elektronik.
Ruang Lingkup Etika Digital
Kesadaran maksudnya adalah melakukan sesuatu dengan sadar atau
memiliki tujuan. Media digital yang cenderung instan seringkali membuat
penggunanya melakukan sesuatu ‘tanpa sadar’sepenuhnya. Kesadaran adalah
kondisi individu yang menyediakan sumber daya secara penuh ketika
menggunakan media digital, sehingga individu tersebut memahami apa saja yang
sedang dilakukannya dengan perangkat digital. Tanggung jawab berkaitan dengan
dampak atau akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan. Maka bertanggung
jawab artinya adalah kemauan menanggung konsekuensi dari tindakan dan
perilakunya dalam bermedia digital. Sementara itu, kebajikan menyangkut hal-hal
yang bernilai kemanfaatan, kemanusiaan, dan kebaikan serta prinsip penggunaan
media digital untuk meningkatkan derajat sesama manusia atau kualitas
kehidupan bersama, dan integritas adalah prinsip kejujuran sehingga individu
selalu terhindar dari keinginan dan perbuatan untuk memanipulasi, menipu,
berbohong, plagiasi, dan sebagainya, saat bermedia digital (Frida dkk, 2021 dalam
Frida dan Astuti, 2021).
Empat prinsip etika tersebut menjadi ujung tombak self-control setiap
individu dalam mengakses, berinteraksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi di
ruang digital, sehingga media digital benar-benar bisa dimanfaatkan secara
kolektif untuk hal-hal positif. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam menimbang urgensi penerapan etika bermedia digital. Pertama, penetrasi
internet yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Bukan saja jumlah dan aksesnya yang bertambah. Durasi penggunaannya pun
meningkat drastis. Kedua, perubahan perilaku masyarakat yang berpindah dari
media konvensional ke media digital. Karakter media digital yang serba cepat dan
serba instan, menyediakan kesempatan tak terbatas dan big data, telah mengubah
perilaku masyarakat dalam segala hal, mulai dari belajar, bekerja, bertransaksi,
hingga berkolaborasi.
Ketika, situasi pandemi COVID-19 yang menyebabkan intensitas orang
berinteraksi dengan gawai semakin tinggi, sehingga memunculkan berbagai isu
dan gesekan. Semua ini tak lepas dari situasi ketika semua orang berkumpul di
media guna melaksanakan segala aktivitasnya, tanpa batas.
Dalam lanskap informasi, media digital menyatukan pengguna Internet
dari beragam budaya dan kelompok usia. Media digital juga digunakan oleh siapa
saja yang berbeda latar pendidikan dan tingkat kompetensi. Karena itu,
dibutuhkan panduan etis dalam menghadapi jarak perbedaan-perbedaan tersebut.
Selain itu, diperlukan kontrol diri (self-controlling) dalam menggunakan media
digital, yang disebut dengan Etika Digital. Salah satu bentuk tantangan muncul
dari keragaman kompetensi setiap individu yang bertemu di ruang digital.
Keragaman kecakapan digital dan budaya membawa konsekuensi perbedaan
dalam berinteraksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi di ruang digital. Tantangan
selanjutnya adalah banyaknya konten negatif di media digital yang disikapi secara
tidak sepantasnya oleh netizen Indonesia. Laporan Digital Incivility Index 2021
menempatkan Indonesia pada posisi paling rendah—yang artinya, tingkat
ketidaksopanan netizen Indonesia paling tinggi di Kawasan Asia Tenggara.
Saat ini kita dapat memperoleh informasi dengan sangat
mudah. Dengan bantuan gawai atau telepon seluler di genggaman
yang terhubung internet, kita bisa mendapatkan berbagai informasi
yang kita kehendaki maupun yang tidak kita kehendaki. Selain itu
dengan bantuan teknologi kita juga bisa menciptakan dan
menyebarkan informasi ke banyak orang. Hal tersebut dipermudah
setelah media sosial hadir di tengah kita. Media sosial adalah media
yang memungkinkan penggunanya berpartisipasi dalam menerima
dan mengirim informasi (Maning, 2016 dalam Frida dan Astuti,
2021). Soal akses memang terpecahkan berkat adanya teknologi,
namun akses ini tidak hanya soal keahlian mencari atau
menyebarkan informasi, namun juga terkait aspek etika, di mana kita
memiliki tanggung jawab moral dalam penggunaan informasi.
Tanggung jawab ini harus berdasar pada nilai respek atau
penghargaan terhadap harkat-martabat manusia dan hak asasi
manusia.
Ada dua hal penting saat berinteraksi di dunia digital.
Pertama, penghargaan pada diri sendiri akan menjaga
kepentingan kita di dunia digital. Kita akan bijak mengekspos
diri kita melalui pesan yang kita buat dan bagikan. Kedua,
penghargaan pada orang lain bisa kita lihat contoh penerapan
prinsip tersebut pada media sosial. Perkembangan media sosial
yang awalnya untuk mempererat hubungan antar pengguna,
lalu mulai bergeser ketika ada ada pihak-pihak yang memiliki
kepentingan ekonomi, politik, dan SARA. Sehingga ada baiknya
kita memahami konten negatif dan mewaspadainya. Definisi
konten negatif jelas tertulis dalam UU ITE.
Konten negatif ada dalam Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah
diubah melalui UU Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) sebagai
informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau
pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman,
penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga
mengakibatkan kerugian pengguna.
Konten negatif muncul karena motivasi-motivasi
pembuatnya yang memiliki kepentingan ekonomi (mencari
uang), politik (menjatuhkan kelompok politik tertentu), mencari
kambing hitam, dan memecah belah masyarakat (berkaitan
suku agama ras dan antargolongan/SARA) (Posetti & Bontcheva,
2020 dalam Frida dan Astuti, 2021). Cara melawan konten
negatif diantaranya adalah memverifikasi informasi. Kita wajib
melakukan cross check untuk menguji kebenaran suatu
informasi. Interaksi yang terjadi di media sosial ini merupakan
bagian dari komunikasi sosial, bahkan semakin kompleks dan
dapat menimbulkan masalah jika tidak dikelola dengan baik.
Permasalahan yang biasanya muncul terkait dengan privasi, hak
cipta karya, pornografi, kekerasan online, dan isu etika lainnya.