Anda di halaman 1dari 13

Bab 5

FILSAFAT SOFIS DAN SOCRATES

1. Pergeseran Orientasi
Kemunculan para filsuf sofis menyebabkan pergeseran orientasi dari kosmosentris
ke antroposentris (perhatian tertuju pada manusia, khususnya pengetahuan dan moralitas).
Ada tiga alasan pergeseran: (1) kemenangan gilang gemilang Yunani dalam perang
melawan Persia. Kemenangan ini memperlihatkan betapa hebatnya sebuah bangsa kecil
tapi berkebudayaan tinggi atas bangsa besar yang belum tertata baik; (2) terbukanya
kontak dengan bangsa-bangsa lain; (3). konstitusi demokrasi Athena yang membolehkan
tiap warga masuk politik.
Sekitar tahun 450 SM Athena berkembang menjadi pusat kebudayaan Yunani.
Demokrasi mulai berkembang. Bersamaan dengan itu berkembang pula perangkat-
perangkat demokrasi seperti majelis-majelis rakyat dan lembaga pengadilan. Peranan
pendidikan bagi proses demokratisasi masyarakat sangat besar. Masyarakat terbuka bagi
pikiran-pikiran baru. Keterampilan yang paling ngetop kala itu ialah seni berpidato atau
retorika dan logika.
Maka sekolah paling laku kala itu adalah sekolah retorika dan logika. Itulah tiket
bagi seorang calon politikus, khususnya kaum muda. Kepada guru-guru retorika-lah para
calon anggota parlemen pergi. Itulah kaum sofis (sofis artinya orang bijaksana atau
terpelajar). Mereka dapat dianggap sebagai pengikut Heraclitus. Karya-karya mereka
hampir semuanya dimusnahkan oleh para pengikut Plato. Kaum sofis dianggap sebagai
orang asing dan bukan orang Athena.

2. Filsafat Sofis
a. Latar belakang sosial
Warga kota Athena sudah menikmati pendidikan dasar paling tidak sejak satu abad
sebelum Socrates ketika demokrasi mulai muncul. Tetapi, hingga munculnya kaum sofis,
pendidikan tinggi baru dinikmati kaum bangsawan. Sementara itu kelas menengah (para
perajin dan pedagang) terdorong untuk mempelajari seni retorika dan logika (supaya bisa
efektif di majelis), selain bidang kesenian dan kebudayaan.
Para bangsawan (pemilik tanah) pun sudah lama punya guru. Dalam Illiad karya
Homerus, misalnya, ada seorang guru bernama Phoenix yang menjadi tutor Achilles,
putera Peleus. Bagi kaum ningrat, retorika sama pentingnya seperti senjata untuk perang.
Tapi, Phoenix tidak meminta bayaran. Dia hanya mendapat perlindungan, kamar, dan
makan tiap hari. Sebaliknya, kaum sofis meminta bayaran.
Di Athena, kemampuan bicara di depan umum memberi peluang bagi kelas
menengah untuk terjun ke politik, khususnya untuk debat di majelis umum atau forum
lebih tinggi. Kefasihan berbicara juga sangat dibutuhkan untuk membela diri di
pengadilan. Orang Athena, konon, sangat getol menuntut. Karena tidak ada pembela
profesional, mereka membutuhkan kemampuan berbicara fasih dan logis agar bisa
membela diri. Bahkan orang-orang yang mampu membayar penulis pidato profesional
seperti Lysias dan Demosthenes pun membutuhkan latihan menghafal dan berdebat (I.F.
Stone, 42).
Di Romawi kuno, karena bentuk pemerintahannya republik oligarki aristokrat,
pengajaran retorika dibatasi, agar tidak memperlemah posisi bangsawan anggota senat.
Maka ketika guru-guru Yunani muncul di Roma, ada penolakan. Pada tahun 161 SM
misalnya, guru-guru retorika diusir dari Roma. Bahkan, pada tahun 92 SM, para rhetores
Latini (guru-guru retorika bahasa Latin) dihukum oleh badan sensor Roma.
b. Siapa itu Sofis?
Filsuf sofis adalah cendekiawan dan guru retorika dari koloni-koloni Yunani yang
mencari nafkah di kota Athena. Mereka memusatkan perhatian pada pengetahuan, moral,
dan keadilan, yang kemudian berpuncak pada Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Kaum sofis mengajar dengan imbalan uang. Mereka mengajarkan kemampuan
untuk berargumentasi dengan menggunakan kata-kata secara tepat (metode eristik), atau
mempermainkan kata-kata untuk menjebak lawan (metode sofistik). Corak filsafat mereka
ialah skeptisisme. Menurut mereka, manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran
mengenai alam dan jagad raya. Sebab itu mereka menolak spekulasi filsafat pra-
Socratian.
Pusat perhatian para sofis terhadap manusia, tercermin dari kata-kata Protagoras:
“manusia adalah ukuran dari segala-galanya (man is the measure of all things)”.
Fenomena sofisme merupakan awal dari filsafat masa Socrates yang menekankan
manusia. Karena manusia merupakan ukuran segala-galanya, kata para sofis, maka tidak
ada norma mutlak untuk kebenaran. Apa yang baik dan buruk, yang salah dan benar,
tergantung pada kebutuhan praktis seseorang. (Dunia Sophie, 80-81)
Kaum sofis sebetulnya merupakan salah satu kekuatan yang menunjang kehidupan
demokrasi di Athena, tapi citra mereka rusak gara-gara Socrates dan Plato. Kata sophistes
berarti cendekiawan, jadi berkonotasi baik. Dalam karya Homerus, sophie berarti
keterampilan (di bidang apa saja). Kata sophistes berarti pekerja terampil atau artis. Kata
ini kemudian digunakan juga untuk menyebut orang yang hebat sekali, penyair, atau
pemusik. Tujuh orang bijaksana dari Yunani dalam legenda dinamakan sophistai. Bahkan,
para filsuf pra-Socrates pun sering dijuluki sohpistai. Di masa kekaisaran Romawi, kata
itu juga dipakai sebagai sapaan penghormatan bagi guru-guru retorika dan filsafat Yunani
(I.F. Stone, 41).
Tidak semua sofis itu antidemokrasi. Ada yang justru paling depan membela
persamaan derajat manusia, di antaranya Antiphon dan Alcidamas. Antiphon dapat
disamakan dengan Jefferson dan kaum Jacobin. Tidak ada perbedaan antara orang Yunani
dan orang barbar, kata Antiphon. “Kita memuja-muja dan menghormati mereka yang
dilahirkan dari ayah yang bangsawan dan mereka yang bukan keturunan bangsawan tidak
kita puja dan tidak kita hormati. Dalam hal hubungan antarmanusia ini kita seperti orang
barbar, karena dari kodratnya setiap kita dilahirkan sama, baik orang barbar maupun orang
Yunani,” tulis Antiphon.
Alcidamas, murid Gorgias, adalah filsuf pertama yang menentang perbudakan.
Dalam karyanya berjudul Messeniacus, Alcidamas berkata: “Tuhan menciptakan semua
manusia bebas; alam tidak membuat seorang pun menjadi budak.” Messeniacus diduga
berkisah tentang pemberontakan orang-orang Messenia melawan Sparta yang
memperbudaknya. Sayang, karya itu hilang. I.F. Stone berkomentar: “Saya tidak tahu
apakah kutipan ini pernah masuk literatur penghapusan perbudakan di Amerika.” Lebih
lanjut Stone menulis: “Alcidamas, salah seorang sofis, sekurang-kurangnya telah
melampaui prasangka zamannya (juga Euripides) dan membuka mata manusia ke arah
moralitas yang lebih tinggi. Filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles sama-sama
memiliki pandangan konvensional tentang perbudakan pada zaman mereka, dan ketiganya
dalam hal ini tidak bersimpati dan memandang remeh kepada sofis semacam
Alcibiades.”(I.F. Stone, 45).
Protagoras meletakkan dasar bagi demokrasi. Demokrasi di Yunani sudah dirintis
Solon, yang memperjuangkan hak suara di majelis dan pengadilan bagi semua laki-laki,
termasuk yang paling miskin. Menangkis pendapat Socrates bahwa tidak semua orang
punya hak untuk mengemukakan pendapat di majelis (pemerintahan kota), Protagoras
mengemukakan mitos tentang asal usul kehidupan beradab. Mitos Protagoras ini sering
disebut sebagai mitos demokrasi yang pertama.
Konon, melihat permusuhan antara kota-kota sehingga membawa ke ambang
kemusnahan, Zeus mengutus Hermes ke bumi untuk membawa dua anugerah yakni aidos
dan dike. Kedua anugerah itu memungkinkan manusia bisa memiliki seni politik (politike
techne) sehingga kehidupan bisa jadi tenteram lagi. Aidos ialah rasa malu, sikap peduli
terhadap pandangan baik orang lain. Dike berarti penghargaan terhadap hak-hak orang
lain, termasuk rasa keadilan. Inilah yang memungkinkan terciptanya perdamaian sebab
pertikaian harus diselesaikan lewat keputusan hakim. Kata Zeus kepada Hermes: “dan
tetapkan hukumku, bahwa orang yang tidak menggunakan aidos dan dike akan mati oleh
wabah penyakit.”
Protagoras menggariskan moral dari mitos itu sebagai berikut: “Karena itulah,
Socrates, orang-orang di kota-kota, terutama di Athena hanya mendengarkan para ahli
dalam masalah-masalah khusus, tetapi bila mereka berhimpun untuk urusan-urusan
politik, yaitu membahas masalah-masalah umum pemerintahan, yang mengharuskan
mereka dituntun oleh keadilan dan hati nurani, mereka dengan sendirinya mendengarkan
pendapat siapa saja, sebab semua orang harus menyumbangkan yang terbaik. Bila tidak
demikian, negara (yaitu kota, polis) tidak mungkin didirikan.” Ini suatu ideologi Athena
Periclean, tempat Socrates tumbuh. Di sini diasumsikan bahwa semua orang memiliki seni
berpolitik dan karena itu bisa dipercaya – dan berhak – memerintah diri sendiri. (I.F.
Stone, 48-50)

c. Corak Umum Filsafat Sofis


 Bidang Pengetahuan
Pengetahuan yang diajarkan sofisme bercorak relativistik dan skeptis. Relativisme
adalah pandangan bahwa tidak ada pengetahuan obyektif. Pengetahuan bergantung pada
subyek/individu. Kaum sofis hanya berhenti pada pengetahuan indra dan impresi indra
untuk menilai dunia realitas. Sedangkan skeptisisme adalah pandangan yang meragukan
adanya kebenaran.
Protagoras, filsuf sofis pertama, mengatakan: man is the measure of all things. Tolok
ukur realitas adalah fenomena subyektif dari sensasi-sensasi. Tidak ada realitas obyektif.
Yang ada hanya realitas sebagaimana yang tampak pada kita, kata Protagoras. Oleh sebab
itu man is the measure of what exists.
 Bidang Moral
Pandangan tentang moralitas kaum sofis menjurus kepada utilitarianisme dan
hedonisme. Utilitarianisme mengajarkan bahwa yang baik itu adalah yang bermanfaat.
Apa yang tidak bermanfaat dianggap tidak baik. Para sofis mengajarkan bahwa yang baik
adalah yang memuaskan insting dan perasaan. Yang baik adalah mengumpulkan milik
sebanyak-banyaknya, dengan segala cara. Mengapa? Karena barang-barang itu dapat
memuaskan insting dan perasaan. Sedangkan hedonisme mengajarkan bahwa tujuan
tertinggi kehidupan adalah kenikmatan.
Kaum sofis menolak konsep keadilan dan mengajarkan konsep kekuatan. Konsep
lama bahwa prinsip hak bersumber dari keadilan ditolak dan diganti prinsip kekuatan.
Manusia harus memperkuat diri sendiri untuk mengungguli orang lain dalam kekuatan
dan persaingan atau usaha untuk mencari barang-barang dunia. Bagi mereka, hak adalah
suatu yang berhasil diperoleh melalui kekuatan. Mereka mengatakan dari kodratnya
manusia tidak diciptakan sederajat. Ada yang kuat, ada yang lemah. Yang kuat harus
tunduk pada yang lemah. Thrasymachus, misalnya, mengatakan bahwa hukum kodrat
adalah “haknya orang kuat”
Moral seperti ini, jelas, menarik banyak kaum muda masa itu, khususnya di zaman
Pericles. Mereka dapat mencapai ambisinya dengan mengabaikan etika dan keadilan yang
diajarkan tradisi lama. Sambutan kepada para sofis memang luar biasa. Protagoras,
misalnya, selalu diterima sebagai tamu terhormat di rumah-rumah orang-orang terkenal di
Athena. Dari latar belakang inilah dapat dipahami reformasi oleh Socrates yang bertujuan
mengembalikan moralitas dan keadilan dalam masyarakat.

d. Filsuf-Filsuf Sofis
 Protagoras (480-411 SM)
Protagoras lahir di Abdera, Thracia. Dialah filsuf yang pertama kali menyebut diri
sofis dan meminta bayaran. Diceritakan, pernah bekerja sebagai tukang pikul yang miskin,
yang membawa ikat-ikat kayu di pundaknya. Untuk memperingan pekerjaannya yang
berat itu, begitu kata Aristoteles, Protagoras menemukan sebuah alat khusus untuk
memikul beban. Protagoras lebih tua 20 tahun dari Democritus. Tapi Democritus-lah yang
membimbingnya kepada filsafat. Dia menekuni profesinya itu selama 40 tahun.
Diceritakan bahwa Protagoras sering berdebat dengan Pericles tentang masalah-
masalah moral. Tahun 445 SM Protagoras bahkan dibayar untuk menyusun sebuah UU
bagi Thurii, sebuah koloni Athena. Itu berarti, Protagoras dating ke Athena paling tidak
tahun yang sama. Tidak dipastikan apakah dia juga sempat ke Thurii, tapi diceritakan
bahwa ketika terjadi wabah tahun 430 SM, Protagoras muncul lagi di Athena. Antara
kedua kunjungan di Athena itu dia sempat tinggal di Sicily. Disitu dia jadi sangat terkenal.
Ketika dating ke Athena, dia membawa banyak pengagumnya dari berbagai kota di
Yunani. Pelajaran/kuliahnya mendapat banyak peminat. Dia dibayar sangat tinggi,
terkadang tarifnya 100 mina untuk satu murid. Rupanya karena itu Plato mengatakan
bahwa Protagoras mengeruk jauh lebih banyak uang disbanding Phidias dan sepuluh
pematung lainnya.
Dia menulis banyak karya. Terpenting di antaranya adalah Alethia (kebenaran), dan
Peritheon (Tentang Allah). Teori yang dikemukakan dalam Alethia ditolak oleh Plato
dalam buku Theaetetus. Salah satu kalimat terkenal dari Protagoras yang sering dianggap
sebagai motto filsafaat manusia adalah “man is the measure of all things; of what is, that it
is; of what is not, that it is not.” Boleh dikatakan seluruh ajaran Protagoras dapat
dipadatkan dalam ungkapan tersebut. Bahkan, itulah esensi dari seluruh ajaran sofisme.
Dengan kata manusia (man), Protagoras bukan maksudkan umat manusia, tapi setiap
orang. Dengan ukuran segala-galanya (measure of all things) dia maksudkan tolok ukur
kebenaran dari segala-galanya. Menurut Protagoras, setiap orang menjadi tolok ukur
kebenaran. Kebenaran adalah sensasi-sensasi dan impresi yang dialami oleh setiap orang
sebagai individu. Jadi, ajaran ini sangat bertentangan dengan yang berlaku sebelumnya,
dimana dibedakan indra dan pikiran, persepsi dan akal budi. Para filsuf sebelum
Protagoras berpandangan bahwa kebenaran harus ditemukan melalui akal budi, bukan
melalui indra. Protagoras menyangkal distinksi tersebut.
Pada tahun 411 SM Protagoras dijatuhi hukuman karena menolak para dewa. Dalam
buku Peritheon itu, dia menulis antara lain kalimat sbb: “tentang allah-allah, saya tidak
dapat pastikan entah mereka ada atau tidak”. Hukuman tersebut disusul kemudian oleh
pembuangan, bahkan menurut sejumlah sumber, bukunya itu dibakar. Ajarannya berbau
agnostisisme, karena dia mengajarkan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui kriteria
kebenaran utama. Dia sangat terkenal dan hebat dalam retorika, bahasa, dan tafsir puisi.
Konon, Protagoras-lah orang yang pertama membuat distinksi gramatikal antara mood
dalam sajak-sajak dan gender pada kata benda. Dia meninggal sekitar tahun 411, ketika
mengalami kecelakaan dalam pelajaran ke Sicily.
 Gorgias (483-375 SM)
Gorgias adalah ahli retorika yang lahir di Leontine, Sicily tahun 485 SM. Dia dating
ke Athena pertama kali dalam misi diplomatic tahun 427 SM. Beberapa tahun sesudahnya
dia kembali ke Athena dan menetap disitu. Dia berkeliling seluruh Yunani mengajar dan
mempraktekkan retorika. Dialah orang pertama yang memasukkan cadence dalam prosa
dan menggunakan common sense arguments. Dia mengajarkan teori filsafat tentang
eksistensi, dan meneliti peran pria dan wanita dalam masyarakat Yunani. Gorgias
mencapai usia 105 tahun, dan meninggal di Thessally.
Karya-karyanya antara lain On Nature or the Non-Existent, The Enconium of Helen, dan
The Apology of Plamedes. Argumentasi tentang eksistensi terdapat dalam buku On Nature
or the Non-Existent. Argumentasinya dapat diringkas sebagai berikut:
1. Tidak ada sesuatu (nothing exists)
2. Jika ada sesuatu, sesuatu itu tak dapat diketahui (if anything did exist it could never
be known)
3. Jika ada sesuatu dan diketahui, sesuatu itu tak dapat dikomunikasikan (if anything
did exist and was known, it could never be communicated)
Menurut Gorgias, pikiran dan eksistensi tidak sama. Seandainya keduanya sama,
maka segala sesuatu yang dipikirkan akan tiba-tiba ada. Dia mengatakan bahwa kata-kata
dan sensasi-sensasi tak dapat diukur dengan tolok ukur yang sama. Meskipun keduanya
sama-sama berasal dari akal budi, pada dasarnya sangat berbeda.
Tentang manajemen kehidupan rumah tangga, Gorgias mengatakan suami-lah yang
harus memegang kendali seluruhnya atas kegiatan-kegiatan harian dalam rumah tangga.
Tugas istri, katanya, adalah mengatur rumah tangga ke dalam dan patuh pada suami.
Kebajikan yang dilakukan suami dan istri, katanya, berbeda.
Dia seorang filsuf humanistic. Dia menggunakan argumen-argumen analitis dan
nonsintesis untuk menyerang ajaran-ajaran Protagoreanisme yang mengatakan bahwa ada
suatu realitas eksternal yang hanya ditangkap oleh akal budi. Dia menolak pandangan itu.
Ajaran Gorgias tentang eksistensi dan noneksistensi benda-benda dewasa ini hampir tidak
diterima lagi. Tapi, secara keseluruhan pandangan-pandangannya masih tetap menantang
untuk diperdebatkan.
 Xenophanes (570-475 SM)
Xenophanes lahir di Colophon. Ketika berusia 25 tahun, dia meninggalkan kampung
halamannya dan menjadi rhapsodis yang suka mengembara. Dia hidup dengan membaca
puisi di tempat-tempat umum. Ini dilakukannya hingga berusia kira-kira 92 tahun. Tidak
seperti kebanyakan filsuf lain, Xenophanes menulis hexameter dan elegi sebagai penyair.
Dia dijuluki Bapak Satire karena kritik-kritiknya atas kepercayaan-kepercayaan religius
tradisional. Dia memperjuangkan reformasi agama. Menurutnya, puisi-puisi kuno
menyebabkan keruntuhan moral di masa itu. Jadi, dia mengecan keras Homerus dan
Hesiod, dua penyair terkenal Yunani kuno. Dia menentang politeisme dan dewa-dewi
yang digambarkan dalam rupa manusia dalam Theogany karya Hesiod dan Homerus.
Dia seorang panties yang percaya bahwa Allah itu satu (god is one). Theologinya
bukan merupakan upaya untuk menjelaskan konsep abstrak tentang dewa, tapi hanya
berupa penolakan terhadap politeisme. Kepercayaannya adalah penolakan intelektual
terhadap tradisi yang berlaku saat itu. Tidak pernah ia menghormati Allah dengan
perasaan religius.
Dia menentang keras gambaran dewa-dewi dalam bentuk manusia. Tuhan itu
mahakuasa, mahatahu, dan mahabaik. Tuhan tidak pernah susah-susah berpikir. Kekuatan
akal budinya tak terbatas. Menurut Xenophanes, “tuhan selalu ada di tempat yang sama,
tidak bergerak, tidak berpindah-pindah dari waktu ke waktu”. Sebagai pengembara, tidak
heran dia memang mengcita-citakan suatu keadaan stabil dan istirahat.
Tentang pengetahuan Xenophanes jelas-jelas seorang skeptis. Manusia tidak
mungkin memiliki pengetahuan. Segalanya tak dapat dipahami. Kalau kita bisa tahu
kebenaran riil, kita pasti tak akan menyadarinya, dan kita tak dapat
mengkomunikasikannya. Dalam karyanya berjudul Fragments, dia menolak kemungkinan
adanya pengetahuan absolut dan obyektif. Yang paling mungkin dilakukan manusia adalah
menduga. Itu saja.
 Prodicus (sekitar abad 5 SM)
Prodicus adalah seorang ahli retorika. Dia lahir di Pulau Ceos, dan seangkatan
dengan Democritus dan Gorgias. Dia murid dari Protagoras. Dia jadi terkenal pada
Olimpiade ke-86. Konon, murid Prodicus adalah Socrates, Euripides, Theramenes, dan
Isocrates. Dia seorang pegawai negeri, dan pernah diangkat jadi Dubes ke Athena.
Rupanya disana dia diterima baik, karena dia didesak untuk mendirikan sebuah sekolah
retorika. Dalam kuliah-kuliahnya, dia selalu menekankan pentingnya penggunaan kata-
kata secara benar dan membedakan berbagai sinonim. Plato sering menyebutnya sebagai
guru yang pedantic dalam hal keindahan bahasa.
Menurut Plato, motivasi yang mendorong Prodicus untuk membuka sekolah retorika
adalah uang dan kekayaan. Dan memang, kuliah-kuliahnya mendatangkan uang
berlimpah. Menurut Philostratus, Prodicus memang rakus uang. Dia sering bepergian dari
satu kota ke kota lain untuk memperlihatkan kehebatan pidatonya. Tapi di Thebes dan
Lacedaemon, konon, dia tidak mendapat banyak uang. Tarif untuk seorang murid adalah
50 drachma. Aristophanes menggambarkan Prodicus sebagai seorang filsuf alam yang
paling hebat. Meski suaranya tidak terlalu enak didengar, tapi konon, kuliah-kuliahnya
selalu dibanjiri massa pendengar. Dikisahkan bahwa ketika masih mendekam di penjara di
Boeotia, Xenophanes, saking inginnya untuk mendengar pidato Prodicus, terpaksa
membayar uang jaminan agar bisa diisinkan meninggalkan penjara. Sayang, tidak ada
naskah kuliahnya yang tersimpan sampai sekarang. Karyanya termasyur adalah The
Choice of Hercules. Aslinya hilang, tapi substasinya termuat dalam Memorabilia karya
Xenophon.
Tapi nasib tragis dialaminya menjelang kematian. Dia dituduh merusak kaum muda
di Athena, dan sebab itu dihukum mati. Sextus Empiricus menyebutnya sebagai seorang
ateis. Cicero mengatakan sebagian ajarannya menentang semua agama. Prodicus
mengajarkan asal usul agama adalah personifikasi benda-benda alami.
 Hippias (abad 5 SM)
Dia berasal dari Elias, dan hidup sezaman dengan Socrates. Dia mengajar di kota-
kota Yunani, khususnya Atena. Konon, ingatannya luar biasa kuat. Dia menulis dalam
bentuk dialog. Dalam dua dialog karya Plato, yakni Hippias Major dan Hippias Minor, dia
dilukiskan sebagai seorang yang sangat vain dan arogan.
Dia dikenal khususnya dalam usahanya ke arah universalitas. Dia tidak suka segala
bentuk spesialisasi. Diceritakan dia muncul di Olimpia sambil mengenakan pakaian yang
seluruhnya buatan sendiri, sampai ke cincin yang menghiasi jarinya. Dia menguasai
berbagai bidang pengetahuan, dan siap selalu mengajar siapa saja tentang apa saja. Dia
mahir bidang mulai dari astronomi sampai sejarah. Dia menemukan suatu system
mnemonics, yakni system untuk mengingat lama. Dan dia dikenal sebagai seorang yang
ingatannya sangat kuat.
Hippias menemukan kurva yang dikenal dengan nama quadratix, yang dapat
memecahkan masalah jika dapat dilukiskan secara mekanis. Menurut dia, hokum alam
merupakan dasar moralitas. Dia membedakan alam dari konvensi-konvensi atau fashion-
fashion yang arbitrer, yang berbeda menurut perbedaan waktu dan wilayah muncul, di-
imposed oleh tindakan manusia yang arbitrer, dan sering dipatuhi secara paksa. Dia
mengajarkan bahwa ada unsur kebenaran yang umum terdapat pada undang-undang semua
negara dan itulah yang merupakan basisnya yang utama. Apa yang baik dan bijaksana di
semua negara pada dasarnya sama. Semua orang di berbagai negara harus memandang
satu sama lain sebagai warga dari satu negara saja. Pandangan—pandangan ini kemudian
dikembangkan oleh aliran Cynic dan sekolah-sekolah Stoisisme. Dari sekolah-sekolah
Stoa kemudian disebarkan kepada para jurist. Di tangan para jurist inilah kemudian
menjadi instrumen utama untuk mengubah undang-undang Romawi kepada UU untuk
setiap negara.
 Antiphon (480-411 SM)
Di kalangan sejarahwan, ada kebingungan menyangkut filsuf yang bernama
Antiphon. Paling tidak ada dua filsuf dengan nama itu, bahkan tiga orang yang hidup
sekitar tahun itu. Kita tidak mau terlibat dalam perdebatan berkepanjangan dengan para
ahli sejarah. Kita maksudkan Antiphon, seorang sofis yang sangat berperan dalam
kemajuan matematik. Dia ini seorang politikus dan orator ulung yang hidup sezaman
dengan Socrates.
Sejumlah pidatonya masih tersimpan sampai sekarang. Tiga di antaranya betul-betul
teks pidatonya sebagai prosecutor dalam sidang-sidang pengadilan kasus pembunuhan.
Ada 12 pidato merupakan specimen yang ditulisnya untuk mengajarkan kepada para murid
keterampilan mengajukan dan membela klien di pengadilan. Dia menulis banyak buku
tentang filsafat, antara lain On Truth, On Concord, The Statesman, dan On Interpretation
of Dreams. Sebagian sejarahwan berpendapat bahwa buku The Statesman dan On
Interpretation of Dreams bukan ditulis Antiphon. Buku Pandangannya dalam On Truth
mendukung ajaran Parmenides bahwa hanya ada satu realitas tunggal dan bahwa apa yang
nampak tidak riil. Dia juga mendukung pandangan-pandangan filosofis yang dikemukakan
oleh Zeno dari Elea. Sayang, hampir semua karya filsafatnya hilang. Beberapa fragmen
telah ditemukan bersama sejumlah kutipan dari karya-karyanya dalam tulisan
filsuf/penulis-penulis lain.
Kontribusi penting Antiphon dalam perkembangan matematika adalah usahanya
untuk membuat lingkaran jadi persegi empat. Dialah orang pertama yang mengemukakan
metode exhaustion meskipun tidak jelas konsepnya. Dia mengajarkan untuk secara
berturut-turut menggandakan jumlah segi dari sebuah poligon regular yang dimasukkan di
sebuah lingkaran sehingga perbedaan pada bidang (areas) akhirnya jadi hilang
(exhausted). Tapi Kerferd mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan to sqare the
circle adalah bahwa Antiphon beranggapan bahwa sebuah lingkaran merupakan poligon
(segi banyak) yang memiliki jumlah segi tak terbatas jumlahnya.
Hidup Antiphon berakhir tragis. Dia terlibat dalam suatu revolusi antidemokrasi
yang gagal. Thucydides menyatakan keyakinannya bahwa Antiphon-lah pemimpin
revolusi itu. Dia akhirnya diajukan ke pengadilan dimana, dengan segala kehebatan
pidatonya, dia membela diri habis-habisan. Tapi kefasihan pidato itu tak mampu
menyelamatkan nyawanya. Antiphon kemudian dieksekusi karena melakukan
pengkhianatan.
 Thrasymachus
Tentang Thrasymachus dapat kita baca dalam buku The Republic karya Plato.
Dalam diskusi itu Thrasy machus berdebat dengan suara tinggi “bagaikan binatang buas”.
Dia marah kepada Socrates dan Polemarchus karena mereka bicara omong kosong. Dia
mau bicara panjang tanpa boleh diinterupsi. Socrates mengaku gemetaran dan takut oleh
kemarahan Thrasymachus itu. Pada bagian itu (Buku I) ada empat hal yang didiskusikan,
yakni (1) usaha untuk mencari definisi “penguasa” , (2) perbandingan antara
kepemimpinan dan kerajinan lain, (3) pidato oleh Thrasymachus tentang apa itu keadilan,
dan (4) perdebatan tentang mengapa penguasa ingin berkuasa.
Pertama Socrates bicara, tenang seperti biasa, untuk menyudutkan Thrasymachus.
Tapi Thrasymachus menegaskan agar dia dibayar untuk pendapat yang disampaikannya.
Mereka lain setuju. Setelah Socrates bicara, menyusul giliran Polemarchus, kemudian
Thrasymachus. Menurut dia, keadilan dapat dirumuskan sbb: “the just is nothing else but
the advantage of the stronger”. Socrates kemudian bertanya apa maksdunya definisi tadi.
Lalu mulailah diskusi yang hangat antara mereka. Socrates dan Thrasymachus sependapat
bahwa “yang lebih kuat” (the stronger) adalah mereka yang memerintah dan menegakkan
hokum, dan “bersikap adil” ada manfaatnya. Tapi mereka berbeda pendapat tentang siapa
yang merasa untung oleh sikap adil? Apakah orang adil itu sendiri? Apakah penguasa itu
sendiri yang menentukan apa itu adil dan tidak adil? Menurut Thrasymachus, yang
berkuasa itulah yang benar (might is right). Bersikap adil berarti patuh pada peraturan.
Penguasa membuat undang-undang untuk memperbesar kuasa dan kekayaan. Orang adil
adalah lemah dan tak berkuasa. Tapi Socrates kemudian berhasil meyakinkan
Thrasymachus bahwa terkadang penguasa membuat penilaian salah, dan jika terjadi
demikian, keuntungan penguasa akan musnah jika perintahnya dipatuhi. Terhadap ini
Thrasymachus menjawab: kalau begitu penguasa yang melakukan kesalahan bukanlah
penguasa.
Maka, kata Thrasymachus lagi, penguasa apa saja (pemimpin negara, kesenian,
kerajinan) harus dibimbing oleh pengetahuan. Penguasa dianggap penguasa hanya kalau
mereka menjalankan fungsinya dengan benar. Apa fungsi pemerintah? Tidak seperti
fungsi kerajinan berguna lainnya. Dokter merawat orang sakit. Kapten kapal memimpin
para pelaut. Pelatih kuda melayani kuda. Tahu bagaimana melayani dengan baik, kata
Socrates, adalah pengetahuan khusus dari setiap profesi. Maka, penguasa harus tahu
bagaimana melindungi kepentingan seluruh negara. Jadi, penguasa tidak boleh mengejar
kepentingannya sendiri tapi kepentingan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Menyusul pidato dari Thrasymachus yang mencoba menarik para pendengar muda
yang hadir. Ia nampaknya tak berhasil. Socrates kemudian menyatakan keyakinannya
bahwa pemimpin sejati tidak memimpin dengan rela. Dia membandingkan tugas
pemimpin dengan tugas professional lain. Tugas pemimpin sejati, katanya, adalah
mengusahakan ksejahteraan negara. Pemimpin sejati, more or less, dipaksa untuk berkuasa
guna mencegah kekuasaan oleh mereka yang kemampuannya lebih buruk dari mereka.
Tapi, kenapa penguasa ingin berkuasa? Bukankah lebih baik dilayani daripada melayani?
Maka, kata Socrates, memimpin adalah tugas yang mendesak dan sering tidak disyukuri.
Sebab itu, seperti profesi lain, penguasa patut diberi imbalan uang atas pelayanan-
pelayanan yang diberikannya.

3. Socrates (469-399 SM)


a. Riwayat Hidup Singkat
Ayah Socrates, Sophroniscus, adalah seorang seniman (pemahat). Ibunya,
Phaenarete, seorang bidan. Mereka termasuk orang berada. Socrates menikahi Xanthippe,
seorang yang konon kasar perangainya. Kapan persisnya tidak diketahui, hanya dikatakan
bahwa pernikahan itu berlangsung sekitar 10 tahun pertama berkobarnya perang
Pelopponesus. Socrates hidup ketika Athena mencapai kejayaan politik, ekonomi, dan
budaya. Sophocles dan Euripides, para pujangga terkenal Yunani, masih bocah. Socrates,
diceritakan, ikut terjun ke medan perang untuk membela Yunani.
Pentingnya Socrates dapat disimak dari kenyataan bahwa para filsuf yang berkarya
sebelum dia dijuluki filsuf-filsuf pra-Socrates. Dia mewakili suatu era baru, secara
geografis maupun temporal. Dia adalah filsuf besar pertama yang lahir di Athena.
Anaxagoras pernah hidup di kota itu tapi kemudian diusir karena mengajarkan bahwa
matahari adalah sebuah batu merah berpijar. Socrates memulai metode berpikir baru yang
dapat dinamakan analisis kritis.
Socrates konon bermuka jelek. Pendek, perut gendut, matanya menonjol,
hidungnya pesek dan besar. Tapi perawakannya tegap dan memiliki stamina yang luar
biasa. Dalam buku Dunia Sophie, pengarangnya, Jostein Gaarder, memperkenalkan
Alberto Knox, seorang guru filsafat bagi Si Sophie, yang memperlihatkan video di mana
terlihat Socrates dan Plato berdiri di kawasan sekitar Acropolis di Athena.
“Apakah kamu melihat kedua pria di sana di bawah barisan tiang penopang atap?”
Sophie melihat seorang pria tua dengan tunik kusut. Dia mempunyai jenggot yang tidak
terurus, hidung pendek dan besar, sepasang mata seperti gerek kayu, dan pipi tembem. Di
sampingnya berdiri seorang pria ganteng.Itulah Socrates dan muridnya yang masih muda,
Plato” (DS, 95)
Menurut Aristophanes, Socrates suka menggerak-gerakkan matanya selagi bicara.
Alcibiades menggambarkan Socrates sebagai setengah manusia setengah dewa. Dia
berperilaku pongah seperti unggas air, demikian dilukiskan Aristophanes. Tapi di balik
tampang fisiknya seperti itu, batinnya “sangat bahagia”.
Socrates suka humor, bahkan menertawakan diri karena tampangnya yang kurang
gagah itu. Dalam buku Memorabilia, Xenophon menulis bahwa suatu ketika, Socrates
mengikuti kontes kecantikan yang diikuti antara lain oleh Critobulus, anak muda yang
sangat tampan. Karena punya biji mata agak menonjol, kata Socrates membela diri, dia
dapat memandang ke segala arah sekaligus, tidak seperti si tampan Critobulus. Dengan
hidung pesek penciumannya lebih tajam. Dengan bibir tebal, dia dapat mencium lebih
baik. Jadi, kata Socrates, hidung pesek, mata menonjol, dan bibir tebal itu indah, sebab
semua yang berfungsi paling baik itulah yang paling indah. Diceritakan, suatu ketika
istrinya mengguyurnya dengan seember air setelah sang istri mengucapkan kata-kata kasar
kepadanya. Apa komentar Socrates? Sesudah kilat sambar-menyambar, pasti turun hujan.
Seperti filsuf-filsuf pada umumnya, Socrates itu nyentrik. Dia memakai baju yang
sama sepanjang musim panas hingga musim dingin. Kalau bepergian, ia selalu
bertelanjang kaki. Di musim dingin dia tidak menggunakan alas kaki. Begitu asyiknya dia
merenung, sampai terkadang dia nampak seperti sedang dalam keadaan ekstase. Dalam
buku Dunia Sophie, Jostein Gaarder mengatakan Socrates itu tak ada tandingannya. “Anda
dapat menemukannya di masa sekarang, anda dapat menemukannya di masa lampau, tapi
anda tidak akan pernah menemukan padanannya.”. Banyak orang tertarik kepada
kepribadian Socrates karena keberaniannya, kejujurannya, dan sikapnya yang fair.
Radhakrisnhan, dalam buku History of Philosophy: Eastern and Western,
mengatakan bahwa orang Eropa hanya melihat Socrates sebagai seorang guru besar. Tapi
bila Socrates itu lahir di India, pasti dia dianggap seorang Avatara, artinya inkarnasi
Dewa. Maka, jika dia lahir di Palestina atau Arab atau Iran pasti akan dianggap nabi
karena dia memiliki segalanya yang membedakannya dari manusia lain.
Socrates mengaku dibimbing oleh suara batin yang selalu melarang, tapi tidak
memberi komando. Dalam buku Symposium karangan Plato diceritakan bahwa suatu pagi
dia tak dapat menemukan jawaban terhadap suatu masalah yang dipikirkannya. Dia berdiri
dan merenung sejak subuh sampai sore. Ketika orang-orang datang berkerumun di
sekitarnya, Socrates konon terus saja berdiri merenung hingga keesokan paginya.

b. “Masalah Socrates”
Socrates tidak pernah mewariskan sebuah tulisan pun. Filsafatnya kita kenal hanya
lewat orang lain, seperti Plato, Aristoteles, Aristophanes, dan Xenophon. Paling banyak
ajaran Socrates ditulis oleh Plato, muridnya. Bentuk tulisan Plato sebagian besar berbentuk
dialog, dengan salah satu pembicara utama bernama Socrates. Inilah yang menyebabkan
apa yang dinamakan The Problem of Socrates. Jadi, masalah Socrates adalah persoalan
tentang manakah ajaran Socrates yang diturunkan langsung oleh Socrates sendiri.
Mengapa Socrates tidak menulis sendiri? Rupanya untuk menunjukkan bahwa dia
hanyalah pencari kebenaran, dan itu dilakukannya lewat medium dialog atau wawancara.
Dia telah berjalan ke berbagai pelosok dan menemukan orang dari berbagai kalangan
untuk bertanya tentang segala sesuatu. Kita temukan ajaran Socrates dalam karya Plato
Dialogues, dan buku Xenophon Memorabilia. Menurut Ranakrishnan, dalam seluruh
khasanah sastra dunia tidak ada yang memperlihatkan kegairahan dialog seperti dalam
buku Dialogues, dan itulah sebabnya buku itu merupakan masterpiece dari sastra filsafat.
Sering diperdebatkan apakah Dialogues dan Memorabilia menampilkan Socrates
historis atau Socrates ciptaan Plato dan Xenophon. Sebab ada kesan, sosok Socrates di
sumber-sumber itu memberikan profil kepribadian yang agak berbeda. Pada Xenophon
Socrates ditampilkan sebagai ahli etika (bukan ahli logika dan metafisika). Sebaliknya,
Plato menampilkan Socrates sebagai ahli etika. Aristoteles tidak menampilkan Socrates
sebagai orang yang mengajarkan doktrin forma atau idea. Tapi, kata Ranakhrisnam, pada
dasarnya, disepakati bahwa pada kedua karya itu kita temukan Socrates yang satu dan
sama: seorang dengan fisik kekar tapi buruk rupa, yang selalu berjalan dari satu tempat ke
tempat lain untuk mengajak orang-orang mendiskusikan filsafat. Dia diterima sebagai
tamu di setiap rumah untuk mendiskusikan berbagai problem kehidupan. Audiensnya tidak
terbatas pada filsuf, tapi semua orang: tentara dan jenderal, birokrat dan negarawan, para
sofis yang suka menyombongkan diri, dan kaum muda.

c. Metode Socrates
Kenyataan bahwa ibunda Socrates seorang bidan kelahiran, rupanya membekaskan
kesan yang sangat mendalam dalam benak Socrates. Dia menyaksikan apa yang
dikerjakan seorang bidan, yakni membantu kelahiran bayi. Dan, di kemudian hari dia
mengatakan bahwa dia sendiri bertindak hanya sebagai bidan yang membantu melahirkan
kebenaran dalam diri setiap orang. Kebenaran itu dicapai melalui metode dialektika. Jadi,
tidak seperti sofis yang menganggap diri memiliki kebenaran, Socrates justru berpendapat
bahwa kebenaran itu sudah dimiliki setiap orang. Tugasnya fulsuf adalah membuat orang
sadar lalu melahirkan kebenaran itu. Dia menjelajah sudut-sudut kota, menemui semua
orang, dan mengajukan pertanyaan. Berdasarkan jawaban-jawaban yang diterimanya, dia
mengolahnya lagi untuk kemudian ditemukan definisi. Secara garis besar, ada beberapa
ciri khas metode dialektika ini:
Pertama, dalam proses dialog itu Socrates bertindak sebagai guru yang mengajukan
pertanyaan kepada murid-muridnya. Misalnya, dia mengajukan pertanyaan apa itu
keadilan? lalu sang murid menjawab pertanyaan tersebut.
Kedua, jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan, seperti, apa itu? digunakan
sebagai pijakan untuk mencari definisi tentang sesuatu. Aristoteles mengatakan bahwa
Socrates-lah orang pertama yang mengajukan pertanyaan tentang definisi universal.
Socrates memang selalu mencari inti atau hakikat sesuatu sebab dia suka silogisme, dan
pertanyaan apa itu? merupakan titik anjak silogisme. Menurut Aristoteles, dua hal dapat
dikatakan ditemukan oleh Socrates, yakni argumen-argumen induktif dan definisi
universal, kedua-duanya merupakan starting point dari ilmu.
Ketiga, Socrates menggunakan elenchus, yakni metode untuk menolak pendapat
seseorang dengan memperlihatkan bahwa premis-premis atau anggapannya akan
menghasilkan kesimpulan yang absurd. Orang-orang baru tidak selalu merasa kalah telak
dan terhina lewat proses elenchus ini. Tapi Socrates lebih banyak menggunakannya
terhadap orang tua atau anggota masyarakat terhormat yang tidak mau bahwa
pandangannya direndahkan.
Keempat, Socrates menggunakan ironi. Caranya kira-kira begini: mula-mula dia
memuji mitra dialognya dengan memuji-muji karena mereka banyak tahu, atau
menyatakan rasa kagumnya kepada mereka. Tapi ketika dialog mengalir semakin jauh,
akan nyatalah bahwa mereka itu sendiri sebetulnya bodoh dan tidak lebih pintar dari
Socrates sendiri. Jadi, sebetulnya pujian dan kekaguman yang diberikan pada awal dialog
sebetulnya tidak jujur, hanya cara membuat orang sadar bahwa mereka sebetulnya tidak
sehebat seperti yang dikiranya.
Kelima, ketidaktahuan (Socratic ignorance). Sering Socrates mengajukan pandangan
positif tentang suatu hal, tapi menunjukkan betapa kerdilnya mereka yang mengklaim tahu
baik tentang hal tersebut.
Ada kisah menarik tentang Socrates yang bisa menjelaskan sedikit tentang metode
Socratik. Suatu ketika, Chaerephon, seorang sobat Socrates, bertanya kepada ahli nujum di
Delphi: apakah di Athena ada orang lebih bijaksana dari Socrates. Jawaban ahli nujum:
tidak ada. Chaerepohn lalu menceritakan apa yang dikatakan ahli nujum itu kepadanya.
Setelah mendengar cerita Chaerophon, Socrates terkejut lalu merenung. Dia berpikir
bagaimana mungkin dia paling bijaksana dan tahu paling banyak? Dia tahu yang
dilakukannya setiap hari adalah bertanya dan bertanya kepada orang-orang di seluruh
pelosok Athena karena tidak tahu. Bukankah itu tandanya dia yang paling bodoh? Tapi,
lalu dia menemukan hikmah dari pernyataan ahli nujum itu. Socrates lalu menyadari
bahwa dia disebut orang paling bijaksana karena dia selalu sadar bahwa dia tidak tahu apa-
apa.

d. Etika
Menurut Socrates, tujuan tertinggi hidup adalah mencapai kebahagiaan
(aedaemonia). Kebahagiaan dicapai melalui kebajikan. Dalam pandangan Socrates,
kebajikan tertinggi adalah pengetahuan. Jadi, orang yang tahu banyak merasakan
kebahagiaan, dan dengan demikian mencapai tujuan kehidupannya. Tahu hanya diperoleh
dengan usaha tak henti-hentinya untuk menyelidiki segala sesuatu. Maka, menurut
Socrates, hidup yang tak diselidiki tidak layak dihayati.
Penekanan pada pentingnya pengetahuan inilah yang memunculkan kritik terhadap
etika Socrates sebagai intelektualisme etis. Intelektualisme etis adalah pandangan Socrates
bahwa tahu/mengetahui itu sendiri sudah baik. Socrates, dengan demikian, mengabaikan
pelaksanaan dari apa yang diketahui itu. Itulah kelemahan pandangannya. Sebab kita tahu,
kebajikan itu justru diperoleh dari pelaksanaan apa yang diketahui itu. Bukan semata-mata
soal tahu dan mengetahui. Jika dijelaskan secara lebih bebas, dengan mengetahui bahwa
tidak boleh membunuh orang itu sudah baik. Bahwa orang itu dalam kenyataannya
terkenal sebagai pembunuh, itu tidak penting. Menurut paham Socrates, kalau si A tahu
bahwa membunuh orang itu dilarang, si A itu sudah orang baik, walaupun dia dikenal
sebagai pembunuh berdarah dingin.

e. Definisi
Socrates juga dikenal sebagai filsuf pertama yang menemukan definisi universal.
Dia menegaskan bahwa tanpa definisi kita tidak mungkin tahu inti hakikat dari sesuatu.
Menurut dia, definisi adalah syarat untuk memiliki pengetahuan yang sempurna.
Pandangan Socrates tentang pentingnya definisi dimuat dalam buku Theaetetus karya
Plato. Kata Socrates:
“Bila orang menyatakan pendapat yang benar tentang sesuatu tanpa definisi, engkau
boleh mengatakan bahwa otaknya betul-betul pintar, tapi tak punya pengetahuan. Karena
orang yang tak dapat memberi dan menerima definisi tentang sesuatu tidak punya
pengetahuan tentang benda itu. Tapi kalau dia menambahkan definisi, saya bisa saja
menolaknya tapi pengetahuannya sempurna. Theaetetus bertanya: dapatkah guru memberi
contoh tentang definisi? Socrates menjawab: misalnya, tentang matahari, saya kira engkau
perlu tahu bahwa matahari adsalah benda yang paling terang di antara benda-benda
angkasa yang beredar mengelilingi bumi. Theaetetus berkata: tentu. Socrates berkata lagi:
camkanlah mengapa saya mengatakan hal ini. Alasannya, ialah, seperti yang saya
katakana, bahwa jika engkau tahu perbedaan dan cirri pembeda setiap benda, maka seperti
biasa dikatakan orang, engkau sampai pada definisi atau penjelasan tentang benda itu.
Kalau engkau hanya tahu suatu yang umum saja dan bukannya cirri, engkau hanya tahu
definisi benda-benda yang memiliki sifat-sifat umum itu.”

f. Akhir Hidup yang Tragis


Pada usia 70 tahun Socrates dihukum mati di depan sidang pengadilan Athena.
Peristiwa ini diceritakan dalam buku Plato The Apology. Kata apologi disini berarti
pembelaan dan bukan perasaan menyesal. Dia dituduh menyebarkan faham ateisme dan
menyesatkan kaum muda. Paling tidak, salah satu anak muda yang ada di benak para
penuduhnya adalah Alcibiades. Dia seorang jenderal dalam angkatan perang Athena
selama Perang Peloponessus II. Ketika berada di Sicily dalam sebuah ekspedisi militer,
Alcibiades menghancurkan sejumlah patung berhala di sebuah kenisah. Gara-gara
tindakan itu dia dipanggil pulang ke Athena untuk diadili karena melakukan kejahatan
besar. Tapi, Alcibiades melarikan diri. Pada kesempatan lain, sebagai bagian dari strategi
militer, Alcibiades mengorkestrasi penghancuran demokrasi Athena yang sudah dibangun
selama 20 tahun. Meskipun ini sebuah sukses militer jangka pendek, orang-orang Athena
menentang manuver itu. Di mata orang-orang Athena, Socrates patut dipersalahkan karena
salah membimbing Alcibiades.
Demi alasan politis, hal itu membutuhkan penjelasan. Persidangan berjalan lamban.
Orang-orang Athena akhirnya kalah perang lawan Sparta, dan selama beberapa tahun
sesudahnya Athena memasuki masa-masa penuh pergolakan. Tiga puluh komisioner
kemudian menumbangkan pemerintah baru Athena (bentukan Sparta) dan
memproklamasikan diri sebagai tiran. Ketiga Puluh Tiran itu menghukum, membuang dan
memenjarakan sejumlah orang Athena. Beberapa tiran kenal baik dengan Socrates. Dalam
setahun tiran-tiran itu sendiri ditumbangkan. Demokrasi dipulihkan dan amnesti umum
diberikan kepada para aktivis politik lama. Socrates diadili dalam masa amnesti umum ini,
dan dengan demikian, tidak ada kaitan langsung menyangkut hubungan antara Socrates
dan Alcibiades atau keluarganya yang anggota tiran.
Di Athena, orang per orang dapat mengajukan tuduhan kriminal. Penuduh resmi
Socrates adalah seorang fanatik agama bernama Meletus. Tapi sebetulnya Meletus
hanyalah alat. Penuduh sebenarnya adalah seorang pemimpin demokrasi yang sangat
disegani yakni Anytus. Motif fanatisisme agama nampaknya bukannya alasan yang
mendorong anytus untuk mengajukan Socrates, sebab pada tahun yang sama Anytus
membantu membela seorang Athena lainnya, bernama Andocides, dengan tuduhan
pelanggaran agama seperti itu. Tuduhan utama Anytus terhadap Socrates adalah bahwa
Socrates merusak anak-anak muda dan mengancam stabilitas demokrasi. Tuduhan
pencemaran agama ditambahkan karena ini memang bidang keahlian Meletus. Pendeknya,
pengadilan Socrates merupakan charade dengan bukti yang tidak terungkap dan penuduh
yang tidak kelihatan. Di bagian pertama pembelaannya, Socrates memperlihatkan
beberapa hal. Misalnya, pertama, pendapat bahwa memeriksa diri secara jujur (honest
self-examination) adalah sentral bagi kehidupan yang baik. Kedua, pandangan bahwa
seorang yang baik tak boleh disakiti.
Socrates mati karena minum racun. Cara kematian itu dipilihnya sendiri, walaupun
dia sebetulnya bisa terhindar dari kematian. Tapi, sekali lagi, contoh kematian dengan
racun meneguhkan sosok Socrates sebagai pengagum kebenaran. Dia menyatakan diri
sebagai orang yang tidak tahu apa-apa, dan sebab itu berkeliling menemui orang-orang
untuk bertanya dan bertanya. Dia memusuhi kaum sofis karena menuduh mereka
memperdagangkan kebenaran. Dia tidak suka disebut sofis sebab kaum sofis mengajarkan
relativisme, di mana tidak diakui adanya kebenaran mutlak. Dan, demi kebenaran itu
pulalah dia memilih untuk mereguk racun. Itulah sosok Socrates, filsuf terbesar Yunani,
terbesar di dunia, yang mengajarkan bahwa orang yang paling bijaksana adalah dia yang
menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa.

3. Socrates vs Sofis
Socrates adalah musuh para filsuf Sofis karena ajaran Sofisme yang relativistik.
Sikap ini mudah dimaklumi sebab Socrates sangat terpukau akan kebenaran, dan seluruh
kehidupannya dicurahkan kepada upaya mencapai kebenaran itu. Anehnya, Aristophanes,
penulis drama terkenal Yunani, memasukkan Socrates dalam kelompok para filsuf Sofis
dan para filsuf alam. Maka, opini publik pun lantas memandang Socrates sebagai sofis.
Filsafat Yunani sebelum kaum sofis, pada dasarnya lebih menampilkan watak
metafisika. Tapi sejak sofis, wajah filsafat menjadi humanistik. Ini jelas dari dictum yang
dikumandangkan Protagoras, pendiri sofisme: man is the measure of all things (manusia
adalah ukuran segala-galanya). Jadi, sebetulnya Socrates mematangkan apa yang sudah
dimulai oleh Protagoras dan Gorgias. Pada Socrates humanisme mencapai puncaknya.
Jadi, ada kesamaan antara Socrates dan kaum sofis, yaitu bahwa mereka sama-sama
menjadikan manusia sebagai proyek filsafatnya. Kata Socrates di depan pengadilan: “Hai
orang-orang Athena, pada hakikatnya saya tidak punya kaitan dengan spekulasi-spekulasi
bersifat fisik”. Berulangkali Socrates menandaskan bahwa tugas utama manusia adalah
mengenal diri sendiri. Itulah sebabnya mengapa dia begitu habis-habisan mencari definisi
tentang kebajikan. Socrates juga meneruskan tradisi sofisme karena dia menegaskan hak
manusia atas kebebasan berfikir.
Selebihnya, Socrates adalah musuh kaum sofis. Bahkan, citra negatif yang
diperoleh kaum sofis justru berpangkal dari Socrates. Dia sendiri tidak mau disebut sofis,
karena sofis dalam pengertian mereka sangat vulgar. Kaum sofis, di mata Socrates, adalah
subyektivis. Makanya, mereka menganut relativisme. Kaum sofis tidak menerima adanya
suatu kebenaran mutlak. Segalanya relatif, bergantung pada penilaian orang per orang.
Tidak heran, kaum sofis tidak menerima tradisi atau agama. Tidak ada ukuran mutlak.
Manusia adalah ukuran segala-galanya.
Menurut Socrates, itulah benih untuk munculnya anarki. Socrates percaya akan
obyektivitas. Bahwa ada kebaikan mutlak yang harus diikuti. Kebaikan itu harus diikuti
demi terciptanya stabilitas masyarakat. Dia percaya akan kebenaran obyektif dari hukum
universal. Dan sebab itu dia mencurahkan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran itu.
Dan, dia rela mereguk racun demi kebenaran itu. Kalaupun Socrates seorang sofis, dia
adalah supersofis. Lebih dari kaum sofis.
Menurut Socrates, kebenaran itu tidak boleh diperdagangkan. Kebenaran adalah
untuk kebenaran. Padahal, para filsuf sofis justru memperdagangkan pengetahuan dan
kebenaran untuk sesuap nasi. Kala itu, untuk terjun ke dunia politik para calon politikus
dituntut menguasai retorika dan logika. Kedua ilmu itu adalah miliknya kaum sofis.
Mereka itu para profesional yang bekerja untuk dibayar. Mereka mengajar untuk
mendapat uang. Maka, biasanya setiap sofis memasang tarif untuk jasa yang diberikan.
Dan, dalam pikiran kaum sofis, itu memang wajar. Praktek-praktek seperti inilah yang
ditentang keras Socrates.

Anda mungkin juga menyukai