SARMILA
NH0120047
i
Kata Pengantar
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang
Bantuan Hidup Dasar, Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu
(SPGDT), Perbedaan Mati Klinis dan Mati Biologis, dan Do not resuscitate
(DNR).
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari
berbagai pihak.
Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan
manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bantuan hidup dasar harus segera dilaksanakan oleh penolong apabila
dalam penilaian dini penderita ditemukan salah satu dari masalah antara
lain: tersumbatnya jalan nafas, tidak menemukan adanya nafas serta tidak
ditemukan adanya tanda-tanda nadi. Seperti diketahui bahwa tujuan dari
P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) salah satunya ialah
menyelamatkan jiwa penderita sehingga dapat selamat dari kematian.
Tindakan bantuan hidup dasar umumnya dilakukan oleh paramedic,
namun dinegara maju seperti amerika, kanada, dan inggris dapat
dilakukan oleh orang awam yang pernah mendapatkan pelatihan
sebelumnya. Keberhasilan pertolongan yang dilakukan, ditentukan oleh
kecepatan dalam memberikan tindakan awal bantuan hidup jantung dasar,
membuat para ahli berfikir bagaimana cara untuk melakukan suatu
tindakan bantuan hidup dasar yang efektif serta melatih sebanyak
mungkin orang awam dalam hal ini siswa sekolah untuk melakukan
tindakan tersebut secara baik dan benar.
Pengetahuan bantuan hidup dasar dapat membentuk motivasi dalam
bersikap dan berperilaku dalam menolong siswa. Rendahnya
pengetahuan dapat berdampak pada munculnya bentuk-bentuk sikap dan
perilaku prososial terhadap orang disekitarnya. Sedangkan sebagai
mahkluk sosial hendaknya senantiasa memberikan bantuan kepada orang
lain yang membutuhkan. Penilaian yang diharapkan adalah mampu
meningkatkan menjadi lebih baik pengetahuan dan motivasi siswa dalam
menolong terkait bantuan hidup dasar (BHD).
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan dasar
yang wajib diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Hal ini selarasa
dengan hak dari masyarakat untuk menerima pelayanan kesehatan sesuai
dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu
pihak penyedia pelayanan dituntut untuk memberikan dan
mengembangkan serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
sehingga pihak penerima pelayanan menerima layanan dengan puas.
Salah satu layanan di bidang kesehatan yaitu layanan kegawatdaruratan
medis. Di Indonesia sendiri layanan ini disebut sebagai Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) atau Public Safety
Center 119.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 tahun 2016 tentang Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) yang bertujuan
meningkatkan akses dan mutu pelayanan kegawatdaruratan dan
mempercepat waktu penanganan (respon time) korban atau pasien gawat
darurat serta menurunkan angka kematian dan kecacatan. SPGDT adalah
1
sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari
unsur pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit dan antar
Rumah Sakit. SPGDT berpedoman pada respon cepat yang menekankan
time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh
masyarakat, tenaga kesehatan, pelayanan ambulans gawat darurat dan
sistem komunikasi.
Dengan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT),
masyarakat dapat menelpon call center 119 untuk mendapatkan layanan
informasi mengenai rumah sakit mana yang paling siap dalam
memberikan layanan kedaruratan, advis untuk pertolongan pertama dan
menggerakan angkutan gawat darurat ambulan rumah sakit untuk
penjemputan pasien. Petugas call centre adalah dokter dan perawat yang
mempunyai kompetensi gawat darurat. SPGDT 119 bertujuan
memberikan pertolongan pertama kasus kegawatdaruratan medis,
memberikan bantuan rujukan ke Rumah Sakit yang tersedia,
mengkoordinasikan pelayanan informasi penanganan medis yang terjadi
pada pasien sebelum mendapatkan pelayanan medis di Rumah Sakit.
Dalam kondisi ini perawat dihadapkan pada suatu kondisi dengan dua
pilihan yakni segera melakukan atau tidak dan berhenti melakukan
Cardiac pulmonal resusitasion (CPR) (Robinson & Lachman, 2018).
Di Indonesia, tidak ada peraturan khusus yang mengatur bagaimana
DNR dilakukan. UUD 1945, Pasal 28 A perubahan kedua, mengatur
bahwa "setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan
hidupnya." Hal ini diperkuat oleh Pasal 39 UndangUndang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa “praktik
kedokteran dilaksanakan dalam upaya memelihara kesehatan, mencegah
penyakit, meningkatkan kesehatan, mengobati penyakit, dan memulihkan
kesehatan berdasarkan kesepakatan antara seorang dokter atau dokter
gigi dan seorang pasien." (RI, 2004). Setiap tindakan medis harus
dilakukan dengan persetujuan pasien setelah dokter memberikan
penjelasan yang cukup. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran menyatakan demikian. Dalam keadaan
darurat, persetujuan untuk tindakan sering diperlukan dalam hubungannya
dengan pemberian intervensi penyelamatan jiwa. Menurut pasal 17 Kode
Etik Kedokteran Indonesia, “Setiap dokter wajib memberikan pertolongan
darurat sebagai semacam kewajiban kemanusiaan, kecuali ia merasa ada
orang lain yang siap dan berkompeten untuk memberikannya (RI, 2004).
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui Bantuan Hidup Dasar
2. Untuk mengetahui Sistem Penanggulangan Kegawatdaruratan
Terpadu
3. Untuk mengetahuai perbedaan mati klini dan mati biologis
4. Untuk mengetahui DNR (Do Not Resuscitation)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
tulang belakang. Posisi penderita
dimiringkan menyerupai posisi tidur
miring.
5) Bantuan Pernafasan:
a) Menggunakan mulut penolong :
Mulut ke masker RJP (Resusitasi Jantung Paru).
Mulut ke APD (Alat Pelindung Diri).
Mulut ke mulut ataupun hidung.
4
b) Menggunakan alat bantu nafas : menggunakan kantung
masker berkatub.
Memberikan bantuan nafas kepada penderita bagi penolong
bukan tanpa resiko. Terdapat resiko yang mungkin dialami
penolong antara lain : penyebaran penyakit, kontaminasi bahan
kimia dan muntahan penderita. Langkah-langkah dalam
memberikan bantuan nafas kepada penderita terdeteksi tidak
terdapat nafas antara lain :
Pastikan jalan nafas terbuka pada penderita.
Jika penolong menggunakan APD ataupun alat bantu
pastikan alat tersebut tidak bocor (tertutup rapat).
Pastikan juga bantuan nafas yang dihembuskan tidak
bocor melalui hidung penderita dengan cara mencapit
lubang hidung penderita.
Berikan 2 (dua) kali bantuan nafas awal (1,5-2 detik
pada manusia dewasa). Tiupan/hembusan merata dan
cukup (dada penderita bergerak naik).
Periksa nadi penderita selama 5-10 detik dan pastikan
nadi penderita masih terdeteksi.
Lanjutkan pemberian nafas buatan sesuai dengan
frekuensi pemberian bantuan nafas (dewasa : 10-
12 kali bantuan nafas per menit).
Apabila bantuan nafas berhasil dengan baik akan
ditandai dengan bergerak naik turunnya dada
penderita.
6) Bantuan Sirkulasi
Tindakan paling penting dalam bantuan sirkulasi ialah pijatan
jantung luar. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan efek
pompa jantung yang dinilai cukup untuk membantu sirkulasi
darah penderita pada saat kondisi penderita mati klinis.
Kedalaman penekanan pijatan jantung luar pada manusia
dewasa ialah 4-5 cm ke dalam rongga dada.
5
b) Posisikan penolong berada di samping penderita.
c) Temukan pertemuan lengkung tulang iga kanan dan kiri (ulu
hati).
d) Tentukan titik pijatan (kira-kira 2 ruas jari ke arah dada atas dari titik
pertemuan lengkung tulang iga kanan dan kiri)
e) Posisikan salah satu tumit tangan di titik pijat, tumit tangan lainnya
diletakkan di atasnya untuk menopang.
f) Posisikan bahu penolong tegak lurus dengan tumit tangan.
g) Lakukan pijatan jantung luar.
h) Resusitasi jantung paru dengan satu orang penolong :
Tiupkan bantuan nafas awal 2 (dua) kali.
Jika penderita bernafas dan nadi berdenyut maka posisikan penderita
pada posisi pemulihan.
Apabila masih belum terdapat nafas dan nadi, maka lakukan
pijatan jantung sebanyak 15 kali dengan kecepatan pijatan 80-
100 kali per menit.
Berikan bantuan nafas lagi sebanyak 2 (dua) kali.
Lakukan terus 15 kali pijatan jantung dan 2 kali bantuan nafas sampai
4 siklus.
Periksa kembali nadi dan nafas penderita, apabila terdapat nadi
namun belum terdapat nafas maka teruskan bantuan nafas 10-12
kali per menit.
6
antara lain : patah tulang dada/iga, kebocoran paru-paru, perdarahan
dalam pada dada/paru-paru, memar paru dan robekan pada hati/limpa.
Maka bagi penolong perlu berhati-hati.
7
Kabupaten/Kota. Pelayanan medik yang diberikan oleh PSC 119 antara
lain: panduan tindakan awal melalui algoritma gawat darurat, mengirim
bantuan petugas dan ambulan, serta mengirim pasien ke fasilitas layanan
kesehatan terdekat. NCC yang akan menggabungkan dan
mengkoordinasikan PSC-PSC yang ada di daerah karena semua
panggilan 119 akan masuk ke NCC. Untuk daerah yang sudah memiliki
PSC panggilan akan dijawab langsung melalui PSC didaerah tersebut,
sedangkan bagi daerah yang belum memiliki PSC, sementara waktu akan
coba dibantu melalui operator yang ada di NCC
1. Waktu Tanggap
Response time (waktu tanggap ) adalah kecepatan dalam penanganan
pasien dihitung sejak pasien datang sampai dilakukan penanganan.
Penanganan ini berkaitan dengan adanya beberapa penyakit yang
dianggap penyakit gawat darurat dan penyumbang kematian terbanyak
di dunia. Klasifikasi prioritas berdasarkan kegawatdaruratan dapat
dilakukan agar tindakan bisa segera.
2. Inovasi Pelayanan
Inovasi pelayanan publik adalah terobosan jenis pelayanan publik baik
yang merupakan gagasan atau ide kreatif orisinal dan/atau
adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Inovasi ini tidak harus berupa
suatu penemuan baru, melainkan pula mencakup pendekatan baru,
perluasan maupun peningkatan kualitas pada inovasi pelayanan publik
yang ada. Motivasi untuk melakukan inovasi tidak harus pada
kompetisi, melainkan dahulunya bekerja dengan Standar pelayanan,
SOP, SPM maka saat ini dilakukan pengembangan pola pelayanan
publik dengan melakukan inovasi pelayanan.
8
Walaupun korban belum menunjukkan tanda – tanda pembusukan,
namun ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa korban sudah
mati biologis, yaitu : 1. Kebiruan lembam mayat 2. Kekakuan rigor
mortis 3. Pembusukan yang nyata, terutama bau busuk. Bila terlihat
tanda – tanda kematian biologis, RJP tidak perlu dilakukan lagi.
9
merupakan tindakan yang dilakukan untuk menggantikan kerja jantung
dan paru sehingga fungsi vital organ dapat dipertahankan (Keisuke
Kaneishi, 2015). Ada berbagai alasan diperbolehkannya berhenti RJP,
yaitu tampaknya tanda kematian irreversibel, penolong kelelahan maupun
Do Not Attempt Resuscitation (DNAR) atau DNR yang dilakukan atas
permintaan klien maupun keluarga klien (James W. Jones, 2008).
Permintaan untuk Do-not-resuscitate (DNR) daapt ditemukan pada klien
penyakit kronis maupun komplikasi yang memiliki tingkat harapan hidup
rendah (Maxwell, Lobato, Cason, & Won, 2014). DNR sering berlaku pada
klien lanjut usia yang memiliki penyakit yang cukup serius (James Downar,
2013).
Do not resuscitate (DNR) adalah suatu instruksi pilihan yang diberikan
oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk tidak melakukan
resusitasi pada pasien yang mengalami cardiac arrest. DNR diberikan
pada pasien ketika seorang pasien memiliki kemungkinan yang kecil untuk
dapat bertahan hidup atau karena permintaan pasien secara pribadi untuk
tidak diberikan tindakan DNR. Tidak ada standar tertentu / panduan
(guideline) bagi tenaga kesehatan sebagai acuan dalam pengambilan
keputusan DNR pada pasien dan aturan pemerintah pun juga tidak
mengatur tentang pengambilan keputusan DNR pada seorang pasien.
Beberapa rumah sakit memiliki beberapa aturan terkait pasien yang perlu
mendapatkan intruksi DNR selama proses perawatan di rumah sakit.
Keputusan pengambilan keputusan DNR perlu dilakukan oleh seorang
konsultan yang akan melakukan pendekatan pada pasien dan keluarga
pasien melalui beberapa aspek seperti pendekatan holistik terhadap
harapan pasien serta nilai budaya yang dianut pasien dan keluarga.
Pembuatan keputusan etik terkait DNR memiliki proses yang cukup rumit
karena tenaga kesehatan harus berhadapan dengan dilema etik
pengambilan keputusan terkait kehidupan seorang pasien (Fritz et al.,
2010). DNR sendiri mendapatkan perhatian khusus di rumah sakit karena
permintaan klien maupun keluarga harus dihormati. Beberapa rumah sakit
yang terakreditasi JCI (Joint Commision International) memberikan tanda
khusus klien berstatus DNR menggunakan tanda berwarna ungu (Yang et
al., 2019). Hal tersebut dilakukan untuk menghargai pilihan klien. Perawat
dapat menjadikan status DNR sebagai sebuah dilema. DNR merupakan
tindakan yang membuat seseorang dalam kondisi kritis atau gawat
dibiarkan begitu saja tanpa penanganan profesional. Seseorang yang
dalam keadaan demikian dapat menjadi lebih tersiksa sehingga
bertentangan dengan nilai yang dianut perawat berupa menghargai
kehidupan manusia.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keperawatan merupakan suatu profesi dengan fokus pelayanan
human care, hal ini menjadikan profesi keperawatan memiliki frekuensi
hubungan dengan pasien menjadi lebih sering dibandingkan dengan
profesi kesehatan lainnya. Keperawatan juga merupakan salah satu
profesi yang berkecimpung untuk kesejahteraan manusia dengan prinsip
teori Henderson bahwa perawat memiliki fungsi yang unik yakni selalu
membantu individu yang sakit maupun yang tidak sakit sehingga mereka
mampu menjalankan fungsi hidupnya sehari – hari (Aini, 2018).
B. Saran
Diharapkan bagi para pembaca, terutama mahasiswa lebih sering
mempraktikannya secara langsung.
11
DAFTAR PUSTAKA
Adi Wijaya (2022) Dilema Etik Dalam Penatalaksanaan “Do Not Resusitasion”
(Dnr) Di Indonesia. Etik Keperawatan/Issued 20/III/2022/1-10
Etty Indriati, 2003 dalam jurnal berkala Ilmu kedokteran dengan judul Mati:
tinjauan klinis dan antropologi forensik.
Margaretha Indah Wijilestari, dkk (2022) Faktor Yang Mempengaruhi
Keputusan Do Not Resuscitate (Dnr) Dan Konsekuensi Hukumnya
Yoga Yudhanto, dkk (2020) Analisis Pelaksanaan Program SPGDT Di
Indonesia. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia p-ISSN: 1412-4920
123dok. Pengertian Mati Klinis dan Mati Biologis Tanda Kematian Biologis
Pemijatan Jantung Langkah-langkah sebelum Melakukan RJP
(https://text-id.123dok.com/document/wye3xw7q7-pengertian-mati-klinis-
dan-mati-biologis-tanda-kematian-biologis-pemijatan-jantung-langkah-
langkah-sebelum-melakukan-rjp.html)
12