Anda di halaman 1dari 5

Baiat perempuan

‫َح َّد َث َن ا ُم َس َّدٌد َح َّد َث َن ا َع ْب ُد اْل َو اِر ِث َع ْن َأُّيوَب َع ْن َح ْف َص َة َع ْن ُأِّم َعِط َّي َة َقاَلْت َب اَي ْع َن ا‬
‫الَّن ِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َفَقَر َأ َع َلْي َن ا { َأْن اَل ُيْش ِر ْك َن ِباِهَّلل َش ْي ًئ ا } َو َن َه اَن ا َع ْن‬
‫الِّن َي اَح ِة َفَق َبَض ْت اْم َر َأٌة ِم َّن ا َي َد َه ا َفَقاَلْت ُفاَل َن ُة َأْس َع َد ْت ِني َو َأَن ا ُأِر يُد َأْن َأْج ِز َيَه ا َفَلْم َي ُقْل‬
‫َش ْي ًئ ا َفَذ َهَب ْت ُثَّم َر َج َع ْت َفَم ا َو َفْت اْم َر َأٌة ِإاَّل ُأُّم ُس َلْي ٍم َو ُأُّم اْلَع اَل ِء َو اْب َن ُة َأِبي َس ْب َر َة‬
‫اْم َر َأُة ُم َع اٍذ َأْو اْب َن ُة َأِبي َس ْب َر َة َو اْم َر َأُة ُم َع اٍذ‬

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Abdul Warits
dari Ayyub dari Hafshah dari Ummu 'Athiyyah mengatakan, kami berbaiat kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, lantas beliau membacakan ayat: 'Untuk tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun….' sampai akhir(QS. Almumtahanah 12), dan beliau melarang
kami dari niyahah (meratap, menjerit-jerit atau menapuk pipi ketika kematian). Kemudian
ada seseorang yang mencabut tangannya dari kami dan mengatakan; 'wanita fulanah telah
membahagiakanku dan aku ingin membalasnya, ' namun Nabi tidak mengucapkan apa-apa,
lantas si wanita itu terus ngeloyor dan kembali lagi, sehingga tak ada yang memenuhi janji
setianya (baiat) selain Ummu Sulaim, Ummul 'Ala, anak perempuan Abu Sabrah yang ia
adalah istri Mu'adz atau anak perempuan Abu Sabrah, dan istri Mu'adz.

Makna hadits baiat dan batasan ketaatan pemimpin menurut ulama

Ketaatan kepada pemimpin merupakan salah satu sendi kekuasaan dalam Islam sekaligus
salah satu kaidah utama dalam pemerintahan. Ketaatan penting untuk memastikan pemimpin
dapat menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya dengan leluasa. Dan yang tak
kalah penting bagi pemerintah adalah merealisasikan tujuan-tujuannya. Al-Mawardiy
mendefinisikan kewajiban-kewajiban kaum muslimin kepada pemimpin dengan dua hal.
Pertama, patuh di dalam selain kemaksiatan. Kedua, memberikan pertolongan dan dukungan
selama keadaan dan kapasitas sang pemimpin tidak mengalami perubahan. Al-Mawardiy
mengatakan, “Jika pemimpin telah menunaikan hak-hak umat, berarti ia telah menunaikan
hak Allah terkait apa yang menjadi hak dan kewajiban umat. Dengan begitu, untuk
selanjutnya pemimpin memiliki dua hak yang harus dipenuhi oleh umat, yaitu kepatuhan dan
loyalitas, selama keadaan si pemimpin tidak berubah. Syarat patuh dan taat kepada pemimpin
adalah jika ia melaksanakan kewajiban-kewajibannya, yang intinya adalah komitmen
terhadap perintahperintah syari’at. Jika keadaannya demikian, maka undang-undang dan
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemimpin harus dilaksanakan. Jika pemimpin
melakukan kesalahan, maka rakyat tidak boleh keluar dari kepatuhan kepadanya selama
kesalahan pemimpin tersebut tidak prinsip dan tidak bertentangan dengan nash, baik itu
dengan ijtihad maupun tanpa ijtihad. Hal ini demi menjaga dan memelihara kesatuan dan
persatuan, jangan sampai rakyat tercerai berai Ketika seorang pemimpin melakukan suatu
kesalahan yang tidak prinsip dan tidak bersentuhan dengan pokok-pokok syari’at, rakyat dan
segenap warga Negara harus memberikan nasihat dan masukan kepadanya secara lemah
lembut, baik, dan dengan hikmah. Ada beberapa hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentang
batasan ketaatan kepada pemimpin. Hadis-hadis tersebut yaitu: Sabda Nabi Saw: ُ

‫َح َّد َث َن ا ُمَس َّدٌد َح َّد َث َن ا َيْح َي ى ْب ُن َس ِعيٍد َع ْن ُعَبْي ِد ِهَّللا َح َّد َث ِني َن اِفٌع َع ْن َع ْب ِد ِهَّللا َر ِض َي‬
‫ُة‬
‫ُهَّللا َع ْن ُه َع ْن الَّن ِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َقاَل الَّسْمُع َو الَّط اَع َع َلى اْلَمْر ِء اْلُمْس ِلِم‬
‫ِفيَم ا َأَح َّب َو َك ِر َه َم ا َلْم ُيْؤ َمْر ِبَمْع ِص َي ٍة َفِإَذ ا ُأِم َر ِبَمْع ِص َي ٍة َفاَل َسْمَع َو اَل‬
‫َط اَع َة‬
Artinya:

Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada
pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah
ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib
ta’at.”(H.R. Muslim)

Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin
tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib taat dan patuh
dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak atau melawan.
Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap pemimpin itu adalah selama
pemimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat. Lantas pertanyaanya, apa
yang dimaksud dengan maksiat itu?

Secara bahasa maksiat berarti durhaka atau tidak taat kepada Allah. Namun secara istilah,
makna maksiat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita membatasi makna
maksiat hanya pada perkara-perkara semacam pornografi dan pornoaksi, seperti yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dalam melakukan
pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus kemaksiatan.

Padahal kemaksiatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di kantor-
kantor pemerintah justru lebih banyak kemaksiatan dalam bentuknya yang samar namun
cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen, di ruang-ruang
sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita bisa menjumpai kemaksiatan.
Namun yang dimaksud kemaksiatan di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang
sedang mabuk-mabukan, melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai Allah yang
dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita.
Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidakjujuran dalam
memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil
juga termasuk maksiat. Padahal sudah jelas bahwa salah satu ciri agama Islam adalah
kebersamaan yang harus mewarnai seluruh aktivitas setiap muslim.[1] Bukan hanya itu,
seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup
juga telah masuk dalam kategori berbuat maksiat. Bahkan tindakan yang tidak melindungi
anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga termasuk maksiat karena
semua itu merupakan perintah Allah, dan bagi siapa yang tidak melaksanakan perintah Allah
maka dia telah mendurhakai Allah, dan orang yang durhaka berarti berbuat maksiat kepada
Allah.

Dengan demikian, kemaksiatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakyat terhadap
pemimpinnya adalah kemaksiatan dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai
Allah) bukan saja kemaksiatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi). Oleh
sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi
memegang prinsip-prinsip kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil,
maka batasan kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena
pemimpin itu sendiri sudah termasuk kemaksiatan yang perlu untuk di hapuskan di muka
bumi ini. Namun demikian, bukan berarti ketaatan yang tanpa batas karena kewajiban taat
kepada seorang pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan
kemaksiatan (dosa), sebagaimana dijelaskan dalam hal pertama. Apabila pemimpin
memerintahkan bawahannya untuk berbuat dosa, perintah itu tidaklah wajib ditaati, bahkan
bawahannya harus mengingatkannya.

Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin menyalahgunakan


kekuasaan guna mencapai keinginan dan kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula, untuk
menggapai cita-citanya tersebut, dia memerintahkan kepada para bawahannya (rakyatnya)
untuk melakukan perbuatan-perbuatannya yang sebenarnya dilarang oleh agama. Terhadap
perintah demikian, Islam melarang untuk menaatinya.

Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW. pernah memerintahkan seorang bekas
budak untuk menggunakan kulit kambing yang telah mati, tetapi budak tersebut tidak
menuruti perintah Rasulullah SAW. Ia beranggapan bahwa menggunakan kulit kambing
adalah haram sebagaimana diharamkan memakannya. Nabi kemudian menjelaskan
kepadanya bahwa mempergunakan kulit binatang yang mati tidak diharamkan.

Sikap bekas budak tersebut menunjukkan bahwa ia tidak mau taat kepada pemimpin
sekalipun kepada Rasulullah SAW., kalau ia menganggap bahwa perintah tersebut untuk
melakukan perbuatan maksiat. Ia menganggap bahwa Rasulullh memerintahkannya untuk
berbuat maksiat dengan menyuruhnya mempergunkan kulit binatang yang mati.
Begitu pula hadis yang kedua, para sahabat tidak mau menurut perintah pemimpinnya waktu
mereka diperintahkan masuk ke dalam api, karena perintah seperti itu mereka anggap tidak
benar. Ternyata perbuatan para sahabat yang menentang perintah pimpinan mereka tersebut
dibenarkan Rasulullah.

Ketiga,

‫ثم إنها ستكون بعدي أثرة وأمور تنكرونها قالوا يا رسول هللا كيف تأمر من أدرك منا ذلك‬
‫قال تؤدون الحق الذي عليكم وتسألون هللا الذي لكم‬
Artinya: “Akan datang banyak kezaliman sepeninggalku. Dan perkara-perkara yang
kalian ingkari”. Lalu para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apa nasehatmu bagi
orang yang mendapat masa itu?”. Lalu beliau bersabda: “Tunaikan kewajiban yang
dibebankan kepada kalian, dan mintalah kepada Allah sesuatu yang baik untuk
kalian.” (HR. Muslim no. 1843).

Keempat,

‫يا نبي هللا أرأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعونا حقنا فما تأمرنا فأعرض عنه‬
‫ثم سأله فأعرض عنه ثم سأله في الثانية أو في الثالثة فجذبه األشعث بن قيس وقال اسمعوا‬
‫وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم‬
Artinya: “Wahai Nabi Allah bagaimana menurutmu bila diangkat bagi kami pemimpin-
pemimpin yang menuntut segala hak mereka, tetapi mereka tidak menunaikan hak-hak kami?
apa perintahmu untuk kami wahai Rasulullah?”. Maka Rasulullah berpaling darinya, sampai
ia tanyakan tiga kali namun Rasulullah tetap berpaling darinya. Kemudian Al Asy’ats bin
Qais menariknya dan berkata: “Kewajibanmu hanya mendengar dan taat, sesungguhnya
mereka akan mempertanggung-jawabkan apa yang dibebankan atas mereka, dan kalian juga
akan mempertanggung-jawabkan apa yang dibebankan atas kalian” (HR. Muslim no. 1846).

Keenam,

‫ ولكن من َر ِض ي‬. ‫ ومن َن ِكَر َسِلَم‬. ‫ فمن َع ِر ف َب ِر ئ‬. ‫ فتعرفوَِن وُتْن كروَن‬. ‫ستكوُن أمراُء‬
‫ ما صلوا‬. ‫ ال‬: ‫ أفال نقاتلُهم ؟ قال‬: ‫وتابَع قالوا‬
Artinya: “Akan ada para pemimpin kelak. Kalian mengenal mereka dan mengingkari
perbuatan mereka. Siapa yang membenci kekeliruannya, maka ia terlepas dari dosa.
Siapa yang mengingkarinya, maka ia selamat. Namun yang ridha dan mengikutinya,
itulah yang tidak selamat”. Para sahabat bertanya: “Apakah kita perangi saja
pemimpin seperti itu?”. Nabi menjawab: “Jangan, selama mereka masih shalat” (HR.
Muslim no. 1854).

http://pengetahuantaufiq.blogspot.com/2014/12/hadist-batas-ketaatan.html

Anda mungkin juga menyukai