“Tok, tok, tok,tok” suara ketukan pintu keras berbunyi.
“Tok, tok, tok, tok” suara itu kembali berbunyi. “Fajar, bangun nak ! udah jam enam lebih lima. Kamu harus siap-siap ke sekolah nak” perintah Maryati seraya menghela nafas dengan kesal. Sedari tadi, ia sudah bolak-balik dari dapur menuju kamar anak bungsunya itu lebih dari lima kali. Sebagai ibu rumah tangga rutinitasnya setiap pagi adalah menyiapkan makanan sekaligus membangunkan fajar agar segera bersiap ke sekolah. Suaminya telah lama meninggal dunia karena kecelakaan pesawat tahun 2009 silam. Sedangkan anak pertamanya, Fahri, tengah menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Leiden, Belanda. Dalam keseharianya Maryati hanya tinggal berdua bersama Fajar. Meski berbeda karakter dengan kakaknya yang rajin dan disiplin, Maryati tetap sabar menghadapi tingkah laku Fajar setiap hari termasuk setiap kali pagi menjelang ia harus bolak-balik membangunkan-nya di samping juga harus menyiapkan sarapan. Rutinitas semacam itu sudah ia jalani puluhan tahun lamannya. Sejak ditinggal suaminya, Maryati harus berjuang membanting tulang untuk membesarkan kedua anaknya dengan membuka warung kecil di Depan Rumah. Beruntungnya, Fahri yang merupakan anak sulungnya selalu membantu ketika ia berjualan. Selain memiliki paras yang rupawan, anak laki-lakinya itu memang begitu mencintai ibunya. Ia tidak pernah sampai hati membiarkan ibunya berjualan sendiri. Terkadang, jika Maryati lelah ia juga tidak sungkan untuk sekedar memijat pungguh atau kakinya. Ia dikenal sebagai anak yang baik dan berbakti kepada orang tuanya. Prestasinya di Sekolah juga cukup bagus. Sejak SMP hingga SMA ia selalu meraih peringkat satu paralel. Setelah lulus SMA, Fahri berkesempatan untuk kuliah S1 melalui Beasiswa Bidikmisi di salah satu universitas terkemuka di Purwokerto. Pada jenjang ini, Fahri memutuskan untuk memilih Ilmu Hukum sebagai program studi yang ia pelajari. Masa-masa kuliah S1 itu Fahri jalani dengan penuh kesungguhan. Ia sadar bahwa kesempatan yang ia peroleh adalah kesempatan langka. Kesempatan yang tidak didapatkan setiap orang seusianya. Oleh sebab itu, ia bertekad untuk menyelesaikan perkuliahanya itu dengan sungguh-sungguh. Di sisi lain, ia juga sadar bahwa ia memiliki seorang ibu yang tinggal di Kampung bersama adiknya sebagai single parents. Kenyataan itu membuatnya harus menyisihkan sebagian waktunya untuk bekerja paruh waktu di Purwokerto. Dengan begitu, ia bisa menyisihkan beberapa lembar rupiah untuk ia kirimkan kepada ibunya di Kampung. Maryati sesungguhnya tidak pernah menginginkan Fahri bekerja paruh waktu. Ia lebih senang kalau anak sulungnya itu fokus belajar di perkuliahan. Namun, nyatanya, rasa iba seorang Fahri terhadap ibunya lebih mengalahkan nasehat dan saranya. Suatu waktu Maryati berpesan, “Nak, sudahlah fokus kuliah saja. Kamu harus bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu dan meraih prestasi setinggi bintang gemintang di Angkasa” kata Maryati penuh haru. Mendengar pesan itu, Fahri menimpal, “Ndak papa bu, Fahri tetap bisa fokus belajar meskipun harus kerja paruh waktu selesai kuliah. Ibu sehat-sehat sama Fajar.” Itulah Fahri. Sejak ayahnya meninggal akibat kecelakaan pesawat, hatinya shock dan begitu terpukul. Tapi momen itu juga yang menjadi titik balik baginya untuk tumbuh sebagai seorang anak laki-laki sekaligus sebisa mungkin berjuang menggantikan peran ayahnya dalam mencari nafkah keluarga. Keteguhan dan kesabaran Fahri itu pada akhirnya tidak berujung sia-sia. Ia bisa lulus tepat waktu dan ibu serta adiknya juga tetap bisa terbantu. Sayangnya, jejak baik dari Fahri tidak serta merta menular kepada Fajar, adiknya. Fajar berbeda dengan Fahri. Ia lebih senang menghabiskan waktunya untuk bermain sepak bola hingga senja. Seusai maghrib ia sudah lekas-lekas dijemput kawan-kawanya untuk pergi sekedar nongkrong-nongkrong di Pinggir Jalan. Sampai tengah malam kadang Fajar baru pulang. Orang-orang yang tinggal di sekeliling Maryati sering bertanya, “Mengapa yaa Fajar berbeda dengan Fahri ?, kalau Fahri kan pinter, rajin dan disiplin. Fajar malah sukanya kluyuran nggak jelas” Setiap mendengar pertanyaan seperti itu, Maryati hanya tersenyum tak menjawab. Sekalipun sebenarnya ucapan itu begitu menusuk relung hatinya. Baginya, entah Fahri atau Fajar keduanya adalah anak-anaknya. Ia tak pernah membeda-bedakan keduanya. Maryati percaya bahwa setiap anak memiliki bakat terpendamnya masing-masing. Ikan tidak bisa dipaksa untuk terbang. Sebaliknya, burung pun tidak bisa dipaksa untuk berenang. Saat ini Fajar telah duduk di bangku SMA, sementara Fahri setelah menyelesaikan kuliah S1-nya, ia mendapat tawaran bekerja sebagai konsultan hukum di sebuah perusahaan ternama di Bandung. Maryati begitu bangga dengan putranya itu. Segala pencapaian Fahri seakan menjadi oase di kala tandusnya rasa sepi dan kehilangan suami melandanya setiap hari. Fahri telah membuktikan tekad dan kesungguhanya untuk membahagiakan orang tua satu-satunya itu melalui pendidikan. Karena, hanya itu yang Fahri mampu. Saat menjelang sidang tugas akhir, Fahri pernah berkata pada Maryati, “Bu, setiap goresan penaku adalah jalan untuk mencintaimu. Pendidikan merupakan medan yang ingin aku tempuh untuk menjaga senyum dan kebahagiaanmu tetap lestari” tandasnya seraya mencium kedua tangan keriput Maryati. Selang beberapa bulan semenjak Fahri bekerja di Bandung, Fahri memberi kabar bahwa ia akan pergi ke Belanda. “Bu, Fahri mau ke Belanda” kata Fahri melalui telepon. “Mau ngapain nak ?, jangan jauh-jauh.” ucap Maryati ragu “Begini bu, Fahri dapat beasiswa LPDP S2 ke Universitas Leiden, Belanda. Fahri pengin belajar Ilmu Hukum lagi ke sana. Alhamdulilllah, pihak perusahaan sudah mengijinkan Fahri untuk sementara melanjutkan S2 ke Belanda” Mendengar penjelasan Fahri, Maryati tersenyum bangga. “Baiklah Nak. Lanjutkan perjuanganmu. Ibu akan selalu menantimu pulang. Tapi pulanglah dengan membawa kebanggaan. Pulanglah dengan sejuta harapan yang bisa kamu persembahkan untuk keluarga, bangsa dan negara” pungkas Maryati tersedu-sedu. Sejak saat itu, Fahri pergi jauh ke negeri Belanda. Maryati masih tetap sama seperti Maryati biasanya. Ia hidup bersama Fajar adik Fahri hingga kini. Setiap pagi ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk belanja dagangan di Pasar. Setelah itu ia pulang dan seringkali menjumpai Fajar masih tertidur pulas. Seperti telah dikata, Fajar memang berbeda dengan kakaknya. Jiwa pemalas dan sekepenake dewek telah tumbuh subur dalam dirinya. Hal itu yang tak jarang membuat Maryati kesal. Namun, itu tak pernah jadi alasan baginya untuk membandingkan kedua putranya. “Fajar bangun nak ! sudah siang ini nanti kamu kesiangan lagi” teriak Maryati di depan pintu kamar Fajar. Geram dengan anaknya yang tak kunjung beranjak dari kamar, Maryati akhirnya memutuskan masuk ke kamar Fajar. Fajar tampak masih berselimutan dan sesekali mendengkur keras. “Fajar bangunnnnnnnnn” Maryati berteriak kencang di sisi kiri kepala Fajar “Ehh iya bu” sontak Fajar terbangun kaget. “Bangun nak sudah siang. Kemarin kamu udah janji sama ibu katanya mau mengikuti jejak-jejak kakakmu. Kakakmu udah terbang jauh ke Belanda nak. Jangan biarkan dirimu hanya terbang sebatas di alam mimpi” “Iya bu. Maafin Fajar yaa. Fajar segera melangkah keluar kamar dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Tak berselang lama, Fajar nampak sudah siap dengan berseragam rapi berjalan menuju meja maka bersama ibunya yang sedari tadi sudah menyiapkan sarapan untuknya. “Ini nak makan dulu.” ucap Maryati seraya menyodorkan piring berisi nasi. Fajar menerima piring itu dan sejurus kemudian mulai mengambil satu demi satu lauk pauk yang tersaji. Sebelum Fajar berangkat sekolah, Maryati selalu menemaninya sarapan. Sementara warung dijaga oleh Mbak Yanti, tetangga sebelah yang ia pekerjakan. Pagi itu, Fajar sangat lahap menyantap sarapan. Penampilanya juga berbeda dari biasanya. Fajar tampak lebih rapi dari biasanya. “Nak, ada apa gerangan kamu begitu bersemangat pagi ini ?” tanya Maryati “Bu..” jawab Fajar pelan “Mulai saat ini Fajar ingin berubah jadi lebih baik lagi. Lebih bersemangat lagi dalam belajar seperti Mas Fahri” lanjut Fajar dengan mata yang berkaca “Kenapa nak ? ada apa ?” Maryati kembali bertanya Maryati nampak bingung dengan anaknya itu, tak biasanya Fajar berubah jadi melankolis seperti ini. Di sisi lain, ia juga khawatir ada sesuatu yang terjadi pada diri Fajar karena matanya nampak berlinang. “Fajar selama ini nggak nurut sama ibu. Suka main keluyuran nggak jelas dan jarang belajar. Fajar kepengin kaya Mas Fahri” “Iya nak… Ibu ngerti. Tapi ada apa sebenarnya ?” sergap Maryati “Bu, kemarin di Sekolah Fajar di-bully. Fajar emang males bu. Ga kaya Mas Fahri yang rajin belajar dan sukses sampai kuliah ke Belanda. Fajar mengakui itu bu. Fajar akui Fajar belum bisa jadi anak ibu yang baik” kata Fajar sesenggukan sambil menutup mata dengan lenganya. “Tapi bu…” lanjut Fajar lagi “Fajar merasa malu Bu ketika satpam di Sekolah Fajar yang bertanya, ’Jar, kamu ini sebenarnya beneran adiknya Fahri bukan sih ?. Katanya adiknya Fahri tapi kok dedel (bodoh) banget’” Maryati terus mendengar Fajar yang sedari tadi berbicara. Tak terasa ternyata beberapa bulir air mata ikut jatuh dari kedua bola matanya. “Mulai sekarang Fajar ingin buktikan kalau Fajar benar-benar adiknya Mas Fahri yang bisa sukses kuliah hingga ke Belanda” lantang Fajar Maryati yang iba segera memeluk anaknya itu. Mereka menangis bersama dan dekapan keduanya begitu kuat. Pemandangan yang sungguh memilukan. “Maafin Fajar ya bu” ucap Fajar terisak tangis “Iya nak. Ibu bangga sama kamu. Ibu tak pernah sekalipun kecewa memilikimu. Terbanglah ke puncak cakrawala dan susuri jejak-jejak gemilang kakakmu” kata Maryati Sejak peristiwa itu Fajar mulai menunjukan banyak perubahan. Ia mengurangi waktu nongkrongnya dan lebih memilih banyak di rumah dengan membaca buku. Ketika waktu menunjukan pukul sembilan malam, Fajar juga sudah berada di kamar untuk beristirahat. Setiap pagi, Fajar tak lagi dibangunkan Maryati. Bahkan, di waktu subuh Fajar sudah pergi berangkat ke Masjid untuk melaksanakan salat subuh berjamaah. Kini, beban Maryati mulai berkurang seiring perubahan Fajar. Maryati bersyukur kepada Allah Swt. karena kini Fajar anaknya sudah berubah menjadi lebih baik, rajin dan disiplin. Beberapa bulan akhirnya berselang. Maryati kini merasa memiliki dua permata yang berharga. Siapa lagi kalau bukan kedua anaknya itu. Fajar yang duduk di bangku kelas dua belas SMA sebentar lagi akan menghadapi masa-masa krusial. Ia akan menjalani serangkaian ujian untuk bisa lulus dari SMA. Sementara itu, beberapa hari ke depan Fahri akan pulang ke Indonesia karena sedang masa libur semester di Belanda. Maryati tak sabar menunggu kepulangan anak sulungnya itu. Ia senang karena kedua anaknya akan berkumpul bersama sebentar lagi. “Kring, kring, kring” bunyi suara telepon rumah Maryati berdering Pelan-pelan Maryati mengangkatnya. “Halo Bu.. Assalamu’alaikum. Ini Fahri. Ibu apa kabar ?” tanya Fahri sumringah “Wa’alaikumussalam nak. Alhamdulillah ibu baik nak. Fajar juga baik. Kamu apa gimana nak ? kapan pulang ?” “Fahri baik-baik saja bu. Lusa Fahri akan pulang bu. Fahri sudah kangen banget sama ibu. Syukurlah kalau ibu dan Fajar baik-baik saja.” “Iya nak. Alhamdulillah. Ibu tunggu kepulanganmu. Oh ya nak, sekarang Fajar sudah banyak berubah. Dia sekarang udah rajin belajar kaya kamu” ucap Maryati tertawa “Benarkah bu ? Syukurlah kalau begitu. Fahri di sini selalu mendoakan kalian. Sampai jumpa ya bu.” “Iya nak. Ibu juga selalu mendoakan kamu. Hati-hati nak pulangnya.” “InsyaAllah bu. Udah dulu yaa.. Nanti Fahri kabari lagi. Assalamu’alaikum” ucap Fahri menutup telepon “Wa’alaikumussalam nak” Sebelum Fahri pulang, Maryati bergegas menyiapkan segala macam bahan-bahan makanan beserta bumbu-bumbunya. Hal itu ia lakukan tidak lain untuk memasak makanan kesukaan anak sulungnya itu. “Rendang. Fahri sangat suka rendang” gumam Maryati Sore harinnya Maryati bercerita kepada Fajar, “Nak, dua hari lagi kakakmu pulang” “Alhamdulillah bu. Fajar udah lama kepengin ketemu Mas Fahri” “Iya nak. Dua hari lagi Fahri akan terbang dari Belanda. Ibu sudah menyiapkan bahan- bahan makanan untuk memasak rendang. Nanti Fajar bantuin ibu yaa !” ucap Maryati Fajar mengangguk seraya tersenyum sebagai tanda kesiapan. Dua hari berselang hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sebuah pesan WA masuk dari Fahri di HP Fajar, “De, sekarang Mas Fahri mau take off. Doakan yah” “Bu, bu, bu. Ini ada chat dari Mas Fahri katanya udah mau take off. Kemungkinan sampainya yaa besok ya Bu ?” kata Fajar pada Maryati “Alhamdulillah semoga sampai dengan selamat. Iya nak mungkin” jawab Maryati tersenyum. Sudah dua puluh empat jam sejak pesan Fahri itu masuk, Fahri tak lagi memberi kabar. “Kenapa yaa udah sehari tapi Mas Fahri belum ngasih kabar lagi ?” tanya Fajar “Mungkin karena lagi di Pesawat nak jadi susah mau menghubungi lewat HP” jawab Maryati singkat. Sejak kabar kepulangan Fahri, Maryati tidak bisa tidur dengan tenang. Maryati selalu menanti kepulangan Fahri dengan harap-harap segera bertemu. Maklum, sudah satu tahun lebih Fahri tidak pulang sejak pertama kali keberangkatanya ke Belanda. Waktu terus bergulir. Sudah dua hari sejak Fahri mengirim pesan akan take off Fahri tak ada kabar. Maryati dan Fajar cemas. Beberapa keluarga dekat dan tetangga mulai menanyakan mengapa Fahri belum sampai ?, bukankah seharusnya sudah sampai ? dan pertanyaan-pertanyaan semacam itu lainya yang sesungguhnya semakin membuat Maryati cemas. “Buuuuuuuu….” tiba-tiba Fajar berteriak dari depan ruang TV. “Kenapaa jar ?” tanya Maryati “Buuuu liattt itu buuuu… Pesawat A25 perjalanan dari Leiden menuju Jakarta jatuh di atas perairan samudra hindia.” Fajar kembali berteriak disertai ledakan tangis dahsyat Seketika itu, Maryati hanya diam. Tubuhnya lemas. Semua persendianya lunglai. Ia jatuh ke lantai. “Fahriiii. Anaku….” Maryati berteriak seraya menangis hebat. Beberapa tetangga di sekitarnya datang. “Ada apa bu ? ada apa ?” tanya mereka Mbak Yanti juga ikut berlari datang sambil berteriak, “Bu Maryati… Pesawat A25 jatuh. Fahri” belum sempat melanjutkan ia melihat Maryati sudah tergeletak lemas tak berdaya Reporter berita di TV menyiarkan nama-nama penumpang yang jatuh dalam tragedi itu. Salah satu nama yang disebut “Fahri Abdillah”. Anak sulung Maryati yang tengah menempuh pendidikan S2 di Belanda. Anak sulung yang ia tunggu-tunggu kepulanganya. Anak sulung yang begitu ia cintai. Anak sulung itu pula yang menjadi tauladan bagi adiknya, Fajar. Kini telah pupus harapanya untuk bertemu anak sulungnya itu. Sejak berita itu segala bentuk upaya pencarian jenazah korban telah diupayakan. Namun, hanya seglintir saja yang ditemukan. Fahri, anak sulung Maryati bukan salah satu di antaranya. Kenyataan ini membuat Maryati jadi sangat merana. Pun demikian dengan Fajar. Kakaknya itu telah ia nanti-nantikan kepulanganya. Telah ia nanti-nantikan cerita dan pengalamanya tentang Negeri Belanda. Fajar sudah bersiap ingin menimba sejuta ilmu dan pengalaman dari kakaknya. Naas, takdir berkehendak lain. Kakaknya itu tak pernah pulang sejak ia dinantikan. Sejak pesan WA terakhirnya, “De, sekarang Mas Fahri mau take off. Doakan yah” Sejak itu ia tak lagi mendengar kabar dan pesan kakaknya. Sejak saat itu, Maryati lebih senang menyendiri. Fajar berulang kali mengajak ibunya pergi jalan-jalan untuk menghilangkan kesedihan di hatinya. Sayang, setiap kali Fajar mengajak ibunya pergi jalan-jalan, Ibunya hanya diam. Sampai suatu hari, “Tok, tok, tok. Assalamu’alaikum” seseorang berbadan tegap datang mengetuk pintu rumah Maryati “Wa’alaikumussalam” Fajar datang membukakan pintu “Selamat siang. Kami dari BASARNAS datang untuk menyampaikan barang bawaan Saudara Fahri yang berhasil kami temukan. Kami mohon maaf hanya ini yang dapat kami temukan” Perlahan Fajar menerimanya. Nampak sepucuk surat terbungkus plastik bening di dalam tas milik kakaknya. Surat itu sudah sebagian lusut mungkin karena diterpa ombak di lautan. Fajar membuka surat itu dengan pilu, “Dear Ibu dan Fajar di Indonesia. Terimakasih atas doa-doa yang kalian panjatkan sampai aku berada di titik ini. Aku selalu percaya bahwa pendidikan adalah medan terbaik yang bisa aku gunakan untuk membawa kebanggaan bagi kalian. Untuk adiku Fajar, kalau kedua kaki kakakmu ini tak pernah lagi sampai di kampung halaman kita, Mas Fahri ingin kamu bisa mengukir jejak- jejak gemilangmu sendiri dengan lebih hebat daripada jejak-jejakku. Aku mencintai kalian” Fajar menangis hebat. Sementara Maryati yang telah berdiri sedari tadi bersama membaca surat Fahri juga ikut menangis.