Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH

BANTUAN HIDUP DASAR, SISTEM PENANGGULANGAN


GAWAT DARURAT TERPADU (SPGDT), PERBEDAAN MATI
KLINIS DAN MATI BIOLOGIS, DAN DO NOT RESUSCITATE
(DNR)

SARMILA
NH0120047

STIKES NANI HASANUDDIN


MAKASSAR TAHUN 2023
DAFTAR ISI
Daftar Isi..............................................................................................................
Kata Pengantar...................................................................................................
BAB I Pendahuluan......................................................................................
BAB II Tinjauan Pustaka................................................................................
A. Bantuan Hidup Dasar...............................................................................
B. Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT).......................
C. Perbedaan Mati Klinis dan Mati Biologis..................................................
D. Do not resuscitate (DNR)..........................................................................
BAB III Simpulan............................................................................................
Daftar Pustaka

i
Kata Pengantar

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang
Bantuan Hidup Dasar, Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu
(SPGDT), Perbedaan Mati Klinis dan Mati Biologis, dan Do not resuscitate
(DNR).

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari
berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat


kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam
karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan
manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Makassar, 15 April 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bantuan hidup dasar harus segera dilaksanakan oleh penolong apabila
dalam penilaian dini penderita ditemukan salah satu dari masalah antara
lain: tersumbatnya jalan nafas, tidak menemukan adanya nafas serta tidak
ditemukan adanya tanda-tanda nadi. Seperti diketahui bahwa tujuan dari
P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) salah satunya ialah
menyelamatkan jiwa penderita sehingga dapat selamat dari kematian.
Tindakan bantuan hidup dasar umumnya dilakukan oleh paramedic,
namun dinegara maju seperti amerika, kanada, dan inggris dapat
dilakukan oleh orang awam yang pernah mendapatkan pelatihan
sebelumnya. Keberhasilan pertolongan yang dilakukan, ditentukan oleh
kecepatan dalam memberikan tindakan awal bantuan hidup jantung dasar,
membuat para ahli berfikir bagaimana cara untuk melakukan suatu
tindakan bantuan hidup dasar yang efektif serta melatih sebanyak
mungkin orang awam dalam hal ini siswa sekolah untuk melakukan
tindakan tersebut secara baik dan benar.
Pengetahuan bantuan hidup dasar dapat membentuk motivasi dalam
bersikap dan berperilaku dalam menolong siswa. Rendahnya
pengetahuan dapat berdampak pada munculnya bentuk-bentuk sikap dan
perilaku prososial terhadap orang disekitarnya. Sedangkan sebagai
mahkluk sosial hendaknya senantiasa memberikan bantuan kepada orang
lain yang membutuhkan. Penilaian yang diharapkan adalah mampu
meningkatkan menjadi lebih baik pengetahuan dan motivasi siswa dalam
menolong terkait bantuan hidup dasar (BHD).
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan dasar
yang wajib diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Hal ini selarasa
dengan hak dari masyarakat untuk menerima pelayanan kesehatan sesuai
dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu
pihak penyedia pelayanan dituntut untuk memberikan dan
mengembangkan serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
sehingga pihak penerima pelayanan menerima layanan dengan puas.
Salah satu layanan di bidang kesehatan yaitu layanan kegawatdaruratan
medis. Di Indonesia sendiri layanan ini disebut sebagai Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) atau Public Safety
Center 119.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 tahun 2016 tentang Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) yang bertujuan
meningkatkan akses dan mutu pelayanan kegawatdaruratan dan
mempercepat waktu penanganan (respon time) korban atau pasien gawat
darurat serta menurunkan angka kematian dan kecacatan. SPGDT adalah

1
sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari
unsur pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit dan antar
Rumah Sakit. SPGDT berpedoman pada respon cepat yang menekankan
time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh
masyarakat, tenaga kesehatan, pelayanan ambulans gawat darurat dan
sistem komunikasi.
Dengan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT),
masyarakat dapat menelpon call center 119 untuk mendapatkan layanan
informasi mengenai rumah sakit mana yang paling siap dalam
memberikan layanan kedaruratan, advis untuk pertolongan pertama dan
menggerakan angkutan gawat darurat ambulan rumah sakit untuk
penjemputan pasien. Petugas call centre adalah dokter dan perawat yang
mempunyai kompetensi gawat darurat. SPGDT 119 bertujuan
memberikan pertolongan pertama kasus kegawatdaruratan medis,
memberikan bantuan rujukan ke Rumah Sakit yang tersedia,
mengkoordinasikan pelayanan informasi penanganan medis yang terjadi
pada pasien sebelum mendapatkan pelayanan medis di Rumah Sakit.
Dalam kondisi ini perawat dihadapkan pada suatu kondisi dengan dua
pilihan yakni segera melakukan atau tidak dan berhenti melakukan
Cardiac pulmonal resusitasion (CPR) (Robinson & Lachman, 2018).
Di Indonesia, tidak ada peraturan khusus yang mengatur bagaimana
DNR dilakukan. UUD 1945, Pasal 28 A perubahan kedua, mengatur
bahwa "setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan
hidupnya." Hal ini diperkuat oleh Pasal 39 UndangUndang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa “praktik
kedokteran dilaksanakan dalam upaya memelihara kesehatan, mencegah
penyakit, meningkatkan kesehatan, mengobati penyakit, dan memulihkan
kesehatan berdasarkan kesepakatan antara seorang dokter atau dokter
gigi dan seorang pasien." (RI, 2004). Setiap tindakan medis harus
dilakukan dengan persetujuan pasien setelah dokter memberikan
penjelasan yang cukup. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran menyatakan demikian. Dalam keadaan
darurat, persetujuan untuk tindakan sering diperlukan dalam hubungannya
dengan pemberian intervensi penyelamatan jiwa. Menurut pasal 17 Kode
Etik Kedokteran Indonesia, “Setiap dokter wajib memberikan pertolongan
darurat sebagai semacam kewajiban kemanusiaan, kecuali ia merasa ada
orang lain yang siap dan berkompeten untuk memberikannya (RI, 2004).

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui Bantuan Hidup Dasar
2. Untuk mengetahui Sistem Penanggulangan Kegawatdaruratan
Terpadu
3. Untuk mengetahuai perbedaan mati klini dan mati biologis
4. Untuk mengetahui DNR (Do Not Resuscitation)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Bantuan Hidup Dasar


Dalam memberikan bantuan hidup dasar dikenal 3 (tiga) tahap utama
yaitu : penguasaan jalan nafas, bantuan pernafasan dan bantuan sirkulasi
darah yang lebih dikenal juga dengan istilah pijatan jantung luar dan
penghentian perdarahan besar.
1. Penguasaan Jalan Nafas.
a. Membebaskan Jalan Nafas.
Pada penderita dimana tidak ditemukan adanya pernafasan,
maka harus dipastikan penolong memeriksa jalan nafas apakah
terdapat benda asing ataupun terdapat lidah penderita yang
menghalangi jalan nafas.

1 Teknik angkat dagu tekan dahi:


Teknik ini dilakukan pada penderita
yang tidak mengalami cedera kepala,
leher maupun tulang belakang

2 Teknik jaw thrus maneuver


(mendorong rahang bawah): Teknik
ini digunakan pada penderita yang
mengalami cedera kepala, leher
maupun tulang belakang.

b. Membersihkan Jalan Nafas.

1 Teknik sapuan jari: Teknik ini hanya


digunakan pada penderita yang tidak
respon / tidak sadar untuk membersihkan
benda asing yang masuk ke jalan nafas
penderita. Jari telunjuk ditekuk seperti
kait untuk mengambil benda asing yang
menghalangi jalan nafas.

2 Posisi pemulihan: Bila penderita dapat


bernafas dengan baik dan tidak
ditemukan adanya cedera leher maupun

3
tulang belakang. Posisi penderita
dimiringkan menyerupai posisi tidur
miring.

c. Sumbatan Jalan Nafas.


Sumbatan jalan nafas umumnya terjadi pada saluran nafas
bagian bawah yaitu bagian bawah laring (tenggorokan) sampai
lanjutannya. Umumnya sumbatan jalan nafas pada penderita
respon/sadar ialah karena makanan dan benda asing lainnya,
sedangkan pada penderita tidak respon / tidak sadar ialah lidah
yang menekuk ke belakang. Untuk mengatasinya umumnya
menggunakan teknik heimlich maneuver (hentakan perut-dada).
1) Heimlich maneuver pada penderita respon / sadar

2) Heimlich maneuver penderita tidak respon / tidak sadar.

3) Heimlich maneuver pada penderita kegemukan atau wanita hamil


yang respon / sadar:

4) Heimlich maneuver pada penderita kegemukan atau wanita hamil


yang tidak respon / tidak sadar: Langkahnya sama dengan
heimlich maneuver pada penderita tidak respon / tidak sadar di
atas namum posisi penolong berada di samping penderita dan
posisi tumit tangan pada pertengahan tulang dada.

5) Bantuan Pernafasan:
a) Menggunakan mulut penolong :
 Mulut ke masker RJP (Resusitasi Jantung Paru).
 Mulut ke APD (Alat Pelindung Diri).
 Mulut ke mulut ataupun hidung.

4
b) Menggunakan alat bantu nafas : menggunakan kantung
masker berkatub.
Memberikan bantuan nafas kepada penderita bagi penolong
bukan tanpa resiko. Terdapat resiko yang mungkin dialami
penolong antara lain : penyebaran penyakit, kontaminasi bahan
kimia dan muntahan penderita. Langkah-langkah dalam
memberikan bantuan nafas kepada penderita terdeteksi tidak
terdapat nafas antara lain :
 Pastikan jalan nafas terbuka pada penderita.
 Jika penolong menggunakan APD ataupun alat bantu
pastikan alat tersebut tidak bocor (tertutup rapat).
 Pastikan juga bantuan nafas yang dihembuskan tidak
bocor melalui hidung penderita dengan cara mencapit
lubang hidung penderita.
 Berikan 2 (dua) kali bantuan nafas awal (1,5-2 detik
pada manusia dewasa). Tiupan/hembusan merata dan
cukup (dada penderita bergerak naik).
 Periksa nadi penderita selama 5-10 detik dan pastikan
nadi penderita masih terdeteksi.
 Lanjutkan pemberian nafas buatan sesuai dengan
frekuensi pemberian bantuan nafas (dewasa : 10-
12 kali bantuan nafas per menit).
 Apabila bantuan nafas berhasil dengan baik akan
ditandai dengan bergerak naik turunnya dada
penderita.
6) Bantuan Sirkulasi
Tindakan paling penting dalam bantuan sirkulasi ialah pijatan
jantung luar. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan efek
pompa jantung yang dinilai cukup untuk membantu sirkulasi
darah penderita pada saat kondisi penderita mati klinis.
Kedalaman penekanan pijatan jantung luar pada manusia
dewasa ialah 4-5 cm ke dalam rongga dada.

Resusitasi Jantung Paru dilaksanakan dengan memastikan bahwa


penderita tidak ada respon / tidak sadar, tidak terdapat pernafasan dan tidak
terdapat denyut nadi. Pada manusia dewasa resusitasi jantung paru dikenal 2
(dua) rasio, yaitu rasio 15 kali kompresi dada berbanding 2 kali tiupan bantuan
nafas (15:2) apabila dilaksanakan oleh satu penolong, serta rasio 5:1 per
siklus apabila dilaksanakan oleh 2 (dua) orang penolong.
Teknik kompresi dada pada manusia dewasa :

a) Posisikan penderita berbaring telentang pada bidang yang keras


(misal : lantai).

5
b) Posisikan penolong berada di samping penderita.
c) Temukan pertemuan lengkung tulang iga kanan dan kiri (ulu

hati).
d) Tentukan titik pijatan (kira-kira 2 ruas jari ke arah dada atas dari titik
pertemuan lengkung tulang iga kanan dan kiri)
e) Posisikan salah satu tumit tangan di titik pijat, tumit tangan lainnya
diletakkan di atasnya untuk menopang.
f) Posisikan bahu penolong tegak lurus dengan tumit tangan.
g) Lakukan pijatan jantung luar.
h) Resusitasi jantung paru dengan satu orang penolong :
 Tiupkan bantuan nafas awal 2 (dua) kali.
 Jika penderita bernafas dan nadi berdenyut maka posisikan penderita
pada posisi pemulihan.
 Apabila masih belum terdapat nafas dan nadi, maka lakukan
pijatan jantung sebanyak 15 kali dengan kecepatan pijatan 80-
100 kali per menit.
 Berikan bantuan nafas lagi sebanyak 2 (dua) kali.
 Lakukan terus 15 kali pijatan jantung dan 2 kali bantuan nafas sampai
4 siklus.
 Periksa kembali nadi dan nafas penderita, apabila terdapat nadi
namun belum terdapat nafas maka teruskan bantuan nafas 10-12
kali per menit.

Resusitasi jantung paru 2 (dua) orang penolong :

 Posisi penolong saling berseberangan.


 Lakukan bantuan nafas awal sebanyak 2 (dua) kali.
 Lakukan pijatan jantung luar sebanyak 5 (lima) kali dengan
kecepatan pijatan 80-100 kali per menit.
 Berikan nafas bantuan sebanyak 1 (satu) kali.
 Lakukan 5 pijatan jantung dan 1 nafas bantuan sampai 12 siklus
 Periksa kembali nadi dan nafas penderita, apabila terdapat nadi
namun belum terdapat nafas maka teruskan bantuan nafas 10-12
kali per menit.

Dalam melaksanakan resusitasi jantung paru pun bukan tanpa


resiko bagi penderita, resiko-resiko yang mungkin dialami penderita

6
antara lain : patah tulang dada/iga, kebocoran paru-paru, perdarahan
dalam pada dada/paru-paru, memar paru dan robekan pada hati/limpa.
Maka bagi penolong perlu berhati-hati.

B. Sistem Penanggulangan Kegawatdaruratan Terpadu


Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT), adalah
sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari
unsur, pelayanan pra rumah sakit, pelayanan di rumah sakit dan antar
rumah sakit. Pelayanan berpedoman pada respon cepat yang
menekankan pada time saving is life and limb saving yang melibatkan
pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis,
pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi.
SPGDT dibagi menjadi 2 yakni :
1. SPGDT sehari-hari yaitu rangkaian upaya pelayanan gawat darurat
yang saling terkait yang dilaksanakan ditingkat pra rumah sakit, di
rumah sakit, antar rumah sakit dan terjalin dalam suatu sistem,
bertujuan agar korban/pasien tetap hidup
2. SPGDT bencana adalah kerja sama antar unit pelayanan pra rumah
sakit dan rumah sakit dalam bentuk pelayanan gawat darurat terpadu
sebagai khususnya pada terjadinya korban massal yang memerlukan
peningkatan (eskalasi) kegiatan pelayanan sehari-hari. Bertujuan untuk
menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya.
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu yang selanjutnya
disingkat SPGDT merupakan mekanisme pelayanan Korban/Pasien
Gawat Darurat yang terintegrasi dan berbasis call center dengan
menggunakan kode akses telekomunikasi 119 dengan melibatkan
masyarakat. Kode Akses Telekomunikasi 119, yang selanjutnya disebut
Call Center 119 adalah suatu desain sistem dan teknologi menggunakan
konsep pusat panggilan terintegrasi yang merupakan layanan berbasis
jaringan telekomunikasi khusus di bidang kesehatan. Layanan 119
merupakan program pemerintah.
Peluncuran 119 sejalan dengan agenda ke lima Nawa Cita yaitu
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, sehingga dalam
perjalanannya Kementerian Kesehatan terus berupaya memberikan
pelayanan terbaik dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sehat. Salah satu caranya adalah melalui Sistem Penanggulangan Gawat
Darurat Terpadu (SPGDT). Layanan 119 merupakan kolaborasi nasional
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, dimana terjadi
integrasi layanan antara Pusat Komando Nasional atau National
Command Center (NCC) yang berada di Kantor Kementerian Kesehatan,
Jakarta, dengan Public Safety Center (PSC) yang berada di tiap

7
Kabupaten/Kota. Pelayanan medik yang diberikan oleh PSC 119 antara
lain: panduan tindakan awal melalui algoritma gawat darurat, mengirim
bantuan petugas dan ambulan, serta mengirim pasien ke fasilitas layanan
kesehatan terdekat. NCC yang akan menggabungkan dan
mengkoordinasikan PSC-PSC yang ada di daerah karena semua
panggilan 119 akan masuk ke NCC. Untuk daerah yang sudah memiliki
PSC panggilan akan dijawab langsung melalui PSC didaerah tersebut,
sedangkan bagi daerah yang belum memiliki PSC, sementara waktu akan
coba dibantu melalui operator yang ada di NCC
1. Waktu Tanggap
Response time (waktu tanggap ) adalah kecepatan dalam penanganan
pasien dihitung sejak pasien datang sampai dilakukan penanganan.
Penanganan ini berkaitan dengan adanya beberapa penyakit yang
dianggap penyakit gawat darurat dan penyumbang kematian terbanyak
di dunia. Klasifikasi prioritas berdasarkan kegawatdaruratan dapat
dilakukan agar tindakan bisa segera.
2. Inovasi Pelayanan
Inovasi pelayanan publik adalah terobosan jenis pelayanan publik baik
yang merupakan gagasan atau ide kreatif orisinal dan/atau
adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Inovasi ini tidak harus berupa
suatu penemuan baru, melainkan pula mencakup pendekatan baru,
perluasan maupun peningkatan kualitas pada inovasi pelayanan publik
yang ada. Motivasi untuk melakukan inovasi tidak harus pada
kompetisi, melainkan dahulunya bekerja dengan Standar pelayanan,
SOP, SPM maka saat ini dilakukan pengembangan pola pelayanan
publik dengan melakukan inovasi pelayanan.

C. Perbedaan Mati Klini dan Mati Biologis


1. Mati Klinis dinyatakan mati secara klinis apabila berhenti bernapas dan
jantung berhenti berdenyut. Mati klinis dapat bersifat reversibel (dapat
dipulihkan). Penderita mati klinis mempunyai waktu 4-6 menit untuk
dilakukan resusitasi tanpa kerusakan otak..Pada keadaan ini masih
dapat diusahakan agar korban hidup kembali apabila dilakukan RJP
2. Sedangkan mati biologis berarti kematian sel dimulai terutama sel otak
& bersifat ireversibel (tidak bisa dipulihkan) yang biasa terjadi 8-10
menit dari henti jantung Pada keadaan ini korban tidak dapat ditolong
lagi. Dengan demikian dalam keadaan mati klinis perlu dilakukan
tindakan cepat agar tidak menjadi mati biologis. Tindakan yang
dilakukan secara umum di sebut Universita Sumatera Utara bantuan
hidup dasar yaitu segala hal yang bersangkutan dengan Airway,
Breathng, dan Circulation.

8
Walaupun korban belum menunjukkan tanda – tanda pembusukan,
namun ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa korban sudah
mati biologis, yaitu : 1. Kebiruan lembam mayat 2. Kekakuan rigor
mortis 3. Pembusukan yang nyata, terutama bau busuk. Bila terlihat
tanda – tanda kematian biologis, RJP tidak perlu dilakukan lagi.

D. DNR (Do Not Resuscitation)


Saat ini, DNR diatur oleh tidak adanya kepastian hukum. Pasal 1 ayat
(1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Penetapan Kematian dan Penggunaan Organ menyatakan bahwa praktik
kedokteran dilaksanakan atas dasar kesepakatan antara dokter atau
dokter gigi dengan pasien dalam rangka memelihara, mencegah,
meningkatkan, mengobati, dan memulihkan kesehatan. DNR dapat dilihat
sebagai bentuk euthanasia dalam hal ini (RI, 2004). Meskipun kedudukan
hukumnya tidak jelas, euthanasia dapat dikenakan KHUP pasal 344 bab
XIX, yang mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa (Mangara & Ns,
2022).
Saat ini juga tidak diatur apa yang terjadi jika pasien memilih DNR
bahkan sebelum memulai pengobatan. Jika tindakan langsung diambil,
pasien yang membuat keputusan di perawatan atau fasilitas kesehatan
sebelumnya tidak akan dapat membuat penilaian aktivitas sebelumnya.
Keputusan DNR harus diambil dengan hati-hati dalam hal implikasi
hukum. Ada kesepakatan tentang kondisi pasien dan pentingnya kualitas
hidup pasien. Dokumentasi putusan ini dalam bentuk khusus juga
diperlukan sebagai dokumentasi apabila terjadi permasalahan hukum di
kemudian hari (Perangin-angin et al., 2021).
Dalam praktiknya, penting untuk diingat bahwa permintaan DNR pada
dasarnya adalah permintaan dari pasien atas namanya. Tidak ada
ketentuan apakah suatu keluarga dapat meminta keputusan DNR dari
kerabatnya. Semua aspek persetujuan DNR harus dipertimbangkan, yaitu
keuntungan dan kerugian dari upaya penyelamatan. DNR hanya
digunakan untuk melindungi otonomi pasien dan menjaga mereka dari
penderitaan lebih lanjut. Penilaian dokter terhadap keberhasilan terapi
tidak selalu menjadi dasar dilakukannya DNR oleh dokter. Masukan dari
pasien dan keluarganya sangat penting. Keputusan keluarga lebih
diutamakan daripada pernyataan sepihak dokter tentang kesia-siaan
(Mangara & Ns, 2022). Keputusan DNR tidak kaku.
“Do Not Resuscitate” atau DNR merupakan suatu kondisi yang terjadi
ketika pihak klien menolak dilakukannya resusitasi untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. DNR dapat berasal dari keinginan klien maupun
permintaan keluarga pada klien yang tidak sadarkan diri (Cynthia M.A.
Geppert, 2011). Jenis resusitasi yang dilakukan pada umumnya resusitasi
jantung paru (RJP). Hadisman dalam bukunya menulis bahwa RJP

9
merupakan tindakan yang dilakukan untuk menggantikan kerja jantung
dan paru sehingga fungsi vital organ dapat dipertahankan (Keisuke
Kaneishi, 2015). Ada berbagai alasan diperbolehkannya berhenti RJP,
yaitu tampaknya tanda kematian irreversibel, penolong kelelahan maupun
Do Not Attempt Resuscitation (DNAR) atau DNR yang dilakukan atas
permintaan klien maupun keluarga klien (James W. Jones, 2008).
Permintaan untuk Do-not-resuscitate (DNR) daapt ditemukan pada klien
penyakit kronis maupun komplikasi yang memiliki tingkat harapan hidup
rendah (Maxwell, Lobato, Cason, & Won, 2014). DNR sering berlaku pada
klien lanjut usia yang memiliki penyakit yang cukup serius (James Downar,
2013).
Do not resuscitate (DNR) adalah suatu instruksi pilihan yang diberikan
oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk tidak melakukan
resusitasi pada pasien yang mengalami cardiac arrest. DNR diberikan
pada pasien ketika seorang pasien memiliki kemungkinan yang kecil untuk
dapat bertahan hidup atau karena permintaan pasien secara pribadi untuk
tidak diberikan tindakan DNR. Tidak ada standar tertentu / panduan
(guideline) bagi tenaga kesehatan sebagai acuan dalam pengambilan
keputusan DNR pada pasien dan aturan pemerintah pun juga tidak
mengatur tentang pengambilan keputusan DNR pada seorang pasien.
Beberapa rumah sakit memiliki beberapa aturan terkait pasien yang perlu
mendapatkan intruksi DNR selama proses perawatan di rumah sakit.
Keputusan pengambilan keputusan DNR perlu dilakukan oleh seorang
konsultan yang akan melakukan pendekatan pada pasien dan keluarga
pasien melalui beberapa aspek seperti pendekatan holistik terhadap
harapan pasien serta nilai budaya yang dianut pasien dan keluarga.
Pembuatan keputusan etik terkait DNR memiliki proses yang cukup rumit
karena tenaga kesehatan harus berhadapan dengan dilema etik
pengambilan keputusan terkait kehidupan seorang pasien (Fritz et al.,
2010). DNR sendiri mendapatkan perhatian khusus di rumah sakit karena
permintaan klien maupun keluarga harus dihormati. Beberapa rumah sakit
yang terakreditasi JCI (Joint Commision International) memberikan tanda
khusus klien berstatus DNR menggunakan tanda berwarna ungu (Yang et
al., 2019). Hal tersebut dilakukan untuk menghargai pilihan klien. Perawat
dapat menjadikan status DNR sebagai sebuah dilema. DNR merupakan
tindakan yang membuat seseorang dalam kondisi kritis atau gawat
dibiarkan begitu saja tanpa penanganan profesional. Seseorang yang
dalam keadaan demikian dapat menjadi lebih tersiksa sehingga
bertentangan dengan nilai yang dianut perawat berupa menghargai
kehidupan manusia.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keperawatan merupakan suatu profesi dengan fokus pelayanan
human care, hal ini menjadikan profesi keperawatan memiliki frekuensi
hubungan dengan pasien menjadi lebih sering dibandingkan dengan
profesi kesehatan lainnya. Keperawatan juga merupakan salah satu
profesi yang berkecimpung untuk kesejahteraan manusia dengan prinsip
teori Henderson bahwa perawat memiliki fungsi yang unik yakni selalu
membantu individu yang sakit maupun yang tidak sakit sehingga mereka
mampu menjalankan fungsi hidupnya sehari – hari (Aini, 2018).
B. Saran
Diharapkan bagi para pembaca, terutama mahasiswa lebih sering
mempraktikannya secara langsung.

11
DAFTAR PUSTAKA

Adi Wijaya (2022) Dilema Etik Dalam Penatalaksanaan “Do Not Resusitasion”
(Dnr) Di Indonesia. Etik Keperawatan/Issued 20/III/2022/1-10
Etty Indriati, 2003 dalam jurnal berkala Ilmu kedokteran dengan judul Mati:
tinjauan klinis dan antropologi forensik.
Margaretha Indah Wijilestari, dkk (2022) Faktor Yang Mempengaruhi
Keputusan Do Not Resuscitate (Dnr) Dan Konsekuensi Hukumnya
Yoga Yudhanto, dkk (2020) Analisis Pelaksanaan Program SPGDT Di
Indonesia. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia p-ISSN: 1412-4920
123dok. Pengertian Mati Klinis dan Mati Biologis Tanda Kematian Biologis
Pemijatan Jantung Langkah-langkah sebelum Melakukan RJP
(https://text-id.123dok.com/document/wye3xw7q7-pengertian-mati-klinis-
dan-mati-biologis-tanda-kematian-biologis-pemijatan-jantung-langkah-
langkah-sebelum-melakukan-rjp.html)

12

Anda mungkin juga menyukai