Anda di halaman 1dari 12

A.

AKUNTANSI SOSIAL

Alokasi sumber daya yang efisien, melalui operasi sistem pasar dalam lingkungan kapitalis
barat, dipercaya dengan penyediaan kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan ‘standar
hidup’ mereka. Konsep ‘standar hidup’ yang diukur dalam segi produktivitas ekonomi nasional,
juga menyiratkan bahwa manfaat ekonomi merupakan suatu keuntungan yang seiring dari
pertumbuhan ekonomi. Beberapa manfaat ekonomi dari perkembangan dan pertumbuhan
kapitalisme telah disertai dengan kos lingkungan dan sosial. Sebagian besar efek sosial dan
lingkungan dari pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipisahkan, dan seringkali memiliki
hubungan sebab-akibat.

Sementara pelaporan keuangan umumnya ditujukan untuk memberikan informasi ekonomi


kepada para penyedia keuangan, seperti para shareholder dan para lender, akuntansi sosial dan
pelaporan terkait dengan identifikasi secara sukarela dan pengungkapan informasi mengenai
hubungan suatu organisasi dengan para karyawannya, komunitas lokal dan masyarakat pada
umumnya.

Gray, et al. (1987, p. ix) mendefinisikan pelaporan sosial korporat (corporate social
reporting) sebagai:

Proses mengomunisasikan dampak-dampak sosial dan lingkungan dari tindakan ekonomi


perusahaan kepada kelompok kepentingan tertentu dalam masyarakat dan kepada masyarakat
pada umumnya. Dengan demikian, hal ini melibatkan perluasan akuntabilitas organisasi
(khususnya perusahaan), melampaui peran tradisionalnya dalam penyediaan akun keuangan
kepada para pemilik modal, khususnya para shareholder. Perluasan seperti ini didasarkan
pada asumsi bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab sosial yang lebih luas daripada
sekedar menghasilkan uang bagi para shareholder-nya.
Oleh karena itu, akuntansi pertanggungjawaban sosial mendorong organisasi-organisasi
komersial untuk mempertimbangkan dampak operasi mereka terhadap komunitas, dan
mengungkapkan informasi mengenai kinerja sosial mereka. Pengungkapan dapat dibuat dalam
laporan tahunan organisasi, walaupun sekarang kebanyakan perusahaan besar dan organisasi
pemerintah mempublikasikan secara terpisah laporan sosial dan/atau lingkungan. Akuntansi
sosial merupakan suatu komponen ‘triple bottom line’ dari pertanggungjawaban ekonomi,
lingkungan, dan sosial, yang seringkali disebut sebagai ‘profit, people, dan planet’.

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 1


Akuntansi sosial tidak mewajibkan bahwa dampak-dampak sosial dan implikasi mereka
dapat diukur dari segi keuangan. Beberapa aspek sosial dari operasi perusahaan dapat dinilai,
seperti kontribusi keuangan terhadap organisasi komunitas. Dampak atau kontribusi sosial
lainnya dapat dikuantifikasi, tetapi tidak dinilai, dan ini mungkin termasuk, contohnya, dalam
bentuk sumbangan/donasi seperti waktu atau informasi untuk membantu proyek-proyek
komunitas. Masih ada kontribusi sosial lain, seperti keahlian yang digunakan dalam membantu
pengembangan komunitas, mungkin tidak bisa dikuantifikasi, tetapi kontribusi ini dapat
dinyatakan secara naratif.

1. Sejarah Akuntansi Sosial

Dimulai dengan kebangkitan Eropa dari zaman feodalisme, perkembangan ekonomi barat
dari abad ke-10 dan seterusnya ditandai dengan peningkatan produktivitas yang
memungkinkan pertumbuhan populasi yang besar. Pada awal zaman tersebut, terdapat suatu
gairah terhadap penemuan, perdagangan, finance, dan pengambilan risiko. Pembukuan
double entry berkembang untuk menanggapi kebutuhan dari peningkatan produktivitas itu,
dan sistem inilah yang dicatat oleh Luca Pacioli pada tahun 1494.

Karena metode akuntansi dan pencatatan berkembang untuk menangapi kebutuhan


perdagangan pada waktu itu, dan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan organisasi
bisnis modern, seringkali dinyatakan bahwa akuntansi itu dibuat/dikonstruksi secara sosial.
Ini berarti bahwa disiplin dan metodenya merupakan hasil/dampak dari peristiwa sosial,
ekonomi, dan politik, yang tercermin dalam transaksi ekonomi. Sebuah pendekatan yang lain
menyatakan bahwa akuntansi dapat mengkonstruksi secara sosial, dalam penggunaan
informasi akuntansi yang memainkan peran dalam pengambilan keputusan yang
mempengaruhi hubungan dalam masyarakat, dan pengembangan masyarakat itu sendiri.

2. Akuntansi Sosial: Perkembangan Terbaru

Gray, Owen dan Maunders (1987, p.1) memulai teks pertama mereka terhadap akuntansi
sosial dengan pengamatan (dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu) bahwa:

Tampaknya ada pandangan yang cukup umum, apabila bersifat implisit, bahwa organisasi
bisnis dan non-bisnis pada dasarnya sama-sama merupakan entitas yang
menguntungkan/bermanfaat dan berniat baik yang dituntun oleh adanya asumsi

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 2


‘enlightened self-interest’, berusaha untuk memenuhi peran yang penting dan diinginkan
dalam masyarakat barat.
Mereka menjelaskan bahwa masalah-masalah yang muncul biasanya ditafsirkan secara
sempit, umumnya hanya berkenaan dengan dampak-dampak ekonomi, dan ada sedikit
pengakuan bahwa aktivitas-aktivitas organisasi bisnis dapat merugikan secara sosial. Dalam
lingkungan yang berfaedah di mana perusahaan dianggap telah memenuhi kebutuhan
mayoritas masyarakat, masalah-masalah seperti produk yang berbahaya, korupsi, fraud, dan
praktik tenaga kerja yang tidak aman dianggap sebagai masalah keuangan yang
mempengaruhi profitabilitas, yang memiliki implikasi yang lebih luas hanya apabila
viabilitas (kelangsungan) keuangan perusahaan mungkin terancan.

Hal ini mulai berubah dengan perkembangan pelaporan sosial korporat (corporate social
reporting) pada awal tahun 1970-an. Respon terhadap Perang Vietnam, dan gerakan
perdamaian yang sangat aktif pada waktu itu, dipercaya sebagai awal mula pergerakan ke
arah pemenuhan tuntutan publik untuk meningkatkan tanggung jawab sosial korporat
(corporate social responsibility).

Katalisator utama meningkatnya minat terhadap hubungan antara bisnis dan masyarakat
selama 1970-an merupakan publikasi dari ide/gagasan Milton Friedman (1970) bahwa satu-
satunya tanggung jawab sosial bisnis adalah meningkatkan profit bagi para shareholder.
Selama tahun 1970 laporan-laporan sosial korporat dikembangkan, dan penerapannya oleh
KAP yang ditetapkan, seperti Ernst and Ernst, membantu mempromosikan laporan tersebut
sebagai suatu metode praktis untuk menjalankan akuntabilitas sosial korporat. Baru-baru ini
konsep pelaporan triple bottom line dikembangkan untuk mengatasi kekuatiran publik
mengenai meluasnya dampak aktivitas dan keputusan bisnis.

B. AKUNTABILITAS

Konsep akuntabilitas mewajibkan bahwa organisasi harus bertanggung jawab atas


konsekuensi-konsekuensi moral, sosial, dan lingkungan yang seringkali tidak disengaja maupun
tidak diakui dikarenakan mengejar tujuan ekonomi. Teori stakeholder, legitimasi organisasi dan
gagasan ekonomi politik akuntansi telah dikembangkan dari pandangan yang lebih luas, dan

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 3


berusaha untuk menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan terlibat dalam penyediaan
informasi sosial.

1. Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory)

Dalam perspektif stakeholder, keberhasilan organisasi tergantung pada kemampuannya


untuk menyeimbangkan tuntutan yang saling bertentangan dari berbagai stakeholder-nya.
Teori stakeholder merupakan teori deskriptif yang mencoba untuk membenarkan penyediaan
informasi sosial dalam upaya untuk mendapatkan dukungan stakeholder sehingga
meminimalkan biaya yang terkait dengan keluhan dan tindakan yang mungkin
mempengaruhi mereka. Stakeholder perusahaan secara tradisional diidentifikasi sebagai
pihak-pihak dengan kepentingan keuangan langsung dalam sebuah organisasi, seperti para
shareholder dan penyedia keuangan lainnya.

Hak-hak stakeholder dapat ditinjau dari tiga sudut pandang ‘logis’ atau moral yang
berbeda, yang membentuk hubungan antara gagasan deskriptif atas akuntabilitas stakeholder
dan pertimbangan etika normatif. Ketiga sudut pandang ini yaitu berbasis kepentingan,
berbasis hak, dan berbasis kewajiban (Werhane& Freeman1997).

Analisis berbasis kepentingan menilai konsekuensi dari tindakan dan kebijakan semata-
mata terkait dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam tindakan-
tindakan tersebut. Jadi, analisis ini mencakup kepentingan diri, kepentingan kelompok, dan
konsep utilitarianisme. Pemikiran utama dari ‘logika’ kedua, analisis berbasis hak, adalah
bahwa perlindungan hak harus meniadakan kepuasan kepentingan, dan bahwa hak yang
paling penting untuk dilindungi adalah hak untuk pendistribusian yang adil atas peluang dan
kekayaan/kesejahteraan, dan hak untuk kebebasan dasar. Logika ketiga dalam teori
stakeholder, analisis berbasis kewajiban, diatur oleh konsep etika atas kewajiban atau
tanggung jawab kepada masyarakat daripada individu. Dengan demikian, analisis ini
berkaitan dengan idealisme ketepatan dan loyalitas.

Ada sudut pandang moral keempat yang dibahas oleh Werhane & Freeman (1997),
sementara tidak berorientasi pada stakeholder, yang tetap relevan dengan akuntansi sosial.
Yaitu, analisis berbasis kebajikan (virtue), berkaitan dengan kebijaksanaan (prudence) dan
keadilan (justice), yang lebih mampu menyangkut-pautkan dirinya sendiri (analisis) dengan

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 4


masalah-masalah seperti kesadaran lingkungan ketimbang tiga sudut pandang lainnya yang
bergantung pada (umumnya manusia) preferensi stakeholder. Degradasi lingkungan dan
hilangnya keanekaragaman hayati memiliki efek tak terelakkan pada para stakeholder
manusia, dan analisis berbasis kebajikan (virtue) sangat relevan terhadap isu pelaporan triple
bottom line.

Penyediaan informasi dan komunikasi dengan semua stakeholder sangat penting untuk
perusahaan, sehingga masalah-masalah dapat ditangani sebelum mereka menjadi larut.
Akuntansi sosial memiliki peran besar untuk bermain dalam proses komunikatif.

2. Teori Legitimasi

Perspektif teori legitimasi didasarkan pada gagasan tentang kontrak sosial, tersurat
maupun tersirat, antara organisasi dan komunitas (Frost & Wilmshurst 1999). Proposisi/dalil
teori legitimasi adalah bahwa perusahaan diberikan hak istimewa, seperti keterbatasan
kewajiban dan pergantian terus-menerus, melalui mekanisme undang-undang korporasi.
Undang-undang ini disahkan di parlemen oleh para wakil rakyat, dan dengan demikian
terdapat kontrak sosial tidak langsung antara perusahaan dan masyarakat umum.

Jadi, legitimasi organisasi bergantung pada dukungan sosial dan politik, dan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan tergantung pada penyampaian perusahaan
atas beberapa tujuan yang diinginkan secara sosial. Selain itu, diharapkan bahwa perusahaan
akan memberikan manfaat kepada kelompok-kelompok yang memberikan kekuatan kepada
perusahaan, dan bahwa aktivitas mereka tidak akan merugikan secara sosial. Salah satu cara
di mana perusahaan dapat 'melegitimasi' operasinya adalah dengan memberikan informasi
tentang dampak sosial yang lebih luas, dan mengadopsi konsep akuntansi dan akuntabilitas
yang lebih luas.

3. Ekonomi Politik

Para pendukung perspektif ketiga, ekonomi politik akuntansi, berpendapat bahwa domain
ekonomi tidak dapat dianggap terpisah dari lingkungan di mana transaksi ekonomi dilakukan.
Dengan demikian, laporan akuntansi dianggap dokumen sosial dan politik, serta ekonomi.

4. Kekuatan Dan Akuntabilitas (Power And Accountability)

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 5


Laporan keuangan tradisional tidak dianggap sebagai dokumen 'netral' oleh para aktivis
sosial, tetapi sebagai cerminan kekuatan/kekuasaan perusahaan atas masyarakat. Pelaporan
sosial bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih luas, sehingga kekuatan, yang
diberikan karena kepemilikan informasi, dapat didistribusikan lebih merata. Hal ini penting
karena, seperti pernyataan Hines (1988), komunikasi informasi organisasi membangun
sebuah gambaran organisasi tersebut, dan gambar itu menjadi realitas untuk para pengguna
informasi yang tidak dapat melihat organisasi secara aktual beserta aktivitas-aktivitasnya
sendiri.

Perks (1993) menjelaskan bahwa kekuatan/kekuasaan dan akuntabilitas saling terkait, dan
upaya untuk memaksakan akuntabilitas merupakan upaya untuk membatasi kekuasaan.
Namun, cara di mana akuntansi beroperasi cenderung mencerminkan dan meningkatkan
hubungan kekuasaan yang ada dengan menyediakan informasi yang mendukung status quo
perusahaan yang penting untuk pertumbuhan ekonomi. Ia percaya bahwa jangkauan akuntan
dalam mengubah hubungan kekuasaan itu terbatas, tetapi penulis lain, seperti Gray et aL
(1996) menyatakan bahwa penyediaan informasi adalah suatu tindakan pemberdayaan, yang
memberikan kemampuan bagi para penerima informasi untuk mengambil tindakan sosial dan
politik yang bertujuan untuk mencapai perubahan. Informasi tersebut, bagaimanapun, harus
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh berbagai pengguna.

Bahasa, budaya dan ekuitas

Sejak pertama kali Pacioli mencatat metode pembukuan double entry tahun 1494,
akuntansi, sebelumnya dikembangkan oleh para pedagang untuk tujuan mereka sendiri dan
oleh karena itu umumnya dipahami dengan baik, telah mengadopsi terminologi khusus
dengan mendefinisikan kata-kata tertentu untuk memiliki arti khusus, dan dengan demikian
telah berkembang menjadi media komunikasi yang khusus digunakan sebagai 'bahasa bisnis'.

Akuntansi, sebagai bahasa bisnis, oleh karena itu memainkan peran utama dalam
memfasilitasi dominasi ekonomi atas kelompok-kelompok yang kuat, termasuk perusahaan
besar. Karena bahasa akuntansi adalah informasi eksklusif yang tidak dapat diukur dari segi
keuangan, banyak informasi yang penting untuk mengkomunikasikan dampak sosial dari
aktivitas bisnis belum disediakan.

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 6


Alternatif struktur sosial

Efek dari aktivitas usaha, difasilitasi dan didukung oleh informasi akuntansi, dapat
menimpa secara tidak merata pada kelompok-kelompok sosial yang berbeda, dan dalam
situasi inilah, isu-isu kesetaraan dan keadilan muncul.

5. Keadilan (Justice)

Filsuf politik John Rawls (1971) mengembangkan teori keadilan diterapkan pada
lembaga-lembaga ekonomi yang melibatkan penilaian/pertimbangan moral tentang distribusi
barang sosial. Rawls mencatat bahwa sistem kapitalis pasar bebas bergantung pada
ketidaksetaraan penghargaan dan hak istimewa yang melekat dalam profit dan persaingan.

Rawls (1982) mengusulkan dua prinsip sebagai pedoman bagi lembaga-lembaga politik,
sosial dan ekonomi:

(a) Setiap orang memiliki hak yang sama untuk skema yang sepenuhnya memadai atas
kebebasan berbasis kesetaraan yang kompatibel dengan skema kebebasan yang sama
untuk semua.
(b) Kesenjangan sosial dan ekonomi memenuhi dua kondisi. Pertama, mereka harus
melekat pada jabatan dan posisi yang terbuka untuk semua dalam kondisi kesetaraan
yang wajar; dan kedua, mereka harus menjadi manfaat terbesar untuk anggota
masyarakat yang setidaknya diuntungkan.

Jadi, prinsip kedua berkaitan dengan distribusi yang adil atas sumber daya masyarakat,.
dan inilah juga yang menjadi perhatian akuntansi sosial. Sementara perusahaan besar selalu
memiliki kendali atas sebagian besar sumber daya masyarakat, prinsip-prinsip keadilan dan
kewajaran mengharuskan perusahaan digunakan untuk kepentingan terbaik masyarakat, dan
bukan untuk kepentingan diri manajer perusahaan dan para shareholder. Pelaporan sosial
memungkinkan perusahaan untuk melaksanakan akuntabilitas sosial ini dalam cara yang
sama sebagai laporan keuangan yang ditujukan untuk pelaksanaan akuntabilitas ekonomi
kepada para stakeholder.

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 7


6. Kesinambungan (Sustainability)

Konsep kesinambungan (sustainability) diperkenalkan pada tahun 1987 dalam sebuah


laporan yang ditugaskan oleh PBB, Laporan Brundtland. Brundtland mendefinisikan
kesinambungan (sustainability) sebagai:

Perkembangan/pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan


kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Konsep kesinambungan awalnya diusulkan sebagai kesinambungan lingkungan dan
peduli dengan penggunaan sumber daya. Jadi, ini sangat terkait dengan akuntansi
lingkungan. Dalam organisasi bisnis, konsep tersebut telah berubah menjadi gagasan
‘kesinambungan perusahaan' (corporate sustainability) atau ‘tanggung jawab sosial
perusahaan’ (corporate social responsibility) dan istilah ini menjadi lebih terkait dengan
kesinambungan ekonomi, atau kelayakan keuangan.

Banyak perusahaan kini sudah mengadopsi pelaporan triple bottom line, karena mereka
percaya bahwa hal itu memberikan peluang untuk menunjukkan kepada para stakeholder
mereka bahwa mereka sedang memajukan praktik-praktik bisnis yang
berkesinambungan/berkelanjutan. Dalam banyak laporan 'sustainabiity' yang diterbitkan,
kinerja sosial berkaitan erat dengan efek ekonomi. Misalnya, tolok ukur dari kecelakaan
karyawan yang berkurang terkait dengan penghematan dalam premi asuransi atau hari kerja
hilang. Laporan Mays (2003), dalam bahasan tentang sustainability, menyatakan bahwa:

Sementara transparansi merupakan aspek penting dari kesimbungan, menanamkan


konsep-konsep secara internal dalam rangka untuk menambah nilai shareholder adalah
hal yang paling penting.
Para akuntan sosial mencari cara untuk meminimalkan potensi informasi tentang dampak
sosial dari operasi bisnis atau pemerintah menjadi keliru. Salah satu cara di mana ini hal ini
dapat dilakukan adalah informasi yang diberikan menjadi subjek dari audit sosial, dalam cara
bahwa integritas dari informasi akuntansi dibuktikan melalui audit kepatuhan.

C. METODE-METODE AKUNTANSI SOSIAL

Mathew (1993) telah aktif selama bertahun-tahun dalam mengajukan metode-metode untuk
meningkatkan penyediaan informasi sosial. Khususnya, dia telah mengkaji studi-studi akuntansi

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 8


pertanggungjawaban sosial dari seluruh dunia, dan mengembangkan serangkaian klasifikasi
akuntansi sosial. Klasifikasi ini meliputi:

1. Total Impact Accounting

Mathew menggambarkan istilah total impact accounting mengacu pada upaya untuk
mengukur, dalam segi keuangan, total kos dari menjalankan suatu organisasi dalam bentuk
yang sudah ada. Total kos organisasi dapat dibagi antara kos pribadi (private) dan kos publik.
Kos pribadi (private), juga disebut kos internal, adalah kos-kos yang secara tradisional
dicatat dan diukur dengan sistem akuntansi, seperti bahan baku, kos tenaga kerja dan
overhead. Kos publik juga dikenal sebagai kos eksternal, atau eksternalitas, dan kos-kos ini
ditanggung oleh komunitas. Dalam istilah akuntansi sosial, ekternalitas meliputi kos-kos
seperti masalah-masalah kesehatan yang disebabkan oleh emisi dari proses industri yang
mengakibatkan tingginya permintaan atas jasa medis dan sosial.

Mathew menjelaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam upaya untuk


memperkenalkan total impact accounting berkaitan dengan identifikasi, pengukuran, dan
penilaian eksternalitas, untuk memungkinkan pengungkapannya dalam laporan keuangan.
Ada juga kesulitan tambahan bahwa kos-kos ditanggung oleh orang-orang di luar entitas, dan
untuk menyertakan mereka akan bertentangan dengan konsep GAAP entitas.

2. Socio-Economic Accounting

Mathew (1993) menggambarkan socio-economic accounting bersangkutan dengan


pendekatan mikro terhadap masalah-masalah pemilihan, operasi, kontrol dan evaluasi atas
proyek, dan menjelaskan bahwa ini adalah metode yang lebih sesuai dengan sektor publik
daripada sektor swasta. Metode ini sangat berkaitan dengan konsep analisis cost-benefit.
Sekali analisis cost-benefit telah dilaksanakan dan proyek telah diterima, akan menjadi lebih
mudah menggunakan socio-economic accounting untuk mengevaluasi kinerja proyek, karena
data kos (cost) dan manfaat (benefit) sudah akan dicatat/direkam.

Jelas, beberapa pengukuran akan sangat sulit untuk diperoleh, tetapi terdapat model-
model penilaian sosial dalam literatur ekonomi, seperti contingent valuation dan option
pricing, yang menawarkan beberapa panduan/pedoman. Model-model ini dapat digunakan

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 9


untuk memberikan estimasi keuangan atas, contohnya, kos-kos yang bersedia dibayar oleh
orang-orang untuk melindungi aset-aset sosial seperti situs peninggalan atau taman nasional;
penting untuk dipahami bahwa nilai yang diperoleh adalah nilai sosial, dan bukan nilai
keuangan, dan untuk menyertakannya dalam laporan keuangan bisa sangat menyesatkan bagi
para pengguna.

Model-model socio-economic accounting dapat menjadi sangat rumit, Mathew berhati-


hati dalam menegaskan, karena model-model itu digunakan untuk membantu dalam
pengambilan keputusan mengenai efektivitas dan efisiensi dari aktivitas-aktivitas yang
didanai secara publik tanpa adanya harga pasar untuk output. Dia menjelaskan kesulitannya
adalah input-input mungkin diukur dari segi keuangan, bukannya non-keuangan, tetapi
output akan sering terbatas pada nilai-nilai non-keuangan, seperti jumlah lulusan sekolah
yang dipekerjakan.

3. Social Indicators Accounting

Social indicators accounting diidentifikasikan oleh Mathew sebagai pendekatan makro


yang terkait dengan pendekatan mikro yang digunakan dalam socio-economic accounting.
Social indicators accounting dapat diterapkan apabila tujuan-tujuan sistem sosial memiliki
populasi yang lebih sehat, lebih sejahtera, dan lebih berpendidikan, di mana kemajuan ke
arah tujuan mampu diukur. Indikator-indikator kinerja dikembangkan terkait dengan sasaran
yang akan dicapai, dan kinerja diukur terhadap sasaran tersebut.

D. PRAKTIK PELAPORAN SEKARANG

Laporan triple bottom line saat ini sedang disediakan oleh banyak perusahaan termasuk
kombinasi atas informasi keuangan, informasi non-keuangan terukur, dan deskripsi naratif.
Masalah potensial dengan menempatkan nilai keuangan pada sumber daya sosial adalah bahwa
para pengguna seringkali menganggap informasi keuangan tersebut objektif, tanpa menyadari
bahwa pertimbangan (judgment) seringkali terlibat dalam perhitungan jumlah yang dilaporkan.
Hal ini dapat menimbulkan hasil-hasil yang sub-optimal dari penggunaan informasi tersebut oleh
orang-orang yang tidak sepenuhnya diberitahukan mengenai sifat informasi. Informasi non-
keuangan terukur mungkin lebih dilaporkan secara lebih objektif, tetapi seringkali terdapat
kesulitan dalam membandingkan kuantitas sumber daya sosial yang berbeda. Naratif dapat

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 10


sangat bermanfaat dalam mengutarakan isu dan dampak, tetapi mungkin dilaporkan secara
subjektif dan kesulitan perbandingan masih tetap ada.

Pelaporan yang bermanfaat tetap dapat dicapai. Para akuntan, ketika mereka menghitung
rasio-rasio keuangan, menyadari kekurangan, bahwa rasio tunggal tidaklah bermanfaat untuk
tujuan pengambilan keputusan, tetapi kecenderungan dari waktu ke waktu dapat menyediakan
sebuah indikator yang berarti. Dalam cara yang sama, para akuntan sangat berhati-hati dalam
membandingkan rasio-rasio keuangan dari perusahaan yang berbeda, dan khususnya perusahaan
dalam industri yang berbeda. Informasi sosial dapat bekerja dalam cara yang sangat mirip.

Kebanyakan laporan sosial baru-baru ini dipublikasikan oleh perusahaan dan organisasi
pemerintahan memberikan indikator tolok ukur terhadap kinerja mana yang dapat dinilai.
Contohnya, perusahaan air dapat menetapkan sebuah tolok ukur untuk tingkat organisme yang
ada dalam aliran sungai lokal, dan menetapkan target untuk mengurangi konsentrasi selama
beberapa tahun.

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 11


DAFTAR PUSTAKA

Dellaportas Steven, et al. Ethics, Governance And Accountability: A Professional Perspective,


John Wiley and Sons Australia Ltd, 2005

Kelompok 5 (Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial) 12

Anda mungkin juga menyukai