Anda di halaman 1dari 2

Nama : Ivan Risyandi Sanyoto

NIM : 3211418054

KONFLIK SEKTORAL WILAYAH PESISIR


DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Dalam artikel yang saya baca saya menemukan beberapa konflik sektor yang menuju
pada wilayah pesisir di Yogyakarta. Di provinsi tersebut pengelolaan kawasan wisata dibentuk
pemerintah melalui jaringan warga yang bernama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Peran
dari Pokdarwis ini yakni membantu warga mengelola tempat wisata di daerahnya. Namun posisi
pokdarwis ini tidak menguntungkan karena warga tidak memperoleh kompensasi yang sepadan.
Pokdarwis hanya mendapat semacam sertifikat yang menggambarkan seolah mereka dari dinas
pariwisata tapi pada kenyataannya mereka tidak ada dalam struktur tersebut. Mereka juga tidak
memiliki kewenangan untuk memutuskan sendiri hal yang ingin dibuat, hanya melakukan
keputusan pemerintah. Misalnya ada konflik dengan warga atau menghadapi investor mereka
tidak bisa melakukan apapun untuk melindungi potensi wisatanya,

Dalam artikel tersebut juga terdapat salah satu konflik yang terjadi berada di kawasan
Parangtritis terkait dengan tata ruang. Awalnya kawasan ini merupakan kawasan lindung dan
sedikit kawasan untuk budidaya. Dalam hal itu muncul persoalan status kepemilikan tanah yang
memunculkan klaim antara warga, negara, dan kesultanan tentang adanya zonasi. Kemudian
kawasan ini dibangun Geomaritime Science Park oleh Badan Informasi Geospasial, sebuah
laboratorium untuk mencegah kawasan ini dari kerusakan. Untuk memperkuat ini, dibuat
peraturan tentang rencana tata ruang yang mengatakan bahwa kawasan Parangtritis adalah
kawasan konservasi. Sehingga kawasan tersebut tidak boleh dibangun apapun dengan status
kepemilikan tanah yang tidak jelas. Akan tetapi kemudian muncul rencana akan dijadikannya
kawasan pantai sebagai terasnya Jogja. Yaitu kawasan pantai menjadi yang paling didepankan
saat wisatawan datang. Kawasan pantai tersebut yaitu Parangtritis, Depok, dan Kwaru. Ketiga
kawasan pantai tersebut akan ada pembangunan untuk menyambut apapun termasuk wisatawan.
Namun status tanah di sini tidak jelas apakah menyewa atau seperti apa.
Konflik pembangunan pariwisata juga terjadi di kawasan Watu Kodok. Pada awal
mulanya wisata Watu Kodok dikelola oleh warga setempat. Warga biasanya memanfaatkan
untuk mencari rumput laut untuk dikonsumsi atau dijual. Saat semakin banyak pengunjung yang
datang, warga kemudian berinisiatif untuk membuka Pantai Watu Kodok sebagai tempat wisata.
Tiba-tiba Pemerintah Desa datang dan menyatakan bahwa sebagian kawasan Watu Kodok sudah
dikontrak oleh Warga Jakarta bernama Eni Supiani, saat itu warga hanya diam. Lalu datang
Pemerintah Kabupaten bersama Pemerintah Desa dan Kuasa Hukum Eni yang mengklaim bahwa
semua kawasan Watu Kodok sudah dikontrak oleh Eni. Sehingga warga harus meninggalkan
kawasan Watu Kodok tanpa ganti rugi maupun relokasi. Warga hanya diberi tawaran dari
investor untuk menjadi tukang sapu atau tukang masak. Warga menolak tawaran tersebut dan
memilih bertahan sampai sekarang.

Selain konflik dengan investor, warga pesisir juga dibuat resah dengan peraturan daerah
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam RTRW dijelaskan bahwa pada radius seratus
meter dari bibir pantai harus steril dari bangunan. Padahal bangunan warga berada kurang dari
seratus meter. Selain itu tanah di atas batas seratus meter sudah menjadi hak milik. Bila ditata
sesuai aturan tersebut maka warga tidak akan memiliki tempat tinggal. Tanah di belakang seratus
meter sudah banyak yang dijual ke investor asing, yang menyebabkan keresahan warga pesisir.

Anda mungkin juga menyukai