Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH “LIMBAH NUKLIR JEPANG” EKONOMI

LINGKUNGAN
Dosen Pengampu:
Sri Mulyati, S.P., M.M.

DISUSUN OLEH :
Stephany Angel Tan 201110114
Edwar Dirma 201110124
Muhammad Rasyid H 201110134
Retno Hardianti 201110138
Febrika Aryadi Rahman 201110159

FAKULTAS BISNIS DAN MANAJEMEN


INSTITUT BISNIS DAN INFORMATIKA KESATUAN
BOGOR
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat Menyusun
makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami
membahas mengenai “Limbah Nuklir Jepang” Ekonomi Lingkungan. Atas
dukungan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami
mengucapkan terima kasih.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Sri Mulyati, S.P., M.M.


selaku dosen Mata Kuliah Ekonomi Lingkungan yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang studi.

Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Akhir kata, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah kami selanjutnya.

Bogor, 27 November 2023

Kelompok 3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Latar belakang pembahasan mengenai pembuangan limbah nuklir Jepang
ke laut melibatkan sejumlah permasalahan serius yang memerlukan pemahaman
mendalam. Seiring dengan berkembangnya teknologi nuklir di Jepang, negara ini
menghadapi dilema besar terkait pengelolaan limbah radioaktif yang dihasilkan
oleh kegiatan nuklirnya. Keputusan untuk membuang limbah nuklir ke laut
menjadi pilihan kontroversial yang menimbulkan berbagai pro dan kontra, tidak
hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat internasional.
Jepang, sebagai salah satu negara yang mengandalkan energi nuklir dalam
skala besar, menghasilkan limbah nuklir dalam jumlah yang signifikan. Tahun
2011 menjadi titik balik penting ketika terjadi bencana nuklir Fukushima yang
melibatkan kebocoran radiasi dari pembangkit listrik tenaga nuklir. Setelah
kejadian tersebut, Jepang terus berjuang untuk menangani dampak lingkungan dan
kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh limbah nuklir, mencari solusi yang
efektif dan aman.
Pembahasan ini juga mencakup keterlibatan komunitas internasional,
karena keputusan Jepang untuk membuang limbah nuklir ke laut memicu
keprihatinan dan reaksi dari negara-negara tetangga serta organisasi lingkungan
global. Pertanyaan etika, dampak terhadap ekosistem laut, dan potensi risiko
kesehatan manusia menjadi sorotan utama dalam konteks ini.
Selain itu, upaya Jepang untuk mencari alternatif pengelolaan limbah
nuklir yang lebih berkelanjutan dan aman merupakan aspek penting yang perlu
dianalisis. Langkah-langkah transparansi, partisipasi publik, dan penelitian ilmiah
menjadi kunci dalam menangani isu yang begitu kompleks ini.
Dengan adanya latar belakang ini, pembahasan mengenai pembuangan
limbah nuklir Jepang ke laut menjadi relevan dalam menggali pemahaman yang
lebih mendalam terkait konsekuensi, implikasi, dan solusi yang mungkin terkait
dengan kebijakan tersebut.
Dalam konteks krisis energi pasca-bencana Fukushima, Jepang
menghadapi tekanan untuk menemukan sumber energi alternatif yang ramah
lingkungan sambil mengelola limbah nuklir yang terus bertambah. Keputusan
untuk membuang limbah nuklir ke laut dianggap sebagai langkah kontroversial
yang menciptakan debat intens di berbagai lapisan masyarakat, termasuk kalangan
ilmuwan, aktivis lingkungan, dan masyarakat umum.
Penting untuk dicatat bahwa laut memiliki peran kunci dalam
menyediakan sumber daya pangan dan mata pencaharian bagi masyarakat, dan
keputusan Jepang dapat memiliki dampak besar terhadap ekosistem laut dan
keberlanjutan sumber daya perikanan. Kesadaran akan risiko radiasi,
penanggulangan dampak terhadap sektor perikanan, serta upaya pembersihan dan
pemantauan limbah nuklir di perairan laut menjadi fokus perhatian dalam
pembahasan ini.
Secara geopolitik, keputusan unilateral Jepang memunculkan pertanyaan
tentang tanggung jawab internasional, perlunya kerja sama antarnegara dalam
menangani masalah lingkungan, dan pentingnya transparansi dalam
menyampaikan informasi terkait kebijakan ini kepada masyarakat dunia.
Dengan mempertimbangkan kompleksitas isu ini, pembahasan mengenai
pembuangan limbah nuklir Jepang ke laut memerlukan analisis mendalam
terhadap dampak jangka panjangnya baik secara lokal maupun global. Upaya
untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan energi, keberlanjutan
lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat menjadi tantangan bersama yang perlu
diatasi secara bijaksana.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pengelolaan limbah nuklir di Jepang, khususnya dalam
konteks pembuangan ke laut pasca-bencana Fukushima?
2. Apa dampak lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh pembuangan
limbah nuklir ke laut, terutama terhadap ekosistem laut dan keberlanjutan
sumber daya perikanan?
3. Bagaimana respons sektor perikanan dan masyarakat lokal terhadap
kebijakan pembuangan limbah nuklir ini, serta upaya apa yang dilakukan
untuk melindungi keamanan pangan dan mata pencaharian mereka?
4. Bagaimana tanggapan internasional terhadap kebijakan pembuangan
limbah nuklir Jepang, dan apakah langkah ini dianggap sebagai
pelanggaran norma-norma lingkungan internasional?
5. Sejauh mana Jepang bertanggung jawab secara internasional dalam
mengelola dampak dari kebijakan pembuangan limbah nuklirnya, dan
sejauh mana transparansi informasi terwujud dalam penyampaian
kebijakan tersebut kepada masyarakat dunia?
1.3 Tujuan
1. Menganalisis Proses Pengelolaan Limbah Nuklir di Jepang
2. Mengidentifikasi Dampak Lingkungan Pembuangan Limbah Nuklir ke
Laut
3. Mengkaji Respons dan Upaya Masyarakat Lokal dan Sektor Perikanan
4. Menganalisis Respon Internasional dan Kepatuhan terhadap Norma
Lingkungan
5. Menilai Tanggung Jawab dan Transparansi Pemerintah Jepang
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Proses Pengelolaan Limbah Nuklir di Jepang


Sejak 24 Agustus 2023, Jepang telah menyaring dan mengencerkan jutaan
ton air yang terkontaminasi nuklir dari PLTN Fukushima Daiichi dan
membuangnya ke laut. Alasannya, tangki penyimpanan air yang terkontaminasi
nuklir di PLTN Fukushima Daiichi sudah hampir penuh. Sebelumnya, sekitar
1.000 tangki penyimpanan dengan total kapasitas 1,37 juta ton yang disiapkan
oleh Tokyo Electric Power Company (TEPCO) selaku operator PLTN Fukushima
Daiichi, diperkirakan bakal terisi penuh pada musim gugur 2022, dan tidak
mungkin membangun fasilitas penyimpanan baru di PLTN tersebut.
TEPCO menyatakan bahwa pada musim panas atau musim gugur tahun
2023, PLTN Fukushima Daiichi tidak lagi mampu menampung air yang
terkontaminasi nuklir, dan proses pembersihan limbah dari PLTN tersebut akan
tertunda jika air yang terkontaminasi nuklir tidak segera dibuang ke laut. Sepuluh
tahun sejak terjadinya kecelakaan nuklir Fukushima, hingga saat ini status
pencemaran di kawasan tersebut masih mengkhawatirkan. Pemerintah Jepang
telah mengajukan lima skema penanganan limbah nuklir Fukushima.
Lima skema itu yakni pembuangan ke laut dengan anggaran sekitar 3,4
miliar yen, pembuangan ke atmosfer sebagai uap air dengan anggaran 34,9 miliar
yen, dan pembuangan ke bawah tanah melalui pipa dengan anggaran 18 miliar
yen, pengolahan elektrolitik dengan anggaran sekitar 100 miliar yen, serta
pemadatan dan penguburan di dalam tanah dengan anggaran sekitar 243,1 miliar
yen. Di antara lima skema tersebut, pembuangan air limbah nuklir ke laut
merupakan opsi termurah, sedangkan opsi termahal adalah pemadatan dan
penguburan di dalam tanah, yang diperkirakan menghabiskan biaya puluhan
bahkan ratusan kali lipat dibandingkan dengan opsi pembuangan ke laut.
Skema yang dianggap pemerintah Jepang lebih rasional dibandingkan
skema pembuangan ke laut adalah mengubah limbah nuklir menjadi uap air lalu
membuangnya ke atmosfer, namun biayanya lebih mahal. Prinsipnya adalah
dengan menggunakan evaporator untuk mengubah air dalam limbah nuklir
menjadi uap, sementara zat radioaktif tetap berada di dalam air. Uap air kemudian
dibuang ke atmosfer, sedangkan konsentrat yang mengandung bahan radioaktif
tetap disimpan dalam tangki. Solusi ini dapat mengurangi total jumlah air limbah
nuklir, namun juga akan meningkatkan kesulitan dan risiko penyimpanan cairan
pekat. Secara umum, skema pembuangan evaporasi ke atmosfer akan
menghasilkan polusi yang jauh lebih rendah dibandingkan skema pembuangan ke
laut.

2.2 Dampak Lingkungan Pembuangan Limbah Nuklir ke Laut


Seperti diketahui, Jepang dikabarkan sudah merealisaskan pembuangan 1
juta ton lebih limbah nuklir ke laut pada Kamis (24/8) lalu. Kabar ini tentu saja
memancing reaksi dari berbagai pihak yang menentang, termasuk masyarakat.
Bukan tanpa alasan, limbah nuklir yang dibuang ke laut tentu akan menyebabkan
pencemaran dan kemudian merusak kehidupan bawah laut. Meski Jepang
menyebut bahwa pembuangan limbah nuklir yang akan dilakukan sudah sesuai
standar keselamatan internasional dan petunjuk Badan Atom Internasional (IAE),
namun tetap saja upaya ini menimbulkan dampak kerusakan di lingkungan.
Bukan hanya Jepang, menurut sejarah, beberapa negara juga pernah
melakukan hal yang sama. Jika ini dilakukan secara terus-menerus, terutama oleh
negara-negara yang mengembangkan tenaga nuklir, tentu bisa mengancam
kehidupan manusia. Kabar Jepang akan segera melakukan pembuangan limbah
nuklir ke laut menuai banyak reaksi di masyarakat hingga negara yang
menentang.
Pembuangan limbah nuklir ke laut sudah pernah dilakukan puluhan tahun
sebelumnya. Seperti pada 1952, limbah radioktif dalam jumlah kecil telah di
buang ke Laut Irlandia, Selat Inggris dan Samudra Pasifik.
Kemudian, pada 2006, Inggris juga membuang limbah nuklir sebanyak
12.900 meter kubik ke laut. Jumlah ini diketahui cukup untuk mengisi lima kolam
renang ukuran olimpiade. Jumlah ini belum seberapa, dibandingkan rencana
Jepang membuang limbah nuklir di tahun ini sebanyak 1,25 juta ton. Sebelumnya,
bencana gempa bumi dan tsunami tragis pada 11 Maret 2011 yang melanda
Jepang juga menyebabkan kerusakan besar pada pembangkit listrik tenaga nuklir
Fukushima Daiichi. Bencana alam ini pun mengakibatkan ribuan ton air radioaktif
terlepas ke Samudra Pasifik.
Pembuangan limbah nuklir ke laut dipandang sebagai pilihan yang lebih
aman dan mudah bagi beberapa negara yang mengembangkan tenaga nuklir.
Dalam prosesnya, pembuangan limbah nuklir ke laut juga melalui tahap dan
standar khusus. Salah satunya adalah tahap isolasi. Sebelum dibuang ke laut,
biasanya bahan radioaktif diisolasi terlebih dahulu dan dibungkus dalam kaca
beton. Ini dilakukan untuk mencegah kebocoran ketika sudah di buang ke dasar
laut. Bahan radioaktif yang dibungkus ini disimpan di darat terlebih dahulu
beberapa waktu hingga tingkat radioaktif menurun.
Meskipun tingkat radioaktif menurun seiring waktu, namun penurunan
kadar ini tetap memakan waktu mulai dari dua minggu hingga lima ratus tahun
sebelum mencapai tingkat aman. Dalam jangka panjang, dampak pembuangan
limbah nuklir ke laut akan memengaruhi rantai makanan. Radiasi nuklir dapat
memasuki rantai makanan melalui plankton dan rumput laut dan kemudian
mencemari ikan. Cesium dan plutonium radioaktif, bahkan telah ditemukan pada
anjing laut dan lumba-lumba di Laut Irlandia.
Daerah laut yang terkontaminasi dengan limbah nuklir, beberapa hewan di
dalamnya bisa mengalami kematian. Sebab, biota laut bisa menelan radiasi atau
zat radioaktif yang berumur panjang. Ikan-ikan laut yang terkontaminasi dengan
zat radioaktif, pada akhirnya bisa sampai ke manusia sebagai bahan makanan
yang dikonsumsi sehari-hari. Meskipun dinilai menjadi pilihan yang lebih aman
dan mudah, namun kebocoran apa pun yang terjadi di laut, lebih mudah menyebar
ke wilayah yang lebih luas dibandingkan di udara, termasuk kebocoran zat
radioaktif.
Bahkan, limbah nuklir ini bisa menyebar ke laut-laut lainnya hingga berbagai
negara sehingga dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk yang lebih luas.

2.3 Respons dan Upaya Masyarakat Lokal dan Sektor Perikanan


Sejak tsunami pada 2011 yang merusak PLTN tersebut, lebih dari satu
juta ton air limbah yang telah diolah terakumulasi di sana. Jepang mengatakan
akan membuangnya mulai 24 Agustus. Meskipun mendapat dukungan dari Badan
Energi Atom Internasional (IAEA) —Badan pengawas nuklir PBB — rencana itu
memicu kontroversi di Jepang karena masyarakat khawatir soal dampak
kontaminasinya. Masyarakat dari industri perikanan di Jepang dan sekitarnya juga
mengkhawatirkan mata pencaharian mereka, karena konsumen mungkin saja akan
menghindari membeli makanan laut. Sementara itu, di Korea Selatan, juga banyak
warga yang menentang meski pemerintahnya menyatakan tidak keberatan dengan
rencana tersebut.
Membuang air limbah yang telah diolah ke laut adalah praktik lazim di
PLTN, meskipun para kritikus menyoroti bahwa jumlah limbah yang dihasilkan di
Fukushima jauh lebih besar dan belum pernah dilakukan sebelumnya.
Tepco menyaring air dari PLTN Fukushima melalui Sistem Pemrosesan
Cairan Lanjutan (ALPS), yang mengurangi sebagian besar zat radioaktif sehingga
mencapai standar keamanan yang dapat diterima, selain tritium dan karbon-14.
Tritium dan karbon-14 merupakan radioaktif dari hidrogen dan karbon,
yang sulit dipisahkan dari air. Keduanya banyak ditemukan di alam, air, bahkan
pada manusia, karena terbentuk di atmosfer bumi dan dapat memasuki siklus air.
Keduanya memancarkan tingkat radiasi yang sangat rendah, namun dapat berisiko
apabila dikonsumsi dalam jumlah banyak Warga berdemonstrasi di depan kantor
Tokyo Electric Power Company (TEPCO) pada 24 Agustus 2023, di Tokyo,
Jepang. Air yang telah disaring melalui pengolahan lain, kemudian dicampur
dengan air laut untuk mengurangi konsentrasi zat yang tersisa, sebelum dilepaskan
ke laut melalui terowongan bawah tanah sepanjang 1km.
TEPCO akan memantau radioaktivitas air yang diproses pada berbagai
tahap, serta air laut di lokasi pembuangan. Menurut Tepco, sistem katup darurat
akan memastikan tidak ada air limbah murni yang bocor secara tidak sengaja.
Petugas juga bisa mematikan pembuangan secara manual dengan cepat apabila
terjadi tsunami atau gempa bumi. Pemerintah Jepang mengatakan tingkat akhir
tritium – sekitar 1.500 becquerel per liter – jauh lebih aman dibandingkan tingkat
yang disyaratkan oleh regulator untuk pembuangan limbah nuklir, atau oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk air minum. Tepco mengatakan tingkat
karbon-14 juga akan memenuhi standar. TEPCO dan pemerintah Jepang telah
melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa limbah yang dibuang hanya
menimbulkan sedikit risiko bagi manusia dan kehidupan laut.
2.4 Respon Internasional dan Kepatuhan terhadap Norma Lingkungan
Secara geografis, letak negara Tiongkok dan Korea Selatan dengan Jepang
sangat berdekatan yang hanya dipisahkan dengan Laut Cina Selatan, tentunya
faktor tersebut menimbulkan kekhawatiran masyarakat Tiongkok dan Korea
Selatan berkaitan produk laut yang mereka konsumsi sehari-hari yang diimpor
dari Jepang. Sebagai contoh, pemerintah Tiongkok mengumumkan larangan
impor produk laut Jepang dengan alasan kekhawatiran risiko terkontaminasinya
unsur radioaktif dari produk laut yang dikonsumsi. Selain pemerintah Tiongkok,
respon Korea Selatan serupa lewat Perdana Menteri mereka, yaitu Han Duck-soo
yang secara tegas melarang produk makanan laut dari sekitar wilayah Laut
Fukushima. Akibat dari tindakan kedua negara tersebut dalam memboikot produk
laut Jepang turut menimbulkan kerugian secara ekonomis bagi Jepang karena
produk laut yang dihasilkan Jepang tidak dapat diekspor ke Tiongkok dan Korea
Selatan.
Menurut data yang dilansir dari Moody’s Analytics, terdapat penurunan
Produk Domestik Bruto sekitar 0,04% atau 10.000.000.000 (sepuluh miliar) Yen
dari bulan Juli sampai Agustus akibat dari pemboikotan produk laut Jepang yang
dilakukan oleh Tiongkok. Selain itu, menurut Economist Intelligence Unit Asia,
Jepang harus menerima konsekuensi berat yang harus ditanggung akibat dari
tindakan pembuangan limbah nuklir tersebut, yaitu dengan rusaknya reputasi
produk makanan laut dalam perdagangan global. Hal tersebut dikarenakan
sebagian besar produk laut Jepang diimpor ke Tiongkok dan Korea Selatan.
Akibat lain yang harus diterima Jepang adalah dengan bertambah buruknya
hubungan dengan Tiongkok.
Dalam hal regulasi, atas laporan yang dikeluarkan oleh International
Atomic Energy Agency (“IAEA”) kepada PLTN Fukushima Daiichi, IAEA
memang sudah mendukung pembuangan limbah nuklir dari beberapa tahun yang
lalu. Hal tersebut didasarkan karena keterbatasan ruang penyimpanan dalam
menampung limbah nuklir yang harus dibuang karena jika tidak diolah dan
dibuang akan beresiko pada kebocoran PLTN Fukushima Daiichi. Seperti pada
tahun 2011, terjadi gempa bumi yang berkekuatan 9,0 magnitudo di Jepang
hingga menewaskan kurang lebih 18.000 kematian dan memicu kebocoran PLTN
Fukushima Daiichi. Pembuangan limbah ke Laut Fukushima tentunya menjadi
suatu pertimbangan pemerintah Jepang dan IAEA untuk membuang limbah nuklir
tersebut demi alasan keselamatan.
Dalam proses pembuangan limbah tersebut ke laut, Jepang telah
menggunakan Advanced Liquid Processing System (“ALPS”). Secara pengertian,
ALPS adalah suatu sistem pemompaan dan penyaringan, yang menggunakan
serangkaian reaksi kimia untuk menghilangkan 62 bahan radioaktif dari air yang
telah terkontaminasi dan hanya menyisakan tritium. Selain itu, World Health
Organization (“WHO”) juga telah memberikan regulasi berkaitan dengan batas
tritium per liter air limbah yang dibuang, yaitu sekitar 60.000 becquerel per liter.
Sedangkan, kadar tritium dalam air olahan yang dibuang di Laut Fukushima
masih sangat jauh dari batas operasional, yaitu 1.500 becquerel per liter.
Secara peraturan yang ada, tindakan yang dilakukan Jepang dengan membuang
limbah nuklir ke Laut Fukushima sudah sesuai dengan regulasi yang diatur dan
diberikan secara transparan dengan memberikan jumlah secara rinci kadar tritium
yang dibuang ke Laut Fukushima.
Selain itu, menurut Badan Pengawas Tenaga Nuklir Republik Indonesia
(“Bapeten RI”) menilai bahwa pembuangan limbah nuklir dari PLTN Fukushima
Daiichi tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi manusia maupun
lingkungan. Klaim tersebut berdasarkan atas hasil kerja selama dua tahun oleh
IAEA dengan belasan negara yang berdasarkan atas Standar Keselamatan IAEA.
Sejatinya, air olahan yang dilepaskan tersebut telah memenuhi standar yang
ditetapkan menjadi zat radioaktif yang secara alami terkandung di air biasa,
seperti air hujan ataupun di dalam tubuh manusia. Alhasil, pembuangan yang
dilakukan Jepang tidak berpengaruh terhadap kualitas ikan yang ada di Laut
Fukushima dan masih dalam kategori layak konsumsi.
Namun, di sisi lain dalam regulasi pembuatan PLTN sendiri, Jepang telah
melanggar Pasal 16 ayat (2) Convention On Nuclear Safety 1994 yang berisi
bahwa:
“Setiap pihak harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan
bahwa ada untuk fasilitas nuklir, rencana darurat internal dan eksternal yang diuji
secara berkala dan yang mencakup tindakan yang harus diambil dalam keadaan
darurat. Untuk setiap instalasi nuklir baru, rencana tersebut disusun dan diuji
sebelum mulai beroperasi di atas tingkat daya rendah yang disetujui oleh badan
pengawas.”
Apabila dibandingkan dengan kenyataan yang ada, tentunya tindakan
Jepang sangat bertentangan dengan membangun PLTN tidak sesuai dengan
perjanjian di atas. Seharusnya Jepang membangun fasilitas dengan kehati-hatian
sesuai dengan prinsip keselamatan IAEA agar tidak terjadi risiko besar, seperti
kebocoran. Pembuangan limbah nuklir yang dilakukan Jepang dengan dalih untuk
menghindari kebocoran akibat dari bencana alam dapat diminimalisir dengan
baik. Ditambah lagi dengan kelalaian Jepang yang tidak siaga dalam menghadapi
bencana alam yang tidak terduga, padahal banyak organisasi yang khusus dalam
mengawasi serta menangani apabila ada negara di dunia yang ingin membangun
PLTN untuk pembangkit listrik mereka. Alhasil, pembuangan limbah nuklir
bukan semata-mata tidak berdasarkan kelalaian Jepang, namun Jepang
bertanggung jawab penuh jika terjadi hal-hal yang merugikan berbagai pihak
dalam fenomena ini.
Untuk menindaklanjuti pemboikotan, Jepang mengancam membawa
Tiongkok ke World Trade Organization (“WTO”) untuk mencabut larangan impor
produk laut Jepang usai pembuangan limbah nuklir ke laut dari PLTN Fukushima
Daiichi. Tindakan tersebut dikarenakan ketika Jepang mengajukan protes ke
Tiongkok melalui jalur diplomatik, Tiongkok tidak mencabut pemboikotan impor
produk laut Jepang sehingga tidak berjalan efektif. Jepang merasa bahwa tindakan
Tiongkok tersebut merupakan tindakan yang tidak perlu dilakukan dan cenderung
berlebihan. Alhasil, untuk mendapatkan kembali pasar produk laut yang ada di
Tiongkok, Jepang mengajukan protes ke WTO untuk menindaklanjuti keputusan
Tiongkok tersebut. Adapun, jika IAEA sebagai lembaga independen dapat
membuktikan bahwa Jepang melanggar dan menyalahgunakan pemanfaatan nuklir
dengan melakukan pembuangan secara sembarangan, maka Dewan Keamanan
dari Persatuan Bangsa-Bangsa (“PBB”) dapat mengeluarkan resolusi atas tindakan
tersebut.
WTO sebagai organisasi internasional yang fokus dalam perdagangan
membuat perannya begitu penting dalam menengahi sengketa impor produk laut
Jepang di Tiongkok. WTO sendiri memiliki sistem dalam menyelesaikan sengketa
perdagangan yang disebut sebagai Dispute Settlement Body (“DSB”). DBS
sendiri merupakan cara menangani sengketa dagang internasional yang terjadi
antar negara-negara anggota WTO, dalam konteks permasalahan ini adalah
Jepang dan Tiongkok. Hal ini membuat WTO sebagai organisasi internasional
memiliki peran yang sangat kuat untuk menyelesaikan sengketa blokade impor
produk laut Jepang di Tiongkok karena keputusan dari DBS WTO sendiri bersifat
mengikat dan wajib dipatuhi negara anggota.

2.5 Tanggung Jawab dan Transparansi Pemerintah Jepang


Pihak berwenang Jepang dan Tepco telah meluncurkan kampanye yang
ekstensif untuk mengedukasi masyarakat, dan Perdana Menteri Fumio Kishida
menjanjikan “transparansi tingkat tinggi”. Tepco juga berjanji untuk
mempublikasikan data waktu nyata [real-time] mengenai tingkat radioaktivitas air,
pada portal online yang ditujukan untuk menjelaskan dalam berbagai bahasa soal
proses pengolahan dan pembuangan limbah. Delegasi asing dan media, termasuk
BBC, telah diundang untuk tur ke fasilitas pemrosesan. Dalam bidang diplomatik,
Tokyo telah berbicara dengan negara-negara tetangganya.
Dalam materi yang dipublikasikan di situs Kementerian Luar Negeri Jepang,
juga menunjukkan bahwa PLTN lain di wilayah tersebut – khususnya di China –
mengeluarkan air dengan kadar tritium yang jauh lebih tinggi. BBC dapat
memverifikasi beberapa angka ini dengan data yang tersedia untuk umum dari
PLTN China. Namun pembenaran terbesar mungkin terletak pada laporan IAEA,
yang dirilis oleh kepala badan tersebut, Rafael Grossi saat mengunjungi Jepang
pada bulan Juli.
Laporan yang dihasilkan setelah investigasi selama dua tahun itu,
menemukan bahwa Tepco dan otoritas Jepang memenuhi standar keselamatan
internasional dalam beberapa aspek termasuk fasilitas, inspeksi dan penegakan
hukum, pemantauan lingkungan, serta penilaian radioaktivitas. Grossi mengatakan
rencana tersebut akan mempunyai "dampak radiologis yang dapat diabaikan bagi
manusia dan lingkungan". Namun, keputusan Jepang untuk mulai membuang air
limbah di Fukushima telah membuat pertikaian dengan pihak yang kontra kian
intensif.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan penjabaran di atas, pembuangan limbah nuklir ke Laut


Fukushima merupakan tindakan yang tidak berbahaya karena tidak melewati
jumlah batas maksimum tritium yang dibuang ke Laut Fukushima. Selain itu,
IAEA sudah menerbitkan laporan tentang pembuangan limbah nuklir Fukushima
Daiichi yang mengakibatkan tidak adanya dampak lingkungan yang dihasilkan
dari fenomena tersebut. Namun, jika pembuangan limbah nuklir yang berdasarkan
keselamatan mengalami dampak langsung terhadap lingkungan, maka dampak
tersebut murni kesalahan Jepang yang memastikan secara lengkap apakah tempat
yang akan dibangun PLTN tersebut sudah sesuai dengan Convention On Nuclear
Safety 1994. Selain itu, hubungan Jepang dan Tiongkok bertambah buruk akibat
dari pembuangan nuklir dapat diatasi dengan pembukaan boikot dari Tiongkok
dan Jepang harus menjamin bahwa tidak adanya dampak yang diberikan jika
mengonsumsi makanan laut. Dengan demikian, hubungan Tiongkok dan Jepang
dalam sektor ekspor dan impor dapat kembali membaik. Ditambah peran Dewan
Keamanan PBB juga dapat turut andil untuk menyelesaikan permasalahan antara
Tiongkok dan Jepang.
Sumber

https://chat.openai.com
https://www.metrotvnews.com/play/NG9C5V5R-5-skema-
penanganan-limbah-fukushima
https://www.merdeka.com/jateng/dampak-pembuangan-limbah-
nuklir-ke-laut-bagi-lingkungan-rusak-rantai-makanan-17876-
mvk.html?screen=11
https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/fenomena-pembuangan-
limbah-nuklir-fukushima-sebuah-analisis-dalam-perspektif-
hukum-internasional/

Anda mungkin juga menyukai