Anda di halaman 1dari 100

ANALISIS SAMBUNGAN PORTAL BAJA ANTARA BALOK DAN

KOLOM DENGAN MENGGUNAKAN SAMBUNGAN


BAUT MUTU TINGGI (HTB)
(Studi Literatur)

TUGAS AKHIR

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS-TUGAS DAN MEMENUHI


SYARAT UNTUK MENEMPUH UJIAN SARJANA TEKNIK SIPIL

Disusun Oleh :

BINNER JULIANTO SIMANUNGKALIT


080424004

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSION


DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat Tuhan

Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat yang diberikan-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik, dimana Tugas Akhir ini

merupakan persyaratan akademik yang harus dipenuhi untuk diajukan dalam ujian

sarjana pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah: ANALISIS SAMBUNGAN


PORTAL BAJA ANTARA BALOK DAN KOLOM DENGAN
MENGGUNAKAN SAMBUNGAN BAUT MUTU TINGGI (HTB)
(Studi Literatur)

Dalam penulisan Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan

bimbingan dari bebagai pihak berupa dukungan moril, material, spiritual maupun

dari segi Administrasi. Oleh karena itu sudah selayaknya penulis mengucapkan

banyak terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan sebagai Ketua Jurusan Teknik sipil

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Ir. Terunajaya, MSc, selaku Sekretaris Jurusan Teknik Sipil Fakultas

Teknik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Zulkarnaian A.Muis, M.Eng Sc, selaku Koordinator Jurusan Teknik

Sipil Extension Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. Sanci Barus, MT, selaku Dosen pembimbing.

5. Seluruh staf Pengajar dan Pegawai Fakultas Teknik Universitas Sumatera

Utara.

6. Kepada kedua Orang tua B.Simanungkalit dan S.br. Ompusunggu yang telah

segenap hati membantu dalam doa, Semangat, Kasih, Dukungan dan Materi.

i
7. Kepada rekan-rekan semua anak ekstension 2008 yang turut membantu baik

dari pikiran masukan dan tenaga dalam penyusunan tugas akhir ini.

8. Serta pihak lain yang turut berperan serta yang telah membantu dalam

Penulisan Tugas Akhir ini yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa Penulisan Tugas Akhir ini, masih banyak terdapat

kekurangan terutama dalam segi penguraian maupun dalam pengkajiannya.

Dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak dan

Ibu staf pengajar demi kemajuan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak

yang telah banyak membantu penulis dan berharap semoga Tugas Akhir ini

bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pembaca umumnya.

Medan, Februari 2011


Hormat Saya
Penulis

Binner J Simanungkalit
NIM:080424004

ii
ABSTRAK
Suatu balok baja yang pada kedua ujungnya disambungkan terhadap kolom-
kolom dengan menggunakan sambungan baut, apabila kedua ujungnya bersifat
sendi maka balok tersebut merupakan konstruksi statis tertentu. Bila sambungan
balok dan kolom pada kedua ujungnya menggunakan beberapa buah baut atau di
las, maka konstruksi menjadi statis tak tentu.Karena sambungan tidak lagi dapat
berputar bebas dan dalam keadaan exstrim sambungan dapat bersifat kaku
sempurna ( rigid ), dimana perputaran sudutnya adalah nol.
Akan tetapi pada sambungan-sambungan yang menggunakan baut / paku
keling selalu akan terjadi deformasi elastis, sehingga sifat kaku sempurna tidak
tercapai dan sambungan menjadi semi kaku ( semi rigid ).Tingkat kekakuan
sambungan akan mempengaruhi besarnya perubahan bentuk (lenturan atau
putaran sudut ) dan gaya-gaya dalam ( Momen, gaya lintang dan sebagainya )
pada analisa strukturnya.
Alat sambung Baut Mutu Tinggi (High Tensile Bolt) bila diberikan tarikan
(Pretension) akan memberikan kontribusi tahanan gesek antara elemen-elemen
yang disambung. Kapasitas daya dukung sambungan akan bertambah akibat
tarikan awal (Pretension) pada alat sambung mutu tinggi tersebut.
Pada Tugas akhir ini, gaya dalam yang dibahas hanya momen lentur M yang
bekerja pada sambungan dan Gaya lintang D. Gaya Normal N dan Torsi ( momen
puntir ) T yang seharusnya turut bekerja tidak diikutkan. Dari hasil perhitungan
dengan menggunakan metode cross, momen lentur yang dihasilkan adalah 10,484
T.m,dan Gaya lintang D = 5,6155 T

tegangan yang diijinkan σ ijin = 3100 kg/cm².maka profil yang dipakai adalah
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan melakukan pengecekan terhadap

profil Wf 300 x 150 x 6,5 x 9, dan menggunakan baut mutu tinggi A325,
6Ø20mm, karena momen yang dapat dipikul profil dan sambungan jauh lebih
besar dari pada momen yang terjadi dan profil dinyatakan cukup aman dalam
memikul beban yang terjadi.

Kata kunci : baut mutu tinggi, tegangan tarik awal, tegangan geser

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

ABSTRAK ......................................................................................................... iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv

DAFTAR NOTASI ............................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Umum ................................................................................................. 1

I.2. Latar Belakang .................................................................................... 2

I.3. Permasalahan ....................................................................................... 3

I.4. Maksud dan Tujuan ............................................................................. 6

I.5. Pembatasan Masalah ........................................................................... 6

I.6. Meteodologi ........................................................................................ 8

I.7. Sistematika Penulisan ......................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.I Umum .................................................................................................. 10

II.II Sifat Bahan Baja .................................................................................. 11

II.III Sambungan ......................................................................................... 17

II.III.1 Tipe – tipe Sambungan ............................................................... 21

II.III.2 Jenis – jenis alat penyambung .................................................... 28

II.III.2.1 Sambungan Baut (Bolt) ................................................... 28

iv
II.III.3 Jenis – jenis alat penyambung Penahan Beban .......................... 36

II.III.3.1 Sambungan Penahan Momen ......................................... 36

II.III.3.2 Sambungan Penahan Momen yang Direncanakan ......... 37

II.III.4 Kekuatan Sambungan Baut ......................................................... 38

II.III.4.1 Kekuatan Geser Baut ..................................................... 39

II.III.4.2 Kekuatan Desak (Tumpu) Baut ..................................... 40

BAB III ANALISA SAMBUNGAN BALOK DAN KOLOM

III. 1. Sambungan Baut Mutu Tinggi (HTB) ............................................ 45

III. 2. Perilaku Kekuatan Baut Mutu Tinggi (HTB) ................................. 48

III. 3. Jenis Sambungan Baut Mutu Tinggi (HTB) .................................. 51

III. 4. Analisis Sambungan Baut Mutu Tinggi (HTB) .............................. 52

III. 5. Analisis Prilaku Pelat Penyambung ................................................ 56

BAB IV APLIKASI DAN PERHITUNGAN

IV. 1. Pemodelan Struktur Portal dua Lantai ........................................... 62

IV. 2. Analisa struktur dengan Metode Cross .......................................... 67

IV. 3. Hasil Momen Ekstrim dari Kombinasi Pembebanan Pada Portal .. 69

IV. 4. Dimensi Profil Balok dan Kolom ................................................... 70

IV. 5. Perencanaan Sambungan ............................................................... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

V. 1. Kesimpulan ..................................................................................... 81

V. 2. Saran ................................................................................................ 82

DAFTAR PUSTAKA

v
DAFTAR NOTASI

A = Luas penampang batang

A’ = Titik batas elastis

An = Luas netto

B = Titik batas plastis

d = Diameter

E = Modulus elastisitas material

Imin = Momen inersia terkecil dari penampang melintang

lk = Panjang tekuk batang

Ln = Panjang bersih las = lbr – 3 a

Lbr = Panjang kotor las

M = Titik runtuh

N = Gaya tekan pada batang

P = Gaya aksial yang dialami

Pt = Kapasitas gaya tarik aksial ( gaya tarik aksial izin maksimum )

Pkr = Beban konsentris yang dapat menyebabkan terjadinya tekuk lateral

t = Tebal pelat

σtr = Tegangan tarik

σ = Tegangan baja / dasar

σtr = Tegangan tarik

σ tr = Tegangan tarik aksial izin

ε = Regangan baja

π = Konstanta matematis ( 22/7 )

ω = Faktor tekuk

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Bidang momen dan garis lentur balok ........................................... 4

Gambar 2.1 Hubungan tegangan - regangan untuk uji tarik pada baja lunak .... 14

Gambar 2.2 Penentuan tegangan leleh ............................................................... 16

Gambar 2.3 Deformasi rotasi sambungan .......................................................... 19

Gambar 2.4 Kurva M - Өr sambungan ............................................................... 19

Gambar 2.5 Tipe sambungan ( a ) single web – angle dan (b) single plate ....... 21

Gambar 2.6 Tipe sambungan double web – angle ............................................. 21

Gambar 2.7 Tipe sambungan top –and seat-angle with duoble web angle ........ 22

Gambar 2.8 Tipe sambungan top –and seat-angle ............................................. 22

Gambar 2.9 Tipe sambungan header plate ......................................................... 22

Gambar 2.10 Tipe sambungan extended end-plate ( a ) extended

on tension .......................................................................................................... 23

side only ( b ) extended on tension and compression sides ................................ 23

Gambar 2.11 Tipe sambungan flush end-plate .................................................. 23

Gambar 2.12 Klassifikasi sambungan berdasarkan EUROCODE 3 ( 1992 ) .... 24

Gambar 2.13 Sambungam top-and seat-angle dengan double web angle .......... 26

Gambar 2.14 Pengaruh deformasi elastis terhadap sambungan top-and

seat-angle dengan double web angle .................................................................. 27

Gambar 2.15 Luas netto Penampang batang ...................................................... 27

Gambar 2.16 Baut yang terletak menyerong ...................................................... 33

Gambar 2.17 Sambungan T- Connection ........................................................... 36

Gambar 2.18 Sambungan Bracket – Connection ............................................... 37

vii
Gambar 2.19 Sambungan Penahan Momen ....................................................... 38

Gambar 2.20 Baut yang mengalami geser tunggal ............................................ 39

Gambar 2.21 Baut yang mengalami geser rangkap ........................................... 39

Gambar 2.22 Bentuk-bentuk kegagalan yang mungkin terjadi pada

sambungan baut .................................................................................................. 41

Gambar 2.23 Tekanan Tumpu pada Sambungan ............................................... 42

Gambar 2.24 Jarak Baut ..................................................................................... 43

Gambar 3.1 Mekanisme pengalihan gaya pada sambungan .............................. 46

Gambar 3.2 Hubungan Tegangan vs Perpanjangan A490 bolt & A325 bolt ..... 48

Gambar 3.3 Hubungan Gaya pikul (kip) vs Perpanjangan (mm) akibat

panjang ulir dalam elemen pelat yang disambung ............................................. 49

Gambar 3.4 Grafik HubunganTegangan vs Perpanjangan pengaruh

putaran kunci ...................................................................................................... 50

Gambar 3.5 Deformasi pada sambungan noslip, partial slip, dan full slip ........ 50

Gambar 3.6 Pemodelan sambungan baut tidak diberi pratarik & dgn pratarik .. 53

Gambar 3.7 Pengaruh tebal pelat dan washer khusus terhadap

mekanisme friksi ................................................................................................ 58

Gambar 3.8 Deformasi Pelat Penyambung akibat gaya tarik P ......................... 59

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Harga tegangan leleh ........................................................................... 16

Tabel 3.1 Harga µ menurut PBBI Gedung ......................................................... 52

Tabel 4.1 Harga momen ekstrim pada balok ..................................................... 69

Tabel 4.2 Harga momen ekstrim pada kolom .................................................... 69

Tabel 4.3 Langkah-langkah Perhitungan Sambungan ........................................ 78

ix
ABSTRAK
Suatu balok baja yang pada kedua ujungnya disambungkan terhadap kolom-
kolom dengan menggunakan sambungan baut, apabila kedua ujungnya bersifat
sendi maka balok tersebut merupakan konstruksi statis tertentu. Bila sambungan
balok dan kolom pada kedua ujungnya menggunakan beberapa buah baut atau di
las, maka konstruksi menjadi statis tak tentu.Karena sambungan tidak lagi dapat
berputar bebas dan dalam keadaan exstrim sambungan dapat bersifat kaku
sempurna ( rigid ), dimana perputaran sudutnya adalah nol.
Akan tetapi pada sambungan-sambungan yang menggunakan baut / paku
keling selalu akan terjadi deformasi elastis, sehingga sifat kaku sempurna tidak
tercapai dan sambungan menjadi semi kaku ( semi rigid ).Tingkat kekakuan
sambungan akan mempengaruhi besarnya perubahan bentuk (lenturan atau
putaran sudut ) dan gaya-gaya dalam ( Momen, gaya lintang dan sebagainya )
pada analisa strukturnya.
Alat sambung Baut Mutu Tinggi (High Tensile Bolt) bila diberikan tarikan
(Pretension) akan memberikan kontribusi tahanan gesek antara elemen-elemen
yang disambung. Kapasitas daya dukung sambungan akan bertambah akibat
tarikan awal (Pretension) pada alat sambung mutu tinggi tersebut.
Pada Tugas akhir ini, gaya dalam yang dibahas hanya momen lentur M yang
bekerja pada sambungan dan Gaya lintang D. Gaya Normal N dan Torsi ( momen
puntir ) T yang seharusnya turut bekerja tidak diikutkan. Dari hasil perhitungan
dengan menggunakan metode cross, momen lentur yang dihasilkan adalah 10,484
T.m,dan Gaya lintang D = 5,6155 T

tegangan yang diijinkan σ ijin = 3100 kg/cm².maka profil yang dipakai adalah
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan melakukan pengecekan terhadap

profil Wf 300 x 150 x 6,5 x 9, dan menggunakan baut mutu tinggi A325,
6Ø20mm, karena momen yang dapat dipikul profil dan sambungan jauh lebih
besar dari pada momen yang terjadi dan profil dinyatakan cukup aman dalam
memikul beban yang terjadi.

Kata kunci : baut mutu tinggi, tegangan tarik awal, tegangan geser

iii
BAB I

PENDAHULUAN

I. Umum

Pada suatu konstruksi bangunan, tidak terlepas dari elemen-elemen seperti

balok, kolom pelat maupun kolom balok, baik itu yang terbuat dari baja, kayu

maupun beton, pada tempat-tempat tertentu harus disambung. Hal ini dikarenakan

keterbatasan ketersediaan material dipasaran dan juga hubungan dengan

kemudahan pemasangan di lapangan. Khusus untuk konstruksi yang terbuat dari

beton, boleh jadi sambungan bukan merupakan sesuatu hal yang perlu

dipermasalahkan, karena pada konstruksi beton struktur pada keseluruhan adalah

bersifat monoloit (menyatu secara kaku). Lain halnya dengan konstruksi yang

terbuat dari baja dan kayu, sambungan merupakan sesuatu hal yang perlu

mendapat perhatian serius yang matang karena pada konstruksi baja maupun

kayu, elemen-emelen struktur yang akan disambung tidak dapat bersifat monoloit

seperti konstruksi beton.

Pada umumnya sambungan berfungsi untuk memindahkan gaya-gaya yang

bekerja pada elemen-elemen struktur yang akan disambung, sambungan dibuat

karena keterbatasan bahan yang tersedia serta kemudahan dalam hal

pengangkutan. Misalkan saja akan dibuat suatu struktur rangka gading-gading kap

yang terbuat dari profil baja siku maka tidak mungkin melakukannya secara

langsung di lapangan karena tidak ekonomis, tetapi akan lebih hemat jika terlebih

dahulu merakitnya di pabrikasi (bengkel /workshop), baru selanjutnya tinggal

menyambungkannya pada kolom-kolom di lapangan.

1
II. Latar Belakang

Alat-alat sambung yang biasa digunakan pada konstruksi baja adalah :

1. Sambungan dengan paku keling (rivet)

2. Sambungan dengan baut (bolt)

3. Sambungan dengan las (welding)

Jika dibandingkan ketiga alat sambung ini, maka las merupakan alat sambungan

menghasilkan kekuatan yang paling besar, sedangkan paku keling menghasilkan

sambungan yang lebih kaku jika dibandingkan dengan baut, tetapi kurang kaku

jika dibandingkan dengan las. Tetapi pada dewasa ini sambungan dengan

menggunakan paku keling sudah jarang digunakan karena kesulitan dalam

pemasangannya. Oleh karena itu pada tugas akhir ini perencanaan akan

menggunakan sambungan batu mutu tinggi (HTB).

Bahan baja sebagai bahan bangunan, diproduksi di pabrik-pabrik

peleburan dalam bentuk ukuran dan panjang tertentu sesuai dengan standart yang

dilakukan. Oleh karena itu tidaklah mungkin membangun suatu struktur secara

monoloit (dipabrikasi, dicetak) akan tetapi terpaksa dibangun dari elemen-elemen

yang disambung satu persatu di lapangan dengan menggunakan salah satu alat-

alat sambung, ataupun kombinasi dari dua alat sambung.

Sifat dari alat sambungan ini sangat tergantung pada jenis dan konstruksi

sambungan, bervariasi mulai dari yang berkekakuan sendi sampai dengan kaku

sempurna. Untuk menghilangkan salah pengertian, perlu terlebih dahulu

dijelaskan tentang istilah kekakuan pada struktur batang, kata stifness. Suatu

struktur sambungan dapat bersifat sendi (ekstrem bawah) dan kaku atau rigid pada

ekstrem atas. Diantaranya terdapat sifat semi kaku “semi rigid” tidak ada ukuran

2
yang dapat dipakai untuk dapat menentukan tingkat kekakuan dan sambungan

dimaksud, disini cara yang ditempuh adalah dengan menggunakan kombinasi

sendi dengan pegas momen sebagai pengganti sambungan (perletakan) yang semi

kaku. Besarnya konstanta pegas adalah menunjukkan tingkat kekakuan dari

sambungan. Maka untuk seterusnya bila terpakai kata kekakuan sambungan, yang

dimaksud adalah kekakuan (konstante) pegas yang dimaksud di atas.

III. Permasalahan

Sambungan menerus balok dan kolom ditunjukkan untuk memindahkan

semua momen dan memperkecil atau meniadakan rotasi batang pada sambungan

(yaitu jenis : AISC-Sambungan portal kaku)

Kolom dapat berhubungan secara kaku dengan balok-balok pada kedua

sayapnya, tingkat kekakuan dari sambungan pada konstruksi tersebut mempunyai

peranan penting pada analisa struktur untuk menghitung gaya-gaya dalam dan

deformasi, terutama untuk statis tak tentu. Contoh berikut ini akan

memperlihatkan permasalahan yang ditimbulkan oleh kondisi yang berbeda-beda

dari ujung-ujung (sambungan) dari satu batang. Apabila titik ujung A dan B

adalah sendi dan beban mati terpusat berada di tengah-tengah bentang yaitu di C

maka momen di A dan di B adalah nol. Momem di C yakni Moc = ¼ PL. Tetapi

bila di A dan B kaku sempurna maka besar momen akan berubah menjadi :

M’A = M’B = -1/8 PL dan M’C = 1/8 PL = ½ Moc

Bila titik A dan B bersifat diatara sendi dan kaku (semi kaku), maka

momen-momen tersebut akan berubah besarnya sesuai dengan tingkat kekakuan

dari sambungan.

3
Gambar 1.1 Bidang momen dan garis lentur balok

Dimana :

0 < M”B < M’B < dan MoC > M”C > M’C

Hal yang sama terjadi pada lenturan, yakni bahwa :

YoC > Y”C > Y’C

Kalau pada perencanaan titik hubungan A dan B diasumsikan sendi, akan tetapi

pada waktu pelaksanaan terjadi hubungan kaku atau semi kaku maka di tengah

bentang terjadi momen yang lebih kecil dari yang di hitung semula. Sedangkan

pada jepit tibul momen sebesar M”B yang semula adalah nol. Sebaliknya bila pada

waktu pelaksanaan terjadi hubungan yang semi kaku, maka di tengah bentang

terjadi momen M”C yang lebih besar dari M’C yang dihitung pada awalnya (jadi

ada bahaya) sedangkan pada titik A dan B menjadi berkurang.

Dalam menentukan tingkat kekakuan sambungan ada dua cara, yaitu

berdasarkan hasil pengujian di laboratorium dan perhitungan secara analitis.

4
Dalam menentukan derajat kekakuan K dari sambungan adalah dengan

menentukan jumlah dan susunan dari baut penyambung dan menentukan dari

pelat dasar sebagai pelat penyambung, sedangkan bila berdasarkan perhitungan

analitis, derajat kekakuan K dari sambungan dapat ditentukan melalui prosedur

literasi metode kekakuan. Secara teoritis faktor-faktor yang mempengaruhi

besarnya nilai kekakuan K dari sambungan adalah :

1. Ukuran baut , jumlah baut dan jarak antar baut

2. Tebal pelat penyambung

3. Kekakuan dan panjang dari batang tersambung, baik itu balok maupun

kolom

4. Gaya dalam (pada tugas akhir ini yang dibahas hanya momen lentur M)

yang bekerja pada sambungan

5. Deformasi akibat tegangan tarik aksial pada bidang persentuhan antara

baut dan pelat (batang) tersambung

6. Lenturan pada baut sendiri

7. Adanya kelonggaran atara baut dengan pelat-pelat tersambung. Dengan

perkataan lain ukuran lobang baut lebih besar dari diameter baut

8. Adanya tahanan gesek antara pelat-pelat tersambung yang ditimbukan oleh

pengunci baut yang sangat kuat

Kekakuan pada suatu sambungan antara balok dan kolom mempengaruhi besar

beban yang dapat bekerja pada struktur tersebut. Bagaimana bila sambungan

antara balok dan kolom mengalami pembebanan sampai batas elastisnya.

Oleh karena itu sangat perlu untuk menganalisa M sambungan pada

perencanaan sambungan balok-kolom pada suatu konstruksi baja dan bagaimana

5
pengaruhnya terhadap M kapasitas elastisnya (balok). Karena balok mengalami M

kapasitas elastis maka balok hanya mengalami lendutan (dengan catatan tidak ada

sambungan balok-balok pada span balok dari kolom) sebab balok besifat

monoloit, sedangkan sambungan balok-kolom tidak. Apakah M sambungan dapat

memikul M kapasitas elasis? Berdasarkan hal inilah, maka dalam tugas akhir ini

dalam perencanaan kekuatan sambungan balok-kolom pada suatu konstruksi

portal baja sangat perlu memperhatikan hubungan di bawah ini :

M sambungan ≥ M kapasitas elastis

IV. Maksud dan Tujuan

Penulisan tugas akhir ini adalah untuk membahas mengenai analisis

sambungan portal baja antara balok dan kolom dengan menggunakan sambungan

baut mutu tinggi (HTB)

Adapun tujuannya adalah untuk :

Menganalisis kekuatan sambungan balok dan kolom pada portal baja dengan cara

membandingkan momen yang terjadi pada sambungan dengan momen kapasitas

yang dapat dipikul oleh balok pada batas elastisnya sehingga tidak menimbulkan

resiko pada konstruksi yang direncanakan.

V. Pembatasan masalah

Agar masalah yang dibahas dalam tulisan ini mengarah kepada tujuan

yang relevan dengan judul dan juga keterbatasan literatur serta untuk

mempermudah perhitungan tetapi hasilnya masih mendekati kebenaran, maka

perlu diadakan pembatasan masalah sebagai berikut :

6
1. Konstruksi yang akan dianalisis adalah portal dengan elemen 2

dimensional dalam betuk portal bidang (plane frame)

2. Analisis hanya dilakukan terhadap gaya momen lentur saja yang bekerja,

sedangkan gaya dalam lainnya seperti gaya lindang D dan gaya normal N

yang seharusnya bekerja tidak diperhitungkan

3. Material yang digunakan adalah baja yang bersifat linear-elastis, isotropik

homogen

4. Pembahasan hanya meliputi hubungan sambungan balok dan kolom

5. Sambungan yang dianalisis dalam tugas akhir ini adalah sambungan baut

mutu tinggi (HTB)

6. Analisis tidak dilakukan terhadap pengaruh ketidak seragaman tegangan

yang ditanggung oleh koponen-kompenen sambungan (yaitu ada

komponen yang lebih awal mengalami leleh)

7. Perubahan geometrik struktur adalah liner

8. Dimensi balok dan kolom menggunakan porfil baja IWF

9. Deformasi akibat tarik aksial (oleh momen lentur M yang bekerja) yaitu

deformasi rotasi θr yaitu pada bidang persentuhan antara baut dan pelat

dasar tersambung tidak dianalisa

10. Lenturan pada baut sendiri tidak dianalisa

11. Analisa tidak dilakukan terhadap tekuk flens, web kolom dan kolom yang

terjadi pada sekitar sambungan

12. Derajat kekakuan K pada sambungan hubungan balok-kolom diasumsikan

100 %

7
13. Dalam penentuan inflexient point (garis netral) pada sambungan yang

direncanakan dengan baut sebagai alat penyambung, perhitungan luasan

bidang pengganti di ekivalensikan dengan pengasumsian jarak-jarak baut

adalah sama (dalam perencanaan sambungan, jarak-jarak but tidak sama

tetapi sesuai dengan persyaratan menurut PPBBI 1983)

VI. Metodologi

Dalam penulisan tugas akhir ini metode yang digunakan adalah study

literatur, adapun sumber adalah buku-buku jurnal, buku-buku yang berhubungan

dengan analisa yang akan dibahas.

Analisis dalam tugas akhir ini dilakukan dalam bentuk elastis dengan

menggunakan metoda analisa perhitungan ASD (Allowable Stress Design).

Perencanaan untuk profil baja untuk balok, kolom, pelat penyambung

menggunakan U-37 (σElastis = 1600 kg/cm2). Baut penyambung menggunakan

baut mutu tinggi (yang terbuat dari besi beton) dengan mutu baja U-52 (σElastis =

2400 kg/cm2).

VII. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran garis besar penulisan Tugas Akhir ini, maka

isi Tugas Akhir ini dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan,

Maksud dan Tujuan, Pembatasan Masalah, Metodologi dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : TIJAUAN KEPUSTAKAAN, terdiri dari penjelasan umum mengenai

sambungan balok dan kolom baja, sifat Bahan Baja berisikan sifat

8
bahan baja, Sambungan berisikan penjelasan mengenai sambungan

baut

BAB III : ANALISIS KEKAKUAN SAMBUNGAN BALOK DAN KOLOM,

terdiri dari Sambungan Penahan Momen, Sambungan Penahan

Momen yang Direncanakan, kekakuan sambungan baut yang berisikan

penjelasan mengenai kekuatan geser baut, kekuatan desak (tumpu)

baut, sambungan baut yang mengalami pembebanan eksentris.

BAB IV : APLIKASI

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Umum

Baja adalah salah satu bahan konstruksi yang umum digunakan .Sifat-sifat

yang penting dalam penggunaan konstruksi baja adalah kekuatannya yang tinggi

dan keseragaman bahan-bahan penyusunnya. Selain itu , kestabilan dimensional ,

kemudahan pembuatan dan cepatnya pelaksanaan, merupakan hal-hal yang

menguntungkan dari kostruksi baja.

Baja dihasilkan dengan menghaluskan bijih besi dan logam besi tua

bersama-sama dengan bahan pencampur tambahan yang sesuai, kokas ( untuk

karbon ), dan oksigen dalam tungku bertemperatur tinggi untuk menghasilkan

massa-massa besi yang besar yang dinamakan blok tuangan mentah

( pigs ) atau besi kasar ( pigiron ).Besi kasar tersebut selanjutnya dihaluskan untuk

mengilangkan kelebihan karbon dan kotoran-kotoran lain dan/atau dicampur

logam lain, seperti tembaga , nikel, krom, mangan, molibden, posfor, silicon,

belerang, titan, columbium, dan vanadium, untuk menghasilkan kekuatan ,

keliatan , pengelasan dan karakteristik ketahanan terhadap korosi ( karat ) yang

diinginkan.

Ingot baja yng didapatkan dari proses ini akan dimasukkan ke dalam

gulungan yang berputar dengan laju yang sama dalam arah yang berlawanan

untuk menghasilkan baja setengah jadi yang berbentuk siku-siku yang panjang

yang dinamakan sebuah pelat, blok baja ( bloom ), atau baja gelas setengah jadi (

billet ), yang tergantung pada luas penampangnya. Dari tahap ini maka hasil

10
tersebut dikirim ke pabrik penggiling baja yang lain untuk mengasilkan geometri

penampang akhir, yang meliputi bentuk konstruksi seperti batang, kawat, jalur,

pelat dan pipa. Sebagai bahan tambahan untuk bentuk yang diiginkan , maka

proses penggilingan akan cenderung untuk memperbaiki sifat kekerasan,

kekuatan, dan sifat dapat ditempa ( malleability ) dari logam tersebut. Dari

penggilingan ini maka bentuk – bentuk konstruksi tersebut dikirimkan ke pabrik

baja atau gudang berat menurut pemesanan.

Pabrik baja tersebut bekerja berdasarkan gambar teknik untuk

menghasilkan gambar perincian bengkel, sehingga didapatkan dimensi-dimensi

yang diperlukan untuk memotong , menggergaji, atau memotong bentuk tersebut

dengan menggunakan gas sesuai dengan ukuran yang diiginkan dan untuk

menempatkan lobang-lobang secara teliti untuk pemboran dan pembuatan lobang.

( Sumber : joseph E.Bowles, 1985 ).

II.2. Sifat Bahan Baja

Sifat baja yang terpenting dalam pengunaanya sebagai bahan konstruksi

adalah kekuatannya yang tinggi, dibandingkan dengan bahan lainnya seperti kayu,

dan sifat keliatannya, yaitu kemampuan untuk berdeformasi secara nyata baik

dalam tegangan, regangan maupun dalam kompresi sebelum kegagalan, serta sifat

homogenitas yaitu sifat keseragaman yang tinggi.

Baja merupakan bahan campuran besi ( Fe ), 1,7 % Zat arang atau karbon (

C ), 1,65 % mangan 0,6 % silikon ( Si ) dan 0,6% tembaga ( Cu ). Baja dihasilkan

dengan menghaluskan bijih besi dan logam besi tua bersama-sama dengan bahan

tambahan pencampur yang sesuai, dalam tungku temperatur tinggi untuk

11
menghasilkan massa-massa besi yang besar, selanjutnya dibesihkan untuk

menghilangkan kelebihan zat arang dan kotoran-kotoran lain.

Berdasarkan persentase zat arang yang dikandung, baja dapat

dikategorikan sebagai berikut :

1. Baja dengan persentase zat arang rendah ( low carbon steel )

Yakni lebih kecil dari 0.15 %

2. Baja dengan persentase zat arang ringan ( mild carbon steel )

Yakni 0.15 % - 0.29 %

3. Baja dengan persentase zat arang sedang ( medium carbon steel )

Yakni 0.30 % - 0.59 %

4. Baja dengan persentase zat arang tinggi ( High carbon steel )

Yakni 0.60 % - 1.7 %

Baja untuk bahan struktur termasuk kedalam baja yang persentase zat

arang yang ringan ( mild carbon steel ), semakin tinggi kadar zat arang yang

terkandung didalamnya, maka semakin tinggi nilai tegangan lelehnya. Sifat-sifat

bahan struktur yang paling penting dari baja adalah sebagai berikut :

1. Modulus Elastisitas ( E )

Modulus elastisitas untuk semua baja ( yang secara relative tidak

tergantung dari kuat leleh ) adalah 28000 sampai 30000 ksi atau 193000

sampai 207000 Mpa. Nilai untuk desain lazimnya diambil sebesar 29000

ksi atau 200000 Mpa.

Berdasarkan Peraturan Perencanaan Bangunan Indonesia ( PPBBI ), nilai

modulus elastisitas baja adalah 2,1 x 106 kg/cm² atau 2,1 x 105 MPa.

12
2. Modulus Geser ( G )

Modulus geser setip bahan elastis dihitung berdasarkan formula :

G=
2(1 + µ )
E

Dimana µ = perbandingan poisson yang diambil sebesar 0,3 untuk baja.

Dengan menggunakan µ = 0,3 maka akan memberikan G = 11000 ksi atau

77000 MPa.

Berdasarkan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia ( PPBBI ),

nilai modulus geser ( gelincir ) baja adalah 0,81 x 106 kg/cm² atau 0,81 x

105 MPa.

3. Koefisien Ekspansi ( α )

Koefisien ekspansi adalah koefisien pemuaian linier. Koefisien ekspansi

baja diambil sebesar 12 x 10-6 per 0C.

4. Tegangan Leleh ( σ1 )

Tegangan leleh ditentukan berdasarkan mutu baja.

5. Sifat – sifat lain yang penting.

Sifat – sifat ini termasuk massa jenis baja, yang sama dengan 490 pcf atau

7,850 t/m3, atau dalam berat satuan, nilai untuk baja sama dengan 490 pcf

atau 76, 975 kN/m³, berat jenis baja umumnya adalah sebesar 7,85.

Untuk mengetahui hubungan antara tegangan dan regangan pada baja

dapat dilakukan dengan uji tarik di laboratorium. Sebagian besar percobaan atas

baja akan menghasilkan bentuk hubungan antara tegangan dan regangan seperti

tergambar di bawah ini.

13
σ M
A
A B C

0 ε
Gambar 2.1 Hubungan tegangan - regangan untuk uji tarik pada baja lunak.

Keterangan gambar :

σ = tegangan baja

ε = regangan baja

A = titik proporsional

A’ = titik batas elastis

B = titik batas plastis

M = titik runtuh

C = titik putus

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa sampai titik A hubungan antara

tegangan dan regangan masih linier atau keadaan masih mengikuti hukum

Hooke.Kemiringan garis OA menyatakan besarnya modulus elastisitas E. diagram

regangan untuk baja lunak memiliki titik leleh atas ( upper yield point ), σyu dan

daerah leleh datar. Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A’ tidaklah terlalu

berarti sehingga pengaruhnya sering diabaikan. Titik A’ sering juga disebut

sebagai titik batas elastis ( elasticity limit ). Sampai batas ini bila gaya tarik

14
dikerjakan pada batang baja maka batang tersebut akan berdeformasi. Selanjutnya

bila gaya itu dihilangkan maka batang akan kembali kebentuk semula. Dalam hal

ini batang tidak mengalami deformasi permanen.

Bila beban yang bekerja bertambah, maka akan terjadi pertambahan

regangan tanpa adanya pertambahan tegangan. Sifat pada daerah AB

Inilah yang disebut sebagai keadaan plastis. Lokasi titik B, yaitu titik batas plastis

tidaklah pasti tetapi sebagai perkiraan dapat ditentukan yakni terletak pada

regangan 0.014.

Daerah BC merupakan daerah strain hardening, dimana pertambahan

regangan akan diikuti dengan sedikit pertambahan tegangan. Disamping itu,

hubungan tegangan dengan regangannya tidak lagi bersifat linier. Kemiringan

garis setelah titik B ini didefenisikan sebagai Ez. Di titik M, yaitu regangan

berkisar antara 20 % dari panjang batang, tegangannya mencapai nilai maksimum

yang disebut sebagai tegangan tarik batas ( Ultimate tensile strength ). Akhirnya

bila beban semakin bertambah besar lagi maka titik C batang akan putus.

Tegangan leleh adalah tegangan yang terjadi pada saat baja mulai meleleh.

Dalam kenyataannya, sulit untuk menentukan besarnya tegangan leleh, sebab

perubahan dari elastisitas menjadi plastis seringkali besarnya tidak tetap.sebagai

standar menentukan besarnya tegangan leleh dihitung dengan menarik garis

sejajar dengan sudut kemiringan modulus elastisitasnya, dari regangan sebesar

0.2 %

15
σ

CD//OB

C
0 0.002 0.004 ε

Gambar 2.2 Penentuan tegangan leleh.

Dari titik regangannya 0.2 % ditarik garis sejajar dengan garis OB

sehingga memotong grafik tegangan regangan dan memotong sumbu

tegangan.Tegangan yang diperoleh ini disebut dengan tegangan leleh. Tegangan-

tegangan leleh dari bermacam-macam baja bangunan diperlihatkan pada tabel 2.1

dibawah ini:

Tabel 2.1 Harga tegangan leleh

Tegangan Leleh

Macam Baja Kg/cm² Mpa

Bj 34 2100 210

Bj 37 2400 240

Bj 41 2500 250

Bj 44 2800 280

Bj 50 2900 290

Bj 52 3600 360

16
Baja memiliki beberapa kelebihan sebagai bahan konstruksi, diantaranya :

1. Nilai kesatuan yang tinggi per satuan berat

2. Keseragaman bahan dan komposit bahan yang tidak berubah terhadap

waktu

3. Dengan sedikit perawatan akan didapat masa pakai yang tidak terbatas

4. Daktalitas yang tinggi

5. Mudah untuk diadakan pengembangan struktur

Disamping itu baja juga mempunyai kekurangan dalam hal :

1. Kekuatan baja lemah dalam memikul beban tekan

2. Biaya pengadaan anti api yang besar ( fire proofing cost )

3. Dibandingkan dengan kekuatannya kemampuan baja melawan tekuk kecil

4. Nilai kekuatannya akan berkurang, jika dibebani secara berulang /

periodik, hal ini biasanya disebut dengan leleh atau fatigue.

Dengan kemajuan teknologi, perlindungan terhadap karat dan kebakaran pada

baja sudah ditemukan, hingga akibat buruk yang mungkin terjadi bisa

dikurangi/dihindari.

II.3. Sambungan

Bahan baja sebagai bahan bangunan, diproduksi dipabrik-pabrik peleburan

dalam bentuk, ukuran dan panjang tertentu sesuai dengan standard yang

ditentukan.Oleh karena itu tidaklah mungkin membangun suatu konstruksi secara

monolit, akan tetapi terpaksa dibangun elemen-elemen yang disambung satu

persatu dilapangan. Sifat dari sambungan ini sangat tergantung pada jenis dan

konstruksi sambungan, bervariasi mulai dari yang berkelakuan sebagai sendi

sampai dengan kaku sempurna. Pada struktur batang istilah kekakuan digunakan

17
untuk faktor EI dari batang atau dalam bahasa inggris disebut ( stiffnes ). Suatu

struktur sambungan dapat bersifat sendi, kaku( rigid ) atau semi kaku ( semi rigid

) .tidak ada ukuran yang pasti untuk menentukan tingkat dari sambungan yang

dimaksud.

Sambungan merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam

perencanaan struktur baja. Hal ini dikarenakan bentuk struktur bangunan yang

begitu kompleks. Sambungan yang dapat kita lihat pada struktur bangunan adalah

sambungan antara balok dan kolom. Kegagalan dalam sambungan tersebut dapat

mengakibatkan perubahan fungsi struktur bangunan tersebut, dan paling

berbahaya adalah keruntuhan pada struktur tersebut.Sehingga untuk mencegah hal

tersebut maka kekakuan sambungan antara balok dan kolom tersebut harus baik.

Pada umumnya sambungan antara balok dan kolom terdiri dari tiga elemen yaitu :

balok, kolom, dan alat penyambung. Jadi ketiga elemen tersebut yang harus kita

perhitungkan sehingga perencanaan struktur akan sesuai seperti yang

direncanakan dan pada akhirnya struktur bangunan itu akan berdiri sesuai dengan

fungsi yang diinginkan.

Suatu sambungan merupakan sarana dimana beban-beban yang bekerja

disalurkan. Untuk sambungan balok ke kolom, beban-beban yang disalurkan

meliputi gaya normal N, gaya lintang D, momen lentur M dan momen Torsi.

Dalam tugas akhir ini, yang dibahas adalah momen lentur saja.

Selanjutnya dalam tugas akhir ini, deformasi sambungan akibat momen

Өr. Biasanya rotasi


lentur M saja yang diperhitungkan, yaitu deformasi rotasi

ditulis dalam fungsi momen. Apabila momen lentur M bekerja pada sambungan,

18
maka akan timbul deformasi rotasi sebesarӨr. Seperti yang tergambar dibawah

ini

Gambar 2.3 Deformasi rotasi sambungan

Rotasi yang dimaksud adalah perubahan sudut yang terjadi antara balok dan

kolom dari kondisi aslinya, yang merupakan suatu ukuran putaran relatif balok

terhadap kolom.

Hubungan M - Өr sambungan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.4 Kurva M - Өr sambungan

19
Dari gambar diatas dapat diambil beberapa pengamatan, yang antara lain :

1. Semua tipe sambungan menunjukkan perilaku hubungan M-θr yang berada

diantara rigid ( sumbu vertikal ) dan sendi ( sumbu horizontal ).

2. Untuk nilai momen yang sama, sambungan yang lebih fleksibel memiliki

sudut rotasi θr yang lebih besar. Sebaliknya nilai untuk θr tertentu, sambungan

yang lebih fleksibel menyalurkan momen yang lebih kecil.

3. Meomen maksimum yang mampu disalurkan suatu sambungan ( kapasitas

momen ultimite ) menurun pada sambungan yang lebih fleksibel.

4. Hubungan M- θr senantiasa non-linier untuk setiap jenis pembebanan.

Ke-non-linier-an ini disebabkan oleh berbagai faktor, yang terpenting diantaranya

adalah :

1. Ketidak-seragaman secara material.

Sambungan tersebut terdiri atas berbagai macam dan susunan baut, siku

dan pelat. Hal ini memungkinkan terjadinya slip dan pergerakan realatif pada

tingkat pembebanan yang berbeda.

2. Tercapainya kondisi leleh dari sebagian komponen sambungan.

Karena tidak seragamnya tegangan yang ditanggung oleh komponen-

komponen sambungan, maka ada komponen yang lebih awal mengalami leleh. Ini

merupakan faktor utama penyebab ke-non-linier-an perilaku suatu sambungan.

3. Konsentrasi tegangan dan regangan yang disebabkan oleh lobang ( baut ),

pengencangan dan bidang kontak elemen yang diterapkan pada sambungan.

4. Tekuk flens dan/atau web kolom ataupun balok yang terjadi disekitar

sambungan.

5. Perubahan geometri akibat beban yang bekerja

20
II.3.1 Tipe – Tipe Sambungan

Berikut ini dapat dilihat beberapa tipe sambungan antara lain :

Gambar 2.5 Tipe sambungan ( a ) single web – angle dan (b) single plate

Gambar 2.6 Tipe sambungan double web – angle

21
Gambar 2.7 Tipe sambungan top –and seat-angle with duoble web angle.

Gambar 2.8 Tipe sambungan top –and seat-angle

Gambar 2.9 Tipe sambungan header plate

22
Gambar 2.10 Tipe sambungan extended end-plate ( a ) extended on tension side
only ( b ) extended on tension and compression sides

Gambar 2.11 Tipe sambungan flush end-plate

23
Berdasarkan EUROCODE 3, sambungan diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Rigidity ( Rotational stiffness, Rki ) dan

2. Kekuatan ( momen resistance, M ).

Ad.1 Rotational stiffness dari sambungan balok dan kolom dapat diklasifikasikan

atas : sendi ( flexible connection ), rigid dan semi rigid. Dalam EUROCODE 3,

sambungan yang ditampilkan adalah dalam braced dan unbraced frames.

Klassifikasi sambungan berdasarkan EUROCOD 3 dapat dilihat pada gambar

dibawah ini.

Gambar 2.12 Klassifikasi sambungan berdasarkan EUROCODE 3 ( 1992 )

Parameter non-dimensional yang digunakan pada gambar tersebut adalah :

m=
1. M ;
Mp

dimana : M = moment resistance

Mp = momen kapasitas plastis

θr
θ= θp =
(EI b / Lb )
Mp
2.
θp ; dimana :

Keterangan :

24
Ib = momen inersia balok

Lb = panjang bentang balok dari c/c kolom.

* Untuk unbraced frames, batas untuk sambungan semi-rigid adalah :

2
1. Bila m < → m < 25. θ
3

2 25.θ + 4
2. Bila <m<1→m<
3 7

Syarat untuk unbraced frame :


2
1. Bila m < → m < 8.θ
3

2 20.θ + 3
2. Bila < m < 1,0 → <
3 7

* Sambungan balok – kolom diklasifikasikan sebagai sendi ( flexible connection ),


jika rotational stiffness berada pada kondisi :

Rkt ≤
E.I b
2.Lb

Ad.2. Momen Resitance, M

Berdasarkan momen resistance, sambungan balok – kolom dapat diklassifikasikan

atas :

Mp
1. nominally pinned ( sendi ) , jika M ≤ ;
4

2. full strength, jika M > Mp ; dan

3. partial strength, jika Mp / 4 < M < Mp

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa sangat pentign untuk

menganalisa derajat kekakuan K dari suatu perencanaan sambungan balok-

kolom pada suatu konstruksi baja. Bila hanya momen lentur M yang

25
bekerja pada sambungan tersebut, maka akan menimbulkan deformasi

rotasi sambungan sebesar θr. Hal ini sangat penting untuk dianalisa dalam

perencanaan sambungan balok – kolom.

Dalam penganalisaan kekakuan sambungan balok – kolom tersebut akan

dilakukan penganalisaan terhadap momen yang bekerja pada sambungan (

M sambungan ) yang akan dibandingkan dengan momen kapasitas yang

dapat dipikul oleh balok dalam batas elastisitasnya ( M kapasitas

elastisitas). Pada gambar berikut ini dapat dilihat pengaruh deformasi

elastis yang terjadi pada sambungan balok-kolom akibat momen lentur M

yang bekerja. Sambungan balok – kolom adalah tipe sambungan top – and

seat-angle with double web angle.

Gambar 2.13 Sambungam top-and seat-angle dengan double web angle

26
Gambar 2.14 Pengaruh deformasi elastis terhadap sambungan top-and seat-angle
dengan double web angle

27
II.3.2 Jenis – jenis alat penyambung

Didalam suatu struktur konstruksi yang menggunakan alat penyambung

dapat digunakan dengan menggunakan alat sambung seperti : baut ( bolt ), paku

keling ( rivet ) dan las ( welded ). Dalam tulisan ini yang akan dibahas hanya alat

sambung baut dan las.

II.3.2.1 Baut ( Bolt )

Pada suatu struktur yang terbuat dari konstruksi baja baja, baut merupakan

suatu elemen yang paling vital untuk diperhitungkan, hal ini dikarenakan baut

merupakan alat sambung yang paling sering digunakan.Selain baut mutu tinggi,

juga ada jenis baut lain yang masih digunakan sebagai alat penyambung. Adapun

jenis baut yang dimaksud antara lain :

a) Baut Hitam

Baut ini dibuat dari baja karbon rendah yang diidentifikasi sebagai ASTM

A307 dan merupakan jenis baut yang paling murah. Namun baut ini belum

tentu menghasilkan sambungan yang paling murah, karena jumlah baut

yang dibutuhkan pada sambungan cukup banyak. Pemakaian baut ini

biasanya digunakan pada struktur ringan, batang sekunder atau pengaku,

anjungan ( platform ), jalan haluan ( cat walk ), gording, rusuk dinding,

rangka batang yang kecil dan lain-lain yang bebannya kecil dan bersifat

statis. Baut ini juga dipakai sebagai alat penyambung sementara pada

sambungan yang menggunakan baut kekuatan tinggi, paku keling atau las.

Baut hitam ( yang tidak dihaluskan ) kadang-kadang disebut dengan baut

biasa, baut mesin atau baut kasar, serta kepala atau murnya dapat

berbentuk bujur sangkar.

28
b) Baut Sekrup ( Turned Bolt )

Baut ini dibuat dengan mesin dari bahan berbentuk segi enam dengan

toleransi yang lebih kecil ( sekitar 1/50 inchi ) bila dibandingkan dengan

baut hitam. Jenis baut ini terutama digunakan bila sambungan memerlukan

baut yang pas dengan lubang yang dibor. Kadang-kadang baut ini

bermanfaat dalam mensejajarkan peralatan mesin dan batang struktural

yang posisinya harus akurat. Pada saat ini baut sekrup jarang sekali

digunakan pada sambungan struktural, karena baut kekuatan tinggi lebih

baik dan lebih murah.

c) Baut bersisip

Baut ini terbuat dari baja paku keling biasa dan berkepala bundar dengan

tonjolan sirip-sirip yang sejajar tangkainya. Baut bersisip tealah lama

dipakai sebagai alternatif dari paku keling. Diameter yang sesungguhnya

pada baut bersirip dengan ukuran tertentu sedikit lebih besar dari lubang

tempat baut tersebut. Dalam pemasangan baut bersirip baut memotong tepi

keliling lubang sehingga diperoleh cengkraman yang realatif erat. Jenis

baut ini terutama bermanfaat pada sambungan tumpu ( bearing ) dan pada

sambungan yang mengalami tegangan berganti ( bolak – balik ).

Untuk baut mutu tinggi tipe tumpu, tegangan-tegangan yang diijinkan dalam

menhitung kekuatan baut adalah :

1. Tegangan geser yang diijinkan :

τ = 0,6.σ

2. Tegangan tarik yang diijinkan :

τ trk = 0,7.σ

29
3. Tegangan tumpu yang diijinkan :

Untuk s1 ≥ 2.d σ tu = 1,5.σ

Untuk 1,5 d ≤ s1 ≤ 2.d σ tu = 1,2.σ

Untuk persamaan tegangan geser dan tegangan tarik menggunakan

tegangan dasar bahan baut dan untuk persamaan tegangan tumpu

menggunakan tegangan dasar yang terkecil antara bahan baut dengan

bahan batang yang akan disambung. Pada waktu pemasangan baut, ring

harus dipasang pada bagian bawah kepala baut dan bagian bawah mur.

Penentuan ukuran elemen struktur tarik merupakan salah satu masalah

yang sederhana yang sering dijumpai oleh perencana struktur. Sekalipun demikian

perencana harus berhati-hati dalam desain dan pendetailan hubungan ( connectios

) elemen struktur.Telah banyak kegagalan structural yang diakibatkan oleh

buruknya detail titik hubung elemen struktur tarik. Elemen struktur tarik tidak

menimbulkan masalah stabilitas seperti pada balok dan kolom. Beban tarik yang

bekerja pada sumbu longitudinal elemen cenderung menahan elemen itu pada

garis longitudinal.Jadi, elemen tarik pada umumnya tidak memerlukan bracing

yang biasanya diasosiasikan pada balok dan kolom. Pada elemen struktur tarik,

potensi untuk runtuh secara tiba-tiba hanya dapat terjadi apabila ada

ketidakcukupan, misalnya pelemahan di titik hubung.

Yang paling penting diperhatikan dalam pemillihan elemen struktur tarik

adalah konfigurasi penampang melintang sehingga titik-titik hubungnya

sederhana dan efisien. Titik hubung itu juga harus dapat meneruskan beban ke

elemen strukturnya dengan eksentrisitas sekecil mungkin.

30
Contoh-contoh elemen struktur tarik dapat dijumpai pada banyak struktur

misalnya pada penggantung untuk catwalks, pada struktur rangka batang, kabel

untuk tumpuan atap, sag rods, dan berbagai jenis brace ( pengekang ).Elemen

bracing kecil dapat berupa batang baja bulat berulir atau elemen flexible, misalnya

kabel atau kawat.Siku tunggal, siku rangkap, bentuk T, dan kanal juga dapat

digunakan sebagai elemen struktur tarik. Batang tarik pada rangka batang besar

dapat terdiri atas profil-profil WF atau terdiri atas elemen tersusun.

1. Tegangan Tarik

Rumus tegangan tarik merupakan dasar perhitungan analisis dan desain

elemen struktur tarik. Rumus tersebut dapat ditulis sebagai berikut :

σ tr =
P
An

Atau untuk kapasitas tarik :

Pt = σ tr . An

Dimana σtr = tegangan tarik yang dihitung

P = gaya aksial yang dialami

Pt = kapasitas gaya tarik aksial ( gaya tarik aksial izin maksimum )

σ tr = tegangan tarik aksial izin

An = Luas netto penampang melintang elemen struktur yang dibebani

Gaya Aksial.

31
2. Luas Bersih ( Luas Netto )

Luas netto ( An ) diilustrasikan pada gbr 2.16, dan luas ini secara logis

merupakan luas yang secara actual mengalami tagangan tarik . Luas netto dapat

divisualisasikan dengan membayangkan bahwa elemen struktur tarik itu ( dalam

gambar 2.16 adalah berupa pelat ) megalami keruntuhan di sepanjang garis pada

gambar2.16a. Jadi luas netto yang dimaksud adalah seperti yang diperlihatkan

dengan arsiran pada gbr.2.16b, Yaitu ;

An = Luas brutto – luas lubang

An = b.t – n.d.t

Dimana :

b = lebar pelat

t = tebal pelat

d = diameter perlemahan, dengan :

d = diameter baut + 1 mm ( untuk baut hitam )

d = diameter baut + 2 mm ( untuk baut mutu tinggi )

n = jumlah baut pada garis keruntuhan

Gbr 2.15 Luas netto Penampang batang

32
Rumus tegangan dapat digunakan untuk elemen struktur homogen yang

dibebani aksial tarik. Penggunaannya didasarkan atas asumsi bahwa tegangan

tarik terdistribusi secara merata pada potongan netto elemen tarik, tidak peduli

dengan adanya pemutusan tegangan besar yang mungkin terjadi di sekitar lubang

elemen struktur tarik. Baja struktur yang umum digunakan biasanya cukup

daktail hingga struktur itu dapat mengalami leleh dan redistribusi tegangan. Hal

ini akan megakibatkan distribusi tegangan yang merata pada saat beban batas.

Dari contoh pada gambar 2.16, luas netto kritis dimana keruntuhan dapat

terjasi secara logis adalah mudah ditentukan. Namun dalam banyak keadaan lain,

susunan baut dapat menyebabkan garis keruntuhan tidak melintang, tetapi

mempunyai bentuk seperti terlihat pada gambar 2.17. Situasi ini dapat terjadi

apabila alat penyambung diatur untuk mengakomodasikan ukuran atau bentuk

titik hubung yang diiginkan. Perhatikan bahwa dalam gambar 2.17 ada 2 ( dua )

garis keruntuhan yang melintasi lebar pelat, yang maing-masing dapat

didefenisikan dengan garis ABCD dan ABE.

Gambar 2.16 Baut yang terletak menyerong

33
Jarak antara lubang – lubang yang tegak lurus terhadap gaya tarik

didefenisikan dengan gage distance ( g ) da jarak antara lubang-lubang yang

sejajar terhadap gaya tarik didefenisikan dengan pitch atau spacing ( s ). Untuk

harga s yang lebih besar, garis ABE akan merupakan garis keruntuhan yang lebih

kritis, karena luas netto yang lebih kecil. Untuk harag s yang lebih kecil, garis

ABCD akan lebih kritis. Pada kenyataaanya, baik gage distance maupun spacing

sangat mempengaruhi masalah ini. Suatu kombinasi antara tegangan tarik dan

geser dapat terjadi pada garis miring BC dan garis keruntuhan ABCD. Adanya

interaksi anatara kedua jenis tegangan ini merupakan masalah teoritis yang cukup

rumit. Apabila garis keruntuhan mengandung garis-garis diagonal, lebar netto

bagian tersebut dapt diperoleh dengan menggunakan lebar brutto dari diameter

semua lubang di sepanjang garis keruntuhan, dan untuk setiap garis diagonal

menambahkan besaran : s2 / 4g , dimana s dam g adalah besaran yang telah

didefenisikan diatas. Jadi, untuk lebar netto ( w ) dapat dituliskan dengan

persamaan.

Wn = Wg − ∑ d + ∑
S2
4g

Dimana Wg menunjukkan lebar brutto. Rumus diatas untuk Wn akan lebih

sederhana apabila digunakan paa elemen struktur yang tebalnya konstan. Apabila

rumus itu dikalikan dengan tebal t, akan menjadi :

Wnt = Wgt − ∑ dt + ∑
S 2t
4g

Atau , karena Wnt = An dan Wgt = Ag maka :

An = Ag − ∑ dt + ∑
S 2t
4g

34
Rumus terakhir untuk An sangat berguna karean rumus ini memberikan

luas netto secara langsung, dan juga dapat diterapkan pada elemen struktur yang

tidak mempunyai tebal konstan. Dalam menentukan luas netto kritis dimana

terdapat banyak garis keruntuhan yang mungkin, maka luas netto kritis yang harus

dipakai adalah luas netto yang terkecil. Dari luas terkecil tersebut dibandingkan

terhadap perturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia ( PPBBI ) 1983 pada

bab 3 pasal 3.2 (3 ) disebutkan bahwa ‘‘dalam suatu potongan, jumlah luas lubang

tidak boleh lebih besar dari 15 % luas penampang utuh’’, hal ini berarti:
An = 0,85 Ag

Dari perbandingan tersebut, maka luas netto yang dipakai adalah yang

terkecil.

35
II.3.3 Jenis – jenis alat penyambung Penahan Beban

II.3.3.1 Sambungan Penahan Momen

Sering kali selain dari pada sambungan fleksibel juga sambungan

digunakan untuk memindahkan momen yang besar disamping geseran. Dan

persoalan ini kita temui pada konstruksi menerus seperti portal dan bangunan

bertingkat. Dalam setiap persoalan sambungan harus direncanakan untuk dapat

menahan momen dan gaya geser. Dalam hal ini terdapat dua alternatif yaitu :

1. T- Connection

Gambar 2.17 Sambungan T- Connection

Reaksi R harus dipikul oleh baut yang ada pada baja siku penyambung yang

dipasang pada pelat badan balok. Momen M harus dipikul oleh baut yang ada

pada baja penyambung berbentuk T yang dipasang pada flens balok.

Baut yang menghubungkan flans balok pada baja T memikul gaya geser

horizontal sebesar :

36
P = dimana h = tinggi balok

Baut yang menghubungkan baja T pada kolom sebelah atas harus memikul gaya

aksial tarik sebesar P. Sebelah bawah flens baja T langsung menekan pada kolom.

2. Bracket- Connection

Gambar 2.18 Sambungan Bracket – Connection

II.3.3.2 Sambungan Penahan Momen Yang Direncanakan

Pada Tugas Akhir ini yang dianalisa portal bertingkat dengan elemen dua

dimensional dan gaya yang bekerja pada portal tersebut hanya momen lentur M

yang diperhitungkan, maka sambungan direncanakan :

1. Memakai baut mutu tinggi (HTB) sebagai alat penyambung dan pelat

dasar sebagai pelat penyambung serta bracket seperti gambar 3.3a.

2. Tipe sambungan top-and seat –angle with double web angle seperti

terlihat pada gambar 3.3b

Sambungan antar balok dan kolom yang direncanakan tersebut dapat dilihat pada

gambar di bawah ini :

37
Gambar 2.19 Sambungan Penahan Momen

II.3.4 Kekuatan Sambungan Baut

Pada umumnya baut terbagi atas dua macam :

1. Baut hitam

Baut yang mempunyai kelonggaran 1 mm (selisih diameter lobang dan

diameter baut), umumnya untuk bangunan konstruksi ringan dan beban-

beban tidak bertukar (umumnya gedung-gedung)

2. Baut bubut

Baut yang dipasang dalam lobangnya kelonggaran < 0,1 mm, digunakan

untuk jembatan, beban berat dan beban bertukar. Untuk selanjutnya dalam

tugas akhir ini digunakan baut bubut. Sebelum memutuskan sambungan

apa yang akan digunakan pada suatu konstruksi, kita harus mengetahui

kekuatan sambungan tersebut. Dalam hal ini menentukan kekuatan

sambungan maka kita harus meninjau terhadap aspek geser, desak, baik

terhadap alat sambungannya maupun material yang akan disambungkan.

38
II.3.4.1 Kekuatan Geser Baut

Pada hampir semua hubungan struktural baut harus dapat mencegah

terjadinya gerakan material yang disambung dalam arah tegak lurus terhadap

panjang baut seperti terlihat pada gambar 3.4

Gambar 2.20 Baut yang mengalami geser tunggal

Pada kasus seperti ini, baut mengalami geser pada hubungan tumpang

tindih (lab joint) seperti ini baut mengalami kecenderungan untuk mengalami

geser di sepanjang bidang kontak tunggal diantara kedua pelat yang disambung.

Karena baut mengalami kecenderungan pelat-pelat saling menggelincir pada

bidang kontak itu dan karena baut mengalami geser pada satu bidang saja, maka

baut tersebut mengalami geser tunggal.

Pada hubungan lurus (butt joints) seperti terlihat pada gambar 3.5 ada

dua bidang kontak sehingga baut memberikan tahanannya di sepanjang dua

bidang dan disebut dalam geser rangkap.

Gambar 2.21 Baut yang mengalami geser rangkap

Kapasitas pikul beban atau kekuatan desain sebuah baut yang mengalami

geser tunggal maupun rangkap sama dengan hasil kali antara jumlah bidang geser

dengan tegangan geser putus di seluruh luas bruto penampang melintangnya :

39
= n.Ab. ................................................................... (2.1)

Atau

= n.Ab.(0,8 ) ............................................................ (2.2)

Dimana

= Gaya putus geser sambungan baut (Kg)

n = Jumlah bidang geser (n=1 bila tunggal dan n = 2 bila rangkap)

Ab = Luas brutto baut (cm2) = ¼ d2 ; dimana d = diameter baut (cm)

= Tegangan geser putus izin baut (kg/cm2)

. = Tegangan tarik putus izin baut (kg/cm2) = 0,8

dalam tugas akhir ini mutu baut yang direncanakan adalah mutu tinggi dengan

mutu baja U52, dimana = 2400 kg/cm2 (dalam batas elastisitasnya)

II.3.4.2 Kekuatan Desak (Tumpu) Baut

Kekauatan batas desak berkaitan dengan deformasi sekitar lobang baut, seperti

terlihat pada gambar 3.6 d. kegagalan sobekan geser seperti pada gambar 3.6 b

erat berkaitan dengan kekuatan tumpu.

Kekuatan Pds merupakan gaya yang bekerja terhadap sisi lobang yang akan

memecah atau merobek pelat. Semakin besar jarak ujung Ldiukur dari pusat

lobang ke pinggir semakin kecil kemungkinan terjadinya robekan.

40
Gambar 2.22 Bentuk-bentuk kegagalan yang mungkin terjadi pada sambungan

baut

Meskipun baut dalam suatu hubungan telah memadai dalam meneruskan

beban yang bekerja dengan mengalami geser, hubungan-hubungan itu masih dapat

gagal kecuali apabila material yang disambung dapat meneruskan beban ke batu

dengan baik. Kapasitas merupakan fungsi dari kekuatan tumpu (kekuatan hancur)

material yang disambung seperti terlihat pada gambar 3.7. distribusi

sesungguhnya mengenai tekanan tumpu pada material di sekeliling lobang tidak

diketahui sehingga luas kotak yang diambil adalah diameter nominal dikalikan

dengan tebal material yang disambung. Ini diambil dengan anggapan bahwa

tekanan merata terjadi pada luas segi empat.

41
Gambar 2.23 Tekanan Tumpu pada Sambungan

Kekuatan desak suatu baut terhadap profil dapat dinyatakan sebagai berikut :

= d.t. ................................................................... (2.3)


Dimana

= Gaya desak izin untuk satu baut (kg)

d = Diameter baut (cm)

t = Tebal pelat penyambung (cm)

= Tegangan desak izin (kg/cm2)

Dari buku Peraturan Baja Indonesia (PPBBI), 1993 :

= 1,5 untuk s1 > 2d

= 1,2 untuk 1,5d ≤ s1 ≤ 2d

Dimana :

= Tegangan izin profil (kg/cm2)

= Tegangan desak profil ( )

s1 = Jarak dari sumbu baut yang paling luar ke tepi bagian yang disambung.

d = Diameter baut

dalam tugas akhir ini mutu profil yang direncanakan menggunakan mutu baja U37

dengan = 1600 kg/cm2 (dalam batas elastisitasnya)

42
Perlu diperhatikan bahwa pemasangan baut juga mempunyai aturan tertentu

dari buku PPBBI1983, ditetapkan bahwa banyaknya baut yang dipasang pada satu

baris yang sejajar arah gaya tidak boleh lebih dari 5 buah. Hal ini dikarenakan

apabila jumlah baut dalam satu baris lebih dari 5 buah maka dikhawatirkan bahwa

baut paling pinggir akan mengalami tegangan yang mungkin melampaui

tengangan izin bahkan mungkin meleleh. Hal ini terjadi karena tegangan yang

timbul pada susunan baut akibat gaya tarik atau gaya tekan tidak merata. Baut

paling pinggir akan mengalami tegangan paling besar dan baut tengah akan

mengalami tegangan paling kecil. Dengan alasan tersebut maka perlu diadakan

pembatasan jumlah baut dalam satu baris dengan mengingat kondisi tegangan

yang terjadi pada setiap baut masih dianggap relevan terhadap tegangan izin.

Dengan demikian jumlah baut dalam satu baris dibatasi dengan jumlah maksimum

5 buah. Selain itu juga ditetapkan bahwa jarak sumbu baut paling luar ke tepi atau

ke ujung bagian yang disambung (s1) tidak boleh kurang dari 1,5d dan tidak boleh

lebih besar dari 3d atau 6d serta jarak dari sumbu ke sumbu dari 2 baut yang

berurutan (s) tidak boleh kurang dari 2,5d dan tidak boleh lebih besar dari 7d atau

14t seperti terlihat pada gambar 3.8

Gambar 2.24 Jarak Baut

43
Dimana :

2,5d ≤ s ≤ 7d atau 16t

2,5d ≤ u ≤ 7d atau 16t

1,5d ≤ s ≤ 3d atau 6t

44
BAB III

ANALISA SAMBUNGAN BALOK DAN KOLOM DENGAN

MENGGUNAKAN BAUT MUTU TINGGI (HTB)

III.1 Sambungan Baut Mutu Tinggi (HTB)

American Institute of Steel Construction 2005 (AISC 2005) menyatakan

mekanisme pengalihan gaya-gaya pada sambungan tipe geser dengan baut mutu

tinggi ditentukan oleh (lihat Gambar 1):

1. Mekanisme friksi antar pelat sejajar arah sambungan, yaitu jika ada gaya

pretensioning yang mencukupi pada baut mutu tinggi

2. Mekanisme tumpu antara pelat dengan baut, tegak lurus arah gaya

sambungan.

Apabila sambungan menggunakan sistem sambungan baut mutu tinggi

dengan pretensioning yang mencukupi, maka pada proses pengalihan gaya,

mekanisme friksi terjadi lebih dahulu. Apabila gaya yang terjadi melampaui kuat

friksi sambungan maka akan terjadi slip kritis sehingga terjadi pengalihan gaya

dengan mekanisme tumpu. Kuat tumpu yang umumnya lebih besar dari kuat friksi

akan mengambil alih gaya yang terjadi, sehingga mekanisme tumpu akan

meneruskan pengalihan gaya. Mekanisme tumpu dan mekanisme friksi

mempunyai formulasi yang berbeda. Mekanisme tumpu ditentukan oleh

parameter diameter baut dan tebal pelat profil, sedangkan mekanisme friksi

ditentukan oleh parameter koefisien slip dan gaya pretensioning pada baut mutu

tinggi seperti pada persamaan di bawah ini:

45
Kapasitas Friksi Sambungan (AISC 2005)

Rn = µDuhscTbNs

Gambar 3.1. Mekanisme pengalihan gaya pada sambungan

Dimana :

µ = rata-rata koefisien slip pada permukaan

Du = 1.13, faktor pengali yang mewakili rasio ratarata tegangan pretension

baut yang terpasang dan nilai min yang ditetapkan;

hsc = 0.85 faktor lubang dianggap sebagai lubang oversized;

Ns = jumlah bidang slip, Nc = 1 (satu sisi);

Tb = gaya pretension min, Tb = 142 kN.

Pada Persamaan (1) tidak ditemukan parameter ketebalan pelat sebagai penentu

kapasitas friksi sambungan. Terlepas dari persamaan di atas, pada American Iron

and Steel Institue 2001 (AISI 2001) dijelaskan bahwa apabila ketebalan pelat

sambungan ≤ 3/16 in atau 4.76 mm (umumnya profil baja coldformed),

sambungan baut mutu tinggi dengan gaya pretensioning hanya dapat

mengandalkan mekanisme tumpu saja dengan kata lain bahwa mekanisme friksi

(bila ada) harus diabaikan. Jadi berdasarkan regulasi yang ada mekanisme friksi

tidak dapat diandalkan pada sambungan pelat baja cold-formed (tipis). Padahal

46
apabila hanya dengan mengandalkan mekanisme tumpu saja, maka perlu menjadi

perhatian bahwa minimnya ketebalan pelat baja cold-formed yang dimaksud akan

berdampak langsung pada minimnya kuat tumpu sambungan. Apabila mekanisme

friksi dapat diandalkan, sambungan terkait dapat memiliki kekuatan sambungan

yang yang lebih tinggi dibandingkan tumpu (sesuai dengan regulasi).

Alat Sambung baut mutu tinggi ( High Tensile Bolt) berkekuatan leleh

minimal 372MPa ( 3.720 Kg/Cm2) mampu mengatasi Glincir ( Slip ) antara dua

elemen baja yang disambung pada struktur rangka batang memikul gaya aksial

menurut Bathoano dan Bateman pada tahun 1934. Menurut Wilson dan Thomas

melalui percobannya, baut HTB bila diletakkan pada lobang yang lebih besar

diameternya mempunyai kekuatan leleh (Fatique) yang sama dengan Paku Keling

( Rivet ) dengan memberi tarikan awal (Pretension) yang memadai. Berbagai

percobaan dilakukan oleh banyak pakar struktur Baja sejak ratusan tahun silam.

Misalnya W.H. Munse membuat ringkasan tentang prilaku (Behavior) Baut Mutu

Tinggi (High Tensile Bolt) harus diberi tegangan awal relative lebih besar dalam

batas praktis dengan menggunakan prosedur putaran Mur. A-325 paling banyak

dipergunakan pada penyambungan struktur. Kekuatan (Strength) alat sambung

baut mutu tinggi ditentukan oleh,

-Dimensinya

-Type Bautnya

-Kekuatan leleh (Tensile Strength)

-Panjang Ulir didalam elemen pelat

-Putaran untuk tarik awal

47
III.2 Perilaku Kekuatan Baut Mutu Tinggi (HTB)

Dalam ukuran lobang standart .dalam hal ini John W.Fhiser dan John

H.A.Struik menampilkan hubungan kekuatan baut mutu tinggi seperti pada

gambar-1 diperlihatkan perbedaan kekuatan A325 bolt dengan A490 bolt Seperti

pada gambar-2 dan gambar-3 diperlihatkan pula hubungan kekuatan baut akibat

panjang ulir didalam elemen pelat. Semakin pendek ulir yang berada didalam

pelat semakin kecil tegangan yang terjadi. Sedangkan pada gambar-4 John

W.Fhiser menggambarkan kekuatan baut akibat pengencangan kunci moment 1/2

kali putaran, dan 2/3 kali putaran dari titik eratnya A325 bolt.

Gambar 3.2: Hubungan Tegangan vs Perpanjangan


A490 bolt & A325 bolt

48
Gambar 2 : Grafik Hubungan Tegangan vs
Perpanjangan pengaruh panjang ulir didalam
elemen pelat [1]

Grafik 3.3 : Hubungan Gaya pikul (kip) vs


Perpanjangan (mm) akibat panjang ulir dalam
elemen pelat yang disambung.

49
Gambar 3.4: Grafik HubunganTegangan vs
Perpanjangan pengaruh putaran kunci

Selanjutnya dapat dilihat sperti pada gambar 5 deformasi baut mutu tinggi

bersama pelatnya setelah diberi beban tarik. Terlihat perbedaan antara no-slip,

partial-slip, dan full-slip seperti pada gambar-5.

Gambar 3.5 : Deformasi pada sambungan


noslip, partial slip, dan full slip

50
III.3 Jenis Sambungan Baut Mutu Tinggi (HTB)

Sambungan gunanya untuk memindahkan gaya dari satu elemen keelemen

lainnya. Sambungan harus mampu memikul gaya yang dipindahkannya beserta

gaya sekundair yang ditimbulkannya. Alat sambung memindahkan gaya melalui

elemen penyambung serta meneruskannya keelemen lain.

Sambungan memikul Momen, Gaya Lintang, Gaya Normal, dan Momen

Puntir yang menjadi prilaku geser, desak, dan aksial tarik pada alat penyambung

baut. Macam sambungan.

 Sambungan pada hubungan buhul pertemuan batang batang memikul gaya

aksial tarik dan tekan.

 Sambungan pada hubungan Balok Kolom memikul Gaya Momen, Gaya

Lintang, dan Normal. Antara lain:

 Sambungan Sendi (simple Connected)

 Sambungan Semi Kaku (Semi Rigid)

 Sambungan Kaku (Rigid)

III.3.1 Sambungan Sendi (Simple Connected)

Sambungan tidak mampu memikul momen dan bebas berotasi diantara

kedua elemen yang disambung.

III.3.2 Sambungan Semi Kaku (Semi Rigid)

Sambungan mampu memikul sebagian momen. Dan sambungan tidak

mampu mempertahankan sudut diantara elemen baja yang disambung.

III.3.3 Sambungan Kaku (Rigid Connected)

Sambungan yang dianggap mampu mempertahankan sudut diantara

elemen baja yang disambung.

51
Alat sambung Baut mutu tinggi (HTB) Sambungan tipe Tumpu Alat

sambung baut yang dikencangkan dengan tangan atau baut mutu tinggi yang

dikencangkan dengan kunci momen dan yang menimbulkan gaya tarik minimum

yang diisyratkan. Sambungan tipe Geser Sambungan yang khusus menggunakan

alat sambung baut mutu tinggi (HTB) yang dikencangkan dari titik erat sehingga

menimbulkan gaya gesek terjadi diantara jepitan elemen elemen yang disambung

sebesar min µ Tmin , tergantung dari harga koefisien gesek µ dan gaya tarik

minimum T yang diijinkan Harga µ menurut PBBI Gedung.

Tabel 3.1 Harga µ menurut PBBI Gedung

Keadaan Permukaan µ

Bersih 0.35

Digalvanis 0.16 – 0.26

Dicat 0.07 – 0.10

Berkarat bersih 0.45 – 0.70

Sand-blasted 0.40 – 0.70

III.4 Analisis Sambungan Baut Mutu Tinggi (HTB)

Pada Sambungan Balok Kolom ( Beam-Coulomn) dengan menggunakan

alat sambung baut mutu tinggi akan menambah kapasitas daya dukung sambungan

itu bukan saja karena kekuatan bautnya tapi juga karena pengaruh tarik minum

dengan cara pemutaran mur oleh kunci moment yang ditentukan oleh standar dari

bautnya. Pengaruh Pratarik ini menyembabkan terjadinya gesekan antara dua

elemen pelat yang disambung. Gaya gesek ini rata rata kurang lebih sebesar 34 %

kali gaya tarik minimum menurut hasil pnelitian John W.Fisher atau menurut

52
table PPBBI yang pula sebesar 70% dari kekuatan tarik bautnya. Pada sambungan

balok kolom, alat sambung baut yang menyatukan pelat penyambung dengan

sayap kolom. melulu menerima gaya tarik akibat momen luar, gaya geser/desak

oleh gaya lintang. Untuk baut mutu biasa yang tidak mampu memikul pratarik

atau baut mutu tinggi yang tidak diberi pratarik (Pretension) dimodelkan menjadi

suatu tampang Kontiniu atau di transformasi dari model dicrete menjadi model

kontiniu dengan cara mengkonversi luasan baut dan luasan pelat masing masing

menerima tarik pada daerah atas dan menerima tekan pada daerah bawah garis

netral tampang T terbalik. Baut mutu tinggi tidak lagi seperti pemodelan baut

mutu biasa akibat baut sudah duluan mengalami tarik minimum (Pratarik).

Artinya semua baut mengalami tarik dan semua bidang kontak mengalami tekan.

Ketika beban luar bekerja (Momen Luar), garis netral berada ditengah tengah

kumpulan alat sambung.

Gambar 3.6:Pemodelan sambungan baut tidak


diberi pratarik & dengan pratarik.

Dimana dapat dihitung besarnya luasan pengganti baut.

a = 2.

b = Lebar pelat penyambung

53
Dihitung letak pusat beratnya untuk selanjutnya dapat dihitung Inertia

tampang luasan pengganti dan diperoleh tegangan pada serat paling atas

½ b.x2 = ½ a(h-x)2

x =

Ix = 1/3 b.x3 + 1/3 a(h-x)3

Wa =

fM =

fD =

fi =

atau,

. + ≤ 1.0

Dapat pula dihitung tegangan tarik baut paling atas yang merupakan baut

paling besar menerima gaya tarik. Dibandingkan dengan prilaku sambungan

mempergunakan alat sambung baut mutu tinggi diberi pra tarik, kita tidak lagi

memodelkan tampang luasan pengganti karena seluruh baut sudah duluan diberi

gaya pratarik (Pretension) sebesar T. Akibat pemberian gaya awal itu maka

seluruh baut mengalami tarikan dan semua pelat mengalami gaya tekan.

Selanjutnya bekerja momen luar yang menimbulkan tegangan pada pelat dan baut,

Ix = 1/12 bh3

fa = fb .. = = .............................................. 2

Sedangkan tegangan awal akibat pratarik sebesar,

54
fN = .................................................. 3

Tegangan terjadi akibat gaya luar,

fa = fM - fN

fa = – ........................................ 4

fD =

Akibat pengencangan baut HTB, berpengaruh pula terhadap perlawanan gesek

sebesar :

fTS = ...................................................... 5

fs = fD - fTS .................................................... 6

Maka dapat dihitung tegangan idiel untuk baut paling atas,

fi = .......................................... 7

atau,

. + ≤ 1.0

Dimana, ≈ 1.50

bila n adalah jumlah baut dalam sebaris. Jadi prilaku baut mutu tinggi berbeda dengan

prilaku baut mutu biasa yang tidak diperkenankan memikul pratarik. Demikian pula

bila bekerja gaya lintang yang menyebabkan geser atau tumpu pada baut. Akibat

penguncian atau pemberian pratarik bekerja gaya perlawanan geser sebesar min µT

yang akan memberikan factor keamanan yang lebih besar dibanding prilaku baut

mutu biasa.

III.5 Analisis Prilaku Pelat Penyambung

55
AISI (2001) yang secara tidak langsung menyatakan bahwa faktor

ketebalan pelat mempengaruhi mekanisme friksi menjadi acuan untuk dapat

dilakukannya penelitian sehubungan dengan pemanfaatan mekanisme friksi. Oleh

karena itu dapat disimpulkan bahwa parameter ketebalan pelat baja

mempengaruhi mekanisme friksi. Kuat sambungan yang rendah (berdasarkan

mekanisme tumpu) akibat tipis-nya pelat baja cold-formed tersebut dapat

ditingkatkan dengan mengandalkan mekanisme friksi yang sebelumnya diabaikan.

Dengan dilakukannya manipulasi faktor ketebalan pelat baja cold-formed yang

minim, maka bidang kontak efektif yang minim dapat diperluas. Hal tersebut

dilakukan dengan menggunakan washer khusus dengan ketebalan dan luas

permukaan yang maksimal. Walaupun berdasarkan ketentuan yang telah ada tidak

menyebutkan luas permukaan bidang kontak friksi sebagai parameter yang

menentukan kuat friksi, secara logika sederhana, semakin luas permukaan bidang

kontak friksi akan berdampak pada semakin banyak tahanan friksi yang terjadi

(Dewobroto, 2008). Pada Gambar 3(a), dianggap bahwa distribusi gaya

pretensioning pada baut dapat disebarkan pada daerah luasan dengan sudut 45°

pada arah ketebalan, maka semakin tebal pelat yang disambung akan

menyebarkan gaya pretensioning dengan lebih luas, sehingga permukaan bidang

kontak efektif (friksi) menjadi lebih luas. Mekanisme (tahanan) friksi pada bidang

kontak efektif tergantung pada gaya pretensioning yang merupakan fungsi dari

diameter dan mutu baut yang dipakai, yaitu minimum sebesar 70% dari kuat tarik

baut mutu tinggi yang digunakan (AISC-LRFD Table J3.1). Penggunaan baut

dengan diameter dan mutu yang sama menghasilkan pemberian gaya

pretensioning yang sama pada pelat baja tebal maupun pelat baja tipis (cold-

56
formed). Minimnya ketebalan pelat baja cold-formed seperti pada Gambar 3(b)

mengakibatkan minimnya gaya clamping akibat pretensioning, oleh karena itu

sambungan pelat baja tipis (cold-formed) mempunyai bidang kontak efektif yang

lebih sempit dibandingkan pada pelat tebal. Maka dari itu total tahanan friksi yang

dihasilkan juga lebih kecil, sehingga mekanisme friksi menjadi tidak efektif

dibanding pada pelat tebal (hot-rolled). Jadi jika ketebalan mempengaruhi

distribusi gaya pretensioning maka sistem sambungan pelat tipis (cold-formed)

dapat ditingkatkan tahanan friksinya dengan menempatkan washer khusus yang

tebal. Washer besar ini berfungsi sebagai media distribusi gaya pretensioning

dalam memperluas bidang kontak friksi. Penggunaan washer khusus dengan

metode di atas (Gambar 3(c)) diharapkan dapat cukup efektif meningkatkan

kekuatan sambungan dengan mengandalkan kapasitas kuat friksi yang

sebelumnya diabaikan (berdasarkan AISI 2001).

57
Gambar 3.7 Pengaruh tebal pelat dan washer khusus terhadap mekanisme friksi

Untuk mengetahui prilaku pada pelat penyambung, dianggap pelat sayap

kolom sangat kaku (fixed) sehingga tidak terjadi deformasi pada badan dan sayap

disepanjang daerah sambungan. Untuk itu biasanya badan dan sayap kolom

diperkaku dengan stiffner dari pelat-pelat.

Akibat dari pada terjadinya tegangan tarik pada daerah sambungan sebelah atas

garis netral akan menimbulkan gaya tarik pada penyambung pelat dan pula

timbulnya gaya ungkit (praying force) pada daerah tepi pelat yang arahnya sejajar

dengan gaya tarik P. akibat terjadinya gaya ungkit menambah besarnya

perlawanan tarik pada baut. Dalam masalah praying force sangat banyak teori

teori pendekatan menghitung besarnya gaya ungkit terjadi secara elastis maupun

58
secara kekuatan batas. Dalam kajian ini justru dianalisis dengan model matematik

sederhana yang dibantu metode kekakuan. Baut diasumsikan sebagai spring

konstan.

Gambar 3.8 : Deformasi Pelat Penyambung


akibat gaya tarik P

Persamaan Diffrensial pada pelat yang dimodelkan sebagai pelat kantilever

dengan anggapan perletakan jepit pada baut yang sekaligus dianggap bisa

terdeformasi.

EIy = - CX + T(x-q) ......................................... 1

Lalu diintegralkan menjadi,

EIy = - 1/2 Cx2 +1/2 T (x-q)2 + A .................. 2

EIy = - 1/6 Cx3 + 1/6 T (x-q)3 + Ax + B ........ 3

Pada x = (g+q) ; y’(x) = 0, dimasukkan kedalam persamaan 2

Menjadi

- 1/2 Cx2 +1/2 T (x-q)2 + A = 0

A = 1/2 C(g+q)2 -1/2 g ............................... 5

59
Selanjutnya pada y(0) = 0.00

Dapat dihitung B = 0 .............................................. 6

Dengan mensubsitusikan pers 5 dan pers 6, diperoleh persamaan baru

Yaitu :

EIy = - 1/6 Cx3 + 1/6 T (x-q)3 +1/2C(g+q)2x – ½ g2x

Di x = q ; y = δb

Diperoleh gaya ungkit sebesar

C = .................................. 7

Dimana T = P + C

bila : Gaya tarik baut sama dengan luas baut dikali dengan modulus elastisitas

baut dibagi panjang baut pada flens dikali dengan perpanjangan baut ( b δ ) atau,

T-Fbaut =

δb = ............................................. 8

pers 8 disubsitusikan ke pers 7

C = ........................ 9

Bila,

ke =

dimana,

Ep = Modulus elastisitas pelat

Eb = Modulus elastisitas baut

60
tp = Tebal pelat penyambung

Sp = Jarak antar baut

Lp = Panjang baut

Ab = Luas penampang baut

Fb = Gaya tarik pikul baut

. = Tegangan izin baut

. = Tegangan izin pelat

µ = Koefisien gesek

C = Gaya ungkit (Prying Force)

Tmin = Gaya tarik baut minimum

61
BAB IV

APLIKASI

Sebagai aplikasi penulis menyajikan suatu konstruksi portal baja

bertingkat dengan elemen dua dimensi. Adapun konstruksi tersebut adalah portal

baja beringkat dua dengan ketinggian :

1. Lantai dasar ke lantai 1 = 5 m

2. Lantai 1 ke lantai 2 = 4m

Dan mempunyai dua kolom dengan masing-masing kolom berjarak 8 m. Adapun

portal baja yang dimaksud dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Perencanaan dilakukan dengan metode Allowable Stress Design (ASD)

dimana portal baja direncanakan memakai mutu baja U37 dengan profil = 2400

kg/m2, dan dengan baut mutu tinggi A325 (HTB). Beban-beban yang bekerja pada

portal baja tersebut adalah :

1. q1 = dead load (beban mati sudah termasuk berat sendiri) = 1,2 T/m

2. q2 = dead load (beban mati sudah termasuk berat sendiri) = 0,5 T/m

3. Pv1 = life load (beban hidup /beban terpusat) = 1 T x φ

Dimana φ = koefisien kejut

= , dan l = 8 m

= , = 1,6310

Pv1 = 1 x 1,6310 = 1,6310 ton

62
IV.1 Pemodelan Struktur Portal dua Lantai

q1 = dead load (beban mati lantai 1 sudah termasuk berat sendiri) = 1,2 T/m

q2 = dead load (beban mati lantai 2 sudah termasuk berat sendiri) = 0,5 T/m

Pv1 = life load (beban hidup /beban terpusat) = 1 T x φ

Dimana φ = koefisien kejut

= , dan l = 8 m

= , = 1,6310

Pv1 = 1 x 1,6310 = 1,6310 ton

Pv2 = 1 x 1,6310 = 1,6310 ton

63
1. Momen primer

MBE =

= -8,0310 tm

MEB = +8,0310 tm

MCD =

= -4,2977 tm

MDC = +4,2977 tm

Koefisien Kekakuan

2. KAB = KAB =

= 0,2 EI

3. KBC = KCB = KDE = KED =

= 0,25 EI

4. KBE = KEB = KCD = KDC =

64
=

= 0,125 EI

DFAB = DFBA = = 0,3478

DFBC = DFED = = 0,4348

DFBE = DFEB = = 0,2174

DFCB = DFDE = = 0,6667

DFCD = DFDC = = 0,3333

65
IV.2 ANALISA STRUKTUR DENGAN METODE CROSS

Titik A B C D E F
Batang AB BA BE BC CB CD DC DE ED EB EF FE
Koef 0,3478 0,2174 0,4348 0,6667 0,3333 0,3333 0,6667 0,4348 0,2174 0,3478
FEM 0,0000 0,0000 -8,0310 0,0000 0,0000 -4,2977 4,2977 0,0000 0,0000 8,0310 0,0000 0,0000
BAL 2,7932 1,7459 3,4919 2,8653 1,4324 -1,4324 -2,8653 -3,4919 -1,7459 -2,7932
CO 1,3966 -0,8730 1,4326 1,7459 -0,7162 0,7162 -1,7459 -1,4326 0,8730 -1,3966
BAL -0,1947 -0,1217 -0,2433 -0,6865 -0,3432 0,3432 0,6865 0,2433 0,1217 0,1947
CO -0,0973 0,0608 -0,3433 -0,1217 0,1716 -0,1716 0,1217 0,3433 -0,0608 0,0973
BAL 0,0982 0,0614 0,1228 -0,0333 -0,0166 0,0166 0,0333 -0,1228 -0,0614 -0,0982
CO 0,0491 -0,0307 -0,0166 0,0614 0,0083 -0,0083 -0,0614 0,0166 0,0307 -0,0491
BAL 0,0165 0,0103 0,0206 -0,0465 -0,0232 0,0232 0,0465 -0,0206 -0,0103 -0,0165
CO 0,0082 -0,0051 -0,0232 0,0103 0,0116 -0,0116 -0,0103 0,0232 0,0051 -0,0082
BAL 0,0099 0,0062 0,0123 -0,0146 -0,0073 0,0073 0,0146 -0,0123 -0,0062 -0,0099
CO 0,0049 -0,0031 -0,0073 0,0062 0,0037 -0,0037 -0,0062 0,0073 0,0031 -0,0049
BAL 0,0036 0,0023 0,0045 -0,0065 -0,0033 0,0033 0,0065 -0,0045 -0,0023 -0,0036
CO 0,0018 -0,0011 -0,0033 0,0023 0,0016 -0,0016 -0,0023 0,0033 0,0011 -0,0018
BAL 0,0015 0,0010 0,0019 -0,0026 -0,0013 0,0013 0,0026 -0,0019 -0,0010 -0,0015
CO 0,0008 -0,0005 -0,0013 0,0010 0,0006 -0,0006 -0,0010 0,0013 0,0005 -0,0008
BAL 0,0006 0,0004 0,0008 -0,0011 -0,0005 0,0005 0,0011 -0,0008 -0,0004 -0,0006
CO 0,0003 -0,0002 -0,0005 0,0004 0,0003 -0,0003 -0,0004 0,0005 0,0002 -0,0003
BAL 0,0003 0,0002 0,0003 -0,0004 -0,0002 0,0002 0,0004 -0,0003 -0,0002 -0,0003
CO 0,0001 -0,0001 -0,0002 0,0002 0,0001 -0,0001 -0,0002 0,0002 0,0001 -0,0001
BAL 0,0001 0,0001 0,0001 -0,0002 -0,0001 0,0001 0,0002 -0,0001 -0,0001 -0,0001
Momen
1,3646 2,7292 -7,1780 4,4488 3,7794 -3,7794 3,7794 -3,7794 -4,4488 7,1780 -2,7292 -1,3646
Akhir
67
Balok CD

RC = RD = = 2,8155 t

M.Lapangan Balok CD = RC . (1/2.8) – 3,7794 – (q2.1/2.8)

= 2,8155 (4) – 3,7794 – (0,5.4)

= 5,4826 tm

Balok BE

RB = RE = = 5,6155 t

M.Lapangan Balok BE = RB . (1/2.8) – 7,1780 – (q1.1/2.8)

= 5,6155 (4) – 7,1780 – (1,2.4)

68
= 10,4840 tm

IV. 3 Hasil Momen Ekstrim dari Kombinasi Pembebanan Pada Portal

Tabel 4.1 Harga momen ekstrim pada balok

Balok Momen Ekstrim

MBE = - 7,1780 tm
MEB = +7,1780 tm
BE
M Lapangan = +10,4840 tm

MCD = - 3,7794 tm
MDC = +3,7794 tm
CD
M Lapangan = +5,4826 tm

Tabel 4.2 Harga momen ekstrim pada kolom

Kolom Momen Ekstrim

MBA = + 2,7292 tm
AB
MAB = + 1,3646 tm
MBC = + 4,4488 tm
BC
MBC = + 3,7794 tm
MDE = - 3,7794 tm
DE
MED = - 4,4488 tm
MEF = - 2,7292 tm
EF
MFE = - 1,3646 tm

69
IV.4 Dimensi Profil Balok dan Kolom

Kolom

Kolom A-B :

M = 2,7292 tm

D = 0,5458 t

N = 8,4310 t

 σ terjadi = ≤ profil

2400 ≥

Wx ≥ 213,72 cm3

 Coba dengan profil IWF. 250 x 125 x 5 x 8

Wx = 285 cm3 q = 36,7 kg/cm’

Ix = 3540 cm4 b = 125 cm

Iy = 255 cm4 h = 250 cm

ix = 10,4 cm tw = 5 mm

iy = 2,79 cm tf = 8 mm

70
A = 32,7 cm2

Sx = tw . ½.h . ¼ h. + (b – tw). tf . ½ . (h – tf)

= 0,5 . ½ . 25. ¼ . 25 + (12,5 – 0,5) . 0,8 . ½. (25 – 0,8)

= 117,73 cm3

Kontrol λ = Lk = 0,62 L (Tabel PPBBI)

λ =

= 111,11 → ω = 3,567 (tabel Profil)

τ =

= 36,31 kg/cm2

σ = ≤ profil

= 1877,29 kg/cm2

σi =

= 1877,84 kg/cm2 ≤ 2400 kg/cm2 .........(Ok)

Kolom E-F = Kolom A-B :

Menggunakan profil IWF. 250 x 125 x 5 x 8

71
Kolom B - C :

M = 4,4488 tm

D = 1,1122 t

N = 2,8155 t

 σ terjadi = ≤ profil

2400 ≥

Wx ≥ 275,72 cm3

 Coba dengan profil IWF. 250 x 125 x 5 x 8

Wx = 285 cm3 q = 36,7 kg/cm’

Ix = 3540 cm4 b = 125 cm

Iy = 255 cm4 h = 250 cm

ix = 10,4 cm tw = 5 mm

iy = 2,79 cm tf = 8 mm

A = 32,7 cm2

Sx = tw . ½.h . ¼ h. + (b – tw). tf . ½ . (h – tf)

= 0,5 . ½ . 25. ¼ . 25 + (12,5 – 0,5) . 0,8 . ½. (25 – 0,8)

= 117,73 cm3

Kontrol λ = Lk = 1,18 (Tabel PPBBI)

λ =

= 169,18 → ω = 8,268 (tabel profil)

72
τ =

= 73,98 kg/cm2

σ = ≤ profil

= 2272,87 kg/cm2

σi =

= 2274,74 kg/cm2 ≤ 2400 kg/cm2 .........(Ok)

Kolom B - C = Kolom D - E :

Menggunakan profil IWF. 250 x 125 x 5 x 8

73
Balok

Balok B – E :

M = 10,484 tm

D = 5,6155 t

N = 0,6719 t

 σ terjadi = ≤ profil

2400 ≥

Wx ≥ 436,83 cm3

 Coba dengan profil IWF. 300 x 150 x 6,5 x 9

Wx = 481 cm3 q = 36,7 kg/cm’

Ix = 7210 cm4 b = 150 cm

Iy = 508 cm4 h = 300 cm

ix = 12,4 cm tw = 6,5 mm

iy = 3,29 cm tf = 9 mm

A = 46,8 cm2

Sx = tw . ½.h . ¼ h. + (b – tw). tf . ½ . (h – tf)

= 0,65 . ½ . 30. ¼ . 30 + (15 – 0,65) . 0,9 . ½. (30 – 0,9)

= 361,1039 cm3

Kontrol λ = λδ =π λ5 =

= =π =

= 243,17 = 111,02 = 2,19

74
Untuk λ ≥ 1 → ω = 2,281 x λ5

= 2,281 x 2,19

= 4,99

τ =

= 432,69 kg/cm2

σ = ≤ profil

= 2248,62 kg/cm2

σi =

= 2248,77 kg/cm2 ≤ 2400 kg/cm2 .........(Ok)

Balok C - D :

M = 5,4826 tm

D = 2,8155 t

N = 1,1122 t

 σ terjadi = ≤ profil

2400 ≥

Wx ≥ 228,45 cm3

 Coba dengan profil IWF. 250 x 125 x 5 x 8

75
Wx = 285 cm3 q = 36,7 kg/cm’

Ix = 3540 cm4 b = 125 cm

Iy = 255 cm4 h = 250 cm

ix = 10,4 cm tw = 5 mm

iy = 2,79 cm tf = 8 mm

A = 32,7 cm2

Sx = tw . ½.h . ¼ h. + (b – tw). tf . ½ . (h – tf)

= 0,5 . ½ . 25. ¼ . 25 + (12,5 – 0,5) . 0,8 . ½. (25 – 0,8)

= 117,73 cm3

Kontrol λ = λδ =π λ5 =

= =π =

= 243,17 = 111,02 = 2,19

Untuk λ ≥ 1 → ω = 2,281 x λ5

= 2,281 x 2,19

= 4,99

τ =

= 187,27 kg/cm2

σ = ≤ profil

76
=

= 2093,45 kg/cm2

σi =

= 2106,47 kg/cm2 ≤ 2400 kg/cm2 .........(Ok)

Dari hasil desain dimensi profil diambil kesimpulan portal memakai profil

dimensi baja dengan IWF. 300 x 150 x 6,5 x 9

77
IV. 5. Perencanaan Sambungan

Tabel 4.3 Langkah-langkah Perhitungan Sambungan


Perhitungan Dengan Menggunakan Perhitungan Dengan
Baut Mutu Tinggi Menggunakan Baut Mutu Biasa

fa = Wa = 1/6 b.h2 Ix = 1/3 . x3 + 1/3 a (h-x)3

Wa =
fD =
fM =
fN = Tmin = 0,7.Fb

fTS = μ = 0,3 fD =

fS = fD - fTS fi =

fi = fi < profil .........(Ok)

fi < profil .........(Ok) P = Ab x fi

P = Ab x fi
C =
C =
T = C+P

T = C + P – Tmin Kontrol Pelat

Kontrol Pelat Wpl = 1/6 tp2. S

Wpl = 1/6 tp2. S Ap = S. tp

Ap = S. tp
fm =

fm =
fm < pelat .........(Ok)

fD =

fi =

fm < pelat .........(Ok)

78
Sambungan derencanakan pada titik B

Susunan baut direncanakan seperti tergambar :

Hubungan balok dengan pelat menggunakan sambungan las dalam Tugas Akhir

ini tidak diperhitungkan

Alat sambung baut mutu tinggi, garis netralnya berada di tengah kumpulan baut

karena sudah diberi duluan gaya pratarik (Protension) sehingga seluruh bidang

kontak mangalami tekan.

 fa = → M = 10,484 tm = 10,484 x 105

kg.cm

Wa = 1/6 b.h2

= 1/6 15 . 302

= 2.250 cm3

fa =

= 465,96 kg/cm2

 fD= → D = 5,6155 t = 5,6155 x 10 3 kg

79
n = 6 buah

Ab = ¼ π. D2

= ¼ π. 22

= 3,14 cm2

fD =

= 297,12 kg/cm2

 fN= → Tmin = 0,7.Fb = 0,7x3,14x3100 = 6.813,80 kg

= 361,67 kg/cm2

 fTS = → μ = 0,3

= 108,50 kg/cm2

 fS = fD - fTS

= 297,12 - 108,50

= 253,17 kg/cm2

 fi =

= 327,14 kg/cm2 < (3100 kg/cm2 ) .........(Ok)

 P = Ab x fi

= 3,14 x 327,14

80
= 1.027,21 kg

Dari persamaan (9) dapat dihitung gaya ungkit :

C =

ke =

= 0,49

= = 1,143

C =

= 0,14 P + 0,134 Fb

Akibat pengaruh gaya ungkit bertambah gaya yang dipikul oleh baut :

T = C + P – Tmin

= 1,14 P + 0,134 Fb – Tmin

Fb = Ab . fizin

= 3,14 . 3100

= 9734 kg

T = 0,14 (1027,21) + 0,134 (9734) – 6813,80

= 4.342,19 kg

81
Kontrol Pelat

S = 10 cm

tp = 3 cm

Wpl = 1/6 tp2. S

Ap = S. tp

fm =

= 239,69 kg/cm2

fD =

= 144,74 kg/cm2

fi =

= 298,12 kg/cm2 < pelat (2400 kg/cm2 ) .........(Ok)

82
Perbandingan dengan menggunakan baut mutu biasa

 Perhitungan letak pusat berat untuk Inersia luasan pengganti

h = 30 cm

b = 15 cm

a = → S = 10 cm

= 0,63 cm

b.x . ½ x = a (h – x)2 . ½

b . x2 = a (h – x)2

x =

= 5,10 cm

Ix = 1/3. b . x3 + 1/3 a (h – x)3

= 1/3 x 15 x 5,13 + 1/3 x 0,63 x (30 – 5,1)3

= 3.905,29 cm4

Wa =

= 156,84 cm3

83
 fM =

= 3.342,28 kg/cm2

 fD =

= 297,12 kg/cm2

 fi =

= 3362,83 kg/cm2 > (2400 kg/cm2 ) .........(Not Ok)

Dengan analisis yang dilakukan sambungan tidak dapat memikul beban

yang di pikul maka diambil alternatif dengan merubah sistem sambungan

dengan menggunakan stif pengaku pada sambungan dengan gambar

sebagai berikut :

84
h = 50 cm

b = 15 cm

a = → S = 10 cm

= 0,63 cm

b.x . ½ x = a (h – x)2 . ½

b . x2 = a (h – x)2

x =

= 8,51 cm

Ix = 1/3. b . x3 + 1/3 a (h – x)3

= 1/3 x 15 x 8,513 + 1/3 x 0,63 x (50 – 8,51)3

= 18.080,04 cm4

Wa =

= 435,77 cm3

 fM =

= 1.202,93 kg/cm2

85
 fD =

= 178,84 kg/cm2

 fi =

= 1.222,71 kg/cm2 > (2400 kg/cm2 ) .........(Ok)

 P = Ab x fi

= 3,14 x 1.222,71

= 3.839,31 kg

 T = C+P

M = 2/3 C x q ..................(pers. 1)

M = P x g ..........................(pers. 2)

Subsitusi (pers. 1 ke pers. 2)

2/3 C x q = Pxg

86
C =

= 5.039,10 kg

T = 3.839,31 +5.039,10

= 8.878,41 kg

Kontrol Pelat

S = 10 cm

tp = 3 cm

Wpl = 1/6 tp2. S

Ap = S. tp

fm =

= 859,84 kg/cm2 < pelat (2400 kg/cm2 ) .........(Ok)

87
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap sambungan

sambungan balok dan kolom dengan menggunakan baut mutu tinggi

(HTB) maka dapat disimpulkan :

1. Dari hasil analisa perhitungan Penggunaan baut mutu tinggi (HTB)

sebagai alat sambung pada hubungan balok dan kolom sangat

signifikan perbedaannya dengan menggunakan batu mutu biasa.

2. Dengan menggunakan baut mutu tinggi A-325 6Ø20 mm

P = 1.027,21 Kg

T = 4.342,19 Kg

σ = 327,14 Kg/cm2 < Tegangan Izin 3100 Kg/cm2

3. Dengan menggunakan baut mutu biasa ( =2400 Kg/cm2) d = 20 mm

P = 3.839,31 Kg

T = 8.878,41 Kg

σ = 1.222,71 Kg/cm2 < Tegangan Izin 2400 Kg/cm2

88
5.2 SARAN

1. Dalam menganalasis kekuatan dari suatu konstruksi sebenarnya bukan

hanya gaya dalam, Momen (M), Lintang (D, dan Normal (N) saja yang

diperhitungkan tetapi Momen Torsi yang seharusnya turut bekerja harus

juga turut diperhitungkan.

2. Perlu dikembangkan suatu upaya untuk memperkuat mutu suatu

sambungan agar lebih rigid lagi.

3. Dalam perencanaan jenis sambungan juga sangat perlu dikembangkan

upaya dengan kekuatan yang maksimum dengan biaya yang lebih

ekonomis.

89
DAFTAR PUSTAKA

Bowles Joseph E..1985.Desain Baja Konstruksi. Jakarta : PT Gramedia Pusaka

Utama

Chu-kia-wang.1984. Analisa Struktur Lanjutan. Jakarta : Erlanggga

Chu-kia-wang dan Ismoyo.PH.1984. Pengantar Analisis Struktur dengan cara matriks. Jakarta :

Erlanggga

Chu-kia-wang.1986. Struktur Statis Tak Tentu. Jakarta : Erlanggga

Dipuhusodo Istimawan. 2001. Analisa Struktur. Jakarta : PT Gramedia Pusaka

Utama

Pasaribu Patar M. 1996. Konstruksi Baja. Medan : UHN

Sanci .B. dan Robert. P. 2008, Analisa Baut Mutu Tinggi Serta Aplikasinya pada

Hubungan Balok-Kolom

Sunggono kh. 1984. Buku Teknik Sipil, Jakarta : Nova

T Gunawan dan Margaret S. 1989. Konstruksi Baja, Jilid 1 dan Jilid 2. Jakarta :

Delta Teknik Group.

Untung. 1999. Konstruksi Baja. Surabaya : Andi

Wiryanto Dewobroto.1998. Penggunaan Washer Khusus pada Sambungan Baja

Cold Formed. Banten : UPH

90

Anda mungkin juga menyukai