Anda di halaman 1dari 23

Jejak Pemikiran Sofisme dan Socrates

Oleh Angga T Sanjaya

A. Pengantar
Dalam banyak catatan buku pengantar dijelaskan bahwa kaum Sofis hidup
bersamaan dengan Sokrates. Dengan demikian, memang ada kesamaan pendapat
di antara keduanya. Menurut Cicero1, Sokrates memindahkan filsafat dari langit
ke bumi, artinya sasaran yang diselidiki bukan lagi jagat raya, melainkan
manusia. Akan tetapi bukan hanya Sokrates yang berbuat demikian, kaum Sofis
juga. Mereka juga menjadikan manusia menjadi sasaran pemikiran mereka.
Itulah sebabnya Aristophanes2 sempat mengira dan salah menyebut bahwa
Sokrates seorang sofis. Sekalipun demikian ada perbedaan yang besar antara
Sokrates dan kaum Sofis. Sebab di sinilah titik tolaknya, filsafat Sokrates adalah
suatu reaksi dan suatu kritik terhadap pemikiran kaum Sofis.3
Fenomena Sofisme membelah para penafsir. Yang satu melihat kaum Sofis
sebagai guru-guru yang hanya peduli uang dan mendiskreditkan kebijaksanaan
tradisional yang serba gratis. Kaum Sofis dianggap mewakili gejala merosotnya
moral dan keringnya spekulasi intelektual yang terlepas dari kenyataan, karena
kursus pendidikan mereka hanya peduli pada bagaimana memenangkan
argumen. Yang lain melihat Sofisme sebagai asal-usul sistem persekolahan
modern, dan kaum Sofis adalah kaum cerah, yang membebaskan pikiran.4
Untuk melihat jejak perkembangan kaum sofis dan perselisihannya dengan
Socrates, kita perlu melihat peradaban Athena terlebih dahulu.

B. Peradaban Athena, Era Keemasan Yunani Kuno: Latar Belakang


Kedatangan Kaum Sofis.

1
Cicero atau Marcus Tullius Cicero (Pengucapan Latin: [ˈmaːrkʊs ˈtʊlːijʊs ˈkɪkɛroː]) (lahir 3 Januari 106 SM - meninggal 7 Desember 43
SM) adalah filsuf, orator yang memiliki keterampilan handal dalam retorika, pengacara, penulis, dan negarawan Romawi kuno. Cicero
merupakan tokoh besar mazhab filsafat Stoa yang populer pada abad 4 SM (Sebelum Masehi) sampai abad 2 M (Masehi).
2
Aristophanes (Bahasa Yunani: Ἀριστοφάνης, ± 448 SM – ± 385 SM) adalah dramawan Yunani Kuno. Ia terkenal karena menulis
karya-karya drama dengan genre komedi seperti The Birds dan The Clouds. Ia juga muncul sebagai salah satu karakter dalam karya
terkenal Socrates, Symposium.
3
Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius. 1980. Hal. 32.
4
A. Setyo Wibowo. Pengantar Sejarah Filsafat Yunani 1: Sofisme. Serambi Salihara, 12 Maret 2016, 16:00 WIB.
Kaum Sofis muncul sekitar tahun 450-380 SM, periode kejayaan Athena
setelah dua kali menang perang melawan Persia 5 sampai mulai mundurnya
Athena akibat perang saudara melawan Sparta. Selain itu, di sebagian besar kota
Yunani pada saat itu, dan khususnya di negara demokrasi seperti Athena,
keunggulan manusia (kebajikan) terkait erat dengan kepemimpinan politik.
Untuk menjadi pemimpin politik, seseorang harus pandai berbicara di depan
umum, untuk meyakinkan warga bahwa pandangan dan kebijakan politiknya
benar. Jadi, banyak orang menginginkan apa yang dijual kaum Sofis.
Pertama, Peradaban Yunani. Bangsa Yunani Kuno terdiri atas
berbagai suku bangsa. Mereka mendiami wilayah yang disebut "negara
kota" atau "polis." Polis yaitu sebuah kota yang terbentang sebagai pusat kota
dengan daerah pedesaan di sekitarnya. Setiap polis didiami oleh masyarakat
merdeka dengan hak pemerintahan sendiri. Polis pada hakikatnya adalah sebuah
negara kecil yang merdeka. Di Yunani terdapat tiga polis besar dan kuat yaitu
Athena, Sparta, dan Thebe.6
Bangsa Yunani merupakan campuran antara penduduk asli dan pendatang
yang berasal dari padang rumput sekitar Laut Kaspia. Mereka termasuk ras Indo-
Jerman yang disebut bangsa Hellas yang gagah berani. Mereka berimigrasi sejak
2000 SM, kemudian menetap di berbagai daerah. Suku bangsa Doria menetap di
Jazirah Peloponesos dengan polis utamanya Sparta. Suku bangsa lonia menetap
di Jazirah Attica dengan polis utamanya Athena. Suku bangsa Aeolia menetap di
Yunani Utara dengan polis utamanya Delphi. Negeri yang berkembang mula-
mula di daratan Yunani adalah kota perdagangan Mycenayang semula
merupakan daerah koloni Kerajaan Kreta. Kemudian, berkembanglah ratusan
polis di Yunani. Hubungan antarpolis di Yunani antara lain dalam perdagangan
ataupun pertukaran ide/gagasan yang kemudian membentuk peradaban Yunani.
Masyarakat Yunani bangga sebagai warga kota. Mereka merasa superior
sedangkan yang tinggal di luar polis dianggap sebagai bangsa bar-bar. Rasa
superioritas itu kemudian tampak pada masyarakat yang tinggal di polis-polis
terkemuka di Yunani antara lain Sparta dan Athena. Bangsa Yunani sulit bersatu
5
Susan Wise Bauer. Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita Tertua Sampai Jatuhnya Roma. Terj. Oleh Aloysius Prasetya A. 2007. Jakarta:
Gramedia. Hal. 608.
6
Wulan Sondarika. Peradaban Yunani Kuno. Jurnal Artefak Vol. 3 No. 2 – Agustus 2015. Hal. 195 - 206.
karena antarpolis saling bersaing untuk memperebutkan puncak kekuasaan.
Namun, pada saat menghadapi ancaman bangsa lain antara polis Sparta dan
Athena kemudian bersatu sehingga memperoleh kemenangan.
Kedua, Tata Pemerintahan. Tata pemerintahan Athena digariskan oleh
Solon (sekitar 600 SM) dan sifatnya oligarkis demokratis. Pemerintahan
berada di tangan orang baik-baik, tetapi kekuasaan berada di tangan rakyat.
Solon mengeluarkan peraturan yang menguntungkan rakyat, misalnya melarang
perbudakan. Rakyat kecil diberi wakil dalam Dewan Rakyat. Yunani memilki
seorang negarawan lain yang bernama Pericles (460-429 SM). Untuk menjamin
keamanan negerinya dari gangguan bangsa asing, ia mengadakan perjanjian
dengan Sparta (446 SM). Untuk memakmurkan rakyatnya perdagangan diatur
dengan baik sehingga Athena menjadi pusat kegiatan perdagangan di Laut
Tengah. Kemakmuran tersebut menyebabkan kebudayaan Yunani berkembang
pesat. Yunani tidak memiliki sistem pemerintahan sentralisasi tetapi
desentralisasi karena tiap-tiap polis mengembangkan sistem pemerintahan
masing-masing. Sistem pemerintahan dari dua polis terkemuka di Yunani, yaitu
Sparta dan Athena dengan konstitusi yang berbeda.7
Athena merupakan polis yang menerapkan sistem demokrasi. Dengan
sistem itu, kekuasaan berada di tangan dewan rakyat. Pelaksanaan pemerintahan
dilakukan oleh sembilan orang archon yang setiap tahun diganti. Para archon
diawasi oleh Aeropagus (Mahkamah Agung) yang para anggotanya berasal dari
mantan anggota archon. Athena menghasilkan banyak filsuf yang pemikirannya
sangat berpengaruh pada kehidupan manusia hingga dewasa ini.
Ketiga, Sistem Kepercayaan. Kepercayaan bangsa Yunani Kuno adalah
Politeisme. Dewa tertinggi adalah Dewa Zeus, sebagai sumber kesusilaan,
pelindung, dan pencipta keadilan. Dewa-dewa lainnya adalah Ares (dewa
perang), Apollo (dewa kesenian), Pallas Athena (dewi pengetahuan), Aphrodite
(dewi kecantikan), Hermes (dewa perdagangan), Posiedon (dewa laut), dan
Artemis (dewa perburuan). Menurut kepercayaan Yunani Kuno, Para dewa
bersemayam di Bukit Olympus. Berbeda dengan sikap orang Timur terhadap
Dewa yang dipandang sebagai pribadi yang disembah karena takut, masyarakat
7
Ibid.
Yunani menggambarkan dewa-dewa yang disembahnya bertubuh dan
berperilaku seperti manusia. Bahkan orang Athena menyatakan diri mereka
sebagai keturunan Ion, yaitu anak Dewa Apollo.8
Menurut pandangan Yunani, dewa-dewa itu memiliki tubuh seperti
manusia tetapi lebih besar, lebih indah serta tidak dapat mati. Dewa-dewi
memiliki sifat seperti manusia, ada yang baik dan buruk. Dewa-dewi
berkeluarga, berperang, dan bersaing untuk mempertahankan kekuasaan. Selain
dewa-dewi, mereka juga memuja hero (pahlawan), yaitu manusia setengah dewa
yang sakti namun dapat mati. Salah seorang hero yang terkenal adalah Hercules.
Dewa dewi itu antara lain ada yang tinggal di Bukit Olympus dipimpin oleh
dewa tertinggi, yaitu Dewa Zeus yang beristri Hera, yaitu dewi asmara.

C. Tentang Kaum Sofis: Ambivalensi dan Upaya Rekonstruksi


SOFISME sebenarnya bukan suatu mashab, melainkan suatu aliran, suatu
gerakan dalam bidang intelek pada abad kelima SM, selama "Zaman Keemasan"
sastra Yunani. Sebutan "sofis” mengalami perkembangan sendiri. Sebelum abad
ke 5 istilah ‘sofis’ dipersepsi secara positif, yakni bermakna sarjana,
cendekiawan. Pada abad ke-4 para sarjana atau cendekiawan bukan lagi disebut
"sofis", tetapi "filosofos", filsuf, sedang sebutan "sofis" dikenakan kepada para
guru yang berkeliling dari kota ke kota untuk mengajar. Akhirnya sebutan "sofis”
menjadi suatu sebutan yang tidak harum lagi, karena seorang sofis dianggap
sebagai "orang yang menipu orang lain dengan memakai alasan-alasan yang
tidak sah”9.
Negative claim trsebut telah mendorong beberapa ahli untuk berupaya
merekonstruksi definisi mengenai kaum sofis. Menurut catatan William J
Prior10, kata ‘sofis’ itu sendiri, bagaimanapun, secara harfiah berarti "orang
bijak", dan Protagoras, yang terbesar dari kelompok ini, tidak malu menyebut
dirinya seorang Sofis. Kaum Sofis adalah kelompok orang yang beragam,
sehingga sulit untuk membuat generalisasi menyeluruh tentang pandangan
mereka. Mereka melakukan perjalanan dari kota ke kota di Yunani, menawarkan
8
Ibid.
9
Harun Hadiwijono. Op.cit. Hal. 32-33.
10
William J Prior. “The Sophists And Socrates” in An Introduction to Ancient Greek Ethics. New York: Routledge. 2017. Hal. 38.
pengajaran dengan biaya tertentu. Apa yang mereka ajarkan bervariasi; beberapa
menawarkan instruksi dalam matematika dan astronomi, sedangkan yang lain
mengajar kursus tentang arti kata-kata. Namun, mereka paling dikenal karena
mengajarkan retorika, seni berbicara di depan umum, dan seni terkait
kepemimpinan politik.
Terkait hal itu, Paul Woodruff dalam Rhetoric and relativism: Protagoras
and Gorgias menyampaikan, kata sophistes dalam penggunaannya yang paling
awal merujuk pada orang bijak seperti penyair, dan masih muncul pada abad ke-
4 SM, sebagai istilah umum untuk para filsuf dan orator. Secara tendensius ia
juga mengatakan, di bawah pengaruh Plato, bagaimanapun, kata itu menjadi
memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dengan asosiasi khusus terhadap
retorika dan relativisme. Ini menyesatkan, karena di antara mata pelajaran yang
diajarkan oleh para sofis adalah pidato, etika, teori politik, hukum, sejarah,
mnemonik, sastra, matematika, dan astronomi. Beberapa sofis juga berurusan
dengan metafisika dan epistemologi.
Sedikit yang selamat dari banyak buku dan pidato yang dihasilkan oleh
para sofis. Pada pokok-pokok doktrin, kita sering dibiarkan menarik kesimpulan
spekulatif dari bukti yang tipis. Banyak dari apa yang kita yakini tentang kaum
sofis berasal dari Plato, yang kritis terhadap sebagian besar dari mereka karena
menampilkan diri mereka sebagai guru mata pelajaran yang menurutnya tidak
mereka pahami dengan benar. Karya Plato adalah fiksi sejarah yang ditulis lima
puluh tahun atau lebih setelah Protagoras membuat gelombang kejutan di
Athena, tujuannya lebih filosofis daripada historis, dan kita harus berhati-hati
untuk tidak tergoda oleh tulisannya yang jelas untuk menposisikan sebagai saksi
mata.
Menurut Woodruff, bagian dari tujuan Platon jelas untuk membuat
distingsi Socrates dari para sofis. Meskipun Plato memperlakukan Protagoras
dan Gorgias dengan hormat, dia membuat Socrates dengan mudah membantah
mereka, dan ketika dia menulis tentang sofis pada umumnya, Plato akan
berbicara dengan keras bahkan kasar. Penggambaran Plato tentang kaum sofis
telah memberi kita istilah "sophistical/canggih" untuk argumentasi yang licik.
Woodruff seolah mengikuti jejak sarjana abad kesembilan belas, George
Grote dengan memberikan pembelaan yang kuat dari para sofis dalam bukunya
Sejarah Yunani, dan sarjana terbaru lainnya telah berusaha untuk memisahkan
subjek mereka dari citra negatif yang melekat. Tempat sofis dalam sejarah
filsafat Yunani sekarang diakui secara luas.
Namun apakah konstruktif demikian memang objektif dalam menilai kaum
sofis? Lebih jauh, mari kita lihat pandangan-pandangan kaum sofis berikut ini.

D. Pemikiran Kaum Sofis: Nukilan dari Protagoras-Giorgias


Setidaknya Brisson mengatakan ada sepuluh nama yang diasosiasikan
dengan Sofisme: Protagoras dari Abdera, Gorgias dari Leontini, Prodikos dari
Keos, Thrasymakhos dari Khalsedonia, Hippias dari Elis, Euthydemos dari
Khios, Dionysodoros, Antiphon, Penulis Dissoi Logoi dan Anonim yang
disebut oleh Iamblikhos. Nama lain seperti Kritias, meski dipengaruhi cara
berpikir sofistik, tidak bisa secara ketat disebut Sofis karena ia adalah bangsawan
Athena. Sedangkan tokoh Kallikles, meski mempraktekkan argumentasi sofistik,
sulit dianggap Sofis karena kurangnya data di luar teks Platon 11. Dalam
pembicaraan tulisan ini, hanya akan dibahas dua nama kaum sofis yaitu
Protagoras dan Giorgias.
Protagoras lahir di Abdera sekitar tahun 486 SM. Ia menjalankan
profesinya sebagai guru privat pidato di Sisilia, Italia, dan Athena. Ia menyebut
dirinya sebagai Sophistês, yang berarti guru kebijaksanaan. Protagoras tidak
mengajarkan bidang ilmu yang spesifik, ia mengajarkan kepada anak – anak
didiknya tentang keutamaan menjadi warga negara, dan negarawan. Dalam
pengajarannya, Protagoras menghapuskan berbagai bentuk pengetahuan yang
dianggap tidak berguna. Protagoras didakwa sebagai seorang atheis di Athena.
Risalahnya dibakar, lalu ia melarikan diri menggunakan kapal yang naasnya ia
bersama kapal tersebut tenggelam karena kecelakaan, ia tewas pada 416 SM.12
Gorgias lahir di Leontini, Sisilia. Gorgas hidup sejaman dengan Sokrates.
Sekitar tahun 427 SM, ia tiba di Athena sebagai duta besar dari kota

11
Op.cit. A. Setyo Wibowo.
12
Sandy Hardian Susanto Herho. Pijar Filsafat Yunani Klasik. Bandung: PSIK ITB. 2016. Hal. 43.
kelahirannya dalam rangka meminta bantuan kepada polis Athena untuk
mendukung pertempuran kotanya melawan Syrakusa. Belakangan, ia
memperoleh ketenaran akibat kesuksesan pengajaran pidatonya. Baginya, pidato
tidak lebih dari sekedar seni mempersuasi. Ia mencemooh guru yang
mengajarkan keutamaan hidup. Gagasan utama dalam karyanya, Peri Tou Mê
Ontos ê Peri Phuseos, dapat ditemukan dalam risalah Aristoteles (yang
dikumpulkan kembali oleh Andronikos), De Melisso, Xenophane, et Gorgia.

Pertama, Protagoras yang Agnostik dan Meragukan Keberadaan Para


Dewa.13 Karena kaum Sofis mencari nafkah dengan bepergian dari kota ke kota,
mereka-harus berurusan dengan fakta bahwa hukum di Athena, katakanlah,
berbeda dengan hukum di Korintus. Seorang warga Athena atau Korintus secara
alami akan melihat hukum kotanya sebagai sumber keadilan, tetapi kaum Sofis
tidak dapat menyajikan pandangan mereka tentang keadilan di Athena dengan
mengacu pada hukum atau kebiasaan orang Korintus. Nah, dari sinilah Timbul
pertanyaan bagi kaum Sofis apakah keadilan sepenuhnya didasarkan pada nomos
(hukum kebiasaan), konvensi atau adat setempat, atau apakah ada dasar
tambahan di alam (fusis). Banyak doktrin yang kita kaitkan dengan kaum Sofis
muncul dari upaya mereka untuk memecahkan masalah ini.
Jawaban tradisional untuk masalah ini adalah bahwa keadilan disetujui
secara ilahi, maksudnya adalah mereka menyerahkan seutuhnya kepada para
dewa, dan khususnya Zeus, memastikan bahwa keadilan dihormati dan
ketidakadilan dihukum. Namun, kaum Sofis umumnya menanggalkan pandangan
tradisional tentang keadilan ini. Protagoras secara terbuka meragukan keberadaan
para dewa:
“Mengenai para dewa, saya tidak dapat mengatakan apakah mereka
ada atau tidak, atau seperti apa bentuknya; karena ada banyak rintangan
untuk pengetahuan: ketidakjelasan subjek dan singkatnya kehidupan
manusia.” (Fragmen 4; Guthrie, penerjemah). Guthrie, A History of Greek
Philosophy, six volumes (Cambridge University Press).

13
William J Prior. Op.cit. Hal. 39.
Mungkin agnostisismenya adalah hasil dari kunjungannya ke banyak kota
Yunani dan melihat para dewa dipanggil untuk membenarkan hukum yang
berbeda, bahkan bertentangan. Mungkin itu dihasilkan dari spekulasi para filsuf
Pra-Socrates, yang mengusulkan banyak alternatif kepada dewa-dewa tradisional
Homer dalam penyelidikan mereka tentang alam. Mungkin kepercayaan pada
dewa-dewa Olympian tampak aneh dan naif bagi Protagoras, sesuatu yang perlu
diganti dengan pandangan yang lebih "modern". Tentu saja, penolakannya
terhadap pertanyaan tentang keberadaan para dewa itu sendiri merupakan
langkah yang sangat modern, bahkan radikal; orang hampir tidak dapat
membayangkan tipikal orang Athena yang meninggalkan pertunjukan Oedipus
sang Raja yang mengungkapkan perasaan seperti itu.
Kedua. Relativisme Protagoras: ‘Manusia adalah Ukuran Bagi
Sesuatu’.14 Bagaimanapun, begitu Protagoras telah menyingkirkan dasar-dasar
ilahi dari lembaga-lembaga hukum, dia harus mencari dukungan lain untuk
mereka; murid-muridnya secara alami akan bertanya kepadanya apa yang
didasarkan pada keadilan, jika bukan kehendak ilahi. Protagoras melihat sifat
manusia untuk memberikan jawaban: "Manusia," katanya, "adalah ukuran dari
segala sesuatu, dari yang ada, dan yang bukan karena tidak ada" (Fragmen 1).
Pernyataan terpisah-pisah ini, kalimat tunggal paling terkenal yang kita miliki
dari kaum Sofis, rentan terhadap interpretasi yang berbeda. Mungkin yang
Protagoras maksud dengan hal itu adalah terserah kita, sebagai warga negara,
untuk menentukan sendiri apa yang adil atau tidak adil, dan bahwa kita tidak
boleh melihat ke standar eksternal seperti para dewa untuk memvalidasi pilihan
kita. Pada interpretasi ini, orang-orang secara kolektif yang memutuskan apa itu
keadilan dan, terlepas dari kenyataan bahwa pernyataan itu mengacu pada
"segala sesuatu". Ketika Plato menafsirkan pernyataan dalam buku Thaietetos,
bagaimanapun, itu berarti individu adalah hakim tertinggi dari kebenaran
pernyataan apa pun, dan pernyataan itu benar untuk setiap individu yang
mempercayainya. Dengan kata lain, Plato melihat Protagoras sebagai seorang
relativis subjektif, orang yang menganggap kebenaran suatu pernyataan relatif
terhadap persepsi satu individu.
14
William J. Prior. Op.cit.
Apa pun yang Protagoras maksudkan dengan ucapannya yang terkenal, dia
tentu saja menjadi semacam relativis: dia tidak dapat menemukan standar
kebenaran yang lebih tinggi daripada kesepakatan manusia. Jika orang Athena
dan orang Korintus tidak setuju tentang hukum, maka apa yang diputuskan orang
Athena hanya untuk mereka, dan apa yang diputuskan orang Korintus sama-sama
adil untuk mereka (orang Korintus). Pandangan ini memudahkan Protagoras
untuk mengajar di kota-kota yang berbeda tanpa menyinggung otoritas lokal,
karena ia dapat dengan hati nurani yang bersih menganjurkan agar murid-
muridnya mematuhi hukum dari berbagai negara bagian mereka. Hukum suatu
negara tidak didasarkan pada fusis atau alam, tetapi pada nomos atau kebiasaan,
tetapi itu tidak melemahkan klaim mereka atas otoritas, setidaknya di mata
Protagoras.
Tidak semua Sofis setuju dengan Protagoras dalam hal ini. Antifon Athena
berpendapat bahwa ada hukum alam yang berbeda dari hukum sipil
konvensional. Civic law yang didasarkan pada nomos, menuntut manusia untuk
melakukan banyak hal yang bertentangan dengan kodrat; hukum alam, di sisi
lain, memerintahkan agar orang bertindak untuk kepentingan mereka sendiri.
Misalnya, mungkin menguntungkan saya untuk melukai musuh saya, tetapi
hukum sipil melarang saya melakukannya kecuali untuk membela diri. Ketika
nomos dan fisis saling bertentangan, hal yang bijaksana untuk dilakukan adalah
mematuhi konvensi keadaan seseorang ketika seseorang sedang diamati di depan
umum, tetapi mengikuti alam secara pribadi, ketika seseorang yakin dia tidak
akan ketahuan. Sebuah teori seperti ini memerlukan beberapa penjelasan tentang
apa yang "nyata" atau kepentingan alami seseorang, tetapi ini tidak diberikan
oleh kaum Sofis. Antiphon tampaknya berasumsi bahwa manusia pada dasarnya
adalah pencari kesenangan yang egois; versi ekstrim dari gambaran sifat manusia
ini disajikan oleh Sofis Thrasymachus di Plato's Republic. Jelas, jika ini adalah
sifat sejati manusia, kehidupan yang baik dan kebajikan akan berbeda dari apa
yang secara tradisional dianggap orang Yunani.
Kaum Sofis tidak berhasil menggantikan pandangan tradisional tentang
sifat manusia, keadilan, kebajikan dan hukum dengan pandangan baru mereka
sendiri. Sebagian kegagalan ini disebabkan oleh ketidaksepakatan di antara
mereka sendiri tentang isi dari pandangan baru tersebut, contohnya adalah
ketidaksepakatan antara Protagoras dan Antiphon yang disebutkan di atas. Kaum
Sofis mungkin telah setuju dengan kritik Protagoras tentang dasar ilahi hukum,
tetapi mereka tidak setuju dengannya atau satu sama lain tentang apa yang harus
menggantikannya. Sebagian kegagalan mereka adalah karena sifat radikal dari
pikiran mereka. Pandangan mereka sangat berbeda dari tradisi di mana warga
Yunani dibesarkan sehingga mereka tidak bisa mendapatkan simpati dari
masyarakat umum. Akhirnya, mereka gagal sebagian karena teori-teori baru yang
mereka anjurkan tidak membantu mereka dalam tugas praktis mereka untuk
menjadi pemimpin politik yang unggul. Relativisme Protagoras tidak
menawarkan cara untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul dalam
keadaan antara para pemimpin faksi yang berseberangan. Ketika dihadapkan
dengan perselisihan tentang tindakan yang harus diikuti oleh suatu negara, warga
negara secara alami akan melihat ke arah standar keadilan atau keuntungan yang
objektif untuk menentukan tindakan mana yang sebenarnya lebih baik.
Pandangan Protagoras, bagaimanapun, tidak memiliki ruang untuk standar
seperti itu; orang hanya bisa menentukan tindakan apa yang benar setelah itu
disahkan menjadi undang-undang!
Meskipun kaum Sofis tidak berhasil menggantikan tradisi dengan
pandangan mereka sendiri, mereka melemahkan kepercayaan publik terhadap
tradisi itu. Ketika mereka mengajar siswa mereka bahwa hukum kota asal
mereka didasarkan pada adat daripada sanksi ilahi, ini pasti melemahkan rasa
hormat siswa terhadap hukum tersebut; karena sulit untuk melihat mengapa
seseorang harus menganggap keputusan yang dibuat oleh orang-orang dari
generasi sebelumnya sebagai sesuatu yang suci. Tidak jelas berapa banyak orang
Yunani abad kelima yang meninggalkan moralitas tradisional dan menganut
pandangan kaum Sofis. Mungkin hanya minoritas kecil yang melakukannya;
tetapi minoritas ini tidak diragukan lagi mencakup banyak anggota paling cerdas
dari generasi muda Yunani, yang merupakan sumber utama murid bagi kaum
Sofis. Terlepas dari keberhasilan mereka dalam memenangkan petobat, kaum
Sofis dianggap sebagai fenomena budaya yang signifikan.
Efek bersih dari kaum Sofis, kemudian, adalah untuk melemahkan
kepercayaan publik pada pandangan tradisional tentang moralitas, tanpa
menggantikan tradisi baru yang memuaskan. Dengan tidak adanya alternatif
seperti itu, orang mungkin berpikir bahwa perbedaan moral tidak memiliki dasar
sama sekali, dengan kata lain, orang mungkin menjadi skeptis moral. Bagi
seorang skeptis moral, semua penilaian moral menjadi bermasalah, diragukan;
lebih buruk lagi, usaha untuk mencoba menentukan tindakan yang tepat
tampaknya tidak ada harapan. Kaum Sofis sendiri tidak skeptis, karena mereka
yakin akan keunggulan penilaian mereka sendiri atas dasar penilaian moral
dibandingkan dengan yang diberikan oleh tradisi; tetapi skeptisisme adalah
warisan dari kegagalan mereka untuk menggantikan tradisi dengan pandangan
mereka sendiri.
Banyak orang Yunani tradisional, melihat hasil skeptis dari gerakan
Sofistik, bereaksi dengan marah terhadap pandangan kaum Sofis. Kaum Sofis
menghasilkan, dengan kata lain, reaksi konservatif. Di Athena reaksi balik ini
diperparah dengan keyakinan bahwa ajaran Sofistik telah menghasilkan
kepemimpinan politik yang buruk, dan bahwa kepemimpinan ini telah kalah
dalam Perang Peloponnesia. Namun banyak penentang kaum Sofis berada dalam
posisi yang canggung. Mereka menolak konsekuensi dari ajaran Sofis tetapi,
bukan sebagai filsuf itu sendiri, mereka tidak dapat menunjukkan di mana
argumen kaum Sofis salah. Sangat frustasi berada dalam posisi seperti itu dan ini
membantu menjelaskan kemarahan para penentang kaum Sofis. Ini adalah salah
satu ironi dari sejarah filsafat bahwa korban utama dari reaksi ini adalah
Socrates, seorang pria yang menolak ajaran kaum Sofis dan pada kenyataannya
adalah lawan intelektual utama mereka.
Ketiga. Georgias dan Nihilistik.15 Ajaran Gorgias sepenuhnya bersifat
nihilistik. Pokok – pokok ajaran Gorgias dapat diringkas menjadi suatu trilemma
dalam fragmen berjudul On Not-Being or On Nature.
a) nothing exists; tidak ada sesuatu, atau, yang ada hanyalah «ketiadaan»,
15
Paul Woordruff. Op.cit.
b) that even if it exists, it is incapable of being apprehended (akatalepton) ;
kalau pun «ketiadaan» itu ada, ia tidak bisa ditangkap (pikiran),
c) that even if it can be apprehended, it cannot be communicated to
another; kalau pun «ketiadaan» bisa ditangkap, maka ia tak bisa
dikomunikasikan pada orang lain (John Gibert, 2003, hl. 35).
Lewat seni persuasi kata-kata, Gorgias dengan enteng membuktikan bahwa
kebalikannya juga mungkin. Kalau Parmenides yakin bahwa “yang ada, ada;
yang tidak ada, tidak ada”, maka Gorgias sebaliknya menyatakan “tidak ada
sesuatupun, tidak ada realitas apa pun, yang ada hanyalah ketiadaan”. Bila
Parmenides committed pada “ada”, maka Gorgias mampu menunjukkan bahwa
siapa pun bisa committed pada “ketiadaan”. Bila “ada”-nya Parmenides
sedemikian penuh, menyeluruh, menyatu dengan pikiran, sehingga tak
terkatakan, maka Gorgias pun menunjukkan hal yang sama: “ketiadaan” tak
mungkin dikomunikasikan.16
Retorika adalah ilmu persuasi. Yakin pada kekuatan kata-kata, Retorika
tidak terlalu peduli pada “what is” (pada realitas, pada fakta, apa yang ada seada-
adanya). Kalau sikapnya yang uncommitted terhadap realitas dituduh mengada-
adakan apa yang tidak ada, Retorika membela diri dengan mengatakan bahwa
jika yang ia katakan memang “tidak ada”, seharusnya tidak mungkin ditangkap
apalagi dikomunikasikan. Jadi bagaimana? Retorika akan membiarkan kita
kebingungan: di satu sisi, berarti apa yang dikatakannya pasti entah bagaimana
berhubungan dengan realitas tertentu (karena terkomunikasikan dan bisa kita
tangkap), tetapi di sisi lain, kita tetap tidak yakin apakah realitas yang dirujuknya
itu ada atau tidak ada karena apa yang dikatakan tampak mengada-ada saja.
Dengan teknik logikanya, Gorgias membuktikan kebalikan dari apa yang
biasa dipercayai orang. Persis itulah yang disebut Sofisme yang tidak jauh dari
logika bengkok. Lebih gawat lagi, dengan cara seperti itu, Gorgias sedang
menjungkirbalikkan moral sehari-hari yang dipegang orang Yunani. Gorgias
menunjukkan kepada kita bahwa persuasive speech (kata-kata persuasif)
merupakan alat yang bisa digunakan untuk apa pun: tujuan baik maupun tujuan
buruk. Sebagai alat yang indifferen, kata-kata (logos) adalah sarana yang ampuh.
16
A Setyo Wibowo. Op.cit.
Logos adalah powerful lord yang dengan subtil masuk ke diri kita, mencegah
kegalauan hati, menciptakan kegembiraan, atau memunculkan rasa belas kasihan
(bdk. John Gibert, 2003, hl. 35)

Keempat, Retorika Kaum Sofis.17 Persuasi, kata Gorgias, "memiliki


kekuatan yang sama, tetapi tidak dalam bentuk sebagai paksaan," dan ia
memiliki kekuatan ini berdasarkan keterampilan yang diperoleh (teknik)
pembicara, terlepas dari benar atau tidaknya apa yang dikatakannya [Helen 13).
Dia menyandarkan klaim ini pada tiga contoh: astronom spekulatif persuasif
pada subjek yang tak terlihat hanya dengan pendapat; para filsuf menang dengan
kecepatan pemikiran mereka; dan pembicara di pengadilan hukum menang
berdasarkan keterampilan yang digunakan untuk menulis pidato mereka, bukan
karena menjadi benar.
Keterampilan dengan kata-kata yang bisa mengalahkan kebenaran di
pengadilan tidak dengan sendirinya menyiratkan filosofi skeptis atau relativistik.
Pandangan tersebut dapat dianut secara setara oleh orang yang menghormati
kebenaran (seperti yang diklaim Gorgias dalam Helen) atau oleh orang yang
menolak kemungkinan untuk mengatakan kebenaran sama sekali. Bahkan Plato
setuju dengan kekuatan pidato yang disajikan kepada kelompok besar; itulah
sebabnya dia menghadirkan Socrates di tempat kerja dalam konteks di mana
kebenaran memiliki peluang lebih baik untuk menjadi persuasif daripada di
pengadilan. Pengadilan Athena terdiri dari panel juri yang terlalu besar untuk
disuap, tetapi yang dengan mudah dapat diombang-ambingkan oleh retorika.
Socrates mengajukan banding, sebaliknya, pada keyakinan terdalam dari lawan
bicaranya saja, dan pada keyakinan ini adalah kebenaran, bukan keterampilan
salah satu pihak, yang seharusnya menjadi masalah.
Guru seni kata pertama yang diketahui adalah Corax dan Tisias di Sisilia.
Namun, mereka biasanya tidak terdaftar sebagai sofis. Guru pertama yang
disebut sofis adalah Gorgias, yang menguasai Athena dalam kunjungannya dari
Leontini pada tahun 427 SM. dan siapa yang berpengaruh besar pada generasi
orator berikutnyanya jelas merupakan subjek paling populer yang ditawarkan
17
Paul Woodruff. Op.cit
oleh para sofis. Munculnya demokrasi di Athena dan Sisilia selama abad kelima
telah memberikan kekuatan baru kepada pembicara yang kuat di pengadilan dan
majelis hukum, tetapi seni kata-kata bukanlah penemuan baru-baru ini. Orang
Yunani telah terpesona oleh pertunjukan berbicara di depan umum sejak Homer
dan selalu menghormati mereka yang berhasil dalam kontes pidato. Negarawan
seperti Themistokles berutang kesuksesan mereka pada pidato jauh sebelum sofis
muncul, dan pidato yang ditetapkan adalah fitur dari drama Yunani paling awal.
Di semua kota Yunani, tetapi terutama di negara-negara demokrasi, pidato yang
bagus memiliki tempat penting dalam hiburan, dalam badan-badan musyawarah,
dan di pengadilan hukum. Athena menawarkan setiap warga negara laki-laki
dewasa hak untuk berbicara dalam majelis, dan ini memberi orang-orang sibuk
yang tidak dipilih, yang dikenal sebagai demagog, kesempatan untuk
mempengaruhi kebijakan melalui berbicara di depan umum saja.
Sementara itu, pengadilan demokratis dapat merusak atau menyelamatkan
seseorang, tergantung (tampaknya) apakah penggugat atau pembela memberikan
pidato yang lebih baik, tetapi retorika tidak selalu menang dalam politik atau
memberikan keamanan di pengadilan hukum. Perikles, pembicara terbaik pada
zamannya, tidak berhasil dalam pembelaan hukumnya sendiri, dan pidato
pembelaan Antiphon, meskipun sukses di kalangan intelektual, tidak
menyelamatkannya dari eksekusi.
Kebenaran kata-kata. Ini adalah sebutan untuk ajaran oleh sejumlah
sofis, tetapi hanya dalam beberapa kasus kita tahu apa artinya. Gorgias
menekankan kebenaran kata-kata, tetapi karyanya memadukan pidato publik
dengan eufemisme dan metafora. Pandangan filosofis dari para sofis ialah tidak
dengan mudah mengizinkan standar kebenaran yang tetap; dan beberapa
cendekiawan telah menduga bahwa dengan "kebenaran" yang mereka
maksudkan adalah penggunaan bahasa yang efektif, yang akan sesuai dengan
relativisme karena bahasa yang sama mempengaruhi orang yang berbeda secara
berbeda.
Pidato yang ditentang. Seni menyajikan pidato-pidato yang bertentangan-
memberikan argumen di kedua sisi suatu masalah - diajarkan oleh Protagoras dan
sofis lainnya. Seni ini terkait dengan "membuat argumen yang lebih lemah
menjadi lebih kuat," yang, mengingat ambiguitas kata-kata Yunani, berarti juga
"membuat argumen yang salah menjadi benar." Pidato tampilan Gorgias yang
masih tersisa menggambarkan bagaimana argumen yang cerdas dapat
memperkuat kasus yang lemah. Praktek ini dilakukan terhadap banyak sofis dan
merupakan bagian dari tuduhan tak terucapkan terhadap Socrates (Plato Apol.
18b). Argumen yang berlawanan, seperti argumen untuk membela kasus yang
lemah, biasanya menggunakan konsep eikos, yang melibatkan semacam
relativitas.
Eikos dan euboulia. Mengajukan banding argumen untuk harapan yang
masuk akal [eikos, kemungkinan-kemungkinan) adalah skema argumen yang
paling umum diajarkan oleh sofis. Itu digunakan secara luas dalam pidato
forensik dan deliberatif, dan juga memiliki fungsi yang berguna dalam apa yang
sekarang kita sebut ilmu sosial. Contoh yang baik dapat ditemukan dalam pidato
Gorgias. Seorang kaya yang dituduh mencuri jubah, misalnya, dapat menarik
harapan bahwa orang kaya tidak akan repot-repot mencuri jubah, karena tidak
perlu mengekspos dirinya pada risiko melakukannya ketika dia bisa membelinya.
Antiphon didakwa sebagai pemimpin kudeta oligarki 411 SM; fragmen pidato
pembelaannya yang masih bertahan bergantung sepenuhnya pada eikos, dengan
alasan bahwa motif yang diharapkan untuk membuat marah pemerintah tidak
diperoleh dalam kasusnya: tidak akan eikos bagi seorang orator untuk
menginginkan runtuhnya oligarki, karena ada pasar yang lebih kecil untuk pidato
di bentuk pemerintahan itu.
Keutamaan penilaian eikos yang baik bukanlah landasan empirisnya, tetapi
relevansi informasi yang membingkainya. Aristoteles mengatakan dalam bagian
yang dikutip bahwa penggunaan Protagoras dari penalaran seperti itu
menimbulkan kemarahan publik karena tampaknya membuat argumen yang
lebih lemah menjadi lebih kuat. Cara seperti itu menimbulkan ketakutan bahwa
seorang pembicara yang baik dapat berhasil membela seorang penjahat atau
menghukum orang yang tidak bersalah. Jika tidak ada saksi untuk menyelesaikan
masalah tersebut, dan penilaian tidak dapat memutuskan informasi mana yang
lebih relevan dengan kasus tersebut, kontes pidato yang menarik bagi eikos dapat
menjadi sekadar kontes antara kekuatan persuasif dari kedua pembicara. Dalam
kasus seperti itu, seorang pembicara dapat berargumentasi dengan baik di satu
sisi suatu masalah sebagaimana dia dapat berargumentasi di sisi lain, jika dia
dilatih untuk melakukannya.
Bagi Plato, kemungkinan argumen yang sama-sama kredibel di kedua sisi
berakibat fatal bagi integritas moral pidato forensik; orang yang serius harus
menyibukkan diri dengan hal-hal dunia lain. Tetapi bagi mereka yang peduli
dengan politik dan hukum praktis, seperti Protagoras, bahaya penalaran oleh
eikos akan menunjukkan pentingnya euboulia (penilaian yang baik) - suatu
kebajikan yang dihormati di antara orang Yunani selain Plato. Penilaian yang
baik membuat perbedaan yang sangat penting antara retorika yang rumit dan
penyelidikan serius ke dalam arena manusia di mana pengetahuan yang kuat
tidak mungkin.

E. Sekilas Kehidupan dan Pemikiran Socrates


Pengaruh kaum Sofis tidak sepenuhnya negatif. Mereka berhasil
mengangkat secara eksplisit banyak pertanyaan filosofis kunci tentang etika
untuk pertama kalinya, dan praktik mereka secara implisit mengangkat
pertanyaan lain. Meskipun jawaban mereka sendiri atas pertanyaan-pertanyaan
ini tidak memuaskan, mereka harus dihargai karena membesarkan nama mereka.
Perhatian mereka terhadap dasar keadilan secara alami mengarah pada
pertanyaan tentang semua kebajikan. Dan penggambaran mereka tentang
kehidupan keadilan alam menimbulkan pertanyaan tentang sifat kehidupan yang
baik: apakah itu terdiri dari kesenangan, kesuksesan politik, atau apa?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi fokus Socrates dan para penerusnya.

Bagian Pertama: Kehidupan Socrates18


Socrates lahir pada 469 SM, sekitar seperempat abad setelah Sophocles.
Artinya, ia lahir setelah kemenangan Athena atas Persia yang dibahas dalam
pendahuluan dan bagian 1, tetapi hampir empat dekade sebelum dimulainya
18
William J Prior. Op.cit.
Perang Peloponnesia. Dengan demikian, paruh pertama hidupnya bertepatan
dengan tahun-tahun kejayaan politik dan budaya terbesar Athena. Tiga dekade
terakhir hidupnya, sebaliknya, mencakup periode di mana Athena bertempur dan
akhirnya dikalahkan oleh Sparta. Setelah kekalahan Athena pada tahun 404 SM
kota itu memasuki periode kepahitan politik dan saling tuduh di mana Socrates
sendiri terperangkap. Ketika dia lahir, "Zaman Keemasan" sastra Athena baru
saja dimulai; ketika dia meninggal, pada 399 SM, itu hampir berakhir.
Socrates dengan demikian menyaksikan puncak peradaban Athena serta
kemunduran dan kejatuhannya. Namun, dia tidak hanya menjadi penonton
peristiwa ini; dia adalah tokoh terkemuka dalam lanskap kehidupan intelektual
Athena abad kelima. Reputasi Socrates tidak dapat dijelaskan jika kita hanya
mempertimbangkan keadaan eksternal hidupnya. Dia adalah warga negara
Athena, putra seorang pematung bernama Sophroniscus, orang yang tidak
terkenal. Dia sendiri mungkin seorang pemotong batu, meskipun kita memiliki
sedikit bukti bahwa Socrates pernah terlibat dalam pekerjaan yang
menguntungkan.
Dalam Theaetetus karya Plato, ia menggambarkan ibunya, Phaenarete,
sebagai bidan dan mengklaim mempraktikkan seni kebidanan intelektual yang
serupa dengan miliknya. Ini, tentu saja, adalah seni penyelidikan filosofis yang
membuatnya begitu terkenal; tetapi dalam Apology dia secara eksplisit
mengatakan dia tidak pernah mempraktekkan seni ini untuk uang.
Socrates secara fisik tidak menarik, penampilannya hampir lucu, dengan
hidung pesek dan mata melotot. Dalam pidatonya juga dia sama sekali tidak
anggun: salah satu rekannya dalam percakapan mengeluh bahwa dia tidak pernah
berhenti berbicara tentang "tukang sepatu dan tukang masak dan juru masak dan
dokter" (Gorgias 491a: referensi halaman adalah edisi standar Stephanus dari
dialog Plato). Singkatnya, ia tidak memiliki setiap fitur yang diakui orang
Yunani sebagai bangsawan: leluhur yang terhormat, kekayaan, jabatan politik
atau militer, ketampanan, dan keterampilan retorika. Dia memang memiliki
kapasitas legendaris untuk minum tanpa mabuk, tetapi meskipun fitur-fitur ini
dapat menambah potret eksentrik yang menawan, mereka tidak menjelaskan
ketenarannya yang abadi.
Terlepas dari semua ini, Socrates mampu berkomunikasi dengan tokoh-
tokoh politik terbesar dalam kehidupan Athena; dia bergerak tanpa kesulitan di
kalangan tertinggi masyarakat Athena. Ketika intelektual terkenal seperti
Protagoras atau filsuf Parmenides datang ke Athena, orang dapat berharap untuk
menemukan mereka cepat atau lambat dalam percakapan dengan Socrates.
Teman dan sahabat Socrates memujinya karena hanya sedikit orang dalam
sejarah yang dipuji. Di akhir Phaedo, karya Plato yang menggambarkan
kematian Socrates, ia disebut "orang paling berani dan juga paling bijaksana dan
jujur" pada masanya.
Tidak semua orang menanggapi Socrates dengan begitu positif. Sofis
Thrasymachus menuduh Socrates berbicara omong kosong dan membutuhkan
perawat untuk menyeka hidungnya untuknya dalam buku pertama Republik
(336b-d, 343a). Callicles di Gorgias menyamakan dia dengan orator massa,
menuduhnya argumen yang tidak adil, dan mengatakan bahwa mengejar
kebijaksanaan filosofis tidak layak untuk orang dewasa (482c-486d). Sepanjang
dialog Platon, orang-orang yang telah dibuat bingung oleh pertanyaan Socrates
yang tak henti-hentinya mengungkapkan kemarahan mereka terhadapnya.
Penjelasan untuk kedua tanggapan terhadap Socrates adalah sama.
Pengabdian teman-temannya, kekaguman orang-orang sezamannya dalam
filsafat, dan antagonisme musuh-musuhnya tidak disebabkan oleh faktor-faktor
eksternal yang disebutkan di atas. Mereka lebih disebabkan oleh pengejaran
filosofisnya yang berpikiran tunggal dan karunia filosofisnya yang tak
tertandingi. Bagi Socrates, mungkin tidak ada filsuf lain dalam sejarah, makna
hidup dapat ditemukan dalam pencarian kebijaksanaan; tidak berlebihan untuk
mengatakan tentang dia bahwa filsafat adalah hidupnya. Karena dedikasi dan
keterampilannya yang luar biasa dalam penyelidikan filosofis, Socrates mampu
melampaui batasan kelahirannya, kemiskinan, dan kurangnya keanggunan dan
mengambil tempat sentral dalam kehidupan intelektual Athena abad kelima; dan
karena alasan inilah kita mengenalnya hari ini.
Bahkan lebih dari kaum Sofis, Socrates bertanggung jawab untuk
menjadikan etika sebagai subjek filosofis. Socrates-lah yang merumuskan
pertanyaan-pertanyaan moral yang coba dijawab oleh para filsuf berikutnya, dan
jawaban Socrates sendiri atas pertanyaan-pertanyaan ini menarik bahkan hingga
hari ini. Dalam sejarah etika, Socrates adalah sosok pertama yang benar-benar
penting; dia adalah filosof moral besar pertama.

Bagian Kedua: Masalah-Masalah Membaca Socrates19


Menurut Frederick Copleston, masalah Socrates adalah masalah untuk
memasti-kan apa tepatnya ajaran filosofisnya. Karakter dari sumber yang kita
miliki yaitu Karya Socratik milik Xenophon (Memorabilia dan Symposium),
dialog-dialog Plato, berbagai pernyataan Aristoteles, Clouds karya Aristophanes
—membuat ini menjadi persoalan yang rumit. Sebagai contoh, jika seseorang
bergantung pada Xenophon saja, ia akan memiliki kesan atas seorang pria yang
memiliki kepentingan utama untuk menciptakan orang-orang dan warga negara
yang baik, tetapi tak menyibukkan diri dengan masalah logika dan metafisika--
seorang guru etika yang populer. Di lain pihak, jika seseorang menemukan
konsepsi tentang Socrates dalam dialog Platonis yang diambil secara
keseluruhan, ia akan mendapat kesan seorang ahli metafisika pada tataran
tertinggi, seorang pria yang tak puas dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
perilaku sehari-hari, tetapi meletakkan dasar-dasar filsafat transendental, berbeda
dengan doktrin dunia metafisik tentang Forma.
Pernyataan-pernyataan Aristoteles, di sisi lain (jika diberi interpretasi
natural oleh mereka) memberi kita pemahaman bahwa meski Socrates tidak
tertarik dengan teori, ia sendiri tak mengajarkan doktrin Forma atau Ide yang
substansial, yang merupakan karakteristik dari Platonisme. Pandangan umum
ialah bahwa meskipun penggambaran Xenophon terlalu "biasa" dan "sepele",
terutama karena kurangnya kemampuan dan minat filosofis Xenophon (memang
telah disepakati, meski tampaknya tak mungkin Xenophon sengaja mencoba
membuat Socrates tampak lebih "biasa" ketimbang yang sebenarnya, dan
ketimbang yang ia kenal untuk tujuan apologetik).
19
Frederick Copleston. Filsafat Periode Socrates. Yogyakarta: Basa-Basi. 2020. Hal. 37.
Kita tak dapat menolak kesaksian Aristoteles, dan sebab itu dipaksa untuk
menyimpulkan bahwa Plato-kecuali dalam karya-karya awal Socrates, misalnya
Apologia-memasukkan doktrinnya sendiri ke mulut Socrates. Pandangan ini
memiliki keunggulan besar, bahwa Socrates versi Xenophonik maupun Platonik
tidak di-tempatkan dalam oposisi dan ikonsistensi yang sebenarnya (karena
kekurangan penggambaran Xenophon dapat dijelaskan sebagai hasil dari sifat
dan kepentingan utama Xenophon sendiri), sementara kesaksian yang jelas dari
Aristoteles tak terbuang begitu saja. Dengan cara ini, penggambaran atas
Socrates yang lebih konsisten dikembangkan, dan tidak ada kekerasan yang
dapat dibenar-kan (sehingga penjagaan teori tetap dapat dipertahankan)
dilakukan terhadap sumber manapun.

Bagian Ketiga: Pikiran-Pikiran Socrates20 21


Seperti halnya dengan para kaum sofis Sokrates juga memberi pelajaran
kepada rakyat. Sama halnya dengan para kaum sofis ia mengarahkan
perhatiannya kepada manusia. Perbedaannya dengan para kaum sofis terletak di
sini, bahwa Sokrates tidak memungut biaya bagi pengajarannya. Kecuali itu
maksud dan tujuan ajaran-ajarannya bukan untuk meyakinkan orang lain supaya
mengikuti dia, tetapi untuk mendorong orang supaya mengetahui dan menyadari
sendiri. Juga Sokrates menentang relativisme kaum sofis, sebab ia yakin bahwa
ada kebenaran yang obyektip. Sokrates tidak meninggalkan tulisan apa-apa.

20
Harun Hadiwijono. Op.cit. Hal. 35-38.
21
Frederick Copleston. Op.cit.
Pengetahuan kita tentang dirinya kita terima dari para muridnya. Padahal
murid Sokrates ada banyak sekali, yang tulisannya juga bermacam-macam
tentang dia. Pada umumnya pemberitaan yang dipandang sebagai pemberitaan
yang lebih dapat dipercaya adalah pemberitaan Plato dan Aristoteles.

Metode Ironi (eironeia), Dialektika (Maieutika), dan Difinisi Umum


Ia mendatangi bermacam-macam orang (ahli politik, pejabat, tukang dan
lain-lainnya). Kepada mereka dikemukakan pertanyaan-pertanyaan yang
mengenai pekerjaan mereka, hidup mereka sehari-hari dan lain-lainnya. Jawaban
mereka pertama-tama dianalisa dan disimpulkan dalam suatu hipotese. Hipotese
ini dikemukakan lagi kepada mereka dan dianalisa lagi. Demikian selerusnya
hingga ia mencapai tujuannya, yaitu: membuka kedok segalaa peraturan atau
hukum-hukum yang semu, sehingga tampak sifatnya yang semu, dan mengajak
orang melacak atau menelusur sumber-sumber hukum yang sejati.
Supaya tujuan itu tercapai diperlukan suatu pembentukan pengertian yang
murni. Oleh karena pendidikan retorika yang telah diberikan para kaum Sofis
telah menjadikan banyak orang sombong, maka sering dengan cara yang
menggelikan Sokrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja
dimaksud untuk membingungkan orang-orang itu. Karena jawaban-jawab-an atas
pertanyaan-pertanyaan itu menjadi saling bertentangan, sehingga para penjawab
ditertawakan orang banyak. Metode ini oleh Sokrates disebut metode ironi
(eironeia). Segi yang positip dari metode ini terletak dalam usahanya untuk
mengupas kebenaran dari kulit "pengetahuan semu" orang-orang itu.
Cara pengajaran Sokrates pada umumnya disebut dialektika, karena di
dalam pengajaran itu dialog memegang peranan penting. Sebutan yang lain ialah
maieutika, seni kebidanan, karena dengan cara ini Sokrates bertindak seperti
seorang bidan yang menolong kelahiran bayi "pengertian yang benar". Dengan
cara bekerja yang demikian itu Sokrates menemukan suatu cara berpikir yang
disebut induksi, yaitu: menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan
berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal yang khusus.
Umpamanya: banyak orang yang menganggap keahliannya (sebagai tukang
besi, tukang sepatu, dll) sebagai keutamaannya. Seorang tukang besi
berpendapat, bahwa keutamaannya ialah, jikalau ia membuat alat-alat dari besi
yang baik. Seorang tukang sepatu menganggap sebagai keutamaannya, jikalau ia
membuat sepatu yang baik. Demikian seterusnya. Untuk mengetahui apakah
"keutamaan" pada umumnya, semua sifat khusus keutamaan-keutamaan yang
bermacam-macam itu harus disingkirkan. Tinggallah keutamaan yang sifatnya
umum. Demikianlah dengan induksi itu sekaligus ditemukan apa yang disebut
definisi umum.
Definisi umum ini pada waktu itu belum dikenal. Sokrateslah yang
menemukannya, yang ternyata penting sekali artinya bagi ilmu pengetahuan.
Bagi Sokrates definisi umum bukan pertama-tama diperlukan bagi keperluan
ilmu pengetahuan, melainkan bagi etika. Yang diperlukan adalah pengertian-
pengertian etis, seperti umpamanya: keadilan, kebenaran, per-sahabatan, dan
lain-lainnya. Oleh karena Sokrates tidak memberikan suatu sistim dan tidak me-
ninggalkan tulisan sedikitpun, maka sukar sekali untuk menentukan bagai-mana
isi ajaran Sokrates yang sebenarnya.
Barangkali ajarannya dapat dirangkumkan sebagai berikut: Jiwa manusia
bukanlah nafasnya semata-mata, tetapi asas hidup manusia dalam arti yang lebih
mendalam. Jiwa itu adalah inti sari manusia,hakekat manusia sebagai pribadi
yang bertanggung jawab. Oleh karena jiwa adalah inti sari manusia, maka
manusia wajib meng-utamakan kebahagiaan jiwanya (eudaimonia memiliki
daimon atau jiwa yang baik), lebih daripada kebahagiaan tubuhnya atau
kebahagiaan yang lahiriah, seperti umpamanya: kesehatan, kekayaan, dan lain-
lainnya.
Manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin.
Jikalau manusia hanya hidup saja, hal itu belum ada artinya. Orang harus hidup
yang baik. Jadi persoalan yang pokok ialah, bagaimana orang dapat mencapai
kebahagiaan. Menurut Sokrates, alat untuk mencapai eudaimonia atau
kebahagiaanialah kebajikan atau keutamaan (arete). Akan tetapi kebajikan atau
keutamaan di sini tidak diartikan secara moral, melainkan secara yang lebih luas
daripada itu. Kebajikan atau keutamaan seorang tukang sepatu ialah keba-jikan
atau keutamaan yang menjadikan tukang sepatu itu menjadi tukangsepatu yang
baik, karena tahu pekerjaannya dengan baik, mempunyai ke-ahlian dalam
bidangnya itu. Demikian juga halnya dengan kebajikan ataukeutamaan seorang
politikus atau seorang petani dan lain-lainnya.

Keutamaan (Arete) Adalah Pengetahuan


Pendiri-an Sokrates yang terkenal adalah: "Keutamaan adalah
pengetahuan". Keutamaan di bidang hidup baik tentu menjadikan orang dapat
hidup baik. Hidup baik berarti: mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup
baikitu. Jadi baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan
kemauan manusia. Berdasarkan pandangan yang demikian ini, maka menurut
Sokrates, tidak mungkin orang dengan sengaja melakukan hal yang salah.
Kalauorang berbuat salah, hal itu disebabkan karena ia tidak berpengetahuan,
karena ia keliru. Oleh karena kebajikan atau keutamaan adalah pengetahuan
tentang yang baik, padahal yang baik adalah satu, maka kebajikan atau
keutamaan hanya ada satu saja, menyeluruh. Memiliki kebajikan yang satu itu
berarti memiliki segala kebajikan.
Umpamanya: orang yang berani tentu juga adil dan menaruh belas kasihan,
dan lain sebagainya. Jikalau tidak demikian,itu bukan kebajikan yang sejati.
Yang baik untuk Athena tentu baik jugauntuk Sparta, dan baik juga untuk orang
Barbar. Memiliki arete, memiliki kebajikan atau keutamaan, berarti memiliki
kesempurnaan manusia sebagai manusia.
Tidak jelas pandangan Sokrates tentang negara, akan tetapi ia membe-rikan
asas-asas etika kenegaraan. Menurut dia, negara mempunyai tugas untuk
mewujudkan kebahagiaan warga negaranya, membuat jiwa mereka sebaik
mungkin. Oleh karena itu penguasa harus tahu 'apa yang baik". Di dalam
pemerintahan yang penting bukan demokrasi, atau suara rakyat,tetapi keahlian
yang khusus, yaitu pengenalan tentang "yang baik".

Anda mungkin juga menyukai