Anda di halaman 1dari 9

Ahmad Najwan Almuzakki (17108040039)

Teori Akuntansi Syariah (A)


Pertemuan 15
BAB 11 : Konsekuensi Penggunaan Entity Theory Sebagai Konsep Dasar Akuntansi
Perbankan Syariah

A. Pengantar
Pada 1 Mei 2002 IAI mengeluarkan PSAK No.59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah. Ini merupakan langkah bagi IAI dan dunia Perbankan Syariah di indonesi yang telah
ada sejak 1992.
Dengan PSAK no.59, Perbankan Syariah memiliki panduan dalam persiapan laporan
keuangan. Sebelum itu, perbankan syariah memakai standar akuntansi keuangan untuk
perbankan konvensional.
PSAK no. 59 menjadi acuan standar yang dikeluarkan AAOIFI pada 1998. Standar ini
bermanfaat untuk institusi keuangan islam di seluruh dunia
Tetapi, konsep nilai yang jadi fondasi standar dua jenis ini banyak dipengaruhi oleh
konsep akuntansi modern. Walau banyak istilah yang terkait tentang perbankan syariah.
. Kedua standar ini berisi komponen laporan keuangan yang tak ada bank konvensional
seperti laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infak dan shodaqoh dan laporan sumber
dan penggunaan dana qardhul hasan.
Implisitnya, konesp teori entitas dalam kedua standar terpengaruh pada nilai
kapitalisme (setiabudi dan Triyuwono, 2002) dan utilitiarinisme. Kepemilikan dalam teori ini
adalah individualis dan tak ada relasi dengan syariah.
B. Akuntansi Sebagai Praktik Moral DNA Diskursif
Lebih dari sedekade, Francis (1990) mrncoban menarik perhatian akuntansi tidak
sekedar melihat akuntansi sebagai instrumen untuk bisni tetapi juga untuk praktik moral dan
diskursif juga. Praktik diskursif melihat akuntansi sebagai alat menyampaikan sesuatu atau
informasi kepada orang lain.
Interaksi akuntansi dan pengguna terlihat di AS yang memasukkan beberapa
perusahaan besar internasional (Enron, WorldCom, Xerox, Merck, Tyco, Intl, dan Athur
Anderson)
Praktik diskursif mengharuskan akuntan untuk berhati-hati dalam mengkomunikasikan
akuntansi. Akuntansi dikonstruk berdasar nilai etika. Ini mendorong terciptanya realitas
ekonomi dan bisnis yang beretika (akuntansi praktik moral)
Dapat dibayangkan bahwa akuntansi yang tak bermoral akan menghasilkan informasi
yang kering dari nilai etika dan realitas bisnis yang tak ada nilai etika.

C. Kandungan Nilai Informasi Akuntansi Modern


Ahmad Najwan Almuzakki (17108040039)
Teori Akuntansi Syariah (A)
Pertemuan 15
Tricker (1978) mengatakan bahwa akuntansi merupakan anak budaya masyarakat
dimana akuntansi diposisikan. Hal ini berarti nilai masyarat memiliki peranan besar dalam
membentuk akuntansi. Akuntansi modern di kembangkan oleh masyarakat memiliki paham
liberal dan kapitalis seperti konsep kepemilikan yang berpengaruh akuntansi. Kapitalis hak
miliki mutlak berada pada seorang individu atau pemilik modal. Hal ini menguatkan
kedudukan pemilik modal semakin kuat. Dengan ini, bentuk akuntansi juga terpengaruh
untuk kepentingan kapitalis. Banyak manipulasi angka – angka laba demi kepentingan
kapitalsi seperti kasus-kasus di AS
Secara implisit, kedudukan seorang kapitalis yang utama telah berakibat :
(1) Bentuk akuntasi menjadi egois
(2) Bias Materi
(3) Tidak memerhatikan eksternalitas
(4) Bias maskulin (lihat Triyuwono, 2000a: i-xxxvi)
(5) berorientasi pada informasi berbasis angka

D. Nilai Egosime Akuntansi Modern


Umumnya egoisme akuntansi modern direfleksikan konsep akuntansi ekuitas yang
dianut adalah teori entitas dan income menjadi informasi sangat penting. Menurut Kam
(1990: 307-8), perusahaan eksis menciptakan income yang diperuntukkan pemegang saham.
Egoisme akuntansi modern adalah suatu kewajaran dalam konteks kapitalisme ke arah
destruktif dalam kehidupan ekonomi, politik, dan bahkan budaya masyarakat. Wacana
kapitalisme tak lepas dari teori hak milik dengan perdebatan antara pandangan hak milik
seabagi hak asasi atau hak artifisial.
Locke merupakan orang pertama mengemukakan pembelaan bagi milik dalam jumlah
tak terbatas sebagai hak kodrati individu, bahkan lebih awal dari bentuk pemerintahan serta
lebih unggul dari pemerintahan itu (Macpherson, 1989:19-35)
Teori Locke yang mendasari teori adam smith berbicara hak milik pribadi baik dalam
pengertian yang sempit maupun yang lebih luas (Keraf, 1997: 69-74). Kalau dalam artian
sempit, hak milik pribadi mengacukepada barang-barang milik atau kepemilikan atas benda
tertentu.Dalam artian luas, hak milik pribadi mencakup mengenai semua hak asasi (hak
hidup, kebebasan dan barang milik)
Bentham mendasarkan semua hak atas milik dan hak-hak pemerintah atas asas
kegunaan atau kebahagiaan terbesar yang diukur dengan banyaknya kesenangan yang
melebihi penderitaan, posisi yang khas bagi para pendukung utilitarianisme. Pengaruh dari
beberapa gagasan yang ada akan terlihat jelas bentuk akuntansi modern, khususnya laporan
laba rugi, laporan laba yang di tahan, dan neraca. Pada laporan laba rugi, income menjadi
penting. Income ini di akumulasi pada laporan laba ditahan. Dan pada neraca akan terlihat
pada sub ekuitas, yamg memberi informasi saham yang beredar dan laba yang
diakumulasikan.
Ahmad Najwan Almuzakki (17108040039)
Teori Akuntansi Syariah (A)
Pertemuan 15
Pada tatanan pragmatik, bentuk ini memegaruhi perilaku para penggunanya. Sebagai.
contoh, untuk melihat tingkat return pada perusahaan, maka seorang pengguna informasi
akuntansi akan melihat angka-angka income dan total asset
E. Nilai materialisme Akuntansi Modern
Nilai kapitalisme dalam akuntansi modern mengandung konsep etika utilitarianisme. Etika
utilitarianisme adalah konsep nilai seperti nilai baik buruk diukur dari utilitas (jika perbuatan
itu utilitas berarti dianggap etis). Utilitas yang dimaksudkan adalah dalam pengertian materi
yang bersifat hedonis. Dan utilitas diturunkan dari konsep pleasure atau happiness. Padahal
kebahagiaan tidak hanya menyangkut materi tetapi juga aspek mental dan spiritual. Berarti
teori ini mereduksi pengertian kebahagian dalam pengertian materi saja

F. Orientasi Internalitas Akuntansi Modern


Akibat dari sifat egoistik akuntansi modern terletak pada konsep yang mengakui biaya
pribadi (internalitas) yang berlawana dengan biaya publik (eksternalitas) seperti biaya polusi
tanah, air, udara dan suara Dan, Akuntansi modern tak bertanggung jawab terhadap public
costs yang terjadi karena urusan operasi perusahaan tetapi malah masyarakat sekitar (dan
alam) yang menanggungnya (Matthews, 1993: 130-1) Total Impact Accounting (TIA)
merupakan bentuk akuntansi yang mencoba menampilkan dua jenis biaya yang dikeluarkan
dalam menjalankan operasi perusahaan, yaitu private costs dan public costs

G. Orientasi angka-angka Akuntansi modern


Akuntansi modern identik dengan angka-angka yang merupakan pusat dan menjadi
salah satu bentuk logosentrisme dari akuntansi modern. Akuntansi jika tanpa angka angka tak
akan bisa menggambarkan keadaan perusahaan. Gambaran realitas bisnis oleh akuntansi
modern dalam bentuk angka merupakan langkah mereduksi realitas yang sebenarnya.
Sehingga informasi yang disampaikan oleh akuntansi menjadi sangat parsial.
Sesuai dengan tradisi Tao, maka terlihat bias yang tercipta akuntansi modern adalah
bias maskulin. (Hines, 1992). Maksudnya nilai akuntansi modern adalah nilai maskulin dan
nilai feminim dihilangkan.

H. Konsekuensi Penyimpangan Informasi Akuntansi Modern


Bila informasi yang disampaikan terdapat nilai egoisme, maka pengguna informasi ini
akan dipengaruhi oleh egoisme informasi akuntansi. Akibatnya, keputusan bisnis yang
diambil dan juga realitas yang diciptakan akan bersifat egois
Sifat egois ini juga tampak pada akuntansi modern yang hanya mau mengakui private
cost serta mengabaikan public costs yang akhirnya dapat menggambarkan realitas bisnis yang
egois. Realitas bisnis yang egois secara normatif merupakan realitas tak ideal dan cenderung
destruktif dalam kehidupan manusia dan lingkungan alam. Hal ini diperparah oleh informasi
akuntansi yang hanya memperhatikan aspek materi saja.Dalam skala makro (ekonomi,
Ahmad Najwan Almuzakki (17108040039)
Teori Akuntansi Syariah (A)
Pertemuan 15
budaya, sosial dan politik), kehidupan mansuia menjadi terganggu karena tak ada
keseimbangan tatananan kehidupan. Bentuk akuntansi yang semakin lama semakin beragam
dipengaruhi akuntansi positif dari paradigma positivisme yang merupakan core utama bentuk
akuntansi modern.

I. Relevansi Infromasi Akuntansi Syariah


Realitas dari akuntansi modern yang diatas adalah bentuk realitas tak ideal.Yang
diharapkan adalah realitas sarat nilai etika. Artinya, realitas yang terdiri dari jaring-jaring
kuasa ilahi yang memengaruhi pengguna informasi akuntansi untuk selalu bertindak etis.
Maka diperlukan bentuk akuntansi yang kondusif seperti akuntansi syarah (Triyuwono, 1997;
2000a; 2000b). Informasi akuntansi syariah diharapkan memberikan informasi adil dengan
proses konstruksi berdasar asumsi hakikat diri manusia dan pemahaman ontologisyang lebih
tertata jelas dibanding akuntansi modern.
Dalam konstruksi akuntansi syariah, hakikat diri manusia dan pandangan ontologis
adalah dua hal yang penting. Karena hakikat diri mempengaruhi cara pandanng terhadap
realitas yang ia hadapi. Contohnya jika kita diposisikan sebagai homo economicus berarti
orang memandang realitas dari perspektif ekonomi saja. Hal ini berbeda jika kita
diumpamakan sebagai khalifatullah fil ardh (Q.S Al-Baqarah ayat 30). Dengan persepsi
semacam ini, ia secara etis memiliki akuntabilitas untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh
makhluk (Q.S Al-Anbiya ayat 107 dengan jalan amr ma’ruf nahy munkar (Q.S Ali Imran ayat
110)
Seorang akuntan tak hanya diminta kritis saat memahami hubungan antara akuntan itu
sendiri dengan apa yang harus dia pertanggungjawabankan (Morgan, 1988: 484), tetapi juga
dituntut akuntansi macam apa yang harus dia ciptakan dan bagiamna menciptakannya.
Seorang akuntan secara normatif menjadikan nilai “keadilan ilahi” sebagai dasar patokan
dalam berinteraksi dan membentuk realitas sosial. Keadaan ilahi harus terkandung dalam
realitas sosial dan akuntansi karena jika akuntansi dikonstruksi dengan ideologis lain yang
tidak kompatibel dengan dengan niali “keadilan ilahi”, maka informasi akuntansi yang
direfleksikan dari realitassosial yang dibangun dengan nilai “keadilan ilahi” akan terbias dan
terdistorsi oleh nilai ideologis yang digunakan untuk mengkonstruksi bangunan akuntansi ini
Konsekuensi ontologis seoran akuntan merupakan bahwa secara kritis mampu
membebaskan manusia dari realitas semu beserta jaringan kuasanya untuk memberikan
realitas alteratfi dengan seperangkat jaringan kuasa ilahi dengan mengikat manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Aspek ditampilkan akuntansi syariah adalah nilai keadilan (Q.S Al-
Baqarah ayat 282) yang secara epitemologis dinyatakan dalam formula “berpasangan” (Q.S
yasin ayat 366; lihat uga basir, 1986a; 1986b; Triyuwono, 1997; 2000a: i-xiii; 2002). Contoh
keadilan seperti materialistik - spiritualistik, internalitas – eksternalitas; kuantitatif –
kualitatif, dst.
Ahmad Najwan Almuzakki (17108040039)
Teori Akuntansi Syariah (A)
Pertemuan 15
BAB 12 : Dekonstruksi : Mengangkat “Sang Liyah” Untuk Formulasi Nilai-Tambah
Syariah
Sifat yang melekat pada entity theory akan sulit mendukung akuntansi syariah yang bertujuan
untuk “membangkitkan kesadaran ketuhanan” para penggunanya. Kesulitan tersebut terutama terletak
pada tiadanya keseimbangan antara sifat egoistic dan altruistic serta tujuan akhir ( the ultimate goal)
akuntansi. Dengan menggunakan “epistemologi berpasangan” (Triwuyono, 2006a) dan metafora
zakat, sharia enterprise theory berusaha menangkap sunnatullah dan menggunakannya sebagai nilai
untuk membentuk dirinya. Sharia enterprise theory memiliki cakupan akuntabilitas yang lebih luas
dibandingkan dengan entity theory. Akuntabilitas yang dimaksud adalah akuntabilitas kepada Tuhan,
manusia, dan alam (Triwuyono, 2006a). bentuk akuntabilitas semacam ini berfungsi sebagai tali
pengikat agar akuntansi syariah selalu terhubung dengan nilai-nilai yang dapat “membangkitkan
kesadaran ketuhanan”.
Konsekuensi dari diterimanya sharia enterprise theory sebagai dasar dari pengembangan teori
akuntansi syariag adalah pengakuan income dalam bentuk nilai tambah (value added) bukan income
dalam pengertian laba (profit) sebagaimana yang diadopsi oleh entity theory. Baydoun dan Willet
(1994; 2000) dalam Islamic accounting theory dan Islamic corporate reportsnya telah menunjukkan
nilai tambah. Namun apa yang disampaikan oleh mereka sebetulnya masih dalam bentuk yang
sederhana dan lebih menekankan pada bentuk penyajian dalam laporan nilai tambah (value added
statement). Substansi dari nilai tambah itu sendiri tidak didiskusikan. Pada dasarnya Baydoun dan
Willet (1994; 2000) menggunakan konsep nilai tambah modern sebagaimana yang didiskusikan
beberapa peneliti misalnya Collins (1994) dan Wurgler (2000). Sementara Mulawarman (2006) juga
mencoba untuk memberikan kontribusi. Namun, kontribusi yang diberikan pada dasarnya sama
dengan yang dipaparkan oleh Baydoun dan Willet (1994; 2000). Apa yang dikontribusikan
Mulawarman lebih banyak pada bentuk Laporan Nilai Tambah Syariah (sharia value added
statement). Jadi sebenarnya penelitian atau studi khusus yang mendiskusikan tentang konsep nilai
tambah syariah sama sekali belum ada.
Berdasarkan pada perkembangan terakhir dari studi nilai tambah tersebut, maka studi ini
mencoba untuk memberikan kontribusi dalam bentuk rumusan nilai tambah syariah (sharia value
added). Dari hasil studi ini diharapkan menjadi tambahan pengayaan bagi teori akuntansi syariah. Di
samping itu, juga diharapkan bahwa accounting setter dapat mempertimbangkan konsep ini untuk
dapat diaplikasikan atau diimplementasikan pada bank syariah di Indonesia.

A. Sharia Enterprise Theory (SET) : Tuhan Sebagai Pusat


Dapat diketahui bahwa enterprise theory lebih sarat dengan nilai-nilai kapitalisme, sehingga
akuntansi syariah lebih cenderung pada enterprise theory. (Baydoun dan Willet, 1994; Harahap, 1997;
Triwuyono, 2000a). Namun demikian, enterprise theory perlu dikembangkan lagi agar memiliki
bentuk yang lebih dekat lagi dengan syariah. Pengembangan dilakukan sedemikian rupa, hingga
akhirnya diperoleh bentuk teori dikenal dengan istilah sharia enterprise theory (SET). (Triwuyono,
2006a ; 350-56).
SET yang dikembangkan berdasarkan pada metafora zakat pada dasarnya memiliki karakter
keseimbangan. Secara umum nilai keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara nilai-
nilai maskulin dan nilai-nilai feminine (Hines, 1992; Triwuyono, 2000b, 2000a). SET
menyeimbangkan nilai egoistic (maskulin) dengan nilai altruistic (feminine), nilai materi (maskulin)
dengan nilai spiritual (feminin), dan seterusnya. Dalam syariah Islam, bentuk keseimbangan tersebut
secara konkret diwujudkan dalam salah satu bentuk ibadah, yaitu zakat.
Ahmad Najwan Almuzakki (17108040039)
Teori Akuntansi Syariah (A)
Pertemuan 15
Zakat (yang kemudian dimetaforakan menjadi “metafora zakat”) secara implisit mengandung
nilai egoistik-altruistik, materi-spiritual, dan individu-jamaah. Konsekuensi dari nilai keseimbangan
ini menyebabkan SET tidak hanya peduli pada kepentingan individu (dalam hal ini pemegang saham)
tetapi juga pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu, SET memiliki kepedulian yang besar pada
stakeholder yang luas. Menurut SET, stakeholder meliputi Tuhan, manusia, dan alam. Tuhan
merupakan pihak paling tinggi dan menjadi satu-satunya tujuan hidup manusia. Dengan menempatkan
Tuhan sebagai stakeholder tertinggi, maka tali penghubung agar akuntansi syariah tetap bertujuan
pada “membangkitkan kesadaran ketuhanan” para penggunanya tetap terjamin. Konsekuensi
menetapkan Tuhan sebagai stakeholder tertinggi adalah digunakannya sunnatullah sebagai basis bagi
konstruksi akuntansi syariah. Intinya adalah bahwa dengan sunnatullah ini, akuntansi syariah hanya
dibangun berdasarkan pada tata aturan atau hukum-hukum Tuhan.
Stakeholder kedua dari SET adalah manusia (dalam hal ini dibagi menjadi dua kelompok
yaitu direct stakeholder dan indirect stakeholder. Direct stakeholder adalah pihak-pihak yang secara
langsung memberikan kontribusi pada perusahaan, baik dalam bentuk keuangan (financial
contribution) maupun non-keuangan (non-financial contribution). Karena mereka telah memberikan
kontribusi pada perusahaam, maka mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kesejahteraan dari
perusahaan. Sementara, yang dimaksud dengan indirect-stakeholder adalah pihak-pihak yang sama
sekali tidak memberikan kontribusi kepada perusahaan (baik secara keuangan maupun non-
keuangan). Tetapi secara syariah mereka adalah pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan
kesejahteraan dari perusahaan. Golongan stakeholder yang terakhir dari SET adalah alam. Alam
adalah pihak yang memberikan kontribusi bagi mati-hidupnya perusahaan sebagaimana pihak Tuhan
dan manusia. Perusahaan eksis secara fisik karena didirikan di atas bumi, menggunakan energy yang
tersebar di alam, memproduksi dengan menggunakan bahan baku dari alam, memberikan jasa kepada
pihak lain dengan menggunakan energy dari alam, dan lain sebagainya. Namun demikian, alam tidak
menghendaki distribusi kesejahteraan dari perusahaan dalam bentuk uang.
Dengan memahami SET secara utuh, maka tentu saja wrna dan bentuk teori akuntansi syariah
akan sangat berbeda dengan akuntansi modern. Dalam konteks ini, konsep kesejahteraan akan
berbeda dengan entity theory dan enterprise theory. Entity theory menekankan accounting income for
stakeholder yang dalam bentuk sederhana dapat dinyatakan sebagai profit for stockholders. Konsep
kesejahteraan juga akan berbeda dengan nilai tambah dari enterprise theory.

B. Nilai Tambah Syariah (sharia value added)


Sebagai konsekuensi menerima SE, maka akuntansi syariah tidak lagi menggunakan konsep
income dalam pengertian laba, tetapi menggunakan nilai tambah. Dalam pengertian yang sederhana
dan konvensional, nilai tambah tidak lain adalah selisih lebih dari harga jual keluaran yang terjual
dengan costs masukan yang terdiri dari bahan baku dan jasa yang dibutuhkan (Baydoun dan Willet,
1994; Collins, 1994; Wurgler, 2000). Dengan kata lain, konsep nilai tambah di atas tak lain adalah
nilai tambah ekonomi, yaitu konsep nilai tambah yang tangible dan terukur dalam unit moneter.
Konsep yang disampaikan oleh Baydoun dan Willet (1994; 2000) pada dasarnya sama dengan
di atas. Mereka sebenarnya tidak secara khusus merumuskan konsep nilai tambah, tetapi yang
diusulkan adalah Laporan Nilai Tambah. Laporan Nilai Tambah dapat berupa pendistribusian nilai
tambah kepada para mustahiq berupa zakat, infaq, dan sedekah (ZIS). Dalam konteks perusahaan,
zakat memiliki fungsi yang sama, yaitu menyucikan. Keputusan membayar zakat atau tidak
tergantung dari manajemen (berdasar pada fatwa dewan pengawas syariah). Keputusan tersebut bukan
wilayah akuntansi, tetapi wilayah manajemen. Dalam pemahaman yang sangat sederhana, jika telah
terjadi transaksi pembayaran zakat, maka tugas akuntansi adalah mencatat dan menyajikannya dalam
laporan keuangan.
Ahmad Najwan Almuzakki (17108040039)
Teori Akuntansi Syariah (A)
Pertemuan 15
Dalam studi ini, zakat dipahami sebagai konsep nilai (metafora zakat), yaitu konsep nilai yang
digunakan sebagai dasar untuk membangun akuntansi syariah. Studi ini sependapat dengan
Mulawarman (2006) dalam pengertian bahwa (metafora) zakat memiliki nilai keseimbangan dan
keadilan. Dua nilai ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam proses konstruksi teori akuntansi
syariah mengingat secara konkret, konsep nilai tambah syariah belum ada.

C. Filsafat Sufistik Manunggaling Kawulo-Gusti Sebagai Alat Analisis?


Untuk merumuskan nilai tambah syariah, studi ini menggunakan nilai filsafat sufistik
Manunggaling Kawulo-Gusti dari Syaikh Siti Jenar. Ada beberapa alasan mengapa alat ini digunakan.
Pertama, Manunggaling Kawulo-Gusti pada dasarnya tidak berbeda dengan pandangan epistemologis
yang digunakan oleh akuntansi syariah, yatiu “epistemologis berpasangan”. Epistemologis ini pada
dasarnya memadukan dua hal yang berbeda dalam kesatuan. Manunggaling Kawulo-Gusti juga
demikian, yaitu menyatukan kawulo dengan Gusti. Nilai ini sebetulnya sudah terlihat pada SET yang
memiliki stakeholder meilputi Tuhan, manusia, dan alam. Semua stakeholder ini dalam satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan.
Kedua, konsep Manunggaling Kawulo-Gusti adalah sunnatullah. Konsep tersebut adalah
refleksi dari ayat kauniyyah, yaitu hukum yang tersebar di alam semesta ini. Ia juga merupakan ayat
qauliyyah yang secara verbal difirmankan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an (Q.S Yasin [36] : 36).
Ayat ayat qauliyyah pada dasarnya merupakan penegasan Tuhan atas hukum yang telah ia tebarkan di
alam semesta ini. Ketiga Manunggaling Kawulo-Gusti berkonotasi spiritual. Ia merupakan jalan
spiritual (sufistik) bagi seorang hamba (kawulo) untuk kembali kepada Tuhannya (Gusti). Ia tidak lain
adalah perjalanan ke dalam yang sangat tepat digunakan untuk konstruksi akuntansi syariah sebagai
alat untuk menstimulasi “bangkitnya kesadaran ketuhanan” manusia.
Menurut Triwuyono (2006a :364) pada tataran ilmiah esensi ajaran Manunggaling Kawulo-
Gusti ini adalah:
“Kemanunggalan (unity) atas dua hal atau lebih yang berbeda. Misalnya kemanunggalan
manusia (sebagai makhluk hidup) dengan Tuhan (sebagai pencipta). Kemanunggalan suka dengan
duka, kemanunggalan benar dengan salah, dan lain-lainnya. (dua) hal yang bebreda tersebut tidak
saling meniadakan (mutually exclusive) tetapi sebaliknya saling menyatu (mutually inclusive)”
Secara umum, pengertian Manunggaling Kawulo-Gusti seperti di atas akan digunakan sebagai
alat analisis. Lebih konkretnya Manunggaling Kawulo-Gusti disini dapat diartikan mengangkat dan
menyatukan “sang liyan” (the others) dengan “yang di pusat” (sesuatu yang dianggap penting dan
dominan). Data yang digunakan dalam studi ini adalah data empiris hasil pengamatan masa lalu yang
diingat kembali (retrieved) secara intuitif dan dimaknai secara rasional.

D. Analisis Kasus Pinggiran


(Contoh Kasus 1)
Usaha yang dilakukan oleh Banawir (60 th) adalah menjual jamu tradisional yang dibuat dari
bahan alami dari daun-daunan (tanaman obat). Setiap jam 6 pagi Banawir pergi ke kebun untuk
mengambil daun-daunan sebagai bahan untuk membuat jamu. Setelah berbagai jenis daun yang
dibutuhkannya dipetik dan dikumpulkan, ia pulang ke rumah untuk mulai meracik bahan dan
memprosesnya menjadi jamu. Jamu yang ia buat adalah jamu metah, artinta daun-daun segar tadi
setelah dicuci bersih langsung dihaluskan dalam bentuk bubur. Dalam bentuk seperti itu, jamu sudah
siap dijual dan diminum.
Ahmad Najwan Almuzakki (17108040039)
Teori Akuntansi Syariah (A)
Pertemuan 15
Jamu yang dibuat Banawir tidak dapat bertahan lama, pada sore hari, jam 5-6 sore jamu
tersebut sudah tidak dapat dikonsumsi lagi. Dalam sehari itu, jamu yang ia buat tidak mesti habis
dibeli orang. Tetapi meskipun begitu, setiap hari ia tetap membuat jamu. Profesi ini ia lakukan selama
bertahun-tahun, dan bahkan diturunkan ke, dan dilanjutkan oleh anaknya. Pelanggannya adalah para
tetangga di kampung yang sama dan masyarakat dari kampung lainnya. Secara ekonomi, usaha ini
tidak memberikan pendapatan yan cukup atau mungkin bahkan merugi. Tetapi mengapa usaha ini
dilakukan sampai bertahun-tahun dan bahkan diturunkan ke anaknya? Ketika ditanya mengapa
demikian, maka Banawir menjawab : “saya Cuma ingin membantu orang saja. Saya senang sekali
kalau pelanggan saya sembuh setelah minum jamu saya. Itu saja! Alhamdulillah, Allah memberi
kesempatan saya untuk membantu orang lain.
Pada kasus satu tersebut kita dapat melihat bahwa usaha yang dilakukan oleh Banawir
menghasilkan tiga hal bagi dirinya, yaitu : uang, rasa altruistik, dan senang, serta kehadiran Tuhan.
Jika kita perhatikan, maka uang yang dimaksud disini adalah penghasilan yang diperoleh dalam
bentuk materi, yaitu penghasilan berupa hasil penjualan jamu. Sementara, rasa altruistik dan senang
juga merupakan “penghasilan” pada tingkat psikis yang diperoleh Banawir akibat aktivitasnya
menjual jamu. Kemudian, rasa kehadiran Tuhan yang muncul ketika melakukan usaha tersebut juga
dapat dikatakan sebagai “penghasilan” spiritual yang diperoleh Banawir.

(Contoh kasus 2)
Emba (50 th) adalah seorang nelayan. Ia memiliki sebuah perhu ukuran besar di kampungnya.
Dengan tiga orang mitranya (yang sekaligus adalah tetangganya dan bahkan salah satu di antaranya
masih sanak famili) pergi ke laut untuk “menangkap” ikan. Biasanya jika pergi ke laut perlu waktu 3-
4 hari. Setelah mendapat ikan, istrinya membawa dan menjual ikan hasil tangkapan tersebut ke pasar.
Dalam waktu 2-3 hari semua ikan biasanya sudah terjual. Sebagian ikan sebelum dijual diproses di
rumah untuk pengawetan alami, misalnya diasap atau dikukus dan sebagian dijadikan ikan asin.
Setelah semua terjual, pada hari yang ditetapkan biasanya Emba memaggil mitranya untuk
membagi hasil penjualan ikan. Pada pertemuan tersebut, Emba dan istrinya memberikan informasi
tentang hasil penjualan dan total biaya yang telah dikeluarkan. Informasi ini diberikan secara jujur dan
transparan. Kemudian hasil yang diperoleh (selisih laba penjualan atas biaya) dibagi kepada mitra
berdasarkan kesepakatan pada pertemuan tersebut. Perlu diketahui besarnya pembagian ini tidak
selalu sama dengan kejadian tangkapan lainnya. Tergantung pada kontribusi kerja masing masing
mitra pada saat berangkat ke laut dan kembali ke darat. Bila terjadi kerugian, biasanya Emba
menanggungnya sendiri secara ikhlas, itu dilakukan karena Emba tahu bahwa semua mitranya
tergolong miskin. Emba sudah menganggap semua mitranta tersebut sebagai saudara sendiri.
Biasanya hari di mana Emba mengundang para mitra untuk mendistribusikan bagi hasil, wajah para
mitra begitu ceria. Mereka senang karena bakal menerima uang hasil jerih payah selama melaut.
Keceriaan tersebut sekaligus menunjukkan kepuasan mereka atas hasil yang diperoleh.
Pada kasus dua ini aspek spiritual tampak pada keikhlasan Emba pada saat terjadi kerugian.
Keiklhasan tersebut di samping memang aspek spiritual juga didukung oleh rasa persaudaraan yang
sangat kuat. Dengan rasa persaudaraan yang kuat ini, rasa ikhlas begitu mudah muncul. Perlu
diketahui bahwa Emba adalah seorang Muslim yang sangat alim. Di kampungnya, beliau dikenal
sebagai orang yang pernah nyantri pada ulama kharismatik dan terkenal.
(Contoh kasus 3)
Aiti (10 th) berjualan es lilin di sekolahnya. Dia berjualan sebetulnya bukan untuk mencari
uang bagi kebutuhannya sendiri.
Ahmad Najwan Almuzakki (17108040039)
Teori Akuntansi Syariah (A)
Pertemuan 15
Dikelasnya, pak Guru punya kreativitas untuk mengumpulkan dana keperluan bersama, yaitu
dengan cara berjualan es lilin di sekolah. Es lilin tersebut dikulak dari pabrik yang lokasinya yang
tidak jauh dari sekolah. Salah satu dari siswa yang memiliki tugas menjual es lilin tersebut adalah
Aiti. Aiti menerima tugas itu dengan senang hati, karena bagi dia tidak ada target penjualan setiap
harinya. Pabrik es pun memberikan kelonggaran. Artinya, jika pada suatu hari es tersebut hanya
terjual 75% (atau berapa pun yang terjual). Maka sisanya dapat dikembalikan ke pabrik. Menjelang
pulang sekolah, Aiti biasanya menghitung besarnya total penjualan dan besarnya biaya kulaan (cost)
yang harus dibayarkan ke pabrik. Lebihnya (marjin) yang diperoleh oleh Aiti semuanya diserahkan ke
sekolah. Disini Aiti sama sekali tidak mendapatkan bagian dari usahanya menjual es. Bagi Aiti hal itu
tidak masalah, malah ia senang sekali berjualan karena ia lakukan dengan teman-temannya sambil
bermain.
Dari analisis tiga kasus diatas terliha jelas bahwa masing-masing perlaku bisnis memperoleh
beberapa manfaat, yaitu:
Kasus 1 : Benawe mendapat manfaat berupa uang, rasa altruistik, serta kehadiran tuhan
Kasus 2 : Emba mendapat manfaat berupa uang, rasa persaudaraan, senang, dan keikhlasan
Kasus 3 : Aiti mendapatkan manfaat berupa uang, rasa altruistik dan senang, serta keikhlasan

E. Inikah Nilai Tambah Syariah?


Tiga kasus yang telah dipaparkan di atas bisa dianggap sebagai “kawulo”, yaitu sesuatu yang
sifatnya bukan di pusat. Sementara kasus pada perusahaan-perusahaan besar dan modern sebagaimana
banyak dilakukan dalam penelitian akuntansi dan bisnis merupakan kasus-kasus yang “bergengsi”,
hebat, dan penting. Kasus ini adalah kasus yang dianggap “pusat” (Gusti). Kasus “pinggiran” tersebut
sengaja diambil karena mengikuti ruh dari pola pemikiran dari studi ini yang ingin mengangkat
sesuatu yang di pinggiran untuk manunggal dengan yang di pusat (Gusti).
Banyak hal penting yang dapat diambil dari kasus pinggiran tersebut di atas. Pelajaran yang
sangat penting adalah menyatunya dunia fisik dengan dunia psikis dan spiritual. Peradaban dunia
modern selalu mengakui materi sebagai “yang pusat” (atau menganggapnya sebagai “Gusti”) dan
sebaliknya, memandang remeh, memarginalkan, dan bahkan meniadakan sesuatu yang di pinggiran
(kawulo) yaitu “sing liyan” (the others). Sing liyan dalam konteks ini adalah dunia psikis (mental) dan
spiritual. Namun dalam pemikiran postmodern atau menurut konsep Manunggaling Kawulo-Gusti, hal
itu tidak demikian. Kasus pinggiran tersebut sangat dihargai sebagaimana kita mengharagai apa yang
kita anggap sebagai pusat. Keduanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, sebagaimana tidak
dapat dipisahkannya kawulo dengan Gusti-nya.
Dalam kerangka analisis Manunggaling Kawulo-Gusti, tentu saja nilai tambah mental dan
nilai tambah spiritual sebagai “kawulo” atau “sing liyan” harus menyatu (manunggal) dengan nilai
tambah ekonomi. Secara konkret gambaran hasil analisis ini dapat dilihat dalam table di bawah ini:

No Nilai-tambah Bentuk Nilai-tambah


1 Ekonomi Uang
2 Mental Rasa Altruistik, senang, dan persaudaraan
3 Spiritual Rasa iklhas dan rasa kehadiran Tuhan

Anda mungkin juga menyukai