Anda di halaman 1dari 83

Review Trauma

dr. Sudin Sitanggang, SpS


FK- UKRIDA

Blok 30
Topik

• Trauma kepala
• Trauma medula spinalis
Pengertian
• Trauma kepala (head injury) adalah trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan ggn fungsi neurologis
yaitu ggn fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen
• Trauma med spinalis (Spinal cord injury) merupakan
suatu kerusakan dari medula spinalis yang temporer
atau permanen yg menyebabkan perubahan fungsi
• Merupakan suatu kondisi yg serius dan kompleks 
butuh penanganan multidisiplin  neurologist,
neurosurgeon, dokter emergensi, intensifist, rehabilitasi
medik  berkolaborasi utk penanganan yg optimal,
pada pasien akut, subakut dan kronik
Pendahuluan

• Cedera kepala penyebab utama kematian pada


orang-orang muda usia 24 tahun.
• Sekitar 10-15% trauma kepala berat dirawat ruang
ICU dan penanganan spesialis.
• Bisa terjadi pada semua usia, puncak kejadian pada
dewasa muda antara 15 dan 24 thn
• Laki-laki 3-4 x lebih sering dari wanita
• Penyebab paling sering: kecelakaan kendaraan
bermotor
Data-data cedera RISKESDAS 2018
Proporsi tempat terjadinya cedera
Penilaian derajat keparahan
• Glasgow Coma Scale (GCS): Skala 3 - 15
– menilai tingkat kesadaran dan fungsi neurologis pasien
– respons motorik, respons verbal , dan buka mata
• Lama kehilangan kesadaran:
– Ringan : perubahan status mental atau kehilangan kesadaran <30
menit
– Sedang : perubahan status mental atau hilang kesadaran 30 menit -
6 jam).
– Berat : perubahan status mental atau hilang kesadaran > 6 jam

• Amnesia post-traumatic : adanya ggn daya ingat setelah


trauma.
– Amnesia anterograde : tdk mampu mentransfer kejadian baru dalam
ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang yg permanen. Tdk
bisa mengingat setelah kejadian
– Amnesia retrograde :tdk mampu memunculkan kembali ingatan
masa lalu sebelum kejadian
• Secara kuantitatif dgn Skala Koma Glasgow (GCS)

a. Reaksi buka mata ( E )


- Spontan 4
- Mengikuti perintah 3
- Thp rangsang nyeri 2
- Tidak ada reaksi 1

b. Reaksi motorik (M)


- Mengikuti perintah / bertujuan 6
- Menepis rangsang nyeri / dpt menunjukkan lokasi 5
- Gerakan menghindar nyeri 4
- Gerakan fleksi (dekortikasi) 3
- Gerakan ekstensi (deserebrasi) 2
- Tidak ada gerakan 1

c. Reaksi verbal (V)


- Berorientasi baik ( tempat, waktu, personal ) 5
- Disorientasi 4
- Tidak sesuai / satu kata saja(kata-kata tdk bisa kalimat) 3
- Hanya suara / mengerang 2
- Tdk ada suara sama sekali 1

E4M6V5 = 15
Patofisiologi trauma kepala
• Dampak benturan pada kepala
a. Respon tengkorak  fraktur
• Akselerasi kepala (translasi/rotasi)
• Durasi mekanik pada kepala
• Permukaan benturan

b. Respon jaringan otak  pergerakan otak


c. Cedera kepala
- Cedera tumpul
- Cedera tembus

penetrasi
duramater
Patofisiologi trauma kepala
• Primary injuries :
– focal injuries (skull fractures, intracranial hematomas, lacerations,
contusions, penetrating wounds, deformation /destruction of brain
tissue).
– diffuse injury (as in diffuse axonal injury).
• Secondary injury:
– Secondary brain damage results from three main mechanisms
namely raised intracranial pressure (EDH,SDH,ICH SAH Edema
cerebri), hypoxia and ischemia, and infection.
– Secondary injuries may develop over a period of hours or days
following the initial traumatic assault.
Patofisiologi Trauma kepala
Klasifikasi trauma kepala

Kategori GCS Gambaran klinis CT Scan otak

Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologi (-) Normal

Ringan 13-15 Pingsan < 10 mnt, defisit neurologik (-) Normal

Sedang 9-12 Pingsan > 10 mnt s/d 6 jam; defisit Abnormal


neurologik(+)

Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit neurologik (+) Abnormal

• Jika ada abnormalitas CT Scan otak berupa perdarahan


intrakranial  trauma kepala berat
Bentuk lesi diffus dan fokal pada cedera otak primer dan sekunder

Klasifikasi Lesi difus Lesi fokal

Cedera otak primer Cedera axonal difus Kontusio fokal


Cedera vaskular difus Perdarahan intraserebral
Perdarahan epidural
Perdarahan subdural
Perdarahan subaraknoid
Cedera otak sekunder Edema otak difus Edema otak fokal
Cedera iskemik difus Cedera iskemik fokal
Cedera hipoksik difus Cedera hipoksik fokal
Disfungsi metabolik difus Disfungs metabolik fokal
Jenis Trauma kepala

1. Epidural Hematom
2. Subdural Hematom
3. Fraktur Basis Kranium
4. Difus Axonal Injury (DAI)
5. Intracerebral hemorhagic
1. Epidural Hematom (EDH)
• Perdarahan yg terjadi diantara tabula interna-duramater,
hematom massif, akibat pecahnya a. meningea media atau
sinus venosus
• Tanda klinik
– Lucid interval (+)
– Kesadaran makin menurun
– Late hemiparesis kontralateral
– Pupil anisokor
– Babinski (+) kontralateral
– Fraktur di daerah temporal
CT Scan otak EDH

Gambaran CT Scan Otak : gambaran hiperdens (perdarahan), di


tulang tengkorak dan duramater, umumnya didaerah temporal
dan tampak bikonveks
2. Subdural hematom (SDH)

• Perdarahan yg terjadi di antara duramater-arachnoid,


akibat robeknya bridging vein
• Jenis
– Akut : interval lucid : 0-5 hari
– Subakut : interval lucid : 5 hari – bbrp minggu
– Kronik : interval lucid : > 3 bulan
CT Scan otak SDH

Gambaran CT Scan Otak : Gambaran hiperdens (perdarahan)


diantara duramater dan arakhnoid, umumnya karena robekan dari
bridging vein dan tampak seperti bulan sabit
Beda EDH dgn SDH
Fraktur basis kranii
Anterior Media Posterior
Gejala dan tanda Keluar cairan liquor dari Keluar cairan liquor Bilateral mastoid
klinis hidung (rhinorhoe) dari telinga/otorrhea ecchymosis/Battle
sign
Perdarahan bilateral Ggn saraf VII dan VIII
periorbital ecchymosis
/raccoon eye
Anosmia
Diffuse axonal injury (DAI)
• Kerusakan axon yg meluas, sampai ke batang otak dan
hypothalamus, digambarkan dgn ggn otonom (badikardi /
takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, demam )
• Tarikan tentorium dan falk selama adanya
accelerasi/deselerasi akibat gerakan kepala
• Dapat dideteksi dengan memakai MRI lesi fokal yg
diffus.
Diffuse axonal injury (DAI)
• DAI : koma akibat trauma > 6 jam.
• Pada awal kejadian, CT Scan otak atau MRI tdk ditemukan
kelainan yg nyata.
• Setelah 24 jam, terlihat edem luas
Diffuse axonal injury (DAI)

• Tingkatan klinis
– Ringan : Koma 6-24 jam

– Sedang : Koma > 24 jam, tanpa tanda-tanda lesi batang otak

– Berat : Koma > 24 jam + tanda batang otak : postur

desebrasi, dekortikasi, hipertermia, hipertensi


Penanganan Pre-hospital

• Penanganan jalan nafas dan oksigenasi


– Cegah, kenali dan tangani hipoksia ( Sat 02 < 90/sianosis) dgn
memberikan oksigen utk semua trauma kepala
– Lakukan manuver utk memperbaiki jalan nafas
– Ventilasi dgn bag-valve mask dgn menggunakan saluran udara
tambahan ( mis guidel)
– Intubasi
• Penanganan ventilasi
• Penanganan hemodinamik
– Hipotensi : usahakan TDS > 90 mmHg
– Hipertensi, penurunan tekanan darah tdk direkomendasikan
Penanganan UGD
A. Penilaian awal ( initial assessment)
Nilai dan stabilkan : A:B:C
Bebaskan jalan nafas
– Hati-hati adanya kemungkinan fraktur cervikal.
– Hati-hati jika melakukan suction (akan meningkatkan TIK)
– Berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan, dengan kanula nasal 2-3 liter / menit.
 Hipoksia dan hipotensi memperberat cedera kepala
 Intubasi bila hipoksia atau respiratory distress
 Hipotensi dikoreksi dgn cairan isotonik atau nomal saline, ringer solution, atau transfusi.
 Hipotensi bisa akibat
 Perdarahan intra-abdomen, thorak, rongga retroperitoneal, sekitar jaringan tulang yg fraktur
 Spinal shock
Resusitasi cairan
• Pertahankan kardiak output dan TD adekuat (TDS 100 – 160 mmHg, CPP >70 mmHg).
• Pastikan sirkulasi adekuat.
• Bila hipotensi: inotropik/obat vasopressor.
 Hipertensi
 Hati –hati akibat peningkatan TIK
 Hipertensi, bradikardia, bradipnoe ( Cushing reflex)
B. Pemeriksaan klinis umum dan neurologi

• Penilaian kesadaran dgn GCS


• Penilaian fungsi vital, tensi, nadi, pernafasan
• Otorhoe, rhinorhoe, ecchymosis periorbital bilateral, Battle’ s sign
• Ggn fokal neurologik
• Fungsi motorik: lateralisasi, reflek tendon, reflek Babinski
• Pemeriksaan fungsi batang otak
• Fungsi batang otak : Pupil, RC, reflek kornea, Doll’s eye phenomen
• Monitor pola pernafasan
• Mengenali trauma ekstrakranial ( Thorak, Abdomen, Cervical)
• Penggolongan tingkat keparahan cedera kepala
• Pemeriksaan penunjang : CT Scan otak, dll
Indikasi CT Scan kepala pada trauma kepala

• Penurunan tingkat kesadaran


• Ditemukan adanya defisit fokal neurologi
• Dicurigai fraktur tulang tengkorak terbuka atau fraktur basis krani.
• Usia > 65 tahun, dengan riwayat penurunan kesadaran atau amnesia.
• GCS 15 tanpa fraktur akan tetapi didapatkan gejala-gejala seperti nyeri kepala
menetap, muntah, kejang, atau perubahan tingkah laku.
• Kesulitaan untuk melakukan asesmen misalnya pada pasien dengan keracunan
alkohol, atau obat-obatan.
• Pasien akan menjalani pembiusan untuk penanganan trauma lainnya.
Stratifikasi risiko trauma kepala
Kategori risiko Kriteria
Rendah Pemeriksaan neurologi normal
Kontusio tdk ada
Tdk ada Intoksikasi alkohol atau obat
Bisa ada nyeri kepala, dizzines
Bisa ada hematom/luka lecet dikepala
Tdk ada kriteria nyeri kepala sedang atau berat
Moderate GCS tdk sampai 15 dalam evaluasi 2 jam
Kontusio (+),Koagulopati (+)
Anterograde amnesia > 30 mnt
Muntah dan kejang (+)
Tanda fraktur basiler atau fraktur kepala terbuka (+)
Mekanisme trauma yg berbahaya
Ada intoksikasi alkoho atau obat
Riwayat sulit diketahui
Usia < 2thn atau > 65 thn
Tinggi GCS 3-8
Penurunan kesadaran yg berlanjut
Ada defisit neurologi fokal
Trauma penetrasi atau teraba fraktur tengkorak kepala menekan
Kriteria rawat untuk trauma kepala

1. Hasil CT Scan otak ditemukan perdarahan otak atau ada


fraktur tengkorak
2. Konfusi, agitasi, kesadaran menurun
3. Defisit neurologi (+)
4. Kejang post trauma kepala
5. Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
6. Adanya penyakit komorbid
7. Lingkungan rumah tidak memungkinkan untuk di observasi
Penanganan simple head injury
• Anamnesis
• Pemeriksaan umum.
• Pemeriksaan mini-neurologi.
– Refleks pupil, tanda Babinsky.
– Kelumpuhan motorik
• Perawatan luka
• Pasien dipulangkan dgn pengawasan ketat oleh keluarga selama 48
jam
– Kesadaran pasien  menurun
– Nyeri kepala  tambah hebat pasien segera kembali ke RS
– Muntah proyektil
• Pasien dirawat jika:
– Ada ggn orientasi
– Nyeri kepala dan muntah
– Tdk ada yg mengawasi dirumah
– Letak rumah jauh atau sulit dijangkau
Perawatan Cedera Kepala Ringan

• Tinggikan posisi kepala 30 derajat.


• Obat-obatan atas indikasi (analgetik, antibiotik, anti
kejang, anti muntah, anti gastric ulcer,dll.)
• Observasi selama 2 x 24 jam
• Monitor adanya EDH
• Saat dipulangkan GCS 15 ; TOAG, MMSE

TOAG = Tes Orientasi dan Amnesia Galvestone


MMSE = Mini Mental State Examination
Perawatan Cedera Kepala Sedang

– Sama dengan CKR + periksa status neurologi lebih


sering
– Observasi selama 5 hari
– CT Scan otak ulang bila
• Perburukan
• Kadang diperlukan sebelum pulang
– Saat dipulangkan setelah GCS 15, TOAG, MMSE

TOAG = Tes Orientasi dan Amnesia Galvestone


MMSE = Mini Mental State Examination
Perawatan Cedera Kepala Berat
A. Konservatif
- Lanjutan penanganan ABC
- Pantau tanda vital (TD, Nadi, Suhu), Pupil, GCS, gerakan
ekstremitas, sampai pasien sadar
- Awasi pemberian cairan jgn berlebihan  cegah edem cerebri
• Hindari
– TD < 90 mmHg
– Suhu > 38 °C
– Frekuensi nafas > 20 x/mnt

Prinsip penanganan kerusakan otak akibat trauma


• Menjaga perfusi serebral.
• Menjaga deliveri oksigen..
• Optimalisasi sumber energi serebral.
Penanganan CKB
B. Operasi

EDH SDH ICH


1. Vol perdarahan > 40 cc 1. Luas Vol >40 cc/ > 5 mm 1. Penurunan kesadaran
dgn midline shifting dgn GCS > 6, fungsi progresif
2. Vol perdarahan > 30 cc batang otak masih baik 2. Cushing reflek (+)
daerah fossa posterior, 2. Dgn edema cerebri Hipertensi, bradikardi,
dgn penekanan batang /kontusio serebri di tanda-tanda gangguan
otak/ hidrocephalus, sertai midline shifting, nafas
fungsi batang otak fungsi batang otak 3. Perburukan defisit
masih baik masih baik neurologi fokal
3. EDH progressif
Akibat cedera kepala
• Increased intracranial pressure (ICP)
The severity of a TBI tends to increase due to heightened ICP, especially if the
pressure exceeds 40 mm Hg. Increased pressure  to cerebral hypoxia, cerebral
ischemia, cerebral edema, hydrocephalus, and brain herniation.
• Cerebral edema
Edema may be caused by the effects of the above-mentioned neurochemical
transmitters and by increased ICP. Disruption of the blood-brain barrier, with
impairment of vasomotor autoregulation leading to dilatation of cerebral blood
vessels, also contributes.
• Hydrocephalus
a. The communicating type of hydrocephalus is more common in TBI than is the
noncommunicating type. The communicating type frequently results from the
presence of blood products that cause obstruction of the flow of the cerebral
spinal fluid (CSF) in the subarachnoid space and the absorption of CSF through
the arachnoid villi.
b. The noncommunicating type of hydrocephalus is often caused by blood clot
obstruction of blood flow at the interventricular foramen, third ventricle,
cerebral aqueduct, or fourth ventricle.
Penanganan utk menurunkan tekanan intrakranial

• Tinggikan posisi kepala 15-30 derajat


• Infus Normal saline 0,9 % pada 80-100 ml/jam ( hindari cairan
hipotonik)
• Intubasi dan hiperventilasi (target PCO2 = 26-30 mm Hg)
• Manitol 20 % dosis 1-1,5 gr/KgBB infus cepat
• Pasang foley kateter
• Konsultasi bedah saraf
• Herniasi otak.
Herniasi supratentorial disebabkan kompresi mekanis langsung oleh massa yang
terakumulasi atau peningkatan tekanan intrakranial. Jenis-jenis herniasi supratentorial
berikut ini :
• Hernia Subfalcine - Gyrus cingulate pada lobus frontalis didorong di bawah falx
serebri ketika lesi massa membesar menyebabkan pergeseran medial hemisfer
ipsilateral. Ini adalah jenis herniasi yang paling umum.
• Hernia transtentorial sentral - Jenis cedera ini ditandai oleh perpindahan inti basal
dan hemisfer serebri ke bawah, sementara diencephalon dan otak tengah yang
berdekatan didorong melalui tentorial.
• Herniasi Unkus - Jenis cedera ini melibatkan perpindahan tepi medial dari uncus
dan gyrus hippocampal medial dan di atas tepi ipsilateral foramen cerebelli
tentorium, menyebabkan kompresi otak tengah; saraf ketiga ipsilateral atau
kontralateral dapat ditarik atau dikompresi
• Herniasi serebelum - Cedera ini ditandai oleh herniasi infratentorial dimana tonsil
serebelum didorong melewati foramen magnum dan menekan medula, yang
menyebabkan bradikardi dan henti napas
Prognosis mortalitas trauma kepala
Clinical finding Mortality (%)
Score GCS
15 <1
11-14 3
8-10 15
6-7 20
4-5 50
3 80
Age
16-35 y 30
36-45 40
46-55 50
> 56 60
CT Abnormalities
None 10
Intracranial pathology without diffuse swelling of midline shift 15
Intracranial pathology with diffuse swelling (cisterna compressed or
absent 35
Intracranial pathology with midline shift (> 5 mm) 55
Prognosis mortalitas trauma kepala

Clinical finding Mortality (%)


Intracranial pressure
< 20 mm Hg 15
> 20 mm Hg, reducible 45
> 20 mm Hg, not reducible 90
Pathology entity
EDH 5-15
Gunshot wound 55
Acute subdural hematoma
• Simple 20-25
• Complicated 40-75
• Bilateral 75-100
Ringkasan goal management trauma kepala berat
Trauma Medula Spinalis
Anatomi MS
Epidemiologi
• Angka kejadian setiap negara bervariasi.
• Insiden tahunan TMS
– AS ± 54 kasus / satu juta penduduk,
– Australia 16 kasus / 1 juta penduduk
– Eropa barat 15 kasus / 1 juta penduduk
• Sering pada usia muda sekitar usia 30 thn
• Berdasarkan jenis kelamin : laki 79.8 %: wanita 20.2 %
• Membutuhkan biaya banyak dan hilangnya
produktivitas
Epidemiologi
• Penyebab.
– Kecelakaan kenderaan bermotor 38 %  usia muda
– Jatuh 31 %  khusus pada usia lanjut
– Luka tembak dan bentuk kekerasan lainnya 14 %
– Sport dan rekreasi 9%
• Lokasi vertebra plg sering
– Servical : C5, C4, C6
– Thorakal : Th 12, Th 10
– Lumbal : L1
• Kondisi pasien saat pulang rawat inap akut.
– Injury incomplet quadriplegia 45%
– Injury Incomplete paraplegia 22%
– Injury Complete paraplegia 20%
– Injury Complete quadriplegia 13%
– Tren terbaru menunjukkan proporsi incomplete injury yang terus
bertambah akibat jatuh
Tahapan Patofisiologi TMS
• Pembagian TMS berdasarka waktu
– Fase akut : < 48 jam
– Fase subakut : 48 jam -14 hari
– Fase intermediate : 14 hari – 6 bulan.
– Fase kronik : > 6 bulan
• Pada fase akut
– Trauma primer : dampak langsung pd MS dgn penekanan
persisten/transien, fraktur /displacement tlg belakang,
laserasi/transeksi
kerusakan fokal neuron dan oligodendrocytes  gangguan pembuluh
darah dan rusaknya sawar darah MS Bersama - sama  segera memulai
berkelanjutan kaskade trauma sekunder, yang mengarah kerusakan lebih
jauh pada MS dan disfungsi neurologis.
– Trauma sekunder : disfungsi dan kematian sel akibat dari ggn
permiabilitas pem darah, signal proapoptosis, iskemik, ok kerusakan
supplay darah ke MS, peningkatan sitokin proinflamasi
Tahapan Patofisiologi TMS
• Pada fase subakut
– Pada fase akut ke subakut adanya iskemik dan exitotoksik ggn
pengaturan homeostasis ion intraselluler dan ekstraselluer 
ggn pengaturan ion Ca  kematian neuron dan glia
– Adanya nekrosis neuron  aktifasi mikroglia  aktifnya
makrofag, sel PMN, limfosit dan merangsang respon inflamasi
dan berpengaruh terhadap apoptosis neuron dan
oligodendrosit.
– Sel-sel fagosit inflamasi  membersihkan puing-puing myelin
pada tempat cedera kerusakan lebih lanjut MS melalui
pelepasan produk samping sitotoksik, termasuk radikal bebas
(misalnya, O2−, hidrogen peroksida dan peroxynitrite). Spesies
oksigen reaktif ini menyebabkan peroksidasi lipid, kerusakan
oksidatif DNA dan protein oksidasi, yang menyebabkan
nekrotik tambahan dan kematian sel apoptosis yg tertunda,
semakin berpengaruh pada lingkungan mikro pasca cedera
Tahapan Patofisiologi TMS

• Pada fase intermediate-kronik


– Setelah respon inflamasi akut dilewati, lesi MS berevolusi
melalui perantara yang dinamis hingga fase kronis yang
ditandai dengan upaya remielinasi, reorganisasi vaskular,
perubahan dalam komposisi matriks ekstraseluler (ECM) dan
remodeling sirkuit neural
Diagnosis
1. Anamnesis
– Mekanisme trauma
– Riwayat penyakit sebelumnya
– Riwayat pengobatan yang sudah didapat

2. Pemeriksaan fisik
– Pemeriksaan secara teliti dan terarah
– Evaluasi adanya deformitas, krepitasi, nyeri saat palpasi,
perlukaan kulit ( lacerasi, kontusio, penetrasi)
– Tentukan level cedera medula spinalis dengan
• Periksa Sensorik  dermatom
• Periksa motorik  kekuatan otot ( myotom)

3. Pemeriksaan radiologi
Diagnosis
• Manifestasi klinik
– Fraktur tulang belakang sering digambarkan pada
tingkat vertebral
– Defisit neurologis dijelaskan oleh tingkat level MS
sesuai radik saraf.
– Perbedaan antara keduanya menjadi semakin jelas di
daerah menengah ke bawah MS thorak, di mana
fraktur pada thoraks 8 (Th 8) mungkin menyebabkan
TMS neurologis pada Th 10 dan fraktur di Th 12
mungkin menyebabkan TMS di tingkat L2
– Cedera thorakal ditentukan berdasarkan dermatom
(sensorik),
• Ggn sensorik setinggi papila mammae  Med spinalis Th
IV
• Ggn sensorik setinggi umblicus  Med spinalis Th X
– Manifestasi klinis TMS bergantung pada tingkat
cedera neurologi dan jumlah yang tdk mengalami
trauma.
– TMS dapat mengkibatkan hilangnya sebagian atau
semua fungsi sensorimotor di bawah tingkat cedera.
Rekomendasi utk imaging cervical spine dan immobilisasi cervical
Kondisi klinik Rekomendasi Level
rekomendasi
Pasien sadar dan tdk ada keracunan, Tidak disarankan utk Imaging cervical dan cervical Level I
tidak ada gejala (tdk ada nyeri leher, immobilisasi di hentikan
nyeri tekan, pemeriksaan neurologi
normal, tdk ada cedera terkait yg
mengurangi pemeriksaan umum,
mampu utk pergerakan normal

Pasien sadar dan simptomatik CT Scan cervical, dgn high quality. Level I
Jika tdk tersedia , foto cervical 3 posisi AP/L/odontoid,
tetapi harus dilakukan CT Scan bila sdh ada.
Jika CT scan atau foto 3 posisi normal, tetap lanjutkan
immobilisasi cervical, sampai
- hilang keluhan
- normal dan adekuat gerakan
fleksi/eksteni
- MRI normal dlm 48 jam dari
trauma
- Aman sesuai dgn pengobatan

Pasien tdk sadar atau tdk dapt di CT Scan high qualiti dari semua tulang belakang, dan foto Level I
evaluasi dgn baik tlg belakang bawah jika CT Scan tdk ada dan dilanjutkan
dgn CT Scan bila sdh tersedia
Hentikan immobilisasi cervical sampai pasien sadar dan
tdk ada keluhan Level III
Radiologi
• Pemeriksaan : Plain X-ray, CT Scan vertebra dan MRI  melihat
kerusakan tulang belakang dan med spinalis.
• Plain X-ray pada leher : AP dan lateral, odontoid ( C1 dan C2)
• CT scan biasanya utk melihat kerusakan tulang belakang akibat trauma.
• Pada anak bisa dijumpai gejala dan tanda ggn saraf tapi tdk ditemukan
kelainan radiologi ( spinal cord injury without radiologic abnormality
=SCIWORA)
• MRI med spinalis
– lebih baik untuk menilai kerusakan med spinalis, ligamentum, diskus
intervertebralis serta radik spinal.
– Membantu rencana operasi/ prognostik
• Sebelum dilakukan pemeriksaan perlu diamankan airway, breathing,
circulation.
• Lakukan immobilisasi dgn rigid cervical collar dan back board
Gambaran CT Scan dan MRI cervical
Pemeriksaan penunjang
• Laboratorium
– DPL, UL, GDS, Ureum/kreatinin, Analisa gas darah

• EKG terutama bila ada aritmia jantung


Klasifikasi
1. ASIA /IMSOP ( American Spinal Injury Association/
International Medical Society Of Paraplegia).
– Klasifikasi tingkat dan keparahan trauma med. spinal
ditegakkan pd saat 72 jam – 7 hari setelah trauma
a. Berdasarkan impairment scale
Grade Tipe Ggn Med spinal ASIA/IMSOP
A Komplit Tdk ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai segmen
sakral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot motorik utama
masih punya kekuatan <3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik utama
punya kekuatan >3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
b. Berdasarkan tipe dan lokasi trauma
i. Complete spinal cord injury (Grade A)
• Unilevel
• Multilevel
ii. Incomplete spinal cord (Grade B,C,D)
• Cervico medullary syndrome
• Central cord syndrome
• Anterior cord syndrome
• Posterior cord syndrome
• Brown Sequard syndrome
• Conus Medullary syndrome
iii. Complete cauda equina injury (Grade A)
iv. Incomplete cauda equina injury (Grade B,C,D)
2. Klasifikasi sindroma Medula Spinalis
Sindrom Penyebab utama Gejala dan tanda klinis
Sindroma Cedera tembus, kompresi Paresis UMN (bawah lesi) dan LMN (setinggi
Brown-Sequard ekstrinsik lesi)
Ggn sensasi proprioseptif (raba dan tekan)
ipsilateral
Ggn Ekstroseptif (nyeri dan suhu) kontralateral

Sindroma Infark spinalis anterior Paraplegia


Spinalis Anterior “watershed (T4-T6), iskemik Ggn sensasi eksteroseptif
akut dan HNP Sensasi proprioseptif normal
Disfungsi sfingter

Sindroma Siringomelia, hypotensive Paresis anggota gerak atas lebih berat dibanding
Spinalis sentral spinalcord ischemic trauma anggota gerak bawah.
(fleksi-ekstensi), dan tumor Ggn sensorik bervariasi (disestesia/hiperestesia)
medula spinalis di lengan
Disosiasi sensibilitas
Disfungsi miksi, defekasi dan seksual

Sindroma Trauma dan infark spinalis Paresis ringan


Spinalis posterior posterior Ggn proprioseptif bilateral
Ggn eksteroseptif pada leher, punggung dan
bokong
Spinal shock
Hilangnya fungsi sensorik, motorik dan otonom sementara,
oleh karena pengaruh proses akut, sehingga hilangnya
pengaruh fasilitasi supraspinal yg belum diketahui secara
pasti
Tanda
- hilangnya aktifitas reflek spinal dibawah lesi dan
kelemahan ektremitas flaksid
- Hilangnya tonus vesika urinaria, ileus paralitik, dan
hipo/anhidrosis dibawah lesi
Lamanya bervariasi , rerata reflek spinal kembali normal
setelah 1-6 minggu
Penanganan
• Penanganan TMS sangat krusial utk menghindari
kerusakan MS selama transportasi

• Evaluasi awal terhadap adanya trauma organ lain seperti


trauma kepala, dada, abdomen, pelvis.

• Pemeriksan neurologi secara detail utk mengenali level


kerusakan dan beratnya ggn neurologi
Menentukan derajat kerusakan
Penanganan
• Prehospital
– Jika dicurigai ada TMS lakukan segera stabilisasi manual
– Membatasi fleksi dan gerakan lain
– Penanganan immobilisasi vertebra dgn Cervical collar dan
Vertebra brace
– Menggunakan bantal pasir atau gulungan handuk untuk
mengganjal kepala
– Meletakkan penderita pada papan spinal panjang mulai
dari tempat kejadian, selama transportasi dan
pemeriksaan penunjang
• Penanganan di ruang emergensi
– Primary survey
– Secondary survey
Prinsip melakukan immobilisasi tulang belakang dan log roll

• Dibutuhkan 3-4 orang dalam melakukan immobilisasi


sebagai berikut
– 1 orang untuk mempertahankan immobilisasi segaris kepala dan
leher penderita.
– 1 orang untuk badan (termasuk pelvis dan panggul
– 1 orang untuk pelvis dan tungkai
– 1 orang mengatur prosedur ini dan mencabut spine board
Primary survey
Airway/ Jalan nafas Pembebasan jalan nafas tanpa manipulasi daerah servikal dengan
manuver rutin jaw thrust
Pertimbangkan tindakan definitif pembebasan jalan nafas dengan
tindakan intubasi oleh ahli (tanpa ekstensi leher)
Jika tidak ada kontrindikasi , intubasi nasotrakeal lebih mudah dan
pasien dan pasien harus bernafas spontan
Hindari surgical airway access, spt krikotiroidotomi dan trakeostomi,
jika dilakukan lebih baik dipilihkrikotiroidotomi
Breathing/ Jalan nafas bebas , berikan Oksigen nasal kanul/simple mask
Pernafasan Penggunanan ventilator pada pasien intubasi
Circulation/Sirkulasi Mempertahankan perfusi adekuat
TDS > 90 mmHg
Hipotensi  Hipovolemik atau neurogenik
Bradikardia berikan Atropin 0-5-1 mg
Pasang vena sentral untuk pemantauan kebutuhan cairan
Pasang foley kateter
Disability Pemeriksaan neurologis singkat ( Kesadaran, reflek cahaya, pupil dan
kelemahan anggota gerak)
Penanganan renjatan
Renjatan hipovolemik
– TD turun, takikardi, ekstremitas dingin/basah
– Terapi : Cairan kristaloid ( NaCl 0,9%,RL. k/p Koloid
Albumin 5 %)
Renajatan neurogenik
– TD turun, bradikardi, ekstremitas hangat/kering
• Hati2 pemberian cairan berlebihan bisa edem paru
• Berikan obat Vasopressure
– Dopamin menjaga MAP > 70, dosis 2-5 mcg/kgBB/mnt
– K/p Adrenalin 0,2 mg sc
– Cairan yg diberikan Kristaloid
• Keberhasilan penanganan neurogenik shock ditandai dgn
perfusi yg adekuat dgn parameter:
– TDS 90-100 mmHg, dan hindari episode hipotensi
– Tercapai oksigenasi dan perfusi yg adekuat  pemberian
oksigen dan atau ventilasi mekanik jika dibutuhkan
– Irama jantung 60-100 x/mnt dgn sinus ritme
– Hemodinamik stabil, kalau bradikardi berikan Atropine
– Produksi urin > 30 cc per jam,  pasang foley kateter utk
monitor urine dan dekompresi pd neurogenik bladder
– Cegah hipotermia
Secondary survey
Langkah Penjelasan
Langkah -1 Anamnese ulang/lengkapi anamnese
Mekanisme trauma
Riawayat penyakit dahulu dan pengobatan
Indentifikasi obat/ terapi sebelum ke RS
Langkah-2 Penilaian ulang GCS dan Pupil
Langkah-3 Pemeriksaan vertebra
- Palapasi seluruh vertebra dari kranial ke kaudal, perhatikan adanya
deformitas, krepitus, nyeri dan luka lecet/tembus
- Penilaian level neurologis sensorik, dengan cara nyeri (pinprick) dan
raba(touch)
- Penilaian motorik anggota gerak atas dan bawah
- Penilaian reflek fisiologis dan patologis
Langkah - 4 Evaluasi ulang adanya cederadi lokasi lain yang belum terekplorasi
Pemberian kortikosteroid

• Diagnosis < 3 jam


– Methylprednisolon 30 mg/KgBB IV bolus selama 15 menit
– setelah 45 menit berikan infus Methylprednisolon dengan
dosis 5,4 mg/KgBB/jam selama 23 jam.
• Diagnosis 3-8 jam
– Methylprednisolon 30 mg/KgBB IV bolus selama 15 menit
– setelah 45 menit berikan infus Methylprednisolon dengan
dosis 5,4 mg/KgBB/jam selama 47 jam.
• Diagnosis > 8 jam
– Tidak dianjurkan pemberian methylprednisolon
Penanganan
• Selanjutnya
– Pasang foley kateter : monitor urin dan cegah retensi
urin
– Pasang NGT ( hati-hati cedera servikal)
• Dekompresi lambung
• Kepentingan nutrisi enteral
• Pemeriksaan umum dan neurologi
– Jika ada fraktur/dislokasi
• Servikal : fiksasi leher, jgn manipulasi dan pasang bantal pasir kanan-kiri
• Thorakal : fiksasi dgn torakolumbal brace
• Lumbal : fiksasi dgn korset lumbal
Penanganan di rumah sakit

Kondisi tindakan
Refractory shock Clarify mechanism, fluid and vasopressor

Respiratory failure Aggressive respiatory therapy, mechanical ventilation

Dysphagia Video swallowing, NGT/percutaneus gastrostomy

Infection Indentify source, antibiotics

Venous thrombo-embolism Intermitten pneumatic compression, low moleculer wight


heparin, inferior vena cava filter in some cases

Stress gastro-duodenal Consider histamin 2 receptor bloker or pump inhibitor


Operasi
• Waktu operasi
– Operasi antara 24 jam – 3 minggu
– Tindakan operasi awal < 24 jam lebih bermakna
menurunkan perburukan neurologis, komplikasi, dan
keluaran skor motorik satu tahun paska trauma

• Indikasi operasi
– Ada fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis
– Gambaran neurologis progresif memburuk
– Fraktur, dislokasi yg labil
– Terjadi herniasi diskusi intervertebralis yg menekan
medula spinalis.
Operasi
• Tujuan operasi
– Meluruskan kembali sesuai posisi tulang belakang (realign
spinal column)
– Menstabilkan tulang belakang
– Dekompresi medula spinalis ( dari tulang atau ligamentum)
Komplikasi
• Komplikasi lokal
– Syringomyelia
– Neuropati arthropati
– Spastisitas
• Terapi dgn fisioterapi, Clonidin, GABAergic ( Diazepam, Baclofen)
• Komplikasi sistemik
– Kardio-vaskuler.
• Pada fase aku/kronik bisa terjadi ggn simpatis dari otak ok adanya
penekanan med spinalis  hipotensi
• gejala hipotensi ortostatik/postural ( dizzines, rasa lemah dan sincope)
• Terapi: kompresi stocking, tambah volume cairan dgn hidrasi, tablet
garam atau fluorocortison
Vasokontriksi perifer : midodrine, epedrin, atau droxidopa
Komplikasi
• Disreflexia otonom
– Suatu kondisi yg urgen biasa terjadi pada lesi MS diatas Th 6
– Hal ini bisa terjadi ok rangsang nyeri dibawah lesi ( regangan
kandung kemih, atau saluran cerna dan tekanan pada luka)
– Menyebabkan overstimulasi simpatis  vasokonstriksi dan
hipertensi yg berbahaya.
– Lalu timbul peningkatan parasimpatis outflow diatas lesi dan
outflow simpatis dihambat  vasodilatasi, nyeri kepala,
keringat, kongesti sinus.
– Bisa terjadi pada fase akut dan kronik
– Hindari rangsangan yg menyakitkan
Gangguan autonom
Komplikasi
• Respirasi
– Bisa terjadi paraslisis nn phrenicus, otot intercostal dan atau
otot abdomen  penurunan kapasitas paru, batuk tdk efektif,
cepat lelah
– Konsekuensi terjadi pneumoni berulang, atelektasis, pleural
effusi, sleep apnoe dan gagal nafas
– Hubungan letak lesi dgn gangguan nafas
Lesi C1-C2 : Vital capacity hanya 5-10 % dari normal, tdk bisa batuk
Lesi C3-C6: Vital capacity 20 % dari normal, batuk lemah dan tdk
efektif
Lesi Thorakal atas Th2-Th4 : VC 30-50 % dari normal, batuk lemah

– Penanganan : lakukan fisioterapi


Komplikasi
• Imunodefisensi sekunder
– Putusnya hub CNS dgn sistem organ imun  gangguan fungsi
makrofag, T sel, B sel dan natural killer disebut sebagai
immune paralisis
– Terjadi peningkatan risiko infeksi spt pneumonia, ISK, dan luka
infeksi
– Tidak ada penanganan khusus
• Genitourinaria dan gastrointestinal
– Lesi pada L1-L2 atau diatas, gangguan persarafan pada otot
detrusor, kandung kemih, spinter urin  ggn pengosongan
kandung kemih dan kontraksi kandung kemih, inkontinensi
urin dan infeksi berulang.
– Penanganan : kateter urin tiap jam, injeksi toxin botulinum,
betabloker
Komplikasi
• Genitourinaria dan gastrointestinal
– Ggn sexual
– 39% pasien TMS mengalami ggn saluran cerna
• Ggn spinter ani  konstipasi dan risiko infeksi
• Penanganan Intake diet tinggi serat, digital rectal stimulasi, pemakaian
suppositoria
• Luka dekubitus terjadi pada
– Bokong 31 %
– Paha lateral 26 %
– Sakrum 18 %
– Kaki 7%
– Pergelangan kaki 4%
• Nyeri neuropatik
– 40 % pasien kronik TMS
– Terapi dgn antidepressant, antikonvulsan, atau opioid

Anda mungkin juga menyukai