Anda di halaman 1dari 9

Puisi Untuk Sang Penyelamat

Oleh: Ni Kadek Dita Meitria Putri

Pagi ini kelas Karin mendapatkan pelajaran Bahasa


Indonesia di jam pelajaran kelima. Bu Stella, guru Bahasa Indonesia
yang mengajar hari ini, datang memasuki kelas dengan senyum
ramahnya.

“Selamat pagi anak-anak.” Bu Stella menyapa seluruh


penghuni kelas 9A, dan seluruh siswa dengan kompak menyahut,
memberikan sapaan terbaik mereka walaupun wajah mereka
terlihat begitu lesu sebab sudah mendekati penghujung jam di
sekolah.

“Selamat pagi, Bu!” Bu Stella tersenyum hangat, dan


berjalan menuju ke depan kelas, menghadap kearah murid-
muridnya yang terlihat lesu. Ada beberapa yang berusaha
menyembunyikan wajah mereka saat menguap, ada yang menahan
kelopak mata mereka agar tidak terjatuh, dan ada juga yang
melamun, melihat kearah sang Guru.

“Nah, untuk pembelajaran kali ini, Ibu mau melakukan


kegiatan pembelajaran di luar kelas. Jadi, kalian bisa mencari
inspirasi untuk tema karya kalian di luar kelas. Silahkan rapikan alat
tulis kalian, kita keluar sekarang!” Bu Stella menunggu siswa-
siswanya yang sedang merapikan alat tulis mereka, dan mereka
segera keluar dari kelas. Lalu mereka dikumpulkan di pinggir
lapangan upacara, dan duduk dengan rapi.

“Baik, jadi kali ini kalian bebas mengekspresikan puisi


kalian, dengan syarat, temanya harus sesuai dengan apa yang ada di
lingkungan sekitar kalian sekarang. ” Bu Stella menjelaskan
instruksi pembelajaran kali ini, dan para siswa mendengarkan
dengan seksama. Semuanya pun serempak mengangguk, dan mulai
mengerjakan tugasnya.
Karin pun berjalan ke sekitar area lapangan dan taman
sekolah setelah Bu Stella menginstruksikan untuk segera memulai
mencari tema untuk puisi. Pandangannya terhenti di kumpulan
bunga aster yang tumbuh dengan cantik di taman sekolah. Ia pun
melihat sekilas kearah Bu Stella yang berdiri tak jauh dari sini.
Sepertinya, Karin telah menemukan inspirasinya.

Seorang laki-laki memutus lamunannya dengan menepuk


pundaknya. Laut, laki-laki itu mengejutkannya, dan ia hanya
tersenyum tanpa merasa bersalah, padahal jantung Karin seperti
hendak lepas dari tempatnya. Karin pun menatapnya dengan wajah
sebal, dan bertanya dengan nada ketus.

“Apa?” Laut lagi-lagi hanya tersenyum tanpa dosa, dan


mengusap tengkuknya sendiri. Tiba-tiba saja lidahnya menjadi kelu
ketika melihat raut wajah sebal Karin. Karin hendak
meninggalkanya karena ia terdiam begitu lama, dan Laut menahan
pergelangan tangannya.

“E-eh, aku tadi hendak bertanya, hanya saja aku tiba-tiba


lupa ingin berkata apa ketika melihat wajah sebalmu. Habisnya,
kamu terlihat lucu.” Laut terkekeh lembut, dan Karin hanya tertawa
kecil mendengar kalimat itu. Ia pun menetralkan kembali raut
wajahnya.

“Ada-ada saja. Kamu pasti ingin menanyakan tentang


puisiku. Jawabannya adalah, aku tidak akan memberi tahu puisi
seperti apa yang aku buat.” Karin terkekeh melihat wajah kecewa
Laut yang terlihat lucu. Namun sebenarnya, di dalam hatinya, Laut
merasa berdebar, mengira-ngira akan seperti apa puisi yang dibuat
Karin nantinya.

Mereka terlihat asik berceloteh, membicarakan tentang


puisi, tertawa ketika membicarakan hal-hal acak. Sampai-sampai,
keduanya tidak menyadari ada seseorang yang menatap dengan
tatapan tidak suka dari ujung sana.
Tak berselang lama, Bu Stella menginstruksikan kepada
siswa-siswanya tentang sisa jam pelajaran kali ini yang tinggal 30
menit saja. Karin mengangguk patuh, dan dengan segera merangkai
untaian kata yang berisi diksi indah untuk mempercantik puisinya.
Membuat puisi bukanlah hal yang sulit bagi Karin. Ia sangat
menyukai sastra, buku, dan diksi. Tak lama, Seseorang
menghampirinya, memberikan senyuman hangat dan berbicara
kepadanya.

“Halo, Karin. Apakah kau tidak keberatan jika aku duduk


disampingmu?” Gadis berambut pendek yang biasa dipanggil Arel
itu, bertanya dengan nada yang lembut. Karin mengiyakannya, dan
Arel mendudukkan dirinya di kursi keramik panjang yang dingin.

“Sudah hampir menyelesaikan puisimu? Ah, jujur saja aku


agak kesulitan mencari inspirasi. Lihatlah kertasku, hanya berisi
coretan-coretan saja.” Arel mengerucutkan bibirnya seraya
menunjukkan kertasnya yang berisi beberapa tulisan yang telah di
coret. Karin hanya tersenyum lembut.

“Wah, waktu sudah hampir habis. Biar aku bantu, apakah


kau mempunyai sesuatu yang kau sukai disini? Semisal, ah, bunga
bakung yang tumbuh disana. Bukankah itu terlihat cantik?” Karin
menunjuk kearah bunga bakung putih yang tumbuh tak jauh dari
sini. Arel terlihat berpikir sejenak, dan ia menunjukkan senyum
sendunya.

“Ehm, ada. Tapi sayang sekali hal yang aku sukai sangat sulit
untuk aku jangkau karena ada yang menghalangiku. Menurutmu
apakah aku harus menyingkirkan hal yang menghalangiku?” Arel
bertanya dengan raut wajah yang sulit ditebak oleh Karin. Karin
awalnya terlihat keingungan untuk menanggapinya, hingga ia hanya
memberikan senyuman dan menjawab seadanya saja.

“Sepertinya, iya? Kau harus menyingkirkan sesuatu yang


merusak kebahagiaanmu, dan melakukannya secepatnya.” Arel
menyunggingkan senyum tipis ketika mendengar jawaban Karin,
dan melihat raut wajah Karin yang terlihat kebingungan.

“Begitu ya? Baiklah, saranmu aku terima.” Arel terkekeh


lembut, dan melihat sekilas puisi sepanjang 2 paragraf yang telah
ditulis oleh Karin.

“Wah, kau bahkan sudah membuat 2 paragraf puisi. Jujur


saja, aku iri denganmu yang hebat di pelajaran ini.” Arel lagi-lagi
mengerucutkan bibirnya, dan Karin tersenyum canggung.

“Eh, ini bukan apa-apa. Aku hanya menyukai pelajaran ini


saja, tidak lebih. Aku pun payah dalam menghitung, dan kau unggul
disitu.” Arel terkekeh mendengar ucapan yang berisi pujian kecil itu.
Sejujurnya, ini pertama kalinya ada orang yang merendahkan diri
untuk memberikan pujian kepadanya.

“Itu pun bukanlah sesuatu hal besar untuk aku banggakan.”


Ujar Arel.

Karin dikejutkan dengan suara rintihan Arel yang tiba-tiba.


Ia menatap panik kearah Arel yang meringis dan memegang
perutnya.

“A-Arel, kamu baik-baik saja? Ayo kita pergi ke UKS


sekarang.” Karin mulai panik, hendak meminta pertolongan ke Bu
Stella, namun Arel menghentikannya.

“A-aku hanya ingin ke toilet. Aku mengalami diare sejak tadi


pagi. Maukah kau mengantarku ke toilet, Karin? Sebentar saja ku
mohon.” Arel menatapnya dengan tatapan memohon dan wajahnya
yang terlihat menahan sakit. Karin mengangguk, merasa tidak tega
melihat Arel yang terlihat kesakitan.

Setelah itu, keduanya berjalan menuju toilet perempuan


yang berada cukup jauh dari sini. Karin berjalan di depan Arel,
sebab Arel memohon padanya untuk berjalan duluan. Walau Karin
merasa khawatir, ia tidak bisa menolak permintaan Arel yang
terlihat ketakutan. Jadi ia berjalan di depan Arel, dan menggenggam
tangan gadis berambut pendek itu dengan erat.

Tiba-tiba, Karin dikejutkan ketika seseorang menarik


tangan kanannya dengan kencang, dan ia dibawa ke sebuah gudang
kosong yang sempit dan minim penerangan.

Arel—orang yang telah menariknya kemari lantas


membanting Karin dengan keras ke tumpukan buku paket. Karin
merintih keras, namun rintihannya itu mustahil terdengar dari luar
karena ruangan ini kedap suara.

“Arel, ap-apa yang mau kau lakukan denganku?!” Karin


menatap Arel dengan tatapan terkejut, takut, marah, dan tidak
percaya yang tercampur jadi satu. Sekujur tubuhnya terasa begitu
sakit ketika ia hendak bangun dari atas tumpukan buku-buku tebal
ini.

“Aku ingin melakukan apa yang kau sarankan padaku tadi,


menyingkirkan apapun yang menghalangi kebahagiaanku.” Arel
menyeringai dan menarik kedua kerah seragam Karin dengan erat.
Karin meringis, merasa lehernya begitu tercekik.

“Kau tahu, Karinina Jenggala? Kau sudah merebut begitu


banyak kebahagiaan dariku, dan membuatku terkena banyak
makian dari keluargaku! Peringkat pararel, jabatan di organisasi,
atensi dari para guru, dan Laut—laki-laki yang aku sukai! Kau
merebut semuanya dariku!” Arel menatap Karin dengan tatapan
nyalang setelah memberikan satu tamparan keras di pipinya. Karin
menatap Arel dengan mata memerah, tatapan yang sama marahnya,
sambil memegang pipi kirinya yang terkena tamparan.

“Lalu kenapa kau malah menyalahkanku?! Kenapa kau tidak


menyalahkan orang yang memilihku untuk menjabat di organisasi?
Salahkan juga guru-guru yang memberikan atensi padaku, dan Laut
yang memiliki perasaan untukku! Dan yang terpenting, salahkan
dirimu sendiri karena telah memiliki hati yang dengki!” Nafas Karin
memburu setelah menumpahkan emosinya yang meledak tiba-tiba.
Sementara Arel terkekeh sarkas, menatap dengan tatapan yang
semakin marah karena Karin telah menyulut emosinya. Arel
mendekatkan wajahnya ke wajah Karin, memberikan tatapan yang
tajam, dan meludah disana.

“Kau tahu kenapa aku menyalahkanmu, Karinina? Itu


karena kau mendapatkan segalanya. Aku tidak suka kalau ada orang
lain yang lebih unggul dariku. Arelie Veronika harus jadi yang paling
unggul dan mendapatkan apapun yang aku inginkan!” Arel menarik
rambut Karin, membuat sang empu menjerit kesakitan karena
tarikan keras yang menyakiti kepalanya.

“Berikan semua yang aku inginkan, Karinina! Enyahkan


perasaanmu untuk Laut sebelum aku benar-benar mengenyahkan
eksistensimu dari dunia ini!” Arel mengencangkan tarikannya di
rambut Karin, sementara Karin merintih kesakitan, berusaha
menahan tangan Arel sebelum ia menariknya dengan semakin
kencang, dan memohon pada Arel untuk melepaskannya.

Karin merasakan tubuhnya yang semakin melemah, ia ingin


meminta pertolongan ke siapapun, namun itu hanyalah hal yang sia-
sia, sebab tidak ada satupun orang diluar sana yang bisa
mendengarkan pembicaraan mereka di dalam sini, kecuali jika ada
keajaiban yang datang.

Dan keajaiban yang sejak tadi ia mohonkan dari dalam hati,


terkabul dalam sekejap mata. Mata Karin menyipit dan sayu ketika
melihat sinar yang silau menerangi ruangan pengap ini. Bu Stella,
Laut, dan Naresh mendobrak keras pintu ruangan ini dan berhasil
membukanya. Laut hendak berlari menghampiri dan memeluk
tubuh ringkih Karin yang terlihat tak berdaya, namun Naresh
menahan pergelangan tangannya, mengisyaratkannya untuk
menahan diri, dan membiarkan Wila dan Bu Stella saja yang masuk
untuk menghampiri Karin. Wila menghamburkan pelukannya ke
tubuh Karin, dan Karin menangis sejadi-jadinya disana.

“Karin, apa yang terjadi?! Apa yang telah dilakukan oleh


Arel?!” Karin berusaha untuk menjawab, namun ia tidak sanggup
mengontrol nafasnya, hingga pandangannya memburam dan ia
jatuh pingsan. Wila, Bu Stella, dan orang-orang yang ada disana
begitu panik, dan Bu Stella mengangkat tubuh Karin, membawanya
masuk kedalam UKS. Wila terisak, menghampiri Karin dan Bu Stella.
Laut baru saja hendak berlari, namun ia menahan langkahnya, dan
berbalik melihat Arel yang mematung ketakutan dan menatap ke
lantai dengan tatapan takut.

“Apa yang sudah kau lakukan, hah?! Kenapa kau begitu


kejam sampai melakukan kekerasan?! Tidakkah kau mengetahui
bahwa hal yang sudah kau lakukan bisa berakibat fatal?!” Laut
memberikan bentakan keras, dan berdecak lalu meninggalkan Arel
yang masih mematung ketakutan.

Arel merasa begitu ketakutan, nafasnya begitu terengah-


engah sejak Bu Stella dan yang lain datang. Ia berteriak keras,
memukul kepalanya, menyalahkan dirinya sendiri karena
membiarkan Veronika—sisi dirinya yang lain mengambil alih tubuh
dan akal sehatnya.

Seminggu setelah kejadian mengenaskan itu menimpanya,


Karin kembali bersekolah. Walau masih diliputi rasa takut, Karin
tetap memaksakan dirinya untuk pergi kesekolah. Sesampainya di
kelas, teman-temannya menatap Karin, terutama Wila sahabatnya
yang sudah menghamburkan pelukannya.

“Karin, kenapa kamu bersekolah hari ini?! Kau harus


beristirahat dengan baik dirumah.” Wila bertanya dengan tergesa,
dan Karin menanggapinya dengan senyuman tipis.
“Aku sudah lebih baik daripada saat itu. Lagi pula aku sudah
banyak absen.” Wila hanya mengangguk pasrah, kemudian
mempersilahkan Karin untuk duduk di bangkunya.

“Sudah dengar tentang Arel? Dia dikeluarkan dari sekolah.”


Karin menghentikan pergerakannya, dan menatap kearah Wila
setelah mendengar apa yang temannya itu katakan.

“Benarkah?” Tanya Karin, dan Wila mengangguk sebagai


jawaban.

“Benar. Ia telah melakukan kekerasan dan perundungan


serta mengancammu, jadi ia mendapatkan 100 poin bobot
sekaligus. Tapi dia juga harus melakukan terapi pengobatan, ku
dengar ia mempunyai sindrom kepribadian ganda.” Wila
mengecilkan volume suaranya, berbisik ketika mengatakan kalimat
terakhir. Karin terlihat terdiam, ia tiba-tiba merasa bimbang. Di satu
sisi, ia merasa lega mendengar Arel telah dikeluarkan, namun di sisi
lain ia juga merasa simpati dan tidak tega ketika mendengar bahwa
Arel memiliki sindrom kepribadian ganda. Apa yang dilakukannya
saat itu, pasti bukanlah murni keinginan Arel, melainkan sisi dirinya
yang lain.

Bel masuk berbunyi, menandakan pembelajaran akan


dimulai. Namun yang masuk ke dalam kelas bukanlah Bu Stella,
melainkan Naresh, sang ketua kelas. Naresh menyampaikan bahwa
Bu Stella tidak dapat mengajar hari ini karena sakit, dan kegiatan
deklamasi puisi yang harusnya dilaksanakan hari ini, di undur dua
hari lagi.

Karin sebenarnya merasa kecewa karena Bu Stella hari ini


tidak datang. Karin awalnya berniat untuk membacakan puisi yang
sudah ia buat ulang selama libur, sepenggal puisi untuk sang
penyelamat. Puisi yang ia dedikasikan kepada Bu Stella, penyelamat
yang sudah memperjuangkan keadilan untuk Karin.

Anda mungkin juga menyukai