Anda di halaman 1dari 35

SURVEI DAN PEMETAAN

TOPOGRAFI
UNTUK PERENCANAAN
JALAN/JEMBATAN

Lambang Puspito J.Y, ST., M.Sc.


PENDAHULUAN
 Survei dan pemetaan merupakan hal yang fundamental dalam
setiap pekerjaan rekayasa sipil dan desain pekerjaan
jalan/jembatan.
 Survei dan pemetaan merupakan hal yang penting yang memiliki
fungsi sebagai penghubung berbagai bidang ilmu dalam proses
perencanaan, desain, dan fisik.
 Survei dan pemetaan merupakan penghubung kondisi di lapangan
dengan konsep desain dan perhitungan-perhitungan yang
digambarkan dalam CAD.
 Sebaliknya, survei dan pemetaan berperan dalam
mengimplementasikan desain dengan cara menempatkan desain
tersebut ke lapangan (staking out).
PRINSIP DASAR (1)
 Pengukuran topografi pada prinsipnya adalah pengukuran yang
dilakukan terhadap kenampakan topografi baik karena bentukan
alam maupun bentukan manusia yang kemudian
direpresentasikan ke dalam gambar dua dimensi dengan skala
tertentu.
 Pengukuran topografi meliputi:
1. pengukuran jarak,
2. pengukuran sudut,
3. pengukuran beda tinggi, dan
4. Pengukuran azimut.
PRINSIP DASAR (2)
 Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pekerjaan pengukuran
topografi untuk perencanaan jalan/jembatan:
1. persiapan (personil, bahan/alat, administrasi),
2. survei/pengukuran,
3. pengolahan data, dan
4. penggambaran.
 Hasil akhir dari pengukuran topografi untuk perencanaan
jalan/jembatan adalah peta situasi daerah sekitar rencana trase
jalan/jembatan dengan skala dan sistem koordinat tertentu.
DATUM
Datum Horizontal
1. Semua pekerjaan survei dan pemetaan, perencanaan, studi, desain, dan
konstruksi harus berdasar pada Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN
1995).
2. Spesifikasi DGN 1995 :
 Datum : geosentris
 Koordinat Geodesi : Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN-95)
 Koordinat Gird/Peta : Universal Transverse Mercator (UTM)
 Ellipsoid :World Geodetic System 1984 (WGS-84)
Datum Vertikal
1. Belum ada acuan resmi. Bisa menggunakan titik tinggi Bakosurtanal atau
menggunakan pile banjir Direktorat Sumber Daya Air.
PENGUKURAN SUDUT
1. Pengukuran sudut horizontal

 Untuk penentuan koordinat posisi

2. Pengukuran sudut vertikal

 Untuk mendapatkan data jarak optis

 Untuk penentuan beda tinggi dengan metode tachimetri


PENGUKURAN JARAK (1)
1. Pengukuran langsung dengan pita ukur

2. Pengukuran jarak optis

 Membidik rambu ukur (dibaca ba, bt, bb, dan sudut vertikal)

 Alat yang digunakan teodolit, waterpass

 Dipengaruhi interpolasi pembacaan rambu ukur.

 Kesalahan interpolasi 1 mm berakibat kesalahan jarak 20 cm,

sehingga tidak dianjurkan untuk pengukuran KKH.

D = K(ba – bb) cos2 h


PENGUKURAN JARAK (2)
3. Pengukuran jarak elektronik

 Alat yang dapat digunakan TS, EDM

 Menggunakan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari

instrumen ke reflektor di titik target

 Jarak terukur adalah jarak miring

 Jarak datar dihitung berdasarkan data sudut vertikal dan jarak miring

 Ketelitian sangat tinggi, dianjurkan untuk pengukuran KKH.


PENGUKURAN BEDA TINGGI (1)
1. Pengukuran beda tinggi metode sipat datar

 Sipat datar/waterpass berdiri di salah satu titik yang diukur

HAB = BT – ti

 Sipat datar/waterpass berada di antara titik-titik target yang diamat

HAB = (bt)A – (bt)B


PENGUKURAN BEDA TINGGI (2)
3. Pengukuran beda tinggi metode trigonometri/tachimetry

 Penentuan beda tinggi antara tempat berdiri alat dengan titik yang

diamat dengan menggunakan sudut vertikal dan jarak datar.

HAB = D AB tan h + ti – tt

HAB = D AB tan h + ti – bt
PENGUKURAN AZIMUT (1)
1. Azimut Magnetis

 Adalah besar sudut horizontal yang dimulai dari ujung jarum magnet

(arah utara) sampai pada ujung garis bidik titik amat.

 Alat yang digunakan teodolit yang sudah terintegrasi dengan

kompas
PENGUKURAN AZIMUT (2)
2. Azimut Astronomis

 Adalah azimut yang diukur berdasarkan pengamatan benda langit

seperti matahari dan bintang.

 Pengukuran azimut astronomis dengan cara pengamatan matahari

memerlukan data penunjang meliputi peta topografi untuk

menentukan lintang pengamat, tabel deklinasi matahari, dan

penunjuk waktu dengan ketelitian detik.

2. Perhitungan azimut dari 2 buah titik tetap yang sudah diketahui

koordinatnya

 Menggunakan GPS Geodetic


GLOBAL POSITIONING
SYSTEM
 Global Positioning System (GPS) dapat digunakan untuk penentuan
koordinat.
 GPS yang digunakan adalah tipe Geodetic.
 Metode yang digunakan adalah metode diferensial dengan
menggunakan lebih dari satu receiver GPS (minimum 2buah).
 GPS harus menggunakan dual frekuensi, yang dapat mengamati fase dari
sinyal GPS pada frekuensi L1 dan L2.
 Titik referensi yang digunakan adalah titik referensi Bakosurtanal
ataupun Badan Pertanahan Nasional.
 Dalam upaya untuk mendapatkan titik control yang lebih rapat, diantara
titik kontrol yang diperoleh dari pengukuran GPS dapat dilakukan
pengukuran dengan menggunakan metode poligon.
SURVEI DAN PEMETAAN
TOPOGRAFI UNTUK
PERENCANAAN
JALAN/JEMBATAN
TAHAPAN
PERSIAPAN
1. Persiapan personil (geodetic engineer, assisten geodetic
engineer, surveyor, CAD operator, tenaga lokal)
2. Persiapan bahan/peralatan :
 Peta-peta (topografi, tata guna lahan), formulir ukur, data titik-
titik kontrol di lapangan
 Kompas, GPS navigasi, Clinometer, Teodolit, TS, prisma,
waterpass, rambu ukur, pita ukur, statif/tripod.
 Kebutuhan pribadi
3. Persiapan administrasi (surat tugas, surat pengantar ke
instansi yang berkaitan)
SURVEI PENDAHULUAN
 Koordinasi dengan instansi terkait
 Pengenalan situasi
 Penelusuran alternatif-alternatif trase rencana terkait aplikasi
di lapangan
 Perintisan (jalan baru)
MONUMENTASI (1)
 Adalah pemasangan titik-titik ikat, meliputi Bench Mark (BM),
Control Point (CP), dan patok kayu pengukuran
 BM berupa patok beton bertulang dengan ukuran 20 x 20 x 100
cm, dicat kuning, diberi nomor, dan pada bagian atas diberi
lambang Bina Marga.
 BM ditanam sedalam 70 cm dengan interval 1 km.
 Setiap pemasangan BM disertai pemasangan CP untuk
mendapatkan azimut arah.
 Patok CP berupa patok paralon bertulang dengan panjang 80 cm,
dicat kuning, diberi nomor, dan pada bagian atas diberi lambang
Bina Marga.
MONUMENTASI (2)
 BM dan CP dipasang pada lokasi yang aman dari gangguan, tidak
mengganggu kegiatan sehari-hari, dan mudah dicari.
 Patok kayu dibuat berukuran 4 x 3 x 40 cm, dipasang dengan
interval 50 m, serta pada bagian atas dipasang paku, diberi
nomor, dan dicat kuning.
SURVEI/PENGUKURAN
 Pengukuran kerangka kontrol horisontal (KKH)
 Pengukuran kerangka kontrol vertikal (KKV)
 Pengkuran penampang memanjang
 Pengukuran penampang melintang
 Pengukuran detail situasi
KERANGKA KONTROL
HORISONTAL (1)
 Pengukuran KKH adalah merupakan kombinasi dari pengukuran
jarak dan sudut, bertujuan untuk menentukan posisi suatu titik.
 Pengukuran KKH dilakukan dengan metode poligon terbuka
terikat sempurna.
 Jika tidak ditemukan titik-titik referensi di lapangan, dapat
menggunakan GPS geodetik.
 Pengukuran GPS geodetik dianjurkan dilakukan pada setiap jarak
5 km.
KERANGKA KONTROL
HORISONTAL (2)
 Pengukuran poligon dilakukan dengan metode 1 seri rangkap dengan hasil
4 kali bacaan sudut (Biasa dan Luar Biasa)
 Hasil pengukuran sudut antara yang 1 dengan lainnya tidak boleh 5 kali
lebih besar dari ketelitian alat yang digunakan, dan hasil 4 kali pengukuran
dirata-rata sebagai hasil pengukuran sudut
 Kesalahan penutup sudut poligon < 10”n, dengan n adalah jumlah titik
poligon.
 Ketelitian linier untuk KKH < 1 : 7500
 Alat yang bisa digunakan adalah teodolit atau total station dengan
ketelitian bacaan 1” (untuk pengukuran sudut), dan pita ukur/EDM (untuk
pengukuran jarak).
KERANGKA KONTROL
VERTIKAL (1)
 Pengukuran KKV dilakukan dengan metode sipat datar di sepanjang
trase jalan.
 Pengukuran beda tinggi dilakukan dengan cara memanjang pergi-pulang
secara kring pada setiap seksi.
 Panjang seksi  1-2 km dengan toleransi ketelitian pengukuran sebesar
10 mm D. D adalah jumlah jarak dalam Km.
 Pengukuran dilakukan 4 kali sebagai kontrol pengukuran, hasil
pengukuran 1 dengan lainnya tidak boleh lebih besar dari 5 kali
ketelitian alat, dan dari 4 pengukuran dirata-rata sebagi hasil ukuran.
 Alat yang digunakan adalah sipat datar otomatis.
KERANGKA KONTROL
VERTIKAL (2)
 Pembacaan rambu dilakukan pada 3 benang silang (ba, bt, bb),
 Rambu ukur dilengkapi nivo kotak.
 Pengukuran dilakukan dengan rambu dipasang selang seling.
 Pengukuran harus dihentikan bila terjadi undulasi udara.
PENGUKURAN PENAMPANG
MELINTANG (1)
 Dilakukan dengan alat sipat datar untuk daerah datar dan dengan
teodolit dan metode tachimetri untuk daerah dengan topografi
yang terjal.
 Dilakukan tegak lurus dengan ruas jalan.
 Pengambilan data dilakukan pada setiap perubahan muka tanah
dan sesuai dengan kerapatan detail yang ada.
 Pembacaan rambu dilakukan pada 3 benang silang (ba, bt, bb)
PENGUKURAN PENAMPANG
MELINTANG (2)
 Pada kondisi datar, landai, dan lurus, pengukuran dilakukan pada
interval tiap 50 m dengan lebar koridor 75 m ke kiri dan 75 m
ke kanan dari center line.
 Pada kondisi pegunungan, pengukuran dilakukan pada interval
tiap 25 m dengan lebar koridor 75 m ke kiri dan 75 m ke kanan
dari center line.
 Pada daerah tikungan, pengukuran dilakukan pada interval tiap
25 m dengan lebar koridor 75 m ke arah luar dan 125 m ke arah
dalam dari center line.
PENGUKURAN PENAMPANG
MELINTANG (3)
 Pada daerah longsoran, pengukuran dilakukan pada interval tiap
25 m dengan lebar koridor 75 m ke kiri dan 75 m ke kanan
sesuai dengan instruksi dari Highway Engineer.
PENGUKURAN DETAIL
SITUASI (1)
 Pengukuran detail situasi dilakukan dengan metode tachimetri.
 Pengukuran detail situasi mencakup semua obyek bentukan alam dan
buatan manusia, seperti sungai, bukit, jembatan, gedung, rumah, batas
ROW, dsb.
 Dalam pengambilan data harus diperhatikan kerapatan detail yang
diambil sehingga cukup mewakili kondisi sebenarnya.
 Pada situasi khusus, seperti sungai dan persimpangan jalan,
pengambilan/pengukuran titik detail harus lebih rapat.
 Pembacaan rambu dilakukan pada 3 benang silang (ba, bt, bb)
PROSES STUDIO
 Pengolahan data (poligon, beda tinggi, azimuth)
 Penggambaran (skala peta, legenda, dll)
 Pencetakan
SISTEM PROYEKSI
KOORDINAT (1)
1. Sistem proyeksi koordinat yang digunakan di Indonesia adalah

Universal Transverse Mercator (UTM) dan Transverse Mercator

3 (TM-3)

2. Lebar zona pada UTM adalah 6 .

3. Pada TM 3 , setiap zona UTM dibagi menjadi 2 bagian 3 


SISTEM PROYEKSI
KOORDINAT (2)
Penomoran zona dalam UTM di wilayah Indonesia :
SISTEM PROYEKSI
KOORDINAT (3)
Penomoran zona dalam TM 3 di wilayah Indonesia :
SURVEI TOPOGRAFI BAWAH
AIR (BATIMETRI)
 Survei Batimetri adalah survei yang dilakukan untuk menentukan
kedalaman air dan konfigurasi topografi bawah air (laut, danau, sungai).
 Salah satu metode dalam survei batimetri adalah pelaksanaan echo
sounding dengan menggunakan echo sounder.
 Echo sounder adalah alat untuk mengukur kedalaman air dengan
mengirimkan pulsa suara dari permukaan ke dasar air dan dicatat
waktunya sampai echo kembali dari dasar air.
 Prinsip kerja echo sounder adalah mengukur interval waktu antara
pemancaran pulsa suara (ultrasonic) dengan penerimaan pantulannya
(gema) dari dasar air, sehingga kedalaman perairan dapat ditentukan.
 Data yang dihasilkan dapat dikombinasikan dengan koordinat global
berdasarkan sinyal dari satelit GPS yang ada dengan memasang antena
GPS pada echo sounder.
SUMBER KESALAHAN
 Alam
 perubahan angin, suhu, kelembaban udara, pembiasan
cahaya, gaya berat dan deklinasi magnetik
 Alat
 ketidak sempurnaan konstruksi atau penyetelan instrumen
(garis bidaik kurang datar, rambu aus)
 Pengukur/manusia
 keterbatasan kemampuan pengukur dalam merasa,
melihat dan meraba (salah baca, salah dengar, salah
catat), rambu miring
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai