Mitos
Istilah “mitos” (myth) berasal dari bahasa Yunani Kuno, mythos; seperti halnya banyak kata,
maknanya pun bergeser terus sepanjang masa. Di jaman Homer, awal dari sastra Yunani Kuno (sekitar
725 S.M.), mythos tidak selalu memiliki yang salah – seperti yang dipahami sekarang: mythos adalah
sama dengan fiksi; tak heran bila mythoi kemudian selalu dilawankan dengan logoi.
Dalam sejarahnya, mythos adalah sesuatu yang berhubungan dengan syair; sedangkan logos
adalah sesuatu yang berhubungan dengan prosa. Selain itu, mythos adalah sesuatu yang hanya
berhubungan dengan wicara (speech); sedangkan logos, walaupun ia juga berhubungan juga dengan
wicara, tetapi ia adalah sesuatu yang berhubungan dengan tulisan. Dalam perkembangannya, mythos
terarah pada sesuatu yang sifatnya hiburan (entertainment value); sedangkan logos pada sesuatu yang
ilmiah (scientific value) – yang menurut Thucydides akan mengurangi unsur hiburan. Hal ini
kemudian akan semakin membawa mythos pada membawa gagasan “cerita” (story) atau “kisah” (tale)
semata.
Di dunia Barat modern, mitos Yunani Kuno serta mitos dari bangsa-bangsa lain biasanya
dibaca, tetapi pada sastra Yunani Kuno awal, mythos yang berarti “kata” atau “kisah” (tale), adalah
sesuatu yang dibacakan di depan sekelompok audiens.
Pada Homer, narator bagi mythoi adalah penyair, aoidos, orang yang menjaga tradisi dan
pendidik bagi masyarakat. Pertunjukan publik menuntutnya untuk menyadari selera masyarakat; mitos
baru yang tidak disukai atau versi lama yang tidak diterima akan ditolak oleh masyarakat. Ketokohan
penyair di dalam masyarakat direfleksikan oleh statusnya yang nyaris supranatural. Puisi epiknya
diyakini dialiri oleh Muses yang “mengawasi segalanya”. Asal-usul ilahiah dari puisinya
memungkinkannya untuk menciptakan mitos baru atau mengubah isi yang lama.
Pada masa arkais, keseluruhan faktor yang rumit – seperti kolonisasi, tumbuhnya demokrasi,
dan dikenalnya tulisan dan uang – mengubah karakter masyarakat. Perubahan ini juga mengubah
kedudukan penyair, penerimaan atas mitos, dan audiens penyair. Selain itu juga, yang sangat penting,
2
Muses juga semakin berkedudukan lebih rendah. Semua itu menggambarkan peran yang semakin
lebih sekuler penyair di dalam masyarakat. Yang paling menentukan lagi, munculnya kemampuan
baca memungkinankan kaum intelektual “mengkoreksi” tradisi. Peran tradisional mythoi diserang oleh
para filsuf dan sejarawan.
Adanya dewa-dewa dan para “jagoan” (heroes) adalah sesuatu yang hakiki di dalam mitos
Yunani Kuno. Unsur supranatural hanya ada saat agama tertanam di dalam masyarakat. Masyarakat
Barat yang semakin sekuler nyaris melenyapkan hal-hal supranatural, tetapi masyarakat itu masih
memiliki kisah-kisah (sejarah) favorit yang berfungsi menjadi model tingkah-laku, atau sebagai
ekspresi dari ideal mereka.
*****