A. Pengantar
Dalam banyak catatan buku pengantar dijelaskan bahwa kaum Sofis hidup
bersamaan dengan Sokrates. Dengan demikian, memang ada kesamaan pendapat
di antara keduanya. Menurut Cicero1, Sokrates memindahkan filsafat dari langit
ke bumi, artinya sasaran yang diselidiki bukan lagi jagat raya, melainkan
manusia. Akan tetapi bukan hanya Sokrates yang berbuat demikian, kaum Sofis
juga. Mereka juga menjadikan manusia menjadi sasaran pemikiran mereka.
Itulah sebabnya Aristophanes2 sempat mengira dan salah menyebut bahwa
Sokrates seorang sofis. Sekalipun demikian ada perbedaan yang besar antara
Sokrates dan kaum Sofis. Sebab di sinilah titik tolaknya, filsafat Sokrates adalah
suatu reaksi dan suatu kritik terhadap pemikiran kaum Sofis.3
Fenomena Sofisme membelah para penafsir. Yang satu melihat kaum Sofis
sebagai guru-guru yang hanya peduli uang dan mendiskreditkan kebijaksanaan
tradisional yang serba gratis. Kaum Sofis dianggap mewakili gejala merosotnya
moral dan keringnya spekulasi intelektual yang terlepas dari kenyataan, karena
kursus pendidikan mereka hanya peduli pada bagaimana memenangkan
argumen. Yang lain melihat Sofisme sebagai asal-usul sistem persekolahan
modern, dan kaum Sofis adalah kaum cerah, yang membebaskan pikiran.4
Untuk melihat jejak perkembangan kaum sofis dan perselisihannya dengan
Socrates, kita perlu melihat peradaban Athena terlebih dahulu.
1
Cicero atau Marcus Tullius Cicero (Pengucapan Latin: [ˈmaːrkʊs ˈtʊlːijʊs ˈkɪkɛroː]) (lahir 3 Januari 106 SM - meninggal 7 Desember 43
SM) adalah filsuf, orator yang memiliki keterampilan handal dalam retorika, pengacara, penulis, dan negarawan Romawi kuno. Cicero
merupakan tokoh besar mazhab filsafat Stoa yang populer pada abad 4 SM (Sebelum Masehi) sampai abad 2 M (Masehi).
2
Aristophanes (Bahasa Yunani: Ἀριστοφάνης, ± 448 SM – ± 385 SM) adalah dramawan Yunani Kuno. Ia terkenal karena menulis
karya-karya drama dengan genre komedi seperti The Birds dan The Clouds. Ia juga muncul sebagai salah satu karakter dalam karya
terkenal Socrates, Symposium.
3
Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius. 1980. Hal. 32.
4
A. Setyo Wibowo. Pengantar Sejarah Filsafat Yunani 1: Sofisme. Serambi Salihara, 12 Maret 2016, 16:00 WIB.
Kaum Sofis muncul sekitar tahun 450-380 SM, periode kejayaan Athena
setelah dua kali menang perang melawan Persia 5 sampai mulai mundurnya
Athena akibat perang saudara melawan Sparta. Selain itu, di sebagian besar kota
Yunani pada saat itu, dan khususnya di negara demokrasi seperti Athena,
keunggulan manusia (kebajikan) terkait erat dengan kepemimpinan politik.
Untuk menjadi pemimpin politik, seseorang harus pandai berbicara di depan
umum, untuk meyakinkan warga bahwa pandangan dan kebijakan politiknya
benar. Jadi, banyak orang menginginkan apa yang dijual kaum Sofis.
Pertama, Peradaban Yunani. Bangsa Yunani Kuno terdiri atas
berbagai suku bangsa. Mereka mendiami wilayah yang disebut "negara
kota" atau "polis." Polis yaitu sebuah kota yang terbentang sebagai pusat kota
dengan daerah pedesaan di sekitarnya. Setiap polis didiami oleh masyarakat
merdeka dengan hak pemerintahan sendiri. Polis pada hakikatnya adalah sebuah
negara kecil yang merdeka. Di Yunani terdapat tiga polis besar dan kuat yaitu
Athena, Sparta, dan Thebe.6
Bangsa Yunani merupakan campuran antara penduduk asli dan pendatang
yang berasal dari padang rumput sekitar Laut Kaspia. Mereka termasuk ras Indo-
Jerman yang disebut bangsa Hellas yang gagah berani. Mereka berimigrasi sejak
2000 SM, kemudian menetap di berbagai daerah. Suku bangsa Doria menetap di
Jazirah Peloponesos dengan polis utamanya Sparta. Suku bangsa lonia menetap
di Jazirah Attica dengan polis utamanya Athena. Suku bangsa Aeolia menetap di
Yunani Utara dengan polis utamanya Delphi. Negeri yang berkembang mula-
mula di daratan Yunani adalah kota perdagangan Mycenayang semula
merupakan daerah koloni Kerajaan Kreta. Kemudian, berkembanglah ratusan
polis di Yunani. Hubungan antarpolis di Yunani antara lain dalam perdagangan
ataupun pertukaran ide/gagasan yang kemudian membentuk peradaban Yunani.
Masyarakat Yunani bangga sebagai warga kota. Mereka merasa superior
sedangkan yang tinggal di luar polis dianggap sebagai bangsa bar-bar. Rasa
superioritas itu kemudian tampak pada masyarakat yang tinggal di polis-polis
terkemuka di Yunani antara lain Sparta dan Athena. Bangsa Yunani sulit bersatu
5
Susan Wise Bauer. Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita Tertua Sampai Jatuhnya Roma. Terj. Oleh Aloysius Prasetya A. 2007. Jakarta:
Gramedia. Hal. 608.
6
Wulan Sondarika. Peradaban Yunani Kuno. Jurnal Artefak Vol. 3 No. 2 – Agustus 2015. Hal. 195 - 206.
karena antarpolis saling bersaing untuk memperebutkan puncak kekuasaan.
Namun, pada saat menghadapi ancaman bangsa lain antara polis Sparta dan
Athena kemudian bersatu sehingga memperoleh kemenangan.
Kedua, Tata Pemerintahan. Tata pemerintahan Athena digariskan oleh
Solon (sekitar 600 SM) dan sifatnya oligarkis demokratis. Pemerintahan
berada di tangan orang baik-baik, tetapi kekuasaan berada di tangan rakyat.
Solon mengeluarkan peraturan yang menguntungkan rakyat, misalnya melarang
perbudakan. Rakyat kecil diberi wakil dalam Dewan Rakyat. Yunani memilki
seorang negarawan lain yang bernama Pericles (460-429 SM). Untuk menjamin
keamanan negerinya dari gangguan bangsa asing, ia mengadakan perjanjian
dengan Sparta (446 SM). Untuk memakmurkan rakyatnya perdagangan diatur
dengan baik sehingga Athena menjadi pusat kegiatan perdagangan di Laut
Tengah. Kemakmuran tersebut menyebabkan kebudayaan Yunani berkembang
pesat. Yunani tidak memiliki sistem pemerintahan sentralisasi tetapi
desentralisasi karena tiap-tiap polis mengembangkan sistem pemerintahan
masing-masing. Sistem pemerintahan dari dua polis terkemuka di Yunani, yaitu
Sparta dan Athena dengan konstitusi yang berbeda.7
Athena merupakan polis yang menerapkan sistem demokrasi. Dengan
sistem itu, kekuasaan berada di tangan dewan rakyat. Pelaksanaan pemerintahan
dilakukan oleh sembilan orang archon yang setiap tahun diganti. Para archon
diawasi oleh Aeropagus (Mahkamah Agung) yang para anggotanya berasal dari
mantan anggota archon. Athena menghasilkan banyak filsuf yang pemikirannya
sangat berpengaruh pada kehidupan manusia hingga dewasa ini.
Ketiga, Sistem Kepercayaan. Kepercayaan bangsa Yunani Kuno adalah
Politeisme. Dewa tertinggi adalah Dewa Zeus, sebagai sumber kesusilaan,
pelindung, dan pencipta keadilan. Dewa-dewa lainnya adalah Ares (dewa
perang), Apollo (dewa kesenian), Pallas Athena (dewi pengetahuan), Aphrodite
(dewi kecantikan), Hermes (dewa perdagangan), Posiedon (dewa laut), dan
Artemis (dewa perburuan). Menurut kepercayaan Yunani Kuno, Para dewa
bersemayam di Bukit Olympus. Berbeda dengan sikap orang Timur terhadap
Dewa yang dipandang sebagai pribadi yang disembah karena takut, masyarakat
7
Ibid.
Yunani menggambarkan dewa-dewa yang disembahnya bertubuh dan
berperilaku seperti manusia. Bahkan orang Athena menyatakan diri mereka
sebagai keturunan Ion, yaitu anak Dewa Apollo.8
Menurut pandangan Yunani, dewa-dewa itu memiliki tubuh seperti
manusia tetapi lebih besar, lebih indah serta tidak dapat mati. Dewa-dewi
memiliki sifat seperti manusia, ada yang baik dan buruk. Dewa-dewi
berkeluarga, berperang, dan bersaing untuk mempertahankan kekuasaan. Selain
dewa-dewi, mereka juga memuja hero (pahlawan), yaitu manusia setengah dewa
yang sakti namun dapat mati. Salah seorang hero yang terkenal adalah Hercules.
Dewa dewi itu antara lain ada yang tinggal di Bukit Olympus dipimpin oleh
dewa tertinggi, yaitu Dewa Zeus yang beristri Hera, yaitu dewi asmara.
11
Op.cit. A. Setyo Wibowo.
12
Sandy Hardian Susanto Herho. Pijar Filsafat Yunani Klasik. Bandung: PSIK ITB. 2016. Hal. 43.
kelahirannya dalam rangka meminta bantuan kepada polis Athena untuk
mendukung pertempuran kotanya melawan Syrakusa. Belakangan, ia
memperoleh ketenaran akibat kesuksesan pengajaran pidatonya. Baginya, pidato
tidak lebih dari sekedar seni mempersuasi. Ia mencemooh guru yang
mengajarkan keutamaan hidup. Gagasan utama dalam karyanya, Peri Tou Mê
Ontos ê Peri Phuseos, dapat ditemukan dalam risalah Aristoteles (yang
dikumpulkan kembali oleh Andronikos), De Melisso, Xenophane, et Gorgia.
13
William J Prior. Op.cit. Hal. 39.
Mungkin agnostisismenya adalah hasil dari kunjungannya ke banyak kota
Yunani dan melihat para dewa dipanggil untuk membenarkan hukum yang
berbeda, bahkan bertentangan. Mungkin itu dihasilkan dari spekulasi para filsuf
Pra-Socrates, yang mengusulkan banyak alternatif kepada dewa-dewa tradisional
Homer dalam penyelidikan mereka tentang alam. Mungkin kepercayaan pada
dewa-dewa Olympian tampak aneh dan naif bagi Protagoras, sesuatu yang perlu
diganti dengan pandangan yang lebih "modern". Tentu saja, penolakannya
terhadap pertanyaan tentang keberadaan para dewa itu sendiri merupakan
langkah yang sangat modern, bahkan radikal; orang hampir tidak dapat
membayangkan tipikal orang Athena yang meninggalkan pertunjukan Oedipus
sang Raja yang mengungkapkan perasaan seperti itu.
Kedua. Relativisme Protagoras: ‘Manusia adalah Ukuran Bagi
Sesuatu’.14 Bagaimanapun, begitu Protagoras telah menyingkirkan dasar-dasar
ilahi dari lembaga-lembaga hukum, dia harus mencari dukungan lain untuk
mereka; murid-muridnya secara alami akan bertanya kepadanya apa yang
didasarkan pada keadilan, jika bukan kehendak ilahi. Protagoras melihat sifat
manusia untuk memberikan jawaban: "Manusia," katanya, "adalah ukuran dari
segala sesuatu, dari yang ada, dan yang bukan karena tidak ada" (Fragmen 1).
Pernyataan terpisah-pisah ini, kalimat tunggal paling terkenal yang kita miliki
dari kaum Sofis, rentan terhadap interpretasi yang berbeda. Mungkin yang
Protagoras maksud dengan hal itu adalah terserah kita, sebagai warga negara,
untuk menentukan sendiri apa yang adil atau tidak adil, dan bahwa kita tidak
boleh melihat ke standar eksternal seperti para dewa untuk memvalidasi pilihan
kita. Pada interpretasi ini, orang-orang secara kolektif yang memutuskan apa itu
keadilan dan, terlepas dari kenyataan bahwa pernyataan itu mengacu pada
"segala sesuatu". Ketika Plato menafsirkan pernyataan dalam buku Thaietetos,
bagaimanapun, itu berarti individu adalah hakim tertinggi dari kebenaran
pernyataan apa pun, dan pernyataan itu benar untuk setiap individu yang
mempercayainya. Dengan kata lain, Plato melihat Protagoras sebagai seorang
relativis subjektif, orang yang menganggap kebenaran suatu pernyataan relatif
terhadap persepsi satu individu.
14
William J. Prior. Op.cit.
Apa pun yang Protagoras maksudkan dengan ucapannya yang terkenal, dia
tentu saja menjadi semacam relativis: dia tidak dapat menemukan standar
kebenaran yang lebih tinggi daripada kesepakatan manusia. Jika orang Athena
dan orang Korintus tidak setuju tentang hukum, maka apa yang diputuskan orang
Athena hanya untuk mereka, dan apa yang diputuskan orang Korintus sama-sama
adil untuk mereka (orang Korintus). Pandangan ini memudahkan Protagoras
untuk mengajar di kota-kota yang berbeda tanpa menyinggung otoritas lokal,
karena ia dapat dengan hati nurani yang bersih menganjurkan agar murid-
muridnya mematuhi hukum dari berbagai negara bagian mereka. Hukum suatu
negara tidak didasarkan pada fusis atau alam, tetapi pada nomos atau kebiasaan,
tetapi itu tidak melemahkan klaim mereka atas otoritas, setidaknya di mata
Protagoras.
Tidak semua Sofis setuju dengan Protagoras dalam hal ini. Antifon Athena
berpendapat bahwa ada hukum alam yang berbeda dari hukum sipil
konvensional. Civic law yang didasarkan pada nomos, menuntut manusia untuk
melakukan banyak hal yang bertentangan dengan kodrat; hukum alam, di sisi
lain, memerintahkan agar orang bertindak untuk kepentingan mereka sendiri.
Misalnya, mungkin menguntungkan saya untuk melukai musuh saya, tetapi
hukum sipil melarang saya melakukannya kecuali untuk membela diri. Ketika
nomos dan fisis saling bertentangan, hal yang bijaksana untuk dilakukan adalah
mematuhi konvensi keadaan seseorang ketika seseorang sedang diamati di depan
umum, tetapi mengikuti alam secara pribadi, ketika seseorang yakin dia tidak
akan ketahuan. Sebuah teori seperti ini memerlukan beberapa penjelasan tentang
apa yang "nyata" atau kepentingan alami seseorang, tetapi ini tidak diberikan
oleh kaum Sofis. Antiphon tampaknya berasumsi bahwa manusia pada dasarnya
adalah pencari kesenangan yang egois; versi ekstrim dari gambaran sifat manusia
ini disajikan oleh Sofis Thrasymachus di Plato's Republic. Jelas, jika ini adalah
sifat sejati manusia, kehidupan yang baik dan kebajikan akan berbeda dari apa
yang secara tradisional dianggap orang Yunani.
Kaum Sofis tidak berhasil menggantikan pandangan tradisional tentang
sifat manusia, keadilan, kebajikan dan hukum dengan pandangan baru mereka
sendiri. Sebagian kegagalan ini disebabkan oleh ketidaksepakatan di antara
mereka sendiri tentang isi dari pandangan baru tersebut, contohnya adalah
ketidaksepakatan antara Protagoras dan Antiphon yang disebutkan di atas. Kaum
Sofis mungkin telah setuju dengan kritik Protagoras tentang dasar ilahi hukum,
tetapi mereka tidak setuju dengannya atau satu sama lain tentang apa yang harus
menggantikannya. Sebagian kegagalan mereka adalah karena sifat radikal dari
pikiran mereka. Pandangan mereka sangat berbeda dari tradisi di mana warga
Yunani dibesarkan sehingga mereka tidak bisa mendapatkan simpati dari
masyarakat umum. Akhirnya, mereka gagal sebagian karena teori-teori baru yang
mereka anjurkan tidak membantu mereka dalam tugas praktis mereka untuk
menjadi pemimpin politik yang unggul. Relativisme Protagoras tidak
menawarkan cara untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul dalam
keadaan antara para pemimpin faksi yang berseberangan. Ketika dihadapkan
dengan perselisihan tentang tindakan yang harus diikuti oleh suatu negara, warga
negara secara alami akan melihat ke arah standar keadilan atau keuntungan yang
objektif untuk menentukan tindakan mana yang sebenarnya lebih baik.
Pandangan Protagoras, bagaimanapun, tidak memiliki ruang untuk standar
seperti itu; orang hanya bisa menentukan tindakan apa yang benar setelah itu
disahkan menjadi undang-undang!
Meskipun kaum Sofis tidak berhasil menggantikan tradisi dengan
pandangan mereka sendiri, mereka melemahkan kepercayaan publik terhadap
tradisi itu. Ketika mereka mengajar siswa mereka bahwa hukum kota asal
mereka didasarkan pada adat daripada sanksi ilahi, ini pasti melemahkan rasa
hormat siswa terhadap hukum tersebut; karena sulit untuk melihat mengapa
seseorang harus menganggap keputusan yang dibuat oleh orang-orang dari
generasi sebelumnya sebagai sesuatu yang suci. Tidak jelas berapa banyak orang
Yunani abad kelima yang meninggalkan moralitas tradisional dan menganut
pandangan kaum Sofis. Mungkin hanya minoritas kecil yang melakukannya;
tetapi minoritas ini tidak diragukan lagi mencakup banyak anggota paling cerdas
dari generasi muda Yunani, yang merupakan sumber utama murid bagi kaum
Sofis. Terlepas dari keberhasilan mereka dalam memenangkan petobat, kaum
Sofis dianggap sebagai fenomena budaya yang signifikan.
Efek bersih dari kaum Sofis, kemudian, adalah untuk melemahkan
kepercayaan publik pada pandangan tradisional tentang moralitas, tanpa
menggantikan tradisi baru yang memuaskan. Dengan tidak adanya alternatif
seperti itu, orang mungkin berpikir bahwa perbedaan moral tidak memiliki dasar
sama sekali, dengan kata lain, orang mungkin menjadi skeptis moral. Bagi
seorang skeptis moral, semua penilaian moral menjadi bermasalah, diragukan;
lebih buruk lagi, usaha untuk mencoba menentukan tindakan yang tepat
tampaknya tidak ada harapan. Kaum Sofis sendiri tidak skeptis, karena mereka
yakin akan keunggulan penilaian mereka sendiri atas dasar penilaian moral
dibandingkan dengan yang diberikan oleh tradisi; tetapi skeptisisme adalah
warisan dari kegagalan mereka untuk menggantikan tradisi dengan pandangan
mereka sendiri.
Banyak orang Yunani tradisional, melihat hasil skeptis dari gerakan
Sofistik, bereaksi dengan marah terhadap pandangan kaum Sofis. Kaum Sofis
menghasilkan, dengan kata lain, reaksi konservatif. Di Athena reaksi balik ini
diperparah dengan keyakinan bahwa ajaran Sofistik telah menghasilkan
kepemimpinan politik yang buruk, dan bahwa kepemimpinan ini telah kalah
dalam Perang Peloponnesia. Namun banyak penentang kaum Sofis berada dalam
posisi yang canggung. Mereka menolak konsekuensi dari ajaran Sofis tetapi,
bukan sebagai filsuf itu sendiri, mereka tidak dapat menunjukkan di mana
argumen kaum Sofis salah. Sangat frustasi berada dalam posisi seperti itu dan ini
membantu menjelaskan kemarahan para penentang kaum Sofis. Ini adalah salah
satu ironi dari sejarah filsafat bahwa korban utama dari reaksi ini adalah
Socrates, seorang pria yang menolak ajaran kaum Sofis dan pada kenyataannya
adalah lawan intelektual utama mereka.
Ketiga. Georgias dan Nihilistik.15 Ajaran Gorgias sepenuhnya bersifat
nihilistik. Pokok – pokok ajaran Gorgias dapat diringkas menjadi suatu trilemma
dalam fragmen berjudul On Not-Being or On Nature.
a) nothing exists; tidak ada sesuatu, atau, yang ada hanyalah «ketiadaan»,
15
Paul Woordruff. Op.cit.
b) that even if it exists, it is incapable of being apprehended (akatalepton) ;
kalau pun «ketiadaan» itu ada, ia tidak bisa ditangkap (pikiran),
c) that even if it can be apprehended, it cannot be communicated to
another; kalau pun «ketiadaan» bisa ditangkap, maka ia tak bisa
dikomunikasikan pada orang lain (John Gibert, 2003, hl. 35).
Lewat seni persuasi kata-kata, Gorgias dengan enteng membuktikan bahwa
kebalikannya juga mungkin. Kalau Parmenides yakin bahwa “yang ada, ada;
yang tidak ada, tidak ada”, maka Gorgias sebaliknya menyatakan “tidak ada
sesuatupun, tidak ada realitas apa pun, yang ada hanyalah ketiadaan”. Bila
Parmenides committed pada “ada”, maka Gorgias mampu menunjukkan bahwa
siapa pun bisa committed pada “ketiadaan”. Bila “ada”-nya Parmenides
sedemikian penuh, menyeluruh, menyatu dengan pikiran, sehingga tak
terkatakan, maka Gorgias pun menunjukkan hal yang sama: “ketiadaan” tak
mungkin dikomunikasikan.16
Retorika adalah ilmu persuasi. Yakin pada kekuatan kata-kata, Retorika
tidak terlalu peduli pada “what is” (pada realitas, pada fakta, apa yang ada seada-
adanya). Kalau sikapnya yang uncommitted terhadap realitas dituduh mengada-
adakan apa yang tidak ada, Retorika membela diri dengan mengatakan bahwa
jika yang ia katakan memang “tidak ada”, seharusnya tidak mungkin ditangkap
apalagi dikomunikasikan. Jadi bagaimana? Retorika akan membiarkan kita
kebingungan: di satu sisi, berarti apa yang dikatakannya pasti entah bagaimana
berhubungan dengan realitas tertentu (karena terkomunikasikan dan bisa kita
tangkap), tetapi di sisi lain, kita tetap tidak yakin apakah realitas yang dirujuknya
itu ada atau tidak ada karena apa yang dikatakan tampak mengada-ada saja.
Dengan teknik logikanya, Gorgias membuktikan kebalikan dari apa yang
biasa dipercayai orang. Persis itulah yang disebut Sofisme yang tidak jauh dari
logika bengkok. Lebih gawat lagi, dengan cara seperti itu, Gorgias sedang
menjungkirbalikkan moral sehari-hari yang dipegang orang Yunani. Gorgias
menunjukkan kepada kita bahwa persuasive speech (kata-kata persuasif)
merupakan alat yang bisa digunakan untuk apa pun: tujuan baik maupun tujuan
buruk. Sebagai alat yang indifferen, kata-kata (logos) adalah sarana yang ampuh.
16
A Setyo Wibowo. Op.cit.
Logos adalah powerful lord yang dengan subtil masuk ke diri kita, mencegah
kegalauan hati, menciptakan kegembiraan, atau memunculkan rasa belas kasihan
(bdk. John Gibert, 2003, hl. 35)
20
Harun Hadiwijono. Op.cit. Hal. 35-38.
21
Frederick Copleston. Op.cit.
Pengetahuan kita tentang dirinya kita terima dari para muridnya. Padahal
murid Sokrates ada banyak sekali, yang tulisannya juga bermacam-macam
tentang dia. Pada umumnya pemberitaan yang dipandang sebagai pemberitaan
yang lebih dapat dipercaya adalah pemberitaan Plato dan Aristoteles.