Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEPERAWATAN

GAWAT DARURAT
Konsep dan Prinsip pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar
(Tindakan resusitasi jantung paru)

KELOMPOK VII :

 DIKA ANGRAINI
 NOVIA SAFITRI
 PUJI RAHAYU
 SACHIAZAHRA BALQIS
 SAUM INDAYANA
 TRY ARMA AYU

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


JURUSAN KEPERAWATAN
SARJANA TERAPAN TINGKAT IV

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan Rahmat serta karunia-
Nya kepada saya sehingga saya bisa berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep dan
Prinsip pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar (Tindakan resusitasi jantung paru)”.

Saya mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sekalian serta dosen mata kuliah
manajemen keperawatan yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Sehingga,
makalah ini selesai dengan tepat waktu.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER..........................................................................................................................

KATA PENGANTAR...................................................................................................2

DAFTAR ISI..................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................4

1.1 Latar Belakang........................................................................................................4

1.2 Rumusan masalah...................................................................................................5

BAB II TINJAUAN TEORITIS..................................................................................6

2.1 Pengertian................................................................................................................6

2.2 Resutasi jantung paru ............................................................................................7

2.3 Teknik resutasi jantung paru ...............................................................................12

2.4 Pelatihan resutasi jantung......................................................................................20

BAB III PENUTUP.......................................................................................................23

3.1 Kesimpulan..............................................................................................................23

3.2Saran.........................................................................................................................23

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan darurat untuk mencegah
kematian biologis dengan tujuan mengembalikan keadaan henti jantung dan napas
(kematian klinis) ke fungsi yang optimal (Muttaqin, 2009). RJP terdiri dari pemberian
bantuan sirkulasi dan napas, dan merupakan terapi umum, diterapkan pada hampir semua
kasus henti jantung atau napas. kompresi dan ventilasi merupakan tindakan yang efektif
dalam melakukan RJP. Orang awam dan orang terlatih dalam bidang kesehatanpun dapat
melakukan tindakan RJP (Kaliammah, 2013 ). Kasus kegawatdaruratan henti jantung
merupakan suatu kondisi dimana jantung kehilangan fungsi secara mendadak dan sangat
tiba-tiba ditandai dengan terjadinya henti nafas dan jantung. Kondisi kegawatdaruratan
dapat terjadi dimana saja dan pada siapa saja dan merupakan kondisi kegawatdaruratan
yang dapat mengancam jiwa yang membutuhkan penanganan.
Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan oleh
Balitbangkes pada tahun 2013 bahwa prevalensi nasional penyakit jantung koroner sebesar
1,5%, sedangkan prevalensi untuk kejadian henti jantung belum didapatkan. Namun hasil
riset Kesehatan Dasar (2007) menunjukkan data bahwa kematian yang disebabkan oleh
penyakit jantung mendapatkan porsi 4,6% dari 4.552 mortalitas dalam 3 tahun. Sedangkan
data yang diperoleh WHO pada tahun 2002 di Indonesia sudah terjadi 220 372 kasus
kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung yang memiliki resiko tinggi henti jantung
mendadak.
Pengetahuan RJP dianggap dasar keterampilan untuk perawat (Parajulee, 2011).
Keterampilan RJP sangat penting sebab didalamnya diajarkan bagaimana teknik dasar
untuk menyelamatkan korban dari berbagai musibah sehari-hari yang biasa dijumpai
(Fajarwati, 2012). Sesuai dengan AHA 2015 Guidelines for Cardiopulmonary Resucitation

4
and Emergency Cardiovascular Care, saat ini RJP dimulai kompresi dada dengan urutan
C-A-B. Namun, pedoman tersebut juga merekomendasikan individualisasi urutan
berdasarkan etiologi dari henti jantung. RJP untuk korban tenggelam sebaiknya tetap
menggunakan pendekatan A-B-C mengingat sifat hipoksia dari henti jantung tersebut.
Korban hanya dengan henti nafas biasanya berespon setelah beberapa kali pemberian nafas
buatan

B. Perumusan Masalah
Dari hasil observasi dan wawancara peneliti bahwa perawat di ruang IGD dan ICU
hanya sekedar tahu tentang RJP dan pada saat perawat melakukan tindakan RJP belum
sesuai SPO (Standar Prosedur Oprasional).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan permasalahan
penelitian ini sebagai berikut “Adakah hubungan antara pengetahuan dengan tingkat
keterampilan perawat dalam melakukan resusitasi jantung paru (RJP).

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan pengetahuan dengan tingkat keterampilan perawat
dalam melakukan resusitasi jantung paru
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengetahuan perawat dalam melakukan resusitasi jantung paru.
b. Mengidentifikasi tingkat keterampilan perawat melakukan resusitasi jantung paru

5
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian
Pengetahuan merupakan seluruh pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang
dimiliki seorang individu yang merupakan hasil dari tahu dan proses pembelajaran,
serta terjadi setelah orang melakukan penginderaan (penglihatan, pendengaran, raba, rasa
dan penciuman) terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan mencakup adanya suatu
penalaran, penjelasan, dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu yang telah
dipelajarinya, termasuk praktek atau kemauan teknis dalam memecahkan berbagai
permasalahan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk sikap dan perilaku seseorang. Dengan adanya pengetahuan yang tinggi, sikap,
persepsi dan kebiasaan seseorang dapat berubah. Tindakan serta perilaku yang dilakukan
dengan menggunakan pengetahuan lebih baik daripada yang tidak didasari dengan
pengetahuan yang cukup

a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seorang individu, antara lain adalah:

1. Faktor Internal,Bersifat subjektif, merupakan dasar yang terdapat pada


diri seorang individu, dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan luar,
misalnya intelegensia, minat, kondisi fisik.
2. Faktor Eksternal,Faktor pengaruh dari lingkungan luar individu,

6
misalnya keluarga, masyarakat, sarana, adat istiadat daerah setempat,
pergaulan.
3. Faktor Pendekatan Belajar,Merupakan usaha untuk belajar dari
masing-masing individu, yang termasuk di dalamnya dipengaruhi oleh
strategi dan metode dalam pembelajaran.
Selain itu, indak indakann, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar,
serta informasi yang didapat juga mempengaruhi pengetahuan seorang individu

7
2.2 Resusitasi Jantung Paru
A. Pengertian
Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu cara dan tindakan darurat yang
dilakukan untuk menghidupkan serta memulihkan kembali keadaan henti nafas dan atau
henti jantung agar kembali dapat berfungsi secara optimal dan dapat menghindarkan dari
kematian. Kematian yang dimaksudkan di sini adalah kematian klinis yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan hilangnya nadi arteri karotis dan arteri femoralis, terhentinya
denyut jantung dan pembuluh darah, terhentinya pernafasan, serta terjadi gangguan atau
penurunan kesadaran yang selanjutnya akan diikuti oleh terjadinya kematian biologis
yaitu terjadinya kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki, empat menit setelah
terjadinya kematian klinis

8
Resusitasi Jantung Paru (RJP) memiliki tiga tahap, yaitu bantuan hidup dasar (basic life
support), bantuan hidup lanjut (advanced life support), dan bantuan hidup jangka panjang
(prolong life support). Langkah yang paling menentukan keberhasilan RJP dari rangkaian
tersebut adalah bantuan hidup dasar, yang termasuk dalam survey primer yang harus
dapat dilakukan oleh setiap orang. Kemudian dilanjutkan dengan survey sekunder yang
hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis terlatih yang telah mendapatkan
pelatihan mengenai bantuan hidup lanjut.

Namun tindakan resusitasi tidak dapat dilakukan pada beberapa keadaan, seperti:
kematian normal, keadaan henti jantung yang telah berlangsung selama lebih dari lima
menit dikarenakan kemungkinan telah terjadinya kerusakan otak permanen, stadium
terminal penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan, payah jantung refrakter, edema
paru refrakter, syok yang mendahului henti jantung, kelainan neurologi berat

9
2.3 Teknik Resusitasi Jantung Paru
Tindakan resusitasi jantung paru menurut Alkatiri dan Bakri (2007) dan Muhiman
(2004) dibagi dalam tiga fase, pada tiap fase terdapat tindakan pokok yang harus
dilakukan yang tersusun sesuai dengan abjad, yaitu:
1. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support)
a. Airway control : pembebasan jalan nafas agar tetap terbuka
b. Breathing support : mempertahankan ventilasi dan oksidasi paru
c. Circulation support : mempertahankan sirkulasi darah dengan mengadakan
bantuan sirkulasi buatan dengan melakukan pijat jantung
d. Bantuan Hidup Lanjut (Advance Life Support)
e. Drug and fluid : dilakukan pemberian obat dan cairan
f. Electrocardiography : dilakukan segera setelah pijat jantung untuk penentuan
irama jantung
g. Fibrilation treatment : dilakukan untuk mengatasi keadaan
fibrilasi ventrikel
h. Bantuan Hidup Jangka Panjang (Prolonged Life Support)
i. Ganging : polkamania penillion dan evaluating RJP dengan melakukan
pemeriksaan, penentuan penyebab dasar
penilaian pada pasien untuk mengetahui apakah pengobatan dapat diteruskan atau tidak.

g. Human mentation : penentuan ada tidaknya kerusakan serebral serta dilakukannya


tindakan resusitasi serebral untuk memulihkan fungsi dari sistem saraf pusat

h. Intensive care : penatalaksanaan selanjutnya untuk perawatan intensif jangka panjang.


Penjelasan dari ketiga fase tindakan resusitasi jantung paru tersebut adalah sebagai
berikut :
2.4. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support)
Bantuan hidup dasar merupakan tindakan pertolongan dasar pertama setelah terjadinya
henti jantung yang dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, membantu pernafasan,
serta mempertahankan sirkulasi darah pada penderita yang dilakukan tanpa menggunakan
alat bantu. Tujuan dari tindakan ini adalah pemberian oksigenisasi darurat secara efektif
pada organ vital untuk mempertahankan ventilasi paru serta distribusi darah oksigenisasi
ke jaringan dalam tubuh. Indikasi dilakukannya tindakan ini adalah henti nafas dan henti
jantung, pasien dapat ditemukan dalam keadaan, yaitu: tidak dapat ditemukan denyut
nadi tetapi masih ada pernafasan, denyut nadi ada tetapi pernafasan tidak didapatkan,
atau keadaaan
tidak didapatkan baik denyut nadi maupun pernafasan (Alkatiri et al., 2007; Latief et al.,
2007).
2.5 Airway control

Pada saat pertolongan pertama sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan jalan nafas pada pasien yang dapat mengganggu aliran nafas sehingga
menimbulkan terjadinya henti nafas.
Penyebab utama obstruksi pada jalan nafas adalah terjadinya penurunan atau
hilangnya tonus otot tenggorokan sehingga lidah akan jatuh ke belakang dan menyumbat
faring sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran, dimana keadaan ini
sering terjadi pada pasien dengan trauma kepala. Selain itu obstruksi pada jalan nafas
juga dapat disebabkan oleh adanya bekuan darah, muntahan, edema, dan trauma (fraktur
pada tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea).
Pada beberapa kasus, ditemukan pasien yang tersedak dan berada dalam keadaan
tidak sadar yang disertai dengan henti nafas, maka harus dilakukan pemeriksaan pada
saluran nafas dengan membuka mulut pasien untuk mengetahui ada tidaknya benda asing
yang harus segera dikeluarkan dengan menggunakan jari penolong. Apabila sumbatan
berupa cairan maka dapat dibersihkan dengan menggunakan jari telunjuk atau jari tengah
penolong yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan apabila sumbatan berupa benda
keras maka dapat diambil dengan menggunakan jari telunjuk penolong yang
dibengkokkan. Pasien yang masih dapat berbicara dianggap tidak memiliki gangguan
pada jalan nafas, tetapi tetap harus dilakukan penilaian ulang terhadap jalan nafas
(Achyar et al., 2011; Alkatiri et al., 2007; Dobson, 1994; IKABI 2004; Purwoko, 2012).
Pembebasan jalan nafas ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Head tild atau indakan ekstensi kepala dan angkat leher Tindakan ini dilakukan
dengan cara mengekstensikan leher sejauh mungkin dengan satu tangan yang lain
menyangga leher pasien. Tindakan ini dapat dilakukan apabila tidak terdapat
trauma pada leher (Latief et al., 2007; Muhiman et al., 2004).
2. Chin lift atau indakan angkat dagu
Tindakan ini dilakukan dengan menarik bagian dagu ke arah sentral dengan
meletakkan salah satu tangan pada bawah rahang. Tindakan ini tidak boleh dilakukan
dengan hiperekstensi tulang leher. Manuver ini berguna pada pasien dengan patah
tulang leher (Alkatiri et al., 2007; IKABI, 2004).
3. Jaw thrust atau indakan mendorong rahang bawah
Dilakukan dengan memegang sudut rahang bawah pada bagian kanan maupun kiri,
kemudian mendorongnya ke depan
4. Breathing support
Breathing support merupakan suatu usaha untuk memberikan ventilasi serta
oksigenisasi buatan yang dilakukan dengan memberikan tekanan inflasi secara terus-
menerus yang dapat dilakukan dengan ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung,
dan dari mulut ke stoma. Tindakan ini harus segera dilakukan setelah jalan nafas terbuka
dan bersih (Alkatiri et al., 2007; Muhiman et al., 2004).
Breathing support diawali dengan tindakan penilaian pernafasan untuk memastikan
pasien tidak bernafas. Penilaian ini dilakukan dengan melihat pergerakan dinding dada,
mendengarkan bunyi udara pernafasan ekshalasi, dan merasakan hembusan nafas pasien.
Oleh karena itu pada penolong harus mendekatkan telinga pada mulut dan hidung pasien
serta secara bersamaan tetap memastikan jalan nafas tetap terbuka. Penilaian
terhadap pernafasan ini harus dilakukan secepatnya dan tidak boleh melebihi sepuluh
detik (Mansjoer, 2009; Purwoko, 2012).
Langkah selanjutnya apabila didapatkan pasien tidak bernafas adalah memberikan
ventilasi yang dilakukan sebanyak dua kali hembusan nafas dalam waktu 1,5-2 detik tiap
hembusan. Dalam pemberian ventilasi ini volume udara yang diberikan lebih penting dari
pada irama, pada orang dewasa bantuan nafas diberikan dengan tiupan yang kuat,
sedangkan pada anak-anak dilakukan secara perlahan.
Selanjutnya segera dilakukan perabaan pada nadi karotis atau femoralis, apabila henti
nafas masih terjadi tetapi denyut nadi dapat teraba, maka diberikan ventilasi setiap 5
detik. Apabila masih terjadi henti nafas dan denyut nadi tidak teraba, maka akan
diberikan 2 kali ventilasi setelah dilakukan kompresi atau pijat jantung.
1. Mulut ke mulut
Dengan cara ini pemberian ventilasi dianggap paling efektif dan cepat. Penolong harus
mempertahankan posisi kepala dan leher pasien untuk mempertahankan jalan nafas,
menutup hidung pasien, serta mulut pasien harus tertutup oleh mulut penolong
sepenuhnya untuk menghindarkan terjadinya kebocoran. Sebelum melakukan ventilasi,
penolong harus mengambil nafas terlebih dahulu. Pemberian volume udara
harus sesuai karena volume dan laju udara yang berlebihan akan menyebabkan udara
memasuki lambung sehingga terjadi distensi lambung.

2. Mulut ke hidung
Ventilasi dengan cara ini dilakukan pada pasien dengan keadaan tidak dimungkinkannya
ventilasi melalui mulut ke mulut, seperti keadaan trismus atau adanya luka berat pada
daerah mulut. Dengan teknik ini, udara akan dihembuskan dari mulut penolong ke hidung
pasien dan mulut pasien harus tertutup untuk mencegah kebocoran udara.
3. Mulut ke stoma
Ventilasi dengan cara ini dilakukan pada pasien dengan laringotomi yang akan
menghubungkan langsung trakhea ke kulit (Alkatiri et al., 2007; Muhiman et al., 2004;
Purwoko, 2012).
a. Circulation support
Tindakan ini dilakukan untuk mempertahankan sirkulasi darah dalam tubuh agar
sel-sel saraf dalam otak tetap dapat hidup dengan melakukan kompresi atau pijat jantung.
Bantuan sirkulasi dapat dilakukan melalui pijat jantung luar yang dilakukan secara teratur
pada akhir inspirasi (Alkatiri et al., 2007).
Sebelum dilakukan pijat jantung luar, dilakukan penilaian denyut nadi arteri karotis yang
maksimal dilakukan selama 5 detik, selanjutnya pasien diposisikan terlentang pada
permukaan yang keras. Dengan penolong yang berlutut di samping pasien, kemudian
meletakkan salah satu telapak tangan di atas dinding dada pada tengah-tengah ujung
sternum dan tangan yang lain diletakkan di atas tangan pertama dengan jari-jari terkunci,
lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum pasien. Selanjutnya dilakukan pijat
jantung dengan tekanan vertikal hingga 4-5cm menekan sternum dengan kecepatan 80-
100 kali per menit. Setelah dilakukan kompresi harus diikuti dengan relaksasi dan waktu
antara lama kompresi harus sama dengan waktu relaksasi dengan tangan penolong yang
masih berada di atas permukaan dada pasien. Rasio bantuan sirkulasi dan ventilasi adalah
30 : 2 yang dilakukan selama 4 siklus dalam per menit. Tindakan pijat jantung luar yang
benar akan mencapai tekanan sistolik 60-80 mmHg dan tekanan diastolik yang sangat
rendah, dan akan menghasilkan curah jantung 10-25% dari normal (Alkatiri et al., 2007;
Mansjoer, 2009; Muhiman et al., 2004; Purwoko, 2012).
Tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila terdapat tanda- tanda:
 Pasien yang tidak bergerak, pupil berdilatasi, dan pernafasannya terhenti yang
diakibatkan adanya cedera kepala.
 Pasien yang telah mendapatkan resusitasi selama 30 menit tetapi menunjukkan
prognosis yang buruk, seperti: tidak bergerak dengan pupil berdilatasi, nadi
femoralis dan karotis yang tidak teraba, dan tidak didapatkannya pernafasan
(Dobson, 1994).

4. Bantuan Hidup Lanjut (Advance Life Support)


Bantuan hidup lanjut merupakan pertolongan lanjut yang diberikan setelah bantuan
hidup dasar yang bertujuan untuk memperbaiki serta mengembalikan ventilasi, sirkulasi
spontan, serta stabilitas sistem kardiovaskuler pasien. Tindakan bantuan hidup lanjut
membutuhkan obat-obat tertentu dan peralatan khusus, yang terdiri dari pemberian obat
dan cairan (drug and fluid), elektrokardiografi, dan terapi fibrilasi (fibrillation treatment)
(Alkatiri et al., 2007; Muhiman et al., 2004).
a. Drugs and fluid
Pemberian obat dan cairan dapat diberikan untuk memperbaiki sistem sirkulasi
spontan serta menstabilkannya. Pemberian obat dapat diberikan dengan pemasangan
infus yang dilakukan bersamaan dengan dimulainya tindakan resusitasi jantung paru.
Obat yang dapat langsung diberikan di antaranya adalah adrenalin yang dapat diberikan
secara intravena, intratrakeal, intrakardiak dan natrium bikarbonat yang diberikan secara
intravena. Masing-masing obat tersebut diberikan hingga timbul denyut nadi spontan atau
mati jantung. Pada pasien yang mengalami hipotensi, dapat diberikan dopamin atau
metaraminol yang dimasukkan ke dalam infus. Pada pasien yang mengalami asidosis
metabolik yang terjadi akibat henti jantung, diberikan natrium bikarbonat. Pasien dengan
asidosis respiratorik diberikan ventilasi yang adekuat (Alkatiri et al.,2007; Muhiman et
al., 2004).
b. Electrocardiography
Pemeriksaan dengan elektrokardiografi dilakukan untuk mengetahui jenis henti
jantung dan aritmia jantung yang dapat berupa fibrilasi ventrikel, asistol, atau kompleks
ventrikuler agonal (Alkatiri et al., 2007).
c. Fibrillation treatment
Terapi fibrilasi atau defibrilasi merupakan terapi yang diberikan dengan
menggunakan listrik yang bertujuan untuk membuat depolarisasi miokard semaksimal
mungkin sehingga dapat mengatasi gangguan irama jantung dan mengembalikan irama
normal jantung. Defibrilasi ini merupakan tindakan utama yang diberikan pada pasien
dengan henti jantung yang seringkali diakibatkan oleh fibrilasi ventrikel. Semakin lama
jarak terjadinya henti jantung dengan pemberian defibrilasi, prognosisnya akan semakin
buruk. Saat ini sudah terdapat alat defibrilasi yang dapat digunakan secara umum yang
dapat memberitahukan penolong apakah pasien membutuhkan terapi defibrilasi atau tidak
yang disebut dengan Automatic External Defibrilation (Achyar et al., 2011; Alkatiri et al.,
2007; Purwoko, 2012).

5. Bantuan Hidup Jangka Panjang (Prolonged Life Support)


Bantuan Hidup Jangka Panjang (BHJP) merupakan tindakan perawatan yang
dilaksanakan setelah tindakan resusitasi yang harus dilakukan hingga pasien sadar
kembali atau pertolongan dihentikan karena adanya keadaan yang sudah tidak dapat
disembuhkan atau

10
keadaan kematian serebral (Alkatiri et al., 2007). Bantuan hidup jangka panjang terdiri
dari:
a. Gauging
Gauging merupakan tindakan evaluasi dan pengobatan penyebab utama keadaan pasien
serta penilaian sejauh mana pasien dapat diselamatkan sehingga dapat menentukan usaha
pertolongan lanjutan yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi pasien.
b. Human mentation
Tindakan resusitasi otak dan sistem saraf untuk mencegah terjadinya kelainan neurologis
yang menetap yang dilakukan dengan cara hipotermi, yaitu dengan menurunkan suhu
tubuh hingga 32-330C pasca terjadinya hipoksia.
c. Intensive care
Perawatan jangka panjang pada pasien yang bergantung pada hasil resusitasi. Perawatan
ini dapat berupa usaha untuk mempertahankan homeostasis ekstrakranial dan
intrakranial. Pada pasien tanpa kelainan neurologis maka akan dilakukan observasi pada
sistem pernfasan, kardiovaskular, metabolik fungsi ginjal, dan hati. Bila pasien tetap
tidak sadar dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak untuk
mencegah
2.4 Pelatihan Resusitasi Jantung Paru
Di Indonesia, hingga saat ini pelatihan resusitasi jantung paru yang utamanya mengenai
bantuan hidup dasar bagi masyarakat umum bisa didapatkan melalui Palang Merah
Indonesia yang mengadakan pelatihan baik bagi masyarakat umum, masyarakat yang
bekerja pada layanan publik, maupun bagi para klinisi. Selain itu juga terdapat pelatihan
yang diadakan oleh Departemen Kesehatan RI melalui pelatihan Bakti Husada dimana
tujuan diadakannya pelatihan ini adalah agar masyarakat mampu menjadi penolong
pertama dan tercepat ketika terjadi kejadian kedaruratan sebelum petugas kesehatan yang
terlatih datang atau sebagai first responder. Peranan masyarakat umum yang diharapkan
dapat dilakukan masyarakat umum ketika terdapat kedaruratan di antaranya adalah
sebagai penolong utama (first responder), dapat memberikan pertolongan pertama, serta
mencari pertolongan pertama guna mendapatkan pertolongan lebih lanjut (Palang Merah
Indonesia, 2003; Depkes RI, 2006).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu cara dan tindakan darurat yang
dilakukan untuk menghidupkan serta memulihkan kembali keadaan henti nafas dan atau
henti jantung agar kembali dapat berfungsi secara optimal dan dapat menghindarkan dari
kematian. Kematian yang dimaksudkan di sini adalah kematian klinis yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan hilangnya nadi arteri karotis dan arteri femoralis, terhentinya denyut
jantung dan pembuluh darah, terhentinya pernafasan. Pada saat pertolongan pertama sangat
penting untuk mengetahui ada tidaknya gangguan jalan nafas pada pasien yang dapat
mengganggu aliran nafas sehingga menimbulkan terjadinya henti nafas.

Resusitasi Jantung Paru (RJP) memiliki tiga tahap, yaitu bantuan hidup dasar (basic life
support), bantuan hidup lanjut (advanced life support), dan bantuan hidup jangka panjang
(prolong life support). Langkah yang paling menentukan keberhasilan RJP dari rangkaian
tersebut adalah bantuan hidup dasar, yang termasuk dalam survey primer yang harus dapat
dilakukan oleh setiap orang. Kemudian dilanjutkan dengan survey sekunder yang hanya
dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis terlatih yang telah mendapatkan pelatihan
mengenai bantuan hidup lanjut.

B. Saran
Tenaga kesehatan harus dapat mengetahui tanda dan gejala secara dini agar dapat
melakukan penanganan segera. Dengan Tindakan yang diberikan, diharapkan dapat memberi
gambaran pengalaman bahwa segera akan memberikan damapak yang tidak merugikan untuk
di masa yang akan datang .

Anda mungkin juga menyukai