A. Pengantar
Pada 1 Mei 2002 IAI mengeluarkan PSAK No.59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah. Ini merupakan langkah bagi IAI dan dunia Perbankan Syariah di indonesi yang telah
ada sejak 1992.
Dengan PSAK no.59, Perbankan Syariah memiliki panduan dalam persiapan laporan
keuangan. Sebelum itu, perbankan syariah memakai standar akuntansi keuangan untuk
perbankan konvensional.
PSAK no. 59 menjadi acuan standar yang dikeluarkan AAOIFI pada 1998. Standar ini
bermanfaat untuk institusi keuangan islam di seluruh dunia
Tetapi, konsep nilai yang jadi fondasi standar dua jenis ini banyak dipengaruhi oleh
konsep akuntansi modern. Walau banyak istilah yang terkait tentang perbankan syariah.
. Kedua standar ini berisi komponen laporan keuangan yang tak ada bank konvensional
seperti laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infak dan shodaqoh dan laporan sumber
dan penggunaan dana qardhul hasan.
Implisitnya, konesp teori entitas dalam kedua standar terpengaruh pada nilai
kapitalisme (setiabudi dan Triyuwono, 2002) dan utilitiarinisme. Kepemilikan dalam teori ini
adalah individualis dan tak ada relasi dengan syariah.
B. Akuntansi Sebagai Praktik Moral DNA Diskursif
Lebih dari sedekade, Francis (1990) mrncoban menarik perhatian akuntansi tidak
sekedar melihat akuntansi sebagai instrumen untuk bisni tetapi juga untuk praktik moral dan
diskursif juga. Praktik diskursif melihat akuntansi sebagai alat menyampaikan sesuatu atau
informasi kepada orang lain.
Interaksi akuntansi dan pengguna terlihat di AS yang memasukkan beberapa
perusahaan besar internasional (Enron, WorldCom, Xerox, Merck, Tyco, Intl, dan Athur
Anderson)
Praktik diskursif mengharuskan akuntan untuk berhati-hati dalam mengkomunikasikan
akuntansi. Akuntansi dikonstruk berdasar nilai etika. Ini mendorong terciptanya realitas
ekonomi dan bisnis yang beretika (akuntansi praktik moral)
Dapat dibayangkan bahwa akuntansi yang tak bermoral akan menghasilkan informasi
yang kering dari nilai etika dan realitas bisnis yang tak ada nilai etika.
(Contoh kasus 2)
Emba (50 th) adalah seorang nelayan. Ia memiliki sebuah perhu ukuran besar di kampungnya.
Dengan tiga orang mitranya (yang sekaligus adalah tetangganya dan bahkan salah satu di antaranya
masih sanak famili) pergi ke laut untuk “menangkap” ikan. Biasanya jika pergi ke laut perlu waktu 3-
4 hari. Setelah mendapat ikan, istrinya membawa dan menjual ikan hasil tangkapan tersebut ke pasar.
Dalam waktu 2-3 hari semua ikan biasanya sudah terjual. Sebagian ikan sebelum dijual diproses di
rumah untuk pengawetan alami, misalnya diasap atau dikukus dan sebagian dijadikan ikan asin.
Setelah semua terjual, pada hari yang ditetapkan biasanya Emba memaggil mitranya untuk
membagi hasil penjualan ikan. Pada pertemuan tersebut, Emba dan istrinya memberikan informasi
tentang hasil penjualan dan total biaya yang telah dikeluarkan. Informasi ini diberikan secara jujur dan
transparan. Kemudian hasil yang diperoleh (selisih laba penjualan atas biaya) dibagi kepada mitra
berdasarkan kesepakatan pada pertemuan tersebut. Perlu diketahui besarnya pembagian ini tidak
selalu sama dengan kejadian tangkapan lainnya. Tergantung pada kontribusi kerja masing masing
mitra pada saat berangkat ke laut dan kembali ke darat. Bila terjadi kerugian, biasanya Emba
menanggungnya sendiri secara ikhlas, itu dilakukan karena Emba tahu bahwa semua mitranya
tergolong miskin. Emba sudah menganggap semua mitranta tersebut sebagai saudara sendiri.
Biasanya hari di mana Emba mengundang para mitra untuk mendistribusikan bagi hasil, wajah para
mitra begitu ceria. Mereka senang karena bakal menerima uang hasil jerih payah selama melaut.
Keceriaan tersebut sekaligus menunjukkan kepuasan mereka atas hasil yang diperoleh.
Pada kasus dua ini aspek spiritual tampak pada keikhlasan Emba pada saat terjadi kerugian.
Keiklhasan tersebut di samping memang aspek spiritual juga didukung oleh rasa persaudaraan yang
sangat kuat. Dengan rasa persaudaraan yang kuat ini, rasa ikhlas begitu mudah muncul. Perlu
diketahui bahwa Emba adalah seorang Muslim yang sangat alim. Di kampungnya, beliau dikenal
sebagai orang yang pernah nyantri pada ulama kharismatik dan terkenal.
(Contoh kasus 3)
Aiti (10 th) berjualan es lilin di sekolahnya. Dia berjualan sebetulnya bukan untuk mencari
uang bagi kebutuhannya sendiri.
Ahmad Najwan Almuzakki (17108040039)
Teori Akuntansi Syariah (A)
Pertemuan 15
Dikelasnya, pak Guru punya kreativitas untuk mengumpulkan dana keperluan bersama, yaitu
dengan cara berjualan es lilin di sekolah. Es lilin tersebut dikulak dari pabrik yang lokasinya yang
tidak jauh dari sekolah. Salah satu dari siswa yang memiliki tugas menjual es lilin tersebut adalah
Aiti. Aiti menerima tugas itu dengan senang hati, karena bagi dia tidak ada target penjualan setiap
harinya. Pabrik es pun memberikan kelonggaran. Artinya, jika pada suatu hari es tersebut hanya
terjual 75% (atau berapa pun yang terjual). Maka sisanya dapat dikembalikan ke pabrik. Menjelang
pulang sekolah, Aiti biasanya menghitung besarnya total penjualan dan besarnya biaya kulaan (cost)
yang harus dibayarkan ke pabrik. Lebihnya (marjin) yang diperoleh oleh Aiti semuanya diserahkan ke
sekolah. Disini Aiti sama sekali tidak mendapatkan bagian dari usahanya menjual es. Bagi Aiti hal itu
tidak masalah, malah ia senang sekali berjualan karena ia lakukan dengan teman-temannya sambil
bermain.
Dari analisis tiga kasus diatas terliha jelas bahwa masing-masing perlaku bisnis memperoleh
beberapa manfaat, yaitu:
Kasus 1 : Benawe mendapat manfaat berupa uang, rasa altruistik, serta kehadiran tuhan
Kasus 2 : Emba mendapat manfaat berupa uang, rasa persaudaraan, senang, dan keikhlasan
Kasus 3 : Aiti mendapatkan manfaat berupa uang, rasa altruistik dan senang, serta keikhlasan