Anda di halaman 1dari 4

PERIHAL MIMPI YANG TAK DIBERI IZIN

Selembar kertas putih dengan coretan angka di atasnya membuat Ajra menghela napas. Lagi
dan lagi, dia dipaksa untuk memahami materi yang ia benci. Bukan malas atau apa, tapi jika
bisa memilih, Ajra akan membuat berlembar-lembar puisi daripada harus bergelut dengan
soal dengan angka seperti ini. Dan juga, dia selalu dituntut untuk memenuhi ekspetasi dan
mendapatkan nilai yang tinggi.

Ditariknya kertas itu agar lebih dekat dengan dirinya. Dikerjakan sebisa mungkin sampai
kepalanya terasa hampir pecah. Sudahlah, kalau begini rasanya Ajra mau menyerah.
Berapapun hasilnya nanti, Ajra tak berharap banyak, dia sudah pasrah.

Berjalan ke depan dengan kertas soal yang telah terisi, membuat hatinya semakin takut. Takut
hasilnya tak memuaskan, takut mengecewakan. Menjadi orang yang mengumpulkan jawaban
paling terakhir, membuat Ajra semakin tak percaya diri. Karena, Ajra itu seperti ilalang di
antara padi-padi gemuk yang berisi, tak berguna dan perusak. Dan kata teman-teman satu
kelasnya, isi kepala Ajra tidak ada seperempat dari isi kepala mereka. Dasar manusia-
manusia tidak punya hati!

“Punya saya sudah selesai, Bu.” ucap Ajra seraya menyerahkan kertas soal miliknya.

Guru itu menoleh, menerima kertas yang diulurkan Ajra. “Terima kasih. Kamu boleh keluar.”

Ajra mengangguk dan mengucapkan terima kasih, setelah itu dia beranjak keluar. Menuju
kantin seperti biasa dan selalu sendirian. Ajra tidak punya teman. Sebenarnya bukan dia yang
tidak mau berteman, tapi mereka. Mereka tidak mau berteman atau bahkan berdekatan
dengan murid bodoh seperti Ajra.

“Ayah, maaf.”

Ajra terus merapal kata itu dalam hati. Berulang dan tiada henti. Berharap sang ayah
mendengarnya. Berharap semoga tidak dipukul dan diberi ampun. Sampai semangkuk soto di
depannya menjadi dingin dan air es miliknya meluap. Lamunan dan lantunan harap dalam
hati membuyar dan terhenti karena tepukan di bahunya.

Seorang perempuan dengan rambut diikat satu, serta kacamata bulat yang tak lupa selalu
berada di wajahnya. Kalau tidak salah namanya Raila, teman satu kelas Ajra. Raila duduk di
depan Ajra, menatap lelaki di depannya yang saat itu juga sedang menatap dirinya. Raila
tersenyum kala netranya bersitatap dengan manik hazel milik Ajra.

“Halo Ajra, gimana ulangan hariannya?” tanya Raila yang membuka percakapan dengan
sedikit basa-basi.

Ajra mengedikkan bahunya, “nggak tau, mungkin hasilnya akan sama seperti minggu lalu.”
Dilempari pertanyaan seperti itu, membuat Ajra sedikit gelisah. Hatinya kian menjadi resah.
Terkadang Ajra heran, kenapa banyak sekali manusia-manusia yang selalu mementingkan
nilai. Padahal yang terpenting adalah usahanya, perihal nilai itu bonus.

“Aku nggak tanya hasilnya akan seperti apa. Tapi aku tanya, ulangannya lancar? Nggak ada
kendala kan?” Raila menggulang pertanyaannyaang mungkin membuat Ajra salah paham
akan pertanyaan yang diajukannya tadi.

Ajra hanya mengangguk. Kemudian tangannya meraih mangkuk soto yang sedari tadi tidak
disentuhnya sama sekali. Saat beberapa suap, Ajra tersedak karena terkejut mendengar
kalimat yang keluar dari mulut Raila. Ajra mendongak, memandang perempuan yang duduk
di depannya dengan mata membelalak.

“Ajra kenapa kamu berhenti mengirim puisi yang selalu ditempel di mading sekolah setiap
pagi?”

Ajra menelan salivanya kasar. Tubuhnya bergeming, tak tahu harus membalas seperti apa.
Lidahnya terasa kaku dan mulutnya seakan enggan mengeluarkan suara untuk mengelak.
Belum reda rasa terkejutnya, Ajra kembali dikejutkan dengan buku dengan sampul usang
yang dikeluarkan Raila dari bawah meja. Buku ang sangat Ajra kenali.

“Aku tau kalau kamu itu sosok dibalik nama biru laut karena buku ini,” Raila menggigit
bibirnya. Rasa bersalah dan ketidak sopanannya menggerogoti hatina. “Aku menemukan
buku ini didekat gedung olahraga. Dan maaf, aku sempat baca beberapa lembar puisi di buku
ini.”

Raila meletakkan buku itu di depan Ajra. Kepalanya menunduk, meremat tangannya yang
berkeringat. Raila sudah siap jika Ajra akan memaki atau memarahinya. Tapi respon Ajra
benar-benar diluar dugaan. Lelaki itu hanya tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih.

“Kamu nggak marah?” Sorot matanya menunjukan bahwa Raila sedikit lega karena Ajra
tidak memarahinya.

“Enggak, justru aku berterima kasih karena kamu menemukan buku ini dan menggembalikan
kepada pemiliknya.”

Raila mengangguk sebagai balasan. Di kepalanya masih ada banyak pertanyaan. Rasanya
sesak, seperti minta dikeluarkan dan diutarakan. Dengan berani, Raila menatap Ajra dan
membuka mulutnya.

“Kenapa kamu nggak kirim puisi-puisi kamu ke redaksi?” tanya Raila dengan hati-hati.

Ajra menggeleng, menarik napasnya dalam-dalam sebelum membuka suara. “Aku nggak
berani, aku takut ayah marah dan merasa malu. Aku harus belajar biar bisa dapat nilai tinggi
dan membanggakan ayah”
“Kenapa harus merasa malu? Semua orang berhak punya mimpi atas kemampuannya. Ajra,
prestasi itu nggak melulu soal nilai.” Raila bingung, sebenarnya apa kemauan ayahnya Ajra.
Kenapa anaknya tidak boleh bermimpi?

“Aku nggak mau buku yang berisi karya-karya ku dibakar ayah, aku juga nggak mau dipukul,
lagi.” Ajra menunduk. Menyembunyikan wajah sendunya kala mengingat kejadian tempo
lalu, dimana ayahnya membakar buku-buku yang berisi hasil karya tangan mungilnya.

Ajra juga masih ingat, dimana dia dicaci maki habis-habisan oleh ayahnya. Lalu dipukul dan
tidak diberi ampun. Dia hanya bisa menangis dan berdoa agar ada orang yang menolongnya,
namun rasanya sia-sia. Matanya mengabur, pandangannya menghitam. Kepalanya terasa sakit
sekali seperti dihantam ribuan batu.

Raila memandang Ajra dengan tatapan tak percaya. Ternyata anak pendiam yang selama ini
ia kira hidupnya lurus dan mulus, memiliki ketakutan dan tuntutan luar biasa dalam
hidupnya. Melihat Ajra yang menahan tangisnya, Raila merasa tidak tega. Dia beranjak dari
duduknya, menghampiri Ajra dan duduk disampingnya. Tangannya terjulur menepuk bahu
Ajra, dan tidak lupa disisipkannya kalimat penenang dan penyemangat.

“Nggak apa-apa Ajra, nangis aja.”

Air mata Ajra tumpah ruah ketika mendengar ucapan Raila. Bahunya bergetar, tembok
kukuhnya roboh bagai diterjang ombak. Mulutnya mengatup, menahan suara agar tak
didengar banyak orang. Dalam hati dia berteriak, menyumpah serapah kepada orang-orang
yang tidak mengizinkan dia untuk meraih mimpinya.

“Aku suka puisi kamu yang ‘Haru Membiru’. Benar katamu, sesuatu yang awalnya
menggebu pada akhirnya akan menjadi abu dan debu. Hancur dan pudar lalu dilupa.” Ucap
Raila ketika mengingat puisi milik Ajra yang sangat menarik perhatiannya.

Ajra ingat, ia menulis puisi itu ketika merasa kecewa. Kecewa karena sang ayah yang tak lagi
bangga dengan Ajra dan mulai menuntut segala kemauannya. Tak hanya itu, ayah juga
mengungkit kejadian dimana Ajra yang disalahkan atas kematian ibunya. Kalau Ajra tidak
salah, puisinya seperti ini;

“Ketika sudah lupa dengan perihal lalu


Sudah seharusnya ada hal baru
Tapi itu semua berakhir menjadi satu
Bagai dikoyak ribuan batu
Hati ini rasanya tak menentu

Seperti halnya rasa yang menggebu


Haru yang membiru krmudian mengabu
Bagai diadu sampai mnjadi debu

Sudah hancur, lebur dan tak terukur”


Hatinya menghangat ketika Raila mengakatan ia suka dengan puisinya. Biasanya Ajra hanya
mendengar orang-orang memuji biru laut, tapi tak apa dia tetap senang ada yang suka dengan
karyanya. Tangisnya mereda, gumaman terima kasih masih ia lontarkan. Tidak peduli Raila
mendengarnya atau tidak.

“Ajra, jangan berhenti untuk bermimpi, ya. Aku harap biru laut dan Ajra akan tetap ada.
Semangat Ajra!”

Setelah mengatakan kalimat itu, Raila beranjak dan berjalan menjauh dari tempat Ajra. Tak
lupa senyuman hangat dan manis serta lambaian tanggan sebagai tanda perpisahan. Ajra
tersenyum tipis dan mengangguk sebagai balasannya. Rasa bahagia menjalar di seluruh tubuh
Ajra. Baru kali ini Ajra menemukan orang yang peduli padanya walau itu orang asing bagi
Ajra. Dia juga akan tetap bermimpi sebagai penyair yang karyanya bisa dibaca banyak orang.

“Terima kasih, Raila.”

Sephia Cahyarini
XI MIPA 3-26

Anda mungkin juga menyukai