharusnya, atau mutlak yang tidak cocok. Misalnya, susu

adalah minuman sehat. Tetapi, jika seorang ibu yang

memberikan susu kepada anaknya yang alergu terhadap lemak

hewani karena ia menganggap bahwa susu adalah minuman

yang menyehatkan ia telah melakukan kesalahan aksidensi.

Keadaan umum bahwa susu itu sehat tidak cocok dengan

kondisi aksidental bahwa anak alergi terhadap lemak hewani.

234
8. Perio Principii

Kesalahan ini terjadi jika arhumen yang diberikan telah

tercantum di dalam premisnya. Misalnya kalimat “Ular itu

mengandung racun. Karena ia berbisa; kedua hal itu sama saja,

karena tidak berbeda” adalah cotoh-contoh petitio principia.

Tentu saja kesalahan itu akan mudah dikenali jika pernyataan

dan argumennya berdekatan atau sama pernyataannya. Tetapi

kedua hal itu mungkin dipisahkan oleh puluhan bahkan ratusan

halaman suatu buku. Misalnya saja pada awal tulisannya

seorang pengarang mengemukakan bahwa pola-pola kalimat

bahsa Melayu Riau sama dengan pola kalimat bahasa Malaysia.

Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa pola kalimat bahasa

Malaysia. Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa pola kalimat

bahasa Malaysia tidak memeperlihatkan hal-hal yang berbeda

dengan pola kalimat pola bahasa Melayu.

Kadang-kadang petition principii ini berwujud sebagai

argumentasi berlingkar : A disebabkan B, B disebabkan C, C

disebabkn D dan D disebabkan A.

9. Kesalahan Komposisi dan Divisi

Perntanyaan yang kompleks di sini bukan hanya yang

dinyatakan dengan kalimat kompleks saja, melainkan juga yang

dapat menimbulkan banyak jawaban. Misalnya pertanyaan,

“Apakah benda itu?” akan menghasilkan berbagai jawaban

235
misalnya sebagai istilah ekonomi, fisika, hokum, dan

sebagainya.

10. Non Secuitur (kesalahan konsekuen)

Kesalahan ini terjadi jika dalam suatu proposisi kondisional

terjadi pertukaran antara anteseden dan konsekuen. Misalnya ,

“Jika anda seorang pencuri, maka anda bekerja pada malam

hari :, disamakan dengan “jika anda bekerja pada malam hari,

anda seorang pencuri”.

11. Ignoratio Elenchi

Kesalahan ini sama/sejenis dengan argumentum ad Hominen, ad

verucundiam, ad Baculum dan ad Populum yaitu karena tidak

ada relevansi atara premis dan kesimpulannya. Tetapi,

ignoration elenchi tidak disebakann oleh bahasa, melainkan

karena isi argumentasinya tidak relevan dengan pernyataan.

Misalnya seorang ketua RT mengemukakan kepada warganya

bahwa RT perlu memungut iuran untuk tugas kebersihan untuk

mendukung gagasan itu ia menjelaskan peranan kebersihan

dalam menciptakan kesehetan dan keindahan lingkupan; padahal

yang harus dibuktikan ialah bahwa iuran itu harus dibayarkan,

bukan segala teori tentang kebersihan.

2. Kesalahan Formal

Keslaahan ini berhubungan erat dengan materi dan proses

penarik kesimpulan baik deduktif maupun induktif.

1. Kesalahan Indukif

236
Kesalahan induktif terjadi sehubungan dengan proses

induktif. kesalahan ini mungkin merupakan kesalahan

generalisasi, hubungan sebab akibat, dan analogi.

2. Generalisasi Terlalu Luas

Contoh :

Wanita kurang mampu dalam matematika dibandingkan

dengan pria. Kesimpulan itu di tarik dari pengamatan sebagai

berikut. Di dalam kelas yang terdiri dari dua puluh lima

wanita dan dua puluh pria, ternyata lima nilai tertinggi

dicapai oleh mahasiswa pria sedangkan lima nilai terendah

diperoleh oleh mahasiswa wanita.

Apakah kelas yang diteliti cukup mewakili pria dan

wanita secara umum? Apakah lima nilai tertinggi dan lima

nilain terendah itu saja cukup kuat untuk menarik kesimpulan

bahwa wanita kurang mampu dibandikan pria? Bahkan untuk

itu menarik kesimpulan tentang kemampuan kelas itu saja,

data itu tidak memadai. Barang kali masih lebih baik jika

kesimpulan diambil berdasarkan perbandingan nilai rata-rata

mereka.

3. Hubungan Sebab Akibat yang Tidak Memadai

Dalam pemakaian bahsa kerap kali dijumpai hubungan

sebab akibat yang tidak tepat atau salah. Hal ini mungkin

terjadi karena suatu akibat dihubungkan dengan penyebab

berdasarkan kepercayaan atau takhayul atau karena penulis

237
atau pembaca menganggap suatu kontributori sebagai

penyebab utamanya.

Contoh :

1. Saya tidak pandai berenang. Hamper semua anggota

keluarga saya tidak dapat bereng

2. Saya tidak lulus karena dosen saya tidak suka kepada

saya

3. Sebagaian besar siswa mendapat nilai buruk karena pada

waktu ulangan ada kucing hitam yang melintas di

halaman

4. “bacalah Eksekutif. Anda akan menjadi manajer yang

sukses”.

4. Kesalahan Analogi

Kesalahan berikutnya ialah kesalahan analogi.

Kesalahan ini terjadi bila dasar analogi induktif yang dipakai

tidak merupakan cirri esensial kesimpulan yang ditarik.

Pernyataan bahwa anak kera dan anak manusia dapat dididik

menjadi sarjana biologi berdasarkan persamaan sistem

pencernaannya, merupakan contoh kesalahan analogi. Dasar

analoginya (sistem pencernaan) tidak merupakan cirri

esensial dari kesimpulan (dapat dididik menjadi sarjana).

Contoh lain :

238
Toni bersekolah di SMA 1. Ia pasti akan menjadi tokoh

politik.

Tokoh politik terkenal berasal dari sekolah itu.

5. Kesalahan Deduktif

a. Dalam cara berpikir deduktif kesalahan yang biasa terjadi

ialah kesalahan premis mayor yang tidak dibatasi.

Contoh :

(a) Semua pelaku kejahatan adalah korban rumah tangga

yang berantakan.

(b) Kalau hakum masuk desa, di desa tidak ada lagi

ketidakadilan.

Kalau bentuk entimen di atas dikembalikan ke dalam bentuk

silogisme, kita akan melihat bahwa kesalahannya terletak pada premis

mayor yang tidak dibatasi, yaitu :

My : Penyebab kejahatan ialah rumah tangga

berantakan.

Mn : Hakim memberantas ketidakadilan.

b. Kesalahan deduktif lainnya ialah kesalahan term keempat.

Dalam hal ini term tengah dalam premis minor tidak

merupakan bagian dari term mayor pada premis mayor atau

emmang tidak ada hubungan antara kedua pernyataan .

My : Semua mahasiswa FKIP akan menjadi Guru

Mn : Dani siswa SMP

239
Dari kedua premis itu tidak dapat ditarik kesimpulan apa-apa. Pada

silogisme itu terdapat empat term. Dengan perkataan lain, tidak ada term

tengah yang menghubungkan kedua premis sehingga keduanya tidak

berhubungan

c. Kerap kali pula terjadi kesalahan berupa kesimpulan terlalu

luas/kesimpulan lebih luas daripada premisnya. Premis

mayor particular dan kesimpulan merupak universal.

Contoh :

My : Sebagian orang Asia hidup makmur.

Mn : Orang Indonesia adalah orang Asia.

K : Orang Indonesia hidup makmur.

Dari premis mayor partikular positif dan premis minor universal posif tidak

dapat ditarik kesimpulan.

d. Kesalahan deduktif berikut : ialah kesalahan kesimpulan

dari premis-premis negatif.

Contoh :

My : Semua pohon kelapa tidak bercabang.

Mn : Tiang listrik tidak bercabang.

K : Tiang listrik ialah pohon kelapa.

240
BAB IX

PENULISAN KUTIPAN

A. Pendahuluan

Penulisan karya ilmiah memerlukan perujukan, penegasan, dan penguatan

dari peneliti sebelumnya atau sumber-sumber yang memperkuat dan memperkaya

penelitian. Untuk itu, perlu dilakukan pengutipan terhadap hasil penelitian

sebelumnya dan sumber-sumber lain untuk mendukung penelitian. Hal ini

dilakukan untuk mengobjektifkan dan memperkaya materi penelitian di samping

mencegah terjadinya plagiarisme. Ketika menetapkan penegutipan dengan sistem

atau gaya tertentu, peneliti harus konsisten dengan sistem atau gaya tersebut.

Menurut Azahari dalam Alam(2005:38) “Kutipan merupakan bagian dari

pernyataan, pendapat, buah pikiran, definisi, rumusan atau penelitian dari penulis

lain, atau penulis sendiri, serta dikutip untuk dibahas dan ditelaah berkaitan

dengan materi penulisan”.

Mengutip merupakan pekerjaan yang dapat menunjukkan kredibilitas

penulis. Oleh karena itu, mengutip harus dilakukan secara teliti, cermat, dan

bertanggung jawab.

Hariwijaya dan Triton (2011: 151) mengatakan bahwa ketika mengutip

perlu dipelajari bagaimana teknik pengutipan sesuai standar ilmiah. Untuk itu,

perlu diperhatikan hal berikut: (1) mengutip sehemat-hematnya, (2) mengutip jika

dirasa sangat perlu semata-mata, dan (3) terlalu banyak mengutip mengganggu

kelancaran bahasa.

241
B. Cara Mengutip
Ada dua cara untuk mengutip, yaitu mengutip langsung dan mengutip tidak

langsung.

1. Kutipan Tidak Langsung.

Merupakan salinan yang persis sama dengan sumbernya tanpa penambahan

(Widjono, 2005: 63). Cara menggunakannya adalah sebagai berikut:

– Menggunakan redaksi dari penulis sendiri (parafrasa).

- Mencamtumkan sumber (nama penulis, tahun, dan halaman)

Contoh:
Menurut salah satu historiografi tradisional, penyerahan kekuasaan

kerajaan Pajajaran kepada Kerajaan Sumedanglarang, berlangsung

melalui penyerahan mahkota emas raja Kerajaan Sunda Pajajaran kepada

Prabu Geusan Ulun. Penyerahan mahkota secarasimbolis berarti bahwa

Sumedanglarang menjadi penerus Kerajaan Sunda (Suryaningrat, 1983:

20—21 dan 30).

2. Kutipan Langsung.

Mengambil ide dari suatu sumber dan menuliskannya sendiri dengan kalimat

atau bahasa sendiri (Widjono, 2005: 64). Cara menggunakannya adalah

sebagai berikut:

- Dikutip apa adanya.

- Diintegrasikan ke dalam teks paparan penulis.

- Jarak baris kutipan dua spasi (sesuai dengan jarak spasi paparan).

- Dibubuhi tanda kutip (“….”).

242
- Sertakan sumber kutipan di awal atau di akhir kutipan, yakni nama

penulis, tahunterbit, dan halaman sumber (Author, Date, Page), misalnya

(Penulis, 2012:100).

- Jika berbahasa lain (asing atau daerah), kutipan ditulis dimiringkan

(kursif).

- Jika ada bagian kalimat yang dihilangkan, ganti bagian itu dengan tanda

titik sebanyak tiga buah jika yang dihilangkan itu ada di awal atau di

tengah kutipan, dan empat titik jika di bagian akhir kalimat.

- Jika ada penambahan komentar, tulis komentar tersebut di antara tanda

kurung, misalnya, (penggarisbawahan oleh penulis).

Contoh :
Ada beberapa pendapat mengenai hal itu. Suryaningrat (1983: 20—21

dan 30) mengatakan, “Menurut salah satu historiografi tradisional,

penyerahan kekuasaan kerajaan Pajajaran kepada Kerajaan

Sumedanglarang berlangsung melalui penyerahan mahkota emas raja

Kerajaan Sunda Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulun. Penyerahan

mahkota secara simbolis berarti bahwa Sumedang larang menjadi

penerus Kerajaan Sunda.”

C. DIAKUI SECARA INTERNASIONAL


Berikut akan dibahas bagaimana cara menulis kutipan, mengacu pada APA

Style (American Psychological Association) yang sudah diakui secara

internasional.

Gaya kutipan APA mengacu pada aturan yang telah disetujui dalam

konvensi American Psychological Association untuk menulis sumber yang

243
digunakan dalam makalah penelitian. Gaya APA ini digunakan baik dalam teks

kutipan maupun dalam daftar referensi. Karena untuk setiap kutipan dalam teks,

harus ada di dalam daftar referensi dan begitu juga sebaliknya. Di bawah ini

adalah cara – cara menulis kutipan dan contohnya.

1. Memasukkan nama penulis di dalam tanda kurung.

Contoh :

Fotosintesis adalah proses yang terjadi pada daun untuk menghasilkan

makanan hasil dari proses kimiawi yang terjadi di dalamnya (Nugraha, 1995,

p. 17).

2. Memasukkan nama penulis di dalam pembahasan.

Contoh :

Menurut Nugraha (1995), Fotosintesis adalah proses kimiawi yang terjadi di

dalam daun untuk menghasilkan makanan (p. 17).

3. Kutipan dengan dua penulis berbeda

Contoh :

Fakta membuktikan bahwa pria yang sudah menikah berpenghasilan lebih

tinggi daripada pria yang belum menikah (Chun & Lee, 2001).

4. Kutipan dengan tiga hingga lima penulis

Contoh :

Al baironi, Munandar, Nyoman, dan Susanto (1889) berpendapat bahwa

kesusksesan seseorang ditentukan oleh kemauan kuat yang ada pada dirinya.

Bisa juga dengan menggunakan : et al yang berarti dan lainnya. Contoh:

Menurut Al baironi et al. (1889), kesuksesan bergantung pada kemauan yang

ada pada diri pribadi.

244
5. Kutipan dengan 6 atau lebih penulis

Contoh :

Gracia et al. (2003) berpendapat, “Pendidikan karakter di masa kanak – kanak

akan mencetak remaja – remaja yang memiliki karakter.”

6. Kutipan tanpa adanya nama penulis

Contoh :

Penyakit banyak sekali tumbuh di masa pencaroba ini (“Dampak Perubahan

Musim,” 2015).

7. Penulis dengan nama yang sama

Contoh:

Menahan diri untuk tidak makan atau diet bisa mencegah obesitas (A.

Nugraha, 1997). Namun, faktanya diet bisa menimbulkan penyakit lain

seperti mag, dan mal nutrisi (B. Nugraha, 2000).

8. Karya yang sama dikutip lebih dari sekali

Contoh :

Ekonomi mikro adalah penunjang pertumbuhan ekonomi suatu Negara

(Afriando, 2012, p.3). Namun, Afriando mengatakan “jumlah ekonomi mikro

di Indonesia masih sangat jauh dari cukup” (p. 4).

9. Dua atau lebih sumber di dalam kutipan

Contoh :

Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa kekuasaan dengan

pekerjaan yang didapatkan berhubungan dengan performa di tempat kerja

(Faire 2002; Hall, 1996, 1999).

245
10. Dua atau lebih informasi yang dikutip dari sumber dan tahun yang sama

Contoh :

Schmidt (1997a, p. 23) menyatakan, “kesuksesan dapat dicapai dengan usaha

yang tekun.”

11. Mengutip informasi dari sumber lain

Contoh :

Menurut Pablo (1976), Olahraga dapat menyegarkan pikiran (as cited in

Wayan, 2013).

12. Kutipan yang diambil dari organisasi atau kelompok

Contoh :

Kutipan pertama :

Hewan – hewan yang dilindungi oleh pemerintah masih

terancam keberadaannya. Bahkan sebagian telah punah (Kelompok Pemerhati

Satwa [KPS], 2014).

Kutipan kedua :

Penyebab punahnya hewan – hewan itu tidak lain dan tidak bukan adalah

faktor pemburu dan perdagangan gelap (KPS, 2014).

13. Kutipan yang berasal dari wawancara langsung, e-mail, surat, atau memo

Contoh :

Menurut Sudirman berpuasa bisa melatih diri dari rasa marah (personal

communication, 12 May 2015).

246
BAB X

MENULIS KARYA ILMIAH

(MAKALAH, JURNAL DAN SKRIPSI)

A. Pendahuluan

Karya ilmiah merupakan sebuah tulisan yang berisi suatu permasalahan yang

ditulis dan diungkapkan dengan metode-metode ilmiah yang sesuai dengan kaidah

penulisan karya tulis ilmiah tertentu. Karya tulis ilmiah berisi data dan fakta maupun

hasil penelitian seseorang yang ditulis secara runut dan sistematis. Karya tulis ilmiah

disusun harus berdasarkan fakta, bersifat objektif, tidak bersifat emosional dan

personal, dan tersusun secara sistematis dan logis. Bahasa yang digunakan di dalam

suatu karya tulis ilmiah ialah bahasa Indonesia yang baku yang sesuai dengan kaidah

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Untuk mencapai tingkat kelogisan tertentu dalam karya tulis ilmiah, seorang

peneliti haruslah memiliki landasan teori yang kuat.landasan teori yang kuat akan

membantu peneliti dalam menyusun dan mempertahankan hasil penulisannya, karena

dari landasan teori tersebut, suatu karya tulis ilmiah tidak menyimpang dari disiplin

ilmu tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Karya ilmiah (bahasa Inggris: scientific paper) adalah laporan tertulis dan

diterbitkan yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan

oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang

dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan.

247
Karya ilmiah atau tulisan ilmiah adalah karya seorang ilmuan (yang

merupakan hasil pengembangan) yang ingin mengembangkan ilmu pengetahuan,

teknologi dan seni yang diperolehnya melalui kepustakaan, kumpulan

pengalaman, penelitian, dan pengetahuan orang lain sebelumnya (Dwiloka dan

Riana, 2005:2).

Artikel ilmiah adalah karya tulis yang dirancang untuk dimuat dalam jurnal

atau kumpulan artikel yang ditulis dengan tata cara ilmiah dan mengikuti

pedoman atau konvensi ilmiah yang telah disepakati atau ditetapkan (Tanjung,

2010:7).

Tulisan ilmiah secara luas sebagai suatu tulisan dalam bentuk artikel atau

yang lain, misalnya skripsi yang didasarkan riset. Tulisan tersebut dipaparkan

Sesuai dengan kaidah-kaidah yang baku dan menggunakan metode ilmiah tertentu.

Riset dapat didasarkan pada data primer (langsung dari narasumber) dan data

sekunder (data yang sudah ada atau data yang sudah terlebih dahulu dikumpulkan

oleh orang lain dan selanjutnya dapat digunakan kapan saja jika diperlukan)

(Sarwono, 2010: 1).

Jadi dari beberapa pengertian yang ada di atas tersebut dapatlah kita

simpulkan bahwa tulisan ilmiah adalah hasil karya seseorang yang memenuhi

kaidah baku penulisan ilmiah dengan menggunakan metode tertentu yang

didukung oleh data hasil temuan (riset) untuk keperluan tertentu.

B. Fungsi Karya Ilmiah


Karya ilmiah berfungsi sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan, teknologi, dan seni. Hakikat karya ilmiah adalah mengemukakan

248
kebenaran melalui metodenya yang sistematis, metodologis, dan konsisten.

Menurut Dwiloka dan Riana (2005: 2-3), jika dihubungkan dengan hakekat ilmu,

karya ilmiah mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Penjelasan (Explanation) : Karya ilmiah dapat menjelaskan suatu hal

yang sebelumnya tidak diketahui, dan tidak pasti, menjadi sebaliknya.

2. Ramalan (Prediction) : Karya ilmiah dapat membantu mengantisipasi

kemungkinan - kemungkinan yang akan terjadi pada masa mendatang.

3. Kontrol (Control) : Karya ilmiah dapat berfungsi untuk mengontrol,

mengawasi dan atau mengoreksi benar tidaknya suatu pernyataan.

C. Karakter Tulisan Ilmiah


Terdapat beberapa karakteristik tulisan ilmiah yang perlu diketahui, antara

lain sebagai berikut (Sarwono, 2010: 1-2):

a. Tulisan menggunakan metode ilmiah, artinya:

1) Tulisan didukung dengan menggunakan data hasil observasi.

2) Terdapat hipotesis atau setidak-tidaknya pernyataan penelitian.

3) Adanya kemungkinan dapat direproduksi oleh penulis lain dalam

konteks yang berbeda dengan menggunakan metode yang sama.

4) Tulisan dapat diverifikasi. Artinya, kebenarannya dapat dicek

secara empiris (tersedia data pendukung di lapangan).

5) Laporan hasil dipaparkan secara tertulis untuk menjaga konsistensi

dan kemudahan pengecekan.

249
b. Tulisan didukung dengan menggunakan data empiris. Artinya, ada data

yang dapat digunakan sebagai alat pembuktian atau jawaban

pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan dalam tulisan tersebut.

c. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi.

d. Terdapat pengukuran hasil yang ditemukan, biasanya menggunakan

hasil

perhitungan statistik.

e. Umumnya menggunakan terminologi khusus yang hanya diketahui

oleh sesama kelompok keahlian (per group).

f. Tidak jarang hasil temuan juga dipaparkan dengan menggunakan

grafik, tabel, atau gambar.

g. Tulisan disusun dengan menggunakan gaya penulisan tertentu, yang

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Memberikan fakta.

2) Bersifat objektif.

3) Tidak mengandung unsur nilai moral dan emosi.

4) Menggunakan bahasa baku.

5) Bersifat akurat.

6) Tidak memberikan opini pribadi.

7) Gagasan dibangun secara sistematis dan logis.

8) Tidak bersifat argumentatif, tetapi menghadirkan kesimpulan

umum.

9) Tidak bersifat persuasif.

10) Tulisan tidak membesar-besarkan masalah (blow up).

250
11) Tulisan tidak digunakan untuk memberikan penilaian terhadap

sesuatu di luar objek yang dikaji.

D. Sifat Karya Ilmiah

karya ilmiah bersifat formal sehingga harus memenuhi syarat. Menurut

Dwiloka dan Riana (2005: 3-4), beberapa syarat tersebut adalah:

1. Lugas dan Tidak Emosional.

Maksudnya adalah karya ilmiah hanya mempunyai satu arti, tidak

memakai kata kiasan, sehingga pembaca tidak membuat tafsiran

(interprestasi) sendiri-sendiri. Karena itu, perlu ada batasan (definisi)

operasional pengertian suatu istilah, konsep, atau variabel.

2. Logis

Maksudnya adalah kalimat, alinea, subbab, sub-subbab, disusun

berdasarkan suatu urutan yang konsisten. Urutan di sini meliputi

urutan pengertian, klasifikasi, waktu (kronologis), ruang, sebab-akibat,

umum-khusus, khusus-umum, atau proses dan peristiwa.

3. Efektif

Maksudnya adalah baik alenia atau subbab harus menunjukkan adanya satu

kebulatan pikiran, ada penekanan, dan ada pengembangan.

4. Efisien

Maksudnya adalah hanya menggunakan kata atau kalimat yang penting dan

mudah dipahami.

4. Ditulis dengan bahasa Indonesia yang baku.

251
E. Jenis-Jenis Karya Ilmiah
Secara umum, karya ilmiah diperguruan tinggi menurut Arifin (2003:1)

dibedakan menjadi makalah, skripsi/Jurnal, tesis, dan disertasi.

1) Makalah adalah karya tulis ilmiah yang menyajikan suatu masalah

yang pembahasannya berdasarkan data di lapangan yang bersifat empiris-

objektif. Makalah menyajikan masalah dengan melalui proses

berpikir deduktif dan induktif. Makalah disusun biasanya untuk

melengkapi tugas-tugas ujian mata kuliah tertentu atau memberikan

saran pemecahan tentang masalah secara ilmiah. Jika dilihat

bentuknya, makalah adalah bentuk yang paling sederhana di antara karya

tulis ilmiah yang lain

Secara umum, struktur makalah terdiri dari :

a. Cover / Bagian Sampul Makalah.

Dalam bagian ini, terdiri dari judul, logo kampus/universitas, data

lengkap penulis, jurusan, fakultas, kota, dan tahun kapan makalah di

buat.

b. Kata Pengantar

Biasanya diawali dengan kalimat puji-pujian kepada Allah SWT atau

kepada Tuhan, gambaran sedikit mengenai makalah, ucapan terima

kasih, dan terakhir biasanya terdapat harapan penulis ataupun

permintaan sumbangsih saran dan kritik.

c. Daftar Isi

Yaitu berisi poin-poin yang terdapat dalam makalah beserta nomor

halamannya.

252
d. BAB I Pendahuluan

Dalam makalah yang Anda buat, bagian BAB I, bab tentang

pendahuluan secara umum berisi tentang gambaran umum tentang

makalah, masalah yang akan dibahas, latar belakang kenapa Anda

mengangkat permasalahan tersebut. Adapun struktur pada BAB I ini

meliputi :

1. Latar Belakang, berisi dasar atau titik tolak untuk memberikan

pemahaman kepada pembaca atau pendengar mengenai apa yang

ingin kita sampaikan.Latar belakang yang baik harus disusun

dengan sejelas mungkin dan bila perlu disertai dengan data atau

fakta yang mendukung.

2. Rumusan Masalah, berisi rumusan apa yang Anda bahas dalam

makalah Anda.Rumusan masalah berisi implikasi adanya data

untuk mencari sebuah solusi dalam suatu permasalahan dalam

bentuk pertanyaan.

3. Maksud dan Tujuan, berisi maksud dan tujuan pembuatan makalah.

e. BAB II Pembahasan

Pada bagian ini, Anda membahas secara tuntas permasalahan yang

Anda angkat pada BAB I. Pada bagian ini adalah bagian dari isi

sesungguhnya makalah Anda.Dalam bagian pembahasan, Anda harus

memaparkan fakta-fakta yang memperkuat tulisan Anda.Harus berisi

kajian referensi beberapa/banyak penulis yang mendukung gagasan

yang Anda sampaikan.

253
e. BAB III Penutup

Pada bagian ini, Anda membuatkan semacam kesimpulan dari

pembahasan yang Anda bahas pada BAB II.Anda dapat

menambahkansaran.

f. Daftar Pustaka

Berisi daftar referensi rujukan yang Anda ambil untuk makalah Anda.

Referensi rujukan dapat berupa buku-buku, jurnal, skripsi, data dari

internet dan lain sebagainya.Terdapat kaidah atau aturan penulisan

daftar pustaka yang Anda harus penuhi.

g. Lampiran

Ini tidak mutlak harus ada. Pada bagian ini Anda melampirkan data-

data pendukung makalah Anda. Dapat berupa foto-foto kegiatan, dll.

2) Skripsi/Jurnal adalah karya tulis ilmiah yang mengemukakan

pendapat penulis berdasarkan pendapat orang lain. Pendapat yang

diajukan harus didukung oleh data dan fakta empiris-objektif, baik

berdasarkan penelitian langsung (observasi lapangan, atau percobaan di

laboratorium) maupun penelitian tidak langsung (studi kepustakaan).

Disamping tertib dan cermat di dalam segi metodologinya, juga

diperlukan sumbangan material berupa temuan baru dalam segi tata

kerja, dalil-dalil, atau hukum tertentu tentang salah satu aspek atau lebih

di bidang spesialisasinya. Skripsi biasanya ditulis untuk melengkapi

syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) dan penyusunannya

dibimbing oleh seorang dosen atau tim yang ditunjuk oleh lembaga

perguruan tinggi.

254
Skripsi mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Skripsi bidang pendidikan difokuskan pada eksplorasi

permasalahan dan atau pemecahan masalah pendidikan dan

pengajaran pada jenjang pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar

(SD, SMP, MTs), Pendidikan Menengah (SMA, SMK,

MadrasahAliyah), Pendidikan Tinggi, serta pada jalur pendidikan luar

sekolah termasuk pendidikan keluarga.

2. Dalam bidang non-kependidikan, skripsi difokuskan pada

permasalahan pada bidang keilmuan yang sesuai dengan program

studi mahasiswa.

3. Skripsi ditulis berdasarkan hasil pengamatan dan observasi

lapangan dan/atau penelaahan pustaka.

4. Skripsi ditulis dalam bahasa Indonesia (dan atau dalam Bahasa Asing

atau Bahasa Daerah yang baik dan benar untuk prodi tertentu yang

sesuai dengan program studi yang diikuti oleh mahasiswa.)

5. Skripsi berbobot 6 sks.

Formatinti skripsi secara umum dengan metode kuantitatif dapat

diperhatikan sebagai berikut:

1. Format

BAB IPENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

B.Identifikasi Masalah

C.Pembatasan Masalah

D.Rumusan Masalah

255
E.Tujuan Penelitian

F.Manfaat Penelitian

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

A. Kajian teori dan hasil penelitian yang relevan

B. Kerangka Berpikir

C. Hipotesis (jika ada)

BAB IIIMETODE PENELITIAN

A.Tempatdan Waktu Penelitian

B.Rancangan/DesainPenelitian

C.Populasi dan Sampel

D. Teknik Pengambilan Sampel

E.Teknik Pengumpulan Data

F. Validasi Instrumen Penelitian

G.Teknik Analisis Data

BAB IVHASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data

B. Pengujian Persyaratan Analisis

C. Pengujian Hipotesis

D. Pembahasan Hasil Analisis Data

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A.Simpulan

B. Implikasi

C. Saran

256
Format inti skripsi secara umum dengan metode kualitatif dapat

diperhatikan sebagai berikut:

2. Format

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. ManfaatPenelitian

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

A. Kajian teori dan hasil penelitian yang relevan

B. Kerangka Berpikir

C. Hipotesis (bila perlu)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian

C.Data dan Sumber Data

D.Teknik Sampling

E.Teknik Pengumpulan Data

F.Uji Validitas Data


G.Teknik Analisis Data
H. Prosedur Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Deskripsi Lokasi/ObjekPenelitian

257
B. Deskripsi Temuan Penelitian

C. Pembahasan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A.Simpulan

B. Implikasi

C. Saran
4) Tesis adalah karya tulis ilmiah yang sifatnya lebih mendalam dibandingkan

dengan skripsi. Tesis mengungkapkan pengetahuan baru yang diperoleh dari

penelitian sendiri. Karya tulis ini akan memperbincangkan pengujian terhadap satu

atau lebih hipotesis dan ditulis oleh mahasiswa program pascasarjana, untuk

melengkapi syarat guna memperoeh gelas magister (S2).

Adapun format tesis secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

3. Format

3.1 Judul

3.2 Lembar Pengesahan

3.3 Lembar Pernyataan

3.4 Abstrak

3.5 Kata Pengantar

3.6 Daftar Isi

3.7 Daftar Tabel, Daftar Gambar, Daftar Lambang, Daftar Singkatan

dan Daftar Lampiran

258
3.8 BAB I: Pendahuluan

b. 3.8.1 Latar Belakang Penelitian


c. 3.8.2 Rumusan Masalah atau Identifikasi Masalah
d. 3.8.3 Tujuan Penelitian
e. 3.8.4 Kegunaan Penelitian atau Manfaat Penelitian

3.9 BAB II: Kajian Pustaka, Kerangka Pemikiran dan Hipotesis

3.9.1 Kajian Pustaka

3.9.2 Kerangka Pemikiran

3.9.3 Hipotesis

3.10 BAB III: Metodologi

3.11 BAB IV: Hasil dan Pembahasan

3.12 BAB V: Simpulan dan Saran

3.12.1 Simpulan

3.12.2 Saran

3.13 Daftar Pustaka

3.14 Lampiran

5) Disertasi adalah karya tulis ilmiah yang mengemukakan suatu dalil yang

dapat dibuktikan oleh penulis berdasarkan data dan fakta yang sahih (valid)

dengan analisis yang terinci. Dalil yang dikemukakan biasanya dipertahankan

oleh penulisnya dari sanggahan-sanggahan senat guru besar/penguji suatu

lembaga pendidikan tinggi. Disertasi ini berisi suatu temuan penulis sendiri,

yang berupa temuan orisinal. Jika temuan orisinal ini dapat dipertahankan

oleh penulisnya dari sanggahan penguji, penulisnya berhak menyandang gelar

doktor (S3)

259
F. Manfaat Penulisan Karya Ilmiah
Manfaat penyusunan karya ilmiah bagi penulis adalah berikut:

1) Melatih untuk mengembangkan keterampilan membaca yang efektif;

2) Melatih untuk menggabungkan hasil bacaan dari berbagai sumber;

3) Mengenalkan dengan kegiatan kepustakaan;

4) Meningkatkan pengorganisasian fakta/data secara jelas dan sistematis;

5) Memperoleh kepuasan intelektual;

6) Memperluas cakrawala ilmu pengetahuan;

7) Sebagai bahan acuan/penelitian pendahuluan untuk penelitian selanjutnya

G. Tipe Tulisan Ilmiah


Tipe tulisan ilmiah dikategorikan atas dua bagian tipe yaitu: Tulisan ilmiah

popular dan tulisan ilmiah murni.

1. Tulisan Ilmiah Popular


Sarwono (2010:11-13) menyatakan bahwa ciri-ciri dan karakteristik
tulisan ilmiah populer, antara lain:
(1) Adanya pesan yang dipergunakan untuk menarik perhatian pembaca,

yang dapat juga dikatakan bersifat persuasif. Hal ini dikarenakan

pada umumnya pembaca yang ditargetkan ialah umum atau bukan

spesialis di bidang ahli mengenai topik bahasan yang ditulis.

(2) Isi tulisan diusahakan untuk memikat pembaca agar yang bersangkutan

tetap harus membaca tulisan tersebut sampai selesai.

260
(3) Penulis melakukan kontekstualisasi data hasil riset ke dalam tulisan

tersebut sehingga data dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca

umum.

(4) Bahasa yang dipergunakan bersifat umum dan tidak mempergunakan


terminologi khusus yang hanya dipahami oleh ilmuan atau kelompok
tertentu.
(5) Biasanya struktur kalimat yang dipergunakan ialah kalimat aktif.
(6) Gaya penulisan tidak baku (diuraikan dalam bentuk populer sehingga
memudahkan pembaca umum untuk memahami isi bacaan tersebut).
(7) Umumnya, informasi dipaparkan dalam bentuk narasi.
(8) Uraian dipaparkan ke dalam bentuk umum yang dapat menarik, baik
aspek intelektual pembaca maupun menyentuh emosi pembaca yang
bersangkutan.
(9) Secara implisit, kadang mengandung pesan tertentu berupa keinginan

penulis agar pembaca melakukan tindakan tertentu.

2. Tulisan Ilmiah Murni


Ciri-ciri tulisan ilmiah murni, antara lain:

(1) Penulis berusaha memaparkan data apa adanya secara objektif.

(2) Temuan kajian ditulis dalam bentuk sistematis, terstruktur, dan baku.

(3) Penulis banyak menggunakan bahasa dan terminologi khusus

atau disebut “jargon ilmiah” yang hanya dapat dipahami oleh

ilmuan yang sama bidang ilmunya dengan pokok bahasan yang

ditulis.

(4) Umumnya, menggunakan struktur kalimat pasif.

(5) Gaya penulisan yang dipakai bersifat baku.

261
(6)Tulisan digunakan untuk memaparkan informasi dalam bentuk

khusus yang hanya digunakan untuk menarik kemampuan intelektual

pembaca.

(7) Tulisan bersifat bebas dari opini penulis.

(8) Terdapat jarak antara penulis dengan hal-hal yang dikaji.

262
BAB XI

PENULISAN DAFTAR PUSTAKA

A. Pengertian Daftar Pustaka


Daftar Pustaka merupakan daftar yang berisi buku, makalah atau bahan lainnya

yang yang dirujuk dalam naskah skripsi. Daftar pustaka ditulis sesuai dengan

kaidah penulisan karya ilmiah dengan memperhatikan kemutakhiran (setidaknya

sepuluh tahun terakhir) dan mengutamakan pustaka hasil-hasil penelitian atau

jurnal ilmiah yang relevan dengan topik skripsi. Penulisan daftar pustaka secara

umum dapat dilihat pada pedoman sebagai berikut:

1. Lembar daftar pustaka diberi judul : DAFTAR PUSTAKA (ditulis

dengan huruf kapital tegak berukuran 12 pt font time new romans dan

ditempatkan pada bagian tengah atas).

2. Daftar pustaka ditulis dengan aturan sebagai berikut.

a. Nama Penulis, baik penulis Indonesia maupun bukan Indonesia,

dimulai dengannama belakang (diketik lengkap), diikuti nama

depan (sebaiknya diketik singkatan nama depannya), diakhiri dengan

tanda (.).

b.Tahun terbit, diakhiri dengan tanda (.).

c. Judul buku (termasuk sub judul), diketik dengan huruf miring (italic).

Semua diketik huruf kecil, kecuali huruf pertama judul dan subjudul,

diakhiri dengan tanda (.).

d. Kota tempat penerbit, diakhiri dengan tanda titik dua (:)., dan

e. Nama penerbit, diakhiri dengan tanda titik (.).

263
3. Penulisan nama pengarang dimulai dengan tepi kiri, sedangkan baris

selanjutnya dimulai pada karakter keenam dengan menggunakan spasi

tunggal. Penulisan antarabahan pustaka yang satu dengan yang lain

menggunakan jarak spasi rangkap.

Contoh :

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.


Bandung:Alfabeta.

Bandura, A. 1977. Social Learning Theory. Prentice-Hall: Englewood Cliffis.


New Jersey.

4. Nama pengarang yang terdiri dari dua bagian atau lebih ditulis dengan

urutan: nama akhir diikuti koma, nama awal (disingkat) dan nama

tengahnya (kalau ada) diakhiri dengan titik. Pengedepanan nama akhir

pengarang bersifat menyeluruh, tidak dipertimbangkan apakah nama

akhir itu nama asli, nama keluarga, nama suami, atau nama marga.

Zulaeha, I. 2008. Dialektologi, Dialek Geografi dan Dialek Sosial.Yogyakarta:

Graha

5. Bahan pustaka yang ditulis dua orang atau lebih, maka penulisan nama

pengarang pertama mengikuti ketentuan nomor 3. Antara pengarang pertama dan

kedua dipisah dengan kata sambung dan. Jika pengarang terdiri dari 3 (tiga)

orang, maka antarapengarang pertama dan kedua dipisah dengan tanda titik dan

koma, serta antara pengarang kedua dan ketiga dipisahkan dengan tanda koma

dan kata sambung dan. Jika pengarangnya lebih dari 3 (tiga) orang, maka yang

ditulis hanya pengarang pertama yang diakhiri dengan tanda koma dan disertai

264
Penulis dua orang

Kemmis, S. dan Taggart, R. 1998. The Action Research Panner. 3rd ed. Victoria:

Daekin University.

Penulis tiga orang

Johns, R. L., Edgar, L. dan Alexander, K. 2003. The Economic Financing Of


Education. New Jersey: Presntice-Hall.

Penulis lebih dari tiga orang

Arikunto, S. dkk. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

6. Jika beberapa buku dijadikan sumber dan ditulis oleh orang yang sama nama

pengarang hanya ditulis pada urutan pertama dan urutan lainnya digarisbawahi.

Apabila buku-buku tersebut diterbitkan dalam tahun yang sama, maka angka

tahun penerbit buku berikutnya diikuti oleh lambang a, b c, dan seterusnya.

Contoh:

Sukirno, S. 2000a. Makro Ekonomi Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada..


2000b. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: jakarta: Raja
Grafindo Persada.

7. Buku yang berisi kumpulan artikel yang ada editornya ditulis sama bahan

pustakayang berupa buku, hanya saja ditambah dengan (Ed.) diantara nama

pengarang dantahun penerbitan.

Contoh:

George, P (Ed.). 1997. Economic Education Research and Studies. New


York: Pergamon Press.

265
Nordholt, H. S., Purwanto, B., dan Saptari, R (Ed.). 2008. Prespektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
KITLV-Jakarta, PustakaLarasan.

8. Buku yang berisi kumpulan artikel (ada editornya) ditulis dengan urutan nama

pengarang artikel dengan tahun penerbit dan judul artikel ditulis dalam tanda

petik. Diikuti kata dalam dan nama editor dengan keterangan (Ed.), judul buku

kumpulan (dicetak miring), kota penerbit dan penerbit serta halaman artikel.

Masing-masing bagian dipisah dengan tanda titik, kecuali antara kota penerbit

dan penerbit dipisahkan dengan tanda (:).

Contoh :

Levin, H. M. 1997. “School Finance”. Dalam Psacharopoulus (Ed.), Economic


Education Research and Studies. New York: Pergamon Press. Hal.
234-250.

9. Artikel Jurnal ditulis seperti bahan pustaka yang berupa buku yang berisi

kumpulan artikel. Bedanya, setelah penulisan judul artikel secara berturut-turut

kemudian ditulis nama jurnal (dicetak miring), nomor jurnal, dan halaman

Artikel. Masing-masing bagian dipisah dengan tanda titik (.), kecuali antara kota

terbit dan penerbit dipisah dengan tanda titik dua (:).

Contoh :

Wedyawati. N. 2014. “Pembelajaran IPA Bervisi SETS untuk Peningkatan


SikapTanggap Bencana Siswa SD”. Jurnal VOX Education. Volume 5
No. 2 Hal 23-46.

266
B. Lewis. E. dkk. 2011. “Elementary Teachers Comprehension Of Flooding
ThroughInquiry-Based Professional Development and Use Of Self-
RegulationStrategies”. Internasional Journal of Science Education,
Volume 3. Nomor 11Halaman 1473-1512.

10. Artikel dalam koran ditulis sama bahan pustaka yang berupa artikel dalam jurnal.

Akan tetapi, jika artikel itu tanpa nama pengarang, yang pertama ditulis adalah

nama korannya sebagai pengganti nama pengarang dibelakang angka tahun dan

nomor koran ditambahkan tanggal dan bulan terbitan, dilanjutkan dengan nomor

halaman yang didahului singkatan hal.

Contoh:

Ahmad, Dj. 2003. “Ujian Penghabisan, Ebtanas, hingga UAN”. Kompas.No.

328.Tahun ke 38. 5 Juni. Hal. 4 dan 5.

11. Dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan oleh suatu penerbit tanpa

pengarang dan tanpa lembaga ditulis sebagai berikut. Judul atau nama dokumen

ditulis di bagian awal dengan huruf miring, diikuti tahun terbit, kota terbit, dan

nama penerbit.

Contoh:

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen.2006. Jakarta: Diperbanyak oleh PT Armas Duta Jaya.

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman

UmumPembentukan Istilah. Bandung: Diperbanyak oleh Yrama

Media

267
12. Bahan pustaka yang ditulis atas nama lembaga ditulis dengan urutan sebagai

berikut. Nama lembaga penanggung jawab langsung ditulis paling depan,

diikuti dengan tahun, judul karangan, nama tempat penerbitan, dan nama

lembaga tertinggi yang bertanggung jawab atas penerbitan karangan tersebut.

Contoh:

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa

Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.

BSNP. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007

TentangStandar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan

Menengah. Jakarta: BadanStandar Nasional Pendidikan.

13. Buku terjemahan ditulis dengan urutan sebagai berikut: Nama pengarang asli,

diikuti tahun penerbitan karya terjemahan, judul terjemahan, nama penerjemah

(yang didahului kata terjemahan, nama tempat penerbitan, dan nama penerbit

terjemahan).

Contoh:
Ary, D., Jacobs, L.C., dan Razavieh, A. 2008. Pengantar Penelitian
Pendidikan.Terjemahan Arief Furchan. Surabaya: Usaha Nasional.
Robbins, S. S. 1998. Perilaku Organisasi. Konsep, Kontroversi, Aplikasi.
TerjemahanHadyana Pujaatmaka dan Benyamin Molan. Jakarta:
Prenhallindo.

268
14. Skripsi, tesis, disertasi atau laporan penelitian ditulis dengan menambahkan

pernyataan “skripsi, tesis, disertasi atau laporan penelitian” yang dicetak miring

dan diikuti nama Sekolah Tinggi, Universitas atau lembaga penyelenggara

penelitian. Nama kota dibubuhkan jika nama Universitas itu tidak menggunakan

nama kota.

Contoh:

Ustadi, N. H. 2001. “Pengaruh Kualitas Audit Laporan Keuangan Tahunan


terhadap Kualitas Informasi Keuangan bagi Para Investor di Bursa Efek
Jakarta”. Skripsi. Pontianak: Universitas Tanjung pura.

Handayani, F. 2009. Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT untuk Meningkatkan


HasilBelajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Purwodadi Kabupaten
Pasuruan pada Materi Keragaman Bentuk Muka Bumi. Laporan
Penelitian: SMAN 1 Seruai Papua.

14. Rujukan bisa diperoleh dari internet. Nama penulis ditulis seperti rujukan dari
bahan cetak, diikuti secara berturut-turut oleh tahun, judul karya tersebut
(dicetak miring) dengan diberi keterangan dalam kurung (Online), dan
diakhiri dengan alamat sumberrujukan tersebut disertai dengan keterangan
kapan diakses, di antara tanda kurung.

Kumaidi. 2008. Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan Tesnya.


Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 5, No. 4. (http://malang.ac.id, diakses 12
Juni 2014).

E-mail Pribadi

269
Erick. A (a.erick@uwtsedu.au). 10 Juni 2013. Learning to Use Web Authoring
Tools. E-Mail Kepada Alison Hunter (huntera@usq.edu.au).

15. Selain dari internet, bahan rujukan bisa diambil dari rekaman video, rekaman

kaset, CD ROM, atau jurnal elektronik. Cara menulisnya sama dengan cara

menulis daftar pustaka tulis. Bedanya, pada rekaman video, nama yang

dicantumkan adalah nama produser dan sutradara yang diletakkan di depan

judul. Pada rekaman kaset yang dicantumkan adalah nama pembicaranya,

sedangkan CD-ROM dan artikel jurnal elektronik yang dicantumkan adalah

nama penulisnya. Di belakang judul dicantumkan keterangan rekaman video,

kaset, atau CD-ROM yang ditulis di dalam tanda kurung.

Contoh:
Rekaman Video
Porni, L (Produser) dan Kotton, S. (Sutradara). 2010. Isabel Allende: The
Woman’s voice in Latin-American Literature. (Rekaman Video). San
Fransisco: KQED

Rekaman Kaset
Costa, Jr. (Pembicara). 2009. Personality, Continuty, and Changes of Adult Life.
(Rekaman Kaset Nomor 207-433-88A-B). Washington, DC
AmericanPsychological Association
CD-ROM
Preiss, B., dan Nixon, J. 2004, The Ultimate Frank Lyoyd Wright: American
Architect.
(CD-ROM). New York; Byron Press Multimedia.

270

Anda mungkin juga menyukai