Anda di halaman 1dari 27

BAB III

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

A. Pendahuluan
Bagi bangsa Indonesia Pancasila bukan hanya
sekedar dasar negara, tetapi juga filsafat Negara dan
filsafat bangsa. Konsep ini tentu menimbulkan
pertanyaan, apa yang dimaksud dengan pengertian
filsafat, dan bagaimana kalau pengertian filsafat itu
dikaitkan dengan filsafat negara dan bagsa. Untuk itu,
kita coba pahami dulu apa yang dimaksud dengan
filsafat.
Dalam Bab ini, akan dibahas beberapa hal penting
antara lain Pancasila sebagai sistem filsafat, Pokok-Pokok
Pikiran dalam Pancasila, Pengertian Nilai, Moral, &
Norma, Pancasila Sebagai Nilai Dasar dan Maknanya,
serta Kesatuan Sila-Sila Pancasila sebagai sistem Filsafat

B. Tinjauan Pancasila secara Filosofis


Ditinjau dari segi etimologi (ilmu asal usul kata),
filsafat berasal dari bahasa Yunian, yaitu kata philos dan
sophia. Philos berarti cinta dan Sophia berarti bijaksana,
sehingga secara etimologi kata filsafat bisa diartikan
sebagai cinta akan kebijaksanaan. Sudah barang tentu
pengertian ini menjadi sangat abstrak dan umum,
karena kata cinta dan kebijaksanaan itu sendiri masih
sangat abstrak. Meskipun semua orang berbicara,
memiliki, dan bahkan mendambakan cinta, tetapi jika
ditanya apa hakikat cinta, tidak semua orang mengerti.
Bahkan para mahasiswa dengan mudah sering
mengatakan “aku cinta kamu”, tetapi apakah mereka
tahu makna dari kata cinta. Kata cinta memiliki
pengertian kesungguhan usaha, tangggung jawab,

96
97

menjaga dan memelihara. Jadi, orang yang mencintai


harus ada usaha yang sungguh-sungguh untuk menjaga,
dan bertanggung jawab. Jadi kalau ada orang
mengatakan cinta tetapi tidak ada kesungguhan dan
tanggung jawab, maka itu bukan cinta yang hakiki.
Dalam kontek ini dalam pepatah Jawa mengatakan
bahwa: “tresno iku abot sanggane” (cinta itu berat
tanggung jawabnya), karena orang yang mencintai,
berarti harus secara sungguh-sungguh berusaha untuk
menjaga, memelihara dan bertanggung jawab untuk
membahagiakan orang yang dicintai.
Jika pengertian kata cinta itu dikaitkan dengan rasa
nasionalis, bahwa setiap warga negara Indonesia harus
mencintai produk dalam negeri, maka seharusnya setiap
warga negara harus secara sungguh sungguh menjaga
dan memelihara produk-produk dalam negeri agar terus
tumbuh dan berkembang, dengan cara membeli dan
memakai atau menggunakannya. Dalam mencintai sering
kali ada pengorbanan dan pengorbanan itu adalah
bagaimana bisa mengesampingkan egoism, dan
kepentingan diri sendiri. Sebagai contoh, kalau kita
mencintai pacar, maka seringkali kita harus berkorban,
waktu, tenaga, dan mungkin dana untuk pacar kita. Misal
kita harus menjemput dan mengantar kuliah, mengajak
makan dan lainnya. Dalam konteks nasionalisme, kita
juga bisa memakai produk dalam negeri, misal
memaakai batik, membeli apel Malang, semuanya itu
merupakan contoh perwujudan cinta produk dalam
negeri. Kalau kita cinta pada Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), maka kita harus rela berkorban untuk
menjaga dan mempertahankan NKRI dari ancaman
bangsa lain.
98

Jika kita kaitkan dengan kata filsafat, mencintai


kebijaksanaan, berarti kita harus secara sungguh-
sungguh untuk mewujudkan kebijasanaan tersebut. Kata
kebijaksanaan sendiri juga masih abstrak, dan memiliki
makna yang harus dipahami secara hati-hati. Kata
kebijaksanaan mengandung pengertian, kebenaran,
kebaikan, keadilan, relegiulitasan, dan keindahan,
sehingga orang yang bijaksana adalah orang yang
bersikap dan bertindak atas dasar kebenaran, kebaikan,
keadilan, dan kereligiulitasan pula. Atau paling tidak
orang yang bijaksana adalah orang yang menjunjung
tinggi kebenaran, kebaikan, keadilan, keindahan dan
relegius.
Meskipun demikian, ada juga yang memaknai
kebijaksanaan sebagai wujud “penyimpanan” atau
“pelanggaran” terhadap aturan atau hukum. Sebagai
contoh, ketika waktu registrasi sudah lewat, mahasiswa
minta kebijaksanaan kepada rektor, agar bisa registrasi.
Dalam hal ini kebijaksanaan bisa dimaknai dengan
“pelanggaran” terhadap aturan, karena seharusnya
sudah tidak boleh registrasi, tetapi diijinkan, atau
dibolehkan.
Dalam pengertian filsafat, kebijaksanaan yang
dimaksud bukan “pelanggaran” terhadap aturan,
melainkan adalah kebanaran, kebaikan, keadilan,
keindahan, dan relegiusitas. Oleh karena itu, dalam
sejarah Indonesia dikenal ada seorang raja yang
bijaksana, artinya raja yang dalam bertindak memper-
timbangkan kebenaran, kebaikan, keadilan, dan
dipertanggung jawabkan terhadap Tuhan.
Dari pengertian filsafat yang sangat abstrak, yaitu
cinta akan kebijaksanaan, kemudian berkembang
menjadi sangat luas, mulai dari hal-hal yang sangat
99

teoritis, sampai ke hal-hal yang teknis. Dalam khasanah


keilmuan, masing-masing filsuf juga mengartikan filsafat
secara berbeda satu dengan lainnya. Banyak definisi
tentang filsafat dari berbagai ahli yang bisa ditemukan di
berbagai buku. Meskipun demikian, ada kesamaan
diantara mereka, yaitu berkaitan dengan kegiatan
berpikir, sehingga kalau orang berbicara tentang filsafat
tidak bisa dilepaskan dari kegiatan berpikir yang
mendalam, mendasar, dan menyeluruh. Cara berpikir
yang mendalam, mendasar, dan menyeluruh inilah yang
membedakan antara berpikir secara filosophis dengan
cara berpikir ilmiah atau berpikir secara umum (com-
monsence). Selain berkaitan dengan berpikir, filsafat
juga sering dikaitkan dengaan pandangann hidup yang
sering dikenal dengan falsafah.
Dengan bertolak dari pengertian filsafat sebagai
kegiatan berpikir dan pandangan hidup, maka bagaimana
dengan Pancasila. Bagi bangsa Indonesia Pancasila
merupakan hasil pemikiran filosofis bangsa Indonesia,
khususnya para elit bangsa. Melalui pemikiran yang
mendalam, mendasar, dan menyeluruh para elit bangsa
merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Menurut
Notonagoro (1971), Pancasila sebagai hasil pemikiran
filosofis bangsa Indonesia memiliki kebenaran secara
ilmiah, filosofis, dan religius.
Kebenaran Pancasila secara ilmiah dapat dilihat dari
susunan sila-sila Pancasila. Urutan Pancasila yang
menempatkan sila Ketuhanan Yang Meha Esa sebagai sila
pertama, dan kemudian diikuti oleh sila Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, kemudian sila Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
serta sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
100

telah sesuai dengan hukum kausalitas (sebab akibat)


sebagaimana yang dijadikan landasan dalam
pengetahuan ilmiah. Sila Ketuhanan yang hakikatnya
Tuhan telah ditempatkan pada urutan pertama dan
sekaligus dijadikan sebagai sebab pertama (causa prima)
bagi keberadaan sila-sila berikutnya (Notonagoro, 1971).
Dengan hukum sebab akibat, maka Tuhan menjadi
penyebab dari keberadaan alam dengan segala isinya,
termasuk manusia. Alam semesta ini adalah ciptaan
Tuhan, termasuk manusia. Jadi keberadaan manusia
tentu setelah Tuhan. Setelah ada manusia (hakikat sila
kedua) ada persatuan, karena manusia adalah makhluk
sosial. Sebagai makhluk sosial, maanusia tidak bisa
hidup sendirian, mereka membutuhkan kehadiran dan
hidup bersama dengan orang lain. Oleh karena itu,
muncul kebutuhan akan persatuan.
Setelah ada persatuan antara berbagai individu,
maka munculah keluarga atau masyarakat. Di dalam
suatu keluarga atau masyarakat selain kebutuhan
pribadi tentu ada kebutuhan bersama. Untuk memenuhi
kebutuhan bersama tersebut perlu dilakukan musya-
warah dalam menjaga dan memenuhi keadilan. Dengan
musyawarah masing-masing pribadi didengar aspirasinya
dan pendapatnya, kemudiann diputuskan secara ber-
sama. Dalam musyawarah diharapkan ada saling
pemahaman akan adanya perbedaan, tetapi sekaligus
juga ada pemahaman bahwa ada kesamaan yang harus
dijunjung tinggi bersama. Kebersamaan akan mendatang
kemanfaatan yang besar terlebih dalam kondisi
masyarakat yang beragam. Ketika dalam musyawarah
diambil suatu keputusan, yang mana keputusan itu
kadang kurang sesuai dengan keinginan. Meskipun
kurang sesuai dengan keinginan kita maka sudah
101

seharusnya kita berkomitmen untuk melaksanakan


keputusan, sebagai upaya menghormati keputusan itu.
Kebenaran Pancasila secara filosofis, bisa dilihat
dari hakikat sila-sila Pancasila, yaitu ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.
Lima nilai tersebut merupakan kebutuhan dan
didambakaan oleh semua manusia, karena kelimanya
bersumber dari kodrat manusia dan sekaligus merupakan
kebutuhan dasar manusia. Coba renungkankann ada
tidak manusia yang tidak membutuhkan lima nilai
tersebut?.
Kebenaran Pancasila secara relegius, dapat dilihat
dari nilai-nilai Pancasila yang juga diajarkan oleh agama-
agama yang ada di Indonesia. Ketuhanan (kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa) merupakan bagian dari
ajaran agama. Begitu juga kemanusiaan, persatuan,
musyawarah, dan keadilan merupakan hal yang
diajarkan oleh semua agama. Coba perhatikan adakah
agama yang tidak mengajarkan nilai-nilai tersebut. Jika
agama merupakan kebenaran (paling tidak diyakini
sebagai kebenaran), maka apa yang diajarkan juga
merupakan bagian dari kebenaran. Oleh karena itu,
Pancasila juga mengandung kebenaran secara relegius,
karena merupakan bagian ari ajaran agama.
Pancasila sebagai hasil pemikiran yang
mengandung kebenaran secara ilmiah, filosofis, dan
religius tersebut kemudian dijadikan filsafat negara dan
pandangan hidup atau falsafah bangsa. Sebagai filsafat
negara, Pancasila dijadikan sebagai sudut pandang dan
pembimbing dalam berpikir (light star, menurut istilah
Darmodihardjo, 1971) atau sebagai genetivus subjek-
tivus (Wibisono, 1989). Artinya, dalam memandang dan
102

memecahkan persoalan negara dan bangsa, bangsa


Indonesia bertolak dari nilai-nilai Pancasila.
Sebagai suatu filsafat,sila-sila Pancasila merupakan
satu kesatuan yang bulat dan utuh. Sila-sila Pancasila
memiliki hubungan yang saling meliputi dan menjiwai.
Sila pertama meliputi dan menjiwai sila kedua, sila
ketiga, sila keempat, dan sila kelima. Sedangkan sila
kedua diliputi dan dijiwai oleh sila pertama, dan meliputi
dan mejiwai sila ketiga, sila keempat, dan sila kelima.
Begitu seterusnya, sehingga sila kelima diliputi dan
dijiwai oleh sila keempat, sila ketiga, sila kedua, dan sila
pertama. Secara konseptual, sila pertama berbunyi:
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang
adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadil-
an bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan sila kelima
berbunyi Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkemanusiaan yang adil
dan beradab, dan berketuhanan yang maha esa.
Hubungan antara sila-sila Pancasila ini digambarkan sebagai
suatu piramida sebagai berikut:
103

Gambar 2. Piramida Hubungan Antar Sila Pancasila

Pemahaman terhadap sila-sila Pancassila dan tidak


bisa bisa dipisahkan dengan sila lainnya. Menurut
Notonagoro (1975) susunannya adalah hierarkis dan
mempunyai bentuk-piramidal. Dalam buku "Pancasila
secara Ilmiah Populer", Notonagoro menegaskan, yang
dimaksud bentuk piramid dari kesatuan Pancasila bahwa
sila yang pertama dan seterusnya tiap-tiap sila bagi sila
berikutnya adalah menjadi dasar dan tiap-tiap sila
berikutnya itu merupakan penjelmaan atau peng-
khususan dari sila yang mendahuluinya, sehingga dengan
demikian sila yang pertama merupakan dasar umum,
dasar yang terbesar lingkungannya, dan sila ke-lima
adalah yang paling khusus, jadi yang lingkungannya
paling terbatas, sehingga sila-sila Pancasila itu dapat
digambarkan sebagai kesatuan yang berbentuk sebagai
104

suatu bangunan bertingkat, yang tingkatannya makin


meninggi semakin menjadi kurang luas. Dalam hierarkis
piramidal itu basisnya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,
sedang puncak piramidnya Keadilan sosial, yang sesuai
dengan rumusan sila kelima "untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia",
merupakan tujuan dari keempat sila yang lainnya.
Selanjutnya Notonagoro (1975) bahwa bentuk susunan
hierarkis-piramidal Pancasila ialah: Kesatuan bertingkat
yang tiap sila di muka sila lainnya merupakan basis atau
pokok pangkalnya, dan tiap sila merupakan peng-
khususan dari sila di mukanya. Bentuk susunan
hierarkis-piramidal Pancasila, dapat digambarkan dalam
bentuk diagram yang disebut dengan diagram hierarkis-
piramidal Pancasila. Dengan adanya bentuk diagram ini,
terlebih dahulu dapat diuraikan sebagai pengantar bahwa
Tuhan Pencipta segala makhluk, Yang Maha Kuasa, Yang
Maha Esa, asal segala sesuatu dan sekaligus sebagai
dasar semua hal yang ada dan yang mungkin ada. Oleh
karena itu Tuhan sebagai dasar dari penciptaannya, yang
di dalam diagram digambarkan sebagai dasar
terbentuknya diagram itu, dan salah satu ciptaan Tuhan
adalah manusia. Diagram hierarkis-piramidal Pancasila
menunjukkan sekelompok himpunan manusia yang
mempunyai sifat-sifat tertentu. Adapun himpunan yang
merupakan dasar adalah adanya sekelompok manusia
yang dalam kehidupannya selalu mengakui dan meyakini
adanya Tuhan baik dengan pernyataan maupun
perbuatannya. Selanjutnya sebagai pengkhususan diikuti
suatu himpunan manusia yang saling menghargai dan
mencintai sesama manusia, memberikan dan memper-
lakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. Dalam
kehidupan manusia, secara kodrati terbentuk adanya
105

suatu kelompok-kelompok atau perserikatan-perseri-


katan persatuan sebagai penjelmaan makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial yang beraneka ragam karak-
teristiknya agar tidak terpecah-pecah diperlukan per-
satuan. Agar tetap bisa bersatu, berbagai kepentingan
yang berbeda perlu dimusyawarahkan baik secara
langsung maupun melalui perwakilan dalam rangka
kewujudkan keadilan bersama, yakni keadilan sosial bagi
semuannya.

C. Pokok-Pokok Pikiran dalam Pancasila


Sebagai suatu filsafat Pancasila yang rumusannya
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 mempunyai
pokok-pokok pikiran atau konsep-konsep dasar dalam
bidang ontologi, epistimologi, maupun aksiologi:
1. Bidang Ontologi
a) Bidang ontologi adalah bidang yang membicarakan
hakikat yang ada atau keberadaan dari segala
sesuatu, termasuk di dalamnya keberadaan alam
semesta, manusia, dan Tuhan. Secara ontologism,
Pancasila mengandung asas dan nilai;
b) Bahwa Tuhan Yang Maha Esa merupakan maha
sumber, sebab pertama (causa prima) dari segala
sesuatu yang ada. Hal ini dijelaskan dalam
Pancasila, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan. Oleh karena itu harus percaya, taat, dan
berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan
sebagai maha sumber merupakan asas primer
(causa prima), yang keberadannya tidak
dipengaruhi oleh yang lain.
c) Keberadaan alam semesta sebagai ada tak
terbatas. Alam semesta dengan wujud dan hukum
alam serta sumber daya yang terkandung di
106

dalamnya merupakan wahana dan sumber


kehidupan dari umat manusia.
d) Eksistensi manusia sebagai makhluk yang
monopluralis dan sekaligus monodualis, baik
sebagai makhluk Tuhan maupun sebagai makhluk
pribadi yang tersusun dari unsur jasmani dan
rohani, dengan sifat individu dan sosialnya,
merupakan makhluk yang merdeka dan berdaulat.
Dengan kemerdekaan dan kedaulatannya, manusia
bisa membentuk suatu budaya dan tata nilai yang
mereka bangun. Namun dibalik kemerdekaannya
dan kedaulatan ia memiliki tanggungjawab dan
kewajiban, baik secara horisontal, yaitu dalam
kebersamaan dan kesemestaan yang menyangkut
hubungan antar sesama manusia dan hubungannya
dengan alam semesta, maupun secara vertikal
yaitu tanggungjawab dan kewajibannya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
e) Eksistensi dan tata budaya merupakan perwujudan
dari martabat dan kepribadian manusia sebagai
makhluk yang unggul (makhluk yang mulia).
Adanya kebudayaan, baik kebudayaan nasional
maupun kebudayaan universal adalah perwujudan
martabat dan kepribadian manusia.Oleh karena itu,
sistem nilai, sistem kelembagaan, seperti keluarga,
masyarakat, dan negara, pengembangan ilmu dan
teknologi harus diarahkan untuk mendukung harkat
dan martabat manusia sebagai “manusia”.
f) Eksisten bangsa dan negara yang merdeka dan
berdaulat sebagai puncak prestasi perjuangan
bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari rahmat
Tuhan sebagai causa prima. Negara hanyalah
merupakan akibat dari eksistensi Tuhan sebagai
107

causa prima, yang telah menciptakan manusia


Indonesia, yang secara kodrati memeiliki
kemerdekaan dan kedaulatan. Oleh karena itu,
pemerintahan negara harus selalu dilandasi oleh
rasa tanggungjawab terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Sebagai konsekwensi dari prinsip ini, korupsi
merupakan penyimpangan dari ajaran Pancasila.

2. Bidang Epistimologi
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki sumber, proses, syarat, batas dan
kebenaran ilmu. Sebagai suatu filsafat, Pancasila juga
mempunyai konsep tentang ilmu sebagai berikut:
a. Sebagai Maha Sumber ilmu pengetahuan adalah
Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan manusia
dengan berbagai potensi yang unik dan tinggi.
Manusia sebagai subyek tahu (subyek ilmu) dibekali
dengan akal, rasa, karsa, dan pancaindera.
Dengan akal manusia bisa memperoleh
pengetahuan, baik yang menyangkut dirinya
sendiri, alam semesta, dan makhluk lain melalui
penghayatan dan pemahaman yang kemudian
disusun menjadi ilmu.
b. Secara teoritis teknis, sumber pengetahuan
dibedakan menjadi:
1) sumber primer, merupakan sumber yang orisinil,
yang diperoleh melalui pemahaman dan
penghayatan terhadap alam lingkungan dengan
segala dinamika dan perubahannya,
2) sumber skunder, ialah bidang-bidang ilmu
pengetahuan yang sudah ada atau berkembang,
kepustakaan, dokumentasi,
3) sumber tersier ialah cendekiawan, ilmuwan, ahli,
narasumber, yaitu mereka yang memiliki
108

pengetahuan dan telah diakui otoritasnya dalam


bidangnya masing-masing.
c. Wujud dan tingkat pengetahuan dibedakan secara
hirarkis:
1) pengetahuan idera yang diperoleh melalui
pengalaman,
2) pengetahuan ilmiah yang sering disebut ilmu
merupakan gabungan pengetahuan yang telah
tersusun secara sistematis, metodis, obyektif,
dan universal,
3) pengetahuan filosofis yang merupakan hasil
pemikiran secara mendalam, mendasar, dan
menyeluruh tentang segala sesuatu yang
dipikirkan atas daar ontologis tertentu,
4) pengetahuan relegius, yaitu pengetahuan atau
ilmu yang didaarkan atas wahyu dan diterima
dengan keyakinan. Dalam wawasan Pancasila, posisi
dan fungsi ilmu pengetahuan dalam hubungannya
dengan soio-budaya terlukis dalam skema berikut:
(3) ilmu pengetahuan dan teknologi
(2) filsafat bangsa dan filsafat negara
(1) sosio-budaya
Sosio-budaya dan filsafat bangsa dan negara
merupakan sumber dan landasan bagi pengem-
bangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sosio-
budaya dan filsafat merupakan martabat dan
kepribadian nasional. Sedangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi merupakan prestasi nasional. Dalam
arti dengan ilmu dan teknologi bangsa Indonesia
akan dapat mencapai kesuksesan dalam pem-
bangunan. Meskipun demikian, pengembangan ilmu
dan teknologi harus tetap didasarkan pada sosio-
109

budaya dan filsafat bangsa. Selain itu, pengem-


bangan ilmu dan teknologi harus diarahkan untuk
menjunjung martabat dan kepribadian bangsa.
Bagaimanapun juga kejayaan suatu bangsa tidak
hanya ditentukan oleh kemajuan ilmu dan teknologi
saja, tetapi juga ditentukan oleh nilai-nilai moral
yang mereka anut dan kembangkan.
d. Pengetahuan manusia relatif mencakup keempat
tingkatan pengetahuan tersebut di atas. Ilmu
sebagai perbendaharaan dan prestasi manusia
maupun sebagai karya dan warisan budaya umat
manusia merupakan kualitas martabat manusia.
Perwujudan asas ini adalah ilmu yang bermanfaat
untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat
manusia. Hal ini menuntut adanya budi luhur dan
kebijakan para cendekiawan, yaitu adanya sifat
kreatif, sabar, rendah hati dan bijaksana dalam
mengembangkan dan menggunakan ilmu dan
teknologi,
e. Kodrat manusia dengan potensi uniknya secara
psikologis mampu menghayati hal-hal yang bersifat
metafisis yang jauh dibalik alam kehidupan, serta
mampu menerobos dimensi ruang dan waktu,
sehingga mampu menghayati secara supra natural,
yaitu adanya Tuhan dan kehidupan abadi setelah
mati. Pengetahuan yang demikian merupakan
perwujudan kesadaran filosofis-relegius yang
menentukan derajat kepribadian manusia.

3. Bidang Axiologi
Axiologi merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber, dan
hakikat nilai. Axiologi Pancasila pada dasarnya sejiwa
110

dengan ontologi dan epistimologinya. Pokok-pokok


axiologi Pancasila dapat disarikan sebagai berikut:
a. Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber nilai dengan
bijaksana menciptakan:
1) alam semesta dengan segala isinya, keteraturan
serta hukum-hukumnya merupakan subtansi nilai
yang mempengaruhi secara mutlak dan merupakan
obyek bagi manusia. Manusia dapat menikmati dan
merubah alam lingkungannya tetapi juga tidak bisa
melepaskan diri dari hukum alam, seperti penuaan
dan kematian,
2) nilai dan hukum moral yang mengikat manusia
secara imperatif bersifat obyektif dan universal.
b. Manusia dapat membedakan secara hakiki sumber-
sumber nilai:
1) Tuhan Yang Maha Esa dan agama sebagai sumber
nilai kesemestaan dan kebajikan,
2) Alam semesta dengan hukumnya sebagai sumber
nilai kehidupan, sebagai sumber keidahan,
keserasian, keselarasan, dan keteraturan,
3) Manusia dengan segala potensi yang dimiliki (cipta,
rasa, dan karsa) dan kreatifitasnya merupakan
sumber nilai yang unik bagi tiap-tiap bangsa yang
mewarnai sosio-budayanya,
4) Negara dengan sistem kenegaraan (filsafat,
ideologi, UUD NRI 1945, dan sebaganya) adalah
sumber cipta dan karya bagi masyarakat dan warga
negaranya,
5) Kebudayaan terutama ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai sumber nilai dalam kehidupan
intelektual dan sekaligus sebagai wahana
pengabdian melalui cipta dan karya dalam
mencapai kesejahteraan.
111

c. Nilai dalam kesadaran manusia dan perwujudannya


dalam realita meliputi:
1) Tuhan YME, perwujudannya dalam nilai agama
yang diwahyukan,
2) Alam semesta, perwujudannya adalah hukum alam
dan unsur-unsurnya menjamin kehidupan bagi
semua makhluk seperti tanah, air, udara, panas
yang semuanya bernilai (bermanfaat) bagi
kehidupan,
3) Manusia, kesadaran manusia akan kodratnya
mendorong munculnya rasa tanggung jawab dan
cinta kasih terhadap dirinya sendiri, sesama, dan
alam semesta, serta Tuhan,
4) Filsafat, ilmu dan teknologi sebagai hasil budaya
manusia secara keseluruhan telah membentuk
sistem nilai dalam peradaban manusia menurut
tempat dan jamannya.
d. Manusia dengan potensi dan kodratnya menduduki
fungsi ganda dalam hubungan dengan nilai, yaitu:
1) Manusia sebagai subyek nilai, yaitu sebagai
pencipta atau produsen nilai. Dengan karya dan
prestasinya manusia secara individu maupun
kelompok mampu menghasilkan sesuatu yang
bernilai,
2) Manusia sebagai obyek nilai, yaitu sebagai
pengemban nilai. Manusia sebagai subyek dan
sekaligus sebagai obyek nilai maka mempunayi
kedudukan sebagai penghayat, pengamal, dan
pengemban nilai. Manusia mendayagunakan nilai
bagi dirinya dan kehidupannya.
e. Martabat manusia secara potensial merupakan
integrasi dari berbagai unsur yang membentuk hakikat
manusia sebagai monopluralis dan monodualis. Oleh
112

karena itu nilai diri manusia sangat ditentukan oleh


kemampuannya untuk mengaktualisasikan seluruh
unsur-unsurnya secara terpadu, selaras, serasi, dan
seimbang.
f. Mengingat Tuhan YME sebagai Maha Sumber nilai, dan
manusia sebagai makhluk ciptaanNya yang paling
mulia yang dilengkapi dengan akal budi secara
potensial mampu menghayati dan mempercayai Tuhan
yang secara filosofis bersifat metafisis. Secara
universal manusai menyadari bahwa sumber
eksistensinya/ keberadaan alam semesta termasuk
keberadaannya adalah Tuhan. Tuhan mencipatakan
segalanya dengan dasar sifat Pengasih dan
Penyayang. Selanjutnya Tuhan mengikat ciptaannya
itu dengan hukum alam dan hukum moral supaya
tetap harmonis dan lestari.
g. Manusia sebagai subyek nilai mempunyai tanggung
jawab dan kewajiban untuk mendayagunakan,
mewariskan, dan melestarikan nilai-nilai dalam
kehidupannya. Dengan citra “kemanusiaannya”
manusia berkewajiban untuk menjunjung dan berbakti
terhadap Tuhan YME. Bahkan manusia juga harus
mengembangkan rasa cinta kasih kepada semua
makhluk supaya alam tetap lestari. Kebencian sebagai
anti thesa dari cinta kasih adalah sumber kerusakan
atau kehancuran.
h. Seluruh kesadaran manusai tentang nilai tercermin
pada kepribadian, tindakan, amal dan kewajibannya.
Sumber nilai dari manusia bukan saja kesadarannya
terhadap Tuhan dan agama, melainkan juga
kesadarannya untuk memahami, menghayati, dan
mengaktualisasikan kodratnya sebagai manusia.
Manusia selain harus membina hubungan dengan
113

sesamanya yang didasari oleh rasa kebersamaan dan


atas kesamaan harkat dan martabat, serta meng-
hargai hak dan pendapat orang lain.

D. Pengertian Nilai, Moral, dan Norma


Hampir setiap orang, termasuk para mahasiswa
selalu berhubungan dengan nilai. Pada akhir semester,
mahasiswa memperoleh nilai dari dosen atas matakuliah
yang diambil pada semester tersebut. Nilai mereka bisa
A, B, C, D atau E. Sudah tentu setiap mahasiswa
mengharapkan untuk mendapatkan nilai A, dan merasa
bangga jika memperoleh nilai A. mengapa mahasiswa
menginginkan nilai A, bukan nilai D atau E. Apa arti nilai
itu.
Di sisi lain, masyarakat juga berbibicara tentang
nilai, seperti nilai keagaamaan, nilai kesopanan, atau
nilai-nilai budaya. Bahkan sebagian masyarakat
mengatakan nilai-nilai budaya harus dijaga dan
dipertahankan. Ada juga yang secarang langsung
mengatakan bahwa telah terjadi pergeseran nilai di
dalam masyarakat. Apa yang dimaksud dengan nilai oleh
masyarakat?
Mungkin juga ada orang yang mengatakan bahwa
barang ini sudah tidak ada nilainya, karena barang
tersebut sudah rusak (barang rosokan). Atau ada juga
orang yang menunjukan suaatu barang dengan
mengatakan bahwa barang ini sangat bernilai bagi saya.
Apa yang dimaksud nilai bagi orang-orang tersebut.
Para pemimpin juga sering mengatakan bahwa
perilaku generasi muda sudah tidak sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila. Bahkan juga ada yang mengatakan
bahwa nilai-nilai Pancasila harus dijunjung tinggi dan
diamalkan oleh setiap warga Negara Indonesia. Para
114

generasi muda, perlu diberi pendidikan tentang nilai-nilai


Pancasila. Apa yang mereka maksud tentang nilai?
Nilai adalah sesuatu yang didambakan, sesuatu
yang diinginkan dan sesuatu yang diidealkan. Bertolak
dari pengertian itu, maka setiap orang memiliki nilai,
yaitu sesuatu yang didambakan dan diidealkan. Sesuatu
yang diidealkan itu bisa berupa kebaikan, keindahan,
kebenaran, keadilan, kecantikan, kebahagiaan, dan
lainnya. Karena merupakan suatu yang diidealkan maka
nilai itu bersifat abstrak, hanya ada didalam pikiran. Oleh
karena itu, kalau mahassiswa menginginkan nilai A untuk
matakuliah pendidikan Pancasila, tentu hal yang wajar,
karena menurut mereka nilai A adalah nilai yang paling
baik (tertinggi). Sudah barang tentu semua mahasiswa
mengharapkan memperoleh nilai A dalam setiap
matakuliah yang diikuti.
Meskipun demikian, mengapa tidak semua
mahasiswa memperoleh nilai A. Ada yang mendapat nilai
B, C, bahkan ada yang mendapat nilai D. Tentu dalam
memberi nilai dosen melakukan penilaian dengan cara
membandinkan dengan kebenaran yang diidealkan (bisa
kunci jawaban, atau standar yang telah ditetapkan).
Dalam konteks seperti ini nilai juga merupakan
keputusan sesorang terhadap suatu obyek dengan cara
membandingkan kualitass sesuatu tersebut dengan
seuatu yang diidwlkan. Ini berarti kalau sesorang menilai
maka sebenarnya kita sedang membandingkan, antara
sesuatu dengan sesuatu yang lain atau antara sesuatu
dengan yang diidealkan. Misal ketika Anda menilai,
keccantikan teman Anda, mungkin anda akan
mengatakan cantik atau tidak cantik. Mengapa Anda
mengatakan dia cantik, karena sesuai dengan yang Anda
idealkan, namun ketika Anda mengatakan tidak cantik,
115

tentu karena tidak sesuai dengan yang Anda idealkan.


Sama halnya, kalau Anda disuruh menilai, cantik mana
antara Si “A” dengan si “B”?. Silahkan Anda bandingkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, manusia tidak
bisa lepas dari nilai, karena manusia adalah subyek nilai.
Hanya manusia yang bisa menilai dan mendambakan
nilai. Sebagai contoh, ketika Anda mencari pacar, sudah
bisa dipastikan Anda mencari yang cantik. Dan ketika
Anda berkeluarga, tentu menginginkan hidup yang
bahagia, dengan memiliki anak-anak yang cantik, pintar,
dan lainnya. Meskipun dalam kenyataannya, kecantikan
itu juga relatif. Artinya cantik bagi Bondet, belum tentu
cantik bagi Bobon, sehingga meskipun Bondet dan Bobon
sama-sama mendambakan istri yang cantik, namun
keduanya tidak sama, karena cantik bagi Bondet tidak
sama dengan cantiknya Bobon. Coba bayangkan kalau
semua orang mendambakan kecantikan istrinya seperti
artis tertentu, apa yang terjadi?
Nilai atau sesuatu yang tersebut tentu ingin
diwujudkan dalam kenyataannya. Sebagai ccontoh Si
Bondet yang menginginkan istri yang cantik tadi, tentu
dia mencari diantara temannya. Tentu kecantikan yang
dia dambakan itu, dijabarkan dalam suatu kriteria
(ukuran), misal, hidupnya mancung, kulitnya kuning
langsat, bibir tipis dan lainnya. Dengan indikator ataau
ukuran-ukuran seperti yang telah ditentukan itu Bondet
mencocokan dengan teman-temannya, mana yang
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Hal yang
sama juga dilakukan oleh Bobon. Begitu juga si “A”
maupun si “B” m juga ingin menjadi cantik. Oleh karena
itu, mereka melakukan tindakan untuk merias diri,
memakai lulur dan sebagainya.
116

Dalam kehidupan nilai-nilai tersebut, dijabarkan


kedalam ukuran-ukuran perilaku, yang harus dilakukan
agar nilai-nilai tersebut tercapai. Sebagai contoh ketika
suatu keluarga ingin mendambakan keluarganya menjadi
orang yang baik, keluarga yang terhormat, maka mereka
membuat aturan bagaimana harus berperilaku,
berpakaian, bersikap, dan berbicara. Semua aturan
tersebut disebut norma. Jadi suatu nilai agar terwujud
harus dijabarkan ke dalam aturan-aturan (norma). Jika
tidak dijabarkan ke dalam norma (aturan), nilai hanya
aka nada di dalam pikiran (abstrak).
Oleh karena itu, dalam kehidupan suatu
masyarakat, termassuk dalam keluarga ada nilai dan
norma. Nilai atau sesuatu yang diidealkan oleh
masyarakat dijabarkan dalam norma (aturan) untuk
mengatur perilaku angggotanya. Coba perhatikan
apakah di rumah Anda juga ada norma (aturan)?.
Mungkin, orang tua Anda pernah melarang Anda ataau
mengharuskan Anda untuk bersikap, berbicara, atau
melakukan sessuatu, itulah salah satu bentuk norma
yang ada di keluarga. Norma-norma itu harus kita
patuhi, bila kita ingin dianggap sebagai anak yang baik
oleh orang tua kita.
Di dalam masyarakat, juga ada norma (aturan)
yang harus kita patuhi, baik itu norma sosial, norma
agama, maupun norma hukum. Sebagai contoh, kita
harus berpakaian yang rapi saat menghadiri acara
(norma soial), kita tidak boleh berbohong (norma
agama), atau kita harus memakai helm saat naik sepeda
motor (norma hukum). jika kita ingin dinilai sebagai
anggota masyarakat yang baik, maka norma-norma
tersebut harus kita patuhi.
117

Memang tidak semua orang selalu mematuhi


norma. Ada juga yang melanggar norma, apa itu norma
sosial, norma agama, atau norma hukum. Misalnya, ada
orang memakai pakaian olah raga saat menghadiri
upacara penikahan. Atau ada orang yang suka
berbohong. Kalau dia berbicara lebih banyak bohong.
Atau ketika naik sepeda motor tidak memakai helm.
Bagaimana penilaia Anda terhadap orang-orang yang
melakukan pelanggaran norma tersebut?, Apakah Anda
katakana sebagai orang yang baik atau tidak?
Apapun yang dilakukan oleh setiap orang akan
selalu dinilai oleh orang lain. Penilaian orang terhadap
perilaku seseorang itu yang akan menentukan moralitas
orang tersebut. Apakah orang tersebut dianggap
bermoral atau tidak? Oleh karena itu, moralitas sesorang
sebenarnya ditentukan oleh bagaimana perilaku orang
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku tersebut
akan selalu dinilai oleh orang lain, dan penilaian orang
lain tersebut menggambarkan nilai diri (moralitas).
Dalam memberikan penilaian, masing-masing
masyarakat memiliki norma (ukuran) yang berbeda.
Norma sosial suatu masyarakat A berbeda dengan
dengan norma yang berlaku di masyarakat B. Semua itu
bergantung dari kesepakatan masing-masing masya-
rakat. Misal sikap dan perilaku yang baik baik di
masyarakat A belum tentu dianggap baik oleh
masyarakat B. Ada pepatah: “lain ladang lain belalang,
lain lubuk lain ikannya”, dan pepatah “dimana kita
berada, disitu bumi kita injak dan langit kita junjung”.
Artinya setiap masyaraakaat memiliki adat istiadat
(norma) sendiri-sendiri, dan ketika kita hidup dalam
suatu masyarakat, kita harus mematuhi norma-norma
yang berlaku di masyarakat tempat kita berada, Oleh
118

karena itu, kita harus menghargai, dan mematuhi


aturan yang ada di masyarakat dimana kita berada..

E. Pancasila sebagai Nilai Dasar dan Maknanya


Ketika para pendiri negara, akan mem-
proklamasikan kemerdekaan Indonesia, muncul
pertanyaan, negara yang akan dibangun ini didasarkan
pada nilai apa?, apa yang dicita-citakan (akan
diwujudkan) setelah Indonesia merdeka?. Pertanyaan
tersebut muncul sebagai konseweksi logis dari para
pendiri negara, karena kalau negara yang didirikan tidak
didasarkan pada suatu landasan filosofis yang kokoh,
dan dengan tujuan yang jelas, tentu apa yang kita
kerjakan menjadi sia-sia, karena tanpa arah dan
landasan yang kokoh.
Analog dengan ketika kita akan membangun suatu
keluarga, maka harus ada landasan pemikiran filosofis
yang kokoh dan tujuan yang jelas. Apakah hakikat
keluarga, apa hakikat pernikahan, dan apa tujuan
menikah, apa landasan untuk menikah. Ketika para
pendiri Negara akan mendirikan Negara, perdebatan
mengenai dasar negara yang akan didirikan juga
muncul, ada yang mengusulkan bahwa negara yang
akan dibangun sebaiknya didasarkan pada nilai-nilai
agama (Islam), sehingga dasar negara yang akan
didirikan adalah Islam. Ada juga yang mengusulkan
bahwa negara yang akan didirikan didasari oleh nilai-nilai
kebangsaan, sehingga nasionalisme sebagai dasar
negara.
Perumusan dasar negara melibatkan banyak
pemikir seperti Ir. Soekarno, M. Yamin, Mr. Soepomo.
Masing-masing pemikir mengajukan usulan dengan
argumentasi. Dalam proses tersebut, para elit bangsa
119

mencoba menggali nilai-nilai yang terdapat dalam


budaya masyarakat Indonesia.
Ada beberapa nilai yang dijunjung tinggi dalam
budaya masyarakat, di antaranya adalah nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, persatuan, musyawarah,
keadilan, dan kegotongroyongan. Nilai-nilai tersebut ada
dalam praktik kehidupan sehari-hari dan dijunjung tinggi
oleh masyarakat Indonesia. Meskipun, ada perbedaan,
namun diantara mereka ada kesamaan mengenai nilai
yang akan dijadikan dasar negara, yaitu nilai relegius,
demokrasi, persatuan, keadilan, dan kemanusiaan.
Akhirnya, melalui diskusi dan refleksi yang mendalam,
kemudian para elit bangsa sepakat bahwa dasar negara
yang akan diproklamasikan, adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa; kemanusiaan yang adil dan beradab;
Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwa-
kilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dasar Negara tersebut kemudian dirumuskan dalam
Pembukaan UUD NRI 1945 pada alinea keempat, yang
dikenal dengan Pancasila.
Selain sebagai dasar Negara, Pancasila bagi bangsa
Indonesia memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai
pandangan hidup bangsa, dan ideologi. Selain ketiga
fungsi tersebut, Pancasila juga berfungsi sebagai
pemersatu bangsa, sebagai jiwa bangsa, sebagai
kepribadian bangsa, sebagai sumber dari segala
sumber tertib hokum (Oesman dan Alfian, 1996).
Dengan fungsi Panasila sebagai dasar negara,
maka penyelenggaraan negara harus didasarkan pada
Pancasila. Ini membawa konsewensi bahwa Pancasila
menjadi sumber dari segala sumber tertib hukum di
Indonesia, sehingga seluruh peraturan perundang-
120

undangan (hukum tertulis) di Indonesia harus didasar-


kan pada Pancasila. Mengingat Pancasila masih berupa
nilai dasar, maka harus dijabarkan secara instrumental,
agar bisa dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan
negara.
Sebagai nilai dasar, sila-sila Pancasila hanya
memberi gambaran tentang negara yang dicita-citakan
dan bagaimana negara ini harus dijalankan. Tanpa
dijabarkan kedalam nilai-nilai instrumental, sila-sila
Pancasila belum bisa dijadikan pedoman dalam penye-
lenggaraan negara. Meskipun Pancasila sebagai dasar
dalam penyelenggaraan negara, dalam sila-sila Panca-
sila, belum memuat bentuk negara, lembaga negara,
serta kewenangan dari masing-masing lembaga negara.
Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila kemudian dijabarkan
ke dalam UUD NRI 1945 sebagai nilai instrumental dalam
penyelenggaraan Negara.
Sebagai nilai instrumental, UUD NRI 1945
mengatur tentang bagaimana negara Indonesia harus
dijalankan, lembaga apa saja yang harus ada di dalam
negara Indonesia, hak dan wewenang dari masing-
masing lembaga negara. Sebagai penjabaran dari
Pancasila, maka UUD NRI 1945 merupakan hukum
tertinggi di negara Indonesia. UUD NRI 1945 merupakan
hukum dasar dalam penyelenggaraan negara Indonesia.
Apa yang termuat dalam UUD NRI 1945 bersifat
normatif (keharusan), yang harus dilaksanakan dalam
praktek ketatanegaraan di Indonesia. Meskipun UUD NRI
1945 merupakan nilai instrument dalam penyeleng-
garaan negara, dalam praktik ketatanegaraan masih
diperlukan undang-undang sebagai turunan dari UUD
NRI 1945. Dalam praktik ketatanegaraan banyak
undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan
121

Rakyat bersama dengan Pemerintah, seperti undang-


undang sistem pendidikan nasional, undang-undang
perkawinan, undang-undang pemilu, undang-undang lalu
lintas, dan lainnya.
Meskipun demikian, undang-undang yang dibuat
sebagai turunan juga sering tidak sejalan dengan nilai-
nilai yang terkandung dalam dari UUD NRI 1945. Oleh
karena itu, jika undang-undang tersebut tidak sejalan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam UUD NRI
1945, bisa dibatalkan. Semenjak ada amandemen
terhadap UUD NRI 1945, dibentuk Mahkamah Konstitusi,
yang salah satu kewenangannya adalah menguji
undang-undang apakah sejalan atau bertentangan tidak
dengan UUD NRI 1945. Jika undang-undang tersebut
tidak sesuai dengan nilai-nilai UUD NRI 1945 dan
Pancasila, maka undang-undang tersebut harus
dibatalkan atau dicabut.
Apa yang telah tertulis dalam UUD NRI 1945
maupun dalam undang-undang harus dilaksanakan oleh
pemerintah dan semua warga negara Indonesia. Dalam
praktiknya, pelaksanaan undang-undang ini sering kali
ada perbedaan, atara orang satu dengan lainnya, antara
kelompok masyarakat satu dengan lainnya. Misalnya,
dalam undang-undang lalu lintas, pengendara sepeda
motor wajib memakai helm. Dalam praktiknya, ada juga
yang tidak memakai helm. Ada yang memakai helm
tetapi bentuk dan modelnya berbeda, ada yang standar
ada yang tidak standar. Pelaksanaan undang-undang
dalam kehidupan sehari-hari oleh warga negara ini
disebut nilai praksis.
Dalam praktik kehidupan bernegara, nilai praksis
ini sering tidak sejalan dengan nilai dasar dan nilai
instrumental. Namun apa yang riil (nyata) dalam
122

kehidupan sehari-hari adalah pada nilai praksisnyaa.


Oleh karena itu, yang diharapkan adalah nilai praksis itu
sejalan dengan nilai instrumental dan nilai dasar. Jika
nilai praksis tidak sejalan dengan nilai instrumental,
berarti banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran,
yang mengakibatkan apa yang dicita-citakan sulit
terwujud.
v

Anda mungkin juga menyukai