Anda di halaman 1dari 8

1.

Teori Komunikasi Organisasi

Menurut Goldhaber (1986) komunikasi organisasi adalah sebuah proses penciptaan


serta saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang bergantung oleh satu sama lain
untuk mengatasi lingkungan tidak pasti atau lingkungan yang berubah- ubah. Ron Ludlow
mengemukakan pendapat bahwa komunikasi organisasi adalah suatu program komunikasi pada
kajian bidang Public Relations (PR) mengenai hubungan internal serta hubungan pemerintah dan
hubungan investor dalam organisasi.

1. Menurut Sitepu (2011 : 87 ) Teori Fusi dari Bakke dan Argyris Bakke berpendapat bahwa,
untuk beberapa tingkatan, organisasi memengaruhi individu, dan pada saat yang bersamaan
individu juga memengaruhi organisasi. Oleh karena itu, individu menentukan karakteristik
dari organisasi, dan setiap posisi haruslan unik sebagaimana orang-orang yang
mendudukinya. Selain itu, setiap posisi di dalam organisasi dimodifikasi sesuai dengan
kepentingan individu-individu tersebut. Argyris (kolega Bakke) kemudian melanjutkan apa
yang sudah dilakukan oleh rekannya tersebut. Ia berpendapat bahwa terdapat
ketidaksesuaian atau inkompatibility antara kebutuhan pegawai yang matang dengan
persyaratan formal organisasi. Seringkali tujuan organisasi tidak sesuai/bertentangan
dengan tujuan pribadi karyawan. Akhirnya, karyawan merasa frustrasi sebagai akibat dari
ketidaksesuaian tersebut. Ini berdampak pada perginya beberapa orang karyawan, dan
beberapa orang mungkin tetap tinggal dan beradaptasi, sementara ada juga yang tetap
tinggal namun menurunkan standar kerjanya dan menjadi apatis dan cuek. Dengan adanya
gambaran konflik ini, orang diajari agar tidak mengharapkan kepuasan dari pekerjaan.

2. Teori Birokratik Weber Max Weber mengambil isu dari pandangan Henry Fayol. Weber
membedakan antara otoritas yang melekat/inheren (kekuasaan tradisional, yang mungkin
tidak sah) dengan otoritas yang sah (diperoleh, dihormati, berdasarkan norma-norma,
rasional, dan legal). Otoritas yang legal inilah yang kemudian menjadi landasan terbentuk
apa yang disebut Weber sebagai “birokrasi”. Menurut Weber, birokrasi merupakan konsep
ideal bagi organisasi modern. Dalam organisasi yang kompleks dibutuhkan kecepatan,
ketepatan, kepastian, dan kontinuitas. Semua hal tersebut dapat dicapai jika organisasi
didesain sebisa mungkin seperti mesin. Ada 6 ciri dasar: 1) Sistem hierarki otoritas yang jelas
2) Divisi kerja berdasarkan spesialisasi. 3) Sistem aturan yang lengkap mencakup hak,
tanggungjawab, dan kewajiban personil. 4) Prosedur yang sempurna untuk performa kerja.
5) Impersonalitas (bukan perseorangan) dalam hubungan organisasional manusiawi. 6)
Seleksi dan promosi personil atas dasar kompetensi teknikal. Birokrasi adalah suatu
organisasi yang memiliki karakter sebagai berikut (Goldhaber, 1993): 1) Kontinuitas
tergantung pada ketaatan pada peraturan.
3. Teori neoklasik atau hubungan manusia, Teori ini diperkenalkan oleh Elton Mayo dan
muncul karena adanya ketidakpuasan dengan teori klasik atau teori mesin. Teori neo klasik
mengacu pada pentingnya aspek psikologis serta sosial karyawan sebagai seorang individu
atau kelompok kerja. Teori ini telah “difasihkan” melalui percobaan yang dilakukan oleh
Elton di pabrik Hawthorne pada tahun 1924. Hasil percobaan tersebut memperoleh
kesimpulan bahwa penting memperhatikan upah insentif serta kondisi kerja karyawan untuk
meningkatkan produktivitas kerja.

4. Teori Fusi ini diperkenalkan oleh Bakke dan pada tahun 1957 Argyris menyempurnakan
pendapat Bakke. Teori fusi berawal dari kesadaran Bakke pada tahun 1950 mengenai
kesadaran mengenai kepuasan minat manusia yang berbeda-beda dalam suatu birokrasi
maupun organisasi.Bakke berpendapat bahwa organisasi pada tahap-tahap tertentu akan
mempengaruhi seorang individu. Sementara pada saat yang sama pula individu memberikan
pengaruh pada organisasi yang diperkenalkan oleh organisasi.Fenomena tersebut
menyebabkan pegawai – pegawai menunjukan ciri-ciri membentuk organisasi atau
berorganisasi. Setiap jabatan yang dimiliki oleh pegawai menunjukan keunikan serta
memiliki ciri khas masing – masing organisasinya, sehingga dapat dimodifikasi sesuai dengan
minat dan bakat khusus pegawai atau individu tersebut.
5. Teori Linking Pin dari Likert Konsep linking pin yaitu satu kelompok yang tumpang tindih.
Setiap supervisor adalah anggota dari dua kelompok: pemimpin kelompok yang lebih rendah
dan anggota dari unit yang lebih tinggi. Fungsi supervisor sebagai penjepit yang
menghubungkan, mengkaitkan kerja kelompok terhadap kelompok lain pada level
berikutnya. Struktur ini menghasilkan hubungan kelompok dengan kelompok, kebalikan dari
orang ke orang. Struktur organisasi yang seperti ini juga mendukung orientasi ke atas.
Namun, konsep ini juga dipandang cenderung memfasilitasi apa yang terjadi di struktur
klasik, birokratis. Pola hierarki, hubungan atasan dan bawahan, seringnya berfokus pada
hubungan ke bawah (downward). Proses komunikasi yang terjadi di dalam konsep ini juga
cukup berbelit-belit, sehingga tindakan kelompok tampak lambat. Kelambatan ini bisa
diatasi dengan partisipasi dan kontribusi dalam perencanaan, komunikasi yang lebih terbuka
dan komitmen dari masing-masing anggota struktur.

6. Teori sistem social ini menyatakan bahwa hubungan antara manusia memungkinkan suatu
organisasi dapat bertahan lebih lama daripada orang-orang yang ada di dalamnya. Artinya,
walaupun seseorang yang ada dalam suatu kelompok (anggota dari kelompok tertentu)
sudah meninggal, kelompok tersebut tetap ada hanya saja orang-orang yang ada di
dalamnya digantikan dengan anggota-anggota baru. Kats dan Kahn menjelaskan pula bahwa
hubungan antar manusia dalam suatu organisasi dinilai lebih penting daripada hubungan
antara jabatan formal tertentu.
7. Teori public relations Seperti yang dikatakan oleh Ron Ludlow, komunikasi organisasi
merupakan kajian pada teori public relations, teori ini menyatakan upaya yang dilakukan
secara terencana dan berkesinambungan secara utuh atau menyeluruh oleh suatu
organisasi. Upaya tersebut dilakukan untuk menciptakan serta memelihara niat baik untuk
saling mengerti antara organisasi dan khalayaknya. Selain Ron Ludlow teori ini juga didukung
oleh Jefkins.

8. Teori kepemimpinanTeori ini menyebutkan bahwa pemimpin suatu organisasi maupun


kelompok merupakan sosok yang penting untuk membantu anggota memenuhi kebutuhan
serta mencapai tujuan kelompok atau organisasi secara bersama-sama.Hersey telah
memformulasikan empat tugas pemimpin, yaitu (a) telling, mampu memberikan informasi
secara lugas. (b) selling, mampu memberikan petunjuk. (c) participating, mampu menjalin
kerja sama yang baik. (d) delegating, mampu mengambil keputusan.Dalam mempelajari
teori komunikasi khususnys di ranah organisasi, kamu dapat melihat melalui pendekatan
objektif serta interpretif yang saat ini menjadi perhatian bagi para kaum akademisi dan juga
praktisi ilmu komunikasi yang di bahas pada buku Teori Komunikasi Kontemporer.

Dalam tugas ini penulis akan membahas dan menganalisa teori kepemimpinan otoritas
dari Chester Banard

2. Membahas Teori Otoritas yang dikekemukakan oleh Chester Barnard

Menurut Sitepu (2011 : 87 ) Chester Barnard mengatakan bahwa otoritas adalah sebuah fungsi
kerelaan untuk berjalan bersama-sama. Ia mengajukan seperangkat premis-premis yang kemudian
dikenal sebagai Teori Penerimaan Otoritas. Premis-premis tersebut, yaitu:Empat (4) kondisi yang harus
dihadapi sebelum seseorang menerima pesan sebagai sesuatu yang otoritatif (berwenang):

a. Seseorang dapat dan memahami pesan.

b. Seseorang yakin, pada saat keputusan, bahwa pesan tidak inkonsisten dengan tujuan organisasi.

c. Seseorang yakin, pada saat keputusan berlanjut, bahwa pesan tersebut sesuai dengan kepentingan
personalnya secara keseluruhan.

d. Seseorang mampu secara mental dan fisik untuk patuh terhadap pesan.
Chester Irving Barnard

Chester Irving Barnard (7 November 1886 – 7 Juni 1961) adalah seorang eksekutif bisnis
Amerika, administrator publik, dan penulis karya perintis dalam teori manajemen dan studi organisasi.
Bukunya yang terkenal pada tahun 1938, The Functions of the Executive, menguraikan teori organisasi
dan fungsi eksekutif dalam organisasi. Buku ini telah banyak digunakan dalam mata kuliah universitas
dalam teori manajemen dan sosiologi organisasi.[1] Barnard memandang organisasi sebagai sistem
kerja sama aktivitas manusia, dan mencatat bahwa organisasi biasanya berumur pendek. Menurut
Barnard, organisasi umumnya tidak berumur panjang karena tidak memenuhi dua kriteria yang
diperlukan untuk bertahan hidup: efektivitas dan efisiensi.

Menurut Suci (2019 : 13) Chester Barnard pada Tahun 1938 menulis buku berjudul ―The
Functions of the Executive”. Buku tersebut menggambarkan sebuah teori organisasi dalam rangka untuk
merangsang orang memeriksa sifat sistem koperasi. Barnard melihat perbedaan antara motif pribadi
dan organisasi. Ia juga menjelaskan dikotonomi "efektif-efisien". Efektivitas berkaitan dengan
pencapaian tujuan dan efisiensi berkaitan dengan sejauh mana motif-motif individu dapat terpuaskan.
Dia memandang organisasi formal sebagai sistem terpadu di mana kerjasama, tujuan bersama, dan
komunikasi merupakan elemen universal, sementara dilain pihak organisasi informal, komunikasi,
kekompakan, dan pemeliharaan perasaan harga diri lebih diutamakan. Perkembangan selanjutnya
Barnard mengembangkan teori "penerimaan otoritas" yaitu: suatu gagasan bahwa bos hanya memiliki
kewenangan jika bawahan menerima otoritas itu.

Chester Barnard mengembangkan teorinya tentang otoritas dan manajemen selama awal abad
ke-20, terutama pada periode antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Karya utamanya yang
membahas prinsip-prinsip manajemen adalah bukunya yang berjudul "The Functions of the Executive,"
yang diterbitkan pada tahun 1938. Barnard membangun teorinya melalui pengalamannya di dunia bisnis
dan industri, terutama saat menjadi eksekutif di beberapa perusahaan, termasuk AT&T. Selama periode
tersebut, ia mengamati dinamika organisasi dan pentingnya aspek manusiawi dalam manajemen.

Pendekatan Barnard terhadap otoritas adalah unik karena ia menekankan akseptansi otoritas
oleh para anggota organisasi. Menurutnya, otoritas menjadi efektif ketika diterima dan diakui oleh
anggota organisasi. Ia juga menggambarkan konsep koordinasi dan kerja sama sebagai elemen penting
dalam mencapai tujuan organisasi. Barnard memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan
teori manajemen, terutama dalam konteks otoritas dan organisasi. Karyanya menjadi dasar bagi
pemikiran manajemen modern, dengan menyoroti pentingnya dimensi manusiawi dalam lingkungan
kerja.

3. Asumsi Teori Otoritas oleh Chester Barnard

Asumsi dasar dari teori otoritas Chester Barnard mencakup pemahaman tentang bagaimana
otoritas beroperasi di dalam organisasi. Berikut adalah beberapa asumsi utama dari teori otoritas
Barnard:
1. Akseptansi Otoritas: Asumsi utama Barnard adalah bahwa otoritas efektif tergantung pada
tingkat akseptansi atau penerimaan dari pihak yang diberi wewenang. Otoritas akan diterima jika
anggota organisasi memahami dan setuju dengan tujuan yang ingin dicapai.

2. Kesadaran Bersama terhadap Tujuan Organisasi: Barnard meyakini bahwa anggota organisasi
harus memiliki kesadaran bersama terhadap tujuan organisasi. Komunikasi yang efektif diperlukan untuk
memastikan bahwa setiap orang dalam organisasi memahami dan berkontribusi untuk mencapai tujuan
bersama.

3. Koordinasi dan Integrasi: Barnard menekankan pentingnya koordinasi dan integrasi dalam
organisasi. Otoritas yang efektif melibatkan kerja sama dan koordinasi di antara anggota organisasi
untuk mencapai tujuan bersama.

4. Komunikasi sebagai Alat Utama: Komunikasi dianggap sebagai alat utama untuk mencapai
pemahaman bersama dan kesadaran kolektif terhadap tujuan organisasi. Barnard melihat komunikasi
sebagai kunci untuk mengurangi ketidakpastian dan menciptakan koordinasi di dalam organisasi.

5. Peran Eksekutif: Barnard menyoroti peran eksekutif dalam memastikan efektivitas otoritas.
Eksekutif memiliki tanggung jawab untuk menjembatani kesenjangan antara tujuan organisasi dan
individu, serta memfasilitasi akseptansi otoritas.

Asumsi-asumsi ini menciptakan dasar bagi konsep otoritas dan manajemen yang diberikan oleh
Chester Barnard, yang menekankan pentingnya dimensi manusiawi dan koordinasi dalam organisasi.

4. Contoh Penelitian

1. Judul Artikel : Kepemimpinan, Pengambilan Keputusan dan Diskresi


Penulis : Jetty Erna Hilda Mokat
Tahun : 2019
Jurnal : Jurnal Administro Vol. 1 No. 1
Abstrak : Penelitin ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan proses
pengambilan keputusan pemimpin pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Manado (Unima). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif
dengan tehnik pengumpulan data ditempuh melalui observasi, wawancara
mendalam dan dokumentasi. Sumber data penelitian meliputi sumber data primer yang
diperoleh dari informan secara purposive sampling, yang didukung dengan data
sekunder berupa studi kepustakaan, regulasi terkait dan dokumen pendukung
lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan
pemimpin (Dekan) ditempuh melalui enam tahapan, yang meliputi: 1) tahapan
mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan; 2) mengidentifikasi alternatif-alternatif
dan solusi pemecahan masalah; 3) menganalisis dan mengevaluasi masing-masing
alternatif solusi; 4) memilih alternatif terbaik; 5) melaksanakan keputusan; dan 6)
melakukan evaluasi. Untuk mengatasi stagnasi dan dalam rangka kelancaran
pelaksanaan tugas dan fungsinya, maka dekan sebagai pemimpin organisasi melakukan
tindakan diskresi untuk kepentingan publik sebagai solusi terhadap berbagai
permasalahan yang dihadapi dalam rangka menjawab tuntutan dan ekspektasi
masyarakat/mahasiswa.

2. Judul Artikel : Transformasi Budaya Organisasi Otoritas Perpajakan Indonesiamenghadapi


Era Ekonomi Digital
Penulis : Maria R.U.D. Tambunan dan Rozan Anwar
Tahun : 2019
Jurnal : Jurnal Aplikasi Manajemen dan Bisnis, Vol. 5 No. 2
Abstrak : Artikel ini membahas mengenai dinamika perubahan budaya organisasi
otoritas pajak Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak sejak masa reformasi 1983 hingga masa
terkini dalam menghadapi era ekonomi digital. Selain itu, perubahan budaya organisasi dari
masa ke masa yang diikuti dengan perubahan struktur organisasi sejak dilaksanakannya
reformasi perpajakan pada tahun 1983 akan dibahas dengan komprehensif sebagai
acuan untuk memahami dinamika perubahan budaya yang telah dilaksanakan. Pada
akhirnya perubahan budaya ini dihadapkan pada kesiapan institusi perpajakan dalam
menghadapi tantangan pemajakan atas dinamika kegiatan entitas bisnis. Penelitian ini
menggunakan paradigma kontruktivis dengan metode penelitian kualitatif. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, studi dokumentasi serta
wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan budaya organisasi
terjadi di Direktorat Jenderal Pajak, namun bersifat incremental, berbeda dengan
perubahan struktur organisasi dan infrastruktur pendukung pelaksanaan core business yang
demikian progresif. Selain itu, perubahan gaya kepemimpinan juga masih belum bersifat
transformatif. Dengan demikian, upaya untuk menginternalisasikan budaya organisasi yang
telah diciptakan menjadi nilai-nilai bersama dalam kegiatan sehari-hari serta perubahan
gaya kepemimpinan yang transformative masih sangat diperlukan.

Daftar Pustaka

Sitepu, Y. S. (2011). Paradigma dalam Teori Organisasi dan Implikasinya pada Komunikasi
Organisasi. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, 1(2), 83-91.
Suci, N. M. (2019). The Evolution Of Management Thought. Jurnal Manajemen Dan Bisnis, 1(1).

Mokat, J. (2019). Kepemimpinan, Pengambilan Keputusan dan Diskresi. Jurnal Administro: Jurnal Kajian
Kebijakan dan ilmu Administrasi Negara, 1(1), 10-16.

Tambunan, M. R., & Anwar, R. (2019). Transformasi budaya organisasi otoritas perpajakan indonesia
menghadapi era ekonomi digital. Jurnal Aplikasi Bisnis Dan Manajemen (JABM), 5(2), 253-253.

Anda mungkin juga menyukai